Anda di halaman 1dari 21

A.

Definisi-Definisi a. Pengertian Hadits Secara bahasa, hadits berarti al-Jadid ) (yang baru, al-Khabar qaliluhu wa kasiruhu, warta baik sedikit atau banyak (ar-Razi), yaitu ma yutahaddasu bihi wa yunqalu, sesuatu yang dibicarakan dan dipindahkan dari seseorang (al-Fayumi), atau qarib, yang dekat dan yang belum lagi terjadi (ash-Shiddieqy). Secara istilah, hadits ialah perkataan, percakapan dan perkhabaran, perbuatan, taqrir atau sifat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Penjelasan cakupan yang terkandung dalam hadits 1. Perkataan, ialah segala ucapan Nabi saw. dalam berbagai segi. Misalnya, masalah hukum, akhlaq, aqidah, pendidikan dan sebagainya. Masalah hukum, contoh dalam hadits : ) ( Sesungguhnya sahnya amal perbuatan itu tergantung kepada niatnya. 2. Perbuatan. Perbuatan Rasulullah saw. merupakan penjelasan praktis terhadap peraturanperaturan syara yang belum jelas cara mengerjakannya, seperti cara mengerjakan salat, puasa, haji, dan sebagainya. 3. Penetapan (Taqrir). yang dimaksud adalah keadaan Rasulullah saw. mendiamkan, tidak mengadakan sanggahan atau persetujuan atas perbuatan sahabat yang dilakukan di muka beliau. Contohnya, dalam suatu undangan, Khalid bin Walid menyajikan daging binatang biawak Arab (dabt) dan Khalid mempersilahkan beliau Nabi SAW. dan para undangan untuk menikmatinya. 4. Sifat-sifat, keadaan dan hasrat Rasulullah saw. Sifat-sifat Rasulullah yang termasuk unsur al-Hadits a. Sifat-sifat Rasulullah SAW. yang dijelaskan oleh para sahabat atau sejarahwan b. Silsilah, nama-nama dan tahun kelahiran c. Himmah (hasrat), yaitu angan-angan Nabi yang belum terealisir, seperti puasa pada tanggal 4 Asy-Syura, yang Nabi sendiri belum pernah. b. Pengertian Sunnah Sedangkan arti etimologis as-Sunnah adalah: as-Sirah, jalan atau perikehidupan (ar-Razi, ), as-Sirah hamidah kanat au damimah, perikehidupan yang dijalani, baik terpuji atau tercela (alFayumi). As-Sirah, at-Tariqah, at-Tabiah, dan asy-Syariah, tuntunan, jalan, tabiat, dan syariat (Louis Maluf). Jalan yang dijalani, terpuji atau tidak Sesuatu tradisi yang sudah dibiasakan, dinamakan sunnah walaupun tidak baik (Ash-Shiddieqy). Pengertian secara istilah ialah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw dari perkataan, perbuatan, taqrir atau sifat baik sebelum perutusan atau selepas perutusan. Istilah Sunnah juga dinisbahkan kepada sahabat atau tabiin baik pada perkataan dan perbuatan. c. Pengertian Khabar Secara bahasa berarti yang disepakati. Adapun dari ari segi istilah searti dengan hadits ia juga digunakan dengan maksud sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah saw dari perkataan, perbuatan, taqrir, sifat pribadi, sifat yang dinisbahkan kepada sahabat atau tabiin baik perkataan maupun perbuatan. d. Pengertian Atsar Pada bahasa berarti kesan atau bekas dari sesuatu. Dari segi terminlogi ia biasa digunakan dengan maksud sesuatu yang disandarkan kepada Nabi dari perkataan, perbuatan, taqrir, sifat peribadi dan sifat yang dinisbahkan kepada para sahabat atau tabiin.

e. Pengertian Hadits Menurut Muhadditsin Menurut Ulama Hadits, bahwa al-Hadits adalah : Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, dalam bentuk ucapan, perbuatan, penetapan, perangai atau sopan santun ataupun sepak terjang perjuangannya, baik sebelum maupun sesudah diangkat menjadi Rasul. (Al-Khatib, 1989:19) Atau dalam pengertian yang lain : () ( ) ) ( Sesungguhnya hadits itu bukan hanya yang di-marfu-kan kepada Nabi. saja, melainkan dapat pula disebutkan kepada sesuatu yang disandarkan kepada: Sahabat (mauquf) baik berupa ucapan atau seumpamanya, serta segala yang disandarkan kepada tabiin (maqtu), baik berupa perkataan atau lainnya. (At-Tarmisi, 1974:8). f. Pengertian Hadits Menurut Ushul Fiqh (Ushuliyyin) Menurut Ulama Ushul Fiqh Segala apa yang dinukil daripada Nabi saw baik yang berupa perkataan, perbuatan, atau penetapan. (As-Sibai:54). g. Pengertian Hadits Menurut Fuqaha Menurut Ulama Ahli Fiqh Segala ketetapan yang berasal dari Nabi Muhammad saw yang bukan hukum fardu serta bukan wajib. (Ajjaj al-Khatib, 1989:19). h. Pengertiaan Sunnah Menurut Muhadditsin Adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw dari perkataan, perbuatan, taqrir atau sifat baik sebelum perutusan atau selepas perutusan, (sama dengan pergertian hadits). i. Pengertian Sunnah Menurut Ushul Fiqh (Ushuliyyin) Ialah segala yang dinukilkan dari Nabi saw, baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir yang berkaitan dengan hukum. Makna inilah yang diberikan kepada kata sunnah dalam sabdanya: . , Sesunggunya telah saya tinggalkan untukmu dua perkara tidaklah sekali-kali kamu sesat selama kamu berpegang kepadanya, yakni Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. (HR. Malik). j. Pengertian Sunnah Menurut Fuqaha Adalah sesuatu yang diterima dari Rasulullah dengan tidak difardhukan atau diwajibkan. Imbangannya wajib, mahdhur, makruh dan mubah. k. Perbedaan antara al-Quran, Hadits Qudsi dan Hadith Nabawi Al-Quran Makna dan lafdz dari Allah. Dinisbahkan Kepada Allah dengan lafdz: Hadits Qudsi Makna dari Allah adapun lafdznya dari Rasulullah. Dinisbahkan kepada Rasulullah dengan lafdz: Diriwayatkan secara mutawatir.
2

Hadits Nabawi Makna dan lafdz dari Rasulullah. Dinisbahkan kepada Rasulullah dengan lafdz: Diriwayatkan secara mutawatir dan ahad.

Diriwayatkan secara mutawatir.

Tsabit secara qathi sahaja dan zanni. Dijamin dipelihara daripada Dijamin dipelihara daripada Tidak dijamin dipelihara diubah.. diubah. daripada diubah. Wahyu diturunkan melalui Wahyu diperoleh daripada Wahyu diperoleh daripada perantaraan malaikat jibril. ilham atau mimpi. ilham, mimpi dan ijtihad. Membacanya adalah suatu Membacanya adalah suatu Membacanya bukan suatu ibadah. ibadah. ibadah. Dengan itu, Pengertian al-Quran adalah: firman Allah swt yang mujiz, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui malaikat jibril yang tertulis dalam mashaf, diriwayatkan secara mutawattir, menjadi ibadah bagi yang membacanya diawali dari surah al-Fatihah dan diakhiri surat an-Nas. Adapun pengertian Hadith Nabawi membawa arti: apa-apa saja yang disandarkan kepada Nabi saw. baik berupa perkataan perbuatan persetujuan maupun sifatnya. Sedangkan makana Hadits Qudsi menurut istilah adalah apa yang disandarkan oleh Nabi Muhammad saw dari perkataan-perkataan Beliau (Nabi) kepada Allah swt yaitu sesuatu yang dikhabarkan oleh Allah swt kepada Rasulullah saw melalui ilham atau mimpi kemudian baginda menyampaikan dengan menggunakan perkataan Nabi sendiri. B. Ulumul Hadits a. Pengertian Ulumul Hadits Ulumul hadits terdiri dari dua kata, yaitu ulum dan hadits, kata ulum dalam bahasa Arab adalah bentuk jama ilm, jadi ia berarti ilmu-ilmu, sedangkan hadits di kalangan ulama hadits berarti segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw dari perkataan, perbuatan, tarqrir atau sifat. Dengan demikian ulumul hadits adalah ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan dengan hadits Nabi saw. Suatu kaidah untuk mengetahui kondisi sanad dan matan baik diterima atau ditolak b. Sejarah Perkembangan Ulumul Hadits Sejarah merupakan peristiwa yang terjadi masa dahulu untuk diambil hikmahnya sebagai acuan dalam menentukan masa sekarang dan akan datang. Mempelajari sejarah perkembangan hadits adalah mencari objek materi dari berbagai macam ilmu yang disertai dengan menganalisa peristiwa yang terjadi pada masa dahulu. Adapun objek penelitian sejarah hadits adalah membahas tentang periode perkembangan hadits itu sendiri; mengupas tentang karakteristik dari setiap periodesasi hadits; memperhatikan aspek kondisi, sikap masyarakat Islam, tujuan makna teks hadits serta tempat berkembangnya hadits. Selain itu, pembahasan mengenai sejarah perkembangan Hadits juga membahas tentang biografi muhadditsin berupa rawi, sanad, mudawwin , lafadz hadits dan lain-lain yang berkaitan dengan pemeliharaan, pembinaan ilmu-ilmu hadits serta hal-hal lain yang mempengaruhinya yang dijadikan dasar tasyri. Jadi, dengan cara ini kita dapat mengetahui metodelogi aktifitas pembinaan hadits Nabi Muhammad saw yang telah dilakukan para ulama' hadits serta kaidah yang dapat dipertanggung jawabkan agar dapat mereka gunakan dalam usaha pembinaan hadits dan ilmunya Pada dasarnya Ulumul Hadis telah lahir sejak dimulainya periwayatan hadits di dalam Islam, terutama setelah Rasul saw wafat, ketika umat merasakan perlunya menghimpun hadishadis Rasul saw dikarenakan adanya kekhawatiran hadis-hadis tersebut akan hilang atau lenyap.

Tsabit secara qathi sahaja.

Tsabit secara qathi sahaja.

Para sahabat mulai giat melakukan pencatatan dan periwayatan hadis. Mereka telah mulai mempergunakan kaidah-kaidah serta metode-metode tertentu dalam menerima hadits, namun mereka belumlah menuliskan kaidah-kaidah tersebut. Adapun dasar dan landasan periwayatan hadis di dalam Islam dijumpai dalam al-Quran dan hadis Nabi saw. Dalam a-Hujarat ayat 6, Allah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk menelitu dan mempertanyakan berita-berita yang datang dari orang lain, terutama dari orang fasik. Firman Allah swt yang artinya: Wahai orang-orang yang telah beriman, jika datang kepadamu orang fasiq membawa sesuatu berita maka periksalah berita tersebut dengan teliti agar kamu tidak menimpakan musibah kepada sesuatu kaum tanpa mengetahui keadaan (yang sebenarnya) yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu.(Al-Hujurat: 6). Sementara dalam hadits disebutkan, (Semoga) Allah membaguskan rupa seseorang yang mendengar dari kami sesuatu (hadits Nabi saw), lantas dia menyampaikannya (hadis tersebut) sebagaimana dia dengar, kadang-kadang orang yang menyampaikan lebih hafal daripada yang mendengar. (At-Tirmizi). Dalam ayat al-Quran serta dua hadits tersebut jelas terdapat suatu prinsip ketentuan mengenai pengambilan sesuatu berita sekaligus tata cara dalam menerima suatu berita tertentu; dengan cara melakukan tabayyun (memperjelasnya) serta menelitinya dan agar hati-hati dalam menyampaikan suatu berita kepada orang lain. Dalam rangka melaksanakan perintah Allah dan Rasu-Nya itu, maka para sahabat telah menetapkan ketentuan-ketentuan (aturan) dalam menyampaikan sesuatu berita sekaligus dalam hal menerimanya (hadis), terutama ketika mereka meragukan terhadap kejujuran dari orang yang menyampaikan berita tersebut. Atas dasar ini, maka nampak jelaslah kedudukan serta nilai sanad dalam rangka untuk menerima atau menolak suatu berita. Di dalam muqadimah Shahih Muslim, dari riwayat Ibnu Sirin, dikatakan Semula mereka tidak pernah mempertanyakan tentang sanad, kemudian setelah timbulnya fitnah, mereka baru mempertanyakannya: Sebutkanlah kepada kami orang-orang yang meriwayatkan hadits kepada kamu sekalian. Lalu jika ternyata mereka yang meriwayatkan hadits tersebut adalah orang-orang Ahli Sunnah maka terimalah hadits itu, sebaliknya, jika ternyata memang orang-orang Ahli Bidah, maka janganlah kamu mengambil hadits yang diriwayatkannya. Berpijak pada prinsip bahwa suatu hadis itu tidak dapat diterima kecuali sesudah dikatahui sanadnya, maka munculah ilmu Jarh wa Tadil, dan (ilmu mengenai) pembicaraan terhadap rawi-rawi hadits, serta (tat cara) pembicaraan terhadap rawi-rawi hadits, serta (cara) mengetahui sanad-sanad yang muttasil dan yang munqati, serta mengetahui cacat-cacat yang tersembunyi. Bahkan telah muncul pula pembicaraan pada sebagian rawi-rawi yang tercela. Meskipun masih sangat sedikit sekali, ini karena sedikitnya rawi-rawi yang benar-benar tercela pada masa awalnya sanad. Kemudian para ulama lama kelamaan memperluas (jangkauan pembahasan) dalam masalah yang demikian itu, hingga lahirlah pembahasan dalam beberapa cabang yang berhubungan dengan hadits dari segi pencatatannya, tata cara menerimanya serta menyampaikannya, dan mengetahui nasikh-mansukhnya, gharibnya dan hal-hal selainnya, hanya saja demikian itu dilakukan para ulama secara lisan. Dalam kitab Mabahits Ulumil Hadits, Syekh Manna al-Qaththani menyimpulkan bahwa yang mendasari lahirnya dan berkembangnya Ilmu Hadits ada 2 (dua) hal pokok, yaitu adanya: (1) dorongan agama, dan (2) dorongan sejarah. Berikut akan penulis paparkan secara singkat kedua hal pokok tersebut: 1. Dorongan Agama

Bahwasanya umat manusia memperhatikan warisan pemikiran yang dapat menyentuh serta membangkitkan kehidupan mereka, memenuhi kecintaan hati mereka, menjadi pijakan kebangkitan mereka, lalu mereka terdorong untuk menanamkannya pada anak-anak mereka agar menjadi orang-orang yang memahaminya, hingga warisan itu selalu hadir di hadapan mereka, membimbing langkah dan jalan mereka. Jika umat lain begitu perhatian terhadap warisan pemikiran mereka, maka umat Islam yang mengikuti risalah Nabi Muhammad saw juga tidak kalah dalam memelihara warisan yang didapatkan dari Nabi saw dengan cara periwayatan,menukil, hafalan, dan menyampaikannya, serta mengamalkan isinya, karena itu bagian dari eksistensinya, dan hidup umat ini tiada berarti tanpa dengan agama. Oleh karenanya Allah swt mewajibkan dalam agama untuk mengikuti dan menaati Rasul-Nya, menjalani semua apa yang dibawa beliau, dan meneladani kehidupannya. 2. Dorongan Sejarah Di dalam sejarah, umat manusia banyak dihadapkan pada pertentangan dan halangan sehingga mendorong untuk menjaga warisan mereka daripada penyusupan yang menyebabkan terjadinya fitnah dan saling bermusuhan serta tipu muslihat. Selai itu, umat Islam yang telah merobohkan pilar kemusyrikan, dan mendobrak benteng Romawi dan Persia, menghadapi musuh-musuh bebuyutan, tahu benar bahwa kekuatan umat ini terletak pada kekuatan agamanya, dan tidak dapat dihancurkan kecuali dari agama itu sendiri, dan salah satu jalannya adalah pemalsuan terhadap hadis. Dari sini, kaum muslimin mendapat dorongan yang kuat untuk meneliti dan menyelidiki periwayatan hadits saw, dan mengikuti aturan-aturan periwayatan yang benar, agar mereka dapat menjaga warisan yang agung ini dari penyelewengan dan penyusupan terhadapnya sehingga tetap bersih, tidak dikotori oleh aib maupun oleh keraguan. c. Pembagian Ulumul Hadits dan Cabang-Cabangnya Pembelajaran Ulumul Hadits adalah suatu bidang yang amat penting bagi memahami dan mengetahui nilai hadits, baik boleh diterimai (maqbul) atau ditolak (mardud). Pembahasan Ilmu Hadits meliputi hadits riwayah dan dirayah yang saling berkaitan. Konsep Hadits Riwayah Suatu pegetahuan megenai perkara yang disandarkan kepad Nabi Muhammad saw. secara khusus samada perkataan, berbuatan, taqrir (pengakuan) sifat tingkah laku. Dirayah ialah suatu ilmu untuk mgetahui keadaan sanad&matan dari sudut diterima atau diolak yang berhubung kait denganya. Ilmu hadis dirayah juga dikenali: Ulumul hadis,usul hadis,mustalahah hadis. Objek berkembangan hadits riwayah pada zaman Nabi Muhammad saw. Nabi diutusksn untuk menyampaikan syariat Islam kepada seluruh umat. Oleh itu segala perkataan, berbuatan, pengakuan, sifat dan tingkah laku merupakan satu pengajaran kepada umat islam. Apa jua yang disampaikan oleh Nabi saw adalah benar, hal ini kerana nabi saw adalah maksum berdasarkan firman Allah swt, dan ia tidak mengkatakan (sesuatu berhubung dengan agama Islam) menurut kemahuannnya pendapatnya sendiri. segala yang ia perkatakan itu (al-Quran&Hadits) tak lain hanyalah wahyu yg dwahyukan kpdnya. Sahabat menerima hadis melalui rasulullah secara lisan&mhafaznya.ada juga dikalangan sahabat yang menulis hadis tersebut.mereka melakukan setelah mendapat keizinan daripada nabi. Para sahabat menghafaz hadits-hadits Rasulullah kerana masyarakat arab pada zaman tersebut kebanyakanya buta huruf&mempunyai daya ingatan yang kuat. Berhubung dengan penulisan hadits pada peringkat awal penurunan al-Quran, Terdapat hadist Nabi melarangnya&membenarkanya berdasarkan beberapa alasan.
5

1. i. ii. iii.

Larangan Pd peringkat awal diturunkan al-Quran dibimbangi bercampur dgn al-Quran. Ditakuti al-Quran&hadis ditulis dlm satu lembaran. Bagi meraka mepunyai daya ingatan yg kuat. Dalil larangan: Maksudnya: daripada saad bin khdri sesunguhnya Rasululluh saw bersabda jangan kamu tulis sesuatu dariku(hadits)&sesiapa yang menulis al-Quran maka hendaklah dia hapuskan. 2. Keizinan. i. Ketika al-Quran karim tidak turunkan. ii. Sekiranya ia ditulis dalam lembaran yang berasingan, (3) Bagai mereka yang mudah lupa. Zaman Sahabat Selepas kewafatan Nabi Muhammad saw kebanyakan para sahabat ada yang masih tidak melaksanakan penulisan&pembukuaan secara formal, tetapi dikalangan sahabat ada yang pandai menulis seperti Abu Bakar Siddiq, Muaz Bin Jabal, Umar Bin al-Khatab, Muawiyah Bin Sofian, Abdulluh Bin Zubair Dan Jabar Bin Samrah. Kegiatan (aktivitas) para sahabat-sahabat Rasulullah saw dalam penulisan dengan cara mengajar, memplajari, meriwayat, mengumpul serta mencatat hadis-hadis dan ada yang mehafal disamping mnulis.tapi zaman sahabat adanya penulisan cuma tidak dikumpul secara khusus dan belum dibukukan. Zaman Tabiin Pada zaman tabiin kmunculan hadis palsu mula ketara. Ini disebabkan penyelewengan yang dilakukan oleh pengikut-pengikut mazhab seperti syiah, khawarij, mutazilah. keadaan ini bertambah buruk dengan kekurangan penhafaz hadis yang perpindah ke negeri lain atau mati dalam medan peperangan. Menyedari kondesi ini timbul kesedaran drpd kalangan ulamak hadis untuk menyelidik kebenaran sesuatu hadis. Khalifah umar bin abdul aziz telah mengarahkan Abu bakar bin Muhammad bin amru bin hazm gabenor madinah supaya megumpul dan mecatat hadis-hadis daripada hafiz seperti Amrah binti abdul Rahman, yaitu murid dan anak saudara aisyah binti abu bakar. kemudin usaha ini diterusksn oleh Muhammad ibn muslim, Ibn ubaidilah ibn syihab al-zuhri seorang tabiin dengan mengumpul dan membukukan hadis nabi saw utk di edarkan keseluruh wilayah Negara Islam. Usaha tersebut berterusan sehingga zaman abasiah yang dipimpin oleh abi jafar bin Mansur, beliau telah mengarahkan imam malik bin anas agar menyusun sebuah buku hadis.maka terhasilah kitab al-Muwatta 3. Sejarah perkembangan ilmu hadis dirayah. Ilmu hadis dirayah berkembangan seiring dengan perkembangan dengan hadis riwayah. Pada zaman sahabat dan tabin (sekitar tahun40 hijrah) telah timbul fitnah dikalangan umat Islam oleh golongan Syiah dan Assababiah coba mempalsukan hadis-hadis nabi perselisihan pendapat mereka dengan golongan ahli sunnah waljamah mendorong mereka mencari hujjah berdasarkan syarak bagi menyokong pendapat mereka tapi usaha tersebut gagal. ini menyebabkan mereka cuba meyelewangkan hadis sehingga ke peringkat krtikal.ulamak hadis yang menyedari masalah tersebut berusaha untuk membendung. usaha yg dijalankan oleh para ulamak hadis menyebabkan
6

berlakunya pembukuan hadis seperti istilah Hadis Marfuq, Mauquf, Maqtu, Mursal, Magtuq dan Shaz. Ulamak pertama memperkenalkan ulumul hadis ialah imam zuhri (124 Hijrah). Ulumul hadits menurut Ibnu al-akfani, sebagaimana yang dikutip oleh al-sayuthi, adalah ilmu-ilmu yang meliputi pemindahan (periwayatan) perkataan nabi saw dan berbuatannya, serta periwayatanya, pencatatannya, dan penguraian lafaz-lafaznya. kesimpulanya dapat dipahami bahwa ilmu-ilmu hadis riwayah pada dasarnya (intinya) adalah membahas tentang tata cara periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan@pembukuan hadis nabi. Objek kajian (penelitian) ulumul hadits riwayah adalah hadits Rasulullah saw dari segi periwayatan&pemeliharaan. hal tersebut mencakup: (1)cara periwayatan hadis,baik dari segi cara penerimaan dan juga cara penyampaian dara seorang perawi kepada perawi yang lainnya. (2)cara pemeliharaan hadis, yaitu dalam bentuk penghafalan, penulisan, dan pembukuannya. Konsep Hadits Dirayah Menurut Ibnu al-akfani memberikan pengertian ilmu hadits dirayah sebagai berikut: dan ilmu hadis yang khusus tentang dirayah adalah ilmu yang bertujuan untuk mengetahui hakikat: riwayat, syarat-syarat, macam-macam, hokum-hukumnya, keadaan para perawi, syarat-syarat mereka, jenis yang diriwayatkan&segala sesuatu yang berhubung denganya. Uraian dan elaborasi dari pengertian yang diberikan oleh Jalaluddin al-Sayuthi: Hakikat riwayat hadits, adalah kegiatan periwayatan sunnah dan penyandarannya kepada orang yang meriwayatkanya dengan kalimat tahdits, yaitu perkataan seorang perawi hadits: haddatsana fulan(telah mceritakan kepada kami si fulan), atau ikhbar, seperti perkataannya akhbarana fulan(telah mengabarkan kepada kami si fulan). Objek kajian atau pokok pembahasan ilmu hadis dirayah ini, berdasarkan pengertian di atas, adalah sanad dan matan hadis. Di antara para sahabat yang mempunyai catatan hadits-hadits dari Rasulullah saw adalah Abdullah bin Amr bin yang dinamai as-Sadiqah. Pokok-pokok pembahasan Ilmu Mustalahul Hadits berkisar pada: 1. Macam-macam hadis dan Pembahagianya 2. Nama-nama perawi dan segala sesuatu yang berhubung dengan nama-nama itu, misalnya tentang keadaanya, sifat-sifatnya, riwayat hidupnya. 3. Cara-cara menerima dan mriwayatkan hadis, dari siapa ia menerima dan kepada siapa diriwayatkan Faedah dari mempelajari Ilmu Mustalahul Hadits: 1) Mengetahui nama-nama hadis yang maqbul (dapat diterima) 2) Mengetahui nama-nama, hadis yang seharusnya ditolak (mardud) 3) Mengetahui nama-nama yang belum dapat diterima (mardud) dan belum dapat diterima dan belum boleh menolaknya (hadis yang seharusnya ditawakufkan sehingga mendptkan penjelasan) Pembahasan tentang sanad meliputi: (1) Dari segi persambungnya sanad hadis (ittishal alsanad) yaitu bahwa suatu rangkaian sanad hadis haruslah bersambung mulai dari sahabat sampai kepada periwayatan terakhir yang menuliskan atau membukukan hadis tersebut, oleh itu tidak
7

dibenarkan suatu rangkaian sanad hadits tersebut yang terputus, tersembunyi, tidak diketahui identitasnya atau tersamar. (2) segi kerpercayaan sanad (tsiqat al-sanad) yaitu bhwa setiap perawi yang terdapat di dalam sanad suatu hadits harus memiliki sifat adil dhabit. (3) segi keselamatan diri kejanggalan (syadz). (4) keselamatan dari cacat (illat). (5) tinggi dan rendahnya martabat suatu sanad. Pembahasan mengenai matan hadits adalah meliputi segi kesahihan atau kedhaifan. dari kejanggalan redaksi hadits (rakakat al-faz), (2). Cacat atau kejanggalan maknanya (fasad almana), (3) dari kata-kata asing(gharib), yaitu kata-kata yang tidak dipahami. c. Ruang Lingkup Ulumul Hadits, Struktur Hadits, Mukharrij, Sanad &Matan 1. Sanad dan Pembahasannya Sanad secara bahasa berarti: artinya bagian bumi yang paling menonjol. Sebagian ulama mengartikan: ( sandaran, tempat bersandar, suatu yang menjadi sandaran). Bentuk jamanya adalah isnad, adapun musnad artinya adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada yang lain. Secara terminologi sanad bisa didefinisikan sebagai ( jalan yang menyampaikan kepada matan hadis) atau secara sederhana dapat diartikan bahwa sanad adalah rentetan, deretan atau silsilah nama perawi yang jalin menjalin membentuk satu mata rantai yang mengantarkan pembacanya pada matan atau isi hadis nabi. Sanad itu sesungguhnya bermaterikan nama-nama, kuniyah, laqab-laqab dan gelaran lainnya yang dimiliki oleh seorang perawi yang merupakan sumber periwayatan dan penyandaran sebuah hadis. Sanad adalah kumpulan orang yang berfungsi sebagai mediator penyampaian dan periwayatan hadis nabi. Ketiadaan sanad berakibat pada ditolaknya sebuah berita yang dianggap dan berasal dari nabi. Istilah lain yang semakna dan sering dipergilirkan penggunaannya dalam konteks yang sama adalah at thoriqoh, dan al Wajh. Studi tentang sanad sesungguhnya bisa dimulai semenjak masa-masa awal perkembangan kebudayaan dan peradaban bangsa arab jahiliyyah lama. Nasiruddin Asad mengatakan pada penggunaannya yang paling awal, sanad lebih sering dipakai untuk periwayatan syair-syair yang dimiliki oleh mereka. Satu kebiasaan yang umum berlaku di kalangan bangsa arab adalah di adakannya perlombaan pembacaan syair yang mereka ciptakan atau syair-syair yang mereka dapatkan secara turun temurun dari generasi sebelumnya (dahulu). Bagi pemenang perlombaan pembacaan syair itu, ataupun jika syair-syair itu mendapatkan perhatian yang sangat besar dikalangan bangsa arab, maka hal itu merupakan suatu kebanggaan ruhani dan serta merta meningkatkan derajat sosial pemenangnya. Salah satu diantara unsur penilaian kebagusan serta keunggulan syair-syair tersebut adalah ketersambungan pemilik syair tersebut sampai kepada generasi yang jauh di atasnya, terlebih jika nama-nama itu adalah pribadi-pribadi yang memiliki status sosial yang tinggi dikalangan masyarakat arab jahiliyah. Syair yang, berasal dari panglima perang, kepala suku, tabib, kahin dan jabatan sosial yang bermartabat lainnya meningkatkan popularitas dan secara tak langsung memberi nilai surplus pada kualitas syair tersebut. Inilah awal mula penggunaan sanad dalam masyarakat arab pra islam. Kebiasaan ini tidak disia-siakan oleh umat islam dan pada generasi selanjutnya ia dipakai sebagai alat ukur penilaian sahih dan tidaknya sebuah hadis. Dengan kata lain tradisi sanad dalam masyarakat jahiliyyah telah diintrodusir secara besar-besaran oleh ulama muhadisin, dan pada gilirannya dianggap sebagai suatu ciri yang inheren dalam masyarakat islam, bahwa tidak ada satu kebudayaanpun di dunia ini yang memiliki kemampuan yang sama dalam kekayaan dan ketelitian mencatat nama-nama orang dalam sejarah masa lalu.
8

Pada generasi nabi, sanad tidaklah mendapat perhatian yang sama besarnya sebagaimana berlaku pada masa-masa generasi berikutnya. Kesahihan hadis pada masa kenabian tidaklah terlalu sulit untuk membuktikannya. Hal ini mengingat keberadaan nabi masih berada ditengah-tengah lingkungan para sahabat. Sehingga jika ada sebuah berita yang berkaitan dengan pribadi nabi, sahabat bisa langsung melakukan konfirmasi kepada beliau tanpa mengalami kesulitan. Semenjak maraknya kegiatan pemalsuan hadits yang dipicu oleh adanya pertikaian politik dan sentimen keagamaan yang berkembang disebagian fikiran umat islam, maka para ulama mulai mengembangkan sikap berhati-hati di dalam meriwayatkan dan menerima sebuah hadis. Pertikaian politik yang berimbas pada perpecahan di bidang agama mendorong sebagian pengikut hawa nafsu untuk menciptakan hujah-hujah palsu dan dasar argumen buatan yang dimaksudkan untuk memperkuat dan melegalkan apa-apa yang menjadi pendapat mereka. Sesungguhnya pertikaian yang terjadi dikalangan mereka itu, memberi inspirasi bagi mereka untuk mencari keterangan agama yang bisa membenarkan ajaran-ajaran yang dikembangkan dan diyakini kebenarannya oleh masing-masing kelompok yang sedang bertikai. Dampak serius yang ditimbulkan akibat pertikaian itu merembes pada pemalsuan besar-besaran hadits nabi. Pada akhirnya ulama merasa perlu untuk membendung kejahatan para pemalsu hadis itu dengan mengembangkan suatu metodologi ilmiah di dalam menerima dan menilai kesahihan sebuah hadis. Semenjak itu sebuah berita tentang hadits tidak begitu saja bisa diterima kecuali setelah diketahui nama orang yang menjadi perantara hadis tersebut atau bisa dilacak dari mana sumber hadis itu berasal. Proses pelacakan terhadap rentetan sanad atau sumber periwayatan itu pada akhirnya mewujud pada apa yang kini di kenal di dalam istilah teknis ulumul hadis sebagai as sanad. Satu hal yang bisa dicatat bahwa al quran tidak menyediakan cukup dalil yang bisa digunakan untuk mendukung pendapat yang mereka pegangi itu. Memang benar, beberapa pengikut dari kelompok yang bertikai itu, mencoba untuk menafsirkan dan menawilkan beberapa ayat al quran yang sesuai dengan aqidah dan ajaran mereka sendiri. Hanya saja tawil yang mereka lakukan terhadap ayat-ayat itu dilakukan dengan tanpa memperhatikan qaida-qaidah penawilan yang berlaku dalam disiplin ilmu tafsir yang telah disepakati oleh para ulama sebagaimana yang telah diwarisi oleh generasi sekarang ini. Penawilan itu sama sekali jauh dari nilai kebenaran dan amat lemah dihadapan prinsip-prinsip metodologi ilmiah bagi sebuah upaya penawilan sebuah teks. Sudah barang tentu penawilan yang dibuat itu tidak mendapatkan sokongan dan pembenaran dari para ulama di bidangnya. Sehingga pada akhirnya tawilan itu hilang dengan sendirinya. Oleh karenanya mereka mencoba beralih pada bidang hadis yang memberi peluang yang cukup terbuka untuk menguatkan pendapat kelompoknya di hadapan pendapat kelompok musuhnya. Mulailah mereka membuat hadis palsu yang mereka sandarkan kepada Nabi Muhamad yang bermaterikan hujah palsu demi kepentingan kelompoknya. Di sinilah awal mula motivasi serta pendorong utama munculnya hadits palsu dan yang mendesak para ulama untuk menciptakan metode penelitian terhadap hadits nabi. Kegiatan para ulama itu pada akhirnya memunculkan satu istilah baru yang pada masa sekarang di kenal dengan ungkapan as sanad. 2. Rawi dan Pembahasannya Adapun Rawi maksudnya adalah orang yang memperoleh atau menerima hadis dengan cara yang sah dan kemudian menyampaikan atau meriwayatkan hadis itu kepada orang lain dengan cara atau metode yang sah pula. Metode menerima dan menyampaikan hadis itu dalam kajian para jumhur muhadisin biasa dikenal dengan istilah: Tahammulu wa Ada al Hadis.

Ilmu ini menjelaskan tentang kriteria yang harus dipenuhi oleh seorang perawi agar hadis yang diterimanya dan kemudian ketika dia harus meriwayatkan hadis itu memiliki derajat kesahihan di kalangan para ulama jumhur muhadisin. Rawi yang berada dalam generasi sahabat disebut sebagai rawi awal dan rawi yang menceritakan, menyampaikan dan menulis hadis dalam sebuah kitab hadis tertentu di sebut sebagai rawi akhir. Rawi akhir ini biasanya adalah orang atau ulama yang menuliskan semua hadis yang pernah diterimanya dalam sebuah kitab disertai penyebutan sanad-sanadnya. 3. Matan dan Pembahasannya Matan dari segi etimologi artinya membelah, mengeluarkan, dan mengikat. Sedangkan menurut istilah yang dimaksud dengan Matan adalah makna-makna (ucapan, perbuatan dan keputusan) yang terkandung dalam hadis Nabi, atau sebagaimana pendapat ulama berikut ini matan adalah: ( perkataan yang disebut pada akhir sanad, yakni sabda Nabi saw yang disebut sesudah habis disebutkan sanadnya) Dengan kata lain matan adalah susunan redaksi kata-kata yang menginformasikan tentang ucapan, kelakuan dan ketetapan serta sifat dari pribadi Nabi. Kadangkala apa yang dimaksud dengan matan tidak melulu berupa berita tentang nabi, acapkali ucapan seorang sahabat, bahkan preseden yang berasal dari para tabiin sering menghiasi kandungan matan hadits. Nampaknya sebagian ulama tidak merasa keberatan untuk memasukkan berita yang berasal dari sahabat dan tabiin termasuk bagian yang inheren dari hadits. 4. Mukharrij dan Pembahasannya Istilah lain yang erat kaitannya dengan materi al hadis adalah al-Mukharij. Al-Mukharij biasa diartikan sebagai orang yang mengumpulkan dan meriwayatkan serta menuliskan haditshadits yang di perolehnya didalam sebuah catatan-catatan tertentu ataupun di dalam buku yang diterbitkan oleh si mukharij tersebut. Penulisan hadits-hadits yang diriwayatkannya itu tentunya disertai adanya sejumlah nama yang menjadi jalur periwayatannya. Artinya hadits tersebut haruslah memuat nama-nama perawi yang menjadi sanad (Transmiter) antara dirinya dengan guru-guru yang meriwayatkan hadis padanya. Pengabaian ketentuan ini berakibat pada kurangnya perhatian para ulama terhadap kitab yang dikarangnya, dan dampak yang lebih lanjut kitab hadisnya tidak menjadi ajang kajian dan pegangan bagi umat islam dan ulama yang berniat mengkajinya. Imam al-Bukhari dan Imam Muslim merupakan dua contoh nama bagi ulama yang pantas disebut sebagai mukharrij. Hal ini didasarkan pada suatu kenyataan bahwa kedua ulama ini memiliki suatu kitab hadis tersendiri hasil dari upaya dan kerja kerasnya di dalam meneliti dan mengkritisi hadis-hadis yang diriwayatkan oleh orang lain kepada kedua beliau tersebut. Masingmasing dari kedua imam ini memiliki proses periwayatan yang berbeda dan penggunaan nama atau sanad yang berbeda pula di dalam mendukung keabsahan hadits-hadits yang mereka riwayatkan. Pada akhirnya semua hadis yang mereka riwayatkan itu didokumentasikan dalam sebuah karya yang dalam catatan sejarah islam karya mereka termasuk karya yang monumental dan tiada yang dapat menandinginya sepanjang sejarah hingga kini. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa Sanad adalah rangkaian nama perawi hadits yang sambung menyambung semenjak dari awal perawi (sahabat) sampai kepada akhir rawi (Mukharrij). Sanad dalam pengertian yang sederhana dapat diartikan dengan sesuatu jalan yang mengantarkan kita kepada matan hadits. Sementara itu dalam kajian ulumul hadits sanad-sanad yang ada itu memiliki derajat yang berbeda-beda, ada yang mencapai derajat tinggi dan ada pula yang memiliki derajat rendah. Tinggi dan rendahnya derajat sanad sangat berpengaruh terhadap kualitas pengklasifikasian sebuah hadis. Tinggi rendahnya sanad sangat bergantung pada tingkat
10

kekuatan hafalan (dhabith) sang perawi dan keadilan perawi dalam silsilah sanadnya. Bila sanadnya termasuk ashah al asanid, maka hadisnya bisa dijadikan sebagai hujjah ( hadis yang maqbul). Sebaliknya bila sanadnya termasuk adlaf al asanid, maka dengan sendirinya hadis yang diriwayatkan oleh jalur periwayatan tersebut tidak bisa dijadikan sebagai hujah ( hadis mardud ). Para muhaditsin membagi tingkatan sanad menjadi tiga kelompok : 1. Ashah al asanid (sanad-sanad yang yang paling shahih) 2. Ahsan al asanid (sanad-sanad yang paling hasan) 3. Adlaf al asanid (sanad-sanad yang paling lemah) Berdasarkan kategori dan pengklasifikasian sanad hadis tersebut, maka orang-orang yang termasuk dalam kategori ashah al asanid hadisnya bisa dipastikan untuk diterima menjadi hujjah agama. Sementara untuk perawi yang masuk dalam kategori ahsan al asanid, haditsnya bisa dijadikan hujah meskipun ia tidak termasuk dalam kategori maupun peringkat pertama. Adapun untuk kelompok yang ketiga, maka sebagian besar periwayatan mereka ditolak.Para ahli hadis sangat hati-hati dalam menerima suatu hadis kecuali apabila mengenal dari siapa mereka menerima setelah benar-benar dapat dipercaya. Pada umumnya riwayat dari golongan sahabat tidak disyaratkan apa-apa untuk diterima periwayatannya. Akan tetapi mereka pun sangat hatihati dalam menerima hadis . Pada masa Abu bakar r.a. dan Umar r.a. periwayatan hadis diawasi secara hati-hati dan tidak akan diterima jika tidak disaksikan kebenarannya oleh seorang lain. Ali bin Abu Thalib tidak menerima hadis sebelum yang meriwayatkannya disumpah. Meminta seorang saksi kepada perawi, bukanlah merupakan keharusan dan hanya merupakan jalan untuk menguatkan hati dalam menerima yang berisikan itu. Jika dirasa tak perlu meminta saksi atau sumpah para perawi, mereka pun menerima periwayatannya. Adapun meminta seseorang saksi atau menyeluruh perawi untuk bersumpah untuk membenarkan riwayatnya, tidak dipandang sebagai suatu undang-undang umum diterima atau tidaknya periwayatan hadis. Yang diperlukan dalam menerima hadis adalah adanya kepercayaan penuh kepada perawi. Jika sewaktu-waktu ragu tentang riwayatnya, maka perlu didatangkan saksi/keterangan. Kedudukan sanad dalam hadis sangat penting, karena hadis yang diperoleh/diriwayatkan akan mengikuti sesiapa yang meriwayatkannya (hadits). Dengan sanad suatu periwayatan hadis dapat diketahui mana yang dapat diterima atau ditolak dan mana hadis yang sahih atau tidak, untuk diamalkan. Sanad merupakan jalan yang mulia untuk menetapkan hukum-hukum Islam. Berikut ini akan dijelaskan secara skematis batang tubuh hadis agar memudahkan kita di dalam memahami apa yang dinamakan sanad, rawi dan Mukharrij hadits tersebut. Pemuatan skema tidak dimaksudkan untuk menentukan kualitas hadis apakah ia bernilai sebagai hadis shahih ataukah hadis hasan ataupun hadis dlaif. Pembuatan skema sekali lagi hanya ditujukan untuk halhal yang berkaitan dengan upaya memperjelas posisi as sanad, ar rawi dan al mukharrij. C. Hadits Sebagai Sumber Ajaran Islam a. Dalil-Dalil Kehujjahan Hadits Hadits Rasulullah merupakan sumber perundangan yang kedua selepas al-Quran wajib ditaati dan dipatuhi. Kedudukan ini berasaskan kepada dalil al-Quran dan Hadits Ijma Sahabat. Umat Islam diperintahkan oleh Allah supaya mengikuti jejak langkah Rasulullah dengan mematuhi perintah dan menjauhi laranganya. Berdasarkan firman Allah: Al-Quran surat al-Hasyr ayat 7: Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah itu, dan apa yang dilarang bagimu maka tinggalkanlah.
11

Al-Quran surat an-Nisa ayat 8 : Barangsiapa mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah.. Al-Quran surat an-Nisa ayat 59 : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil Amri di antara kamu. Rasulullah saw juga telah menegaskan dalam hadits berikut: : Para sahabat Rasulullah saw telah sepakat menetapkan bahwa umat Islam wajib mentaati hadits baik ketika Rasulullah masih hidup atau telah wafat. Semasa hayat Rasululah para sahabat patuh serta taat dengan segala arahan Rasulullah saw, apabila Rasulullah wafat, para sahabat menjadikan hadits sebagai sumber rujukan, sekiranya tiada penyelesaian daripada al-Quran b. Otoritas Hadits 1. Memperkuat hukum-hukum yang terdapat dalam al-Quran ataupun menjelaskan cara pelaksanaan hukum-hukum itu. Seperti hadits tentang: tatacara salat, zakat, haji, larangan syirik, larangan mendurhakai orang tua, dan sebagainya. 2. Al-Hadits saw sebagai penafsir ayat-ayat al-Quran. Nas-nas al-Quran tidak semuanya memberi keterangan secara rinci, akan tetapi masih: mujmal, umum atau mutlak. Kenyataan itu membutuhkan keterangan yang lebih rinci bagi penerimanya (kaum muslimin). Oleh karena itu, hadits dalam keadaan ini merupakan tafsir amali terhadap ayat-ayat al-Quran itu. Adapun fungsi al-hadits yang menafsirkan ayat-ayat al-Quran mempunyai kedudukan yang berbeda-beda, antara lain: a. Menafsirkan ayat mujmal menjadi rinci. b. Membatasi atau men-taqqyid ayat-ayat yang masih mutlak. c. Mengkhususkan (men-takhsis) ayat-ayat al-Quran yang am. ) (. d. Menjelaskan ayat-ayat al-Quran yang musykil. ) (. 3. Al-Hadits sebagai pentakhsis ayat al-Quran. 4. Al-hadits sebagai bayan tasyri. D. Sejarah Perkembangan Hadits Masa Pra Kodifikasi a. Priode Rasulullah Pada masa awal, yaitu pada periode Rasulullah saw. Hadits menyebar dengan sangat cepat. Hal ini karena dilihat dari pengertian serta makna hadits itu sendiri adalah media yang menyampaikan sunnah Rasul saw. Sedangkan sunnah itu sendiri merupakan sirah dan tariqah (perjalanan hidup dan gaya hidup) Rasulullah SAW yang masum (terjaga). Dengan demikian penyebaran hadis pada masa itu sangatlah cepat. Ada beberapa metode Rasulullah saw dalam menyampaikan hadits, diantaranya dengan metode lingua, praktik, taqriri (persetujuan) atas amal para sahabatnya, atau bahkan semua halihwal tentang Nabi saw. Adapun peristiwa penyebaran hadis itu sendiri dapat dibagi menjadi tiga metode untuk mewakili periode awal ini, yaitu dari masa Rasul saw, parasahabat, dan Tabiin. Dalam masa ini, hadits sangat cepat tersebar. Selain karena Rasul saw adalah sebagai titik acuan, juga para sahabat memang memiliki ghirah (semangat) yang hebat dalam mencari hadis serta mengajarkannya kepada yang lain. Sebagaimana yang diakui oleh beberapa sahabat beliau diantaranya Umar bin al-Khattab.

12

Al-Bara bin Azib Al Awsi juga berkata, Tidaklah kami semua dapat hadir langsung dan mendengar hadis dari Rasulullah SAW. Karena di antara kami ada yang tidak memiliki waktu atau sangat sibuk. Akan tetapi ketika itu orang-orang tidak ada yang berani berdusta terhadap hadis Nabi SAW. Orang yang hadir pun memberitakannya kepada orang yang tidak hadir. Hal ini menunjukkan bahwa hadis yang diterima para sahabat itu tidaklah selamanya langsung dari Rasul SAW. Adakalanya mereka menerima dari sahabat lainnya. Dan sekurang-kurangnya ada dua reaksi atau sikap para sahabat setelah mendapatkan hadis tersebut, ada yang menghafalnya[14], dan ada juga yang menulisnya Pelarangan Menulis Hadis Mengapa hadis tidak dicatat di masa Rasulullah saw? Itulah pertanyaan yang seringkali muncul pada masa-masa sekarang. Ada yang berpendapat semua ini karena kebanyakan para sahabat adalah orang-orang yang buta huruf (tidak dapat menulis), kecerdasan dan kekuatan hafalan mereka sudah dapat diandalkan, dan semula memang adanya larangan dari Rasulullah SAW. . ) : : ( . Janganlah kalian menuliskan dariku kecuali al-Qur-an saja, maka barangsiapa yang menulisnya, maka hapuslah. Riwayatkan saja hadis dariku, tidak apa-apa (tidak berdosa). Dan barangsiapa yang berdusta atas namaku -Hammam berkata: Aku kira ia (Zaid) berkata- dengan sengaja, maka disiapkan tempat duduknya dari api neraka. ( : . ) ( . . ) ) ( . Abu Hurairoh berkata; Ketika Allah subhanahu wataala membukakan kemenangan bagi Rasul-Nya saw atas Kota Makkah, Beliau berdiri di hadapan manusia, maka Beliau memuji Allah dan mensucikan-Nya kemudian bersabda: Sesungguhnya Allah telah melarang menawan gajah di Makkah ini dan menyerahkan urusannya kepada Rasul-Nya saw dan Kaum Muminin, karena di tanah Makkah ini tidaklah dihalalkan bagi seorangpun sebelumku dan sesungguhnya pernah dihalalkan buatku pada suatu masa disuatu hari dan juga tidak dihalalkan bagi seseorang setelah aku. Maka tidak boleh diburu binatang buruannya, tidak boleh dipotong durinya, dan tidak boleh diambil barang temuan di sana kecuali untuk diumumkan dan dicari pemiliknya. Barangsiapa yang dibunuh maka keluarga korban memiliki dua pilihan apakah dia akan meminta tebusan uang atau meminta balasan dari keluarga korban. Maka berkatalah Al Abbas, Kecuali pohon Idzhir, karena pohon itu kami gunakan sebagai wewangian di kuburan kami dan di rumah kami. Maka bersabda, Ya, kecuali pohon Idzhir. Lalu berdiri Abu Syah, seorang penduduk Yaman dan berkata, Wahai Rasulullah, tuliskanlah buatku? Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata, Tuliskanlah buat Abu Syah. Berkata Al Walid bin Muslim, Aku bertanya kepada al-Awzaiy, Apa yang ia maksud dengan meminta tuliskanlah buatku wahai Rasulullah? Dia berkata, Isi khuthbah tadi yang dia dengar dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Secara dzahir hadis ini memang taarrudh (bertentangan). Namun bila saja dikaji sedikit lebih dalam, tentu tidak akan seperti itu kesimpulannya. Ini karena sebenarnya pada dasarnya menulis hadis itu boleh. Namun ketika penulisan hadits tersebut diprediksikan akan berdampak

13

negatif terhadap syari, maka penulisan tersebut dilarang. Dan ketika dengan menulis hadis itu dijadikan upaya pemeliharaan sunnah maka hukumnya bisa menjadi wajib. Adapun faktor-faktor utama dan terpenting yang menyebabkan Rasulullah SAW melarang penulisan dan pembukuan hadis adalah: a. Khawatir terjadi kekaburan antara ayat-ayat Al Qur-an dan hadis Rasul bagi para muallaf. b. Takut berpegangan atau cenderung menulis hadis tanpa diucapkan atau ditelaah. c. Khawatir orang-orang awam berpedoman pada hadis saja. Jadi, maksud dari larangan Rasul saw itu adalah menyatukan tulisan hadis dan al-Quran dalam satu catatan (sufah), supaya hadis itu tidak bercampur dengan ayat al-Quran, begitulah pengertian hadits-hadits tentang pelarangan tadi menurut teori tariqatul jami (mengambil jalan tengah). b. Priode Sahabat 1. Masa Pemerintahan Abu Bakar dan Umar ibn Khattab Setelah Rasulullah wafat, banyak sahabat yang berpindah ke kota-kota di luar Madinah. Sehingga memudahkan untuk percepatan penyebaran hadis. Namun, dengan semakin mudahnya para sahabat meriwayatkan hadis dirasa cukup membahayakan bagi otentisitas hadis tersebut. Maka Khalifah Abu Bakar menerapkan peraturan yang membatasi periwayatan hadis. Begitu juga dengan Khalifah Umar ibn al-Khattab. Dengan demikian periode tersebut disebut dengan masa pembatasan periwayatan hadis. Pembatasan tersebut dimaksudkan agar tidak banyak dari sahabat yang mempermudah penggunaan nama Rasulullah dalam berbagai urusan, meskipun jujur dan dalam permasalahan yang umum. Namun pembatasan tersebut tidak berarti bahwa kedua khalifah tersebut antiperiwayatan, hanya saja beliau sangat selektif terhadap periwayatan hadis. Segala periwayatan yang mengatasnamakan Rasulullah saw harus dengan mendatangkan saksi, seperti dalam permasalahan tentang waris yang diriwayatkan oleh Imam Malik. Abu Hurairoh, sahabat yang terbanyak meriwayatkan hadis, pernah ditanya oleh Abu Salamah, apakah ia banyak meriwayatkan hadis di masa Umar, lalu menjawab, Sekiranya aku meriwayatkan hadis di masa Umar seperti aku meriwayatkannya kepadamu (memperbanyaknya), niscaya Umar akan mencambukku dengan cambuknya. Riwayat Abu Hurairoh tersebut menunjukkan ketegasan Khalifah Saidina Umar dalam menerapkan peraturan pembatasan riwayat hadis pada masa pemerintahannya. Namun di sisi lain, Umar ibn Khattab bukanlah orang yang anti periwayatan hadis. Umar mengutus para ulama untuk menyebarkan al-Quran dan hadis. Dalam sebuah riwayat, Umar berkata, Saya tidak mengangkat penguasa daerah untuk memaki orang, memukul, apalagi merampas harta kalian. Tetapi saya mengangkat mereka untuk mengajarkan al-Quran dan hadis kepada kamu semua. 2. Masa Pemerintahan Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib Secara umum, kebijakan pemerintahan Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib tentang periwayatan tidak berbeda dengan apa yang telah ditempuh oleh kedua khlaifah sebelumnya. Namun, langkah yang diterapkan tidaklah setegas langkah khalifah Umar bin al-Khottob. Dalam sebuah kesempatan, Utsman meminta para sahabat agar tidak meriwayatkan hadis yang tidak mereka dengar pada zaman Abu Bakar dan Umar RA. Namun pada dasarnya, periwayatan Hadis pada masa pemerintahan ini lebih banyak daripada pemerintahan sebelumnya. Sehingga masa ini disebut dengan masa melimpahnya periwayatan hadits ( ) . Keleluasaan periwayatan hadis tersebut juga disebabkan oleh karakteristik pribadi Utsman yang lebih lunak jika dibandingkan dengan Umar Selain itu, wilayah kekuasaan Islam yang semakin luas juga menyulitkan pemerintah untuk mengontrol pembatasan riwayat secara maksimal.
14

Sedangkan pada masa Ali ibn Abi Thalib Ra, situasi pemerintahan Islam telah berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Masa itu merupakan masa krisis dan fitnah dalam masyarakat. Terjadinya peperangan antar beberapa kelompok kepentingan politik juga mewarnai pemerintahan Ali. Secara tidak langsung, hal itu membawa dampak negatif dalam periwayatan hadis. Kepentingan politik telah mendorong pihak-pihak tertentu melakukan pemalsuan hadis. Dengan demikian, tidak seluruh periwayat hadis dapat dipercaya riwayatnya. c. Priode Tabiin Masa Penyebarluasan Hadis Sesudah masa Khulafa Al Rasyidin, timbullah usaha yang lebih sungguh untuk mencari dan meriwayatkan hadis. Bahkan tatacara periwayatan hadis pun sudah dibakukan. Pembakuan tatacara periwayatan hadis ini berkaitan erat dengan upaya ulama untuk menyelamatkan hadis dari usaha-usaha pemalsuan hadis. Kegiatan periwayatan hadis pada masa itu lebih luas dan banyak dibandingkan dengan periwayatan pada periode Khulafa Al Rasyidin. Kalangan Tabiin telah semakin banyak yang aktif meriwayatkan hadis. Meskipun masih banyak periwayat hadis yang berhati-hati dalam meriwayatkan hadis, kehatihatian pada masa itu sudah bukan lagi menjadi ciri khas yang paling menonjol. Karena meskipun pembakuan tatacara periwayatan telah ditetapkan, luasnya wilayah Islam dan kepentingan golongan memicu munculnya hadis-hadis palsu. Sejak timbul fitnah pada akhir masa Utsman, umat Islam terpecah-pecah dan masing-masing lebih mengunggulkan golongannya. Pemalsuan hadits mencapai puncaknya pada periode ketiga, yakni pada masa pemerintahan kekhalifahan Daulah Umayyah. Seorang ulama Syiah, Ibnu Abil Hadid menulis dalam kitab Najhu Al Balaghah, Ketahuilah bahwa asal mulanya timbul hadis yang mengutamakan pribadi-pribadi (hadis palsu) adalah dari golongan Syiah sendiri. Perbuatan mereka itu ditandingi oleh golongan Sunnah (Jumhur/Pemerintah) yang bodoh-bodoh. Mereka juga membuat hadis-hadis untuk mengimbangi hadits golongan Syiah itu. Karena banyaknya hadits palsu yang beredar di masyarakat dikeluarkan oleh golongan Syiah, Imam Malik Ra menamai kota Irak (pusat kaum Syiah) sebagai negeri percetakan. Bahkan al-Zuhri berkata, Hadits keluar dari kita sejengkal, lalu kembali dari Irak sehasta. Pada intinya, penyebaran hadis makin meluas. Akan tetapi dikarenakan adanya beberapa konflik yang terjadi di kalangan umat muslim pada waktu itu, hingga mulai muncullah hadis-hadis palsu, yang diawali dari periode Utsman hingga mencapai puncak di masa Umayyah. Namun, para ulama pun tidak tinggal diam saja. Mereka terus mencurahkan kemampuan dan usaha mereka demi menjagasunnah Rasulullah saw. E. Sejarah Perkembangan Hadits Masa Kodifikasi a. Abad ke II dan III Abad II Perkembangan hadith pada periode ini, hadith-hadith Nabi SAW mulai ditulis dan dikumpulkan secara rasmi pada masa khalifah Umar Bin Abdul Aziz yang dinobatkan akhir abad pertama hijrah dengan datangnya angin segar yang mendukung kelestarian hadith. Umar bin Abdul Aziz adalah seorang khalifah dari bani Umayyah yang terkenal dengan adil dan wara. Dengan ini, beliau merasakan amat perlu untuk mengambil langkah-langkah bagi penghimpunan dan penulisan hadith Nabi secara rasmi, yang selama ini berserakan maupun bertaburan di dalam catatan dan hafalan para sahabat serta tabiin.1
1

Nawir Yuslem, Ulumul Hadith, Cet I, (Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya, 2001), hal: 126

15

Oleh yang demikian, beliau sangat waspada dan sadar, bahwa para perawi yang mengumpulkan hadith dalam ingatannya semakin lama semakin sedikit jumlahnya, karena kebanyakannya sebagian besar telah meninggal dunia akibat faktor usia dan akibat banyaknya terjadi peperangan. Kemudian pada masa itu beliau khawatir karena, apabila tidak segera dikumpulkan dan dibukukan hadith-hadith tersebut, kemungkinan hadith-hadith itu akan lenyap bersama lenyapnya para penghafal pada ketika itu. Dengan ini, maka tergeraklah dalam hati beliau untuk mengumpulkan hadith-hadith Nabi dari para penghafal yang masih hidup pada ketika itu. Selanjutnya, pada tahun 100 H khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan kepada gubernur madinah yakni Abu Bakar bin Muhammad bin Amer bin Hazm supaya membukukan hadith-hadith Nabi yang terdapat pada para penghafal. Kemudian selain dari gubernur madinah beliau juga menulis surat kepada gubernur lain agar mengusahakan pembukuan hadith tersebut.2 Faktor-faktor yang mendorong pengumpulan dan pengkodifikasian hadith Disini terdapat beberapa faktor yang mendorong Umar bin Abdul Aziz untuk mengambil inisiatif memerintahkan para gubernur dan pembantunya untuk mengumpulkan dan menuliskan hadith, diantaranya adalah seperti berikut: 1. Tidak adanya lagi penghalang untuk menuliskan dan membukukan hadith, yakni kekhawatiran bercampur aduknya Hadith dengan Al-Quran, karena Al-Quran pada ketika itu telah dibukukan dan disebarluaskan. 2. Munculnya kekhatiran akan hilang serta lenyapnya Hadith, karena banyaknya para sahabat yang meninggal dunia serta terjadinya peperangan pada ketika itu. 3. Semakin maraknya kegiatan pemalsuan Hadith yang dilatarbelakangi oleh perpecahan politik dan perbedaan mazhab dikalangan umat islam. Keadaan ini apabila dibiarkan terus ianya akan merosak kemurnian ajaran islam. 4. Karena telah semakin luasnya daerah kekuasaan islam disertai dengan semakin banyak dan kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh umat islam, maka hal tersebut menuntut mereka untuk mendapatkan petunjuk dari Hadith Nabi SAW selain petunjuk dari Al-Quran.3 Pelaksanaan Kodifikasi Hadith Atas Perintah Umar ibn Abdul Aziz Meskipun Umar ibn Abdul Aziz, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ajjaj Al-Khatib, telah lebih dahulu memprakarsai pengumpulan hadis, namun karena kedudukannya hanya sebagai seorang gubernur, maka jangkauan perintahnya untuk mengumpulkan hadis kepada aparatnya terbatas sekali. Demikian juga para ulama ketika itu adalah Umar ibn Abdul Aziz yang memprakarsai pengumpulan hadis secara rasmi dan dalam jangkauan yang lebih luas. Hal tersebut dikarenakan posisinya sebagai khalifah dapat memerintahkan kepada para gurbenurnya untuk melaksanakan tugas pengumpulan dan pengkodifikasian hadis. Abu Bakar Muhammad ibn Amr ibn Hazm adalah gubernur di Madinah, beliau adalah diantara gubernur yang menerima instruksi Umar ibn Abdul Aziz untuk mengumpulkan hadis. Dalam instrusinya, Umar memerintahkan ibn Hazm untuk menuliskan dan mengumpulkan hadis yang berasal dari: koleksi Ibn Hazm sendiri, Amrah binti Abd Al-Rahman beliau adalah seorang faqih dan muridnya Sayyidah Aisyah r.a dan Al-Qasim ibn Muhammad ibn Abu Bakar Al-Siddiq yakni seorang pemuka Tabiin dan salah seorang dari fuqaha yang tujuh.

H. Muhammad Ahmad, M. Mudzakir, Ulumul Hadith, Cet III, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hal: 32-33 Nawir Yuslem, Ulumul Hadith, hal: 126

16

Ibn Hazm melaksanakan tugas tersebut dengan baik dan tugas yang serupa juga dilaksanakan oleh Muhammad ibn Syihab Al-Zuhri yakni seorang ulama besar di Hijaz dan Syam. Dengan demikian, kedua ulama ini yang merupakan pelopor dalam kodifikasi hadis berdasarkan perintah khalifah Umar ibn Abdul Aziz. Dari kedua tokoh di atas ini, para ulama hadis lebih cenderung memilih Al-Zuhri sebagai kodifikator pertama dari pada ibn Hazm. Hal ini karena kelebihan Al-Zuhri dalam hal berikut: a) Al-Zuhri dikenal sebagai ulama besar di bidang hadis b) Beliau berhasil menghimpun seluruh hadis yang ada di madinah sedangkan ibn Hazm tidak demikian. c) Hasil kodifikasinya dikirimkan ke seluruh penguasa di daerah-daerah . Setelah masa ibn Hazm dan Al-Zuhri, muncullah para ulama hadis yang berperan dalam menghimpun dan menuliskan hadis di beberapa kota yang telah dikuasai Islam seperti: Abd Malik ibn Abd al-Aziz ibn Juraij al-Bashri (Mekah), Malik ibn Anas dan Muhammad ibn Ishaq (Madinah), Al-Rabiibn Shabih, Said ibn Abi Arubah dan Hamdan ibn Salamah Bashrah, Sufyan Al-Tsauri (Kuffah), Khalid ibn Jamil al-Abdi dan Mamar ibn Rasyid (Yaman), Abd alRahman ibn Amr Al-Auzai (Syam), Abd Allah ibn al-Mubarak Khurasan, Hasyim ibn Basyir (Wasith), Jarir ibn Abd al-Hamid (Rei) dan Abd Allah ibn Wahab (Mesir).4 Pergolakan Politik dan Pemalsuan Hadith Pada abad ke-2 ini, timbulnya pemalsuan hadith secara meluas dengan munculnya propaganda-propaganda politik untuk menumbangkan rezim Bani umayyah. Sebagai imbangan, muncul pula dari pihak muawiyah ahli-ahli pemalsu hadith untuk membendung arus propaganda yang dilakukan oleh golongan oposisi. Selain itu, muncul juga golongan zindiq, yakni tukang kisah yang berupaya untuk menarik minat masyarakat agar mendengarkannya dengan membuat kisah-kisah palsu.5 Menurut imam Malik ada empat jenis orang yang hadithnya tidak boleh diambil darinya yaitu; 1. Orang yang kurang akal 2. Orang yang mengikuti hawa nafsunya yang mengajak masyarakat untuk mengikutinya. 3. Orang yang berdusta dalam pembicaraannya walaupun dia tidak berdusta kepada Rasul 4. Orang yang tampaknya shaleh dan beribadah apabila orang itu tidak mengetahui nilai-nilai hadith yang diriwayatkannya Untuk itu, sebagian ulama mempelajari dan meneliti keadaan perawi-perawi hadith yang dalam masa itu banyak terdapat perawi yang lemah. Hal ini dilakukan untuk mengetahui mana yang benar-benar dapat diterima periwayatannya dan mana yang tidak dapat diterima.6 Abad III Periode ini berlangsung sejak masa pemerintah Khalifah Al-Mamun sampai pada awal pemerintahan Khalifah Al-Muqtadir dari kekhalifan Dinasti Abbasiyah.7 Dalam abad 3 hijrah ini usaha pembukuan hadith memuncak.
4

Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, Cet I, (Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya, 2001), hal: 128-130

Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadith, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), hal: 57 6 H. Muhammad Ahmad, M. Mudzakir, Ulumul Hadith, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hal: 35
7

Nawir Yuslem, Ulumul Hadith, (Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya, 2001), Cet I, hal: 133

17

Sesudah kitab-kitab Ibnu Juraij dan Al-Muwaththa karya Imam Malik Ra tersebar dalam masyarakat serta disambut dengan gembira, maka timbullah kemauan menghafal hadith, mengumpulkan dan membukukannya, mulailah ahli-ahli ilmu berpindah dari suatu tempat ke tempat lain serta dari sebuah negeri ke negeri lain untuk mencari hadith. Hal ini kian hari kian bertambah maju.8 Selain itu, pada abad ini merupakan zaman yang paling sukses dalam pembukuan hadith, sebab pada masa ini Ulama Hadith telah berhasil memisahkan Hadits Rasulullah SAW dari yang bukan hadith atau dari Hadith Nabi dari perkataan sahabat dan fatwanya dan telah berhasil pula mengadakan filterisasi (penyaringan) yang sangat teliti apa saja yang dikatakan Nabi, sehingga telah dapat dipisahkan mana hadits yang shahih dan mana yang bukan shahih. Seolah-olah pada abad ini hampir seluruh hadits telah terhimpun ke dalam buku, hanya sebagian kecil saja dari hadits yang belum terhimpun. Dan yang pertama kali berhasil membukukan hadits shahih saja adalah Al-Bukhari kemudian disusul Imam Muslim. Oleh itu, pada periode ini disebut masa kodifikasi dan filterisasi.9 Pada periode ini para ulama bersungguh-sungguh mengadakan penyaringan Hadith, melalui kaidah-kaidah yang ditetapkan, mereka berhasil memisahkan hadith-hadith yang dhaif dari yang shahih, dan hadith-hadith yang mauquf dan maqthu' dari yang marfu', meskipun berdasarkan penelitian masih ditemukan beberapa hadits dhaif yang terselip di kitab hadits shahih mereka. 10 Maka dengan itu lahirlah kitab-kitab yang dikenal dengan "Al-Kutubu alSittah" yaitu: 1. Shahih al-bukhari atau Al-Jami Al-Shahih. Karya Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim Al-Jafi Al-Bukhari (194-256 H). 2. Shahih Al-Muslim atau Al-Jami Al-Shahih. Karya Abu Husin Muslim bin Hajjaj AlQusyairy An- Naisabury (204-261 H). 3. Sunan Abu Dawud. Karangan Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy'as bin Ishaq Al-Sajastani (202-275 H). 4. Sunan Al-Tirmidzi. Karangan Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah Al-Tirmidzi (209279 H). 5. Sunan Nasa'i, karangan Abu Abdul Rahman bin Syuib bin Ali Al-Khursani Al-Nasaiy (215-303 H). 6. Sunan Ibnu Majah, karangan Abu Abdullah Muhammad bin Yazid Ibnu Majah AlQuzuni (209-273 H).11 Perkembangan pembukuan hadits pada periode tabiin ada 3 bentuk, yaitu sebagai berikut: 1. Kitab Shahih. Kitab ini hanya menghimpun Hadith-hadith Shahih, sedangkan yang tidak Shahih tidak dimasukkan ke dalamnya. Bentuk penyusunannya adalah berbentuk mushannaf, yaitu penyajian berdasarkan bab masalah tertentu sebagaimana metodemetode Kitab-kitab Fiqh. Hadith-hadith yang dihimpun adalah menyangkut masalah Fiqh, Aqidah, Sejarah, Sifat-sifat Akhlak, Adab Makan Minum, Perbudakan (Riqaq), Fitnah dan Tafsir. Contoh kitab Shahih adalah Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.

Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadith, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), hal: 60 9 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadith, (Jakarta: Amzah, 2009), Cet II, hal: 56-57 10 Mudasir, Ilmu Hadith, (Surabaya: Pustaka Setia, 2005), hal: 109 11 Sufyan Ahmad, Nazri Abd Rahman, Amir Husain, Pendidikan Al-Quran dan As-Sunnah Tingkatan 5, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2008), Cet 8, hal: 150-153.

18

2. Kitab Musnad, menghimpun semua hadith dari tiap-tiap sahabat tanpa memperhatikan masalah atau topiknya, tidak perbab seperti Fiqih dan kualitasnya ada yang shahih, hasan dan dhaif. Misalnya musnad Imam Ahmad bin Hambal (164-241 H). 3. Kitab Sunan, teknik penghimpunan hadits secara bab seperti Fiqih, setiap bab memuat beberapa hadits dalam satu topik, seperti Sunan An-Nasai, Sunan Ibn Majah, dan sunan Abu Dawud. Di dalam kitab ini ada yang shahih, hasan, dhaif akan tetapi tidak terlalu dhaif seperti hadits Munkar.12 Dalam pada itu juga, pada periode ini telah dilakukan pengklafikasian hadith oleh golongan ulama bagi memudahkan umat Islam membedakan hadits, baik shahih maupun daif serta maudunya sesuatu hadith. Oleh itu bisa dikatakan bahwa pada periode ini penyempurnaan pengkodifikasian hadith nabi telah terlaksana dengan sebaik-baiknya. Selanjutnya, pada periode berikutnya pekembangan hadith berkembang dengan pesat dengan ramainya ulama berkeinginan untuk membukukan hadith Rasulullah saw. b. Abad ke IV dan V Abad IV Pada tiga abad sebelumnya, Al-Hadith melalui masa periwayatan, penulisan (Tadwin AlHadith), dan penyaringan dari fatwa-fatwa sahabat dan tabiin. Dan hasil dari titik peluh generasi abad pertama sehingga ketiga (Mutaqaddimin), Al-Hadith mengalami target baru, yakni dihafal dan diselidiki sanadnya oleh golongan ulama abad keempat dan seterusnya (Muta-akhkhirin). Mereka berlomba lomba untuk menghafal sebanyak mungkin hadith bahkan tidak mustahil, pada ketika itu ada yang menghafal sehingga beratus ratus ribu hadis. Sejak periode inilah dikenal gelaran Al-Hakim, Al-Hafidh, dan lain lain. Periode ini dimulai pada masa Khalifah Al-Muqtadir sampai Khalifah Al-Mutashim. Pada periode ini kuasa Islam mulai melemah dan seterusnya mengalami keruntuhan pada pertengahan abad ke-7 karena serangan Hulagu Khan, cucu dari Gengis Khan. Walaubagaimanapun, kegiatan para ulama dalam memelihara dan mengembangkan hadith tetap berlangsung seperti abadabad sebelumnya, tetapi tidaklah sebanyak yang dihimpun oleh periode periode sebelumnya.13 Pada abad ini, metode penyusunan berlainan dengan yang dilakukan oleh para mutaqaddimin. Jika para mutaqaddimin bertemu langsung dengan sahabat atau tabiin, maka para muta-akhkhirin menyusun kitab kitab hadith dengan hanya menukil dari kitab ulama ulama mutaqaddimin. Para ulama hadith periode ini memperkenalkan sistem baru dalam penyusunan hadith, yaitu14: 1. Kitab Athraf: kitab ini penyusunnya hanya menyebutkan sebagian dari matan. Hadith tertentu kemudian menjelaskan seluruh sanad dari matan itu, baik sanad yang berasal dari kitab hadith yang dikutip matannya atau dari kitab kitab lainnya. Antaranya Athraf al-Shahihaini(Ibrahim al-Dimasyqi/w. 400 H), Athraf al-Shahihaini(Abu Muhammad Khalaf ibn Muhammad al-Wasithi/w. 401 H). 2. Kitab Mustakhraj: kitab ini memuat matan hadith yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, atau keduanya, atau lainnya, selanjutnya penyusun kitab ini meriwayatkan matan hadith tersebut dengan sanadnya sendiri. Antaranya Mustakhraj Shahih Bukhari(Jurjani), Mustakhraj Shahihi Muslim(Abu Awanah/w. 316 H), Mustakhraj Bukhari-Muslim(Abu Bakar ibn Abdan al-Sirazi/w. 388 H).
12 13

Nawir Yuslem, Ulumul Hadith, (Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya, 2001), Cet I, hal: 136-137. Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, Cet I, (Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 2001), hal. 138 14 Nawir Yuslem, Ulumul Hadis,hal. 139 140

19

3. Kitab Mustadrak: kitab yang menghimpun hadith hadith yang memiliki syarat syarat Bukhari dan Muslim atau memiliki syarat salah satu dari keduanya. Antaranya Al-Mustadrak (Al-Hakim/321 - 405 H) Antara kitab kitab15 lain yang masyhur pada abad 4: 1. Mujamul Kabir, Mujamul Ausath, Mujamush Shaghir, tiga hasil buah tangan Imam Sulaiman bin Ahmad At-Thabarany (360 H). 2. Sunan Ad-Daruquthny, karya Imam Abdul Hasan Ali bin Umar bin Ahmad Ad Daruquthny (306 385 H). 3. Shahih Abi Auwanah, karya Abu Auwanah Yaqub bin Ishaq bin Ibrahim AlAsfarayiny (354 H). 4. Shahih Ibnu Khuzaimah, karya Ibnu Khuzaimah Muhammad bin Ishaq (316 H). Abad V Pada abad kelima, tumpuan ulama lebih menjurus kepada proses pengklasifikasian hadith dan dengan menghimpun hadith hadith tersebut di dalam satu kitab yang sama. Selain itu, ulama pada masa tersebut juga meletakkan perhatian mereka untuk men-syarah-kan kitab hadith dan meng-ikhtisar-kan hadith yang telah disusun oleh ulama yang mendahuluinya. Dengan itu, lahirlah kitab kitab hadith hukum, seperti: 1. Sunan Al-Kubra, karya Abu Bakar Ahmad bin Husain Ali Al-Baihaqy (384 458 H)16. 2. Kitab Al-Jami baina Rijal As-Shahihain, karya Abu Al-Fadhl Muhammad bin Thahir AlMaqdisy (507 H)17. Selanjutnya bangkit ulama hadis berusaha menhasilkan kamus hadis untuk mencari pentakhrij suatu hadis untuk mengetahui dari kitab hadis apa suatu hadis didapatkan. Misalnya18: 1. Al-Jamiush Shaghir fi ahaditsil basyirin nadzir, karya As-Suyuthi (849 911 H) yang mengumpulkan hadis yang terdapat dalam kitab yang Enam, dan disusun secara alfabetis. 2. Dakha-irul Mawarits fi dalalati ala maudhiil ahadits, karya Al-Allamah As-Sayyid Abdul Ghani Al-Maqdisy An-Nabulisy. Terkumpul kitab Athraf 7 (Shahih BukharyMuslim, Sunan empat, dan Muwaththa. 3. Al-Mujamul Mufahras lil Alfadhil hadistin Nabawy, karya Dr. A.J. Winsinc dan Dr. J.F. Mensing, dosen bahasa Arab di Universitas Leiden, Netherland. Mengandungi hadishadis kitab Enam, Musnad Ad-Darimy, Muwaththa Imam Malik dan Musnad Imam Ahmad. Dicetak di Leiden pada 1936 M. 4. Miftah Kunuzi Sunnah, karya Dr. Winsinc, disalin dalam bahasa Arab oleh Ustadz Muhammad Fuad Abdul Baqi dan dicetak di Mesir pada tahun 1934 M (cetakan pertama). Periode-Periode Perkembangan Hadits Masa Pertama, masa wahyu dan pembentukan hukum serta dasar-dasarnya dari permulaan Nabi bangkit (baats, diangkat sebagai Rasul). Hingga beliau wafat pada tahun 11 H. Masa Kedua, masa membatasi riwayat, masa Khulafa Rasyidin (12 H 40 H). Masa Ketiga: Masa berkembang riwayat dan perlawatan dari kota ke kota untuk mencari hadits, yaitu masa sahabat kecil dan tabiin besar (41H akhir abad pertama H). Masa Keempat, masa pembukuan hadits (dari permulaan abad ke 2 H hingga akhir). Masa Kelima, masa mentashhihkan hadits dan menyaringnya (awal abad ke 3 hingga akhir).
15 16

Fatchur Rahman, Ikhtishar Mushthalahul Hadits, Cet I, (Bandung: PT Almaarif, 1974), hal. 59 Fatchur Rahman, Ikhtishar Mushthalahul Hadits,hal. 59 17 Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Cet I, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), hal. 93 18 Fatchur Rahman, Ikhtishar Mushthalahul Hadits,hal. 60

20

Masa Keenam, masa menapis kitab-kitab hadits dan menyusun kitab-kitab Jami yang khusus (dari awal abad ke 4 H hingga jatuh Baghdad tahun 656 H). Masa Ketujuh, membuat syarah hadits, membuat kitab-kitab takhrij, mengumpulkan haditshadits hukum dan membuat kitab-kitab Jami yang umum serta membahas hadits-hadits zawaid (656 H. hingga dewasa ini).

21

Anda mungkin juga menyukai