Yakni bidah yang tidak memiliki indikasi dari syari baik dari Kitabullah, dari Sunnah dan Ijma. Dan juga tidak ada dalil yang digunakan oleh para ulama baik secara global maupun rinci. Oleh sebab itu, disebut sebagai bidah karena ia merupakan hal yang dibuat-buat dalam perkara agama tanpa contoh sebelumnya[2]. Di antara contohnya adalah bidahnya perkataan Jahmiyah yang menafikan Sifat -Sifat Allah, bidahnya Qadariyah, bidahnya Murjiah dan lainnya yang mereka mengatakan apa-apa yang tidak dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan para Shahabatnya Contoh lain adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan hidup kependetaan (seperti pendeta) dan mengadakan perayaan maulid Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, Isra Miraj dan lainnya. [2]. Bidah Idhafiyah. Adapun bidah Idhafiyah adalah bidah yang mempunyai dua sisi. Pertama, terdapat hubungannya dengan dalil. Maka dari sisi ini dia bukan bidah. Kedua, tidak ada hubungannya sama-sekali dengan dalil melainkan seperti apa yang terdapat dalam bidah haqiqiyah. Artinya ditinjau dari satu sisi ia adalah Sunnah karena bersandar kepada Sunnah, namun ditinjau dari sisi lain ia adalah bidah karena hanya berlandaskan syubhat bukan dalil. Adapun perbedaan atara keduanya dari sisi makna adalah bahwa dari sisi asalnya terdapat dalil padanya. Tetapi jika dilihat dari sisi cara, sifat, kondisi pelaksanaannya atau perinciannya, tidak ada dalil sama sekali, padahal kala itu ia membutuhkan dalil. Bidah semacam itu kebanyakan terjadi dalam ibadah dan bukan kebiasaan semata. Atas dasar ini, maka bidah Haqiqi lebih besar dosanya karena dilakukan langsung oleh pelakunya tanpa perantara, sebagai pelang-garan murni dan keluar dari syariat sangat jelas, seperti ucapan kaum Qadariyah yang menyatakan baik dan buruk menurut akal, mengingkari hadits ahad sebagai hujjah[3], mengingkari adanya Ijma, mengingkari haramnya khamer, mengatakan bahwa para Imam adalah mashum[4] (terpelihara dari dosa) dan hal-hal lain yang seperti itu[5]. Dikatakan bidah Idhofiyah artinya bahwa bidah bila ditinjau dari satu sisi disyariatkan tapi dari sisi lain ia hanya pendapat belaka. Sebab dari sisi orang yang membuat bidah itu dalam sebagian kondisinya masuk dalam kategori pendapat pribadi dan tidak di-dukung oleh dalil-dalil dari setiap sisi[6]. [C]. HUKUM BIDAH DALAM AGAMA ISLAM. Sesungguhnya agama Islam sudah sempurna dengan wafatnya Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Allah Suabhnahu wa Taala berfirman:
Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu. [Al-Maaidah: 3] Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah menyampaikan semua risalah, tidak ada satupun yang ditinggalkan. Beliau Shallallahu alaihi wa sallam telah menunaikan amanah dan menasehati umatnya. Kewajiban seluruh umat mengikuti petunjuk Nabi Muhammad Alaihi Shallatu wa sallam, karena sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan. Wajib bagi seluruh ummat untuk mengikuti beliau Shallallahu alaihi wa sallam dan tidak berbuat bidah serta tidak mengadakan perkara-perkara yang baru karena setiap yang baru dalam agama adalah bidah dan setiap yang bidah adalah sesat. Tidak diragukan lagi bahwa setiap bidah dalam agama adalah sesat dan haram, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam Artinya : Hati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara yang baru. Setiap perkara-perkara yang baru adalah bidah, dan setiap bidah adalah sesat.[7] Demikian juga sabda beliau Shallallahu alaihi wa sallam Artinya :Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan (agama) kami ini, sesuatu yang bukan bagian darinya, maka ia tertolak[8] Kedua hadits di atas menunjukkan bahwa perkara baru yang dibuat-buat dalam agama ini adalah bidah, dan setiap bidah itu sesat dan tertolak. Bidah dalam agama itu diharamkan. Namun tingkat keharamannya berbeda-beda tergantung jenis bidah itu sendiri. Ada bidah yang menyebabkan kekufuran (Bidah Kufriyah), seperti berthawaf keliling kuburan untuk mendekatkan diri kepada para penghuninya, mempersembahkan sembelihan dan nadzar kepada kuburan-kuburan itu, berdoa kepada mereka, meminta keselamatan kepada mereka, demikian juga pendapat kalangan Jahmiyah, Mutazilah dan Rafidhah. Ada juga bidah yang menjadi sarana kemusyrikan, seperti mendirikan bangunan di atas kuburan, shalat dan berdoa di atas kuburan dan mengkhususkan ibadah di sisi kubur. Ada juga perbuatan bidah yang bernilai kemaksiyatan, seperti bidah membujang -yakni menghindari pernikahan- puasa sambil berdiri di terik panas matahari, mengebiri kemaluan dengan niat menahan syahwat dan lain-lain[9] Ahlus Sunnah telah sepakat tentang wajibnya mengikuti al-Qur-an dan as-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih, yaitu tiga generasi yang terbaik (Shahabat, Tabiin, Tabiut Tabiin) yang disaksikan oleh Nabi j bahwa mereka adalah sebaik-baik manusia. Mereka juga sepakat tentang keharamannya bidah dan setiap bidah adalah sesat dan kebinasaan, tidak ada bidah yang hasanah. Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma berkata:
Artinya : Setiap bidah adalah sesat, meskipun manusia memandang baik. [10] Imam Sufyan ats-Tsaury Rahimahullah (wafat th. 61 H)[11] berkata: Artinya : Perbuatan bidah lebih dicintai oleh iblis daripada kemaksiyatan dan pelaku kemaksiyatan masih mungkin dia untuk bertobat dari kemaksiyatannya sedangkan pelaku kebidahan sulit untuk bertaubat dari kebidahannya. [12] Imam al-Barbahary Rahimahullah berkata: Jauhilah setiap perkara bidah sekecil apapun, karena bidah yang kecil lambat laun akan menjadi besar. Demikian pula kebidahan yang terjadi pada ummat ini berasal dari perkara kecil dan remeh yang mirip kebenaran sehingga banyak orang terpedaya dan terkecoh, lalu mengikat hati mereka sehingga susah untuk keluar dari jeratannya dan akhirnya mendarah daging lalu diyakini sebagai agama. Tanpa disadari, pelanpelan mereka menyelisihi jalan lurus dan keluar dari Islam.[13] [Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M]