1909 Chapter II
1909 Chapter II
2.1.
TINJAUAN UMUM Studi pustaka merupakan suatu pembahasan materi berdasarkan sumber dari
referensi-referensi yang telah dipergunakan dengan tujuan untuk memperkuat isi materi maupun sebagai dasar untuk perhitungan perencanaan dalam laporan tugas akhir ini. Pada tahap perencanaan pangkalan pendaratan ikan ini, perlu dilakukan studi pustaka untuk mengetahui gambaran perencanaan dan perhitungan yang dipakai untuk merencanakan dermaga, alur pelayaran, kolam pelabuhan, jetty dan fender, di samping itu juga untuk mengetahui dasar-dasar teorinya. Pada perencanaan tersebut digunakan beberapa metode dan perhitungan yang bersumber dari beberapa referensi yang terkait dengan jenis proyek ini dan didasarkan pada kondisi riil di lapangan. Dasar-dasar perencanaan dibutuhkan juga untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perencanaan tersebut, masalah-masalah yang akan dihadapi dan cara penyelesaiannya. Untuk mendapatkan hasil yang terbaik dalam pelaksanaan suatu pekerjaan dituntut adanya perencanaan yang matang dengan dasar-dasar perencanaan yang baik.
2.2.
KAWASAN PANTAI Dalam Triatmodjo (1999) ada dua istilah tentang kepantaian yaitu pesisir
2.2.1. Definisi Pantai (coast) dan pantai (shore). Berdasarkan pada gambar 2.1 dapat dijelaskan mengenai beberapa definisi tentang kepantaian.
Muka air tinggi Sempadan Pantai Pesisir Daratan Pantai Perairan pantai Laut Muka air rendah
1. Pesisir adalah daerah darat di tepi laut yang masih mendapat pengaruh laut, seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air laut. 2. Pantai adalah daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan air surut terendah. 3. Daratan adalah daerah yang terletak di atas dan di bawah permukaan daratan dimulai dari batas garis pasang tertinggi. 4. Lautan adalah daerah yang terletak di atas dan di bawah permukaan laut dimulai dari sisi laut pada garis surut terendah, termasuk dasar laut dan bagian bumi di bawahnya. 5. Garis pantai adalah garis batas pertemuan antara daratan dan air laut, dimana posisinya tidak tetap dan dapat berpindah sesuai dengan pasang surut air laut dan erosi pantai yang terjadi. 6. Sempadan pantai adalah kawasan tertentu sepanjang pantai yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi pantai. Kriteria sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya sesuai dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 m dari titik pasang tertinggi ke arah daratan. Selain definisi di atas, beberapa definisi yang berkaitan dengan karakteristik gelombang di daerah sekitar pantai juga perlu diketahui. Gelombang yang merambat dari laut dalam menuju pantai mengalami perubahan bentuk karena pengaruh perubahan kedalaman laut. Berkurangnya kedalaman laut menyebabkan semakin berkurangnya panjang gelombang dan bertambahnya tinggi gelombang. Pada saat kemiringan gelombang (perbandingan antara tinggi dan panjang gelombang)
mencapai batas maksimum, gelombang akan pecah. Untuk penjelasan lebih lanjut dapat dilihat pada gambar 2.2 di bawah ini.
Nearshore zone Swash zone
Surf zone
Breaker zone
Breaker
Muka air surut
Gambar 2.2. Bagian - bagian pantai 1. Garis gelombang pecah merupakan batas perubahan perilaku gelombang dan juga transpor sedimen pantai. 2. Offshore adalah daerah dari garis gelombang pecah ke arah laut. 3. Breaker zone (daerah gelombang pecah) adalah daerah di mana gelombang yang datang dari laut (lepas pantai) mencapai ketidak-stabilan dan akhirnya pecah. 4. Surf zone adalah daerah yang terbentang antara bagian dalam dari gelombang pecah dan batas naik-turunnya gelombang di pantai. 5. Swash zone adalah daerah yang dibatasi oleh garis batas tertinggi naiknya gelombang dan batas terendah turunya gelombang di pantai. 6. Inshore adalah daerah yang membentang ke arah laut dari foreshore sampai tepat di luar breaker zone. 7. Longshore bar yaitu gumuk pasir yang memanjang dan kira-kira sejajar dengan garis pantai. Longshore bar terbentuk karena proses gelombang pecah di daerah inshore. 8. Foreshore adalah daerah yang terbentang dari garis pantai pada saat muka air rendah sampai batas atas dari uprush pada saat air pasang tinggi. 9. Backshore adalah daerah yang dibatasi oleh foreshore dan garis pantai yang terbentuk pada saat terjadi gelombang badai bersamaan dengan muka air tinggi.
2.3.
PELABUHAN PERIKANAN
2.3.1. Definisi Pelabuhan Perikanan a. Menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No :
KEP.10/MEN/2004 Tentang Pelabuhan Perikanan Pelabuhan perikanan adalah tempat yang terdiri dari daratan dan perairan disekitarnya dan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang dipergunakan sebagai tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh dan/atau bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan perikanan. b. Menurut Direktorat Jenderal Perikanan dan Departemen Pertanian (1981) Pelabuhan perikanan adalah pelabuhan yang secara khusus menampung kegiatan masyarakat perikanan baik dilihat dari aspek produksi, pengolahan maupun aspek pemasarannya. c. Menurut Departemen Pertanian dan Departemen Perhubungan (1996) Pelabuhan Perikanan adalah sebagai tempat pelayanan umum bagi masyarakat nelayan dan usaha perikanan, sebagai pusat pembinaan dan peningkatan kegiatan ekonomi perikanan yang dilengkapi dengan fasilitas di darat dan di perairan sekitarnya untuk digunakan sebagai pangkalan operasional tempat berlabuh, bertambat, mendaratkan hasil, penanganan, pengolahan, distribusi dan pemasaran hasil perikanan.
2.3.2. Klasifikasi Pelabuhan Perikanan Dalam Murdiyanto (2004), klasifikasi besar-kecil usahanya pelabuhan perikanan dibedakan menjadi tiga tipe pelabuhan, yaitu : 1. Pelabuhan Perikanan Tipe A (Pelabuhan Perikanan Samudera) Pelabuhan perikanan tipe ini adalah pelabuhan perikanan yang diperuntukkan terutama bagi kapal-kapal perikanan yang beroperasi di perairan samudera yang lazim digolongkan ke dalam armada perikanan jarak jauh sampai ke perairan ZEEI (Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia) dan perairan internasional, mempunyai perlengkapan untuk menangani (handling) dan mengolah sumber daya ikan sesuai dengan kapasitasnya yaitu jumlah hasil ikan yang didaratkan. Adapun jumlah ikan yang didaratkan minimum sebanyak 200 ton/hari atau 73.000
ton/tahun baik untuk pemasaran di dalam maupun di luar negeri (ekspor). Pelabuhan perikanan tipe A ini dirancang untuk bisa menampung kapal berukuran lebih besar daripada 60 GT (Gross Tonage) sebanyak 100 unit kapal sekaligus. Mempunyai cadangan lahan untuk pengembangan seluas 30 Ha. 2. Pelabuhan Perikanan Tipe B (Pelabuhan Perikanan Nusantara) Pelabuhan perikanan tipe ini adalah pelabuhan perikanan yang diperuntukkan terutama bagi kapal-kapal perikanan yang beroperasi di perairan nusantara yang lazim digolongkan ke dalam armada perikanan jarak sedang ke perairan ZEEI, mempunyai perlengkapan untuk menangani dan/atau mengolah ikan sesuai dengan kapasitasnya yaitu jumlah ikan yang didaratkan. Adapun jumlah ikan yang didaratkan minimum sebanyak 50 ton/hari atau 18.250 ton/tahun untuk pemasaan di dalam negeri. Pelabuhan perikanan tipe B ini dirancang untuk bisa menampung kapal berukuran sampai dengan 60 GT (Gross Tonage) sebanyak 50 unit kapal sekaligus. Mempunyai cadangan lahan untuk pengembangan seluas 10 Ha. 3. Pelabuhan Perikanan Tipe C (Pelabuhan Perikanan Pantai) Pelabuhan perikanan tipe ini adalah pelabuhan perikanan yang diperuntukkan terutama bagi kapal-kapal perikanan yang beroperasi di perairan pantai, mempunyai perlengkapan untuk menangani dan/atau mengolah ikan sesuai dengan kapasitasnya yaitu minimum sebanyak 20 ton/hari atau 7.300 ton/tahun untuk pemasaran di daerah sekitarnya atau dikumpulkan dan dikirimkan ke pelabuhan perikanan yang lebih besar. Pelabuhan perikanan tipe C ini dirancang untuk bisa menampung kapal berukuran sampai dengan 15 GT (Gross Tonage) sebanyak 25 unit kapal sekaligus. Mempunyai cadangan lahan untuk pengembangan seluas 5 Ha. 4. Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) dimaksudkan sebagai prasarana pendaratan ikan yang dapat menangani produksi ikan sampai dengan 5 ton/hari. PPI ini dirancang untuk dapat menampung kapal berukuran sampai dengan 5 GT sebanyak 15 unit sekaligus. Untuk pembangunan PPI ini diberikan lahan darat untuk pengembangan seluas 1 Ha. Sedangkan menurut SK Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Jateng Nomor 523/074/SK/II/2005, maka TPI (Tempat Pelelangan Ikan) dibagi menjadi
10
empat kelas berdasarkan Nilai Produksi (Raman) per tahun TPI tersebut. Adapun Pembagiannya dapat diuraikan sebagai berikut : 1. TPI Kelas I Milyard. 2. TPI Kelas II Milyard. 3. TPI Kelas III : TPI dengan Nilai Produksi (Raman) antara : Rp 10 Milyard. 4. TPI Kelas IV : TPI dengan Nilai Produksi (Raman) kurang dari :Rp 10 Milyard. s/d 25 : TPI dengan Nilai Produksi (Raman) antara : Rp 25 s/d 50 : TPI dengan Nilai Produksi (Raman) lebih dari :Rp 50
2.3.3. Fungsi dan Peranan Pelabuhan Perikanan Sesuai dengan Undang Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan, dan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.06/MEN/2007 tentang Pelabuhan Perikanan dijelaskan bahwa fungsi dan peranan Pelabuhan Perikanan adalah sebagai berikut: 1. Perencanaan, pembangunan, pengembangan, pemeliharaan, pengawasan dan pengendalian serta pendayagunaan sarana dan prasarana pelabuhan perikanan. 2. Pelayanan teknis kapal perikanan dan kesyahbandaran di pelabuhan, perikanan. 3. Pelayanan jasa dan fasilitasi usaha perikanan; pengembangan dan fasilitasi penyuluhan serta pemberdayaan masyarakat perikanan. 4. Pelaksanaan fasilitasi dan koordinasi di wilayahnya untuk peningkatan produksi, distribusi, dan pemasaran hasil perikanan. 5. Pelaksanaan fasilitasi publikasi hasil riset, produksi, dan pemasaran hasil perikanan di wilayahnya. 6. Pelaksanaan fasilitasi pemantauan wilayah pesisir dan wisata bahari. 7. Pelaksanaan pengawasan penangkapan sumber daya ikan, dan 8. Penanganan, pengolahan, pemasaran, serta pengendalian mutu hasil perikanan; 9. Pelaksanaan pengumpulan, pengolahan, dan penyajian data perikanan, serta pengelolaan sistem informasi. 10. Pelaksanaan urusan keamanan, ketertiban, dan pelaksanaan kebersihan kawasan pelabuhan perikanan. 11. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga.
11
2.3.4. Fasilitas Pelabuhan Pelabuhan harus dapat berfungsi dengan baik yaitu dapat melindungi kapal yang berlabuh dan beraktivitas di dalam areal pelabuhan. Agar dapat memenuhi fungsinya pelabuhan perlu dilengkapi dengan berbagai fasilitas baik fasilitas pokok maupun fasilitas fungsional (Murdiyanto, 2004). 2.3.4.1 Fasilitas Pokok (Basic Facilities) Fasilitas pokok adalah fasilitas yang diperlukan untuk kepentingan aspek keselamatan pelayaran, selain itu termasuk juga tempat berlabuh dan bertambat serta bongkar muat. 1. Fasilitas perlindungan Berfungsi melindungi kapal dari pengaruh buruk yang diakibatkan perubahan kondisi oceanografis (gelombang, arus, pasang, aliran pasir, erosi, luapan air di muara sungai dan sebagainya). Bentuk fasilitas perlindungan dapat berupa pemecah gelombang (breakwater), penangkap pasir (ground groin), turap penahan tanah (revetment), jetty. 2. Fasilitas tambat Fasilitas ini digunakan untuk kapal bertambat atau berlabuh dengan tujuan membongkar muatan, mempersiapkan keberangkatan, memperbaiki kerusakan, beristirahat, dan sebagainya. Macam dan nama bangunan yang termasuk fasilitas ini antara lain adalah : dermaga, tiang tambat (bolder), pelampung tambat, bollard, pier. 3. Fasilitas transportasi Yang termasuk fasilitas ini antara lain adalah : jembatan, jalan kompleks, tempat parkir. 4. Lahan yang dicadangkan untuk kepentingan instansi pemerintah. 2.3.4.2 Fasilitas Fungsional (Functional facilities) Menurut Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2001), fasilitas fungsional adalah fasilitas yang langsung dimanfaatkan untuk kepentingan manajemen pelabuhan perikanan dan/atau yang dapat diusahakan oleh perorangan atau Badan Hukum. Fasilitas fungsional terdiri dari fasilitas yang dapat diusahakan dan fasilitas yang tidak dapat diusahakan.
12
a. Fasilitas fungsional yang dapat diusahakan: 1. Fasilitas pemeliharaan kapal dan alat perikanan terdiri dari bengkel, slipway/ dock dan tempat penjemuran jaring 2. Lahan untuk kawasan industri 3. Fasilitas pemasok air dan bahan bakar untuk kapal dan keperluan pengolahan 4. Fasilitas pemasaran, penanganan hasil tangkapan, pengawetan dan pengolahan, tempat pelelangan ikan (TPI), tempat penjualan hasil perikanan, gudang penyimpanan hasil olahan, pabrik es, sarana pembekuan, cold storage, derek / crane, lapangan penumpukan b. Fasilitas fungsional yang tidak dapat diusahakan: 1. Fasilitas navigasi: alat bantu navigasi, rambu-rambu dan suar 2. Fasilitas komunikasi: stasiun komunikasi serta peralatannya
2.3.4.3.Fasilitas Penunjang Menurut Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2001), fasilitas penunjang adalah fasilitas yang secara tidak langsung dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan dan atau memberikan kemudahan bagi masyarakat umum. Fasilitas penunjang terdiri dari: 1. Fasilitas kesejahteraan nelayan, terdiri dari tempat penginapan, kios bahan perbekalan dan alat perikanan, tempat ibadah, balai pertemuan nelayan (BPN) 2. Fasilitas pengelolaan pelabuhan terdiri dari kantor, pos penjagaan, perumahan karyawan, mess operator 3. Fasilitas pengelolaan limbah bahan bakar dari kapal dan limbah industri
2.4.
PERENCANAAN
PANGKALAN
PENDARATAN
Dalam perencanaan pembangunan PPI ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan sehubungan dengan kondisi lapangan yang ada, antara lain: Topografi dan situasi Angin Gelombang Pasang surut Kondisi tanah
13
Karakteristik kapal Jumlah produksi ikan hasil tangkapan. Faktor-faktor tersebut harus sudah diperhitungkan dengan tepat untuk
2.4.1. Topografi dan Situasi Keadaan topografi daratan dan bawah laut harus memungkinkan untuk membangun suatu pelabuhan dan kemungkinan untuk pengembangan di masa mendatang. Daerah daratan harus cukup luas untuk membangun suatu fasilitas pelabuhan seperti dermaga, jalan, gudang dan juga daerah industri. Apabila daerah daratan sempit maka pantai harus cukup luas dan dangkal untuk memungkinkan perluasan daratan dengan melakukan penimbunan pantai tersebut. Daerah yang akan digunakan untuk perairan pelabuhan harus mempunyai kedalaman yang cukup sehingga kapal-kapal bisa masuk ke pelabuhan. Selain keadaan tersebut, kondisi geologi juga perlu diteliti mengenai sulit tidaknya melakukan pengerukan daerah perairan dan kemungkinan menggunakan hasil pengerukan tersebut untuk menimbun tempat lain.
2.4.2. Angin Sirkulasi udara yang kurang lebih sejajar dengan permukaan bumi disebut angin. Angin terjadi karena perbedaan tekanan udara, sehingga udara mengalir dari tempat yang bertekanan tinggi menuju daerah yang bertekanan rendah. Angin sangat berpengaruh dalam perencanaan pelabuhan karena angin : Mengendalikan kapal pada gerbang. Memberikan gaya horisontal pada kapal dan bangunan pelabuhan. Mengakibatkan terjadinya gelombang laut yang menimbulkan gaya yang bekerja pada bangunan pelabuhan. Mempengaruhi kecepatan arus, dimana kecepatan arus yang rendah dapat menimbulkan sedimentasi. Untuk perencanaan pelabuhan, data angin dicatat tiap jam dan harus diolah terlebih dahulu setelah itu data disajikan dalam bentuk tabel (ringkasan) atau diagram yang disebut dengan mawar angin (wind rose), sehingga karakteristik angin dapat dibaca
14
dengan cepat. Berikut ini contoh tabel persentase kejadian angin dan gambar wind rose. Tabel 2.1. Contoh persentase kejadian angin
Kecepatan ( knot ) 0 10 10 13 13 16 16 21 21 - 27 1,23 1,84 0,17 0,01 0,27 0,40 0,07 0,32 0,48 0,08 U TL T Arah Angin Tg 0,06 0,13 0,01 S 0,08 0,13 0,01 BD 0,6 0,70 0,12 0,03 B 0,56 0,70 0,12 0,03 BL 1,35 2,03 0,20 88,3 %
Dalam gambar tersebut garisgaris radial adalah arah angin dan tiap lingkaran menunjukkan persentasi kejadian angin dalam periode waktu pengukuran. 2.4.3. Fetch Fetch adalah daerah dimana kecepatan dan arah angin adalah konstan. Arah angin masih bisa dianggap konstan apabila perubahanperubahannya tidak lebih dari 15o. Sedangkan kecepatan angin masih dianggap konstan jika perubahannya tidak lebih dari 5 knot (2,5 meter/detik) terhadap kecepatan rerata. Di dalam tinjauan pembangkitan gelombang di laut, fetch dibatasi oleh bentuk daratan yang mengelilingi laut. Di daerah pembentukan gelombang, gelombang tidak hanya dibangkitkan dalam
15
arah yang sama dengan arah angin tetapi juga dalam berbagai sudut terhadap arah angin (Triadmodjo, 1999). Fetch rerata efektif diberikan oleh persamaan berikut (dalam Triatmodjo, 1999) : Feff = Xi cos ... cos dimana: Feff Xi = fetch rerata efektif (kilometer) = panjang segmen fetch yang diukur dari titik observasi gelombang ke ujung akhir fetch (km) = deviasi pada kedua sisi dari arah angin, dengan menggunakan pertambahan 6 sampai sudut sebesar 42 pada kedua sisi dari arah angin.
2.4.4. Gelombang Gelombang merupakan faktor penting di dalam perencanaan bangunan pantai dan pelabuhan. Gelombang dapat terjadi karena angin, pasang surut, gangguan buatan seperti gerakan kapal dan gempa bumi. Pengaruh gelombang terhadap perencanaan bangunan pantai dan pelabuhan antara lain :
16
Besar kecilnya gelombang sangat menentukan dimensi dan kedalaman bangunan pemecah gelombang. Gelombang menimbulkan gaya tambahan yang harus diterima oleh kapal dan bangunan dermaga.
Besarnya gelombang laut tergantung dari beberapa faktor, yaitu : Kecepatan angin. Lamanya angin bertiup. Kedalaman laut dan luasnya perairan. Pada perencanaan pelabuhan penumpang dan barang diusahakan tinggi gelombang serendah mungkin oleh karena itu diperlukan pembuatan pemecah gelombang. Dengan adanya pemecah gelombang maka akan terjadi difraksi (pembelokan arah dan perubahan karakteristik) gelombang. Dalam difraksi gelombang ini terjadi transfer energi dalam arah tegak lurus penjalaran gelombang menuju daerah terlindung seperti terlihat pada gambar 2.4, apabila tidak terjadi difraksi gelombang, daerah di belakang rintangan akan tenang. Tetapi karena adanya proses difraksi maka daerah tersebut terpengaruh oleh gelombang datang. Transfer energi ke daerah terlindung menyebabkan terbentuknya gelombang di daerah tersebut, meskipun tidak sebesar gelombang diluar daerah terlindung..
Gambar 2.5. Difraksi gelombang Gelombang dapat menimbulkan energi untuk membentuk pantai, menimbulkan arus dan transpor sedimen dalam arah tegak lurus (onshore offshore transport) dan sepanjang pantai (longshore transport), serta menyebabkan gaya-gaya yang bekerja pada bangunan pantai.
17
Laut
Breaker Zone
Pantai
Gambar 2.6. Longshore tranport dan onshore offshore transport Gelombang merupakan faktor utama dalam penentuan tata letak (lay out) pelabuhan, alur pelayaran dan perencanaan bangunan pantai (Triatmodjo, 1996). Oleh karena itu, pengetahuan tentang gelombang harus dipahami dengan baik yaitu dengan cara memahami karakteristik dan perilaku gelombang baik di laut dalam, selama penjalarannya menuju pantai maupun di daerah pantai, dan pengaruhnya terhadap pantai. Dalam Triatmodjo (1996), gelombang di laut menurut gaya pembangkitnya dapat dibedakan antara lain sebagai berikut : 1. Gelombang angin 2. Gelombang pasang surut 3. Gelombang tsunami 4. Gelombang karena pergerakan kapal Untuk perencanaan bangunan pantai, yang paling penting dan berpengaruh adalah gelombang angin dan gelombang pasang surut.
2.4.4.1.Karakteristik Gelombang Teori yang paling sederhana adalah teori gelombang linier atau teori gelombang amplitudo kecil, yang pertama kali dikemukakan oleh Airy pada tahun 1845 (dalam Triatmodjo,1999), dimana : Cepat rambat gelombang :
C= L T
(2.1)
18
C=
L= dimana : T k
gT 2d gT tanh tanh kd = 2 2 L
gT 2 2d gT 2 tanh = tanh kd 2 L 2
(2.2)
(2.3)
= periode (detik) = angka gelombang (2/L) = 3,14 = jarak antara muka air rerata dan dasar laut (meter) = percepatan grafitasi bumi (m/s2) = panjang gelombang (meter) = kecepatan rambat gelombang (m/s)
d g L C
1 1 < d / L< 20 2
1 2 2d ) L
Klasifikasi ini dilakukan untuk menyederhanakan rumus rumus gelombang. Apabila kedalaman relatif d/L adalah lebih besar dari 0,5 dan nilai tanh ( = 1,0, maka persamaan (2.2) dan (2.3) menjadi :
C0 = L0 = gT = 1,56T 2 gT 2 = 1,56T 2 2
( 2.4) ( 2.5 )
Indeks ( 0 ) menunjukkan bahwa nilai-nilai tersebut adalah untuk kondisi di laut dalam. Apabila percepatan gravitasi (g) adalah 9,81 m/s, maka : C 0 = 1,56 T (2.6)
19
L 0 = 1,56 T Apabila kedalaman relatif adalah kurang dari maka persamaan (2.2) dan (2.3) menjadi :
C = gd
(2.8) (2.9)
L = gd T = CT
Untuk kondisi gelombang di laut transisi, yaitu 1/20 < d/L <1/2, cepat rambat dan panjang gelombang dihitung dengan menggunakan persamaan 2.2 dan 2.3. Apabila persamaan 2.2 dibagi dengan 2.6 akan didapat :
C L 2 d = = tanh C 0 L0 L
( 2.10 )
Apabila kedua ruas dari persamaan 2.10 dikalikan dengan d/L maka akan didapat :
d d 2d = tanh L0 L L
( 2.11 )
Persamaan di atas dapat digunakan untuk menghitung panjang gelombang di setiap kedalaman apabila panjang gelombang di laut dalam diketahui.
2.4.4.3.Deformasi Gelombang
Apabila suatu deretan gelombang bergerak menuju pantai, gelombang tersebut akan mengalami perubahan bentuk yang disebabkan oleh proses refraksi dan pendangkalan gelombang, difraksi, refleksi dan gelombang pecah (dalam Triatmodjo, 1999)
a. Gelombang Laut Dalam Ekivalen
Analisis transformasi gelombang sering dilakukan dengan konsep gelombang laut dalam ekivalen, yaitu tinggi gelombang di laut dalam apabila gelombang tidak mengalami refraksi. Tinggi gelombang laut dalam ekivalen menurut Triatmodjo (1999) diberikan oleh bentuk (dalam Triatmodjo, 1999) : H0 = K Kr H0 dimana H 0 = tinggi gelombang laut dalam ekivalen (2.12)
20
H0 K Kr
= tinggi gelombang laut dalam = koefisien difraksi = koefisien refraksi Konsep tinggi gelombang laut dalam ekivalen ini digunakan dalam analisis
b. Refraksi Gelombang
Refraksi terjadi karena pengaruh perubahan kedalaman laut. Didaerah dimana kedalaman air lebih besar dari setengah panjang gelombang, yaitu di laut dalam, gelombang menjalar tanpa dipengaruhi dasar laut. Tetapi di laut transisi dan dangkal, dasar laut mempengaruhi gelombang. Di daerah ini, apabila ditinjau suatu garis puncak gelombang, bagian dari puncak gelombang yang berada di air yang lebih dangkal akan menjalar dengan kecepatan yang lebih kecil daripada bagian di air yang lebih dalam. Akibatnya garis puncak gelombang akan membelok dan berusaha untuk sejajar dengan garis kontur dasar laut. Garis ortogonal gelombang, yaitu garis yang tegak lurus dengan garis puncak gelombang dan menunjukkan arah penjalaran gelombang juga akan membelok dan berusaha untuk menuju tegak lurus dengan garis kontur dasar laut (Triatmodjo, 1999).
21
Proses refraksi gelombang adalah sama dengan refraksi cahaya karena cahaya melintasi dua media perantara yang berbeda. Dengan kesamaan tersebut, maka pemakaian hukum Snell pada optik dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah refraksi gelombang karena perubahan kedalaman (Triatmodjo, 1999).
Orthogonal gelombang
Pada gambar di atas, suatu deretan gelombang menjalar dari laut dengan kedalaman d1 menuju kedalaman d2. Karena adanya perubahan kedalaman maka cepat rambat dan panjang gelombang berkurang dari C1 dan L1 menjadi C2 dan L2. Sesuai hukum Snell, berlaku (dalam Triatmodjo, 1999) :
22
C2 Sin 2 = C 1 dimana :
sin 1
(2.13)
1 = sudut antara garis puncak gelombang dengan kontur dasar dimana gelombang
melintas
2 = sudut yang sama yang diukur saat garis puncak gelombang melintasi kontur
dasar berikutnya C1 = kecepatan gelombang pada kedalaman di kontur pertama C2 = kecepatan gelombang pada kedalaman di kontur kedua Sehingga koefisien refraksi adalah ( dalam Triatmodjo, 1999 ) : Kr = dimana : Kr = koefisien refraksi
cos 0 cos 1
(2.14)
1 = sudut antara garis puncak gelombang dengan kontur dasar dimana gelombang
melintas
2 = sudut yang sama yang diukur saat garis puncak gelombang melintasi kontur
dasar berikutnya
c. Difraksi Gelombang
Apabila gelombang datang terhalang oleh suatu rintangan seperti pemecah gelombang atau pulau, maka gelombang tersebut akan membelok di sekitar ujung rintangan dan masuk di daerah terlindung dibelakangnya, seperti terlihat dalam gambar 2.10. Fenomena ini dikenal dengan difraksi gelombang. Dalam difraksi gelombang ini terjadi transfer energi dalam arah tegak lurus penjalaran gelombang menuju daerah terlindung. Seperti terlihat dalam gambar 2.10, apabila tidak terjadi difraksi gelombang, daerah di belakang rintangan akan tenang. Tetapi karena adanya proses difraksi maka daerah tersebut terpengaruh oleh gelombang datang. Transfer energi ke daerah terlindung menyebabkan terbentuknya gelombang di daerah tersebut, meskipun tidak sebesar gelombang diluar daerah terlindung (Triatmodjo, 1999).
23
d. Refleksi Gelombang
Gelombang datang yang mengenai / membentur suatu rintangan akan dipantulkan sebagian atau seluruhnya. Tinjauan refleksi gelombang penting di dalam perencanaan bangunan pantai, terutama pada bangunan pelabuhan. Refleksi gelombang di dalam pelabuhan akan menyebabkan ketidaktenangan di dalam perairan pelabuhan. Untuk mendapatkan ketenangan di kolam pelabuhan, maka bangunan bangunan yang ada di pelabuhan harus dapat menyerap/ menghancurkan energi gelombang. Suatu bangunan yang mempunyai sisi miring dan terbuat dari tumpukan batu akan bisa menyerap energi gelombang lebih banyak dibanding dengan bangunan tegak dan masif. Pada bangunan vertikal, halus dan dinding tidak permeable, gelombang akan dipantulkan seluruhnya (dalam Triatmodjo, 1999). Besar kemampuan suatu bangunan memantulkan gelombang diberikan oleh koefisien refleksi, yaitu perbandingan antara tinggi gelombang refleksi Hr dan tinggi gelombang datang Hi (dalam Triatmodjo, 1999): X=
Hr Hi
(2.15)
Koefisien refleksi bangunan diperkirakan berdasarkan tes model. Koefisien refleksi berbagai tipe bangunan disajikan dalam tabel 2.1. berikut ini (dalam Triatmodjo, 1999) :
24
Dinding vertikal dengan puncak diatas air Dinding vertikal dengan puncak terendam Tumpukan batu sisi miring Tumpukan balok beton Bangunan vertikal dengan peredam energi (diberi lubang)
0,7 1,0 0,5 0,7 0,3 0,6 0,3 0,5 0,05 0,2
Dinding vertikal dan tak permeable memantulkan sebagian besar gelombang. Pada bangunan seperti itu koefisien refleksi adalah X=1, dan tinggi gelombang yang dipantulkan sama dengan tinggi gelombang datang. Gelombang di depan dinding vertikal merupakan superposisi dari kedua gelombang dengan periode, tinggi dan angka gelombang yang sama tetapi berlawanan arah. Apabila refleksi adalah sempurna X=1 maka (dalam Triatmodjo, 1999):
= Hi cos kx cos t
e. Gelombang Pecah
(2.16)
Gelombang yang menjalar dari laut dalam menuju pantai mengalami perubahan bentuk karena adanya pengaruh perubahan kedalaman laut. Pengaruh kedalaman laut mulai terasa pada kedalaman lebih kecil dari setengah kali panjang gelombang. Di laut dalam, profil gelombang adalah sinusoidal, semakin menuju ke perairan yang lebih dangkal, puncak gelombang semakin tajam dan lembah gelombang semakin datar. Selain itu, kecepatan dan panjang gelombang berkurang secara berangsur-angsur sementara tinggi gelombang bertambah. Gelombang pecah dipengaruhi oleh kemiringannya, yaitu perbandingan antara tinggi dan panjang gelombang. Kemiringan yang lebih tajam dari batas maksimum menyebabkan kecepatan partikel di puncak gelombang lebih besar dari kecepatan rambat gelombang, sehingga terjadi ketidak-stabilan dan pecah (dalam Triatmodjo, 1999). Apabila gelombang bergerak menuju laut dangkal, kemiringan batas tersebut tergantung pada kedalaman relatif d/L dan kemiringan dasar laut m. Gelombang dari laut dalam yang bergerak menuju pantai akan bertambah kemiringannya sampai
25
akhirnya tidak stabil dan pecah pada kedalaman tertentu, yang disebut dengan kedalaman gelombang (db), sedangkan tinggi gelombang pecah diberi notasi Hb. Munk (1949), dalam Coastal Engineering Research Center (CERC, 1984) memberikan persamaan untuk menentukan tinggi dan kedalaman gelombang pecah sebagai berikut (dalam Triatmodjo, 1999):
Hb 1 = H `o 3.3(H `o / Lo )1 / 3
db =1,28 Hb
(2.17) (2.18)
Parameter Hb/Ho` disebut dengan indeks tinggi gelombang pecah. Persamaan 2.17 dan 2.18 tidak memberikan pengaruh kemiringan dasar laut terhadap gelombang pecah. Beberapa peneliti lain (Iversen, Galvin, Goda : dalam CERC, 1984) membuktikan bahwa Hb/Ho` dan db/Hb tergantung pada kemiringan pantai dan kemiringan gelombang datang. Untuk menunjukkan hubungan antara Hb/Ho` dan H0/Lo` untuk berbagai kemiringan dasar laut, dibuat grafik penentuan tinggi gelombang pecah (gambar 2.11). Sedangkan untuk menunjukkan hubungan antara db/Hb dan Hb/gT2 untuk berbagai kemiringan dasar laut dibuat grafik penentuan kedalaman gelombang pecah (gambar 2.12). Untuk menghitung tinggi dan kedalaman gelombang pecah pada kedalaman tertentu, disarankan menggunakan kedua jenis grafik tersebut daripada menggunakan persamaan 2.17 dan persamaan 2.18. Grafik yang diberikan dalam gambar 2.12 dapat ditulis dalam bentuk berikut :
db 1 = H b b aH b / gT 2
(2.19)
Dimana a dan b merupakan fungsi kemiringan pantai m dan diberikan oleh persamaan berikut : a b
dimana : Hb H0 L0 db : tinggi gelombang pecah : tinggi gelombang laut dalam ekivalen : panjang gelombang di laut dalam : kedalaman air pada saat gelombang pecah
= 43,75 ( 1- e-19m ) =
1,56 (1 + e 19,5 m )
(2.20)
(2.21)
26
m g T
27
f. Run-up Gelombang
Pada waktu gelombang menghantam suatu bangunan, gelombang tersebut akan naik (run up) pada permukaan bangunan. Elevasi (tinggi) bangunan yang direncanakan tergantung pada run up dan limpasan yang diijinkan. Run up tergantung pada bentuk dan kekasaran bangunan, kedalaman air pada kaki bangunan, dan karakterisitik gelombang.
Ir = dimana :
(H / Lo )0,5
tg
(2.22)
Ir : bilangan Irribaren : sudut kemiringan sisi bangunan pantai H : tinggi gelombang di lokasi bangunan Lo : panjang gelombang di laut dalam
28
Grafik tersebut juga dapat digunakan untuk menghitung run down (Rd), yaitu turunnya permukaan air karena gelombang pada sisi bangunan pantai.
Untuk keperluan perencanaan bangunan bangunan pantai perlu dipilih tinggi dan periode gelombang individu (individual wave) yang dapat mewakili suatu spektrum gelombang. Gelombang tersebut dikenal dengan gelombang representatif. Apabila tinggi gelombang dari suatu pencatatan diurutkan dari nilai tertinggi ke terendah atau sebaliknya, maka akan dapat ditentukan tinggi Hn yang merupakan rerata dari n persen gelombang tertinggi. Dengan bentuk seperti itu akan dapat dinyatakan karakteristik gelombang alam dalam bentuk gelombang tunggal. Misalnya, H10 adalah tinggi rerata dari 10 persen gelombang tertinggi dari pencatatan gelombang. Bentuk yang paling banyak digunakan adalah H33 atau tinggi rerata dari 33 % nilai tertinggi dari pencatatan gelombang; yang juga disebut sebagai tinggi gelombang signifikan Hs. Cara yang sama juga dapat digunakan untuk periode
29
gelombang. Tetapi biasanya periode signifikan didefinisikan sebagai periode rerata untuk sepertiga gelombang tertinggi.
2. Analisis Frekuensi
Metode yang digunakan untuk memprediksi gelombang dengan periode ulang tertentu, yaitu distribusi Gumbel (FisherTippett Type I) yang mempunyai bentuk berikut ini :
^
^ Hs B A
P ( Hs Hs ) = e e
dimana :
(2.23)
: tinggi gelombang representatif : tinggi gelombang dengan nilai tertentu : parameter skala : parameter lokasi : parameter bentuk ( kolom pertama tabel 2.2 )
H
A B K
Data masukan disusun dalam urutan dari besar ke kecil. Selanjutnya probabilitas ditetapkan untuk setiap tinggi gelombang sebagai berikut : Distribusi Fisher Tippett Type I
P(Hs Hsm ) = 1 m 0,44 N T + 0,12 (2.24)
30
dimana : P ( Hs Hsm ) : probabilitas dari tinggi gelombang represenatatif ke- m yang tidak dilampaui Hsm m NT : tinggi gelombang urutan ke m : nomor urut tinggi gelombang signifikan = 1,2,...,N : jumlah kejadian gelombang selama pencatatan (bisa lebih besar dari gelombang representatif) Parameter A dan B di dalam persamaan 2.23 dihitung dari metode kuadrat terkecil untuk setiap tipe distribusi yang digunakan. Hitungan didasarkan pada analisis regresi linier dari hubungan berikut :
y + B Hm = A m
(2.25)