Anda di halaman 1dari 22

BAB I PENDAHULUAN

Anestesiologi adalah ilmu kedokteran yang pada awalnya berprofesi menghilangkan nyeri dan rumatan pasien sebelum, selama, dan sesudah pembedahan. Semua zat anestesi umum menghambat susunan saraf secara bertahap, mula-mula fungsi yang kompleks akan dihambat dan yang paling akhir adalah medula oblongata yang mengandung pusat vasomotor dan pusat pernafasan yang vital. Prinsip dasar farmakologi obat anestetik, meliputi transfer membran, absorbsi, metabolisme, distribusi dan eliminasi obat. Kepentingan utama farmakologi anestetik secara klinis adalah dalam menentukan dosis yang optimal untuk suatu obat, dimana dalam selang dosis tersebut obat akan mempunyai efek terapi tanpa menimbulkan efek toksik. Seberapa besar jumlah yang diperlukan ditentukan dengan menentukan tingkat konsentrasi minimal yang dapat menimbulkan efek separuh dari efek terapi yang diharapkan, dan tingkat konsentrasi maksimal yang umumnya ditentukan pada jumlah konsentrasi obat. Obat anestesi yang diberikan akan masuk ke dalam sirkulasi darah yang selanjutnya menyebar ke jaringan, yang pertama kali terpengaruh adalah jaringan yang banyak vaskularisasinya seperti otak, yang mengakibatkan kesadaran dan rasa sakit hilang. Kecepatan dan kekuatan anestesi dipengaruhi oleh faktor respirasi, sirkulasi, dan sifat fisik obat itu sendiri. Pada umumnya rasa sakit atau nyeri timbul sebagai reaksi dari mekanisme protektif, tetapi sering kali muncul tanpa tujuan yang berguna dan dapat mengganggu kemampuan kerja, tidur, makan dan dalam bentuk ekstrim malah mempengaruhi keinginan hidup seseorang. Sebagai suatu gejala, rasa nyeri menuntut pertolongan segera dan biasanya membawa banyak penderita pergi kedokter daripada penyebab yang lainnya. Rasa nyeri ini bukan hanya pengalaman yang menyengsarakan tetapi apabila berlangsung terus menerus juga dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan pada organ-organ vital yang mengakibatan gangguan atau kerusakan jaringan.

Macam-macam cara dipakai untuk memerangi rasa nyeri tersebut. Obat untuk menghilangkan nyeri terbagi ke dalam 2 kelompok, yaitu analgetik dan anestesi. Analgetik adalah obat pereda nyeri tanpa disertai hilangnya perasaan secara total. Obat untuk menghilangkan nyeri terbagi ke dalam kedua kelompok yaitu anestesi dan analgetik. Analgetik tidak selalu menghilangkan seluruh rasa nyeri, tetapi selalu meringankan rasa nyeri. Beberapa jenis anestesi menyebabkan hilangnya kesadaran, sedangkan jenis yang lainnya hanya menghilangkan nyeri dari bagian tubuh tertentumn dan pemakainya tetap sadar. Anestesi antara lain adalah blok syaraf atau blok analgesic melalui penyuntikan anestesi lokal atau bahan-bahan neurolitik ke dekat atau ke dalam syaraf/syaraf-syaraf atau ke dalam struktur yang peka akan rasa nyeri. Cara ini relatif sederhana tidak memerlukan peralatan macam-macam, ruang dan tenaga yang banyak, dan masa perawatan singkat. Obat-obat opioid yang biasanya digunakan dalam anastesi antara lain adalah morfin, petidin dan fentanil.1 Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium maupun morfin. Meskipun mempelihatkan berbagai efek farmakologik yang lain, golongan obat ini digunakan terutama untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri.2, 3 Pengaruh dari berbagai obat golongan opioid sering dibandingkan dengan morfin, dan tidak semua obat golongan opioid yang dipasarkan di Indonesia. Akan tetapi dengan sediaan yang sudah ada kiranya penangganan nyeri yang membutuhkan obat opioid dapat dilakukan. Terbatasnya peredaran obat tersebut tidak terlepas pada kekhawatiran terjadinya penyalahgunaan obat.4, 5 Dahulu digunakan istilah analgesik narkotik untuk analgesik kuat yang mirip morfin. Istilah ini berasal dari kata yunani yang berarti stupor. Istilah narkotik ini telah lama ditinggalkan jauh sebelum ditemukannya ligand yang mirip opioid endogen dan reseptor untuk zat ini. Dengan ditemukannya obat yang bersifat campuran agonis dan antagonis opioid yang tidak meniadakan

ketergantungan fisik akibat morfin maka penggunaan istilah analgesik narkotik untuk pengertian farmakologik tidak sesuai lagi.3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Anestesi adalah berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.5 Analgetik adalah obat yang mengurangi atau melenyapkan rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. 5 Analgetik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium atau morfin. 5 Obat adalah suatu substansi yang melalui efek kimianya membawa perubahan dalam fungsi biologik. Setiap obat memiliki sifat khusus masingmasing agar dapat bekerja dengan baik

Mekanisme Kerja Obat Obat adalah suatu substansi yang melalui efek kimianya membawa perubahan dalam fungsi biologik. Setiap obat memiliki sifat khusus masingmasing agar dapat bekerja dengan baik Sifat fisik obat, dapat berupa benda padat pada temperatur kamar ataupun bentuk gas namun dapat berbeda dalam penanganannya berkaitan dengan pH kompartemen tubuh dan derajat ionisasi obat tersebut. Ukuran molekuler obat yang bervariasi dari ukuran sangat besar (BM 59.050) sampai sangat kecil (BM 7) dapat mempengaruhi proses difusi obat tersebut dalam kompartemen tubuh. Bentuk suatu molekul juga harus sedemikian rupa sehingga dapat berikatan dengan reseptornya. Setiap obat berinteraksi dengan reseptor berdasarkan kekuatan atau ikatan kimia. Selain itu, desain obat yang rasional berarti mampu memperkirakan struktur molekular yang tepat berdasarkan jenis reseptor biologisnya. Efek obat terjadi karena adanya interaksi fisiko-kimiawi antara obat atau metabolit aktif dengan reseptor atau bagian tertentu dari tubuh. Obat tidak dapat

menimbulkan fungsi baru dalam jaringan tubuh atau organ, tetapi hanya dapat menambah atau mempengaruhi fungsi dan proses fisiologi Untuk dapat mencapai tempat kerjanya, banyak proses yang harus dilalui obat. Proses itu terdiri dari 3 fase, yaitu fase farmasetik, fase farmakokinetik, dan fase farmakodinamik. Fase farmasetik merupakan fase yang dipengaruhi oleh cara pembuatan obat, bentuk sediaan obat, dan zat tambahan yang digunakan. Fase selanjutnya yaitu fase farmakokinetik, merupakan proses kerja obat pada tubuh. Suatu obat selain dipengaruhi oleh sifat fisika kimia obat (zat aktif), juga dipengaruhi oleh sifat fisiologi tubuh, dan jalur atau rute pemberian obat Menurut Katzung, suatu obat harus dapat mencapai tempat kerja yang diinginkan setelah masuk tubuh dengan jalur yang terbaik. Dalam beberapa hal, obat dapat langsung diberikan pada tempatnya bekerja, atau obat dapat diberikan melalui intravena maupun per oral. Fase selanjutnya yaitu fase farmakodinamik. Proses ini merupakan pengaruh tubuh pada obat. Fase ini menjelaskan bagaimana obat berinteraksi dengan reseptornya ataupun pengaruh obat terhadap fisiologi tubuh. Fase farmakodinamik dipengaruhi oleh struktur kimia obat, jumlah obat yang sampai pada reseptor, dan afinitas obat terhadap reseptor dan sifat ikatan obat dengan reseptornya.

Fase Farmasetik Fase farmasetik merupakan fase yang dipengaruhi antara lain oleh cara pembuatan obat, bentuk sediaan obat, dan zat tambahan yang digunakan. Sediaan obat yang banyak dipakai adalah sediaan padat atau cair. Untuk dapat diabsorpsi obat harus dapat melarut dalam tempat absorpsinya.

Farmakokinetik Farmakokinetik atau kinetika obat adalah nasib obat dalam tubuh atau efek tubuh terhadap obat. Farmakokinetik mencakup 4 proses, yaitu proses absorpsi (A), distribusi (D), metabolisme (M), dan ekskresi (E). Metabolisme atau

biotransformasi dan ekskresi bentuk utuh atau bentuk aktif merupakan proses eliminasi obat.

Absorpsi Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam darah. Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran cerna (mulut sampai rektum), kulit, paru, otot, dan lain-lain. Yang terpenting adalah cara pemberian obat per oral, dengan cara ini tempat absorpsi utama adalah usus halus karena memiliki permukaan absorpsi yang sangat luas, yakni 200 meter persegi (panjang 280 cm, diameter 4 cm, disertai dengan vili dan mikrovili ). Absorpsi obat meliputi proses obat dari saat dimasukkan ke dalam tubuh, melalui jalurnya hingga masuk kedalam sirkulasi sistemik. Pada level seluler, obat, diabsorpsi melalui beberapa metode, terutama transport aktif dan transport pasif.

Distribusi Distribusi obat adalah proses obat dihantarkan dari sirkulasi sistemik ke jari ngan dan cairan tubuh. Distribusi obat yang telah diabsorpsi tergantung beberapa faktor: a. Aliran darah obat sampai ke aliran darah, segera terdistribusi ke organ berdasarkan jumlah aliran darahnya. Organ dengan aliran darah terbesar adalah Jantung, Hepar, Ginjal. Sedangkan distribusi ke organ lain seperti kulit lemak dan otot lebih lambat. b. Permeabilitas kapiler Tergantung pada struktur kapiler dan struktur obat c. Ikatan protein Obat yang beredar di seluruh tubuh dan berkontak dengan protein dapat terikat atau bebas. Obat yang terikat protein tidak aktif dan tidak dapat bekerja. Hanya obat bebas yang dapat memberikan efek. Obat dikatakan berikatan protein tinggi bila >80% obat terikat protein

Metabolisme Metabolisme/biotransformasi obat adalah proses tubuh merubah komposisi obat sehingga menjadi lebih larut air untuk dapat dibuang keluar tubuh. Obat dapat dimetabolisme melalui beberapa cara: a. Menjadi metabolit inaktif kemudian diekskresikan; b. menjadi metabolit aktif, memiliki kerja farmakologi tersendiri dfan bisa dimetabolisme lanjutan. Beberapa obat diberikan dalam bentuk tidak aktif kemudian setelah dimetabolisme baru menjadi aktif (prodrugs). Metabolisme obat terutama terjadi di hati, yakni di membran endoplasmic reticulum (mikrosom) dan di cytosol. Tempat metabolisme yang lain (ekstrahepatik) adalah : dinding usus, ginjal, paru, darah, otak, dan kulit, juga di lumen kolon (oleh flora usus). Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang nonpolar (larut lemak) menjadi polar (larut air) agar dapat diekskresi melalui ginjal atau empedu. Dengan perubahan ini obat aktif umunya diubah menjadi inaktif, tapi sebagian berubah menjadi lebih aktif, kurang aktif, atau menjadi toksik.

Ekskresi Ekskresi obat artinya eliminasi/pembuangan obat dari tubuh. Sebagian besar obat dibuang dari tubuh oleh ginjal dan melalui urin. Obat jugadapat dibuang melalui paru-paru, eksokrin (keringat, ludah, payudara), kulit dan

taraktusintestinal. Organ terpenting untuk ekskresi obat adalah ginjal. Obat diekskresi melalui ginjal dalam bentuk utuh maupun bentuk metabolitnya. Ekskresi dalam bentuk utuh atau bentuk aktif merupakan cara eliminasi obat melui ginjal. Ekskresi melalui ginjal melibatkan 3 proses, yakni filtrasi glomerulus, sekresi aktif di tubulus. Fungsi ginjal mengalami kematangan pada usia 6-12 bulan, dan setelah dewasa menurun 1% per tahun. Ekskresi obat yang kedua penting adalah melalui

empedu ke dalam usus dan keluar bersama feses. Ekskresi melalui paru terutama untuk eliminasi gas anastetik umum.

Hal-hal lain terkait Farmakokinetik: a. Waktu Paruh Waktu paruh adalah waktu yang dibutuhkan sehingga setengah dari obat dibuang dari tubuh. Faktor yang mempengaruhi waktu paruh adalah absorpsi, metabolism dan ekskresi. Waktu paruh penting diketahui untuk menetapkan berapa sering obat harus diberikan. b. Onset, puncak, and durasi Onset adalah Waktu dari saat obat diberikan hingga obat terasa kerjanya. Sangat tergantung rute pemberian dan farmakokinetik obat. Puncak, Setelah tubuh menyerap semakin banyak obat maka konsentrasinya di dalam tubuh semakin meningkat, Namun konsentrasi puncak~ puncak respon Durasi, Durasi kerjaadalah lama obat menghasilkan suatu efek terapi

Fase Farmakodinamik Farmakodinamik mempelajari mekanisme kerja obat dengan tujuan meneliti efek utama obat, mengetahui interaksi obat dengan sel, dan mengetahui urutan peristiwa serta spektrum efek dan respon yang terjadi. Kebanyakan obat bekerja dengan berinteraksi dengan reseptor, berinteraksi dengan enzim, ataupun dengan kerja non-spesifik. Protein merupakan reseptor obat yang paling penting \. Jenisjenis protein lain yang telah diidentifikasikan sebagai reseptor obat meliputi enzim-enzim, transpor protein (misalnya Na+/K+ ATPase), dan protein struktural (misalnya tubulin) (Bourne dan Roberts, 2007). Obat tidak menimbulkan fungsi baru, tetapi hanya memodulasi fungsi yang sudah ada (Setiawati dkk., 2007). Berakhirnya kerja obat pada tingkat reseptor merupakan salah satu akibat dari serangkaian proses. Dalam beberapa hal, efek berlangsung hanya selama obat menempati reseptor sehingga dengan lepasnya obat dari reseptor efek akan segera

berakhir. Ada juga kerja obat masih tetap ada walaupun obat sudah terdisosiasi disebabkan oleh adanya beberapa molekul pasangan masih dalam bentuk aktif. Semua respon farmakologik harus mempunyai suatu efek maksimum (Emax). Tidak perduli berapa konsentrasi obat yang akan dicapai, akan didapat suatu titik dimana tidak ditemukan lagi suatu respon. Kepekaan organ target pada obat dicerminkan oleh konsentrasi obat yang diperlukan untuk menghasilkan 50% dari efek maksimum. Kepekaan yang meningkat pada suatu obat biasanya ditandai oleh respon yang berlebihan pada dosis kecil atau dosis sedang.

Klasifikasi Analgetik dalam anestesi dibagi menjadi: 1. Analgetik opioid 2. Anlgetik non opiod

A.

Obat Golongan Analgetik Opioid

A.1 Definisi Opioid adalah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan reseptor morfin. Opioid disebut juga sebagai anlgetika narkotika yang sering dalam anesthesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri pasca pembedahan.5,6

A.2 Jenis Analgetik Opioid Berdasarkan struktur kimia, analgetik opioid di bedakan menjadi 3 kelompok :6 1. Alkaloid opium (natural) : morfin dan kodein 2. Derivate semisintetik : diasetilmorfin (heroin), hidromorfin,

oksimorfon, hidrokodon, dan oksikodon. 3. Derifat sintetik Fenilpiperidine : petidin, fentanil, dan alfentanil. Benzmorfans : pentazosin, fenazosin dan siklasozin. Morfinans : lavorvanol

Propionanilides : metadon Tramadol A.3 Reseptor Reseptor Opioid Sebagai analgetik, opioid bekerja secara sentral pada reseptor reseptor opioid yang diketahui ada 4 reseptor, yaitu : 6 1. Reseptor Mu Morfin bekerja secara agonis pada reseptor ini. Stimulasi pada reseptor ini akan menimbulkan analgesia, rasa segar, euphoria dan depresi respirasi. 2. Reseptor Kappa Stimulasi reseptor ini menimbulkan analgesia, sedasi dan anesthesia. Morfin bekerja pada reseptor ini. 3. Reseptor Sigma Stimulasi reseptor ini menimbulkan perasaan disforia, halusinasi, pupil medriasis, dan stimulasi respirasi. 4. Reseptor Delta Pada manusia peran reseptor ini belum diketahui dengan jelas. Diduga memperkuat reseptor Mu.

A.4

Efek Farmakologi Golongan opioid yang sering digunakan sebagai obat premedikasi pada

anestesi adalah : petidin dan morfin. Sedangkan fentanil digunakan sebagai suplemen anesthesia. 6 Terhadap susunan saraf pusat5 Sebagai analgetik, obat ini bekerja pada thalamus dan substansia gelatinosa medulla spinalis, di samping itu, narkotik juga mempunyai efek sedasi.

10

Terhadap respirasi5 Menimbulkan depresi pusat nafas terutama pada bayi dan orang tua. Efek ini semakin manifest pada keadaan umum pasien yang buruk sehingga perlu pertimbangan seksama dalam penggunaanya. Namun demikian efek ini dapat dipulihkan dengan nalorpin atau nalokson.Terhadap bronkus, petidin menyebabkan dilatasi bronkus, sedangakan morfin menyebabkan konstriksi akibat pengaruh pelepasan histamine.

Terhadap sirkulasi5 Tidak menimbulkan depresi system sirkulasi, sehingga cukup aman diberikan pada semua pasien kecuali bayi dan orang tua. Pada kehamilan, opiod dapat melewati bairer plasenta sehingga bisa menimbulkan depresi nafas pada bayi baru lahir.

Terhadap system lain5 Merangsang pusat muntah, menimbulkan spasme spinter kandung empedu sehingga menimbulkan kolik abdomen. Morfin merangsang pelepasa histamine sehingga bisa menimbulkan rasa gatal seluruh tubuh atu minimal pada daerah hidung, sedangkan petidin, pelepasan histaminnya bersifat local ditempat suntikan.

A.5 Penggunaan Klinik 1. MORFIN Morfin mempunyai kekuatan 10 (sepuluh) kali dibandingkan dengan petidin, ini berarti bahwa dosis morfin sepersepuluh dari petidin, sedangkan fentanil 100 kali dari petidin. 5,6 Morfin mengandung dua kelompok alkaloida yang secara kimiawi sangat berlainan, yaitu kelompok fenatren meliputi morfin, kodein dan tebain; dan kelompok isokinolin dengan struktur dan khasiat amat berlainan (non-narkotik), yakni papaverin, noskapin dan narsein. 7

11

Morfin berkhasiat analgetis sangat kuat dengan fungsi antara lain sebagai sedatif dan hipnotis, menimbulkan euforia, menekan pernapasan dan

menghilangkan reflex batuk, yang semuanya berdasarkan supresi susunan saraf pusat (SSP). Morfin juga menimbulkan efek stimulasi SSP, seperti miosis, eksitasi dan konvulsi.7 Penggunaan secara khusus pada nyeri hebat akut dan kronis, seperti pasca bedah dan setelah infark jantung , juga fase terminal dari kanker. Resorbsinya baik di usus. Mulai kerja setelah 1-2 jam dan bertahan sampai 7 jam. 7

Analgetik opioid digunakan sebagai : 1. Premedikasi : petidin diberikan intramuscular dengan dosis 1mg/kg bb atau intravena 0,5mg/kg bb, sedangkan morfin sepersepuluhnya dari petidin, sedangkan fentanil seperseratus dari petidin. 2. Analgetik untuk pasien yang menderita nyeri akut/kronis, diberikan sistemik atau regional intratekal/epidural. 3. Suplemen anesthesia atau analgesia. 4. Analgetik pada tindakan endoskopi atau diagnostic lain 5. Suplemen sedasi dan analgetik di Unit Terapi Intensif.

Efek kerja dari morfin (dan juga opioid pada umumnya) relatife selektif, yakni tidak begitu mempengaharui unsur sensoris lain, yaitu rasa raba, rasa getar (vibrasi), penglihatan dan pendengaran ; bahkan persepsi nyeripun tidak selalu hilang setelah pemberian morfin dosis terapi.

Efek analgesi morfin timbul berdasarkan 3 mekanisme ; Morfin meninggikan ambang rangsang nyeri. Morfin dapat mempengaharui emosi, artinya morfin dapat mengubah reaksi yang timbul dikorteks serebri pada waktu persepsi nyeri diterima

oleh korteks serebri dari thalamus. Morfin memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang rangsang nyeri meningkat.

12

Farmakodinamik 5,6,7 Efek morfin terjadi pada susunan syaraf pusat dan organ yang mengandung otot polos. Efek morfin pada system syaraf pusat mempunyai dua sifat yaitu depresi dan stimulasi. Digolongkan depresi yaitu analgesia, sedasi, perubahan emosi, hipoventilasi alveolar. Stimulasi termasuk stimulasi parasimpatis, miosis, mual muntah, hiperaktif reflek spinal, konvulsi dan sekresi hormone anti diuretika (ADH). Farmakokinetik5,6,7 Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat menembus kulit yang luka. Morfin juga dapat mmenembus mukosa. Morfin dapat diabsorsi usus, tetapi efek analgesik setelah pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek analgesik yang timbul setelah pemberian parenteral dengan dosis yang sama. Morfin dapat melewati sawar uri dan mempengaruhi janin. Ekresi morfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin bebas ditemukan dalam tinja dan keringat. Indikasi5,6,7 Morfin dan opioid lain dapat digunakan sebagai premedikasi dan terutama diidentifikasikan untuk meredakan atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesik non-opioid. Lebih hebat nyerinya makin besar dosis yang diperlukan. Morfin sering diperlukan untuk nyeri yang menyertai Infark miokard, Neoplasma, Kolik renal atau kolik empedu, Oklusi akut pembuluh darah perifer, pulmonal atau koroner, Perikarditis akut, pleuritis dan pneumotorak spontan, Nyeri akibat trauma misalnya luka bakar, fraktur dan nyeri pasca bedah. Efek samping Efek samping morfin (dan derivat opioid pada umumnya) meliputi depresi pernafasan, nausea, vomitus, dizzines, mental berkabut, disforia, pruritus, konstipasi kenaikkan tekanan pada traktus bilier, retensi urin, dan hipotensi. 5,6,7

13

Dosis dan sediaan Morfin tersedia dalam tablet, injeksi, supositoria. Morfin oral dalam bentuk larutan diberikan teratur dalam tiap 4 jam. Dosis anjuran untuk menghilangkan atau mengguranggi nyeri sedang adalah 10mg/ 70kg BB subkutan. Untuk nyeri hebat pada dewasa 0,1-0.15mg/kgbb intravena dan dapat diulang sesuai yamg diperlukan. 5,6,7

2.

PETIDIN Petidin (meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang formulanya sangat

berbeda dengan morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping yang mendekati sama. Secara kimia petidin adalah etil-1metil-fenilpiperidin-4karboksilat.5,7,8

Farmakodinamik Meperidin (petidin) secara farmakologik bekerja sebagai agonis reseptor m (mu). Seperti halnya morfin, meperidin (petidin) menimbulkan efek analgesia, sedasi, euforia, depresi nafas dan efek sentral lainnya. Waktu paruh petidin adalah 5 jam. Efektivitasnya lebih rendah dibanding morfin, tetapi leih tinggi dari kodein. Durasi analgesinya pada penggunaan klinis 3-5 jam. Dibandingkan dengan morfin, meperidin lebih efektif terhadap nyeri neuropatik. 5,7 Perbedaan antara petidin (meperidin) dengan morfin sebagai berikut : 5,7 1. Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang larut dalam air. 2. Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin, asam meperidinat dan asam normeperidinat. Normeperidin adalah metabolit yang masih aktif memiliki sifat konvulsi dua kali lipat petidin, tetapi efek analgesinya sudah berkurang 50%. Kurang dari 10% petidin bentuk asli ditemukan dalam urin. 3. Petidin bersifat atropin menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan pandangan dan takikardia.

14

4. Seperti morpin ia menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap sfingter oddi lebih ringan.

5. Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetaran pasca bedah yang tidak ada hubungannya dengan hipiotermi dengan dosis 20-25 mg i.v pada dewasa. Morfin tidak. 6. Lama kerja petidin lebih pendek dibandingkan morfin.

Farmakokinetik Absorbsi petidin setelah cara pemberian apapun berlangsung baik. Akan tetapi kecepatan absorbsi mungkin tidak teratur setelah suntikan IM. Kadar puncak dalam plasma biasanya dicapai dalam 45 menit dan kadar yang dicapai antar individu sangat bervariasi. Setelah pemberian petidin IV, kadarnya dalam plasma menurun secara cepat dalam 1-2 jam pertama, kemudian penurunan berlangsung lebih lambat. Kurang lebih 60% petidin dalam plasma terikat protein. Metabolisme petidin terutama dalam hati. Pada manusia petidin mengalami hidrolisis menjadi asam meperidinat yang kemudian sebagian mengalami konyugasi. Petidin dalam bentuk utuh sangat sedikit ditemukan dalam urin. Sebanyak 1/3 dari satu dosis petidin ditemukan dalam urin dalam bentuk derivat N-demitilasi. 5,67 Petidin dapat menurunkan aliran darah otak, kecepatan metabolik otak, dan tekanan intra kranial. Berbeda dengan morfin, petidin tidak menunda persalinan, akan tetapi dapat masuk kefetus dan menimbulkan depresi respirasi pada kelahiran.

Indikasi Petidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia. Pada beberapa keadaan klinis, Petidin diindikasikan atas dasar masa kerjanya yang lebih pendek daripada morfin. Petidin digunakan juga untuk menimbulkan analgesia obstetrik dan sebagai obat preanestetik, untuk menimbulkan analgesia obstetrik dibandingkan dengan morfin, meperidin kurang karena menyebabkan depresi nafas pada janin. 5,6,7

15

Dosis dan sediaan Sediaan yang tersedia adalah tablet 50 dan 100 mg ; suntikan 10 mg/ml, 25 mg/ml, 50 mg/ml, 75 mg/ml, 100 mg/ml. ; larutan oral 50 mg/ml. Sebagian besar pasien tertolong dengan dosis parenteral 100 mg. Dosis untuk bayi dan anak ; 11,8 mg/kg BB. 5,6,7

Efek samping Efek samping meperidin dan derivat fenilpiperidin yang ringan berupa pusing, berkeringat, euforia, mulut kering, mual-muntah, perasaan lemah, gangguan penglihatan, palpitasi, disforia, sinkop dan sedasi. 5,6,7

3.

FENTANIL Fentanil adalah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100 x morfin.

Fentanil merupakan opioid sintetik dari kelompok fenilpiperedin. Lebih larut dalam lemak dan lebih mudah menembus sawar jaringan.,5,7

Farmakodinamik Turunan fenilpiperidin ini merupakan agonis opioid poten. Sebagai suatu analgesik, fentanil 75-125 kali lebih poten dibandingkan dengan morfin. Awitan yang cepat dan lama aksi yang singkat mencerminkan kelarutan lipid yang lebih besar dari fentanil dibandingkan dengan morfin. Fentanil (dan opioid lain) meningkatkan aksi anestetik lokal pada blok saraf tepi. Keadaan itu sebagian disebabkan oleh sifat anestetsi lokal yamg lemah (dosis yang tinggi menekan hantara saraf) dan efeknya terhadap reseptor opioid pada terminal saraf tepi. Fentanil dikombinasikan dengan droperidol untuk menimbulka neurept analgesia.
5,6,7

Farmakokinetik Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara kualitatif hampir sama dengan dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru ketika

16

pertama kali melewatinya. Fentanil dimetabolisir oleh hati dengan N-dealkilase dan hidrosilasi dan, sedangkan sisa metabolismenya dikeluarkan lewat urin.5,6,7,8,9

Indikasi Efek depresinya lebih lama dibandingkan efek analgesinya. Dosis 1-2 g/kg BB analgesianya hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya dipergunakan untuk anastesia pembedahan dan tidak untuk pasca bedah. Dosis besar 100 - 200 g/kg BB digunakan untuk induksi anastesia dan pemeliharaan anastesia dengan kombinasi bensodioazepam dan inhalasi dosis rendah, pada bedah jantung. Sediaan yang tersedia adalah suntikan 50 mg/ml. 5,6,7,8,9

Efek samping Efek yang tidak disukai ialah kekakuan otot punggung yang sebenarnya dapat dicegah dengan pelumpuh otot. Dosis besar dapat mencegah peningkatan kadar gula, katekolamin plasma, ADH, rennin, aldosteron dan kortisol. Obat terbaru dari golongan fentanil adalah remifentanil, yang dimetabolisir oleh esterase plasma nonspesifik, yang menghasilkan obat dengan waktu paruh yang singkat, tidak seperti narkotik lain durasi efeknya relatif tidak tergantung dengan durasi infusinya. ANTAGONIS5 Nalokson5,6,7, Nalokson adalah antagonis murni opioid dan bekerja pada reseptor Mu, delta, Kappa, dan Sigma. Pemberian nalokson pada pasien setelah mendapat morfin akan terlihat laju nafas meningkat, kantuk menghilang, pupil mata dilatasi, tekanan darah kalau sebelumnya rendah akan meningkat. Nalokson biasanya digunakan untuk melawan depresi nafas pada akhir pembedahan dengan dosis dicicil 1-2 mikrogram/kgBB intravena dan dapat diulang tiap 3-5 menit, sampai ventilasi dianggap baik. Dosis lebih dari 0,2 mg jarang digunakan. Dosis intramuscular 2x dosis intravena. Pada keracunan opioid naloksondapat diberikan per-infus dosis 3-10g/kgBB.2

4. a.

17

Untuk depresi napas neonates yang ibunya mendapat opioid berikan nalokson 10 g/kgBB dan dapat diulang setelah 2 menit. Biasanya 1 ampul nalokson 0,4 mg diencerkan sampai 10ml, sehingga tiap ml mengandung 0,04 mg.

Naltrekson Naltrekson merupakan antagonis opiod kerja panjang yang biasanya diberikan peroral, pada pasien dengan ketergantungan opioid. Waktu paro plasma 8-12 jam. Pemberian per oral dapat bertahan sampai 24 jam. Naltrekson per oral 5 atau 10 mg dapat mengurangi pruritus, mual muntah pada analgesia epidural saat persalinan, tanpa menghilangkan efek analgesianya.

B.

Analgesik Nonopioid Obat-obatan dalam kelompok ini memiliki target aksi pada enzim, yaitu

enzim siklooksigenase (COX). COX berperan dalam sintesis mediator nyeri, salah satunya adalah prostaglandin. Mekanisme umum dari analgetik jenis ini adalah mengeblok pembentukan prostaglandin dengan jalan menginhibisi enzim COX pada daerah yang terluka dengan demikian mengurangi pembentukan mediator nyeri . Mekanismenya tidak berbeda dengan NSAID dan COX-2 inhibitors.

Efek samping yang paling umum dari golongan obat ini adalah gangguan lambung usus, kerusakan darah, kerusakan hati dan ginjal serta reaksi alergi di kulit. Efek samping biasanya disebabkan oleh penggunaan dalam jangka waktu lama dan dosis besar. 5,6,7,8

Deskripsi Obat Analgesik Non-opioid. a. Salicylates Contoh obatnya: Aspirin, mempunyai kemampuan menghambat biosintesis prostaglandin. Kerjanya menghambat enzim siklooksigenase secara ireversibel, pada dosis yang tepat,obat ini akan menurunkan pembentukan prostaglandin maupun tromboksan A2, pada dosis yang biasa efek sampingnya adalah gangguan

18

lambung (intoleransi). Efek ini dapat diperkecil dengan penyangga yang cocok (minum aspirin bersama makanan yang diikuti oleh segelas air atau antasid).

b. p-Aminophenol Derivatives Contoh obatnya : Acetaminophen (Tylenol) adalah metabolit dari fenasetin. Obat ini menghambat prostaglandin yang lemah pada jaringan perifer dan tidak memiliki efek anti-inflamasi yang bermakna. Obat ini berguna untuk nyeri ringan sampai sedang seperti nyeri kepala, mialgia, nyeri pasca persalinan dan keadaan lain. Efek samping kadang-kadang timbul peningkatan ringan enzim hati. Pada dosis besar dapat menimbulkan pusing,mudah terangsang, dan disorientasi.

c. Indoles and Related Compounds Contoh obatnya : Indomethacin (Indocin), obat ini lebih efektif daripada aspirin, merupakan obat penghambat prostaglandin terkuat. Efek samping menimbulkan efek terhadap saluran cerna seperti nyeri abdomen, diare, pendarahan saluran cerna, dan pancreatitis, serta menimbulkan nyeri kepala, dan jarang terjadi kelainan hati.

d. Fenamates Contoh obatnya : Meclofenamate (Meclomen), merupakan turunan asam fenamat, mempunyai waktu paruh pendek, efek samping yang serupa dengan obat-obat AINS baru yang lain dan tak ada keuntungan lain yang melebihinya. Obat ini meningkatkan efek antikoagulan oral. Dikontraindikasikan pada kehamilan.

e. Arylpropionic Acid Derivatives Contoh obatnya : Ibuprofen (Advil), tersedia bebas dalam dosis rendah dengan berbagai nama dagang. Obat ini dikontraindikasikan pada mereka yang menderita polip hidung, angioedema, dan reaktivitas bronkospastik terhadap aspirin. Efek samping: gejala saluran cerna.

19

f. Pyrazolone Derivatives Contoh obatnya : Phenylbutazone (Butazolidin) untuk pengobatan artristis rmatoid, dan berbagai kelainan otot rangka. Obat ini mempunya efek antiinflamasi yang kuat. Tetapi memiliki efek samping yang serius seperti agranulositosis, anemia aplastik, anemia hemolitik, dan nekrosis tubulus ginjal.

g. Oxicam Derivatives Contoh obatnya : Piroxicam (Feldene), obat AINS dengan struktur baru. Waktu paruhnya panjang untuk pengobatan artristis rmatoid, dan berbagai kelainan otot rangka. Efek sampingnya meliputi tinitus, nyeri kepala, dan rash.

h. Acetic Acid Derivatives Contoh obatnya : Diclofenac (Voltaren), obat ini adalah penghambat siklooksigenase yang kuat dengan efek antiinflamasi, analgetik, dan antipiretik. Waktu parunya pendek. Dianjurkan untuk pengobatan artristis rematoid, dan berbagai kelainan otot rangka. Efek sampingnya distres saluran cerna, perdarahan saluran cerna, dan tukak lambung.

i. Miscellaneous Agents Contoh obatnya : Oxaprozin (Daypro), obat ini mempunyai waktu paruh yang panjang. Obat ini memiliki beberapa keuntungan dan resiko yang berkaitan dengan obat AINS lain

20

BAB III KESIMPULAN

Obat golongan obat yang agonis yang sering digunakan didalam anastesia antara lain adalah morfin, petidin, fentanil. Opioid adalah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan reseptor morfin,. Opioid disebut juga sebagai analgesia narkotik yang sering digunakan dalam anastesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri paska pembedahan. Sedangkan berdasarkan kerjanya pada reseptor opioid maka obat-obat Opioid dapat digolongkan menjadi ; Agonis opioid, Antagonis opioid, agonis-antagonis (campuran) opioid.

21

DAFTAR PUSTAKA

1. Muhardi dan Susilo, Penanggulangan Nyeri Pasca Bedah, Bagian Anestiologi dan Terapi Intensif FK-UI, Jakarta 1989, hal ; 199. 2. Latief. S. A, Suryadi K. A, dan Dachlan M. R, Petunjuk Praktis Anestesiologi, Edisi II, Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK-UI, Jakarta, Juni, 2001, hal ; 77-83, 161. 3. H. Sardjono, Santoso dan Hadi rosmiati D, farmakologi dan terapi, bagian farmakologi FK-UI, Jakarta, 1995 ; hal ; 189-206. 4. Samekto wibowo dan Abdul gopur, farmako terapi dalam neuorologi, penerbit salemba medika 5. Santoso O. Sarjono, Dewoto Hedi R. Farmakologi Dan Terapi edisi IV. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2005 6. Soenarto Ratna F, Chandra Susilo. Buku Ajar Anestesiologi. Departemen Anestesiologi dan Intensive Care FKUI/RSCM. Jakarta: 2012 7. Tjay Tan Hoan, Rahardja Kirana. Obat-obat Penting: Khasiat, Penggunaan Dan Efek-Efek Sampingnya Edisi ke Enam. Elex Media Komputindo. Jakarta: 2007 8. Sunatrio. S, ketamin vs Petidin as Analgetic for Tiva with Propofol, majalah Kedokteran Indonesia, vol : 44, nomor : 5, mei 1994, 9. Omoigui Sota. Buku Saku Obat-Obatan Anestesi. EGC. Jakarta: 2012 10. Wrobel Marc, Werth Marco. Pokok-Pokok Anestesi Kompendium Untuk Praktek Sehari-Hari. EGC. Jakarta: 2009

22

Anda mungkin juga menyukai