Anda di halaman 1dari 100

PENANGANAN PERDARAHAN POST PARTUM (HAEMORHAGI POST PARTUM, HPP) Harry Kurniawan Gondo Dosen Fakultas Kedokteran Universitas

Wijaya Kusuma Surabaya


ABSTRAK Perdarahan postpartum dini oleh karena atonia uteri merupakan salah satu tiga penyebab terbesar kematian maternal di negara berkembang. Pencegahan, diagnosis dini, dan manajemen yang benar, merupakan kunci untuk mengurangi dampak tersebut. Angka kematian maternal merupakan indikator yang mencerminkan status kesehatan ibu, terutama risiko kematian bagi ibu pada waktu hamil dan persalinan. Manajemen bedah pada perdarahan postpartum termasuk ligasi dari arteri uterina, ligasi iliaka interna, dan akhirnya abdominal histerektomi total atau subtotal. Selain itu ada sebuah prosedur manajemen alternatif bedah konservatif yang dikenal dengan teknik jahitan kompresi dan terbukti efektif untuk mengontrol perdarahan postpartum. Prosedur ini pertama kali dilakukan dan dijelaskan pada tahun 1997 oleh Mr. Christopher B-Lynch, seorang konsultan obstetri, ahli bedah ginekologi. Jahitan B-Lynch ditujukan untuk menimbulkan kompresi vertikal berkelanjutan pada sistim vaskuler. Pada kasus perdarahan postpartum karena plasenta previa, jahitan kompresi segmen transversal lebih efektif.

HANDLING POST PARTUM HEMORRHAGE (POST PARTUM HAEMORRHAGE, HPP) Harry Kurniawan Gondo Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
ABSTRACT Haemorhagi postpartum cause of uteri atonia represent one of three biggest death of maternal in developing countries. Prevention, diagnosed early, and real correct management, representing key to lessen the impact. Mortality of maternal represent indicator expressing status health of mother, especially death risk to mother when pregnancy and labor. Management operate haemorhagi postpartum, including ligasi of artery of uterina, interna iliaka ligasi, and abdominal finally total hysterectomy or subtotal. Conservative surgical operation alternative management procedure which recognized with stitching technique of compress and effective proven to control blood of postpartum. This procedure first time conducted and explained in the year 1997 by Christopher BLynch, a consultant of obstetri, gynaecology surgeon. Stitching of B-Lynch addressed to evoke vertical kompresi have continuation to vascular systems. Blood case of postpartum because placenta of previa, stitching of compress segment of transversal more effective.

1. PENDAHULUAN Perdarahan postpartum dini oleh karena atonia uteri merupakan salah satu tiga penyebab terbesar kematian maternal di negara berkembang dan maju. Pencegahan, diagnosis dini, dan manajemen yang benar, merupakan kunci untuk mengurangi dampak tersebut. Perawatan intrapartum harus selalu menyertakan perawatan pencegahan perdarahan postpartum dini, identifikasi faktor risiko, dan ketersediaan fasilitas untuk mengatasi kejadian perdarahan postpartum dini 1. Angka kematian maternal merupakan indikator yang mencerminkan status kesehatan ibu, terutama risiko kematian bagi ibu pada

waktu hamil dan persalinan2. Setiap tahun diperkirakan 529.000 wanita di dunia meninggal sebagai akibat komplikasi yang timbul dari kehamilan dan persalinan, sehingga diperkirakan Angka kematian maternal di seluruh dunia sebesar 400 per 100.000 kelahiran hidup1. Kematian maternal 98% terjadi di Negara berkembang. Indonesia sebagai Negara berkembang, masih memiliki Angka kematian maternal cukup tinggi. Hasil SDKI 2002/2003 menunjukkan bahwa Angka kematian maternal di Indonesia sebesar 307 per 100.000 kelahiran hidup 3. Angka kematian maternal di Indonesia sangat jauh berbeda bila dibandingkan dengan Angka kematian maternal di negara

negara maju (20 per 100.000 KH) dan Angka kematian maternal di negara negara anggota ASEAN seperti Brunei Darussalam (37 per 100.000 kelahiran hidup) dan Malaysia (41 per 100.000 kelahiran hidup) 3. Penyebab kematian ibu cukup kompleks, dapat digolongkan atas faktor-faktor reproduksi, komplikasi obstetrik, pelayanan kesehatan dan sosio-ekonomi. Penyebab komplikasi obstetrik langsung telah banyak diketahui dan dapat ditangani, meskipun pencegahannya terbukti sulit. Menurut SKRT 2001, penyebab obstetrik langsung sebesar 90%, sebagian besar perdarahan (28%), eklampsia (24%) dan infeksi (11%). Penyebab tak langsung kematian ibu berupa kondisi kesehatan yang dideritanya misalnya Kurang Energi Kronis (KEK) 37%, anemia (Hb < 11 g%) 40% dan penyakit kardiovaskuler 4. Faktor kunci dalam manajemen bedah dari perdarahan postpartum adalah mengenali faktor-faktor predisposisi dan kesiapan dari tim yang terdiri dari obstetrik, anestesi, dan hematologi. Strategi profilaksis, termasuk suntikan oksitosin setelah persalinan, telah terbukti mengurangi insiden Perdarahan postpartum primer dari sebanyak 18% menjadi sekitar 55 8% . Manajemen Perdarahan postpartum primer terdiri kompresi bimanual atau mekanis dari uterus, obatobatan uterotonika dan metode pembedahan, yang dikombinasikan dengan langkah-langkah resusitasi 6. Kejadian histerektomi darurat postpartum yang merupakan pilihan terakhir ketika semua perawatan konservatif gagal, adalah 1-3 per 1000 kelahiran 7,8,9. Namun, histerektomi setelah Perdarahan postpartum primer memiliki beberapa kelemahan, tak hanya mengakibatkan ketidaksuburan, tetapi juga ada kesulitan teknis menghilangkan segmen bawah rahim dan ini meningkatkan kemungkinan cedera pada kandung kemih atau saluran kencing. Sebuah prosedur yang lebih konservatif, kini lebih dikenal dengan

teknik jahitan kompresi, dijelaskan pertama kali oleh B-lynch pada tahun 1997. Seiring waktu dengan modifikasi yang lebih lanjut oleh Hayman , Cho . Teknik jahitan kompresi ini dapat terbukti efektif dan total abdominal histerektomi atau subtotal hendaknya dipertimbangkan sebagai pilihan 10 terakhir . 2. ATONIA UTERI 2.1 Definisi Atonia uteri merupakan kegagalan miometrium untuk berkontraksi setelah persalinan sehingga uterus dalam keadaan relaksasi penuh, melebar, lembek dan tidak mampu menjalankan fungsi oklusi pembuluh darah. Akibat dari atonia uteri ini adalah terjadinya perdarahan. Perdarahan pada atonia uteri ini berasal dari pembuluh darah yang terbuka pada bekas menempelnya plasenta yang lepas sebagian atau lepas seluruhnya. Atonia uteri menyebabkan terjadinya perdarahan yang cepat dan parah dan juga shock hypovolemik. Dari semua kasus perdarahan postpartum sebesar 70 % disebabkan oleh atonia uteri 11. Miometrium terdiri dari tiga lapisan dan lapisan tengah merupakan bagian yang terpenting dalam hal kontraksi untuk menghentikan perdarahan postpartum, lapisan tengah miometrium tersusun sebagai anyaman dan ditembus oleh pembuluh darah. Masing-masing serabut mempunyai dua buah lengkungan sehingga setiap dua buah serabut kira-kira membentuk angka delapan. Setelah partus, dengan adanya susunan otot seperti diatas, jika otot berkontraksi akan menjempit pembuluh darah. Ketidakmampuan miometrium untuk berkontraksi ini akan menyebabkan terjadinya perdarahan postpartum 11. Kekuatan kontraksi dari miometrium yang efektif sangat penting untuk menghentikan kehilangan darah setelah persalinan. Kompresi yang dihasilkan dari vaskular uterus adalah untuk mengganggu aliran darah 800 ml / menit pada bantalan plasenta (placenta bed) 12.

2.2 Faktor Risiko Atonia Uteri Penilaian faktor risiko perdarahan postpartum pada wanita sangat penting dalam mengidentifikasi terjadinya peningkatan risiko atonia uteri, sehingga memungkinkan untuk tindakan preventif, adanya faktor risiko perdarahan postpartum meningkatkan risiko perdarahan 2 - 4 kali lipat dibandingkan dengan wanita tanpa faktor risiko. Dengan demikian wanita yang memiliki faktor risiko harus persalinan di rumah sakit dengan fasilitas yang memadai untuk mengelola perdarahan postpartum. Namun, perlu dicatat bahwa kejadian atonia uteri tak dapat diprediksi pada wanita yang tidak mempunyai faktor risiko. Sehingga diperlukan protokol yang ketat untuk pengelolaan perdarahan postpartum di tempat yang menyediakan perawatan kebidanan 12. Faktor faktor predisposisi terjadinya atonia uteri 12: 1. Uterus yang teregang berlebihan : Kehamilan kembar, anak sangat besar (BB > 4000 gram) dan polihidramnion; 2. Kehamilan lewat waktu; 3. Partus lama; 4. Grande multipara; 5. Penggunaan uterus relaxants (Magnesium sulfat); 6. Infeksi uterus ( chorioamnionitis, endomyometritis, septicemia ); 7. Perdarahan antepartum (Plasenta previa atau Solutio plasenta); 8. Riwayat perdarahan postpartum; 9. Obesitas; 10. Umur > 35 tahun; 11. Tindakan operasi dengan anestesi terlalu dalam. 2. 3 Pencegahan Atonia Uteri Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko perdarahan postpartum lebih dari 40%, dan juga dapat mengurangi kebutuhan obat tersebut sebagai terapi. Manajemen aktif kala III dapat mengurangi jumlah perdarahan dalam persalinan, anemia, dan kebutuhan transfusi darah 13. Manajemen aktif kala III terdiri

atas intervensi yang direncanakan untuk mempercepat pelepasan plasenta dengan meningkatkan kontraksi uterus dan untuk mencegah perdarahan postpartum dengan menghindari atonia uteri. Atonia uteri dapat dicegah dengan Manajemen aktif kala III, yaitu: 1. Memberikan obat oksitosin 10 IU segera setelah bahu bayi lahir; 2. Melakukan penegangan tali pusat terkendali; 3. Masase uterus segera setelah plasenta dilahirkan agar uterus tetap berkontraksi. 2.4 Manajemen Atonia Uteri 2.4.1 Manajemen Standar 2.4.1.1 Masase Uterus; 2.4.1.2. Kompresi Uterus Bimanual; 2.4.1.3 Pemberian Uterotonika. 2.4.2 Manajemen Bedah 2.4.2.1 Tampon Uterus Internal; 2.4.2.2 Pelvic Pressure Pack; 2.4.2.3 Embolisasi; 2.4.2.4 Jahitan Compression; 2.4.2.5 Ligasi Arteri Iliaka Interna (Hipogastrika); 2.4.2.6 Histerektomi Peripartum. 2.4.1 Manajemen Standar 2.4.1.1 Masase Uterus Masase uterus dilakukan dengan membuat gerakan meremas yang lembut berulang-ulang dengan satu tangan pada perut bagian bawah untuk merangsang uterus berkontraksi. Hal ini diyakini bahwa gerakan berulang seperti ini akan merangsang produksi prostaglandin dan menyebabkan kontraksi uterus dan mengurangi kehilangan darah, meskipun hal ini akan mengakibatkan ketidaknyaman atau 14 bahkan menyakitkan . Secara keseluruhan, masase uterus tampaknya memiliki beberapa keuntungan dari segi kehilangan darah ibu 14. 2.4.1.2. Kompresi Uterus Bimanual Kompresi Bimanual Eksternal

Menekan uterus melalui dinding abdomen dengan jalan saling mendekatkan kedua belah telapak tangan yang melingkupi uterus. Pantau aliran darah yang keluar, bila perdarahan berkurang kompresi diteruskan, pertahankan hingga uterus dapat kembali berkontraksi. Bila belum berhasil dilakukan kompresi bimanual internal Kompresi Bimanual Internal Uterus ditekan di antara telapak tangan pada dinding abdomen dan tinju tangan dalam vagina untuk menjepit pembuluh darah di dalam miometrium (sebagai pengganti mekanisme kontraksi). Perhatikan perdarahan yang terjadi. Pertahankan kondisi ini bila perdarahan berkurang atau berhenti, tunggu hingga uterus berkontraksi kembali. Apabila perdarahan tetap terjadi , coba kompresi aorta abdominalis Kompresi Aorta Abdominalis Raba arteri femoralis dengan ujung jari tangan kiri, pertahankan posisi tersebut, genggam tangan kanan kemudian tekankan pada daerah umbilikus, tegak lurus dengan sumbu badan, hingga mencapai kolumna vertebralis. Penekanan yang tepat akan menghentikan atau sangat mengurangi denyut arteri femoralis. Lihat hasil kompresi dengan memperhatikan perdarahan yang terjadi 2.4.1.3 Pemberian Uterotonika Oksitosin Oksitosin merupakan hormon sintetik yang diproduksi oleh lobus posterior hipofisis. Obat ini menimbulkan kontraksi uterus yang efeknya meningkat seiring dengan meningkatnya umur kehamilan dan timbulnya reseptor oksitosin. Pada dosis rendah oksitosin menguatkan kontraksi dan meningkatkan frekwensi, tetapi pada dosis tinggi menyebabkan tetani. Oksitosin dapat diberikan secara im atau iv, untuk perdarahan aktif diberikan lewat infus dengan ringer laktat 20 IU

perliter, jika sirkulasi kolaps bisa diberikan oksitosin 10 IU intramiometrikal. Efek samping pemberian oksitosin sangat sedikit ditemukan yaitu nausea dan vomitus, efek samping lain yaitu intoksikasi cairan jarang ditemukan 13. Dengan menggunakan terapi uterotonika yang sesuai dan tepat waktu, mayoritas wanita dengan atonia uterus dapat menghindari intervensi bedah. Stimulasi kontraksi uterus biasanya dicapai dengan pemijatan uterus bimanual dan injeksi oksitosin (baik secara intramuskuler atau intravena), dengan atau tanpa ergometrine. oksitosin melibatkan stimulasi dari segmen uterus bagian atas untuk kontraksi secara ritmik. Karena oksitosin mempunyai half-life dalam plasma pendek (rata-rata 3 menit), infus intravena secara kontinu diperlukan untuk menjaga uterus berkontraksi . Dosis biasa adalah 20 IU dalam 500 ml larutan kristaloid, dengan tingkat dosis disesuaikan dengan respon (250 ml / jam). Ketika diberikan secara intravena, puncak konsentrasi dicapai setelah 30 menit. Sebaliknya, jika diberikan secara intramuskular mempunyai onset yang lebih lambat (37 menit) tetapi efek klinis berlangsung lama (hingga 60 menit) 15. Methyl Ergometrine Berbeda dengan oksitosin, ergometrine menyebabkan kontraksi tonik yang terus menerus melalui stimulasi reseptor -adrenergik miometrium terhadap kedua segmen bagian atas dan bawah uterus dengan demikian dirangsang untuk berkontraksi secara tetanik. Suntikan intramuskular dosis standar 0,25 mg dalam permulaan aksi 2-5 menit. Metabolismenya melalui rute hepar dan half-life nya dalam plasma adalah 30 menit. Meskipun demikian, dampak klinis dari ergometrine berlangsung selama sekitar 3 jam. Respon oksitosin segera dan ergometrine lebih berkelanjutan 15. Misoprostol Misoprostol adalah suatu analog

sintetik prostaglandin E1 yang mengikat secara selektif untuk reseptor prostanoid EP-2/EP-3 miometrium, sehingga meningkatkan kontraktilitas uterus. Hal ini dimetabolisme melalui jalur hepar. Ini dapat diberikan secara oral, sublingual, vagina, dubur atau melalui penempatan intrauterin langsung. pemberian melalui rektal terkait dengan tindakan awal, tingkat puncak yang lebih rendah dan profil efek samping yang lebih menguntungkan bila dibandingkan dengan rute oral atau sublingual. Misoprostol oral sebagai agent profilaksis untuk partus kala III menunjukkan kurang efektif untuk mencegah perdarahan postpartum dibandingkan pemberian oksitosin parenteral. Namun, karena kenyataan bahwa interval waktu Misoprostol lebih lama yang diperlukan untuk mencapai kadar puncak serum dapat membuatnya menjadi agen lebih cocok untuk perdarahan uterus yang berkepanjangan, dan dalam perannya sebagai terapi bukan agen profilaksis 15. 2.4.2 Manajemen Bedah 2.4.2.1 Tampon Uterus Internal Asal-usul dari kata tampon tampaknya datang dari kata Prancis, yang membawa konotasi plug, atau sumbatan yang dimasukkan ke luka terbuka atau rongga tubuh untuk menghentikan aliran darah 16. Pada perdarahan postpartum, dengan memasukkan beberapa jenis tampon uterus untuk menghentikan aliran darah. Biasanya dalam bentuk satu bungkus kasa atau balon kateter. prosedur internal uterin tamponade telah digunakan dengan sukses secara tersendiri atau dalam kombinasi dengan Brace jahitan untuk mengurangi atau menghentikan perdarahan postpartum . Prinsip Tampon Uterin Prinsip tampon uterin dalam menghentikan perdarahan dengan membuat tekanan intrauterin. Ini bisa dicapai dengan dua cara: 1. Dengan masuknya balon yang mengakibatkan distensi dalam

rongga uterus dan menempati seluruh ruang, sehingga menciptakan tekanan intrauterin yang lebih besar dari pada tekanan arteri sistemik. Dengan tidak adanya lecet, aliran darah ke dalam uterus akan berhenti saat tekanan di balon tampon lebih besar daripada tekanan arteri sistemik; 2. Dengan penyisipan dari uterine pack yang terdiri dari gulungan kasa yang dikemas dimasukkan ke dalam uterus dengan demikian tekanan kapiler langsung pada perdarahan pembuluh vena atau permukaan dari dalam uterus, sehingga dapat menghentikan perdarahan uterus 16. Tindakan Ini harus dilakukan di ruang operasi dengan anestesi dan staf keperawatan serta persiapan transfusi darah. Wanita itu ditempatkan dalam Davies Lloyd atau posisi lithotomy dengan kateter. Pemeriksaan dilakukan dibawah pembiusan. kemudian prosedur tampon dicoba. Uterotonika dan hemostatik disarankan sebagai terapi tambahan dan dapat diberikan secara simultan 16. 2.4.2.2 Pelvic Pressure Pack Ketika farmakologis dan intervensi bedah gagal untuk memperbaiki perdarahan postpartum, histerektomi menjadi pilihan terakhir. pelvic pressure pack pasca-bedah adalah konsep lama dan salah satu yang telah digunakan untuk mengontrol perdarahan dari berbagai sumber, termasuk trauma liver, pra-eclampsia induced rupture hepar, kanker dubur, dan pembedahan kanker ginekologik. Pada tahun 1926, Logothetopoulos menjelaskan pengelolaan perdarahan panggul post histerektomi yang tidak terkendali. Teknik ini kemudian disebut jamur, parasut, payung, tekanan panggul, atau pack Logothetopoulos 17. Singkatnya, pelvic pressure pack berasal dari bahan-bahan medis yang umum tersedia dan sederhana dan dalam hal kontrol perdarahan berhasil dicapai sebagian besar kasus. Jika pelvic

pressure pack gagal untuk mengendalikan perdarahan, intervensi medis, bedah dan radiologi akan diperlukan untuk mengendalikan perdarahan. pelvic pressure pack akan sangat berguna di negara berkembang di mana kemampuan pembedahan dan teknologi, seperti embolisasi arteri selektif tidak tersedia. Pada kebanyakan kasus, pelvic pressure pack akan mampu menghantarkan pasien yang kritis ke pemulihan pasca operasi, di mana pemulihan hemodinamik, temperatur, hematologi, dan hemostasis asam-basa dapat dicapai 17. 2.4.2.3 Embolisasi Ketika perlakuan standar perdarahan postpartum tidak berhasil, maka, percutaneous transcatheter arterial embolization (selanjutnya disebut embolisasi) dapat dipilih. Tujuan utama dari embolisasi adalah untuk menghentikan perdarahan aktif dari uterus atau jalan lahir dan untuk mencegah perdarahan berulang. Apabila hal ini tidak mungkin, usaha terakhir adalah untuk menutup jalan arteri iliaka internal sementara untuk membantu intervensi bedah berikutnya18. Ketika embolisasi berhasil, di sisi lain, pasien bisa cepat sembuh tanpa menjalani operasi tambahan. Embolisasi tidak hanya menyelamatkan kehidupan pasien, tetapi juga uterus dan organ adnexa, sehingga mempertahankan kesuburan. Prosedur ini juga bermanfaat pada pasien yang tidak dapat menerima transfusi karena alasan agama atau lainnya Di rumah sakit yang mana embolisasi tersedia, merupakan prosedur pilihan untuk perdarahan postpartum sebelum intervensi bedah 18. 2.4.2.4 Jahitan Kompresi (dibahas pada bagian 3 review ini) 2.4.2.5 Ligasi Arteri Iliaka Interna (Hipogastrika) Sejumlah publikasi menyatakan ligasi arteri iliaka internal tersebut telah digunakan oleh ahli bedah dengan berbagai spesialisasi di seluruh dunia.

Indikasi Ligasi Arteri Iliaka Internal Pencegahan, indikasi ligasi arteri iliaka internal untuk tindakan pencegahan meliputi perdarahan post aborsi, perdarahan postpartum, atonia uteri sebelum histerektomi, solusio plasenta dengan atonia uterus, kehamilan abdominal dengan pelvis implantasi plasenta, plasenta akreta dengan perdarahan keras, dan sebelum total atau subtotal histerektomi ketika semua langkah yang konservatif telah gagal 19. Pasien yang juga dianggap beresiko tinggi untuk perdarahan postpartum berulang, plasenta previa atau mempunyai faktor-faktor risiko yang penting mungkin menjadi kandidat untuk ligasi profilaksis iliaka internal. penilaian klinis sangat penting dan jika ligasi profilaksis dianggap jalan terbaik, maka tidak boleh ditunda 19. Tindakan ligasi diperlukan pada keadaan: 1. Sebelum atau setelah histerektomi untuk perdarahan postpartum; 2. Apabila terjadi perdarahan yang signifikan dari bagian bawah ligamentum latum ; 3. Apabila ada perdarahan yang banyak dari dinding samping pelvis; 4. Jika ada perdarahan berlebihan dari sudut vagina; 5. Dimana terjadi perdarahan yang difus tanpa identifikasi yang jelas dari vascular bed; 6. Ketika ada indikasi tambahan termasuk atonia uteri dimana metode konvensional telah gagal; 7. Luka yang luas pada servix yang terjadi setelah persalinan; 8. Bila ada luka tembakan pada perut bagian bawah; 9. Dalam hal fraktur panggul dan perdarahan intraperitoneal. Dalam keadaan seperti itu, histerektomi sendiri mungkin tidak memadai untuk mengontrol perdarahan. ligasi arteri iliaka internal, unilateral atau bilateral, menjadi perlu dan tidak boleh ditunda dalam situasi yang membahayakan jiwa 19.

Ligasi Arteri Uterina Beberapa penelitian tentang ligasi arteri uterina menghasilkan angka keberhasilan 80-90%. Pada teknik ini dilakukan ligasi arteri uterina yang berjalan disamping uterus setinggi batas atas segmen bawah rahim. Jika dilakukan seksio sesarea, ligasi dilakukan 2-3 cm dibawah irisan segmen bawah rahim. Untuk melakukan ini diperlukan jarum atraumatik yang besar dan benang absorbable yang sesuai. Arteri dan vena uterina diligasi dengan melewatkan jarum 2-3 cm medial vasa uterina, masuk ke miometrium keluar di bagian avaskular ligamentum latum lateral vasa uterina. Saat melakukan ligasi hindari rusaknya vasa uterina dan ligasi harus mengenai cabang asenden arteri miometrium, untuk itu penting untuk menyertakan 2-3 cm miometrium. Jahitan kedua dapat dilakukan jika langkah diatas tidak efektif dan jika terjadi perdarahan pada segmen bawah rahim. Dengan menyisihkan vesika urinaria, ligasi kedua dilakukan bilateral pada vasa uterina bagian bawah, 3-4 cm dibawah ligasi vasa uterina atas. Ligasi ini harus mengenai sebagian besar cabang arteri uterina pada segmen bawah rahim dan cabang arteri uterina yang menuju ke servik, jika perdarahan masih terus berlangsung perlu dilakukan bilateral atau unilateral ligasi vasa ovarian 13. Ligasi arteri Iliaka Interna Identifikasi bifurkasio arteri iliaka, tempat ureter menyilang, untuk melakukannya harus dilakukan insisi 5-8 cm pada peritoneum lateral paralel dengan garis ureter. Setelah peritoneum dibuka, ureter ditarik ke medial kemudian dilakukan ligasi arteri 2,5 cm distal bifurkasio iliaka interna dan eksterna. Klem dilewatkan dibelakang arteri, dan dengan menggunakan benang non absobable dilakukan dua ligasi bebas berjarak 1,5-2 cm. Hindari trauma pada vena iliaka interna. Identifikasi denyut arteri iliaka eksterna dan femoralis harus dilakukan sebelum dan sesudah ligasi risiko ligasi arteri iliaka adalah trauma vena iliaka yang dapat

menyebabkan perdarahan. Dalam melakukan tindakan ini operator harus mempertimbangkan waktu dan kondisi pasien 13. 2.4.2.6 Histerektomi Peripartum Histerektomi emergensi peripartum adalah pilihan terakhir yang diambil bila terjadi maternal morbiditas yang berat dan juga near miss mortality. Kajian data selama 25 tahun terakhir menunjukkan insiden yang bervariasi, dari satu kejadian per 3313 persalinan sampai satu kejadian per 6978 persalinan. Di Negara berkembang kejadiannya mencapai satu per 2000 persalinan 20. Angka mortalitas maternal yang dihubungkan dengan histerektomi emergensi berkisar 0 - 30%, dengan angka kejadian yang tertinggi pada daerah dengan sarana rumah sakit dan pelayanan kesehatan yang minimal. Namun demikian, sekalipun pada Negara dengan angka mortalitas yang rendah, angka morbiditasnya dapat tetap tinggi akibat perdarahan, transfusi darah, disseminated intravascular coagulation, infeksi dan potensi cedera pada saluran kemih bagian bawah. Perdarahan obstetri, seperti pada plasenta previa dan/atau plasenta akreta, sudah seharusnya kasus-kasus seperti ini dirujuk ke fasilitas dengan peralatan dan personel yang mampu memberikan pilihan histerektomi 20. 3. JAHITAN KOMPRESI 3.1 Jahitan kompresi B-Lynch Manajemen bedah pada perdarahan postpartum termasuk ligasi dari arteri uterina, ligasi iliaka interna, dan akhirnya abdominal histerektomi total atau subtotal10. Selain itu ada sebuah prosedur manajemen alternatif bedah konservatif yang dikenal dengan teknik jahitan kompresi dan terbukti efektif untuk mengontrol perdarahan postpartum. Prosedur ini pertama kali dilakukan dan dijelaskan pada tahun 1997 oleh Mr. Christopher B-Lynch, seorang konsultan obstetri, ahli bedah ginekologi , anggota dari the Royal College of Obstetricians and

Gynaecologists of the UK, dan anggota dari the Royal College of Surgeons of Edinburgh, bermarkas di Milton Keynes General Hospital National Health Service (NHS) Trust (Oxford Deanery, UK), selama menangani pasien dengan perdarahan postpartum, pasien ini menolak untuk dilakukan histerektomi 17 . Prinsip Jahitan ditujukan untuk menimbulkan kompresi vertikal berkelanjutan pada sistim vaskuler. Pada kasus perdarahan postpartum karena plasenta previa, jahitan kompresi segmen transversal lebih efektif 10. Bahan Berbagai bahan jahitan telah dicoba, termasuk vicryl (polyglactin 910), dexon (polyglycolic asam), PDS (polydioxanone), prolene (monofilamen polypropylene) dan nilon. Diyakini bahwa jahitan yang ideal adalah jahitan yang kuat, berbahan monofilamen (untuk meminimalkan kemungkinan terjadinya trauma pada jaringan yang lemah pada atonia uteri), cepat diserap, dan dipasang pada jarum melengkung yang besar untuk kemudahan penempatan jahitan. Bahan tidak diserap atau perlahan-lahan diserap oleh usus dapat mengakibatkan proses inflamasi, sehingga jahitannya menjadi longgar, dan juga dapat merangsang pembentukan adhesi. Idealnya, perlu jahitan untuk mempertahankan daya regang selama 48-72 jam, dan kemudian diserap dengan cepat. Atas dasar ini, monocryl (polyglecaprone 25) telah dinyatakan oleh Price dan B-Lynch sebagai bahan yang paling yang sesuai untuk jahitan B-Lynch 21,22. Dua mekanisme utama penyerapan pada benang yang diserap. Bahan benang yang berasal dari biologis seperti usus secara bertahap dicerna oleh enzim jaringan sedangkan bahan benang yang dibuat dari polimer sintetis akan dipecah melalui hidrolisis (air masuk ke benang yang menyebabkan rusaknya rantai polimer) didalam cairan jaringan. Di stadium

pertama proses absorbsi kekuatan benang berangsur berkurang (beberapa minggu), kemudian pada stadium kedua terdapat hilangnya materi benang 53. Teknik Prosedur Jahitan B-Lynch 1. Posisi ahli bedah berdiri di sebelah kanan pasien, dianggap ahli bedah tidak kidal. 2. Laparatomi sangat penting untuk melihat keadaan uterus. Melakukan Insisi transversal segmen bawah rahim atau Pembukaan kembali jahitan seksio sesaria pada segmen bawah rahim untuk memeriksa rongga uterus apakah ada sisa plasenta dan untuk membersihkannya 10. 3. Sebelum prosedur jahitan B-lynch dimulai, penting melakukan uji efektifitas penggunaan dari teknik jahitan B-lynch. Pasien dalam posisi Lloyd davies atau semi litotomi (kaki katak), seorang asisten berdiri diantara kaki pasien dan secara berkala melakukan pembersihan vagina untuk menentukan adanya perdarahan dan lainnya. Uterus kemudian di eksteriorkan dan dilakukan kompresi bimanual (jika sudah dilakukan seksio sesarea sebelumnya, lokasi tersebut ditekan kembali), seluruh uterus kemudian dikompresi dengan meletakkan satu tangan dengan ujung jari berada pada serviks dibagian posterior dan tangan lainnya tepat dibawah bladder dibagian anteriornya. Jika perdarahan berhenti dengan melakukan kompresi tersebut, maka ada peluang baik untuk dilakukan aplikasi jahitan B-lynch yang akan bekerja dan menghentikan perdarahan 10. Jika kriteria dari uji penggunaan jahitan B-lynch sudah didapatkan, uterus tetap dalam keadaan eksteriorasi hingga aplikasinya lengkap. Asisten senior mengambil alih dalam melakukan kompresi dan mempertahankannya dengan dua tangan selama dilakukannya jahitan

oleh ahli bedah yang memimpin. 4. Jahitan pertama dilakukan 3 cm di bawah insisi histerotomi / seksio sesaria pada sisi kiri pasien dan dirajut sepanjang rongga uterus untuk menutup 3 cm diatas tepi insisi kira-kira 4 cm dari batas lateral uterus (gambar 1a(i); 5. Jahitan kemudian dilakukan pada bagian atas uterus dan bagian belakangnya. Saat lokasi jahitan tepat difundus, penjahitan harus dilakukan kurang lebih vertikal dan berada sekitar 4 cm dari kornu, tidak ada kecenderungan terjadinya pergeseran kearah lateral menuju broad ligamen karena uterus telah dikompresi dan jahitan melekat, sehingga memastikan bahwa penutupan jahitan yang tepat telah dicapai dan dipertahankan (gambar 1a); 6. Pada bagian belakang uterus dimana penjahitan dilakukan sepanjang dinding uterus. Tepatnya pada bidang horizontal pada tingkat insisi uterus dari perlekatan / insersi ligament uterosakral (gambar 1b); 7. Saat jarum menembus sisi rongga uterus dari dinding posterior, lalu diarahkan ke dinding posterior, sehingga jahitan berada diatas fundus dan pada sisi kanan anterior uterus. Jarum dimasukkan kembali

ke rongga uterus seperti yang dilakukan pada sisi kiri, yaitu 3 cm diatas insisi atas dan 4 cm dari sisi lateral uterus melalui tepi atas insisi, menuju rongga uterus dan keluar lagi sepanjang 3 cm dibawah tepi bawah insisi (gambar 1a (ii)); 8. Asisten mempertahankan kompresi saat benang jahitan dilekatkan dari sudut yang berbeda untuk memastikan tekanan yang seragam dan tidak bergeser. Kedua ujung jahitan dilakukan double throw knot untuk keamanan dalam mempertahankan tekanan; 9. Tekanan pada kedua ujung benang dapat dijaga selama proses penutupan segmen bawah rahim yang diinsisi atau simpul diikat terlebih dahulu diikuti dengan penutupan segmen bawah rahim (gambar 2c) jika ini dipilih, hal ini sangat penting untuk memperhatikan sudut insisi histerotomi dan posisi jahitan sebelum simpul ini diikat untuk memastikan bahwa segmen terbawah telah tertutup dan sudut insisi tertutup rapat. Kedua prosedur ini sama baiknya. Sangat penting untuk mengidentifikasi sudut insisi uterus untuk meyakinkan tidak ada titik perdarahan.

Gambar 1 : a c Prosedur Teknik B-Lynch 10

10. Pasca aplikasi dan penutupan histerotomi. Pada tahapan ini dapat terjadi efek maksimum dari tekanan jahitan, dalam kurun waktu 24-48 jam. Karena uterus mengkerut pada minggu pertama setelah persalinan pervaginam / seksio sesarea, jahitan mulai kehilangan kontraksinya ,akan tetapi proses hemostasis telah terjadi. Tidak ada alasan untuk menunda penutupan dinding abdomen setelah aplikasi jahitan. Asisten berdiri diantara kedua tungkai dan melakukan pembersihan pada vagina dan meyakinkan bahwa perdarahan telah terkontrol. Aplikasi Setelah Persalinan Normal Vagina. Jika laparatomi diperlukan sebagai manajemen dari perdarahan atonia postpartum, histerotomi sangat penting untuk melakukan aplikasi jahitan B-lynch. Histerotomi dilakukan untuk mengeksplorasi rongga uterin, mengeluarkan produk-produk konsepsi , mengevakuasi blood clot yang besar dan mendiagnosa plasentasi abnormal, kerusakan dan perdarahan. Teknik penjahitan B-lynch dengan modifikasinya, tanpa histerotomi akan mengakibatkan perdarahan postpartum sekunder oleh karena itu memastikan bahwa rongga uterus benar-benar kosong. Kemudian histerotomi bisa juga untuk menunjukkan bahwa penjahitan yang benar dari jahitan tersebut akan memberi efek kompresi maksimum, selama dan setelah penjahitan, dengan memakai teknik B-lynch , ini juga untuk menghindari obliterasi servikal / rongga uterus yang bias menyebabkan penumpukan bekuan darah, debris infeksi, pyometra, sepsis dan kematian. Penjahitan untuk plasentasi abnormal 22,24,25,26 . Jahitan B-lynch bisa bermanfaat pada kasus plasenta akreta, perkreta, dan inkreta. Kompresi jahitan transversal ke anterior bawah atau Kompartemen posterior atau keduanya, dilakukan untuk mengontrol perdarahan. Jika ini tidak berhasil longitudinal brace jahitan component bisa dilakuan untuk

memicu proses hemostasis 26. Seluruh uterus dikompresi dari atas ke bawah dan dari kiri ke kanan menggunakan benang yang dapat diserap , mengikat pada anterior dan posterior segmen bawah uterus sehingga integritas dan hemostasis dipelihara, sebagaimana dibuktikan oleh laparoskopi, histerosalpingografi, USS dan MRI dan visualisasi langsung uterus pada saat operasi sesarea elektif berikutnya 27,28. Rongga yang tetap terbuka ini untuk aliran darah tetap terjaga . Pyometra, yang telah dilaporkan dalam satu kasus setelah jahitan Teknik Square dimana teknik ini menghilangkan rongga uterus 25. Kejadian ini belum ada laporan pada pasien yang menggunakan teknik jahitan B-Lynch. Salah satu pengamatan yang paling penting untuk komplikasi jahitan B-Lynch adalah involusi cepat dari uterus selama minggu pertama pasca persalinan. Fisiologis ini mencegah proses ketegangan berlebihan dari jahitan ke uterus. Jahitan kompresi uterus tepat untuk perdarahan postpartum primer dan sekunder pada atonia uteri, DIC, plasenta akreta, inkreta dan previa. Tindakan ini tidak direkomendasikan pada perdarahan postpartum primer dan sekunder tanpa terlebih dahulu menggunakan langkah-langkah medis yang telah direkomendasikan. Memang dianjurkan sebelum dilakukan pembedahan lebih radikal. Landasan pengelolaan pada perdarahan postpartum dengan teknik ini adalah diagnosis dini sebelum pasien menjadi terancam. Teknik jahitan B-Lynch memperoleh kepercayaan diseluruh dunia sebagai alternatif histerektomi dalam pengelolaan perdarahan postpartum sebagaimana ditunjukkan dalam literatur internasional. Prosedur ini lebih cepat dan sederhana dari pada histerektomi atau ligasi iliaka internal 29. Keuntungan Teknik Jahitan B-Lynch 1. Aplikasi sederhana; 2. Life saving; 3. Relatif aman;

10

4. Mempertahankan uterus dan fertilitas; 5. Hemostasis dapat dinilai segera setelah aplikasi; 6. Daya regang berkurang dalam 48 jam, sehingga menghindari adanya kerusakan permanen pada uterus; 7. Uterus yang terbuka memungkinkan mengeksplorasi rongga uterus untuk mengeluarkan produk-produk yang tertinggal dan memungkinkan penjahitan langsung dibawah visualisasi operator.

3.2 Jahitan U Beberapa prosedur melibatkan kompresi dengan jahitan seperti penahan untuk mempertahankan uterus setelah perdarahan dengan atonia 11,15,23,45 , juga dengan kombinasi dengan intrauterine balon kateter 46. Yang lain menjelaskan beberapa jahitan persegi dan jahitan vertikal ke dalam segmen bawah rahim dikombinasikan dengan jahitan penetrasi miring pada korpus atau beberapa jahitan vertikal 24,47,48,49.

Gambar 2 teknik Jahitan U Aplikasi jahitan U Benang Vicryl 0 Yang dapat diserap dan sebuah jarum XLH melengkung digunakan secara manual untuk menjahit. Untuk melakukan jahitan tunggal U, jarum disisipkan di dinding ventral uterus, dilanjutkan melalui dinding posterior dan kemudian kembali ke ventral dinding tempat benang itu bergabung dengan simpul ganda (Gambar 2a dan b). Sementara ahli bedah yang memimpin mengikat jahitan, yang lain membantu dilakukannya kompresi uterus bimanual. Jumlah jahitan yang dibutuhkan tergantung pada ukuran uterus dan banyaknya perdarahan. Secara umum, memakai 6-16 jahitan U pada barisan horizontal sepanjang uterus (Gambar 2), mulai dari fundus dan berakhir di serviks. Jadi, kira-kira 2-4

cm jaringan dipadatkan dalam setiap jahitan. Antibiotik diberikan pada semua kasus. Ini dilanjutkan pasca operasi selama 5 hari 50. 3.3 Metode Jahitan Haemostatic Multiple Square (Cho) Teknik ini diperkenalkan oleh Cho JI pada tahun 2000 24. Tujuan dari teknik ini adalah untuk mendekati dinding uterus anterior dan posterior sehingga tidak ada ruang sisa pada rongga uterus. Demikian juga perdarahan dari endometrium karena atonia uteri atau plasenta bed terkontrol karena tekanan 22. Teknik ini dilakukan di tempat yang banyak perdarahan pada seluruh dinding uterus, dari lapisan serosa dinding anterior ke dinding posterior,

11

melalui rongga uterus, teknik jahitan ini berbentuk angka 7 atau angka 8 dengan menggunakan jarum bedah lurus, benang chromic atraumatic nomor 1. beberapa jahitan kemudian dimasukkan sehingga tidak ada ruang sisa pada rongga uterus. Jika perdarahan disebabkan oleh atonia uterus, empat sampai lima jahitan persegi ditempatkan secara merata seluruh uterus dari fundus ke segmen yang lebih rendah. Jika perdarahan itu karena plasenta akreta, dengan sumber perdarahan dari tempat plasenta, jahitan difokuskan pada dua sampai tiga tempat sumber perdarahan yang banyak. Dengan menjahit beberapa daerah dengan metode ini, perdarahan dapat dikendalikan dengan menekan dinding uterus anterior dan posterior. Jika perdarahan terjadi di segmen bawah uterus karena plasenta previa, hemostasis dilakukan pada beberapa tempat dengan jahitan persegi disisipkan

setelah mendorong kandung kemih ke bawah 22. Namun teknik ini dapat menyebabkan risiko pada rongga uterus dengan perkembangan selanjutnya menjadi pyometra 25. Teknik ini juga kurang berhasil dibandingkan dengn teknik jahitan B-Lynch 51. 2.4.2.4.4 Modifikasi Teknik B-Lynch Oleh Hayman Modifikasi teknik B-Lynch oleh Hayman (2002) 23, memiliki keunggulan, teknik yang sederhana dan cepat, untuk melakukannya tidak memerlukan uterus dibuka. Menggunakan jarum lurus Dexon nomor 2, jahitan dilakukan tusukan pada seluruh dinding uterus , di atas refleksi kandung kemih, dari dinding anterior (3 cm di bawah dan 2 cm medial tepi bawah rongga uterus) ke posterior dinding uterus 22.

Gambar 3 Teknik Hayman multiple square DAFTAR PUSTAKA 1. WHO. Maternal mortality in 2000. Department of Reproductive Health and Research WHO, 2003. 2. Saifudin AB. Issues in training for essential maternal healthcare in Indonesia. Medical Journal of Indonesia Vol 6 No. 3, 1997: 140 148. 3.

Gambar 4 Teknik Cho

4.

UNFPA, SAFE Research study and impacts. Maternal mortality update 2004, delivery into good hands. New York, UNFPA; 2004. Depkes RI, Dirjen Binkesmas. Prinsip Pengelolaan Program KIA. Dalam: Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWS-KIA). 2004. Hal. 1-11.

12

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

Prendiville W, Elbourne D. Care during the third stage of labour. In: ChalmersI, Enkin M, Keirse MJNC (ed). Effective Care in Pregnancy and Childbirth.Oxford: Oxford University Press, 1998, 11451169. Prendiville WJ, Elbourne D, McDonald S. Active versus expectant management in the third stage of labour. Cochrane Database of Systematic Reviews 2000, Issue 3. Art No: CD000007. DOI: 10.1002/ 14651858.CD000007. Engelsen IB, Albrechtsen S, Iversen OE. Peripartum hysterectomy-incidence and maternal morbidity. Acta Obstet Gynecol Scand 2001;80:409412. Francois K, Ortiz J, Harris C, Foley MR, Elliott JP. Is peripartum hysterectomy more common in multiple gestations? Obstet Gynecol 2005;105:13691372. Wingprawat S, Chittacharoen A, Suthutvoravut S. Risk factors for emergency peripartum Sesareaean hysterectomy. Int J Gynaecol Obstet 2005;90: 136 137. B-Lynch C, Keith L.G., Lalonde A.B., Karoshi M (2006) Postpartum Hemorrhage 1st Published. Sapiens Publishing,UK. 287-98 Anderson J, Etches D, Smith D. Postpartum haemorrhage. In Damos JR, Eisinger SH, eds. Advanced Life Support in Obstetrics (ALSO) provider course manual. Kansas: American Academy of Family Physicians, 2000:115 Nelson GS, Birch C. Compression jahitans for uterine atony and hemorrhage following Sesareaean delivery. Int J Gynecol Obstet 2006;92:248250. Schuurmans, et al, 2000, SOGC Clinical Practice Guidelines, Prevention and Management of postpartum Haemorrhage, No. 88, April 2000. Hofmeyr GJ, Abdel-Aleem H, Abdel-Aleem MA, 2008.Uterine

15.

16.

17.

18.

19.

20.

21.

22.

23.

24.

massage for preventing postpartum haemorrhage (Review) In : The Cochrane Library, Issue 3 B-Lynch C, Keith L.G., Lalonde A.B., Karoshi M (2006) Postpartum Hemorrhage 1st Published. Sapiens Publishing,UK. 256-61. B-Lynch C, Keith L.G., Lalonde A.B., Karoshi M (2006) Postpartum Hemorrhage 1st Published. Sapiens Publishing,UK.. Koh E, Devendra K, Tan L K BLynch jahitan for the treatment of uterine atony Singapore Med J 2009; 50(7) : 693 El-Hammamy E, B-Lynch C. A worldwide review of the uses of the uterine compression jahitan techniques as alternative tohysterectomy in the management of severe post-partum haemorrhage. J Obstet Gynaecol 2005;25:1439 Hayman RG, Arulkumaran S, Steer PJ. Uterine compression jahitans: surgical management of post partum hemorrhage. Obstet Gynecol 2002; 99:5026 Cho JH, Jun HS, Lee CN. Hemostatic suturing technique for uterine bleeding during cesarean delivery. Obstet Gynecol 2000;96: 12931 Ochoa M, Allaire AD, Stitely ML. Pyometra after hemostatic square jahitan technique. Obstet Gynecol 2002;99:5069 B-Lynch C, Cowen M.J. A new non-radical surgical treatment of massive post partum hemorrhage. Contemp Rev Obstet Gynaecol 1997; March:1924 C. B-Lynch Ferguson JE, Bourgeois FJ, Underwood PB. 2000. B-Lynch jahitan for postpartum haemorrhage. Obstetrics and Gynecology 95(6 Pt 2):1020 1022. Basket TF. 2003. Emergency obstetric hysterectomy. BJOG:An International Journal of Obstetrics and Gynaecology 23(4),353 355.

13

25. Hebisch G, Huch A. 2002. Vaginal uterine artery ligation avoids high blood loss and puerperal hysterectomy in postpartum hemorrhage. Obstetrics and Gynecology 2002; 100(3): 574 578. 26. Tsitpakidis C, Lalonde A, Danso D, B-Lynch C. Long term anatomical and clinical observations of the effects of the B-Lynch uterine compression jahitan for the management of post partum hemorrhage ten years on. J Obstet Gynaecol 2006; in press 27. Grotegut CA, Larsen FW, Jones MR, Livingston E. Erosion of a BLynch jahitan through the uterine wall: a case report. J Reprod Med 2004; 49: 849-52. 28. Wohlmuth CT, Gumbs J, QuebralIvie J. B-Lynch jahitan: a case series. Int J Fertil Womens Med 2005; 50:164-73. 29. Joshi MV, Shrivastava M. Partial ischaemic necrosis of the uterus following a uterine brace compression jahitan. BJOG 2004; 111:279-80. 30. B-Lynch C, Coker A, Lawal AH, Abu J, Cowen MJ. 1997. The BLynch surgical technique for the control of massive postpartum haemorrhage: An alternative to hysterectomy? Five cases reported. British Journal of Obstetrics and Gynaecology 104:372 375. 31. Pal M, Biswas A K , Bhattacharya SM. (2003) B-Lynch Brace suturing in primary postpartum haemorrhage during sesareaean section. J Obst. Gynaecol Res.2003 Oct;29(5): 317-20 32. Majhar S B , Yasmin S, Guljar S. ( 2003) Management of massive postpartum hemorrhage by BLynch brace jahitan. J Coll physicians Surg. Pak. 2003 Jan; 13(1): 51-2 33. OLeary JA. 1986. Stop of haemorrhage with uterine artery ligation. Contemporary Obestetrics and Gynaecology 28:13 16

34. Dacus JV, Busowski MT, Busowski JD, Smilthson S, Masters K and Sibai BM. 2000. Surgical treatment of uterine atony employing the BLynch technique. Journal of Maternal-Fetal Medicine 9(3):194 196. 35. Abd Rabbo SA. 1994. Step-wise uterine devascularization: a novel technique for management of uncontrollable postpartum haemorrhage with the preservation of the uterus. American Journal of Obstetrics and Gynaecology 171:694 700 36. Maier RC. 1993. Control of postpartum haemorrhage with uterine packing. American Journal of Obstetrics and Gynecology 169:317 321. 37. Kalu E, Wayne C, Croucher C, Findley I, Manyonda I. 2002. Triplet pregnancy in a Jehovahs Witness: recombinant human erythroietin and iron supplementation for minimising the risks of excessive blood loss. BJOG:An International Journal of Obstetrics and Gynaecology 109:723 725. 38. Danso D, Reginald P. 2002. Combined B-lynch jahitan with intrauterine balloon catheter triumphs over massive postpartum haemorrhage. BJOG:An International Journal of Obstetrics and Gynaecology 109(8):963. 39. Gupta Anjali, Nanda Smriti, Dahiya Pushpa, Chauhan Meennakshi, Sangwan Krishna Placenta percreta causing spontaneous uterine rupture in late pregnancy: conservative surgical management. Australian and New Zealand journal of Obstetrics and gynaecology August 2003 Vol 43 issue 4 p-334 40. Chaudhary P1, Sharma S2, Yadav R3, Dhaubhadel P4 B-Lynch Brace jahitan for conservative surgical management for placenta increta. Kathmandu University Medical

14

41.

42.

43.

44.

45.

46.

47.

48.

Journal (2003) Vol. 2, No. 2, Issue 6, 149-151 Bhal K, Bhal N, Mulik V, Shankar L. The uterine compression jahitana valuable approach to control major haemorrhage at lower segmentsesareaean section.J Obstet Gynaecol 2005;25:10-14. Nelson WL, OBrien JM. The uterine sandwich for persistent uterine atony: combining the BLynch compression jahitan and an intrauterine Bakriballoon. Am J Obstet Gynecol 2007;196:e9e10. Tjalma WAA, Jacquemyn Y. A uterus-saving procedure for postpartum haemorrhage. Int J Gynaecol Obstet 2004;86:396397. Hwu YM, Chen CP, Chen HS, Su TH. Parallel vertical compression jahitans: a technique to control bleeding from placenta praevia or akreta during sesareaean section. Br J Obstet Gynaecol 2005;112:14201423. Ouahba J, Piketty M, Huel C, Azarian M, Feraud O, Luton D, Sibony O, Oury JF. Uterine compression jahitans for postpartum bleeding with uterine atony. Br J Obstet Gynaecol 2007;114:619622. Hackethal1,*, D. Brueggmann1, F. Oehmke1, H.-R. Tinneberg1, M.T. Zygmunt2 and K. Muenstedt1 Uterine compression U-jahitans in primary postpartum hemorrhage after Cesarean section: fertility preservation with a simple and effective technique Hum. Reprod. Advance Access published November 17, 2007 Smith KL, Baskett TF. 2003. Uterine compression jahitans as an alternative to hysterectomy for severe postpartum haemorrhage. Journal of Obstetrics and Gynaecology Canada. 2003;25(3): 197 200. Shakila Yasmin ( 2003) B-Lynch brace jahitan as an alternative to

hysterectomy for severe PPH. Pakistan J Med Res Sep 2003 ; 42(3) : 146-148 49. David, L. Dunn The Wound Closure Manual. Ethicon, inc a Johnson & Johnson company

15

Aedes aegypti SEBAGAI VEKTOR DEMAM BERDARAH DENGUE Kartika Ishartadiati Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
ABSTRAK Aedes aegypti adalah nyamuk yang termasuk dalam subfamili Culicinae, famili Culicidae, ordo Diptera, kelas Insecta. Nyamuk ini berpotensi untuk menularkan penyakit demam berdarah dengue (DBD). DBD adalah suatu penyakit yang ditandai dengan demam mendadak, perdarahan baik di kulit maupun di bagian tubuh lainnya serta dapat menimbulkan syok dan kematian. Penyakit DBD ini terutama menyerang anak-anak termasuk bayi, meskipun sekarang proporsi penderita dewasa meningkat. Penyebab penyakit demam berdarah ialah virus Dengue yang termasuk dalam genus Flavivirus, famili Flaviviridae. Terdapat empat serotipe dari virus Dengue, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4, yang semuanya dapat menyebabkan DBD. Virus ini ditularkan melalui gigitan nyamuk Ae. aegypti. Nyamuk betina terinfeksi melalui pengisapan darah dari orang yang sakit. Tempat perindukan Ae. aegypti dapat dibedakan atas tempat perindukan sementara, permanen, dan alamiah. Tempat perindukan sementara terdiri dari berbagai macam tempat penampungan air (TPA) yang dapat menampung genangan air bersih. Tempat perindukan permanen adalah TPA untuk keperluan rumah tangga dan tempat perindukan alamiah berupa genangan air pada pohon. Cara yang saat ini dianggap tepat untuk mengendalikan penyebaran DBD adalah dengan mengendalikan populasi dan penyebaran vektor, yaitu dengan 3M: menguras bak mandi, menutup TPA, dan mengubur barang bekas. Kata kunci: Aedes aegypti, vektor, demam berdarah dengue

Aedes aegypti as DENGUE HEMORRHAGIC FEVERS VECTOR Kartika Ishartadiati Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
ABSTRACT Aedes aegypti mosquito belongs to the subfamily Culicinae, family Culicidae, order Diptera, class Insecta. This mosquitoe has the potential for transmitting dengue hemorrhagic fever (DHF). Dengue is a disease characterized by sudden fever, bleeding in both the skin and in other parts of the body and can cause shock and death. DHF attacks primarily children, including infants, although nowaday the proportion of adult patients increased. Dengue virus, the etiological agent of dengue hemorrhagic fever, is transmitted to the human host during blood uptake by an infective Aedes aegypti. There are four antigenically distinct (DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4), but related, serotypes of Dengue virus, a Flavivirus member of the family Flaviviridae. Infection of the female mosquito occurs during a blood feeding on a viremic human host. Breeding places of Ae. aegypti can be distinguished as temporary, permanent, and natural breeding places. Temporary breeding place consists of various water reservoirs, which can hold stagnant clean water. Permanent breeding place is a shelter of domestic water, while natural breeding places is of standing water on the tree. Current method that is considered appropriate to control the spread of DHF is to control the population and the spread of vectors, known as 3M: drain the tub, shut the water reservoirs, and bury the trash. Keywords: Aedes aegypti, vector, dengue hemorrhagic fever

16

PENDAHULUAN Aedes aegypti merupakan jenis nyamuk yang dapat membawa virus Dengue penyebab penyakit demam berdarah dengue (DBD). Penyakit ini telah dikenal di Indonesia sebagai penyakit yang endemis terutama bagi anak-anak. Kasus penyakit ini di Indonesia termasuk terbesar di dunia setelah Thailand (Sinar Harapan, 2003). Di Indonesia DBD timbul sebagai wabah untuk pertama kalinya di Surabaya pada tahun 1968 (Chahaya, 2003). DBD telah menyebar luas ke seluruh wilayah provinsi dengan jumlah kabupaten/kota terjangkit semakin meningkat. Penyakit ini sering muncul sebagai Kasus Luar Biasa (KLB) dengan angka kesakitan dan kematian yang relatif tinggi (ridwanamiruddin.wordpress.com, 2007). KLB demam berdarah terjadi di Indonesia, tepatnya di Jakarta, pada tahun 1998 yang mencapai angka penderita 15.452 dan angka kematian 134 orang (Sinar Harapan, 2003). Angka insidens DBD secara nasional sangat berfluktuasi dengan siklus puncak 4-5 tahunan. Incidence rate meningkat dari 10,17 per 100.000 penduduk pada tahun 1999 menjadi 15,99 per 100.000 penduduk pada tahun 2000 dan meningkat lagi menjadi 21,75 per 100.000 penduduk pada tahun 2001, kemudian menurun menjadi 19,24 per 100.000 penduduk pada tahun 2002. Penyakit ini menempati urutan ketiga penyakit terbanyak yang ditemukan pada penderita rawat inap di RSU di Indonesia tahun 2002 (ridwanamiruddin.wordpress.com, 2007). Wabah penyakit demam berdarah yang sering terjadi di berbagai daerah di

Indonesia perlu mendapat perhatian. Begitu pula vektor Ae. aegypti memberi resiko timbulnya wabah penyakit ini di masa yang akan datang. TAKSONOMI Aedes aegypti Menurut Boror dkk. (1989), klasifikasi Ae. aegypti adalah sebagai berikut: Filum : Arthropoda Kelas : Insecta Ordo : Diptera Familia : Culicidae Subfamilia : Culicinae Genus : Aedes Spesies : Ae. aegypti MORFOLOGI Aedes aegypti Ae. aegypti dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan ukuran nyamuk rumah (Culex quinquefasciatus), mempunyai warna dasar yang hitam dengan bintik-bintik putih pada bagian-bagian badannya terutama pada kakinya dan dikenal dari bentuk morfologinya yang khas sebagai nyamuk yang mempunyai gambaran lira (lire-form) yang putih pada punggungnya (mesonotum) (Djakaria, 2000), yaitu ada dua garis melengkung vertikal di bagian kiri dan kanan. Nyamuk jantan umumnya lebih kecil dari betina dan terdapat rambut-rambut tebal pada antena nyamuk jantan. Telur Ae. aegypti berbentuk elips berwarna hitam (Womack, 1993), mempunyai dinding yang bergaris-garis dan membentuk bangunan yang menyerupai gambaran kain kasa. Larva Ae. aegypti mempunyai pelana yang terbuka dan gigi sisir yang berduri lateral (Djakaria, 2000).

17

aegypti

Telur Ae. Ae. aegypti sedang mengisap darah

Larva Ae. aegypti

18

PERILAKU DAN SIKLUS HIDUP Aedes aegypti Ae. aegypti bersifat diurnal atau aktif pada pagi hingga siang hari. Penularan penyakit dilakukan oleh nyamuk betina, karena hanya nyamuk betina yang menghisap darah. Hal itu dilakukannya untuk memperoleh asupan protein yang diperlukannya untuk memproduksi telur (Womack, 1993). Pengisapan darah dilakukan dari pagi sampai petang dengan dua puncak waktu yaitu setelah matahari terbit (8.00-10.00) dan sebelum matahari terbenam (15.0017.00) (Djakaria, 2000). Nyamuk jantan tidak membutuhkan darah, dan memperoleh energi dari nektar bunga ataupun tumbuhan. Nyamuk ini menyenangi area yang gelap dan bendabenda berwarna hitam atau merah (id.wikipedia.org/wiki/Aedes_aegypti, 2008). Nyamuk dewasa biasanya tinggal pada tempat gelap di dalam ruangan seperti lemari baju dan di bawah tempat tidur (WHO, 1999). Infeksi virus dalam tubuh nyamuk dapat mengakibatkan perubahan perilaku yang mengarah pada peningkatan kompetensi vektor, yaitu kemampuan nyamuk menyebarkan virus. Infeksi virus dapat mengakibatkan nyamuk kurang handal dalam menghisap darah, berulang kali menusukkan probosisnya, namun tidak berhasil menghisap darah, sehingga nyamuk berpindah dari satu orang ke orang lain, akibatnya resiko penularan virus menjadi semakin besar (id.wikipedia.org/wiki/Aedes_aegypti, 2008). Tempat perindukan Ae. aegypti di daerah asalnya (Afrika) berbeda dengan di Asia. Di Afrika nyamuk hidup di hutan dan tempat perindukkannya pada genangan air di pohon. Di Asia nyamuk hidup di daerah pemukiman, dan tempat perindukannya pada genangan air bersih buatan manusia (man made breeding place). Tempat perindukan Ae. aegypti dapat dibedakan atas tempat perindukan sementara, permanen, dan alamiah. Tempat perindukan sementara terdiri dari berbagai macam tempat penampungan air (TPA), termasuk kaleng bekas, ban mobil bekas, pecahan botol, pecahan gelas,

talang air, vas bunga, dan tempat yang dapat menampung genangan air bersih. Tempat perindukan permanen adalah TPA untuk keperluan rumah tangga seperti bak penampungan air, reservoar air, bak mandi, gentong air. Tempat perindukan alamiah berupa genangan air pada pohon, seperti pohon pisang, pohon kelapa, pohon aren, potongan pohon bambu, dan lubang pohon (Chahaya, 2003). Ae. aegypti mengalami metamorfosis sempurna. Nyamuk betina meletakkan telur pada permukaan air bersih secara individual, terpisah satu dengan yang lain, dan menempel pada dinding tempat perindukkannya. Seekor nyamuk betina dapat meletakkan rata-rata sebanyak seratus butir telur tiap kali bertelur. Telur menetas dalam satu sampai dua hari menjadi larva. Terdapat empat tahapan dalam perkembangan larva yang disebut instar. Perkembangan dari instar I ke instar IV memerlukan waktu sekitar lima hari. Setelah mencapai instar IV, larva berubah menjadi pupa di mana larva memasuki masa dorman. Pupa bertahan selama dua hari sebelum akhirnya nyamuk dewasa keluar dari pupa. Perkembangan dari telur hingga nyamuk dewasa membutuhkan waktu tujuh hingga delapan hari, namun bisa lebih lama bila kondisi lingkungan tidak mendukung (Djakaria, 2000; id.wikipedia.org/wiki/Aedes_aegypti, 2008). Telur Ae. aegypti tahan kekeringan dan dapat bertahan hingga satu bulan dalam keadaan kering. Jika terendam air, telur kering dapat menetas menjadi larva. Sebaliknya, larva sangat membutuhkan air yang cukup untuk perkembangannya. Kondisi larva saat berkembang dapat mempengaruhi kondisi nyamuk dewasa yang dihasilkan. Sebagai contoh, populasi larva yang melebihi ketersediaan makanan akan menghasilkan nyamuk dewasa yang cenderung lebih rakus dalam menghisap darah (id.wikipedia.org/wiki/Aedes_aegypti, 2008). EPIDEMIOLOGI Ae. aegypti adalah vektor utama penyakit DBD di daerah tropik. Nyamuk

19

ini semula berasal dari Afrika kemudian menyebar melalui sarana transportasi ke negara lain di Asia dan Amerika. Di Asia, Ae. Aegypti merupakan satu-satunya vektor yang efektif menularkan DBD, karena tempat perindukkannya berada di sekitar rumah dan hidupnya tergantung pada darah manusia. Di daerah yang penduduknya jarang, Ae. aegypti masih memiliki kemampuan penularan yang tinggi karena kebiasaan nyamuk ini menghisap darah manusia berulang-ulang (Chahaya, 2003). Ae. aegypti tersebar luas di seluruh Indonesia meliputi semua provinsi yang ada. Walaupun spesies-spesies ini ditemukan di kota-kota pelabuhan yang penduduknya padat, namun spesies nyamuk ini juga ditemukan di daerah pedesaan yang terletak di sekitar kota pelabuhan. Penyebaran Ae. aegypti dari pelabuhan ke desa disebabkan karena larva Ae. aegypti terbawa melalui transportasi yang mengangkut bendabenda berisi air hujan pengandung larva spesies ini (Djakaria, 2000). ETIOLOGI DBD DBD disebabkan oleh virus Dengue, yang termasuk dalam genus

Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4 x 106. Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan DBD. Keempat serotipe ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotipe terbanyak. Penelitian pada artropoda menunjukkan virus Dengue dapat bereplikasi pada nyamuk genus Aedes (Stegomya) dan Toxorhynchites (Suhendro dkk., 2006). Infeksi terhadap serotipe memunculkan imunitas sepanjang umur, tetapi tidak menghasilkan imunitas silang (cross protective immunity). Virus Dengue sensitif terhadap eter, namun stabil bila disimpan pada suhu minus 70C dan pada keadaan liofil stabil pada suhu 5C. Virus Dengue bertahan hidup melalui siklus transmisi lingkungan kota pada daerah tropis dan subtropis oleh nyamuk Ae. aegypti, spesies yang berhubungan erat dengan habitat manusia (WHO, 1999).

Virus Dengue TRANSMISI PENYAKIT Nyamuk Ae. aegypti terinfeksi melalui pengisapan darah dari orang yang sakit dan dapat menularkan virus Dengue kepada manusia, baik secara langsung (setelah menggigit orang yang sedang dalam fase viremia), maupun secara tidak langsung, setelah melewati masa inkubasi dalam tubuhnya (extrinsic incubation period) (Soewondo, 2002). Masa inkubasi dalam tubuh nyamuk (extrinsic incubation period)

20

antara 7-14 hari, dan tergantung pada strain nyamuk, genotip virus, serta faktor lingkungan seperti kelembaban dan temperatur. Virus bereplikasi di dalam jaringan midgut nyamuk, kemudian melalui hemolymph menyebar ke jaringan lain seperti trakea, lemak tubuh, dan kelenjar ludah. Titer virus tertinggi dalam midgut didapatkan pada 7-10 hari setelah infeksi, sedangkan pada abdomen terjadi antara 7-17 hari, dan pada kelenjar ludah setelah 12-18 hari (Xi et al., 2008). Masa inkubasi di dalam tubuh manusia (intrinsic incubation period) antara 4-6 hari. Manusia infektif hanya pada saat viremia saja (5-7 hari), tetapi nyamuk dapat infektif selama hidupnya (Soewondo, 2002). MANIFESTASI KLINIS Manifestasi klinis virus Dengue dapat bersifat asimptomatik, atau dapat berupa demam yang tidak khas, demam dengue, demam berdarah dengue sindrom syok dengue (SSD). Pada umumnya pasien mengalami fase demam selama 2-7 hari, yang diiukuti oleh fase kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi mempunyai resiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan adekuat (Suhendro dkk., 2006). PENGENDALIAN VEKTOR Cara yang saat ini masih dianggap tepat untuk mengendalikan penyebaran penyakit DBD adalah dengan mengendalikan populasi dan penyebaran vektor. Program yang paling sering dikampanyekan di Indonesia adalah 3 M, yaitu menguras, menutup, dan mengubur. Menguras bak mandi, untuk memastikan tidak adanya larva nyamuk yang berkembang di dalam air dan tidak ada telur yang melekat pada dinding bak mandi. Menutup tempat penampungan air, sehingga tidak ada nyamuk yang memiliki akses ke tempat itu untuk bertelur. Mengubur barang bekas, sehingga tidak dapat menampung air hujan

dan dijadikan tempat nyamuk bertelur. Beberapa cara alternatif pernah dicoba untuk mengendalikan vektor DBD ini, antara lain mengintroduksi musuh alamiahnya yaitu larva nyamuk Toxorhyncites sp. Predator larva Aedes sp. ini ternyata kurang efektif dalam mengurangi penyebaran virus Dengue. Penggunaan insektisida yang berlebihan tidak dianjurkan, karena sifatnya yang tidak spesifik, sehingga akan membunuh berbagai jenis serangga lain yang bermanfaat secara ekologis. Penggunaan insektisida juga akan memunculkan masalah resistensi serangga, sehingga mempersulit penanganan di kemudian hari (id.wikipedia.org/wiki/Aedes_aegypti, 2008). KESIMPULAN Penularan penyakit DBD pada dasarnya terjadi karena adanya penderita DBD maupun pembawa virus Dengue, yaitu nyamuk Ae. aegypti sebagai vektor, dan masyarakat sebagai sasarannya. Pengendalian vektor merupakan cara yang efektif untuk membantu memutuskan rantai penularan DBD. DAFTAR PUSTAKA Aedes aegypti, 2008. Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. http://id.wikipedia.org/wiki/Aedes_ae gypti, diakses pada tanggal 23 Agustus 2010. Borror DJ, Tripelhorn CA, Johnson NF, 1989. An introduction to the study of insects. USA: Saunders College Publishing. Capaian Kesehatan Indonesia, 2007. http://ridwanamiruddin.wordpress.co m, diakses pada tanggal 23 Agustus 2010. Chahaya, I., 2003. Pemberantasan Vektor Demam Berdarah di Indonesia. USU digital library. Djakaria, 2000. Vektor penyakit virus, riketsia, spiroketa dan bakteri. Dalam: Srisasi G, Herry DI, Wita P,

21

penyunting. Parasitologi Kedokteran. Edisi Ketiga. Balai Penerbit FKUI, Jakarata: 235-237. Sinar Harapan, 2003. Demam Berdarah di Indonesia, Terbesar Setelah Thailand. http://www.sinarharapan.co.id/iptek/k esehatan/2003/0523/kes2.html, diakses pada tanggal 23 Agustus 2010. Soewondo, E.S., 2002. Tata Laksana Demam Berdarah Dengue pada Orang Dewasa. Seri Penyakit Tropik Infeksi, Perkembangan Terkini Dalam Pengelolaan Beberapa Penyakit Tropik Infeksi. Airlangga University Press, Surabaya: 117. Suhendro, Nainggolan, L., Chen, K., Pohan, H.T., 2006. Demam Berdarah Dengue. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta: 1731-1732. Womack, M., 1993. The yellow fever mosquito, Aedes aegypti. Wing Beats. 5(4): 4. World Health Organization, 1999. Regional Office for South-East Asia, New Delhi. Guidelines for Treatment of Dengue Fever/Dengue Hemmorhagic Fever in Small Hospitals. Xi, Z., Ramirez, J.L., Dimopoulus, G., 2008. The Aedes aegypti Toll Pathway Controls Dengue Virus Infection. Plos Pathogens Journal. 4(7): 1-12.

22

PAP SMEAR DENGAN ANALISA DNA FINGERPRINTINGNYA SEBAGAI ALAT UNTUK TES PATERNITAS SAAT PRENATAL Pratika Yuhyi Hernanda Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Abstrak Tes paternitas dapat membantu pengadilan untuk menentukan seorang terdakwa dalam kasus perkosaan. Metode untuk tes paternitas dalam diagnosa prenatal yang umum dilakukan adalah Chorion Villous Sampling (CVS) atau amniocentesis. Namun metode ini merupakan metode invasif yang dapat menyakitkan baik sang ibu maupun janin yang dikandung dan waktu pengambilan juga lama yaitu antara 10-13 minggu kehamilan (CVS) dan 16-20 minggu kehamilan (amniosentesis). Dengan metode Pap Smear, kita dapat melakukan tes paternitas jauh lebih awal, yaitu di usia 6 minggu kehamilan sehingga keputusan untuk terminasi kehamilan (aborsi) dapat dilakukan lebih dini mengingat salah satu sudut pandang agama yang menyatakan dibolehkannya aborsi sebelum usia kehamilan 120 hari ( 16 minggu). Selain itu metode Pap Smear ini juga tidak menyakitkan baik bagi sang ibu maupun janin yang dikandungnya.

PAP SMEAR BY DNA ANALYSIS AS A TOOL FOR TESTING FINGERPRINTINGNYA MOMENT PRENATAL PATERNITY Pratika Yuhyi Hernanda Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
Abstract Paternity test can help the court to determine an accused in rape cases. The method for paternity testing in prenatal diagnosis is generally made chorion villous sampling (CVS) or amniocentesis. However, this method is an invasive method that can hurt both the mother and fetus that was conceived and also taking a long time is between 10-13 weeks of pregnancy (CVS) and 16-20 weeks of pregnancy (amniocentesis). With the method of Pap smear, we can perform paternity tests much earlier, ie at the age of 6 weeks of gestation so the decision for termination of pregnancy (abortion) can be done earlier recall one religious viewpoint expressed permissibility of abortion before 120 days gestation ( 16 weeks). In addition, the Pap smear method also does not hurt both the mother and the fetus she is carrying.

Pendahuluan DNA fingerprinting pada 2 orang yang mempunyai hubungan pertalian keluarga akan mirip. Tes paternitas dapat dilakukan untuk beberapa alasan, antara lain untuk menentukan siapakah ayah dari seorang bayi yang dikandung oleh seorang wanita. Di dalam kasus perkosaan, tes paternitas ini dapat diajukan oleh sang wanita (korban), sang lelaki (tertuduh) atau penyidik untuk membuktikan bahwa bayi yang dikandung adalah memang benar anak dari sang pemerkosa, apalagi apabila terjadi juga dugaan multiple sexual partners. Sebuah tes paternitas dengan DNA fingerprinting juga dapat membantu pengadilan untuk menentukan siapa ayah dari seorang anak sehingga tahu kepada siapa bantuan pemeliharaan anak harus diwajibkan. DNA Fingerprinting DNA atau Deoxyribonucleic acid (asam deoksiribonukleat) adalah struktur kimia

yang membentuk sebuah kromosom sedang asam nukleat sendirimerupakan senyawa-senyawa polimer yang menyimpan semua informasi gen. Secara structural, DNA berbentuk double helix, dua helai material genetic yang terikat spiral satu dengan yang lain. Setiap helainya mengandung sekuens basa (adenine, guanine, sitosin dan timin) yang disebut nukleotida 4. Struktur kimia DNA masing-masing orang adalah sama. Yang membedakan hanya urutan pasangan basanya. Ada berjuta-juta pasangan basa DNA dimana masingmasing orang sekuens (urutannya) berbeda. Terdapat pola yang berulang dalam DNA manusia. Pola ini memberikan kita fingerprint 4, yang dapat menentukan apakah 2 sampel DNA berasal dari orang yang sama, dalam pertalian keluarga, atau tak ada pertalian keluarga sama sekali. Para ilmuwan menggunakan urutan DNA ini dan menganalisanya untuk mendapatkan kemungkinan-kemungkinan

23

kesesuaian. Metode umum analisis DNA fingerprinting Sistematika analisis DNA fingerprint sama dengan metode analisis ilmiah yang biasa dilakukan di laboratorium kimia. Sistematika ini dimulai dari proses pengambilan sampel sampai ke analisis dengan PCR (Polymerase Chain Reaction). Pada pengambilan sampel dibutuhkan kehati-hatian dan kesterilan peralatan yang digunakan. Setelah didapat sampel dari bagian tubuh tertentu, maka dilakukan isolasi untuk mendapatkan sampel DNA. Bahan kimia yang digunakan untuk isolasi adalah Phenolchloroform dan Chilex. Phenolchloroform biasa digunakan untuk isolasi darah yang berbentuk cairan sedangkan Chilex digunakan untuk mengisolasi barang bukti berupa rambut. Lama waktu proses tergantung dari kemudahan suatu sampel di isolasi, bisa saja hanya beberapa hari atau bahkan bisa berbulan-bulan 5. Tahapan selanjutnya adalah sampel DNA dimasukkan kedalam mesin PCR. Langkah dasar penyusunan DNA fingerprint dengan PCR yaitu dengan amplifikasi (penggandaan) sebuah set potongan DNA yang urutannya belum diketahui. Prosedur ini dimulai dengan mencampur sebuah primer amplifikasi dengan sampel genomik DNA. Satu nanogram DNA sudah cukup untuk membuat plate reaksi. Jumlah sebesar itu dapat diperoleh dari isolasi satu tetes darah kering, dari sel-sel yang melekat pada pangkal rambut atau dari sampel jaringan apa saja yang ditemukan di TKP. Kemudian primer amplifikasi tersebut digunakan untuk penjiplakan pada sampel DNA yang mempunyai urutan basa yang cocok. Hasil akhirnya berupa kopi urutan DNA lengkap hasil amplifikasi dari DNA Sampel 5. Selanjutnya kopi urutan DNA akan dikarakterisasi dengan elektroforesis untuk melihat pola pitanya. Karena urutan DNA setiap orang berbeda maka jumlah dan lokasi pita DNA (pola elektroforesis) setiap individu juga berbeda. Pola pita inilah yang dimaksud DNA fingerprinting. Adanya kesalahan bahwa kemiripan pola pita bisa terjadi secara random (kebetulan)

sangat kecil kemungkinannya, mungkin satu diantara satu juta. Finishing dari metode ini adalah mencocokkan tipe-tipe DNA fingerprinting dengan pemilik sampel jaringan (tersangka pelaku kejahatan). DNA Fingerprinting untuk Prenatal Testing Tes DNA yang dilakukan saat kehamilan dinamakan tes prenatal atau prenatal testing. Pada prenatal testing, sampel jaringan bisa didapat dari plasenta (korion) atau cairan amnion (ketuban). Untuk mendapatkan sampel ini terdapat 2 metode yang dasar yaitu dengan amniosentesis (pengambilan cairan ketuban) dan CVS (chorionic villous sampling = isolasi jonjot korion). Adapun amniosentesis dilakukan pada usia kehamilan minggu ke 16-20, dimana pada usia ini cairan amnion cukup banyak untuk bisa diambil. Prosedur ini dilakukan dengan panduan ultrasonografi (USG). Sedang CVS dilakukan pada minggu ke 10-13. Namun kedua metode ini memiliki beberapa resiko diantaranya kebocoran cairan amnion, infeksi pada rahim dan keguguran yang terjadi pada kurang lebih 1% kejadian. Namun apabila prosedur ini dilakukan pada tangan-tangan yang sudah ahli dan berpengalaman, maka resiko tersebut diatas dapat ditekan. Hasil dari analisa kedua metode ini cukup reliable dan akurat. Dari sampel jaringan ini kemudian diisolasi DNAnya untuk dianalisa lebih lanjut dengan teknik diagnostic PCR. Pap Smear untuk DNA Fingerprinting pada Prenatal Testing Teknologi Pap Smear sebenarnya sudah ditemukan sekitar 20 tahun yang lalu, namun penggunaannya pada sel-sel fetal belum banyak diaplikasikan 2. Umumnya Pap Smear dilakukan untuk deteksi adanya kanker serviks atau leher rahim. Penggunaan Pap Smear ntuk DNA fingerprinting dapat menggantikan prosedur amniosentesis yang dilakukan secara invasif pada usia kehamilan 16-20 minggu. Metode Pap Smear ini dilakukan 1. pada usia kehamilan 6 minggu dan dapat menghindari resiko keguguran 1% oleh teknik invasif 1. Para dokter umum di

24

daerah-daerah juga dapat dengan mudah melakukannya dengan sedikit menambah perlengkapan untuk mesin PCR untuk analisa DNAnya. Teknik diagnostik yang dapat dilakukan salah satunya adalah prosedur PCR berbasis STR (Single Tandem Repeat) dan Multiplex Fluorescent PCR (MFPCR) 2,3,6. Selain untuk DNA fingerprinting, teknik diagnostik MFPCR ini juga dapat dipakai untuk menentukan jenis kelamin anak, mengetahui adanya kelainan gen tunggal atau diagnosa aneuploidi kromosom pada anak 3. Teknik ini pernah dilakukan oleh ilmuwan di Australia, Jepang dan Jerman dengan hasil yang memuaskan 3,6.

Kesimpulan Metode DNA fingerprinting pada kandungan bermacam-macam. Yang umumnya dilakukan adalah dengan melakukan amniosentesis (pengambilan cairan ketuban) dan CVS (chorionic villous sampling = isolasi jonjot korion). Metode ini telah lama dilakukan, namun metode ini merupakan metode invasif yang tentu saja dapat menyakitkan baik sang ibu maupun janin yang dikandung. Waktu pengambilan juga antara 10-13 minggu kehamilan (CVS) dan 16-20 minggu kehamilan (amniosentesis). Dengan metode Pap Smear, kita dapat melakukan tes paternitas jauh lebih awal, yaitu di usia 6 minggu kehamilan sehingga keputusan untuk terminasi kehamilan (aborsi) dapat dilakukan lebih dini mengingat salah satu sudut pandang agama yang menyatakan dibolehkannya aborsi sebelum usia kehamilan 120 hari ( 16 minggu). Selain itu metode Pap Smear ini juga tidak menyakitkan baik bagi sang ibu maupun janin yang dikandungnya. Teknik diagnostik Pap Smear untuk DNA Fingerprinting saat ini masih perlu dikembangkan.

Daftar Pustaka 1. Chandramita Bora, DNA Testing During Pregnancy, http://www.buzzle.com/articles/dn a-testing-during-pregnancy.html, June 2009 2. Clara Pirani, Fetal Test Takes Needle Blues Away, The Weekend Australian News, March 2005. 3. Darryl Irwin, Ian Findlay, Using Single Cell Dna Fingerprinting To Identify Fetal Cells Serially Enriched From Pap Smears, XIX International Congress Of Genetics, 2003 4. http://protist.biology.washington.e du/fingerprint/elementa.html 5. Sinly Evan Putra, DNA fingerprint, Metode Analisis Kejahatan pada Forensik, chem.is-try.org, 2007 6. Toshikazu Kondo,Wolfgang Keil, et al., DNA Typing From Stained Sperm-positive Vaginal Smears: Four Rape Cases, Journal of Clinical Forensic Medicine, Vol 4, Issue 2, Pages 81-84, 1997

25

MIASIS Indah Widyaningsih, Bambang Supriyono Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
ABSTRAK Miasis adalah penyakit hewan yang disebabkan oleh makan larva lalat parasit dipterous pada jaringan inang nekrotik atau hidup. Bahasa sehari-hari untuk Myiasis termasuk flystrike dan terbang-putus. Myiasis merupakan masalah serius bagi industri peternakan, menyebabkan kerugian ekonomi yang parah di seluruh dunia. Meskipun kutu oleh larva lalat jauh lebih menonjol pada hewan, itu adalah relatif sering terjadi pada manusia di daerah pedesaan, tropis dan subtropis Myiasis bisa datang dalam segala macam variasi, tergantung pada spesies lalat dan di mana larva berada. Beberapa lalat dapat bertelur di luka terbuka, larva lain mungkin menyerang kulit tak terputus atau memasuki tubuh melalui hidung atau telinga, dan masih lain mungkin ditelan jika telur disimpan pada bibir atau pada makanan. Kunci dunia: larva, jaringan hidup, terbang larva

Myasis Indah Widyaningsih, Bambang Supriyono Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
ABSTRACT Myasis is an animal disease caused by parasitic dipterous fly larvae feeding on the host's necrotic or living tissue. Colloquialisms for myiasis include flystrike and fly-blown. Myiasis is a serious problem for the livestock industry, causing severe economic losses worldwide. Although infestation by fly larvae is much more prevalent in animals, it is a relatively frequent occurrence in humans in rural, tropical and subtropical regions Myiasis can come in all sorts of variations, depending on the fly species and where the larvae are located. Some flies may lay eggs in open wounds, other larvae may invade unbroken skin or enter the body through the nose or ears, and still others may be swallowed if the eggs are deposited on the lips or on food Key world : larva, living tissue, fly larva

DEFINISI Miasis adalah penyakit yang disebabkan oleh oleh infestasi larva lalat dari ordo Diptera pada manusia atau vertebrae hidup dan memakan jaringan mati atau hidup, cairan tubuh atau makanan yang ditelan hospesnya ( Lynne S. Garcia 1996 ). Miasis ini perlu dipelajari dan diketahui karena dapat menyebabkan penyakit pada manusia serta hewan yang hidup. Miasis ini pada umumnya jinak ( tidak berbahaya ) hanya pada infestasi tempat tempat tertentu saja yang berbahaya karena dapat mengakibatkan kematian ( Herms, 1998 ) Miasis ini banyak ditemukan pada Negara Negara tropis dan subtropis seperti Afrika dan Amerika . Beberapa penelitian menemukan miasis ini James ( 1984 ), Zumpt ( 1965 ) dan Morikawa ( 1958 ) juga beberapa laporan ditemukannya di Amerika Utara oleh Scott ( 1964 ) dan laporan serupa juga di Australia oleh Lee ( 1968 ) ( Medical entomology ). Petugas kesehatan di negara

negara yang berkembang di utara kurang mengenal dari infeksi parasit ini sehingga sering terjadi kesalahan diagnosis dan terapi yang tidak tepat. Perhatian yang besar dari petugas kesehatan mengenai gejala klinis serta riwayat penularan penyakit perlu diketahu untuk dapat melakukan terapi yang tepat. Penyakit ini banyak pada daerah pedesaan dan berhubungan dengan lingkungan yang buruk. Pada manusia infestasi larva ini dapat mengenai kulit, luka yang terbuka, usus dan rongga tubuh yang lain ( mulut, hidung, telinga, mata, sinus, vagina dan uretra dll ) ( Adisa and Mbanaso, 2004 ). KLASIFIKASI ( Anna M. West ) Klasifikasi dari miasis dibagi dua yaitu berdasrkan : 1. Klasifikasi berdasarkan Taksonomi 2. Klasifikasi berdasarkan etiologi KLASIFIKASI BERDASARKAN TAKSONOMI ( yang penting bagi

26

kesehatan ) : 1. Family Muscidae 2. Family Calliphorida - Genus Cochliomya - Genus Cordylobia - Genus Chrysomia - Genus Auchmeromya 3. Famili Sarchophagidae - Genus Sarcophaga - Genus Wohlfahrtia W.magnifica W. vigil

berubah menjadi larva, kemudian makanan / minuman tersebut tertelan oleh manusia atau hewan lain 3. Tempat tempat lain Pernah dilaporkan ditemukannya larva di urin, vagina dan paru paru ( inhalasi secara tidak sengaja dari lalat dewasa betina gravid atau melalui telur yang berterbangan. ( Chan JC 2005. Heng sin. Natali 1997. Jiang CA 2002. NG KH Yip KT 2003 ) EPIDEMIOLOGI Miasis endemik terutama di Negara Afrika dan Amerika di daerah tropis maupun subtropik, terutama pada musim panas ( Noutsis and Milikan ). Miasis merupakan penyakit self limiting infection. Pada umumnya miasis ini tidak berbahaya. Di Panama tercatat 160 kasus / 1000 pertahun dan dia Amerika tengah kemungkinan kasusnya lebih tinggi. GEJALA KLINIS Menurut Jiang C 2002, bahwa dia menemukan 54 kasus miasis di Cina sejak tahun 1995 2001. Beliau membagi miasis dalam tujuh kelompok yaitu : miasis pada mata, rongga hidung, telingan luar, kulit, organ pencernaan, Urogenital dan miasis trauma ( sub cutan ) ( Jiang C 2002 ) 1. Miasis pada kulit ( Furuncular Cutaneus Myasis ) Miasis pada kulit banyak dijumpai pada daerah pedesaan dan mempunyai lingkungan yang buruk. Seringkali miasis ini disertai dengan infeksi sekunder oleh bakteri. Miasis pada kulit disebabkan oleh tumbu fly ( Cordylobia antropophaga ) banyak ditemukan di Afrika ( Verald et all ). dan human botfly ( Dermatobia hominis ). Lokasi dari lesi bervariasi disebabkan karena cara penularannya yang berbeda. Miasis yang disebabkan oleh tumby fly ( Cordylobia antrophaga ) sering terdapat pada badan, bokong, paha. Sedangkan human botfly ( D. Hominis ) menyerang kepala, muka, lengan dan betis (

W.opaca 4. Famili Chloropidae - Genus Hippelates 5. Famili Gasterophilidae - Genus Gasterophilus 6. Famili Oestridae Oestus ovis, Rhinostreus purpures - Genus Hypoderma 7. Famili Cuterebridae - Genus Cuterebridae - Genus Dermatobia KLASIFIKASI BERDASARKAN ETIOLOGI ( Anna M West., Medical Entomology, Soedarto 20 ) 1. Miasis spesifik ( Miasis Obligatori ) , miasis yang berkembang pada berkembang pada jaringan atau manusia yang hidup 2. Miasis semi spesifik ( Miasis fakultatif ), parasit ini dapat tumbuh pada jaringan yang hidup atau yang mati 3. Miasis Akidental ( Miasis Accidental ), telur dari lalat akan masuk kedalam tubuh melalui makanan yang sudah terkontaminasi. JENIS JENIS MIASIS MENURUT JARINGAN YANG TERKENA ( Anna M. West. Hunter 1991. Soedarto 2007 ) 1.Kutan, jaringan mukokutan, mata, hidung dan telinga Larva masuk ke jaringan menimbulkan berbagai macam kelainan mulai dari iritasi, pruritus sampai invasi ke organ organ yang lain 2.Intestinal Lalat betina menempel pada makanan atau minuman kemudian bertelur lalu bisa

27

Luchina et al ). Larva dari keduanya dapat menginfestsi kedalam jaringan kulit. Beberapa jenis yang lain juga dapat menimbulkan gejala pada kulit : 1. Gasterophylus intestinalis 2. Cochliomya hominivorax ( famili Calliphorida ) 3. Chrysomia bezziana 4. Cordylobia rhodaini Gejala klinis : 1. Lesi berupa papul, eritema dan gatal dengan diameter 2 3 mm dalam waktu 24 jam setelah kontak dengan larva ( PurychAlberta, Swetter et al ) 2. Pada tempat lesi akan terasa sakit dan ini bisa disebabkan adanya duri disekitar tubuh larva yang dapat menimbulkan iritasi pada jaringan sekitarnya ( Purych ) 3.Papul dapat menjadi purulent dan bernanah ( infeksi ) 2. Miasis intestinalis ( miasis usus ) Biasanya terjadi pada infeksi larva jenis eksidental, dimana telur dari lalat tersebut terdapat dalam makanan dan kemudian makanannya tersebut dimakan oleh manusia sehingga dapat masuk ke usus dan berkembang menjadi larva sehingga dapat menginfestasi usus itu sendiri ( jenis Muscidae ). Sedangkan untuk jenis Sarcophagidae maka yang menempel pada makanan adalah jenis larvanya dan itu yang dapat masuk kedalam usus. Larva Sarcophagidae dapat menimbulkan ulkus atau iritasi pada usus. Miasis usus ini dilaporkan oleh Y. Chigusa 2000, dimana beliau menemukan adanaya larva Dryomiza formosa pada feses segar dari wanita Jepang penderita skizofrenia berusia 27 tahun. ( Medical Entomology. Heng Sin )

Jenis yang dapat menyebabkan miasis intestinalis antara lain : - Musca - Fania - Sarcophaga 3. Miasis pada luka yang terbuka ( miasis traumatik ) Pintu mauk dari infestasi lalat ini adalah melalui luka yag terbuka dimana lalat dewasa meletakkan telurnya pada luka atau di dekat luka terbuka dan berbau, lalu larva tersebut akan membuat terowongan dan membuat nodul pada subcutaneus ( Noutsis and Milikan ) Jenis yang dapat mengakibatkan miasis traumatik : - Sarcophaga - Calliphoridae 4. Miasis pada rongga tubuh Miasis ini sering terjadi pada organ organ lain yang dimulai dengan adanya lubang pada rongga tubuh. Miasis bisa terjadi pada rongga hidung maupun telinga dimana infestasi dari larva ini dapat memasuki organ otak, seperti diketahui bahwa organ otak berhubungan dengan hidung dan telinga melalui tuba Eustachii. Larva ini dapat merusak jaringan sekitar telinga sampai ke lapisan otak yang sangat berbahaya yang dapat menyebabkan kematian. Miasis dapat terjadi juga pada vulva, vagina bahkan pada traktus urinarius. Penularannya bisa melalui alat alat kedokteran contahnya pemakaian kateter pada orang sakit dimana kateter tersebut dapat terkontaminasi dengan telur atau larva dari lalat tersebut. Penyebab miasis Urinaria yang pernah dilaporkan adalah Fannia, Muscina, Musca, Calliphora dan Sarcophaga ( Soedarto 1992 ) .

28

Miasis pada rongga mata diambil dari : http://www.kaskus.us/showthread. CARA PENULARAN Cara penularan dari larva lalat tersebut bermacam macam tergantung dari jenis spesies lalat tersebut. Cordylobia antropophaga ( tumbu fly ), meletakkan telurnya pada tempat tempat antara lain tanah atau pakaian, telur akan berkembang menjadi larva dan membuat terowongan kedalam kulit ( Kpea and Zywocinski 1996 ). Siklus ini mirip dengan siklus hidup dari C. Rhodaini. RESERVOAR DAN VEKTOR Vektor atau resevoar yang dapat menyebabkan miasis yang disebabkan oleh lalat tergantung dari jenis apakah lalat tersebut, obligat / fakultatif atau eksidental, pada umumnya adalah berhubungan dengan nyamuk MASA INKUBASI Masa inkubasi tergantung dari siklus hidup dari lalat tersebut, pada umumnya antara 5 12 minggu.

29

Keterangan ini sangat penting karena sangat berguna untuk mendiagnosis penderita yangmempunyai riwayat mengadakan perjalanan dari darah endemik kurang lebih 5 12 minggu sebelumnya ( Tsuda et all 1995 ). DIAGNOSIS Diagnosis miasis ini sulit karena jarang ditemukan sehingga penatalaksanaannya menjadi terlambat. Diagnosis dini sangat penting diketahui untuk menghindari penggunaan antibiotik yang tidak efektif. Diagnosis yang perlu diketahui adalah : - Mempunyai riwayat perjalanan kedaerah endemik - Adanya satu / lebih lesi pada daerah yang terbuka - Cairan seros, atau seropurulent yang keluar dari pungtum lesi - Adanya gejala lokal antara lain : rasa gatal, nyeri terasa ada sesuatu yang bergerak dari lesi tersebut. - Adanya larva ( maggot ) yang ditemukan baik itu dari tempat lesi atau spesimen yang lain. - Ultrasound Penelitian di Inggris menggunakan ultrasound sebagai alat untuk mengetahui dan terapi pada larva yang dewasa. Peneliti sudah mengatahui lokasi dari larva dan ukurannya. Dengan alat ini dapat memudahkan pengangkatan larva melalui operasi. DIAGNOSIS BANDING - Cellulitis - Furunkulosis - laeismaniasis - Onchocerciasis - Tungais - Adenopathi - Abses kulit - Gigitan serangga - Kista subcutaneus PENATALAKSANAAN DAN TERAPI Pengangkatan dari larva terutama yang di kulit sulit karena bentuk dari larvanya yang mempunyai duri disekitar tubuhnya yang menancap pada jaringan sekitarnya. ( Swetter et al 1996 ) Pada umumnya miasis yang tidak

berbahaya tidak perlu diangkat ( Shorter et al, Bowry and Cottingham, Powers and Yorgensen 1997 ). Jika di angkat maka diadakan pembedahan dengan anestesi lokal, hati hati karena duri yang menancap pada jaringan sekitarnya dapat menyebabkan peradangan, infeksi bakteri terkadang telah membentuk granuloma. PENCEGAHAN : 1. Memakai baju adalah salah satu cara menghindari dari kontak dengan lalat 2. Jika ada luka maka luka tersebut harus ditutup guna menghindari kontak dengan lalat 3. Sayur, buah dan daging segar dan dicuci dahulu sebelum diolah 4. Tutup makanan matang sehingga tidak dihinggapi oleh lalat KESIMPULAN DAN SARAN 1. Miasis adalah infestasi larva dari ordo Diptera pada manusia atau mamalia lain 2. Infestasi dari parasit ini berhubungan dengan lingkungan yang buruk. 3. Miasis dibagi menurut taksonomi dan etiologi 4. Miasis menyerang hampir seluruh organ pada manusia 5. Kebanyakkan infestasi parasit ini tidak berbahaya dan jarang menyebabkan kematian kecuali yang menyerang organ vital ( otak ) 6. Diagnosis berdasarkan gejala klinis dan ditemukannya larva dari lesi / spesimen lain - Penatalaksanaan bisa dengan operasi ( pengangkatan larva )atau obat topikal - Pencegahan hindari kontak dengan vektor, kebersihan diri, memakai baju, mencuci dan menyetrikanya. DAFTAR PUSTAKA

1. Anna M. West. Myasis. File :// G : \ Myasis . 5/1/2007 2. Chan JC, Less js. Unusual Cases of Human Myasis Due to old World Screwworm . Chinese med

30

3.

4.

5. 6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

16.

journal. www pubmed 2005. 5/4/2007 G.Thomas Strickland. Tropical Medicine. WB Saunders 1991 Heng Sin. Dept Disease of the Skin and Veneral Disease. University of Cambodia. 5/7/2007 Jelinek T. Cutaneus Myasis. Int Journal Dermatol. 2000 Jiang C. A collective analysis on 54 cases of human myasis. Chinese med journal 2002. www pub med. 5/4/2007 Maurice T james. Medical Entomology. Mc Millan USA. 1969 Musca domestica house fly. University of Florida. 5/7/2007 Natali R, Menager. Salivary Myasis. Journal of trop med. www pub med 1997. 5/1/2007 NG KH, Yip KT. A case of oral Myasis. Hongkong med Journal 2003. 5/4/2007 Passos MR, Varela. Vulvar Myasis during pregnancy. www pub med 2002. 5/1/2007 Soedarto. Sinopsis Kedokteran. Airlangga university press 2007 Statistical Notes. Republic of South Africa. March 2006 www.pubmed. NG KH, Yip KT. A Case oral myasis due to Chrysomia bezziana. Dec 2003 www.pubmed. Sehgall R, Bhatti HP. Intestinal myasis due to Musca domestica : areport of two cases. Dec 2002. Shorter N; Werninghaus K. Afuruncel cuterebrid myasis. J Pediatr Surg. 1997. 5/3/2007

17. Sweter S; Stewart M. Cutaneous myasis following travel to Belize. Int J Dermatol 1998.

31

EKSPRESI PROTEIN P53 MUTAN PADA MELANOMA MALIGNA DAN NEVUS MELANOSITIK Lusiani Tjandra Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Abstrak Latar belakang : Melanoma maligna merupakan tumor ganas sel melanosit dengan pertumbuhan agresif dan resisten terhadap terapi konvensional. Proses karsinogenesis melanoma maligna secara umum melibatkan onkogen dan gen penghambat tumor yang berhubungan dengan siklus sel serta gen pengendali apoptosis.Mutasi pada gen P53 menyebabkan hilangnya fungsi gen dan menjadi dasar perubahan dalam proses terjadinya kanker. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah P53 berperan penting dalam proses karsinogenesis melanoma maligna. Metode : blok paraffin pasien melanoma maligna kulit di instalasi Patologi Anatomi RSU Dr Soetomo Surabaya sejak bulan Juli 2007 30 juni 2008.Sebagai pembanding diambil 5 kasus nervus melanositik. Blok paraffin dipotong dengan mikrotom, kemudian dilakukan pewarnaan Immunohistokimia dengan antibody anti p53 dan dihitung jumlah sel tumor positif. Hasil : pada penelitian ini didapatkan 50% kasus yang positif dengan pewarnaan anti P53. Analisis statistic uji Mann Whithney menunjukkan tidak ada peningkatan yang signifikan ekspresi protein P53 mutan (P=0,129 ; p> 0,05) pada melanoma maligna dibandingkan nevus melanositik. Kesimpulan: P53 kurang berperan pada karsinogenesis melanoma maligna yang menunjukkan adanya kemungkinan gen penghambat tumor lain yang lebih berperan, Kata kunci : Melanoma maligna, p53

P53 PROTEIN EXPRESSION IN MALIGNANT MELANOMA DAN MELANOCYTIC NEVI Lusiani Tjandra Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
ABSTRACT Background: Melanoma is the form of skin cancer that has an aggressive behavior and resistance to conventional therapy. These unusual behaviors reflecting its unique carcinogenesis process which involve several mutations in chromosomes and genome that regulate proliferation and apoptotic process. The most common mutated genes in malignant tumors is p53. The object of this study is to determine whether these three genes play an important role in melanoma carcinogenesis. Methods: block paraffin of melanoma patients from Pathologic Department were collected from the period of July 2007 until June 2008. Five cases of melanocytic nevi were added as a control groups. The block then cut by microtome, placed on microscopic slides which stained with monoclonal antibody against p53 respectively. Results: melanoma specimen show 50% cases has scattered positive cell for p53 staining. The data then statistically analyzed Mann Whitney and the result shows that there was no significance difference in the expression of p53 (p = 0,129 ; p > 0,05) in melanoma compared with nevus. Conclusions: p53 has a less role in melanoma carcinogenesis suggesting that there was another tumor suppressor genes that was mutated in melanoma cells. Keywords: malignant melanoma, p53

PENDAHULUAN Melanoma maligna merupakan tumor ganas sel melanosit dengan pertumbuhan agresif dan resisten terhadap terapi. Sel melanosit merupakan sel normal yang terdapat pada lapisan basal epidermis kulit. Sel ini berfungsi untuk melindungi tubuh dari paparan sinar matahari terutama sinar UV yang dapat merusak komposisi DNA sel normal. Paparan sinar ultraviolet B serta terjadinya mutasi gen yang berperan dalam proliferasi dan apoptosis sel, dapat

meningkatkan pertumbuhan sel melanosit dan menghasilkan tumor, baik tumor jinak yang disebut nevus melanositik atau tumor ganas yang dikenal sebagai melanoma maligna. Sampai saat ini peran p53 pada melanoma maligna belum dapat dijelaskan. Melanoma maligna merupakan tumor ganas kulit yang paling banyak menimbulkan kematian di Amerika Serikat dan Eropa (Ugurel, 2009). Di Australia, insiden dan mortalitas masih terus meningkat. Di Indonesia menurut data

32

histopatologis, kanker kulit merupakan kanker ketiga tersering dan melanoma maligna menyebabkan 1% sampai 2% dari semua kematian akibat kanker (Harahap, 2000 ; Djuanda, 1999). Proses berkembangnya sel melanosit menjadi nevus ataupun melanoma maligna terjadi melalui banyak tahapan dan melibatkan banyak perubahan pada gen maupun kromosom. Penelitian dengan teknik Comparative genomic Hybridization pada melanoma telah mengidentifikasi beberapa perubahan kromosom baik berupa penambahan maupun pengurangan jumlah nukleotida pada melanoma maligna dibandingkan dengan sel melanosit maupun nevus melanositik. Perubahan tersebut melibatkan mutasi berbagai macam gen yang berperan pada karsinogenesis melanoma maligna (Bastian, 1998). Pola pertumbuhan melanoma yang agresif dan resisten terhadap terapi konvensional berkaitan dengan proses karsinogenesis tumor. Proses karsinogenesis melanoma melibatkan mutasi beberapa gen yang berfungsi sebagai gen pengatur pertumbuhan sel (p53). Mutasi pada gen tersebut akan menghasilkan pertumbuhan neoplastik sel melanosit baik berupa neoplasma jinak (nevus melanositik) maupun neoplasma ganas (melanoma maligna). Pemahaman karsinogenesis melanoma diperlukan untuk mengungkap perilaku biologi tumor serta cara untuk menghambat pertumbuhan tumor. Walaupun sudah banyak diiteliti tetapi karsinogenesis melanoma masih belum dapat diungkap secara menyeluruh. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah ada peningkatan yang bermakna dari ekspresi protein p53 pada melanoma maligna dibanding dengan nevus melanositik. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi panduan dalam terapi melanoma maligna. BAHAN DAN CARA KERJA A.Sampel penelitian Kasus melanoma dari 1 Juli 2007

sampai dengan 31 Juli 2008 di Instalasi Patologi Anatomi RSU Dr. Soetomo sebanyak 26 kasus, yang memenuhi kriteria inkusi dan eksklusi penelitian sebanyak 10 kasus dan 5 kasus nevus melanositik sebagai pembanding. Rancangan penelitian ini adalah eksplanatori dan jenis penelitian adalah observasional analitik. B.Pemeriksaan Immunohistokimia Ekspresi protein p53 mutan merupakan jumlah sel tumor dengan inti berwarna merah (pada pemeriksaan imunohistokimia) dan dihitung dari 100 sel tumor. Pada setiap kasus diberikan skor berdasarkan hasil penghitungan jumlah sel tumor yang memberikan reaksi positif terhadap antibodi p53 dengan ketentuan sebagai berikut (Stretch, 1991) : Skor 0 = sel tumor tidak terwarnai pada intinya Skor +1 = sel tumor terwarnai pada inti sel < 5 % Skor +2 = sel tumor terwarnai pada inti sel antara 5 50% Skor +3 = sel tumor terwarnai pada inti sel > 50 % HASIL DAN ANALISIS PENELITIAN Hasil pemeriksaan immunohistokimia sel tumor yang mengekspresikan protein p53 mutan pada melanoma maligna dan nevus melanositik. Pemeriksaan jumlah sel tumor yang mengekspresikan p53 mutan pada melanoma maligna dilakukan dengan teknik immunohistokimia Biotin Streptavidin Amplified. Satu sampel diamati dan dihitung jumlah sel tumor yang mengekspresikan protein p53 mutan dengan menggunakan mikroskop cahaya pembesaran 400x. diamati pada seluruh lapang pandang dan dihitung jumlah sel tumor yang memberikan reaksi positif dan negatif terhadap antibodimonoklonal p53. Hasil perhitungan dapat dilihat pada lampiran 4, kemudian dihitung persentase dan diberi skor, hasil dapat dilihat pada gambar 1

33

Ekspresi p53 pada Nevus dan Melanoma


6 4 2 0 Nevus Melanoma Negatif Positif 1 Positif 2 Positif 3

Gambar 1. Ekspresi p 53 pada nevus dan melanoma Dari gambar 1 dapat diketahui bahwa 10 kasus melanoma hanya 5 kasus yang menunjukkan ekspresi protein p53 yang positif dengan rincian 2 kasus positif pada < 5% sel tumor dan 3 kasus positif pada 5 10% sel tumor. Tidak ada kasus yang positif > 10% sel tumor. Sedangkan untuk kasus nevus tidak ada yang memberikan hasil positif.

Pengujian peningkatan ekspresi protein p53 pada melanoma maligna dibandingkan nevus melanositik. Dari hasil analisis statistika dengan mengunakan uji Mann Whitney didapatkan tidak ada peningkatan yang bermakna ekspresi protein p53 mutan pada melanoma dibanding dengan nevus melonositik (p = 0,129 ; p > 0,05). DISKUSI Jumlah kasus melanoma dari 1 Juli 2007 sampai dengan 31 Juli 2008 di Instalasi Patologi Anatomi RSU Dr. Soetomo sebanyak 26 kasus. Dari 26 kasus, 10 kasus yang memenuhi kriteria inklusi dan digunakan dalam penelitian ini, sedangkan untuk nevus melanositik diambil 5 kasus sebagai pembanding. Kriteria pemilihan kasus nevus adalah proliferasi sel yang mengandung pigmen melanin dan secara jelas menunjukkan perilaku jinak pada gambaran histologi (nevus intradermal). Sampel penelitian melanoma terdiri dari 7 orang penderita wanita dan 3 orang penderita pria dengan rentang usia antara 28 80 tahun. Menurut literatur melanoma maligna dapat menyerang semua umur dengan insiden paling banyak pada usia di atas 40 tahun, tanpa adanya predileksi jenis kelamin (Harahap, 2000). Lokasi melanoma yang sering ditemukan (7 dari 10 kasus) adalah melanoma pada daerah telapak kaki dan jari kaki (acral melanoma). Melanoma jenis ini faktor paparan sinar matahari kurang berperan dalam proses terjadinya tumor, karena telapak kaki relatif terlindung dari sinar matahari. Dua kasus

Gambar 2 Fotomikroskopi Melanoma maligna dengan pewarnaan antibodi p53 pembesaran 400 X Tampak sel tumor memberikan reaksi positif dengan inti berwarna merah (tanda panah).

34

yang lain adalah penderita wanita dengan melanoma pada daerah perineum / vulva dan kulit abdomen yang juga terlindung dari sinar matahari, hanya satu penderita melanoma di kulit regio cruris dimana paparan sinar matahari ikut berperan pada proses karsinogenesis. Gambaran mikroskopis penderita melanoma maligna di RSU Dr. Soetomo Surabaya adalah semua kasus menunjukkan sel melanosit anaplastik yang menghasilkan pigmen dan tidak didapatkan kasus amelanotik melanoma. Derajad invasi tumor semuanya tergolong Clark level 5 dengan kedalaman invasi tumor menurut Breslow pada level 4 serta pertumbuhan tumor secara vertikal (Vertical Growth Phase). Tidak ditemukannya kasus melanoma tahap awal disebabkan oleh kurangnya pengetahuan tenaga medis dan masyarakat akan gejala melanoma secara dini. Gejala melanoma awal serupa dengan lesi kulit lain yang berpigmen seperti nevus melanositik, nevus biru (blue nevus) serta pigmented basal cell carcinoma sedangkan melanoma amelanotik dapat memberikan gejala yang serupa dengan pyogenic granuloma, hemangioma atau basal cell carcinoma (Paek, 2008). Ditemukannya kasus melanoma pada stadium lanjut disebabkan oleh jenis pertumbuhan melanoma yang termasuk pola pertumbuhan vertikal (Vertical Growth Phase) sehingga tumor dapat melakukan invasi pada struktur kulit bagian bawah dalam waktu singkat, tanpa atau belum melakukan penyebaran secara horisontal. Hal ini berbeda dengan kasus yang ditemukan di negara barat dimana sebagian besar berupa melanoma dengan penyebaran superfisial (Superficial Spreading Melanoma) yang menunjukkan pola penyebaran secara horisontal. Berkembangnya sel melanosit menjadi nevus melanositik dan melanoma maligna yang tumbuh secara vertikal melalui beberapa tahapan. Mutasi paling awal ditemukan pada gen NRAS dan BRAF yang tergolong dalam jalur MAP kinase. Mutasi ini menyebabkan sel melanosit berproliferasi dan membentuk nevus melanositik. Proliferasi sel nevus bersifat terbatas dimana pada suatu titik tertentu akan berhenti karena sel

mengalami senescence. Proses senescence dipengaruhi oleh gen p16INK4a yang merupakan tumor supresor gen, yang berperan dalam jalur gen retinoblastoma (Rb). Tahap berikut dalam terjadinya melanoma adalah Nevus displastik yang memiliki kemampuan menghindar dari proses senescence. Proses terjadinya nevus displatik melibatkan mutasi pada gen p16INK4a dan CDK4 yang berperan dalam jalur Rb. Kedua gen ini dikenal sebagai gen susceptibilitas melanoma. Aktivasi telomerase pada nevus displastik menghasilkan perubahan menjadi melanoma dengan pertumbuhan radial / horisontal yang menghasilkan sel melanosit imortal (dapat berproliferasi terus tanpa mengalami proses senescence) akan tetapi pertumbuhan sel tumor masih bergantung pada sel keratinosit di sekitarnya. Tahap akhir dari progresi melanoma adalah melanoma dengan pola pertumbuhan vertikal yang bersifat invasif dan tidak bergantung pada keratinosit. Proses ini melibatkan mutasi pada jalur penghambat apoptosis. (Ha Linan, 2008; Bennet C Dorothy 2003). Ekspresi protein p53 pada melanoma maligna Pada sel normal didapatkan molekul p53 wild type yang berfungsi mengendalikan replikasi DNA. Mutasi pada gen p53 menghasilkan protein p53 mutan serta hilangnya fungsi p53 wild type untuk mengendalikan siklus sel. Ekspresi protein p53 mutan merupakan perubahan yang umum didapatkan pada berbagai jenis kanker pada manusia. Gen p53 terletak pada lokus kromosom 17p13 yang umumnya mengalami delesi. Penelitian struktur kromosom pada melanoma didapatkan bahwa terjadi banyak perubahan kromosom pada melanoma primer tetapi mutasi pada kromosom 17 tempat gen p53 jarang ditemukan. Hal ini menunjukkan bahwa mutasi gen p53 kurang berperan dalam terjadinya melanoma (Stretch, 1991). Pada penelitian ini ekspresi protein p53 mutan didapatkan pada 5 dari 10 kasus melanoma, dengan kurang dari 10% sel tumor yang terwarnai sedangkan pada kasus nevus melanositik tidak ada kasus yang memberikan reaksi p53 positif

35

. Menurut analisis statistik tidak didapatkan peningkatan ekspresi protein p53 mutan secara bermakna pada melanoma maligna dibandingkan nevus melanositik (p= 0,129 ; p > 0,05). Proses pertumbuhan melanoma maligna melibatkan dua jalur mutasi yaitu gen p53 atau gen p16INK4a sebagai tahap untuk menghindari proses senescence. Walaupun peran inaktivasi gen p16INK4a dalam melanoma sudah dapat dipastikan, peranan mutasi gen p53 masih belum dapat dijelaskan sepenuhnya. Secara normal gen p53 dapat mencegah terjadinya tumor dengan menjaga stabillitas genom, penghentian siklus sel pada tahap tertentu, induksi apoptosis serta menghambat aktivitas transkripsi gen yang berperan pada progresi tumor (Milyavsky, 2005) sehingga gen p53 dikenal sebagai gen penjaga (guardian genome). Frekuensi mutasi gen p53 pada melanoma dilaporkan lebih rendah dibanding dengan tumor ganas lainnya (Rodolfo, 2005). Penelitian Yang et al menemukan mutasi gen p53 pada 25% kasus melanoma. Mekanisme perubahan yang menyebabkan kerusakan jalur p53 terletak pada lokus CDKN2A berakibat mutasi pada gen ARF (alternatif reading frame) dan p16. ARF berperan menjaga aktivitas fungsional p53 sedangkan p16 lebih berperan pada jalur retinoblastoma (Rb). Delesi pada ekson CDKN2A mengganggu kedua jalur tersebut. Walaupun pada umumnya mutasi melibatkan salah satu jalur di atas, mutasi gen p53 dan p16 secara bersamaan dapat terjadi pada beberapa kultur sel melanoma yang seringkali berhubungan dengan mutasi BRAF. Mutasi yang bersamaan ini ditemukan pada penderita dengan survival yang rendah (Daniotti, 2004). Sebagai gen penjaga, gen p53 berfungsi dalam perbaikan DNA sel pada kulit yang rusak karena berbagai macam faktor seperti sinar ultraviolet, obat yang diberikan secara topikal serta iritasi kronis. Mutasi gen p53 pada kulit telah terbukti berperan dalam terjadinya karsinoma sel skuamous sedangkan pemberian p53 wild type dapat menghentikan pertumbuhan sel kanker dan menginduksi apoptosis. Analisis proses perkembangan dan progresi melanoma menunjukkan bahwa

mutasi genetik p53 pada melanoma sedikit ditemukan sedangkan peningkatan ekspresi p73 yang termasuk keluarga gen p53, berhubungan dengan progresi dari melanoma primer menjadi metastasis. Keluarga gen p53 terbukti berperan dalam perbaikan kerusakan DNA pada melanosit, proses apoptosis dan penghentian siklus sel melanosit (Johnson, 2005). PENUTUP Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Tidak didapatkan peningkatan bermakna ekspresi protein p53 mutan pada melanoma maligna dibanding dengan nevus melanositik. Daftar Pustaka Bastian C Boris, LeBoit E Phillip, Hamm Henning, Brocker Eva-Bettina and Pinkel Dan, 1998. Chromosomal Gains and Losses in Primary Cutaneous Melanomas Detected by Comparative Genomic Hybridization. Cancer Research 58 : 2170-2175. Bennett C Dorothy, 2003. Human melanocyte senescence and melanoma susceptibility genes, Oncogene 22: 3063-3069.

Daniotti M, Oggionni M, Ranzani T, 2004.BRAF alternations are associated with complex mutational profiles in malignant melanoma. Oncogene 23;59685977. Djarwanto, 2007 : Statistik Nonparametrik Edisi 4, Yogyakarta. 30-35, 75-80 Djuanda Adhi, Hamzah Mochtar, Aisah Siti, 1999 : Ilmu Penyakit Kulit dan kelamin Edisi 3, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 221-223. Ha Linan, Merlino Glenn, and Sviderskaya V Elena, 2008. Melanomagenesis : Overcoming the Barrier of Melanocyte Senescence, Cell Cycle, Juli I; 7(13); 1944-1948.

36

Harahap M, 2000. Ilmu Penyakit Kulit, Hipokrates. Jakarta, 228-235 Johnson Jodi, Lagowski James, Sundbert Alexandra and Kulesz-Martin Molly, 2005. P53 Family Activities in Development and Cancer : Relationship to Melanocyte and Keratinocyte Carcinogenesis, J Invest Dermatol125: 857-864. Milyavsky M, Tabach Y,Shats I, 2005. Transcriptional programs following genetic alterrations in p53, INK4A and H-Ras genes along defined stanges of malignant transformation. Cancer Res 11 :4530-4543. Paek SC, Sober AJ, Tsao H, 2008, Cutaneous melanoma in : Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K editor, Fitzpatricks Dermatologyin general medicine 7th ed New York: Mc Grow Hill, p 1134-1157. Rodolfo M, Pierotti MA and Parmiani G, 2005. A Merging Duo in melanoma Formation, The society for Investigative Dermatology, p1242-1251. Stretch JR, Gatter KG, Ralfkiar E, Iane DP and Harris AI, 1991. Expression of mutant p53 in melanoma. Cancer Resear Ch51.Nov I, p5976-5979 Ugurel Selma, Utikal Jochen, and Becker C Jurgen, 2009. Tumor Biomarkers in Melanoma, Cancer Control Juli, 16 (3), 219 224.

37

PCR AND SOUTHERN BLOT FOR LYMPHOMA MALIGNA Titiek Sunaryati Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Abstrak Analisis blot Southern tetap menjadi standar emas untuk mendeteksi T-sel reseptor antigen (TCR) penyusunan ulang gen, biasanya target gen- TCR karena penataan-kembali TCR- terlalu terbatas untuk membedakan andal monoklonal dari populasi T-sel poliklonal. Tetapi karena reaksi rantai polimerase (PCR) adalah cepat dan teknis yang kuat, secara bertahap menggantikan analisis blot Southern sebagai metode pilihan untuk mendeteksi penyusunan ulang gen klonal TCR. Kami retrospektif mempelajari 52 sampel jaringan segar-beku dari pasien klinis dicurigai keganasan T-sel. Sebuah penataan gen klonal TCR- terdeteksi pada 14 sampel dengan analisis DNA kurva leleh. Ketika pencairan DNA dibandingkan dengan metode standar emas blot Selatan atau denaturing gradien elektroforesis gel, itu mencapai sensitivitas sebesar 71% dan spesifisitas sebesar 94%. Kami juga membandingkan analisis kurva leleh dan polyacrylamide gel elektroforesis: analisa kurva leleh mencapai sensitivitas sebesar 100% dan spesifisitas sebesar 97%. Kami menyimpulkan bahwa pemaparan analisis DNA kurva dalam sistem LightCycler memiliki potensi untuk penggunaan klinis sebagai metode, baru ultra-cepat untuk diagnosis awal penyusunan ulang gen klonal TCR-. Kata kunci: Southern blot, PCR, penyusunan ulang gen TCR, LightCycler system

PCR DAN BLOT SELATAN UNTUK LIMFOMA MALIGNA Titiek Sunaryati Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
Abstract Southern blot analysis remains the gold standard for detecting T-cell antigen receptor (TCR) gene rearrangements, it usually targets the TCR- gene because the rearrangements of TCR- are too limited to reliably distinguish monoclonal from polyclonal T-cell populations. But because the polymerase chain reaction (PCR) is rapid and technically robust, it has gradually replaced Southern blot analysis as the method of choice for detecting clonal TCR gene rearrangements. We retrospectively studied 52 fresh-frozen tissue samples from patients clinically suspected of T-cell malignancy. A clonal TCR- gene rearrangement was detected in 14 samples by DNA melting curve analysis. When DNA melting was compared to the gold standard methods of Southern blot or denaturing gradient gel electrophoresis, it achieved a sensitivity equal to 71% and a specificity equal to 94%. We also compared melting curve analysis and polyacrylamide gel electrophoresis: melting curve analysis reached a sensitivity equal to 100% and a specificity equal to 97%. We conclude that DNA melting curve analysis in the LightCycler system has potential for clinical use as a new, ultra-fast method for the initial diagnosis of clonal TCR- gene rearrangements. Keywords: Southern blot, PCR, TCR gene rearrangements, LightCycler system

Introduction The invention of polymerase chain reaction (PCR) by Kary Mullis in 1984 was considered as a revolution in science. Real-time PCR, hereafter abbreviated RT PCR, is becoming a common tool for detecting and quantifying expression profiles of selected genes (Deepak, 2007). Southern blotting is still one of the standard techniques to determine the presence of a gene and its integrity. The method can be used to detect small mutations as well as large deletions, duplications and gene rearrangements. A Southern blot is a method routinely used in molecular biology for detection of a specific DNA sequence in DNA samples.

Southern blotting combines transfer of electrophoresis-separated DNA fragments to a filter membrane and subsequent fragment detection by probe hybridization. The method is named after its inventor, the British biologist Edwin Southern in the 1970 (Southern, 1975). PCR And SOUTHERN BLOT For Lymphoma Maligna Various molecular methods have been developed to diagnose clonal T-cell receptor (TCR) gene rearrangements in clinical samples. Most polymerase chain reaction strategies for detecting clonal TCR gene rearrangements rely on either gel or capillary electrophoresis. However,

38

a cumbersome manual transfer step separates amplification from analysis ( Xiao, 2005). Recently, we developed a novel polymerase chain reaction assay using the LightCycler system to detect clonal immunoglobulin heavy chain gene rearrangement. In the current study, we extend this work to include the TCR. We report that clonal TCR- (TCR-) gene rearrangements can be detected in less than 1 hour after preparing the DNA by measuring DNA melting immediately after amplification in a single closed capillary tube ( Xiao, 2005). We retrospectively studied 52 freshfrozen tissue samples from patients clinically suspected of T-cell malignancy. A clonal TCR- gene rearrangement was detected in 14 samples by DNA melting curve analysis. When DNA melting was compared to the gold standard methods of Southern blot or denaturing gradient gel electrophoresis, it achieved a sensitivity equal to 71% and a specificity equal to 94%. We also compared melting curve analysis and polyacrylamide gel electrophoresis: melting curve analysis reached a sensitivity equal to 100% and a specificity equal to 97%. We conclude that DNA melting curve analysis in the LightCycler system has potential for clinical use as a new, ultra-fast method for the initial diagnosis of clonal TCR- gene rearrangements ( Xiao, 2005). Southern blot analysis remains the gold standard for detecting T-cell antigen receptor (TCR) gene rearrangements, it usually targets the TCR- gene because the rearrangements of TCR- are too limited to reliably distinguish monoclonal from polyclonal T-cell populations. But because the polymerase chain reaction (PCR) is rapid and technically robust, it has gradually replaced Southern blot analysis as the method of choice for detecting clonal TCR gene rearrangements ( Xiao, 2005). The TCR- gene has become a favorite target for PCR-based T-cell clonality assays for two reasons: it is rearranged in most / and / T cells and its structure, containing 14 V segments and 5 J segments, is relatively simple. In contrast, the TCR- locus is highly complex: It

includes 64 to 67 V segments, 2 D segments, and 13 J segments. Thus, there have been few diagnostic PCR studies of TCR- gene arrangements compared to TCR- because of the necessity for many primers. But now a set of rigorously tested multiplex primers for TCR- are available ( Xiao, 2005). Traditional strategies for detecting TCR clonality using DNA-based PCR rely either on measuring the length of the amplicon or on detecting gel mobility variations owing to sequence-dependent conformational changes. Recently, we and others have shown that DNA melting curve analysis is a rapid and accurate method for detecting clonal immunoglobulin heavy chain (IGH) gene rearrangements. Melting curve analysis has also proven to be useful for studying clonal TCR- gene rearrangements. Because TCR- is structurally similar to IGH in terms of containing not only V and J but also D gene segments, we hypothesized that DNA melting curve analysis could detect clonal TCR- gene rearrangements as well. Therefore, we evaluated the diagnostic utility of combining TCR- PCR and melting curve analysis in a panel of T-cell malignancies and reactive lymphoid tissues ( Xiao, 2005). In the current report, we use LightCycler-PCR and DNA melting curve analysis to experimentally demonstrate that clonal TCR- gene rearrangements in T-cell lymphomas produce homoduplex PCR amplicons with a sharp dF/dT peak. In contrast, nonclonal TCR- gene rearrangements produce heteroduplexes in tonsil, B-cell lymphomas, and reactive lymphoid hyperplasia. To our knowledge, only one other LightCycler study has used DNA melting to analyze TCR gene rearrangements: clonal TCR- gene rearrangements were reported in a series of cutaneous T-cell lymphomas; the sensitivity equaled 59% by melting curve analysis and 72% by PAGE ( Xiao, 2005). The sensitivity of a TCR- gene rearrangement PCR assay is dependent on both the primers and the analytic system. For example, PCR-PAGE assays yield a sensitivity of 44 to 76%. On the other hand, two-step PCR assays in combination

39

with direct sequencing or seminested PCR in combination with GeneScan yield an enhanced sensitivity of 98 to 100%. However, all of these traditional methods require a cumbersome manual transfer step in between amplification and analysis ( Xiao, 2005). The distribution of gene segments in either TCR- or TCR- genes are highly variable. For the TCR- gene, no single common sequence is sufficient to identify and amplify all of the possible rearrangements that occur in T-cell lymphomas. Therefore, multiple primer sets are needed. The same is true for the detection of TCR- gene rearrangements. Recently, standardized multiplex PCR primers have been tested in 32 diagnostic PCR laboratories in Europe (BIOMED-2 Concerted Action). In the TCR- PCR portion of this study, clonal TCR- gene rearrangements were detected by heteroduplex analysis in 86% of cases and by GeneScan analysis in 79% of cases of 29 Southern blot defined cases. A similar study in fresh-frozen tissues, using BIOMED-2 multiplex PCR primers, detected clonal TCR- gene rearrangements using heteroduplex and GeneScan analyses in 76% and 66% of cutaneous T-cell lymphomas, which was comparable to Southern blot analysis (68%). In the current report, we have used the BIOMED-2 TCR- primers for PCR amplification, but DNA melting for analysis. Overall, we achieved a sensitivity of 71%, which is equivalent to the other methodologies ( Xiao, 2005). Although we could routinely amplify TCR- using primer sets A and C, we were not successful using primer set B. Both primer sets A and B cover the identical 23 V gene segments. The major difference between primer sets A and B is in the coverage of the J region. Primer set A contains six J1 primers and three J2 primers: J1.1 to 1.6, 2.2, 2.6, and 2.7. On the other hand, primer set B contains four J2 primers and no J1 primers: J2.1, 2.3, 2.4, and 2.5. Primer set C contains two D primers and no V primers: D1 and D2. In addition, primer set C contains all 13 J indicated above. Therefore, the inability to amplify TCR- gene rearrangements using primer set B

appears to be because of the J2.1, 2.3, 2.4, and 2.5 DNA sequences. Thus, we will underestimate TCR- gene rearrangements that use these J2 sequences ( Xiao, 2005). Real-time PCR using allele-specific oligonucleotides in the LightCycler can be used to quantify minimal residual disease in acute lymphoblastic leukemia at the 104 and 106 level of leukemia cells. Clearly, the TCR- LightCycler-PCR method described here is not suitable for detecting minimal residual disease because the lower limits varied between 12.5% and 6.25% of clonal DNA. Nevertheless, the detection limit for TCR- is of the same order of magnitude as other melting curve assays for IGH (12.5%) and for TCR- (10%) ( Xiao, 2005). Unfortunately, we could not detect TCR- gene rearrangements in FFPE tissues using LightCycler and DNA melting curve analysis. In our previous study of IGH, DNA melting curve analysis did successfully detect gene rearrangements from FFPE tissues, but the size of those PCR amplicons was much smaller, ranging from 69 to 129 bp. In contrast, the BIOMED-2 TCR- primer sets generate larger PCR products. Primer set A: 240 to 285 bp; primer set B: 240 to 285 bp; primer set C: 170 to 210 and 285 to 325 bp. Initially, we considered that the most likely reason why TCR- clonality could not be detected in the LightCycler from FFPE tissues was because of the larger PCR products of TCR- compared to IGH. However, after successfully reamplifying a 324-bp fragment of globin using conventional PCR soon after the LightCycler analysis, we conclude that DNA integrity by itself is not a sufficient explanation. We can only speculate that whereas the FFPE DNA could be amplified by conventional PCR, it may be suboptimal for producing relatively large amplicons under the LightCycler conditions. Also, DNA extracted from FFPE tissue tends to be severely fragmented and might contain PCR inhibitors that do not affect conventional PCR but could be detrimental in the LightCycler ( Xiao, 2005). We believe that DNA melting curve analysis for the detection of clonal TCR-

40

gene rearrangements has several unique advantages: monoclonal versus polyclonal T cells are distinguished based on fundamental DNA characteristic such as length, sequence, G:C content, and Watson-Crick base pairing, very fast temperature transition rates give rapid results (less than 1 hour after DNA preparation); precise temperature control produces accurate and reproducible Tms; and combined PCR and DNA melting curve analysis in a closed system reduce cross-contamination risk. Using the same PCR products, melting curve analysis versus PAGE revealed sensitivity equal to 100% and specificity equal to 97%. Further, melting curve analysis compared to gold standard methods of Southern blot and DGGE revealed sensitivity equal to 71% and specificity equal to 94%. These results are within the typical range of most other methods for detecting PCR products. Because the sensitivity of detecting a Tcell clone diluted in tonsil DNA is between 6.25% and 12.5%, DNA melting curve analysis is clearly not suitable for assaying minimal residual disease in T-cell lymphomas. Nevertheless, we believe that this LightCycler DNA melting assay could play a role in rapidly evaluating clonal TCR- gene rearrangements in initial fresh or frozen tissue samples ( Xiao, 2005). Conclusion Recently, we developed a novel polymerase chain reaction assay using the LightCycler system to detect clonal immunoglobulin heavy chain gene rearrangement. We conclude that DNA melting curve analysis in the LightCycler system has potential for clinical use as a new, ultra-fast method for the initial diagnosis of clonal TCR- gene rearrangements. REFERENCES Deepak SA, Kottapalli KR, Rakwal R, 2007. Real-Time PCR: Revolutionizing Detection and Expression Analysis of Genes, Current Genomics 8(4):234-251.

Heid CA, Stevens J, Livak KJ, Williams PM,1996. Real time quantitative PCR. Genome Res. 6:986994. Innis MA, 1990. Academic Press. PCR Protocols: A Guide to Methods and Applications. Shimizu H, and Burns J.C, 1995. in: PCR Strategies, Innis, M.A. et al. (eds.), Academic Press, San Diego, CA, 2. Southern, E.M. 1975. Detection of specific sequences among DNA fragments separated by gel e1lectrophoresis, J Mol Biol. 98:503-517. Xiao Y, Dongsheng X, 2005. Rapid Detection of Clonal T-Cell Receptor- Gene Rearrangements in T-Cell Lymphomas Using The Light Cycler-Polymerase Chain Reaction with DNA Melting Curve Analysis. J. Mol Diagn 7:81-88.

41

PRODUKSI ETANOL DARI HIDROLISAT CARBOXY METHYL CELLULOSE (CMC) Masfufatun Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Abstrak Carboxy Methyl Cellulose (CMC) merupakan turunan selulosa yang mudah larut dalam air. Oleh karena itu CMC mudah dihidrolisis menjadi gula-gula sederhana oleh enzim selulase dan selanjutnya difermentasi menjadi etanol oleh bakteri. Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari pola fermentasi Zymomonas mobilis ATCC 10988 yang menggunakan hidrolisat Carboxy Methyl Cellulose (CMC) sebagai substrat dalam produksi etanol. Kadar etanol dari proses fermentasi dianalisa dengan Kromatografi Gas (GC). Setelah fermentasi berlangsung selama 10 jam laju konsumsi glukosa (hidrolisat CMC) Zymomonas mobilis meningkat dengan tajam yaitu sebesar 0,0967 g glukosa/L per jam. Sedangkan laju konsumsi glukosa murni Zymomonas mobilis lebih besar dan lebih cepat yaitu 0,2581 g glukosa/L per jam setelah fermentasi berlangsung 5 jam. Laju konsumsi hidrolisat CMC maupun glukosa murni mulai konstan pada saat fermentasi berlangsung selama 30 jam. Fermentasi dengan menggunakan Hidrolisat Carboxy Methyl Cellulose (CMC) sebagai substrat dihasilkan etanol sebesar 0,457 g/g glukosa atau yield etanol sebesar 89,6% dibanding teori (0,0283 g etanol/g CMC). Kata Kunci: Hidrolisis, hidrolisat Carboxy Methyl Cellulose,selulase,etanol

ETHANOL PRODUCTION FROM HYDROLYSED CARBOXYMETHYL CELLULOSE (CMC) Masfufatun Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
Abstract Carboxy Methyl Cellulose (CMC) is a derivative of cellulose soluble in water. Therefore, CMC easily hydrolyzed into simple sugars by cellulase enzymes and subsequently fermented into ethanol by bacteria. The purpose of this research was to study the pattern of fermentation of Zymomonas mobilis ATCC 10988 using hydrolysed carboxy methyl Cellulose (CMC) as substrate in ethanol production. Levels of ethanol from the fermentation process is analyzed by Gas Chromatography (GC). After fermentation lasted for 10 hours the rate of consumption of glucose (hydrolysed CMC) Zymomonas mobilis by a sharp increase in the amount of 0.0967 g glucose / L per hour. While the rate of consumption of pure glucose and Zymomonas mobilis bigger faster is 0.2581 g glucose / L per hour after fermentation lasted 5 hours. The rate of consumption of pure glucose hydrolyzed CMC and began constant during fermentation lasted for 30 hours. Fermentation by using hydrolysed carboxy methyl Cellulose (CMC) as substrate produced ethanol at 0.457 g / g glucose or ethanol yield of 89.6% compared to theory (0.0283 g ethanol / g CMC). Keywords: Hydrolysis, hydrolysed carboxy methyl Cellulose, cellulase, ethanol

1.

Pendahuluan

Kebutuhan energi bahan bakar minyak, sampai saat ini masih disuplai oleh bahan yang berasal dari fosil. Dengan deposit terbatas dan tidak dapat dtperbaharui, cepat atau lambat pasti habis. Keterbatasan ini mendorong usaha penghematan dan mencari sumber energi pengganti. Alternatif penggunaan etanol sebagai bahan bakar, salah satu pemecahan masalah. Keuntungan dari penggunaan etanol, dapat diproduksi terus menerus, ramah lingkungan serta dapat

digunakan sebagai bahan baku industri kimia, kosmetik dan farmasi Produksi etanol di berbagai negara telah dilakukan dengan menggunakan bahan baku yang berasal dari hasil pertanian dan perkebunan. Dengan demikian akan menimbulkan pertentangan antara kebutuhan produksi bahan bakar dan penggunaan sebagai bahan pangan dan pakan. Oleh karena Itu dilakukan upaya mencari bahan baku alternatif lain dari sektor non pangan untuk pembuatan etanol. Salah satunya adalah dari bahan selulosa.

42

Di alam, selulosa banyak dijumpai sebagai selulosa natif yang masih berikatan dengan senyawa lainnya seperti lignin dan selulosa. Adapula selulosa yang telah dijadikan serbuk bahkan dimurnikan dengan derajat kristalinitas tinggi seperti avisel. Avisel lebih sukar larut dibandingkan serbuk selulosa. Selain itu dikenal juga beberapa senyawa turunan selulosa, diantaranya adalah Carboxy Methyl Celulose (CMC). Carboxy Methyl Celulose (CMC) merupakan kopolimer dua unit -D glukosa dan -D-glukopiranosa 2-O(karboksilmetil)-garam monosodium yang terikat melalui ikatan -1,4-glikosidik. Carboxy Methyl Cellulose (CMC) memiliki kelarutan lebih tinggi daripada selulosa, sehingga mudah dihidrolisis. Hidrolisis Carboxy Methyl Cellulose (CMC) menjadi gula-gula sederhana dapat dilakukan dengan menggunakan katalis asam, enzim maupun mikroba selulolitik. Dari penelitian sebelumnya dilaporkan bahwa hidrolisis CMC secara enzimatis lebih menguntungkan dibandingkan dengan menggunakan asam maupun mikroba. Selain tidak menimbulkan korosi, hidrolisis secara enzimatis dapat berlangsung lebih cepat pada kondisi mild(T=50oC dan pH=5,2) dan kadar glukosa yang dihasilkan lebih tinggi(Masfufatun, 2009). Selanjutnya Hidrolisat CMC yang mengandung glukosa sebagai hasil hidrolsisis enzimatis dijadikan sebagai bahan baku dalam pembuatan etanol melalui proses fermentasi. Berbagai mikroba telah digunakan dalam fermentasi etanol. Diantaranya adalah bakteri Zymomonas mobilis. Beberapa penelitian fermentasi etanol dari berbagai substrat dengan menggunakan mikroba Zymomonas mobilis telah dilakukan, diantaranya menggunakan substrat glukosa dengan Zymomonas mobilis mutan oleh Muspahaji (2008) dan Alfena (2009), glukosa dengan Zymomonas mobilis amobil (Pancasning, 2008), sukrosa dengan Z. mobilis ATCC 10988 oleh Hany (2009), sari buah pisang dengan Zymomonas mobilis FNCC 0056 oleh Imamah (2006), sari buah pepaya oleh Sujito, (2008), limbah karet alam oleh

Ttripetchul dkk (1992), buah dan limbah nanas dengan. Zymomonas mobilis ATCC 10988 oleh Tanaka dkk, (1999) Oleh karena itu dalam penelitian akan dilakukan fermentasi etanol dari substrat hidrolisat Carboxy Methyl Cellulose (CMC) dengan menggunakan Zymomonas mobilis ATCC 10988. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari pola fermentasi hidrolisat Carboxy Methyl Cellulose (CMC) menjadi etanol oleh Zymomonas mobilis ATCC 10988. 2. Eksperimen Pembuatan Hidrolisat Carboxy Methyl Cellulose (CMC) Disediakan labu erlenmeyer 250 mL dan diisi dengan 100 mL larutan Carboxy Methyl Cellulose (CMC) dengan konsentrasi optimum 4% dalam bufer asetat pH optimum 5,2. Ke dalam larutan tersebut ditambahkan 40 mL larutan enzim selulase yang diisolasi dari bekicot (Achatina fulica) kemudian diinkubasi pada suhu optimum 50oC selama 22 jam dengan kecepatan 160 rpm. Untuk menghentikan proses hidrolisis dilakukan pemanasan pada suhu 100oC. Kadar glukosa dalam hidrolisat Carboxy Methyl Cellulose (CMC) ditentukan dengan menggunakan metode Somogyi-Nelson. Proses Fermentasi etanol dari Hidrolisat Carboxy Methyl Cellulose (CMC) (Tanaka, 1999) Regenerasi Zymomonas mobilis pada media padat (Agar Miring) Sebanyak 1 ose Zymomonas mobilis diambil dengan menggunakan jarum ose. Kemudian digoreskan di atas permukaan agar miring dengan pola zig-zag. Semua pemindahan dilakukan di dalam ruang steril (laminary air flow) dekat dengan api spiritus. Hasil pemindahan diinkubasi pada suhu kamar selama 24 jam. Produksi biomassa Inokulum dibuat dengan memindahkan sel Zymomonas mobilis dari media agar miring ke labu 250mL yang mengandung 50 mL media cair pH 5,5. Media yang telah diinokulasi ini kemudian diinkubasi selama 20 jam pada suhu 30oC dan dishaker 125 rpm. Inokulum yang diperoleh ditransfer ke

43

labu 1 liter yang mengandung 450mL media cair diinkubasi dan dishaker pada kecepatan 125 rpm. Setelah 17-18 jam inkubasi dihentikan sehingga diperoleh biomassa/starter biakan Zymomonas mobilis yang dipakai sebagai inokulat pada proses fermentasi. Proses Fermentasi Sebanyak 200mL starter Zymomonas mobilis disentrifus pada kecepatan 4000 rpm selama 30 menit. Biomassa yang diperoleh disuspensikan dalam air steril dan dimasukkan dalam labu 100 mL yang berisi media fermentasi yang menggunakan hidrolisat CMC sebagai sumber karbonnya.. Media yang telah dinokulasi ini diinkubasi pada suhu 30oC selama beberapa jam dan dishaker pada kecepatan 50 rpm. Sebagai kontrol dilakukan fermentasi dengan menggunakan glukosa murni sebagai sumber karbonnya. Setiap interval 5 jam diuji kadar gula dan etanol. Sebelum dianalisa, hasil fermentasi disentrifuge terlebih dahulu. Residu glukosa dianalisa dengan metode Somogyi-Nelson dan etanol yang dihasilkan dianalisa dengan kromatografi gas. Metoda Analisa Analisa kadar glukosa Analisa kadar glukosa dilakukan dengan menggunakan metode SomogyiNelson(Sudarmaji, 1984). Sebelum analisa kadar glukosa dilakukan, terlebih dahulu dibuat kurva standar glukosa. Dibuat larutan glukosa dengan kadar 20, 40, 60, dan 100 ppm. Sebanyak 1 mL larutan tersebut dimasukkan dalam masingmasing tabung reaksi kemudian ditambahkan 1 mL pereaksi Nelson A. Semua tabung dipanaskan dalam penangas air mendidih selama 20 menit. Semua larutan dalam tabung tersebut selanjutnya didinginkan dalam beker gelas yang berisi air dingin. Setelah dingin, kedalam masing-masing tabung reaksi ditambahkan 1 mL peraksi Nelson B. Masing-masing tabung dikocok hingga semua endapan Cu2O larut. Setelah semua endapan Cu2O larut dan tidak terdapat buih, ditambahkan ke dalam masing-masing tabung reaksi sebanyak 7 mL air suling dan dikocok sampai homogen. Setelah homogen kemudian diukur absorbansinya dengan

menggunakan spektrofotometer Genesys pada panjang gelombang 540 nm. Kurva standar glukosa dibuat dengan membuat grafik hubungan antara kadar glukosa sebagai gula reduksi dengan absorbansi. Penentuan kadar glukosa pada masing-masing sampel dilakukan dengan cara yang sama dengan penentuan kadar gula reduksi standar. Untuk penentuan kadar gula pada proses fermentasi, sampel diambil sebanyak 100 mL dalam setiap interval waktu 5 jam selanjutnya disentrifuse. Filtrat hasil sentrifuse diambil 1 mL untuk dilakukan pengukuran kadar glukosa. Absorbansi yang diperoleh diplotkan pada persamaan regresi linier kurva standar glukosa, sehingga diperoleh kadar glukosa. Analisa Kadar Etanol Sebelum analisa kadar etanol dilakukan dengan menggunakan kromatografi gas, terlebih dahulu sampel disentrifuse untuk memisahkan biomassanya. Filtrat hasil sentrifuse dianalisa kadar etanolnya dengan menggunakan kromatografi gas. Kromatografi gas yang digunakan untuk menganalisa kadar etanol adalah kromatografi gas milik Universitas Surabaya (Ubaya) dengan spesifikasi sebagai berikut : Shimadzu GC 14 B, Kolom CBP 10 medialy polar, detektor FID, integrator CR 6 cromatopac, temperatur kolom 180, temperatur injeksi 250C dan waktu retensi 4,2 menit. 3. Pembahasan Hidrolisis Carboxy Methyl Cellulose (CMC) Hidrolisis Carboxy Methyl Cellulose (CMC) secara Enzimatis Hidrolisis Carboxy Methyl Cellulose secara Enzimatis dilakukan dengan menggunakan enzim selulase dari bekicot (Achatina fulica) pada kondisi optimum (pH 5,2, temperatur 50oC, konsentrasi CMC 4% dan 10mL ekstrak enzim) dalam waktu tertentu. Gambar 3.1 menunjukkan bahwa aktivitas optimum ekstrak kasar enzim dicapai pada waktu hidrolisis 22 jam dengan kadar glukosa 245,8 mg/100mL (61,45 mg glukosa/g CMC).

44

300.00 250.00 200.00 150.00 100.00 50.00 0.00 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 Waktu Hidrolisis (jam)

Gambar 1. Kurva Hubungan antara Kadar Glukosa dengan Waktu Hidrolisis Menggunakan Enzim

Selulase Dalam gambar 3.1 menunjukkan penambahan waktu hidrolisis akan meningkatkan kadar glukosa. Sisi aktif enzim dalam mengikat substrat secara optimum membutuhkan waktu yang cukup. Jika waktu yang dikondisikan pada enzim dan substrat kurang dari cukup, maka sisi aktif enzim belum optimal dalam mengikat substrat, sehingga produk yang terbentuk masih sedikit pada saat reaksi dihentikan. Pada saat waktu hidrolisis optimum, substrat terikat secara maksimum oleh sisi aktif enzim, sehingga pada saat ini dihasilkan produk yang melimpah. Produk glukosa yang dihasilkan dari reaksi enzimatis sebanding dengan lama waktu hidrolisis, tetapi jika sisi aktif enzim telah jenuh oleh substrat, maka lama waktu hidrolisis kurang berpengaruh, sehingga produk yang dihasilkan hanya mengalami peningkatan yang relatif kecil. Hasil hidrolisis enzimatis ini lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian yang telah dilaporkan Saryono (1991). Hidrolisis selulosa ampas nanas dengan menggunakan bekicot dalam waktu 6 jam menghasilkan glukosa dengan kadar 660 mg/mL. Hal ini disebabkan karena enzim selulase yang digunakan dalam penelitian ini merupakan ekstrak kasar belum dimurnikan dan belum dipekatkan sehingga aktivitas lebih rendah. Fermentasi Penyiapan Sel Zymomonas mobilis Mikroorganisme yang digunakan dalam penelitian ini adalah bakteri Zymomonas mobilis ATCC 10988 . Zymomonas mobilis ini memiliki karakteristik sebagai bakteri Gram negatif, anaerob tetapi toleran terhadap oksigen atau biasa disebut anaerob fakultatif, mampu memperfermentasi glukosa, fruktosa dan sukrosa menghasilkan sejumlah etanol dan CO2, tetapi tidak dapat memfermentasikan manitol dan laktosa, mampu menghasilkan enzim katalase, tidak dapat menggunakan sitrat sebagai sumber karbon serta tidak memiliki enzim triptofanase dan gelatinase (Hany, 2009). Media pertumbuhan bakteri Zymomonas mobilis terdiri dari glukosa, yeast ekstrak, ammonium sulfat (NH4)2SO4, Kalium Dihidrogen Posfat(KH2PO4), Magnesium Sulfat (MgSO4.7H2O). Glukosa berfungsi sebagai sumber karbon, yeast ekstrak dan garam amonium berfungsi sebagai sumber nitrogen. Sedangkan garam-garam yang lain seperti kalium dan magnesium berfungsi sebagai aktivator dalam kerja enzim (Schlegel, 1994) Penyediaan biakan Zymomonas mobilis meliputi 2 tahap yaitu penanaman dalam media padat dan selanjutnya penanaman dalam media cair. Penanaman dalam media padat bertujuan untuk memperbanyak stok biakan murni. Biakan Zymomonas mobilis mampu tahan dalam media padat selama dua minggu, sehingga perlu diregenerasi/diremajakan setiap dua minggu sekali. Pemindahan biakan zymomonas mobilis dari media padat ke

Kadar Glukosa (mg/100 mL)

45

media cair dengan tujuan untuk memperoleh inokulum yang sudah beradaptasi dengan lingkungan fermentasi. Berdasarkan penelitian sebelumnya (Hani,2009), telah ditentukan kurva pertumbuhan Zymomonas mobilis. Penentuan kurva pertumbuhan dilakukan untuk mengetahui fase log atau eksponensial bakteri Z. mobilis. Pada fase log, pertumbuhan bakteri berlangsung paling cepat. Dengan demikian fase ini merupakan fase yang paling baik untuk dijadikan inokulum dalam proses fermentasi. Biomassa dipanen pada saat pertumbuhan bakteri mencapai fase akhir logaritma yaitu pada 17-18 jam. Pada fase ini diharapkan mampu bekerja lebih baik dalam proses fermentasi setelah mengalami adaptasi dan memiliki ukuran yang lebih seragam. Menentukan Pola Fermentasi Etanol Fermentasi etanol dilakukan menggunakan proses anaerob, yaitu dengan shaker sangat pelan 50 rpm. Shaker pelan hanya difungsikan sebagai penghomogenan larutan supaya bakteri tidak mengendap dibawah untuk mengoptimalkan proses fermentasi. Hal ini karena Z. Mobilis bersifat anaerob fakultatif (mampu tumbuh dalam lingkungan tanpa atau dengan oksigen). Dalam hal ini oksigen akan menekan fermentasi dan menguntungkan respirasi (Schlegel, 1994). Media fermentasi menggunakan glukosa hasil hidrolisis Carboxy Methyl Cellulose (CMC) secara enzimatis sebagai sumber karbonnya dengan konsentrasi 0,19%. Sedangkan sumber nitrogen dan garam-garam lain sama dengan media cair. Sebagai kontrol, media fermentasi menggunakan glukosa murni sebagai sumber karbon. Fermentasi dilakukan pada media fermentasi pH optimum 5,5 (Hani, 2009). Pola fermentasi etanol menggunakan Zymomonas mobilis ATCC 10988 ditentukan dengan memantau pola konsumsi glukosa dan produksi etanol setiap 5 jam selama 30 jam. Berdasarkan teori kesetimbangan reaksi yang berlangsung secara anaerobik, glukosa secara enzimatis akan diubah menjadi etanol dan karbondioksida. Pada

penelitian ini menggunakan glukosa sebagai kontrol dikarenakan glukosa memiliki struktur yang sederhana sehingga lebih mudah dimanfaatkan oleh mikroorganisme sebagi sumber karbon dan sumber energi. Reaksi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: C6H12O6 2 C2H5OH + 2 CO2 Dari persamaan reaksi tersebut diatas dapat diketahui bahwa jika 1 gram glukosa (sebagai satu-satunya sumber karbon) difermentasikan secara sempurna maka etanol yang dihasilkan atau yield etanol secara teoritis adalah 0,51 gram etanol/gram glukosa (El-Mansi, 2007). Artinya jika 10 gram glukosa difermentasikan secara sempurna (semua menjadi etanol) akan dihasilkan etanol sebanyak 5,1 gram. Dalam setiap proses fermentasi seiring dengan berjalannya waktu akan terjadi peningkatan jumlah etanol yang dihasilkan dan penurunan jumlah residu glukosa. Hal ini karena glukosa yang tersedia sebagai substrat akan secara bertahap dimanfaatkan oleh mikroorganisme untuk diubah menjadi etanol. Penggambaran lebih jelas dapat dipahami dari gambar 2. Dari Gambar 2 pola fermentasi menggunakan substrat hidrolisat Carboxy Methyl Cellulose (CMC) menunjukkan bahwa dalam waktu 5 jam belum nampak kenaikan kadar etanol dan penurunan kadar glukosa yang berarti. Hal ini dikarenakan selama waktu 5 jam Zymomonas mobilis melakukan adaptasi terhadap media fermentasi yang berbeda dengan media cair. Di dalam hidrolisat Carboxy Methyl Cellulose (CMC) selain glukosa juga terdapat senyawa lain seperti selobiosa, selotriosa, selotetrosa dan lainlain (Sreenath, 2002). Setelah fermentasi berlangsung selama 10 jam laju konsumsi glukosa (hidrolisat CMC) Zymomonas mobilis meningkat dengan tajam yaitu sebesar 0,0967 g glukosa/L per jam. Sedangkan laju konsumsi glukosa murni Zymomonas mobilis lebih besar dan lebih cepat yaitu 0,2581 g glukosa/L per jam setelah fermentasi berlangsung 5 jam. Laju konsumsi hidrolisat CMC maupun glukosa murni mulai konstan pada saat fermentasi berlangsung selama 30 jam.

46

100 90

0.25

yield etanol teoritis (%)

80 70 60 50 40 30 20 10 0 0 5 10 15 20 25 30 35

0.2

0.15

0.1

0.05

waktu fermentasi (jam) kontrol (glukosa) residu glukosa (kontrol) Hidrolisat CMC residu glukosa HCMC

Gambar 2. Pola produksi etanol dan Konsumsi Glukosa pada Fermentasi

Fermentasi etanol selama 30 jam dengan menggunakan glukosa murni 0,199% sebagai substrat (kontrol) menghasilkan etanol adalah 0,47 g etanol/g gula reduksi, artinya memberikan yield etanol sebesar 92,38% dibanding teori. Sedangkan fermentasi dengan menggunakan hidrolisat Carboxy Methyl Cellulose (CMC) sebagai substrat menghasilkan etanol sebesar 0,457 g etanol/g gula reduksi, artinya memberikan yield etanol sebesar 89,6 % dibanding teori. Yield etanol yang dihasilkan dari fermentasi menggunakan hidrolisat CMC tidak berbeda jauh jika dibandingkan dengan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa hidrolisat CMC hanya berpengaruh pada awal fermentasi saja. Berdasar data hasil penelitian tersebut diatas maka dapat dikatakan bahwa hidrolisat Carboxy Methyl Cellulose (CMC) dapat dijadikan sebagai substrat alternatif pengganti glukosa dalam pembuatan etanol.

glukosa atau yield etanol sebesar 89,6 % dibanding teori (0,028g etanol/g CMC) dengan laju konsumsi hidrolisat CMC tertinggi sebesar 96,7 mg glukosa/L per jam pada saat fermentasi berlangsung 10 jam. Dengan demikian hidrolisat Carboxy Methyl Cellulose memiliki potensi sebagai bahan baku untuk pembuatan etanol. DAFTAR PUSTAKA Alfena, (2009), Produksi Etanol Menggunakan Mutan Zymomonas mobilis yang Dimutasi dengan Hidroksilamin, Skripsi, ITS, Surabaya.

Bhat, M.K., (1997), Cellulose Degrading Enzymes and Their Potential Industrial Applications, Food Macromolecul Science Departement, Institute pf Food Research. Biotechnology Advances. Vol.15. 583-620 Doelle, M. B & Doelle, H. W. (1989). Ethanol Production from Sugar Cane Syrup using Zymomonas mobilis. J. Biotechnol. 11: 25-36 Dipardo, J., (2000), Outlook for biomass

KESIMPULAN Dari penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa Fermentasi dengan menggunakan hidrolisat Carboxy Methyl Cellulose (CMC) sebagai substrat selama 30 jam dihasilkan etanol sebesar 0,457 g/g

Residu Glukosa (g/100mL)

47

ethanol production. Energy information administration.Available from http://www.eia.doe.qov/oiaf/ana lysis paper/biomass.html. Fardiaz, S. (1987), Fisiology Feementasi, PAU Pangan dan Gizi, IPB, Bogor Gunasekaran, P & Raj, K.C.(1999) Ethanol Fermentation TecnologyZymomonas mobilis, Departemen of microbial Technology, School of Biological Sciences, Mandurai Kamaraj University, India. Hanny,S.H., (2009), Penentuan pH Optimum dalam Produksi Bioetanol dengan Menggunakan Zymomonas mobilis ATCC 19088, Skripsi, Fakultas Teknobiologi, Universitas Surabaya. Hermiati, Euis dan Endang Sukara, (2005), Konversi Bahan Berlignoselulosa menjadi Bioenergi Etanol, dalam seminar Nasional Biomassa Ligno-Selulosa. Jurusan Kimia FMIPA Universitas Airlangga Surabaya

Saryono,(1991), Hidrolisa Selulosa Ampas Nanas, Ananas comucus dengan Enzim Selulase dari Bekicot, Achatina fulica, Master theses, Departemen Teknik Sipil ITB, Bandung. Silaban, Ramlan., (1999), Enzim Selulolitik pada Bakteri Pseudomonas alchaligenes PaAf-18, PhD Theses from JBPTITBPP, Bandung

Schlegel, H.G, (1994), Mikrobiologi Umum, Gajah Mada University Press. Sudarmadji, S., Haryono,B., Harsono., (1984), Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian, Liberti, Yogyakarta Tanaka, K. Hilary, Z. D., & Ishizaky, (1999) A Investigation of the Utility of Pineapple Juice and Pineapple Waste Material as Low-Cost Substrate for Ethanol Fermentation by Zymomonas mobilis, J.Biosci Bioeng Vol 87 No 5: 642-646. Tripetchkul, S., Tonokawa, M., dan Ishizaki, A. (1992) Ethanol Production by Zymomonas mobilis Using Natural Rubber Waste as a Nuritional Source J. Ferment. Bioeng Vol. 74, No.6: 384-388.

Imamah Anisah, (2006), Pemanfaatan Sari Buah Pisang Sebagai Substrat Untuk Pembuatan Etanol Dengan Menggunakan Zymomonas Mobilis, Thesis Magister, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. Muspahaji (2008). Pembuatan mutan Zymomonas mobilis yang tahan terhadap asam untuk produksi etanol dengan mutagen HNO2, Thesis, Jurusan Kimia FMIPA, ITS Surabaya

48

PERANAN STATUS HORMONAL ER, PR DAN HER-2/neu DENGAN TERAPI KANKER PAYUDARA Jimmy Hadi Widjaja Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
ABSTRAK Kanker payudara merupakan keganasan tersering dan menjadi penyebab utama kematian pada wanita di seluruh dunia. Status homonal melalui ekspresi estrogen receptors (ER) dan progesterone receptors (PR) telah lama digunakan untuk menentukan kesesuaian penderita terhadap terapi endokrin. Belakangan ini pemeriksaan human epidermal growth factor receptor-2 (HER-2/neu) telah digunakan sebagai petanda prognosis dan untuk memprediksi respon terhadap trastuzumab (Herceptin TM). Namun sekarang tidak sedikit dijumpai penderita karsinoma duktal invasif payudara dengan ekspresi ER, PR dan HER-2/neu yang negatif (triple negative tumors). Untuk penderita dengan triple negative tumors ini perlu diadakan penelitian lebih lanjut untuk menemukan petanda prognosis dan target terapi baru. Kata kunci : karsinoma duktal invasif payudara, ER, PR, HER-2/neu

ROLE OF HORMONAL STATUS ER, PR and HER-2/neu WITH BREAST CANCER THERAPY Jimmy Hadi Widjaja Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
ABSTRACT Invasive ductal carcinoma is the most common malignancy and main mortality cause in woman. Hormonal status (ER and PR expression) was long used as patient suitability for hormonal therapy. Recently human epidermal growth factor receptor-2 (HER-2/neu) examination is used as prognostic factor and to predict respons to trastuzumab (HerceptinTM). But lately there are many patient with ER, PR and HER-2/neu negative (triple negative tumors). For these patients we should find new prognostic factor, and therapeutical target. Keywords : invasive ductal carcinoma, ER, PR, HER-2/neu

PENDAHULUAN Kanker payudara merupakan keganasan tersering dan menjadi penyebab utama kematian pada wanita di seluruh dunia, dengan jumlah lebih dari 1.000.000 kasus setiap tahun (Rosai J, 2004). Menurut WHO 8-9% wanita akan mengalami kanker payudara. Ini menjadikan kanker payudara sebagai jenis kanker yang paling banyak ditemui pada wanita. Setiap tahun lebih dari 250.000 kasus baru kanker payudara terdiagnosa di Eropa dan kurang lebih 175.000 di Amerika Serikat. Masih menurut WHO, tahun 2000 diperkirakan 1,2 juta wanita terdiagnosa kanker payudara dan lebih dari 700.000 meninggal karenanya. The US Centre for Disease Control and Prevention (CDC) melaporkan bahwa pada akhir 2004, sejumlah 215.990 wanita di Amerika Serikat di diagnosis sebagai kasus baru kanker payudara, dan 40.580 wanita di Amerika meninggal karena penyakit ini pada akhir tahun. Data Badan Registrasi Kanker (BRK) Indonesia tahun 1998, menunjukkan kanker payudara

menduduki urutan ke-2 terbanyak dari seluruh keganasan pada wanita di seluruh sentra Patologi Anatomi di Indonesia, dengan jumlah 2671 kasus. Karsinoma payudara juga dapat menyerang pria tetapi kemungkinannya sangat kecil, yaitu 1/100 dari wanita. Kesempatan kanker berkembang dengan pesat sangat tergantung umur, semakin tua usia semakin cepat kanker berkembang. Invasive ductal carcinoma (IDC) adalah tipe karsinoma mamma terbanyak, merupakan kelompok yang heterogen yang tidak menunjukkan karakteristik khusus untuk tipe histologi tertentu. Faktor-faktor prognostik yang digunakan saat ini masih belum memberikan cukup informasi untuk memberikan perkiraan resiko dan rencana terapi yang akurat, yang menekankan dibutuhkannya faktor prognosis dan terapi tambahan (Stendahl M, 2004). Status hormonal melalui ekspresi estrogen receptors (ER) dan progesterone receptors (PR) telah lama digunakan untuk menentukan kesesuaian penderita untuk

49

terapi endokrin. Belakangan ini pemeriksaan human epidermal growth factor receptor-2 (HER-2/neu) telah dimasukkan ke dalam pemeriksaan rutin karena fungsinya sebagai petanda prognosis dan khususnya untuk memprediksi respons terhadap tratuzumab (HerceptinTM) (Payne SJL, 2008). Namun sekarang tidak sedikit dijumpai penderita karsinoma duktal invasif payudara dengan ekspresi ER, PR, dan HER-2/neu yang negatif (triple negative tumors). Untuk penderita dengan triple negative tumors ini perlu diadakan penelitian lebih lanjut untuk menemukan petanda prognosis dan target terapi baru. HER-2/neu dan estrogen receptors (ER) telah banyak diketahui mempunyai kapasitas proliferasi sel. TINJAUAN TENTANG ESTROGEN RECEPTORS (ER) Estrogen receptors (ER) pertamakali diidentifikasi oleh Elwood V. Jensen di University of Chicago pada tahun 1950. Kemudian pada tahun 1996 Kuiper berhasil mengidentifikasi gen untuk ER pada prostat dan ovarium tikus (Kuiper, 2006). ER mungkin merupakan faktor prediktif yang paling utama yang diperiksa pada karsinoma payudara. Sekitar duapertiga wanita penderita karsinoma payudara berumur <50 tahun mempunyai ekspresi ER positif, sementara sekitar 80% tumor pada wanita berusia >50 tahun adalah ER positif. Hal ini mempunyai implikasi terapeutik yang signifikan (Payne SJL, 2008). Secara umum konsentrasi ER lebih rendah pada wanita premenopause daripada post menopause. Fisher et al. menyatakan bahwa adanya ER berhubungan secara signifikan dengan derajat inti yang tinggi dan derajat histopatologi yang rendah, tidak adanya nekrosis, dan usia pasien yang lebih tua (Rosai J, 2004). ER mengalami over-ekspresi pada sekitar 70% kanker payudara yang kemudian disebut ER positif. Mekanisme proses karsinogenesis pada kanker payudara dapat terjadi melalui ikatan estrogen pada ER, menstimulasi proliferasi sel-sel payudara yang menimbulkan peningkatan pembelahan sel dan replikasi DNA yang menimbulkan

mutasi, dan metabolisme estrogen memproduksi limbah yang toksik terhadap gen dan metabolit yang menyebabkan mutasi. Kedua proses akan menyebabkan inisiasi, promosi, dan proses karsinogenesis (Yager JD, 2006). Hal ini menyebabkan ER mempunyai peran penting dalam proses karsinogenesis, dan penghambatannya melalui targeting endokrin, baik secara langsung dengan menggunakan agonis lemah estrogen (selective estrogen receptor modulators) maupun secara tidak langsung dengan mengeblok perubahan androgen menjadi estrogen (misalnya : aromatase, inhibitor), merupakan terapi terhadap kanker payudara. Tumor payudara yang ER+ dan / atau PR+ mempunyai resiko mortalitas lebih rendah daripada ER- dan / atau PR(Payne SJL, 2008). Paparan terhadap estrogen adalah faktor resiko untuk kanker payudara. Hormon ini menimbulkan efeknya melalui reseptor estrogen, yang merupakan protein inti, terdiri dari 2 subtipe, ER dan ER. Keduanya merupaan faktor transkripsi yang memperantarai kerja estrogen. Keduanya mengikat estradiol pada lokasi yang sama, namun berbeda afinitas dan respon yang dihasilkannya. ER ditemukan lebih dulu, dan kemudian diubah namanya dari ER menjadi ER saat ditemukan subtipe yang kedua. ER positif pada hampir 70% kanker payudara, namun nilai prediktifnya tidak ideal karena sekitar sepertiga kanker payudara yang metastase dengan ER+ tidak merespon terapi hormonal. Er lebih sedikit dikenal, dan sebagian besar data klinis yang tersedia mengacu pada ER (Payne SJL, 2008). Kedua bentuk reseptor estrogen ini dikode oleh gen yang berbeda, yaitu ESR1 dan ESR2 pada kromosom 6 dan 14 (6q25 dan 14q). Kedua reseptor ini diekspresikan secara luas pada berbagai jaringan, yang berbeda, dengan pola ekspresi yang berbeda pula. ER ditemukan pada endometrium, sel-sel kanker payudara, sel stroma ovarium, dan di hipothalamus. Er ditemukan pada ginjal, otak, tulang, jantung, mukosa usus, prostat, dan sel-sel endotel. ER dalam fase unligand merupakan reseptor sitoplasma, namun penelitian menunjukkan adanya fraksi ER yang bergeser ke dalam inti

50

(Levin ER, 2005). ER berhubungan dengan tumor yang mempunyai derajat diferensiasi lebih baik, sementara keterlibatan Er masih diperdebatkan. ER berikatan dengan hormon estradiol dan pada obat anti kanker Tamoxifen (3ERT). Keduanya berikatan pada ujung yang berbeda, yang menimbulkan aktivitas yang berbeda pula (agonis dan antagonis). Konsep dari modulator selektif terhadap ER dibuat berdasarkan kemampuan untuk memicu interaksi ER dengan protein-protein yang berbeda apakah protein tersebut berfungsi sebagai ko-aktivator atau ko-represor. Rasio dari ko-aktivator dan ko-represor ini bervariasi pada masing-masing jaringan. Dan akibatnya ligand yang bersifat agonis (pada organ-organ dimana ko-aktivator dominan) pada beberapa jaringan mungkin bersifat antagonis pada jaringan yang lain (pada organ-organ dimana ko-represor dominan). Contohnya Tamoxifen, yang bersifat antagonis di payudara dan digunakan untuk terapi kanker payudara, pada tulang bahan ini bersifat agonis (sehingga bisa mencegah osteoporosis), dan agonis parsial pada endometrium (meningkatkan resiko kanker kandungan). Apabila tidak ada hormon estrogen, ER sebagian besar terletak pada sitosol. Ikatan pada reseptor memicu perpindahan reseptor dari sitosol ke inti, kemudian berikatan dengan DNA. Kompleks yang terbentuk kemudian meregulasi sintesa protein yang akan menimbulkan perubahan fungsi sel. Sebagian ER terletak pada permukaan membran sel dengan perlekatan pada caveolin-1 dan membentuk kompleks dengan protein G, striatin, reseptor tyrosin kinase (misal : EGFR dan IGF-1) dan non reseptor tyrosin kinase (misal : Src). Melalui striatin ER meningkatkan kadar Ca2+ dan NO. Melalui reseptor tyrosin kinase, beberapa signal dikirimkan ke inti melalui jalur mitogen activated protein kinase (MAPK/ERK) dan jalur phosphoinositide 3-kinase (PI2K/AKT). Glycogen synthase kinase-3 (GSK-3) menghambat transkripsi melalui ER yang terletak di inti dengan menghambat fosforilasi serine 118 dari nuclear ER. Fosforilasi ini menghilangkan efek inhibitor ER. 17-estradiol mengaktivasi

GPR 30 (sebuah G protein-coupled receptor). Namun letak dan fungsi reseptor ini masih merupakan suatu kontroversi. Terapi endokrin untuk kanker payudara melibatkan selective estrogen receptor modulators (SERMS) yang bertindak sebagai ER antagonis pada jaringan payudara atau inhibitor aromatase. SERM yang lain, raloxifene telah digunakan sebagai kemoterapi preventif untuk wanita yang beresiko tinggi mengidap kanker payudara. Obat kemoterapi lain, Faslodex yang bertindak sebagai antagonis juga meningkatkan degradasi ER (Fabian CJ, 2005). Selain pada kanker payudara, estrogen dan ER juga tampak berperan dalam kanker ovarium, kanker usus besar, kanker prostat, dan kanker endometrium. Kanker usus besar tahap lanjut dihubungkan dengan hilangnya ekspresi Er, ER yang dominan di jaringan usus besar, dan kanker usus besar di terapi dengan agonis spesifik Er. TINJAUAN TENTANG PROGESTERONE RECEPTORS (PR) Progesterone Receptors (PR) adalah gen yang diregulasi oleh estrogen, karena itu ekspresinya mengindikasikan adanya jalur ER yang sedang aktif. Penilaian ekspresi PR dapat membantu memprediksi respons terhadap terapi hormonal secara lebih akurat. Sejalan dengan hal ini ada beberapa fakta yang menyatakan bahwa tumor-tumor dengan ekspresi PR yang positif mempunyai respons lebih bagus terhadap tamoxifen, baik pada penderita dengan metastase dan sebagai terapi adjuvant. Sekitar 55-65% kanker payudara adalah PR+. Tumortumor PR+ menunjukkan prognosis lebih bagus daripada PR-. Dari penelitianpenelitian yang sudah ada telah dinyatakan bahwa PR+ sangat sedikit didapatkan pada tumor dengan ER-, sehingga PR yang positif kuat pada kasus dengan ER yang tampaknya negatif bisa merupakan indikator adanya ER negatif palsu (Ellis IO, 2003). PR mungkin dapat terdeteksi pada kasus-kasus dengan ER negatif. Hal ini antara lain dapat disebabkan karena pulasan ER yang negatif palsu, level ER yang sangat rendah, atau varian ER yang terdapat dalam jaringan tersebut tidak

51

dikenali oleh antibodi yang digunakan. Nilai prediktif dari PR positif pada penderita dengan ER negatif masih merupakan kontroversi, beberapa laporan mengatakan PR positif pada kasus ER negatif didapatkan pada kelompok penderita yang lebih responsif terhadap terapi hormonal, namun temuan ini tidak universal (Payne SJL, 2008). Selama ini ER digunakan sebagai determinan utama respon terhadap hormonal terapi pada kanker payudara. Sekitar 40% tumor ER+ mempunyai ekspresi PR-. Dan hanya 1-2% tumor ERyang mempunyai ekspresi PR+. Berdasarkan ekspresi hormonalnya kanker payudara dapat dikelompokkan menjadi 4 : kelompok positif ganda (ER+/PR+), positif tunggal (ER+/PR- dan ER-/PR+), serta negatif ganda (ER-/PR-). Tumor positif ganda (55-65% kanker payudara) mempunyai prognosis yang lebih bagus dan respons yang bagus terhadap hormonal terapi. Kelompok ini juga dikaitkan dengan umur yang lebih tua, derajat yang lebih rendah, ukuran tumor lebih kecil, dan mortalitas yang rendah. Dunwald et al. menyatakan bahwa hubungan antara angka kematian dengan ekspresi reseptor hormonal tidak terkait terhadap stage, umur atau grade dari kankernya. Tumor yang negatif ganda yang merupakan kelompok terbesar kedua (18-25%) sekitar 85%-nya merupakan tumor derajat 3, dan dihubungkan dengan tingkat rekurensi yang tinggi, ketahanan yang rendah, dan tidak responsif terhadap terapi hormonal. Sementara untuk kelompok yang positif tunggal, ER+/PR(12-17%) dan ER-/PR+ (1-2%) masih belum banyak dimengerti konsekuensinya. Kelompok ini dapat dihubungkan dengan derajat histopatologi yang tinggi, prognosis yang buruk, dan ukuran tumor yang besar (Ellis IO, 2003). METODOLOGI PENILAIAN RECEPTOR HORMONAL Intensity of immunoreactivity No reactivity Weak reactivity Moderate Score 0 1 2

Immunohistokimia (IHK) saat ini merupakan metode standar untuk menentukan status reseptor hormonal. Prosedur ini dapat diterapkan pada jaringan hasil core biopsy maupun bahan dari eksisi. Fiksasi yang kurang bagus dapat mempengaruhi hasil ER, dan kontrol yang positif kuat, positif lemah, dan negatif harus ada pada setiap proses pewarnaan IHK. Level ER dan PR perlu dinilai pada masing-masing penderita karena ER dan PR yang negatif mengidentifikasikan respons yang kurang terhadap terapi hormonal. Pada kasus dengan ER positif lemah namun PR positif kuat, terapi hormonal masih dapat memberikan hasil yang cukup bagus (Payne SJL., 2008). Sistem skoring yang banyak direkomendasikan adalah quick score (Allred Score), yang menggabungkan intensitas dan proporsi sel yang tercat positif, dengan skor maksimal 8 (Tabel 1). Bahkan penderita dengan skor 2 masih dapat memperoleh keuntungan dari terapi hormonal adjuvan (Payne SJL, 2008). Hasil pulasan IHK, reseptor hormonal ini sangat sensitif terhadap teknis pewarnaan sehingga teknis yang tidak optimal dapat menyebabkan negatif palsu pada kasus-kasus dengan level reseptor yang rendah, yang masih dapat memberikan respons terhadap terapi hormonal (Payne SJL, 2008). Selain dengan IHK, reseptor hormonal bisa dinilai dari blok parafin dengan menggunakan teknik hibridisasi in situ dan PCR. Status hormonal tidak banyak berhubungan dengan jenis karsinoma payudara. Tidak ada perbedaan signifikan antara tipe lobular dan duktal, dan beberapa studi menunjukkan bahwa sebagian besar medullary carcinoma dan karsinoma intraduktal tipe comedocarcinoma menunjukkan hasil yang negatif, sementara mucinous carcinoma mempunyai nilai positif yang tinggi (Rosai J, 2004). Score 0 1 2

Quick (Allred) Score untuk menilai ekspresi reseptor hormonal

Proportion reactive No reactivity <1% nuclei reactive 1-10% nuclei reactive

52

Strong reactivity

3 -

11-33% nuclei reactive 34-66% nuclei reactive 67-100% nuclei reactive

3 4 5

TINJAUAN TENTANG HER-2/neu Human epidermal growth factor receptor-2 onkogen ERBB2 (lebih sering disebut sebagai HER-2) mengkode epidermal growth factor receptor (EGFR) famili dari tyrosine kinase dan terletak pada kromosom 17q21. Gen tersebut sangat penting untuk diferensiasi, adhesi, dan motilitas sel. HER-2 positif pada sekitar 18-20% kanker payudara. HER-2 positif sering diasosiasikan dengan diferensiasi yang buruk, metastase ke kelenjar getah bening, rekurensi, dan tingkat kematian yang tinggi sehingga prognosisnya buruk (Payne SJL, 2008). Peneliti lain menyatakan bahwa ekspresi HER-2/neu yang tinggi berhubungan dengan derajat histopatologi yang tinggi, ketahanan yang menurun, dan respons terhadap methotrexate dan modulator reseptor hormonal yang menurun, dan respons terhadap doxorubicine yang meningkat. Selain itu juga dikaitkan dengan ukuran tumor yang lebih besar, metastase ke kelenjar getah bening, serta angka ketahanan yang lebih buruk (Lee A, 2007). Status HER-2 merupakan faktor prediktif untuk respons terhadap kemoterapi dengan menggunakan trastuzumab (HerceptinTM, Genetech, South San Fransisco, CA, USA). Trastuzumab adalah antibodi monoklonal yang pada beberapa studi terbukti memperbaiki survival baik sebagai agen tunggal maupun kombinasi dengan kemoterapi pada penderita kanker payudara dengan metastase. Pernah dilaporkan pula, lapatinib (Tykerb; GlaxoSmithKline, Philadelphia, USA) yang merupakan inhibitor terhadap HER-2 dan EGFR tyrosine kinase, menunjukkan hasil yang baik dengan kombinasi capecitabine (Payne SJL., 2008). Imunohistokimia digunakan untuk mendeteksi ekspresi protein HER-2. Saat ini antibodi yang banyak digunakan adalah CB11 (Novocastra, Newcastle upon Tyne, UK), TAB 250 (Zymed, San Fransisco, CA, USA), dan polyclonal anti-sera A0485 (DakoCytomation). Validasi dari

metode imunohistokimia memastikan bahwa imunoreaktivitas pada membran yang kuat hanya terdeteksi pada kasuskasus yang secara Fluorescence in situ hybridization (FISH) positif. Skor untuk menilai ekspresi HER-2 terdiri dari grade 0 sampai +3, berdasarkan pada penilaian intensitas reaksi dan prosentase sel-sel yang positif. Yang terhitung positif hanya reaksi membran yang komplit pada area yang invasif, sehingga membentuk gambaran yang menyerupai chicken wire. (Payne SJL, 2008) Panduan yang dipakai saat ini menyatakan bahwa pada kasus-kasus borderline (HER-2 positif 2) perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dengan FISH. Analisa imunohistokimia harus diulang atau dikonfirmasi dengan FISH apabila : kontrol tidak sesuai dengan harapan, didapatkan banyak artefak, sampel menunjukkan reaksi positif kuat pada membran sel duktuli normal (kontrol internal) yang menunjukkan adanya antigen retrieval yang berlebih. Fluorescence in situ hybridization (FISH) adalah teknik sitogenetik yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi adanya kromosom atau bagian dari suatu kromosom dengan hibridisasi probe DNA kromosom yang telah terdenaturasi dengan menggunakan fluorescence. Sebaiknya smpel untuk pemeriksaan FISH tidak disimpan selama > 6 bulan. Hendaknya dilakukan pemeriksaan dengan HE juga untuk menentukan lokasi dari tumor yang invasif. Chromogenic in situ hybridization (CISH) menyerupai FISH namun menggunakan metode chromogenic untuk mendeteksi, sehingga dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop cahaya. Persiapan jaringan dan prosedur hibridisasinya serupa dengan FISH. PENUTUP Invasive ductal carcinoma (IDC) adalah tipe karsinoma mamma terbanyak, merupakan kelompok yang heterogen yang tidak menunjukkan karakteristik khusus untuk tipe histologi tertentu.

53

Faktor-faktor prognostik yang digunakan saat ini masih belum memberikan cukup informasi untuk memberikan perkiraan resiko dan rencana terapi yang akurat. Status hormonal melalui ekspresi estrogen receptors (ER) dan progesterone receptors (PR) telah lama digunakan untuk menentukan kesesuaian penderita untuk terapi endokrin. Belakangan ini pemeriksaan human epidermal growth factor receptor-2 (HER-2/neu) telah dimasukkan ke dalam pemerikssaan rutin karena fungsinya sebagai petanda prognosis. DAFTAR PUSTAKA 1. Alao JP. 2007. The Regulator of Cyclin D1 degradation: Roles in cancer development and the potential for therapeutic invention. 2. Ellis IO, Schinitt SJ, Sastre GX, et al. 2003. Invasive Breast Carcinoma in World Health Organization Classification of Tumours Pathology & Genetics Tumours of the Breast and Female Genital Organs. IARC, p13-59. 3. Fabian CJ, Kimler BF. 2005. Selective estrogen-receptor modulators for primary prevention of breast cancer. J. Clin. Oncol. 23(8): p1644-55. 4. Kuiper GG, Enmark E, PeltoHuikko M, Nilsson S, Gustafsson JA. 1996. Cloning of a novel receptor expressed in rat prostate and ovary. Proc. Natl. Acad. Sci. USA, 93(12): p5925-30. 5. Lee A, Park WC, Yim HW, Lee MA, Park G, Lee KY. 2007. Expression of c-erbB2, cyclin D1 and Estrogen Receptor and their Clinical Implications in the Invasive Ductal Carcinoma of the Breast. Japan Journal of Clinical Oncology 37(9): p708-714. 6. Levin ER. 2005. Integration of the extranuclear and nuclear actions of estrogen. Mol. Endocrinol. 19(8):p1951-9. 7. Payne SJL, Bowen RL, Jones JL & Wells CA. 2008. Predictive

markers in breast cancer-the present. Histopathology; 52: p8290 8. Rosai J. 2004. Breast, In Rosai and Ackermans Surgical Pathology, 9th ed. Philadelphia : Elsevier, p1763-1877. 9. Stendahl M, Kronblad A, Ryde L, Emdin S, Bengtsson NO, Landberg G. 2004. Cyclin D1 overexpression is a negative predictive factor for tamoxifen response in postmenopausal breast cancer patients. Cancer Research UK: British Journal of Cancer; 90: p1942-1948. 10. Yager JD, Davidson NE. 2006. Mechanisms of disease, Estrogen Carcinogenesis in Breast Cancer. New England Journal of Medicine; 354: p270-82.

54

ENTEROBACTER SAKAZAKII (CRONOBACTER SAKAZAKII) : SEBAGAI BAKTERI PENCEMAR SUSU BUBUK FORMULA BAYI Asih Rahayu Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Abstrak : Enterobacter sakazakii (Cronobacter sakazaki) adalah bakteri batang gram negatif , fakultatif anaerob dari famili Enterobacteriaceae. Bakteri ini tidak mempunyai kemampuan membentuk endospora. Enterobacter sakazakii bukan merupakan flora normal pada saluran pencernaan hewan atau manusia, sehingga diduga bahwa lingkungan , tanah, air, sayuran, tikus dan lalat merupakan sumber infeksi. Pencemaran susu bubuk formula bayi oleh Enterobacter sakazakii terjadi karena kontaminasi eksternal yaitu penanganan yang buruk saat merekonstitusi susu formula dengan air atau karena kontaminasi internal selama produksinya. Codex Alimentarius Commission, FAO/WHO bekerjasama dengan lembaga-lembaga pakar dan negara anggota Codex telah menerbitkan panduan Codex tentang proses dan pengujian susu formula untuk produsen susu formula, serta panduan bagi rumah sakit maupun rumah tangga dalam menyiapkan susu formula untuk diberikan pada bayi. Kata Kunci : Enterobacter sakazakii (Cronobacter sakazakii), susu bubuk formula bayi, codex

ENTEROBACTER SAKAZAKII (CRONOBACTER SAKAZAKII) : AS CONTAMINANT BACTERIA IN POWDERED INFANT FORMULA Asih Rahayu Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
Abstract : Enterobacter sakazakii (Cronobacter sakazaki) is a rodshape , Negative Gram, facultative anaerob bacteria included in Enterobacteriaceae family that does not endosporeformers. Enterobacter sakazakii is not Normal Flora of Tractus Digestivus of animal or human , thus it is assumed that the infection source may come from the environments, soil, water, vegetables, mouse and flies. The contamination of Enterobacter sakazakii in infants formula is caused by the external effluences, which are the inadequate handling on the reconstruction of the product or the internal contamination during the production process. Codex Alimentarius Commission, FAO/WHO in cooperation with some expertise institutions and countries of Codexs member has published Codex guide about the process and examination of infant formula for the producer of infant formula, and also guide for hospital and household in preparing the infant formula. Keywords : Enterobacter sakazakii (Cronobacter sakazakii), Powdered Infant Formula, Codex

Pendahuluan : Akhir akhir ini masyarakat di Indonesia terutama para orang tua yang mempunyai anak bayi yang mengkonsumsi susu formula bayi diresahkan oleh adanya berita pencemaran bakteri Enterobacter sakazakii pada produk susu formula bayi. Hal ini bermula dari hasil penelitian sebuah institusi pendidikan yang menemukan adanya pencemaran bakteri Enterobacter sakazakii pada beberapa sampel susu formula bayi yang diteliti. Temuan pada hasil penelitian tersebut akhirnya menjadi polemik yang berkepanjangan dan melibatkan Kementrian Kesehatan, Balai Pengawas Obat dan Makanan, masyarakat konsumen dan DPR. Terlepas benartidaknya akurasi temuan tersebut, sebaiknya pemerintah dalam hal ini

Kementerian Kesehatan harus bertindak cepat dan tepat sebelum terjadi kegelisahan dan korban yang memakan jiwa. Enterobacter sakazakii adalah bakteri opportunistic pathogen yang sampai saat ini belum diketahui secara lengkap tentang ekologi, taksonomi, virulensi maupun karakteristik lainnya. Enterobacter sakazakii pertama kali ditemukan pada 1958 pada 78 kasus bayi dengan infeksi meningitis. Urmenyi and Franklin melaporkan adanya kasus meningitis, septicemia dan enterocolitis necrotic yang disebabkan oleh infeksi Enterobacter sakazakii. ( Urmenyi AMC and Franklin AW, 1961) Selama rentang tahun 1958 sampai tahun 2002 di seluruh dunia telah tercatat sekitar duapuluhlima peristiwa infeksi oleh bakteri Enterobacter sakazakii yang

55

melibatkan enampuluhan bayi (Iversen & Forsythe, 2003). Dari duapululima peristiwa yang terjadi, delapan di antaranya dapat dikaitkan dengan konsumsi susu formula. Jumlah peristiwa infeksi ini tergolong rendah jika dibandingkan dengan patogen lain seperti Salmonella. Oleh karenanya, the International Commission for Microbiological Specification for Foods pada tahun 2002 memeringkatkan bakteri ini sebagai cemaran dengan tingkat bahaya yang parah untuk populasi yang terbatas. (ICMSF,2002) Taxonomi Enterobacter sakazakii : Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) adalah bakteri berbentuk batang yang tidak membentuk spora, bersifat Gram negative, fakultatif anaerob. Pada awalnya, bakteri ini hanya dikenal sebagai Enterobacter cloacae yang memiliki pigmen kuning (Yellow pigmented Enterobacter cloacae), yang pertama kali dilaporkan oleh Pangalos pada tahun 1929. Bakteri ini tergolong dalam famili Enterobacteriaceae, genus Enterobacter, species - species dalam genus ini antara lain adalah Enterobacter agglomerans, Enterobacter cloacae, Enterobacter aerogenes dan Enterobacter gergoviae. Pembedaan antar spesies tersebut berdasarkan reaksi biokimiawi, serologis dan tehnik molekuler (Lai KK, 2001; Van Acker J et al. 2001; Taylor CJ. 2002; Hoffman H and Roggenkamp A, 2003 ; Iversen C and Forsythe SJ. 2003; Iversen C and Forsythe SJ, 2004 ) Enterobacter sakazakii merupakan salah satu bakteri patogen yang pada tahun 1980 dipisahkan dari spesies Enterobacter cloacae berdasarkan unsur genetik penyusunnya, perbedaan analisis hibridasi DNA, reaksi biokimia dan uji kepekaannya terhadap antibiotika , dan selanjutnya bakteri ini dikukuhkan dalam genus Enterobacter sebagai suatu spesies baru yang diberi nama Enterobacter sakazakii untuk menghargai seorang bakteriolog Jepang bernama Riichi Sakazakii. Reklasifikasi ini dilakukan berdasarkan studi DNA

hibridisasi yang menunjukkan kemiripan 41% dengan Citrobacter freundii dan 51% dengan Enterobacter cloacae . . ( Farmer JJ et al,1980) Pada tahun 2007, beberapa peneliti mengklarifikasi kriteria taxonomi dari Enterobacter sakazakii dengan menggunakan cara lebih canggih, yaitu dengan f-AFLP, automated ribotyping, full-length 16S rRNA gene sequencing and DNA hybridization. Hasil yang didapatkan adalah klasifikasi alternatif dengan temuan genus baru, yaitu Cronobacter yang terdiri dari 5 spesies. (Iversen C et al,2007)

Sumber / Habitat dan Proses Kontaminasi Enterobacter sakazakii : Enterobacter sakazakii bukan merupakan fora normal pada saluran pencernaan hewan maupun manusia, sehingga diduga bahwa tanah, air, sayuran, tikus dan lalat merupakan sumber infeksi. Enterobacter sakazakii dapat ditemukan pula di beberapa lingkungan industri makanan misalnya di pabrik susu, pabrik coklat, pabrik kentang, pabrik sereal, pabrik pasta, lingkungan berair dan sedimen tanah yang lembab. Selain itu bakteri ini dapat pula ditemukan dalam beberapa bahan makanan yang berpotensi terkontaminasi Enterobacter sakazakii antara lain pada keju, roti, tahu, teh asam, sosis, daging cincang awetan, susu bubuk, dan ragi roti karena bakteri ini banyak ditemukan pada permukaan biji sorghum dan biji padi. Meskipun demikian selain susu formula, semua bahan pangan tersebut di atas tidak pernah dilaporkan menyebabkan infeksi oleh Enterobacter sakazakii. Hal ini mungkin disebabkan karena bahan makanan tersebut tidak dikonsumsi langsung oleh kelompok bayi yang rentan. ( Iversen C and Forsythe SJ. 2003 ; Hassel S. 2004) Terjadinya pencemaran susu formula oleh Enterobacter sakazkakii diduga dapat terjadi karena kontaminasi eksternal yaitu melalui penanganan yang

56

buruk saat merekonstitusi susu formula dengan air atau kontaminasi internal selama produksinya. Pencemaran selama penyiapan dapat terjadi dari orang, alat alat, debu atau lingkungan sekitar serta air yang digunakan untuk merkonstitusi. Sedangkan pencemaran selama produksi kemungkinan terjadi setelah proses pasteurisasi susu yaitu selama pengeringan, selama pencampuran kering dan atau selama pengemasan. Karena akumulasi laporan terkait Enterobacter sakazakii dan susu formula bayi ini, maka sejak tahun 2004 lembaga pangan dunia Codex Alimentarius Commission, FAO/WHO bekerjasama dengan lembaga-lembaga pakar dan negara anggota Codex mendiskusikan data-data ilmiah terkait temuan Enterobacter sakazakii dari berbagai negara dan melakukan analisis risiko berdasarkan data- data yang terkumpul tersebut. Hasil kajian risiko selama beberapa tahun tersebut akhirnya bermuara pada diterbitkannya panduan Codex tentang proses dan pengujian susu formula bayi yang ditujukan untuk produsen susu formula, serta panduan bagi rumah sakit maupun rumah tangga dalam menyiapkan (merekonstitusi) susu formula bayi. Panduan bagi produsen yang dikeluarkan oleh Codex pada tahun 2008 segera diadopsi oleh banyak negara termasuk oleh Indonesia melalui suatu Ketetapan Badan Pengawas Obat dan Makanan. Panduan tersebut mensyaratkan pengujian bakteri Enterobacter sakazakii yang sebelumnya tidak dipersyaratkan di manapun di seluruh dunia. Persyaratan produksi dan pengujiannya relatif ketat, meski tidak seketat untuk Salmonella yang dianggap lebih tinggi frekuensi kasus infeksinya. Panduan Codex tersebut mensyaratkan untuk tiap lot produksi dilakukan pengujian sebanyak 30 sampel masing-masing 10 g dan tidak boleh ada satu sampel pun yang terdeteksi mengandung Enterobacter sakazakii. Jika ditransformasikan secara statistika berdasarkan ICMSF (2002) maka suatu lot susu formula akan tidak boleh diperdagangkan jika rata-rata jumlah

bakteri ini lebih dari 1 dalam 278 g susu. (CAC,2008) Pencemaran susu oleh mikroorganisme dapat terjadi selama pemerahan (milking), penanganan (handling), penyimpanan (storage), dan aktivitas pra-pengolahan (pre-processing) lainnya. Mata rantai produksi susu memerlukan proses yang steril dari hulu hingga hilir sehingga mikroorganisme tidak mendapat kesempatan untuk tumbuh dan berkembang dalam susu. Peralatan pemerahan yang tidak steril dan tempat penyimpanan yang tidak bersih dapat menyebabkan tercemarnya susu oleh mikroorganieme. Susu memerlukan penyimpanan dalam temperatur rendah agar tidak mudah terjadi kontaminasi mikroorganisme. Udara yang terdapat dalam lingkungan di sekitar tempat pengolahan merupakan media yang dapat membawa bakteri untuk mencemari susu. Pengolahan susu sangat dianjurkan untuk dilakukan di dalam ruangan tertutup. Manusia yang berada dalam proses memerah dan mengolah susu dapat menjadi penyebab timbulnya mikroorganisme dalam susu. Tangan dan anggota tubuh lainnya harus steril ketika memerah dan mengolah susu. Bahkan, hembusan napas manusia ketika proses memerah dan mengolah susu dapat menjadi sumber timbulnya mikroorganisme. Sapi perah dan peternak yang berada dalam sebuah peternakan harus dalam kondisi sehat dan bersih agar tidak mencemari susu. Proses produksi susu di tingkat peternakan memerlukan penerapan good farming practice seperti yang telah diterapkan di negara-negara maju. Enterobacter sakazakii tumbuh optimal pada kisaran suhu antara 30C hingga 40C. Waktu generasi bakteri ini terjadi setiap 40 menit jika diinkubasikan pada suhu 23C, yang tentunya akan sedikit lebih cepat pada suhu optimum pertumbuhannya. Kontaminasi satu koloni Enterobacter sakazakii memiliki peluang hidup maksimum sebesar 6,5% untuk dapat berkembang hingga mencapai jumlah yang signifikan (1 juta sel/g

57

produk) dalam waktu maksimal 100 jam pada suhu antara 18C hingga 37C. Artinya, apabila 1 sel hidup Enterobacter sakazakii mengkontaminasi produk susu formula pada proses produksi, hanya dalam 5 hari, produk tersebut telah menjadi sangat berbahaya bagi bayi. (Iversen C and Forsythe SJ, 2003) Keberadaan Enterobacter sakazakii pada produk susu formula meningkat dan menjadi medium kontaminasi yang dominan karena produk ini pada umumnya dikenal sebagai produk yang aman untuk langsung dikonsumsi bayi tanpa memerlukan pemrosesan lebih lanjut. Asumsi-asumsi inilah yang sebenarnya harus ditinjau kembali. Dalam hal proses produksi, bagaimana Enterobacter sakazakii dapat sampai pada produk susu formula yang disiapkan secara aseptik masih terus diteliti. Ada kecurigaan bahwa bakteri ini bersifat airborne (mengkontaminasi lewat udara) pada industri susu dan rumah tangga, sehingga diperlukan penanganan tambahan terhadap bakteri ini dalam mekanisme Hazard Analysis Critical Control Point (analisis titik penanganan kritis pada bahaya) di tingkat produksi susu formula. (Kandhai et al, 2004). Fisiologi Enterobacter sakazakii : Enterobacter sakazakii tumbuh pada rentang suhu yang luas yakni antara 6C hingga 47C. Beberapa galur yang diisolasi dari susu formula di Kanada bisa tumbuh pada kisaran suhu 5,5C hingga 8,0C dan terhambat pada suhu 4C. Menurut penelitian Farmer dkk. sebanyak 57 strain dari Enterobacter sakazakii tumbuh dengan baik pada suhu 25C, 36C dan 45C. Limapuluh strain diantaranya dapat tumbuh dengan baik pada suhu 47C tetapi tidak pada suhu 4C ataupun pada suhu 50C. ( Farmer JJ et al, 1980) Suhu minimum untuk pertumbuhan Enterobacter sakazakii pada media Brain Heart Infusion (BHI) bervariasi dari 5,5C hingga 8C dan bakteri akan mati secara perlahan pada

suhu 4C. Sedangkan temperature maksimal untuk pertumbuhan bakteri ini adalah 41C hingga 45C. (NazarowecWhite, M., & Farber, J.M. 1997) Waktu generasi Enterobacer sakazakii di dalam susu bubuk formula bayi yang direkonstituen bervariasi antara 4,15 jam hingga 5, 5 jam pada suhu 10C dan 37 menit hingga 44 menit pada suhu 22C. Fase lag pada suhu 10C antara 19 samapai 47 jam dan pada 23C antara 2 sampai 3 jam. (Nazarowec-White and Farber,1997) Menurut Iversen dkk waktu generasi Enterobacter sakazakii pada susu bubuk formula bayi adalah 13,7 jam pada suhu 6C, 1,7 jam pada 21C dan 19 21 menit pada suhu 37C. (Iversen C and Forsythe SJ, 2004) Rata-rata waktu pembelahan bakteri ini di dalam susu formula adalah 40 menit pada 23C dan 4.98 jam pada 10C. Artinya, jika ada 1.000 bakteri ini dalam susu formula yang sudah direkonstitusi (dibuat siap minum) maka setelah disimpan pada suhu 23C selama 40 menit jumlahnya menjadi 2.000. Pada suhu lemari es (10C), kenaikan jumlah tersebut baru dicapai setelah 5 jam. Enterobacter sakazakii merupakan bakteri yang tidak dapat membentuk endospora maka bakteri ini mudah mati oleh panas. Untuk menurunkan jumlah Enterobacter sakazakii menjadi 1/10-nya, diperlukan pemanasan pada suhu 60 C selama 2,5 menit. Ini berarti bahwa jika jumlah awal bakteri ini adalah 1.000 per mililiter, maka pemanasan pada suhu 60C selama 2,5 menit, 5 menit, 7,5 menit dan 10 menit akan menurunkan jumlah bakteri ini menjadi berturut-turut 100, 10, 1 dan 0.1 per mililiter. Karena terdiri dari berbagai jenis, maka ketahanan panas bakteri ini cukup beragam dan beberapa bersifat toleran terhadap panas. Peneliti lain di Korea melaporkan bahwa rekonstitusi susu formula dengan air bersuhu 50C akan menyebabkan bakteri berkurang menjadi 1/100-nya, sementara dengan suhu 65-70C terjadi penurunan Enterobacter sakazakii menjadi 1/10.000

58

sampai 1/1000.000-nya. (Kim SH and Park JH, 2007) Aspek Kesehatan Masyarakat : Bayi yang lahir premature dan bayi yang sakit / lemah mempunyai resiko yang tinggi terhadap infeksi Enterobacter sakazakii (Van Acker J et al. 2001) Enterobacter sakazakii tergolong sebagai patogen pangan 'emerging' yang perlu diwaspadai karena dalam 20 tahun terakhir ditengarai dapat mengakibatkan penyakit melalui makanan. Bakteri ini juga dikategorikan sebagai 'patogen oportunistik', yakni patogen yang menyebabkan penyakit pada kelompok rentan yang memiliki kekebalan rendah. Infeksi oleh Enterobacter sakazakii menjadi perhatian karena tingkat mortalitas yang tinggi (40-80%) pada bayi yang baru lahir (0-6 bulan), terutama sekali bayi prematur atau bayi lahir prematur atau bayi dengan berat badan lahir rendah atau bayi dari ibu yang menderita AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) yaitu bayi bayi yang memiliki imunitas lebih rendah dari rata-rata bayi-bayi lainnya . Meskipun tidak ada bukti secara epidemiologis tentang dosis infeksinya, Iversen & Forsythe (2003) memperkirakan bahwa diperlukan 1.000 sel untuk terjadinya infeksi oleh E. sakazakii. (Iversen C and Forsythe SJ, 2003). Faktor virulensi dan patogenitas Enterobacter sakazakii belum banyak diketahui. Sampai saat ini, ada beberapa faktor yang dimiliki oleh Enterobacter sakazakii yang diduga berperan dalam terjadinya penyakit di antaranya protein invasin dan enterotoksin. Penelitian tentang faktor virulensi bakteri ini terus berlangsung di berbagai negara termasuk upaya untuk menemukan struktur enterotoksin yang dihasilkan. Beberapa strain dari bakteri ini menghasilkan Enterotoxin-like compound diantaranya toxin yang mempunyai efek cytotoxic, 18 isolat yang terdiri dari 2

strain menghasilkan toxin yang mampu mengakibatkan kematian anak mencit secara per oral. (Kline MW, 1988). Enterobacter sakazakii secara sporadis juga dapat menyebabkan small outbreak sepsis, meningitis, cerebritis dan enterocolitis necrotic. Walaupun bakteri ini dapat menyebabkan penyakit pada semua golongan usia tetapi yang paling rentan adalah bayi dibawah usia 28 hari. Data menunjukkan bahwa separuh dari bayi penderita tersebut mempunyai berat badan lahir kurang dari 2000 gram dan duapertiga diantara bayi penderita adalah premature yang lahir kurang dari 37 minggu kehamilan. Pola penyakit pada bayi penderita tersebut terlihat nyata diantaranya dapat terjadi neural tube defect dan Trisomy 21 / down syndrome. Lambung bayi yang baru lahir terutama bayi premature lebih asam daripada lambung dewasa, hal ini merupakan faktor penting yang menunjang suksesnya infeksi Enterobacter sakazakii. Sebanyak 50% pasien yang dilaporkan menderita infeksi Enterobacter sakazakii meninggal dalam waktu satu minggu setelah diagnosa, tetapi gambaran tersebut cenderung menurun dalam kurum 20 tahun terakhir ini. Walaupun Enterobacter sakazakii pada umumnya peka terhadap antibiotika yang biasa dipakai tetapi beberapa peneliti menengarai adanya strain yang resisten terhadap antibiotika beta laktam dan cephalosporine (Pitout et al., 1997 ; Clark et al., 1990;Lai KK, 2001) Bakteriemia akibat infeksi oleh Enterobacter sakazakii juga pernah teridentifikasi pada bayi yang lebih tua usianya atau bayi yang ada di rumah. (CDC, 2002) Pada bayi terinfeksi yang asymptomatis , ternyata Enterobacter sakazakii dapat diisolasi dari feces atau urinnya dan terus positif selama 18 minggu .(Biering et al., 1989; CDC, 2002; Block et al., 2002) Enterobacter sakazakii dapat menyebabkan radang selaput otak dan radang usus pada bayi . Kelompok bayi

59

yang memiliki risiko tertinggi terinfeksi E. sakazakii yaitu neonatus (baru lahir hingga umur 28 hari), bayi dengan gangguan sistem tubuh, bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR), bayi prematur, dan bayi yang lahir dari ibu yang mengidap Human Immunodeficiency Virus (HIV) ( Taylor CJ,2002 ; Kane V, 2004) Meskipun sangat jarang, infeksi karena bakteri ini dapat mengakibatkan penyakit yang sangat berbahaya sampai dapat mengancam jiwa, di antaranya adalah neonatal meningitis, hidrocephalus , sepsis , dan enterocolitis necrotic .Pada beberapa kasus dilaporkan terjadi infeksi saluran kencing dan secara umum, tingkat kefatalan kasus atau risiko untuk dapat mengancam jiwa berkisar antara 40-80 persen pada bayi baru lahir yang mendapat diagnosis infeksi berat karena penyakit ini. Infeksi otak yang disebabkan karena Enterobacter sakazakii dapat mengakibatkan infark atau abses otak dengan bentukan kista, gangguan persarafan yang berat dan gejala sisa gangguan perkembangan. Gejala yang

dapat terjadi pada bayi atau anak di antaranya adalah diare, kembung, muntah, demam tinggi, bayi tampak kuning, kesadaran menurun (malas minum, tidak menangis), mendadak biru, sesak hingga kejang. Bayi prematur, berat badan lahir rendah (kurang dari 2.500 gram) dan penderita dengan gangguan kekebalan tubuh adalah individu yang paling berisiko untuk mengalami infeksi ini. Meskipun juga jarang bakteri patogen ini dapat mengakibatkan bakterimeia dan osteomielitis (infeksi tulang) pada penderita dewasa. (Muytens et al , 1983; Muytens HL dan Kolle LA. 1990) Enterobacter sp. merupakan patogen nosokomial yang menjadi penyebab berbagai macam infeksi termasuk bakteremia, infeksi saluran pernapasan bagian bawah, infeksi kulit dan jaringan lunak, infeksi saluran kemih, infeksi dalam perut, radang jantung, radang sendi, osteomyelitis, dan infeksi mata. Angka kematian akibat infeksi E. sakazakii mencapai 40-80%. (Pagotto et al,2003)

60

Pemeriksaan Laboratoris / Identifikasi Enterobacter sakazakii :


Quantitative E. sakazakii isolation procedure.
a

USFDA (2002); b Muytjens, RoelofsWillemse, and Jasper (1988); c NazarowecWhite and Farber (1997b) from Iversen and Forsythe (2003). BPW, Buffered peptone water; EE Broth, Enterobacteriaceae enrichment broth; VRBG, Violet red bile glucose agar.

Diambil dari : WHO.2004. Enterobacter sakazakii and other microorganisms in powdered infant formula. WHO Food and Agriculture Organization of The United Nations.Microbial Risk assessment series 6. Meeting Report.

Metode lain dari identifikasi Enterobacter sakazakii juga dapat dilakukan yaitu dengan menggunakan new Oxoid chromogenic Enterobacter sakazakii Agar (DFI formulation) . Dengan metode ini hasil pemeriksaan dapat dilihat 2 hari lebih cepat daripada metode konvensional sebelumnya.Mula mula sampel ditanam pada Pre-enrichment and selective enrichment dan selanjutnya dilakukan penanaman pada Oxoid Chromogenic Enterobacter sakazakii Agar ( DFI formulation ) yaitu suatu media chromogenic yang mengandung substrate 5-bromo-4-chloro-3-indolyl-, D-

glucopyranoside yang dapat dipecah oleh enzyme -glucosidase yang dihasilkan Enterobacter sakazakii dan menghasilkan koloni khas berwarna biru- hijau ( Bluegreen colonies). (Kane V, 2004) Penutup : Enterobacter sakazakii merupakan bakteri yang bukan anggota flora normal saluran pencernaan hewan maupun manusia dan habitatnya sampai saat ini belum diketahui secara pasti serta ditengarai berpotensi mencemari produk susu formula bayi. Untuk mencegah

61

terjadinya infeksi oleh bakteri ini maka semua pihak yang terkait hendaknya mematuhi panduan Codex tentang proses dan pengujian susu formula untuk produsen susu formula, serta panduan bagi rumah sakit maupun rumah tangga dalam menyiapkan (merekonstitusi) susu formula untuk diberikan pada bayi. Panduan bagi konsumen maupun rumah sakit lebih dititikberatkan pada praktik sanitasi yang baik bagi orang (pekerja), air, botol yang digunakan untuk merekonstitusi susu formula serta pembatasan waktu untuk tidak menyimpan susu formula yang telah direkonstitusi pada suhu kamar lebih dari 2 jam. Sebagai tambahan, beberapa negara juga mengadopsi panduan dari WHO yang merekomendasikan rekonstitusi dengan menggunakan air bersuhu 70 C untuk meminimalkan risiko patogen ini. ( WHO,2007) KEPUSTAKAAN BIERING G, KARLSSON S, CLARK NC, JONSDOTTIR KE, LUDVIGSSON P and STEINGRIMSSON O. 1989. Three Cases of Neonatal Meningitis Caused by Enterobacter sakazakii in Powdered Milk. Journal of Clinical Microbiology, 27(9): 2054-2056. BLOCK C, PELEG O, MINSTER N, BAR-OZ B, SIMHON A, ARAD I and SHAPIRO M. 2002. Cluster of Neonatal Infections in Jerusalem due to Unusual Biochemical Variant of Enterobacter sakazakii. European Journal of Clinical Microbiology and Infectious Diseases, 21(8): 613-616. CAC (Codex Alimentarius Commission). 2008. Code of Hygienic Practice fpr Powdered Formulae for Infants and Young Children. http://www.codexalimentarius.net/downlo ad/standards/11026/cxp_066e.pdf

2001. Morbidity and Mortality Weekly Report, 51: 297-300. CLARK NC, HILL BC, OHARA CM, STEINGRIMSSON O and COOKSEY RC. 1990. Epidemiologic Typing of Enterobacter sakazakii in Two Neonatal Nosocomial Outbreaks. Diagnostic and Microbiological Infectious Diseases, 13: 467-472. FARMER JJ , ASBURY MA, HICKMAN FW, BRENNER DJ and The Enterobacteriaceae Study group. 1980. A new species of Enterobacteriaceae Isolated From Clinical Specimens. International Journal of Systematic Bacteriology. 30 (3): 569-584. HASSEL S. 2004. Enterobacter sakazakii in Powdered Infant Formula. FAO/WHO Regional Conference on Food Safety for Asia and the Pacific. May 26, Seremban, Malaysia. HOFFMAN H and ROGGENKAMP A.2003. Population Genetics of the Nomenspecies Enterobacter cloacae. Applied and Environmental Microbiology.69.5306-5318. ICMSF (International Commission on Microbiological Specification for Foods). 2002. Microorganisms in Foods 7. Microbiological Testing in Food Safety Management. Kluwer Academic, NY. IVERSEN C and FORSYTHE SJ. 2003. Risk Profile of Enterobacter sakazakii, an Emergent Pathogen Associated With Infant Milk Formula. Trends in Food Science and Technology 14: 443-454. IVERSEN C and FORSYTHE SJ. 2004. Isolation for Enterobacter sakazakii and Other Enterobacteriaceae from Powdered Infant Milk and Related Procuct. Journal of Food Microbiology.21.771-777. IVERSEN C, LEHNER A, MULLANE N, BIDLAS E, CLEENWERCK I,

CDC (Centers for Disease Control and Prevention). 2002. Enterobacter sakazakii Infections Associated with the Use of Powdered Infant Formula in Tennessee

62

MARUGG J, FANNING S, STEPHAN R,and JOOSTEN . 2007. The taxonomy of Enterobacter sakazakii: Proposal of New Genus Cronobacter gen.nov. and Descriptions of Cronobacter sakazakii comb.nov. Cronobacter sakazakii subsp. sakazakii, Cronobacter sakazakii subsp. malonaticus sbsp.nov., Cronobacter turicensis sp.nov., Cronobacter muytjensii sp.nov., Cronobacter dublinensis sp.nov. and Cronobacter genomospecies I. BMC Evolutionary Biology 7 (64). KANE V. 2004. Faster Detection of Enterobacter sakazakii in Infant Formula. Oxoid Ltd. KANDHAI MC, REIJ MW and GORRIS LGM. 2004. Occurrence of Enterobacter sakazakii in Food Production Environments and Households. The Lancet, 363: 39-40. KIM SH and PARK JH. 2007. Thermal Resistance and Inactivation of Enterobacter sakazakii Isolates During Rehydration of Powdered Infant Formula. J Microbiol Biotechnol. 17 (2): 364-368.

Infectious Disease 9: 372-373. NAZAROWEC-WHITE and FARBER JM. 1997. Incidence, Survival and Growth of Enterobacter sakazakii in Infant Formula. Journal of Food Protection, 60: 226-230. PAGOTTO FJ, NAZAROWEC-WHITE M, BIDAWID S and FARBER JM. 2003. Enterobacter sakazakii: Infectivity and Enterotoxin Production in vitro and in vivo. Journal of Food Protection, 66: 370375. PITOUT JD, MOLAND ES, SANDERS CC, THOMSON KS and FITZSIMMONS SR. 1997. Betalactamases and Detection of Beta-lactam Resistance in Enterobacter spp. Antimicrobial Agents and Chemotherapy, 41(1): 35-39. TAYLOR, CJ. 2002. Health Professionals Letter on Enterobacter sakazakii Infections Associated with Use of Powdered Dry Infant Formulas in Neonatal Intensive Care Unit. US: US Department of Health and Human Services. URMENYI AMC and FRANKLIN AW.1961. Neonatal Death from Pigmented Coliform Infection. Lancet. 313-315. VAN ACKER J, DE SMET F, MUYLDERMANS G, ANNE NA and LAUWERS.2001. Outbreak of Necrotizing Enterocolitis Associated with Enterobacter sakazakii in Powdered Milk Formula. Journal of Clinical Microbiology, 39(1): 293-297. WHO.2004. Enterobacter sakazakii and Other Microorganisms in Powdered Infant Formula. WHO Food and Agriculture Organization of The United Nations.Microbial Risk assessment series 6. Meeting Report. WHO/FAO . 2007. Safe Preparation, Storage and Handling of Powdered Infant Formula Guidelines.

KLINE MW. 1988. Pathogenesis of Brain Abscesses Caused by Citrobacter diversus or Enterobacter sakazakii. The Pediatric Infectious Disease Journal, 7: 891-892. LAI, K.K. 2001. Enterobacter sakazakii Infections Among Neonates, Infants, Children, and Adults. Journal Medicine, 80: 113-122. MUYTENS HL, ZANEN HC, SONERKAMP HJ, KOLLEE A., WACHSMUTH IK, FARMER JJ. 1983. Analysis of Eight Cases of Neonatal Meningitis and Sepsis due to Enterobacter sakazakii. J. Clin. Microbiol. 18 (1):115-120. MUYTEN HL and KOLLEE LA. 1990. Enterobacter sakazakii Meningitis in Neonates : Causative Role of Formula? . Pediatric

63

EFIKASI SUPLEMEN MIKRONUTRIEN SEBAGAI TERAPI ADJUVAN PADA PENDERITA TUBERKULOSIS AKTIF Budhi Setiawan Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Abstrak Tuberkulosis (TB) adalah salah satu penyebab utama kematian dan kecacatan di seluruh dunia karena penyakit menular dapat disembuhkan. Malnutrisi dan kekurangan gizi mikro yang umum di antara pasien TB aktif karena malabsorpsi, peningkatan permintaan energi, asupan makanan yang tidak memadai dan jalur metabolik diubah. Studi Cross sectional dalam pengaturan spesifik menunjukkan bukti bahwa kekurangan vitamin A, C, D, E dan Zinc terjadi pada tuberkulosis. Meningkatkan stres oksidatif dan fase akut merespon dapat menyebabkan depresi tingkat beredar beberapa mikronutrien. Keberhasilan multivitamin dan suplemen mineral sebagai terapi tambahan untuk obat anti TB masih memiliki bukti terbatas. Hasil Hasil uji klinis baru-baru ini menghasilkan kontradiksi dan hasil yang kurang jelas untuk membentuk dasar untuk rekomendasi. Ada kemungkinan bahwa dosis, seks dan mikronutrisi kombinasi faktor mempengaruhi hasil studi. Ada kebutuhan untuk percobaan lebih lanjut, untuk menilai efektivitas multivitamin dan suplemen mineral di TB aktif dengan ukuran sampel yang cukup. Kata kunci: tuberkulosis, suplemen, mikronutrien, multivitamin, mineral, khasiat, sidang

EFFICACY OF MICRONUTRIENT SUPPLEMENTS AS ADJUVANT THERAPY IN PATIENTS WITH ACTIVE TUBERCULOSIS Budhi Setiawan Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
Abstract Tuberculosis (TB) is one of the major causes for mortality and disability in the worldwide due to curable infectious disease. Malnutrition and micronutrient deficiency are common among active tuberculosis patients because of malabsorption, increase of energy demand, inadequate food intake and altered metabolic pathways. Cross sectional studies in specific settings show evidences that deficiency of vitamin A, C, D, E and Zinc occurs in tuberculosis. Increase oxidative stress and acute phase respond may contribute to some circulating micronutrient level depression. Efficacy of multivitamin and mineral supplementation as adjunctive therapy for anti TB drugs still has limited evidence. The recent outcome results of clinical trials produce contradiction and inconclusive results to form the basis for recommendations. There are possibilities that dosage, sex and micronutrient combination factors affect the outcomes of the studies. There is a need for further trials, to assess the efficacy of multivitamins and minerals supplementation in active TB with adequate sample sizes. Keywords: tuberculosis, supplement, micronutrient, multivitamin, mineral, efficacy, trial

Pendahuluan Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar menginfeksi paru, tetapi bisa juga menginfeksi susunan saraf pusat, sistem limfatik, sirkulatorik, genitourinari, tulang dan persendian. Sebagian infeksi tidak menimbulkan gejala yang dikenal dengan tuberkulosis laten. Tuberkulosis aktif dapat terjadi kapan saja setelah infeksi yang mana penderita menjadi simptomatik. TB adalah satu dari sepuluh penyakit yang menyebabkan kematian dan kecacatan di seluruh dunia serta merupakan penyebab utama kematian dari

penyakit infeksi yang dapat disembuhkan (1,2). Estimasi global dari WHO angka kejadian kasus TB pada tahun 2008 adalah 9,4 juta (antara 8,8 9,9 juta) yang mana setara dengan 139 kasus per 100.000 populasi. Kebanyakan dari angka perkiraan global kejadian kasus terjadi di Asia (55%) dan Afrika (30%). Perkiraan angka kematian adalah 1,3 juta yang setara dengan 20 kematian per 100.000 populasi. Pada tahun 2008, dalam jumlah total angka kejadian kasus TB Indonesia menempati ranking ke 5 dengan jumlah 0,34 - 0,52 juta setelah India (1,6 2,4 juta), Cina (1,0

64

1,6 juta), Afrika Selatan (0,38 - 0,57 juta), dan Nigeria (0,37 - 0,55 juta). Sebelumnya, Indonesia berada pada urutan ke 3 setelah India dan Cina (3). Telah banyak diketahui, status nutrisi yang rendah ditemukan lebih sering terjadi pada penderita tuberkulosis aktif dibandingkan orang sehat (4). Tuberkulosis dapat menyebabkan berat badan dibawah normal dan defisiensi mikronutrien (multivitamin dan mineral) karena terjadinya malabsorpsi, meningkatnya kebutuhan energi, terganggunya proses metabolik dan berkurangnya asupan makanan karena penurunan nafsu makan dan dapat mengarah terjadinya kondisi wasting (5,6). Defisiensi mikronutrien telah dilaporkan pada penderita tuberkulosis, termasuk juga mereka yang dengan ko infeksi HIV. Penelitian penelitian secara cross sectional mengindikasikan defisiensi vitamin A, thiamin, vitamin B6, folat dan vitamin E sering terjadi pada penderita TB aktif. Defisiensi vitamin A, vitamin E, thiamin, riboflavin, vitamin B6 dan vitamin C lebih umum terjadi penderita TB dengan HIV(4). Defisiensi mikronutrien dan status gisi umum yang jelek pada penderita TB aktif dapat menekan sistem imun cell-mediated yang merupakan pertahanan utama host untuk melawan bakteri Mycobacterium (7). Dengan terapi obat anti tuberkulosis standar, status nutrisi umum penderita akan membaik berjalan seiring dengan proses penyembuhan. Terapi standar untuk TB menurut pedoman WHO tahun 2003 edisi ke-3 yang telah disetujui oleh STAG TB (Strategy and Technical Advisory Group for TB) pada tahun 2004 adalah: 46 mg/kg BB isoniazid, 8-12 mg/kg BB rifampicin, 20-30 mg/kg BB pyrazinamide, dan 15-20 mg/kg BB mg ethambutol, 12-18 mg/kg BB streptomycin, setiap hari selama 2 bulan, dilanjutkan dengan 8-12 mg/kg BB isoniazid, 8-12 mg/kg BB rifampicin, 3040 mg/kg BB pyrazinamide, dan 20-35 mg/kg BB mg ethambutol, 12-18 mg/kg BB streptomycin, 3 kali per minggu selama 4 bulan (8).

Sebelum era ditemukan antibiotik, pemberian nutrisi dahulu dianggap terapi utama dalam melawan TB. Sebagai contoh, dahulu digunakan minyak ikan yang banyak mengandung vitamin A dan D sebagai terapi utama (9). Tetapi sejak perkembangan antibiotika anti tuberkulosis pada tahun 1940 an pemberian nutrisi tidak lagi memegang peranan penting (10). Sampai sekarang, tidak ada satu nutrisi pun yang terbukti bisa dijadikan sebagai pengganti atau alternatif terapi obat anti tuberkulosis. Saat ini, suplemen mikronutrien tidak terintegrasi dalam pentalaksanaan klinis standar untuk tuberkulosis terutama pada negara negara yang sedang berkembang, yang mungkin perlu mendapat perhatian lebih jauh. Meskipun konsekuensi defisiensi nutrisi telah banyak diketahui, tetapi tidak banyak diketahui efikasi dari suplemen multi vitamin dan mineral sebagai terapi adjuvan anti TB standar. Tujuan dari tinjauan pustaka ini adalah untuk memberikan ulasan dari publikasi internasional penelitian klinis terkini terhadap status mikronutrien penderita TB aktif dan efikasi (kemampuan dalam memberikan efek yang diinginkan) suplemen multivitamin dan mineral sebagai adjuvan antibiotika anti tuberkulosis standar. Status mikronutrien pada penderita tuberkulosis Karyadi et al. menyelidiki status mikronutrien pada penderita TB aktif dewasa di Jakarta, Indonesia sebelum pemberian anti TB antibiotika dibandingkan dengan sejumlah penderita sehat sebagai kontrol. Ditemukan rata rata kadar konsentrasi plasma retinol, hemoglobin dan Zn lebih rendah pada penderita TB aktif. Lebih banyak penderita TB yang menderita defisiensi mikronutrien dibanding dengan kelompok kontrol. Sebanyak 33% kelompok penderita TB dengan retinol <0.70mol/L dibanding 13% pada kelompok kontrol, (p<0.05); 58% penderita TB dengan hemoglobin <12g/L dibanding dengan 22% pada

65

kelompok kontrol, (p<0.05); 21.1% kelompok penderita TB dengan Zn <10.7 mol/L dibanding 5.1% pada kelompok kontrol, (p<0.01). Lebih dari setengah pada semua kelompok, memiliki konsentrasi plasma tokoferol (vitamin E) dibawah normal. Kadar tokoferol tersebut tidak berbeda secara bermakna pada kelompok penderita TB dan kontrol (11). Sebuah penelitian cross sectional bertujuan untuk meneliti profil antioksidan dan hubungannya dengan stres oksidatif pada penderita TB. Subyek 125 penderita TB aktif (25 pasien HIV positif dan 100 pasien HIV negatif) di Etiopia sebelum terapi dibandingkan dengan kelompok kontrol orang sehat yang berasal dari Etiopia (n=45) dan Norwegia (n=25). Ditemukan bahwa pada kelompok penderita TB memiliki konsentrasi serum vitamin C dan vitamin E yang lebih rendah secara bermakna. Kadar malondialdehyde (sebuah pengukur peroksidasi lipid dan stres oksidatif) ditemukan lebih tinggi secara signifikan pada kelompok penderita TB dengan HIV positif. Kadar malondialdehyde yang tinggi berkorelasi dengan skor Karnofsky yang rendah (sebuah skala pengukur kemampuan fisik) dan status anthropometry yang rendah. Kesimpulan yang diberikan adalah adanya hubungan antara stress oksidatif, TB dan HIV (12). Pada penelitian lain yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara peroksidasi lipid, vitamin C, vitamin E dengan turunnya kadar glutathione di plasma, eritrosit dan eritrosit di membran paru pada pasien TB di India. Pengukuran peroksidasi lipid dengan melihat kadar thiobarbituric acid reactive substances. Partisipan 30 penderita yang baru dan belum diterapi dibandingkan dengan 30 orang sehat pada kelompok kontrol. Ditemukan peningkatan peroksidasi lipid di plasma, eritrosit dan eritrosit di membran paru. Sedang kadar vitamin C, vitamin E dan glutathione ditemukan menurun secara signifikan pada penderita TB. Peningkatan peroksidasi lipid, penurunan kadar vitamin C, vitamin E dan glutathione mengindikasikan adanya kerusakan oksidatif terhadap eritrosit dan

eritrosit membran paru pada penderita TB (13). Sebuah penelitian terhadap status vitamin A dilakukan secara cross sectional pada penderita TB di Tanzania. Pengukuran serum diambil dari 100 penderita TB paru (baik yang positif atau negatif HIV) pada saat masuk rumah sakit dan setelah dua bulan terapi, dibandingkan dengan 144 orang sehat sebagai kontrol. Penderita TB pada nilai baseline rata rata kadar serum vitamin A lebih rendah dibanding kontrol. Pada penderita dengan ko infeksi TB/HIV memiliki kadar serum vitamin A terendah (13,1 5,6 g/dl di kelompok ko infeksi TB/HIV vs. 26,6 5,4 g/dl pada kelompok kontrol). Hampir 90% pasien TB menderita defisiensi vitamin A (<20g/dl), dengan proporsi lebih tinggi pada penderita ko infeksi TB/HIV dibandingkan dengan kontrol (43% vs. 26%, p<0.001). Setelah menjalani terapi standar selama dua bulan, kadar serum vitamin A mengalami peningkatan pada penderita TB tanpa HIV tetapi tidak meningkat pada penderita dengan TB/HIV(14). Untuk memperkirakan status vitamin A pada saat dimulainya terapi dan masa berakhirnya terapi, Ramachandran et al. meneliti 47 penderita TB yang dibandingkan dengan 47 saudara serumah yang sehat dan 30 orang pada kelompok sehat sebagai kontrol di India. Pada permulaan terapi, 81% TB penderita ditemukan konsentrasi vitamin A yang rendah (didefinisikan sebagai konsentrasi retinol < 30g/dl) dibandingkan dengan 24% pada saudara yang tinggal serumah dan 7% pada kelompok kontrol. Rata rata konsentrasi vitamin A penderita TB (21,2 g/dl) signifikan lebih rendah dibanding dengan saudara serumah dan kontrol (42,2 g/dl dan 48,1g/dl, p<0.001). Setelah menjalani terapi standar TB selama 6 bulan, 93% penderita TB mengalami peningkatan konsentrasi vitamin A tetapi 32% tetap di bawah normal. Diduga perubahan yang terjadi adalah akibat dari respon akut terhadap infeksi daripada kenaikan kadar vitamin A (15). Bakaev et al. meneliti 159 penderita TB

66

paru yang merokok dan 20 perokok tanpa TB untuk mengukur perubahan metabolik vitamin C dan metabolitnya di Rusia. Level serum asam askorbat pada penderita TB secara bermakna lebih rendah dibanding kontrol. Adanya inflamasi pada paru mengindikasikan melambatnya metabolisme asam askorbat dan metabolitnya pada populasi penderita TB. Pada penderita TB aktif yang merokok, suplemen vitamin C mungkin tidak memberikan perbaikan karena bioavailabilitas yang rendah. Bentuk lain dari vitamin C, dehydroascorbic acid dapat dipertimbangkan (16). Sebuah penelitian di Finland menyelidiki apakah asupan vitamin C dan makanan yang mengandung tinggi vitamin C memiliki hubungan dengan insiden aktif TB yang merokok. Median asupan vitamin C adalah 90 mg/hari dan183 g/hari buah buahan, sayuran dan buah berry. Ada 167 kasus TB aktif antara tahun 1985 sampai 1993. Ditemukan bahwa asupan tinggi vitamin C tidak memiliki hubungan yang bermakna dalam menurunkan resiko TB aktif tetapi meningkatnya asupan buah buahan, sayuran dan berry yang rendah kandungan vitamin C nya berhubungan dengan menurunnya resiko terjadinya TB aktif (17). Visser et al. mengukur PLP (pyridoxal phosphate, suatu ko enzym yang dibutuhkan untuk sintesis neurotransmiter) pada penderita TB aktif baru sebelum dan satu minggu sesudah terapi isoniasid atau isonicotinylhydrazine (INH) di Afrika Selatan. Dari 29 penderita, hanya 2 yang mempunyai kadar plasma PLP normal (>24.3nmol/L). Hampir semua penderita, setelah satu minggu terapi dengan INH terjadi penurunan kadar plasma PLP secara bermakna. Disimpulkan bahwa penderita TB aktif baru, memiliki kadar PLP suboptimal yang diperburuk dengan terapi INH. Suplemen pyridoxine dibutuhkan pada penggunaan INH untuk TB (18). Dua ratus sepuluh imigran yang tinggal di London yang didiagnosis TB aktif diukur secara rutin kadar vitamin D (25(OH)D3). Dan ditemukan sebanyak 76% menderita

defisiensi vitamin D (<22 nmol/L) dan sebanyak 56% tidak bisa terdeteksi kadar vitamin D (25(OH)D3). Dihipotesiskan bahwa imigran yang berasal dari wilayah tropis yang mana TB laten banyak dijumpai, akan menurun kadar vitamin D nya bila tinggal di daerah yang relatif kurang terekspos sinar matahari. Disimpulkan bahwa kurangnya ekspos terhadap sinar matahari dan pola diet vegetarian berkontribusi terhadap defisiensi vitamin D (25(OH)D3) (19). Penelitian lain yang dilakukan pada orang orang India Gujarat yang hidup di London, Inggris, ditemukan prevalensi yang tinggi defisiensi vitamin D3 dan konsentrasi yang terendah terjadi pada orang orang dengan TB aktif. Odds ratio dari TB aktif meningkat dengan menurunnya konsentrasi vitamin D3 (OR 2.9; 95% CI1.3-6.5 pada kelompok kadar vitamin D3<10 nmol/L vs. OR 9.9; 95% CI1.376.2 pada kelompok kadar vitamin D3 yang tidak terdeteksi, p<0.01). Kesimpulannya adalah asupan yang rendah vitamin D serta ditambah dengan kurangnya ekspos terhadap matahari berkontribusi terhadap kerentanan terjadinya TB aktif pada populasi ini (20). Pada penelitian tentang penderita TB paru yang hidup di komunitas dengan insiden TB yang tinggi di Peruvia, polimorfisme reseptor vitamin D berhubungan secara signifikan dengan kecepatan proses penyembuhan terapi anti TB dengan metode DOTS (Directly Observed Treatment, Short course). Sedangkan polimorfisme yang lain dikaitkan dengan agresifitas proses penyakit dan lambatnya respon terhadap terapi. Diduga rifampin dan isoniazid yang digunakan pada regimen dapat mempengaruhi metabolisme vitamin D dan polimorfisme selama masa pengobatan. Disarankan pemberian suplemen vitamin D mungkin dapat bermanfaat pada keadaan seperti ini (21). Sebuah penelitian dilakukan untuk memeriksa konsentrasi serum Zn, Fe, Cu dan selenium pada 155 pasien TB aktif di Ethiopia sebelum dan sesudah terapi anti TB dibandingkan dengan 31 orang sehat

67

sebagai kontrol. Pada nilai baseline, sebelum dilakukan terapi, rata rata serum Zn, Fe dan Selenium pada pasien TB lebih rendah dibandingkan dengan kontrol dan proporsi lebih tinggi menderita defisiensi (defisiensi Zn 47,1% pada pasien TB vs. 25,8% pada kontrol, defisiensi Fe 14,8% pada pasien TB vs. 3,2% pada kontrol, Selenium defisiensi 35.5% pada pasien TB vs. 22,6% pada kontrol.). Setelah dua bulan terapi anti TB, rata rata konsentrasi Zn meningkat secara bermakna pada penderita TB (87,3 26,8 sebelum vs. 118,3 59,6 g/dl sesudah terapi, p<0.05). Tetapi tidak terjadi pada penderita dengan ko infeksi HIV dan mineral lain yang diukur. Serum Zn yang rendah pada nilai baseline mungkin disebabkan redistribusi Zn dari serum ke jaringan atau karena perubahan transport protein, yang mana keduanya disebabkan oleh respon akut pada TB, karena serum Fe, Zn, dan Cu dapat berubah dengan infeksi dan respon akut. Keterbatasan dari penelitian adalah tidak mengukur adanya proses fase akut (22). Penderita TB aktif baru sebanyak 500 pasien di Malawi diteliti status mikronutriennya (termasuk 370 penderita dengan ko infeksi HIV). Ditemukan prevalensi anemia lebih tinggi dan lebih sering ditemukan pada kelompok dengan ko infeksi HIV (76,9% pada pasien TB and 88,4% pada pasien dengan ko infeksi HIV, p = 0,002). Defisiensi mikronutrien umum terjadi. Sebanyak 59% terjadi defisiensi vitamin A, 12% menderita defisiensi vitamin E, 80% menderita defisiensi Zn, 88% menderita defisiensi Selenium. Penurunan konsentrasi dari retinol, karotenoid dan selenium berhubungan dengan peningkatan derajat anemia. Dikemukakan bahwa defisiensi selenium mungkin berkontribusi terhadap anemia melalui peningkatan stres oksidatif (23). Di Zimbabwe dilakukan penelitian terhadap 98 penderita TB aktif dan 98 kontrol sehat yang memiliki kebiasaan meminum bir tradisional yang mengandung Fe. Peningkatan diet Fe didefinisikan peningkatan konsumsi bir tradisional > 1000 liter. Indeks Fe diukur

selama 9 bulan setelah dimulai terapi anti TB. Pada saat dimulai terapi, rata rata hemoglobin ditemukan lebih rendah (9,4 2,1 pada penderita TB vs. 14,3 1,7 pada kontrol, p<0.001) dan rata rata serum transferin dan transferring saturation lebih tinggi pada penderita TB. Setelah menjalani terapi, level serum ferritin menurun dan konsentrasi hemoglobin meningkatkan secara bermakna. Diantara penderita HIV negatif, 20,2% dari group diet Fe tidak meningkat, menderita TB sedangkan 44,8% dari group diet Fe meningkat, menderita TB. Diantara penderita HIV positif, 81,4% dari group diet Fe yang tidak meningkat, menderita TB, sedangkan 71,4% dari group diet Fe yang meningkat menderita TB. Pada group diet Fe yang meningkat, terjadi peningkatan 3,5 kali resiko menderita TB dan 1,3 kali peningkatan resiko mortalitas. Kesimpulan yang diberikan adalah peningkatan diet Fe meningkatkan resiko aktifasi TB (24). Untuk meneliti apakah konsentrasi plasma vitamin A berkorelasi dengan tingkat keparahan secara klinis penderita TB aktif, Pakasi et al. mengadakan penelitian terhadap 300 penderita TB aktif (53% TB ringan dan 47% TB berat) di NTT, Indonesia. Ditemukan konsentrasi vitamin A, hemoglobin, plasma albumin lebih rendah dan CRP (C-reative protein) lebih tinggi pada TB berat dibandingkan dengan TB ringan. Disimpulkan, kadar vitamin A berkorelasi dengan tingkat keparahan TB tetapi tidak pada kadar Zn. MUAC (Mid Upper Arm Circumference) merupakan prediktor yang lebih baik dari pada Body Mass Index/ BMI (25). Suplemen mikronutrien sebagai terapi adjuvan Untuk meneliti efek suplemen vitamin A dan Zn pada penderita TB baru dengan terapi anti TB standar, Karyadi et al. melakukan penelitian double blind dengan kontrol plasebo. Penderita (n=40) menerima vitamin A 500 IU dengan 15 mg Zn dan group kontrol (n=40) menerima plasebo setiap hari selama 6 bulan. Setelah dua bulan dan enam bulan, kedua group mengalami peningkatan hemoglobin dan

68

plasma retinol, tetapi peningkatan retinol didapati lebih tinggi secara signifikan terjadi pada group dengan suplemen dibanding dengan kontrol setelah 6 bulan (p<0,05). Konversi sputum dan proses penyembuhan lesi secara lebih cepat dibanding kontrol (p<0,05 dan p<0,01). Proporsi penderita dengan anemia dan plasma Zn atau retinol yang rendah tidak terdapat perbedaan diantara dua group tersebut. Setelah 6 bulan skor Karnofsky pada kelompok dengan suplemen lebih tinggi dibanding dengan plasebo. Kesimpulan yang diberikan adalah pemberian suplemen vitamin A dan Zn meningkatkan keefektifan terapi anti TB terutama pada dua bulan pertama dan kurang efektif setelah dua bulan (26). Sebuah penelitian secara prospective double blind untuk mengetahui efek terapi suplemen Fe pada penderita dewasa TB paru aktif pria yang menderita anemia ringan - sedang (konsentrasi hemoglobin 80-110g/L) Penderita dibagi dalam 3 kelompok : (1) kelompok plasebo (n=40), (2) kelompok suplemen 75 mg Ferrous fumarate (n=38) dan (3) Fe dengan dosis sama ditambah kombinasi mikronutrien (n=39). Peningkatan secara bermakna terhadap BMI, status Fe dan indeks hematologi yang lain pada ketiga group. Peningkatan tertinggi terjadi pada bulan pertama dan kedua pada kedua kelompok suplemen dibanding plasebo. Kesimpulan yang diberikan adalah, pada penderita anemia ringan - sedang dengan TB aktif, pemberian suplemen Fe hanya dapat mengakselerasi proses hematopoesis hanya pada fase awal. Ini disebabkan mungkin karena proses inflamasi berkontribusi terhadap terjadinya anemia. Suplemen mikronutrien hanya dapat mempercepat beberapa indeks hematologi, tetapi proses pemulihan yang utama anemia pada TB tergantung dari proses penyembuhan (27). Untuk menentukan apakah suplemen mikronutrien mempercepat waktu konversi kultur sputum, dilakukan penelitian suplemen multivitamin dan mineral secara randomized double blind dengan kontrol plasebo pada penderita TB aktif baru sebanyak 530 orang di Tanzania.

Secara acak, penderita dibagi menjadi 4 group: (1) Plasebo, (2) 45 mg Zn (3) Zn dan Vitamin A, B kompleks, C, D, E, Selenium dan Cu (4) Vitamin A, B kompleks, C, D, E, Selenium dan Cu tanpa Zinc. Kultur sputum diperoleh dari minggu ke 2, ke 4 dan ke 8 dari standar terapi anti TB DOTS. Tidak ditemukan efek yang bermakna pemberian suplemen mikronutrien atau Zn pada konversi kultur sputum. Pada kelompok dengan suplemen Zn dengan multivitamin dan mineral didapatkan peningkatan berat badan dan penurunan mortalitas secara signifikan dibanding dengan kelompok lainnya. Diantara penderita dengan ko infeksi HIV, suplemen Zn atau multivitamin/mineral berhubungan dengan menurunnya resiko kematian sebanyak 50%-70% walaupun secara statistik tidak signifikan. Keterbatasan dari penelitian ini adalah kepatuhan terhadap suplemen tidak pasti. Kesimpulan yang dikemukakan adalah suplemen dosis tinggi multivitamin dan mineral selama terapi TB mungkin dapat meningkatkan survival rate penderita HIV/TB (28,29). Villamor et al. melakukan penelitian secara randomized, double blind dengan kontrol plasebo pemberian suplemen multivitamin dan mineral di Tanzania pada penderita TB aktif dewasa. Diantara penderita, 471 terinfeksi HIV dan sebanyak 416 tidak terinfeksi. Suplemen mengandung vitamin A, B kompleks, C, E dan Selenium dengan dosis 6-8 kali dari RDA (Recommended Daily Allowance). Suplemen mikronutrien menurunkan resiko rekurensi TB sebanyak 45% (P = 0,02) dan 63% penderita dengan infeksi HIV (P=0,02). Selain itu pemberian suplemen juga meningkatkan CD3+ dan CD4+ dan menurunkan resiko kejadian TB di luar paru dan ulkus genital pada penderita tanpa HIV. Angka kejadian neuropati perifer turun sebanyak 57% (P<0,001) baik pada penderita dengan HIV atau tidak. Tidak ditemukan efek yang bermakna pada mortalitas, berat badan, komposisi tubuh, anemia serta HIV load (30). Untuk mengetahui efek pemberian suplemen multi mikronutrien terhadap

69

mortalitas penderita TB aktif baik HIV positif atau negatif, Semba et al. melakukan penelitian terhadap 1148 penderita (873 HIV positif dan 573 HIV negatif). Suplemen multi mikronutrien mengandung vitamin A, B kompleks, C, D, E, Se, Zn dan Iodine dengan menggunakan dosis sesuai RDA kecuali untuk vitamin untuk vitamin C (500 mg) dan E (200 IU). Kesimpulan yang diberikan adalah, dibutuhkan dosis yang lebih besar dari anjuran RDA untuk menghasilkan efek yang bermakna karena mungkin disebabkan oleh malabsorpsi dan kebutuhan yang meningkat, terutama pada penderita dengan HIV positif (31). Dengan tujuan untuk melihat efek pemberian suplemen vitamin A, Zn dan kombinasi keduanya terhadap waktu konversi sputum dari positif menjadi negatif dilakukan penelitian terhadap 255 penderita TB aktif dewasa di NTT, Indonesia oleh Pakasi et al. Walaupun kelompok suplemen vitamin A dan Zn menunjukkan waktu konversi yang lebih cepat, tetapi tidak bermakna secara statistik. Tidak ada keuntungan yang ditunjukkan oleh pemberian suplemen terhadap respon klinis, status nutrisi, x-ray maupun hasil pemeriksaan laboratorium. Hasil yang didapat, tidak bisa mengkonfirmasi penelitian sebelumnya oleh Karyadi et al. di Jakarta, Indonesia yang kemungkinan disebabkan karena dosis yang terlalu kecil, tingkat keparahan TB lebih tinggi dan status nutrisi yang lebih rendah (32). Diskusi Salah satu faktor yang dapat memberikan perbedaan hasil hasil penelitian tersebut diatas bisa disebabkan karena dosis pemberian suplemen multivitamin yang tidak adekuat. Study di Tanzania (30) menggunakan dosis 4 sampai 10 kali yang disarankan oleh RDA. Penelitian di Malawi (31) dan Indonesia (32) memberi catatan yang sama tentang efikasi yang rendah karena dosis yang suboptimal. Abba et al. (43) dan Benn et al. (44) juga memberikan pendapat bahwa dosis anjuran RDA suplemen mikronutrien tidak memberikan efikasi yang adekuat,

walaupun faktor kandungan kombinasi multivitamin mungkin juga berpengaruh. Dibutuhkan data yang lengkap tentang berapa dosis yang memberikan efek yang diinginkan (potensi) tetapi tetap aman dari adverse drug reaction dan intoksikasi untuk setiap vitamin dan mineral yang dimasukkan dalam kombinasi. Perlu dilakukan penelitian lebih mendalam terhadap Fe terhadap efek nya dalam terapi TB. Dihipotesiskan sebelumnya bahwa Fe, dapat meningkatkan pertumbuhan Mycobacterium dan memperburuk keadaan melalui hambatan makrofag yang melawan invasi mikroorganisme. Seperti pada penyakit infeksi lainnya, baik host dan patogen sama sama menggunakan Fe sebagai ko faktor pada enzym enzym esensial yang terlibat dalam banyak fungsi seluler dan metabolic pathway (33,34). Pemberian vitamin B6 (pyridoxine) perlu dipertimbangkan, karena regimen standar obat anti TB menggunakan INH. Suplemen pyridoxine ditujukan untuk mengurangi angka kejadian adverse drug reaction INH neuropati perifer, terutama bila ada kecenderungan diet pyridoxine penderita tidak adekuat. Pada kondisi ekspos sinar matahari yang kurang serta diet vitamin D yang kurang, suplemen vitamin D mungkin diperlukan walaupun masih diperlukan study yang lebih mendalam. Faktor lainnya yang mungkin mempengaruhi hasil penelitian, tetapi terabaikan selama ini adalah faktor gender. Telah dilaporkan bahwa wanita memiliki faktor resiko yang lebih rendah menderita TB (35). Ditemukan lebih lanjut bahwa ada perbedaan prevalensi sex dalam defisiensi mikronutrien (36,37,38). Pada anak anak, juga telah telah diketahui adanya perbedaan dalam mortalitas terhadap respon suplemen mikronutrien (39,40,41). Bila memang perbedaan gender ini juga memberikan pengaruh pada kelompok usia dewasa, maka faktor gender perlu juga dipertimbangkan sebagai penyebab hasil yang inkonklusif pada penelitian efikasi suplemen mikronutrien untuk TB aktif.

70

Implikasi untuk study selanjutnya adalah seharusnya intervensi suplemen difokuskan kepada kombinasi multivitamin dan mineral yang telah memberikan hasil positif sebelumnya termasuk vitamin A dan Zn. Selain mikronutrien, suplemen makronutrien dengan tinggi kalori dan tinggi protein merupakan suplemen yang dapat memberikan efikasi yang baik (42). Parameter pengukuran yang digunakan dapat merupakan mortalitas, rekurensi, waktu konversi sputum, status nutrisi secara anthropometry (misalnya; BB, BMI, MUAC) atau kembalinya fungsi fisik secara normal. Penderita dengan ko infeksi HIV sebaiknya diakomodasi dan dibandingkan dengan yang HIV negatif. Beberapa penelitian masih sedang berlangsung saat ini yang akan memberikan gambaran yang lebih jelas tentang efikasi penggunaan suplemen multi vitamin dan mineral sebagai terapi adjuvan terhadap obat anti TB standar (43). Beberapa mikronutrien mungkin memiliki data yang berbeda dari penelitian sebelumnya untuk dipertimbangkan masuk dalam daftar kombinasi suplemen. Sebagai contoh, Villamor et al. tidak memasukkan vitamin D dalam kombinasi, walaupun ada bukti awal dapat memberikan efek menguntungkan pada imun respon host terhadap Mycobacterium; dan juga tidak memasukkan Zn yang bermanfaat terhadap lean body mass, fungsi imun dan dilaporkan menurunkan mortalitas pada penelitian sebelumnya di Tanzania. Villamor et al. beragumentasi bahwa ada data yang menunjukkan bahwa diet tinggi Zn dapat meningkatkan mortalitas pada individu TB aktif dengan ko infeksi HIV. Pada kondisi seperti ini, yang mana efek negatif mikronutrien tidak bisa di eksklusikan, maka penelitian secara two by two factorial design mungkin ideal untuk diterapkan (44).

karena banyak faktor turut terlibat. Stres oksidatif, proses inflamasi, reaksi fase akut, turunnya nafsu makan dan meningkatnya kebutuhan nutrisi, mungkin berkontribusi dalam turunnya kadar mikronutrien dalam plasma sehingga terjadi defisiensi. Dokumentasi yang disusun secara sistematis terhadap apa yang melatar belakangi derajat defisiensi mikronutrien dari penderita TB aktif juga belum tersedia. Sehingga kadang kala mungkin terjadi over estimation peran mikronutrien sebagai adjuvan dalam tata laksana TB (33). Dibutuhkan lebih banyak bukti melalui penelitian yang melibatkan sample yang adekuat dan multi centre untuk dapat memberikan dasar dalam rekomendasi.

Daftar Pustaka 1. Davies PD. The world-wide increase in tuberculosis: how demographic changes, HIV infection and increasing numbers in poverty are increasing tuberculosis. Ann Med. 2003;35(4):235-243. 2. Dye C. Global epidemiology of tuberculosis. Lancet. Mar 18 2006;367(9514):938-940. 3. World Health Organization. Global Tuberculosis Control. A short update to the 2009 report. Geneva: WHO. 2009. 4. van Lettow M, Fawzi WW, Semba RD. Triple trouble: the role of malnutrition in tuberculosis and human immunodeciency virus coinfection. Nutrition Reviews 2003;61(3):8190. 5. Macallan DC. Malnutrition in tuberculosis. Diagnostic Microbiology and Infectious Disease 1999;34(2):1537. 6. MacAllan DC, Mc Nurlan MA, Kurpad AV, de Souza G, Shetty PS, Calder AG, et al Whole protein metabolism in human pulmonary tuberculosis and under nutrition: Evidence for anabolic block in tuberculosis. Clinical Sci (Lond) 1998;94:321-31.

Kesimpulan Hubungan antara TB dan defisiensi mikronutrien adalah sangat kompleks

71

7. Cegielski JP, McMurray DN. The relationship between malnutrition and tuberculosis, evidence from studies in humans and experimental animals. International Journal of Tuberculosis and Lung Disease 2004;8(3):28698. 8. World Health Organization (2003) Treatment of Tuberculosis: Guidelines for National Programmes, Ed. 3. WHO, Geneva. 9. Daniel TM. The history of tuberculosis. Respir Med 2006; 100:186270. 10. Ramakrishnan CV, Rajendran K, Jacob PG, Fox W, Radhakrishna S. The role of diet in the treatment of pulmonary tuberculosis: an evaluation in a controlled chemotherapy study in home and sanatorium patients in South India. Bull World Health Organ 1961; 25:33959. 11. Karyadi E, Schultink W, Nelwan RH, et al. Poor micronutrient status of active pulmonary tuberculosis patients in Indonesia. J Nutr. Dec 2000;130(12):29532958. 12. Madebo T, Lindtjorn B, Aukrust P, Berge RK. Circulating antioxidants and lipid peroxidation products in untreated tuberculosis patients in Ethiopia. Am J Clin Nutr. Jul 2003;78(1):117-122. 13. Vijayamalini M, Manoharan S. Lipid peroxidation, vitamins C, E and reduced glutathione levels in patients with pulmonary tuberculosis. Cell Biochem Funct. Jan-Feb 2004;22(1):19-22. 14. Mugusi FM, Rusizoka O, Habib N, Fawzi W. Vitamin A status of patients presenting with pulmonary tuberculosis and asymptomatic HIV-infected individuals, Dar es Salaam, Tanzania. Int J Tuberc Lung Dis. Aug 2003;7(8):804-807. 15. Ramachandran G, Santha T, Garg R, et al. Vitamin A levels in sputum-positive pulmonary

16.

17.

18.

19.

20.

21.

22.

23.

tuberculosis patients in comparison with household contacts and healthy normals. Int J Tuberc Lung Dis. Sep 2004;8(9):1130-1133. Bakaev VV, Duntau AP. Ascorbic acid in blood serum of patients with pulmonary tuberculosis and pneumonia. Int J Tuberc Lung Dis. Feb 2004;8(2):263-266. Hemila H, Kaprio J, Pietinen P, Albanes D, Heinonen OP. Vitamin C and other compounds in vitamin C rich food in relation to risk of tuberculosis in male smokers. Am J Epidemiol. Sep 15 1999;150(6):632-641. Visser ME, Texeira-Swiegelaar C, Maartens G. The short-term effects of anti-tuberculosis therapy on plasma pyridoxine levels in patients with pulmonary tuberculosis. Int J Tuberc Lung Dis. Feb 2004;8(2):260-262. Ustianowski A, Shaffer R, Collin S, Wilkinson RJ, Davidson RN. Prevalence and associations of vitamin D deficiency in foreignborn persons with tuberculosis in London. J Infect. Jun 2005;50(5):432-437. Wilkinson RJ, Llewelyn M, Toossi Z, et al. Influence of vitamin D deficiency and vitamin D receptor polymorphisms on tuberculosis among Gujarati Asians in west London: a case-control study. Lancet. Feb 19 2000;355(9204):618-621. Roth DE, Soto G, Arenas F, et al. Association between vitamin D receptor gene polymorphisms and response to treatment of pulmonary tuberculosis. J Infect Dis. Sep 1 2004;190(5):920-927. Kassu A, Yabutani T, Mahmud ZH, et al. Alterations in serum levels of trace elements in tuberculosis and HIV infections. Eur J Clin Nutr. May 2006;60(5):580-586. Van Lettow M, West CE, van der Meer JW, Wieringa FT, Semba

72

24.

25.

26.

27.

28.

29.

RD. Low plasma selenium concentrations, high plasma human immunodeficiency virus load and high interleukin-6 concentrations are risk factors associated with anemia in adults presenting with pulmonary tuberculosis in Zomba district, Malawi. Eur J Clin Nutr. Apr 2005;59(4):526-532. Gangaidzo IT, Moyo VM, Mvundura E, et al. Association of pulmonary tuberculosis with increased dietary iron. J Infect Dis. Oct 1 2001;184(7):936-939. Pakasi TA, Karyadi E, Wibowo Y, Simanjuntak Y, Suratih NM, Salean M, Darmawidjaja N, van der Meer JW, van der Velden K, Dolmans WM. Vitamin A deficiency and other factors associated with severe tuberculosis in Timor and Rote Islands, East Nusa Tenggara Province, Indonesia. Eur J Clin Nutr. 2009 Sep;63(9):1130-5. Karyadi E, West CE, Schultink W, et al. A double-blind, placebocontrolled study of vitamin A and zinc supplementation in persons with tuberculosis in Indonesia: effects on clinical response and nutritional status. Am J Clin Nutr. Apr 2002;75(4):720-727. Das BS, Devi U, Mohan Rao C, Srivastava VK, Rath PK. Effect of iron supplementation on mild to moderate anaemia in pulmonary tuberculosis. Br J Nutr. Sep 2003;90(3):541-550. Range N, Andersen AB, Magnussen P, Mugomela A, Friis H. The effect of micronutrient supplementation on treatment outcome in patients with pulmonary tuberculosis: a randomized controlled trial in Mwanza, Tanzania. Tropical Medicine and International Health 2005;10(9):82632. Range N, Changalucha J, Krarup H, Magnussen P, Andersen AB, Friis H. The effect of multivitamin/mineral supplementation on mortality during treatment of

30.

31.

32.

33.

34.

35.

36.

pulmonary tuberculosis: a randomised two-by-two factorial trial in Mwanza, Tanzania. British Journal of Nutrition 2006;95(4):76270. Villamor E, Mugusi F, Urassa W, Bosch R J, Saathoff E, Matsumoto K, et al.A trial of the effect of micronutrient supplementation on treatment outcome, T cell counts, morbidity, and mortality in adults with pulmonary tuberculosis. Journal of Infectious Diseases 2008;197(11):1499505. Semba RD, Kumwenda J, Zijlstra E, Ricks MO, van Lettow M, Whalen C, et al. Micronutrient supplements and mortality of HIVinfected adults with pulmonary TB: a controlled clinical trial. Int J Tuberc Lung Dis 2007;11(8):854 859. Trevino A Pakasi, Elvina Karyadi, Ni Made Desy Suratih, Michael Salean, Nining Darmawidjaja , Hans Bor, Koos van der Velden, Wil MV Dolmans, Jos WM van der Meer. Zinc and vitamin A supplementation fails to reduce sputum conversion time in severely malnourished pulmonary tuberculosis patients in Indonesia. Nutrition Journal 2010, 9:41. Africas Health in 2010 project/AED. Nutrition and tuberculosis: A review of the literature and considerations for TB control programs. Washington DC: USAID. 2008. Nacer Lounis, Chantal TruffotPernot, Jacques Grosset,Victor R. Gordeuk, Johan R. Boelaert. Iron and Mycobacterium tuberculosis infection. Journal of Clinical Virology 20 (2001) 123126. Gustafson P, Gomes VF, Vieira CS, et al. Tuberculosis in Bissau: incidence and risk factors in an urban community in sub Saharan Africa. Int J Epidemiol 2004; 33:16372. Wejse C, Olesen R, Rabna P, et al. Serum 25-hydroxy-vitamin D in a West African population of tuberculosis patients and

73

37.

38.

39.

40.

41.

42.

43.

unmatched healthy controls. Am J Clin Nutr 2007; 86:137683. Stephensen CB, Gildengorin G. Serum retinol, the acute phase response, and the appar-ent misclassication of vitamin A status in the third National Health and Nutrition Examination Survey. Am J Clin Nutr 2000; 72:11708. Ghayour-Mobarhan M, Taylor A, New SA, Lamb DJ, Ferns GA. Determinants of serum copper, zinc and selenium in healthy subjects. Ann Clin Biochem 2005; 42:36475. Benn CS, Fisker AB, Diness BR, Aaby P. Sex differential effects of neonatal vitamin A supplementation on mortality? J Infect Dis 2006;194:719. Benn CS, Martins C, Rodrigues A, Jensen H, Lisse IM, Aaby P. Randomised study of the impact of different doses of vitamin A on childhood morbidity and mortality. BMJ 2005; 331:1428 32. Sazawal S, Black RE, Ramsan M, et al. Effects of zinc supplementation on mortality in children aged 148 months: a community-based randomised, placebo-controlled trial. Lancet 2007; 369:92734. Paton NI, Chua YK, Earnest A, Chee CB. Randomized controlled trial of nutritional supplementation in patients with newly diagnosed tuberculosis and wasting. Am J Clin Nutr. Aug 2004;80(2):460-465. Abba K, Sudarsanam TD, Grobler L, Volmink J. Nutritional supplements for people being treated for active tuberculosis. Cochrane Database Syst Rev 2008;(4):CD006086.

44. Christine Stabell Benn, Henrik Friis, Christian Wejse. Should Micronutrient Supplementation Be Integrated into the Case Management of Tuberculosis? The Journal of Infectious Diseases 2008; 197:14879.

74

KORELASI JUMLAH PENDERITA DIARE DENGAN MENINGKATNYA POPULASI E.COLI DI KECAMATAN ASEMROWO E. Devi Dwi Rianti Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
ABSTRAK Pencemaran sungai adalah peristiwa nyata yang terjadi akibat banyaknya aktivitas masyarakat di bantaran sungai, peneliti ingin mengetahui keadaan wilayah yang padat khususnya di wilayah kecamatan Asemrowo. Dimana masalah lingkungan terjadinya lingkungan kumuh yang diakibatkan oleh aktivitas manusia sehingga mengakibatkan penyakit diare. Tujuannya, mengetahui kondisi lingkungan dan mengetahui secara khusus koralasi antara penyakit diare dengan meningkatnya jumlah populasi E.coli di sungai Asemrowo dan Kalianak. Hasil yang diperoleh dari sungai Asemrowo dan Kalianak, memiliki 76.900 koloni/100 ml bakteri E.coli, berarti bahwa 76.900 x 1,25 x 106=96 milyar sel/ml (1 koloni=1,25x106). Adanya pencemaran domestik , memberi dampak yang berhubungan dengan kualitas kesehatan masyarakat. Data puskesmas menunjukkan tingkat penderita diare tiap tahunnya bertambah. Pembuangan limbah yang terus dibuangan menuju sungai terciptanya lingkungan yang buruk, ditunjang dengan kondisi sanitasi yang buruk sebagai penyebab banyaknya kontaminasi bakteri E.coli mengindikasikan adanya pencemaran tinja manusia. Kata Kunci: Kumuh, Pembuangan limbah, Pencemaran domestik

CORRELATION OF PATIENTS WITH DIARRHOEA increasing population of E. COLI IN SUB ASEMROWO E. Devi Dwi Rianti Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
ABSTRACT Pollution of rivers is a real event that happened due to the many community activities along the river, the researchers wanted to know the state of the dense region, especially in districts Asemrowo. Where environmental problems of the slum environment by human activities that cause diarrheal disease. The goal, determine the condition of the environment and find out specifically koralasi between diarrheal disease by increasing the number of E. coli in river populations Asemrowo and Kalianak. Results obtained from the river and Kalianak Asemrowo, has 76,900 koloni/100 ml E.coli bacteria, means that 76,900 x 1.25 x 106 = 96 billion cells / ml (1 colony = 1.25 x106). Domestic pollution, impact-related quality of public health. Data centers shows the level of diarrhea patients each year increases. Disposal of waste into the river continues dibuangan creation of bad environment, supported by poor sanitary conditions as the cause of many E. coli bacterial contamination may indicate human fecal pollution. Keywords: Slums, waste disposal, domestic Pollution

PENDAHULUAN Pencemaran sungai adalah peristiwa nyata yang terjadi akibat banyaknya aktivitas masyarakat di bantaran sungai, yang sadar maupun tidak telah membuang limbah ke dalam sungai. Dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 35 Tahun 1991 Tentang Sungai, dimana pengertian sungai adalah tempat tempat dan wadah-wadah serta jaringan pengaliran air mulai dari mata air sampai muara dengan dibatasi kanan dan kirinya serta sepanjang pengalirannya oleh garis sempadan. Garis sempadan sungai adalah garis batas luar pengamanan sungai. Garis sempadan ini dalam bentuk bertanggul dengan ketentuan batas lebar sekurang-

kurangnya 5 (lima) meter yang terletak disebelah luar sepanjang kaki tanggul, jadi bukan tempat pembuangan limbah, baik cair maupun rumah tangga. Dengan terbatasnya lahan yang tersedia di Surabaya yang tidak seimbang dengan pertambahan penduduk maka banyak penduduk yang tinggal di bantaran sungai sehingga terciptalah pemukiman kumuh, yang merupakan pemukiman yang tidak layak huni bagi masyarakat di Surabaya. Yang menimbulkan terciptanya perbedaan corak, bentuk atau keadaan pemukiman antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya di Surabaya. Namun demikian, betapapun bervariasinya pemukiman itu semuanya harus memenuhi

75

syarat syarat kesehatan, sehingga para penghuninya tidak sampai menderita suatu penyakit. Kesehatan adalah faktor utama sebagai parameter penilaian kelayakan sebuah pemukiman penduduk . Salah satu penilaian terhadap pemukiman sebagai tujuan akhir dari lingkungan yang memadai sangat dipengaruhi oleh kesehatan, karena sebuah pemukiman sehat tentunya akan mendukung tercapainya lingkungan yang sehat. Dimana di dalam sebuah pemukiman yang sehat menyebabkan terwujudnya penghuni yang sehat, dan juga meningkatkan kualitas fisik maupun psikologinya. Pemukiman terdiri dari beberapa macam rumah sehat dan sederhana bagi penghununya. Menurut Azwar (1996) rumah sehat adalah tempat untuk berlindung atau bernaung dan tempat untuk beristirahat sehingga menumbuhkan kehidupan yang sempurna, baik fisik, rohani maupun sosial. Rumah sehat juga harus memenuhi syarat syarat yang berkaitan dengan kesehatan, kekuatan bangunan, dan keterjangkauan. Akan tetapi tidaklah mudah untuk memperoleh rumah memenuhi syarat sesuai dengan yang kita inginkan. Saat ini masih banyak keluarga di wilayah kota Surabaya yang masih tinggal di rumah rumah yang tidak memenuhi syarat untuk tempat tinggal. Bantaran sungai, pinggiran rel kereta api, pinggir jalan raya merupakan beberapa contoh area yang seharusnya tidak menjadi tempat pemukiman masyarakat, karena ditinjau dari kesehatan dan keamanan tidak memenuhi syarat pemukiman yang sehat sesuai dengan peraturan kesehatan lingkungan untuk menjadi daerah pemukiman. Peneliti dalam hal ini ingin mengetahui keadaan wilayah yang padat penduduk di wilayah Surabaya Barat. Khususnya di wilayah kecamatan Asemrowo . Peneliti ingin mempelajari masalah lingkungan dari kemungkinan terjadinya lingkungan kumuh yang diakibatkan oleh aktivitas manusia sehingga mengakibatkan penyakit diare yang merugikan kesehatan masyarakat di kecamatan Asemrowo. Terutama dengan meningkatnya jumlah E.coli di air sungai

Asemrowo sebagai vektor. Karena air merupakan salah satu materi esensial untuk penyebaran bibit penyakit (Suriawiria, 2005). Tujuan penelitian ini adalah , mencari korelasi jumlah populasi E.coli (koloni/ml) yang berada dibeberapa karakteristik pemukiman yang berbeda beda dengan jumlah penderita diare. Berdasarkan kondisi wilayah kecamatan Asemrowo yang memiliki karakteristik berbeda, memiliki daerah seperti : pasar, pemukiman penduduk, jalan raya, kawasan industri, serta sungai. Sehingga akibat dari karakteristik lingkungan yang berbeda di kecamatan Asemrowo menyebabkan terciptanya kawasan kumuh, sanitasi dan higienis yang tidak memenuhi syarat, akibat dari sanitasi dan higienis yang tidak baik tersebut dapat mengganggu kesehatan penduduk. Sanitasi menurut Azwar (1996) adalah suatu usaha kesehatan masyarakat yang menitik beratkan pada pengawasan berbagai faktor lingkungan yang mempengaruhi derajat kesehatan manusia, kondisi lingkungan dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat. Banyak aspek kesejahteraan manusia dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, dan banyak penyakit dapat timbul karena didukung, dan dirangsang oleh faktor faktor lingkungan. Dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomer 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan Bab I Pasal 1 sebagai berikut: Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial ekonomi. Jika dikaji lebih lanjut tentang kesehatan, maka tidak banyak manusia yang benar benar memenuhi syarat sehat. Akan tetapi bukan berarti semua manusia selalu menderita penyakit. Arti penyakit sendiri adalah; merupakan perubahan yang mengganggu kondisi tubuh sebagai respon dari faktor lingkungan yang mungkin berupa nutrisi, kimia, biologi atau psikologi ( Rick , 2005). Menurut Chandra (2007), penyakit adalah riwayat alami perjalanan penyakit atau sering disebut natural history of disease yang riwayat alami perjalanan penyakit pada manusia yang terdiri atas,terjadinya gangguan keseimbangan antara penyakit, manusia, dan lingkungan. Kondisi lingkungan yang kumuh lebih

76

menguntungkan penyakit dan merugikan manusia. Menurut Chandra (2007), mengatakan bahwa proses perjalanan suatu penyakit terjadi dimulai sejak adanya gangguan keseimbangan antara penyakit, manusia, dan lingkungan sehingga dapat terjadinya suatu kesakitan. Penyakit diare ditemukan dikalangan penduduk dalam kondisi masyarakat dan lingkungan yang buruk. Ternyata diare banyak diderita oleh masyarakat kecamatan Asemrowo. Diare merupakan penyakit yang terjadi karena pola hidup yang tidak memenuhi peraturan kesehatan atau tingkat kebersihan yang masih kurang memadai ( Efendi,1981). Penyebab diare juga dapat dipengahuhi oleh mikroorganisme yaitu bakteri yang terdapat pada kotoran manusia dan hewan, seperti bakteri E.coli, shigella, vibrio cholera dan salmonella (Suriawiria, 2008). Kecamatan Asemrowo merupakan salah satu wilayah kota Surabaya bagian barat. Yang memiliki masyarakat tingkat kemiskinannya tertinggi di wilayah Surabaya Barat (Data BPS, 2007). Wilayah kecamatan Asemrowo yang memiliki lima kelurahan yaitu; kelurahan Tambak Langon, kelurahan Greges, kelurahan Asemrowo, kelurahan Genting, kelurahan Kalianak. kecamatan Asemrowo mempunyai luas wilayah 13,06 km2 yang tingkat masyarakatnya mempunyai kemiskinan, oleh adanya keadaan wilayah kecamatan tersebut yang kumuh. Batas wilayah dari kecamatan Asemrowo yaitu; sebelah utara : Selat Madura, sebelah Timur: kecamatan Sawahan, sebelah selatan : kecamatan Tandes dan kecamatan Benowo. Kecamatan Asemrowo adalah salah satu dari kecamatan yang merupakan pusat perekonomian. Di wilayah Surabaya Barat, sehingga tidak heran jika banyak pemukiman yang mempunyai karakteristik lingkungan yang berbeda, mulai dari pemukiman yang padat penduduk dan kumuh hingga pemukiman sehat . Keadaan lingkungan inilah yang dapat mempengaruhi lingkungan hidup masyarakat di kecamatan Asemrowo dengan karakteristik masyarakat yang berbeda, yang antara lain telah membuang limbah domestik maupun industri ke aliran sungai sehingga menimbulkan berbagai jenis mikroorganisme berkembang biak di

aliran sungai , yang dapat menimbulkan penyakit (Suriawiria, 2008). Adanya penyakit yang salah satunya dipengaruhi oleh lingkungan pada masyarakat Asemrowo, diantaranya penyakit diare. Perumusan Masalah Dari latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahannya sebagai berikut : Apakah dengan kondisi lingkungan di wilayah di kecamatan Asemrowo, memiliki karakteristik pemukiman yang berbeda menimbulkan penyakit diare pada penduduk kecamatan Asemrowo? Tujuan Penelitian Dari latar belakang tersebut diatas peneliti bertujuan untuk ; a. Tujuan umum Mengetahui kondisi lingkungan di kecamatan Asemrowo yang berkarakteristik berbeda-beda. b. Tujuan khusus Mengetahui korelasi antara penyakit diare dengan meningkatnya jumlah populasi E.coli di sungai Asemrowo. Hipotesis Penelitian H0 : Timbulnya penyakit diare tidak ada hubungan dengan meningkatnya jumlah populasi E.coli di sungai Asemrowo. H1 : Timbulnya penyakit diare hubungan dengan meningkatnya jumlah populasi E.coli di sungai Asemrowo. METODE PENELITIAN Lokasi Dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya dan kecamatan Asemrowo wilayah kota Surabaya. Penelitian dilakukan pada bulan April 2009. Alat Dan Bahan Yang Digunakan Alat penguji bakteri: petridisk, tabung reaksi, beker glass, OSE, pipet, cawan petri, quebec colony counter dan lup, pembakar bunsen. Bahan Yang Digunakan Alat tulis, alat untuk penguji bakteri berupa; air sampel, EMB agar Variabel Penelitian Variabel penelitian ini akan

77

mengidentifikasi bakteri E.Coli dengan karekteristik wilayah di kecamatan Asemrowo. Prosedur pengumpulan data distribusi bakteri E.coli Pengumpulan data sekunder yang diperoleh dari puskesmas Asemrowo; Tanggal Kegiatan Pelaksanaan: - November 2008 sampai Januari 2009 ijin Dinas Kesehatan Surabaya diperoleh. 1. Prosedur lokasi pengambilan sampel : Pantai

- Januari 2009 sampai Maret 2009, pengambilan data di puskesmas Asemrowo. - 1 Juni sampai 25 Juni 2009, pelaksanaan percobaan bakteri E.coli dari sampel air sungai Asemrowo dan Kalianak. Pada tahapan ini penelitian diarahkan untuk mengetahui distribusi bakteri E.coli disungai Asemrowo ,yang dilakukan dengan cara sebagai berikut;

Rumah di daerah industri

Daerah rumah sehat

Daerah padat penduduk

Daerah pasar

Keterangan: air

titik pengambilan sampel

Gambar Lokasi pengambilan sampel air sungai a. Mengambil sampel air dari sungai yang ada di wilayah kecamatan Asemrowo. b. Sampel air diambil dari empat karakteristik yang berbeda, yaitu; pemukiman padat penduduk, rumah sehat, pasar, rumah di daerah industri c. Sampel air diambil di empat titik permukaan air sungai pada karakteristik daerah yang berbeda. d. Pengambilan dilakukan dengan menggunakan botol dan sampel air sungai di masukkan ke dalam botol botol kecil. e. Botol botol tesebut kemudian diberi tanda dengan menggunakan

spidol sebagai tanda sampel pengambilan. f. Sampel air dibawa ke labolatorium untuk dilihat jumlah bakteri E.Coli. g. Persiapan kultur bakteri E.coli di laboratorium mikrobiologi Universitas Wijaya Kusuma Surabaya. h. Untuk mengetahui jumlah koloni E.coli digunakan perhitungan nilai MPN atau JPT coli (Most Probable Number atau Jumlah Perkiraan Terdekat). Pengolahan Data Dalam penghitungan jumlah bakteri E.coli digunakan interval estimasi. Interval estimasi dapat dicari menggunakan rumus;

78

Untuk n < 30 digunakan : s nt n Untuk n > 30 digunakan : s nz n 2. Prosedur penentuan jumlah bakteri E.coli Menentukan Jumlah Bakteri E.coli Di Sungai Asemrowo dan Kalianak Dengan Karakteristik daerah Yang Berbeda; Tempat percobaan; laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, tanggal percobaan ;1 Juni sampai 25 Juni 2009, populasi ; air sungai Asemrowo dan Kalianak , sampel ;air sungai Asemrowo dan Kalianak disekitar pasar, rumah padat penduduk, rumah sehat, rumah di daerah kawasan industri. Dengan panjang sungai ; 3 km, debit air sungai ; 2,16 m3/s, volume air yang diamati;1 ml, faktor pengenceran; 10 kali. < np < n + z s n < np < n + t s n

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Tabel 1. Populasi E.coli di sungai Asemrowo dan Kalianak

Tabel 1. Populasi E.coli di sungai Asemrowo dan Kalianak


lokasi pengamatan Titik Pasar (koloni/ml) Rumah padat penduduk (koloni/ml) Rumah sehat (koloni/ml) Rumah di kawasan industri (koloni/ml) pengamatan

I II III IV

172 76 219 235

157 173 141 266

17 20 21 154

13 15 17 11 9

9 12 7

12 17 22

20 28 204 220

3 9

173

Data hasil pengamatan diolah dengan menggunakan program Excell, maka dapat ditentukan nilai statistik bakteri E.coli di berbagai lokasi; Tabel 2. Hasil pengamatan populasi E.coli di sungai Asemrowo dan Kalianak
Nilai statistik Pasar (Koloni) Rumah Penduduk (Koloni) Mean Jumlah nP = 179, nRP = 33,5 nRS = 7,3 nRKI = 87,0 Padat Rumah Sehat (Koloni) Rumah Di Kawasan Industri (Koloni)

Bakteri E-coli Standart Deviasi SP = 60,13 SRP = 48,80 SRS = 3,15 SRKI = 93,72

79

Interval estimasi dengan Level significan 95% dan derajat kebenaran 7 (t = 2,365)

126,16<np<232,74

17,01<nRP<49,99

4,48<nRS<10,12

3,23<nRKI<170,77

Nilai statistik jumlah bakteri E.coli di sungai Asemrowo dan Kalianak secara keseluruhan adalah : - Mean jumlah bakteri E.coli = 76,9 koloni/ml

- Standart deviasi = 88,48 koloni/ml - Interval estimasi dengan level signifikan 95 % dan derajat kebebasan 31 (z = 1,96 ) = ( 46,24 < nt < 107,96) koloni/ml 65 thn 70 90 10

Tabel 3. Surveilans Terpadu Penyakit Diare Berbasis Puskemas No Gol. Umur <1thn 1-4 5-14 15-44 45-55 Tahun Thn thn thn thn 1 2007 111 229 220 203 181 2 2008 178 272 232 207 208 3 2009 42 76 10 20 54 Sumber: Puskesmas Kecamatan Asemrowo,2009 Dari hasil pengolah data di atas dapat diketahui bahwa jumlah bakteri E.coli di aliran sungai Asemrowo dan Kalianak Surabaya terbesar berada dilokasi pasar . Hal ini disebabkan karena: 1. Masyarakat yang berada di pasar membuang sampahnya ke sungai. 2. Berdirinya ponten ponten umum (kamar mandi umum) di sepanjang pasar yang letaknya di bantaran sungai. 3. Pembuangan tinja langsung ke sungai. Sedangkan jumlah bakteri E.coli terkecil disepanjang aliran sungai Asemrowo dan Kalianak Surabaya berada dilokasi dekat perumahan sehat. Hal ini

55-64 thn 120 129 41

Jlh 1134 1316 253

disebabkan karena: 1. Pada perumahan sehat, disetiap rumah memiliki bak bak sampah 2. Pembungan tinja melalui septic tank 3. Keadaan sanitasi yang lebih baik Secara keseluruhan mean jumlah bakteri E.coli yang berada di sungai Asemrowo dan Kalianak Surabaya tanpa pengenceran adalah 76.900 koloni/ 100 ml. Standar deviasi yang diperoleh dari penelitian ini relatif besar karena nilai varian dari data yang diperoleh juga relatif besar disamping jangkauan dari data yang diperoleh juga relatif besar.

Tabel 4. Perbandingan jumlah E.coli dibeberapa sungai di Surabaya Daerah sungai di Surabaya Karang pilang Kali Mas Asemrowo dan dan Kalianak Ngagel (Jagir) Jumlah (sel/100 ml) 64.000 milyar 350 milyar s/d 1600 96 milyar milyar tersebut adanya peningkatan yang sangat berarti, karena pada penyakit diare sering menyerang bayi dan balita, bila tidak diatasi lebih lanjut akan menyebabkan dehidrasi yang mengakibatkan kematian. Data terakhir dari Departemen Kesehatan menunjukkan bahwa diare menjadi

Pembahasan Data dari puskesmas menunjukkan bahwa jumlah penderita penyakit diare pada tahun 2007 = 1134 penderita, tahun 2008 = 1316 penderita, dan pada jangka dua bulan (Januari dan Pebruari) 2009 = 253 penderita. Dari data

80

penyakit pembunuh kedua bayi di bawah lima tahun (balita) di Indonesia. Data puskesmas menunjukkan adanya peningkatan, peningkatan data tersebut juga menunjukkan hubungan dengan meningkatnya populasi E.coli . Selain data dari puskesmas, dilakukan pula penelitian dengan pengambilan sampel air yang berada di sungai Asemrowo dan Kalianak. Dimana sepanjang sungai tersebut memiliki daerah berkarakteristik berbeda. Dari daerah berkarakteristik berbeda di sepanjang sungai Asemrowo dan Kalianak hasil penelitian memiliki jumlah bakteri E.coli terbesar di daerah pasar yang berada di sepanjang sungai Asemrowo. Dari jumlah yang besar tersebut dapat terjadi karena; 1. Daerah pasar tersebut berada di bantaran sungai Asemrowo. 2. Aktifitas pedagang dan masyarakat sekitar pasar sering membuang sampahnya di sungai. 3. Aktifitas MCKnya pun berada di bantaran sungai tersebut, dengan membuang tinjanya langsung ke badan air. Dari nilai statistik jumlah bakteri E.coli di sungai Asemrowo dan Kalianak secara keseluruhan adalah : - Mean jumlah bakteri E.coli = 76,9 koloni/ml - Standart deviasi = 88,48 koloni/ml - Interval estimasi dengan level significance 95 % dan derajat kebebasan 31 (z = 1,96 ) = ( 46,24 < nt < 107,96) koloni/ml Dari data tersebut jumlah bakteri E.coli yang berada di sepanjang sungai Asemrowo dan Kalianak sebesar 76,9 koloni/ml . Pada tahun 2005, Bapedal Provinsi Jawa Timur dan Sarpedal Kementerian Negara Lingkungan Hidup menjelaskan tentang kualitas air di sungai JawaTimur menunjukkan,kandungan bakteri E.coli di aliran sungai Surabaya, khususnya di Karang Pilang dan Ngagel (Jagir), mencapai 64.000 sel bakteri per 100 mililiter sampel air. Dan dijumpai di hulu Kali Mas tepatnya di daerah Ngagel, jumlah E.coli dalam 100 ml air Kali Mas mencapai 350 milyar sampai 1600 milyar. Dalam baku mutu yang ditetapkan

oleh Pemerintah dalam Peraturan Pemerintah Nomer 82 tahun 2001 tentang Pengendalian Limbah Cair, yang menyebutkan bahwa badan air yang dimanfaatkan sebagai bahan baku air minum seperti pada Kali Mas, dimana memiliki kandungan E.coli dalam 100 ml air tidak boleh lebih dari 10.000. Sungai Asemrowo dan Kalianak yang memiliki 76.900 koloni/ 100ml bakteri E.coli, yang berati bahwa 76.900 x 1,25 x 106 sel = 96 milyar sel/ml karena 1 koloni = 1,25 x 106 ( Tortora, 2007). Maka jumlah bakteri E.coli di Sungai Asemrowo dan Kalianak memiliki jumlah lebih besar dibandingkan dengan Karang Pilang dan Ngagel. Akan tetapi dengan jumlah tersebut masih melebihi nilai baku mutu yang telah ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah Nomer 82 Tahun 2001. Wilayah Kecamatan Asemrowo, dimana kecamatan ini dilewati sungai Asemrowo dan Kalianak, dimana dalam penelitian jumlah bakteri sungai tersebut memiliki jumlah bakteri E.coli 769.00 koloni/ 100 ml. Perbandingan jumlah E.coli di sungai Asemrowo dan Kalianak tersebut melebihi batas baku mutu yang sudah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 Tentang Pengendalian Limbah Cair. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut menyebutkan bahwa badan air dimanfaatkan sebagai bahan baku air minum yang mana kandungan bakteri E.coli dalam air 100 ml air tidak boleh lebih dari 10.000. KESIMPULAN Adanya pencemaran domestik yang terjadi di Kecamatan Asemrowo, memberi dampak yang berhubungan dengan kualitas kesehatan masyarakat. Dimana data dari puskesmas menunjukkan tingkat penderita diare tiap tahunnya bertambah. Pembuangan limbah yang terus dibuangan menuju sungai inilah terciptanya lingkungan yang buruk. Dimana ditunjang dengan kondisi sanitasi yang buruk sebagai penyebab banyaknya kontaminasi bakteri E.coli mengindikasikan adanya pencemaran tinja manusia. Dari penjelasan diatas maka

81

perlunya program penyehatan lingkungan yang diperuntukkan bagi masyarakat yaitu, dengan menekankan pada kegiatan penyuluhan kesehatan meliputi: 1. Penyuluhan dilakukan oleh ibu ibu PKK serta DASAWISMA, langsung kepada masyarakat. 2. Pengawasan mutu lingkungan, dengan memberi pengarahan kepada masyarakat tentang pencemaran yang terjadi pada lingkungan dan dampak yang diakibatkan oleh pencemaran sehingga dapat mengganggu kesehatan. 3. Pengarahan di dalam pembangunan sarana jamban keluarga dan saluran pembuangan air limbah yang benar kepada masyarakat, terutama yang diperuntukkan bagi rumah di daerah pasar dimana pembuangan limbahnya langsunga di buang ke sungai. DAFTAR PUSTAKA Anonim,http://kmpk.forumpustakamas.or.i d-dikunjungi26Juni2009,11:57AM Anonim,http://air.bappenas.go.iddikunjungi27Juni2009,12:50 PM Anies,2006.Manajemen Berbasis Lingkungan, Penerbit Elex Media Komputindo, Jakarta. Azwar,1996.Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan, Penerbit Mutiara Sumber Widya,Jakarta. Asdak,2004.Hidrologi Dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Brooks,Geo.F,2005. Mikrobiologi Kedokteran, Penerbit Salemba Medika, Jakarta. Chandara, Budiman,2007. Pengantar Kesehatan Lingkungan, Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta. Darmono,2001.Lingkungan Hidup Dan Pencemaran, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. Ginting, Perdana,2007. Sistim Pengelolaan Lingkungan Dan Limbah Industri, Penerbit Rama Widya, Bandung. Hadi, Anwar, 2007. Prinsip Pengelolaan Pengambilan Sampel Lingkungan,

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Julia S.S, 2007. Epidemiologi Lingkungan, Penerbit Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Oswari.E,2003. Penyakit dan Penanggulangannya, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Suriawiria, Unus, 2008. Air Dalam Kehidupan Dan Lingkungan Yang Sehat, Penerbit PT Alumni, Bandung. Wheler, 1989. Mikrobiologi Dasar, Penerbit Erlangga, Jakarta.

82

AEDES AEGYPTI SEBAGAI VEKTOR PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE Bagus Uda Palgunadi, Asih Rahayu Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Abstrak : Aedes aegypti merupakan nyamuk yang dapat berperan sebagai vektor Demam Berdarah Dengue (DBD). Nyamuk ini dapat mengandung virus DBD bila menghisap darah penderita DBD. Virus tersebut akan masuk ke dalam intestinum nyamuk dan bereplikasi dalam hemocoelum. Selanjutnya virus akan menuju ke dalam kelenjar air liur nyamuk ini dan siap ditularkan. Dengan mengendalikan vektor maka Kejadian Luar Biasa suatu penyakit yang ditularkan melalui vektor dapat dicegah. Kata kata kunci : Aedes aegypti, Demam Berdarah Dengue, Vektor

AEDES AEGYPTI AS DENGUE HAEMORRHAGIC FEVER VECTOR Bagus Uda Palgunadi, Asih Rahayu Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
Abstract : Aedes aegypti is mosquito that take role as Dengue Haemorrhagic Fever vector (DHF). This mosquito has DHF virus inside its body when it sucked the blood of DHF patient. This Virus will enter the intestinum of the mosquito and replicate inside the hemocoelum. The virus will then go to the saliva gland of the mosquito and so it is ready to be transmitted. By controlling the vector, the special case of a disease transmitted by the vector can be avoided. Keywords :Aedes aegypti, Dengue Haemorrhagic Fever, Vector

Pendahuluan : Pemberantasan penyakit menular dilaksanakan dengan upaya penyuluhan, penyelidikan, pengebalan, menghilangkan sumber dan perantara penyakit, tindakan karantina serta upaya lain yang diperlukan. Upaya untuk menghilangkan perantara penyakit adalah dengan cara pengendalian vektor penyakit. Dengan mengendalikan vektor maka Kejadian Luar Biasa ( KLB ) suatu penyakit yang ditularkan melalui vektor dapat dicegah. Aedes aegypti merupakan nyamuk yang dapat berperan sebagai vektor berbagai macam penyakit diantaranya Demam Berdarah Dengue (DBD). Walaupun beberapa spesies dari Aedes sp. dapat pula berperan sebagai vektor tetapi Aedes aegypti tetap merupakan vektor utama dalam penyebaran penyakit Demam Berdarah Dengue. (Lawuyan S, 1996 ; Yotopranoto S dkk., 1998 ; Soegijanto S, 2003) Keberhasilan dalam upaya pemberantasan vektor penular penyakit ditentukan oleh berbagai faktor , antara lain sarana, prasarana maupun sumber daya manusia. Dalam hal upaya pengendalian Aedes aegypti , perlu kiranya pemahaman ilmu entomologi diantaranya adalah taksonomi, morfologi, ekologi dan siklus hidup dari vektor.

Demam Berdarah Dengue (Dengue Haemorrhagic Fever): Kejadian Luar Biasa Demam Berdarah Dengue pertama di Asia ditemukan di Manila pada tahun 1954 dan di Bangkok Thonburi serta sekitarnya pada tahun 1958. Di Singapura ditemukan kasus Demam Berdarah Dengue pada usia dewasa muda dengan hasil isolasi virusnya adalah tipe DEN1 dan tipe DEN 2. Pada tahun 1961 di Kamboja telah diisolasi virus Dengue tipe DEN 1 dan tipe DEN 4. Di Penang , Malaysia Barat penyakit ini ditemukan pertamakali pada tahun 1962. Sedangkan di Calcuta pada tahun 1963 dan 1964 serta di Srilangka pada tahun 1966. Di Indonesia Demam Berdarah Dengue pertamakali ditemukan tahun 1968. (Soegijanto S,2003) Virion Dengue merupakan virus dengan genome RNA dari family Flaviviridae, genus Flavivirus. Virion ini berbentuk spheris dengan diameter nucleocapsidnya 30 nm dan ketebalan envelopenya 10 nm. Envelopenya terdiri dari lipid yang mengandung dua protein yaitu envelope protein (E) dan protein membrane (M). Envelope berperan dalam haemaglutinasi / menginduksi uji hambatan aglutinasi, neutralisasi dan interaksi antara virus dengan sel host pada saat awal infeksi / menarik sel (cell

83

tropism). Virus Dengue mampu bereplikasi dalam tubuh manusia, hewan sebangsa monyet, simpanse, kelinci, mencit, marmot, tikus, hamster dan nyamuk. Pada manusia , masa viraemia berkisar dua sampai duabelas hari sedangkan pada hewan primate masa viraemia berkisar antara satu sampai dua hari, tetapi titer virus dalam darah manusia dapat mencapai lebih dari seratus kali dibandingkan dengan pada darah hewan primata. Virus bereplikasi dengan baik pada nyamuk genus Aedes. Virus Dengue diklasifikasikan menjadi empat serotipe yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4. Virus Dengue termasuk virus yang labil terhadap suhu dan faktor kimiawi lain serta mempunyai masa viraemia yang pendek, oleh karena itu keberhasilan isolasi dan identifikasi virus ini sangat tergantung kepada kecepatan dan ketepatan pengambilan sampel . Virus Dengue juga mempunyai manifestasi klinik yang sangat bervariasi. Virus Dengue mempunyai dua macam protein yaitu protein struktural dan protein nonstruktural. Protein struktural terdiri dari protein E, protein M, dan protein C, sedangkan protein non struktural terdiri dari tujuh protein yaitu NS1, NS2A, NS2B, NS3, NS4A, NS4B, dan NS5. Protein nonstrukutral tidak mempunyai kaitan dengan berat ringannya manifestasi klinis Demam Berdarah Dengue. Patofisiologi primer pada Demam Berdarah Dengue dengan Dengue Shock Syndrome adalah peningkatan akut permeabilitas vaskuler yang mengarah ke kebocoran plasma ke dalam ruang ekstravaskuler sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah . Perubahan hemostasis pada Demam Berdarah Dengue dan Dengue Shock Syndrome melibatkan tiga faktor utama yaitu perubahan vaskuler, trombositopenia dan kelainan koagulasi. Hampir semua penderita Demam Berdarah Dengue mengalami peningkatan fragilitas vaskuler dan trombositopenia. (Joklik WK et al,1992 ; Soegijanto S,2003 ; Brooks GF et al, 2007 ) Vektor Demam Berdarah Dengue : Di Indonesia, vektor penyakit Demam Berdarah Dengue adalah nyamuk Aedes sp. terutama adalah Aedes aegypti

walaupun Aedes albopictus dan Aedes scutellaris dapat juga menjadi vektornya. Aedes aegypti : Taxonomi : nyamuk Aedes aegypti merupakan anggota dari phylum arthropoda , class insecta atau hexapoda (mempunyai enam kaki) , subclass pterygota (mempunyai sayap), divisi endopterygota atau holometabola ( mempunyai sayap di bagian dalam dengan metamorfosanya lengkap) , ordo diptera ( hanya mempunyai sepasang sayap depan sedangkan sepasang sayap bagian belakang rudimenter dan berubah fungsi sebagai alat keseimbangan atau halter), subordo nematocera, family culicidae, subfamily culicinae dan genus Aedes. Breeding Place ( Tempat Perindukan ) : Aedes sp. termasuk nyamuk yang aktif pada siang hari dan biasanya akan berbiak dan meletakkan telurnya pada tempat tempat penampungan air bersih atau genangan air hujan misalnya bak mandi, tangki penampungan air, vas bunga ( baik di lingkungan dalam rumah, sekolah, perkantoran maupun pekuburan) , kaleng bekas, kantung plastik bekas, di atas lantai gedung terbuka, talang rumah , pagar bambo, kulit buah (rambutan, tempurung kelapa ), ban bekas ataupun semua bentuk kontainer yang dapat menampung air bersih . (Sembel DT, 2009) Aedes aegypti dewasa terutama hidup dan mencari mangsa di dalam lingkungan rumah atau bangunan sedangkan Aedes albopictus lebih menyukai hidup dan mencari mangsa di luar lingkungan rumah atau bangunan yaitu di kebun yang rimbun dengan pepohonan. (Soedarto,2008) . Jarak terbang maksimum antara breding place dengan sumber makanan pada Aedes sp. antara 50 sampai 100 mil. Umumnya nyamuk tertarik oleh cahaya terang , pakaian berwarna gelap dan oleh adanya manusia atau hewan. Daya penarik jarak jauh disebabkan karena perangsangan bau dari zat zat yang dikeluarkan dari hewan ataupun manusia , CO2 dan beberapa Asam Amino serta lokasi yang dekat dengan temperature hangat serta lembab. ( Neva FA and Brown HW, 1994) Morfologi : Nyamuk ini dikenal juga sebagai Tiger mosquito atau Black White Mosquito karena tubuhnya

84

mempunyai ciri khas berupa adanya garis garis dan bercak bercak putih keperakan di atas dasar warna hitam. Dua garis melengkung berwarna putih keperakan di kedua sisi lateral serta dua buah garis putih sejajar di garis median dari punggungnya yang berwarna dasar hitam. (James MT and Harwood RF, 1969) Nyamuk dewasa Aedes albopictus mudah dibedakan dengan Aedes aegypti karena garis thorax hanya berupa dua garis lurus di tengah thorax. (Soedarto, 2008) Mulut nyamuk termasuk tipe menusuk dan mengisap ( rasping sucking) , mempunyai enam stilet yaitu gabungan antara mandibula, maxilla yang bergerak naik turun menusuk jaringan sampai menemukan pembuluh darah kapiler dan mengeluarkan ludah yang berfungsi sebagai cairan racun dan antikoagulan. ( Sembel DT, 2009) Pada keadaan istirahat nyamuk dewasa hinggap dalam keadaan sejajar dengan permukaan. Nyamuk Aedes betina mempunyai abdomen yang berujung lancip dan mempunyai cerci yang panjang. Hanya nyamuk betina yang mengisap darah dan kebiasaan mengisap darah pada Aedes aegypti umumnya pada waktu siang hari sampai sore hari. Lazimnya yang betina tidak dapat membuat telur yang dibuahi tanpa makan darah yang diperlukan untuk membentuk hormone gonadotropik yang diperlukan untuk ovulasi. Hormon ini berasal dari corpora allata yaitu pituitary pada otak insecta, dapat dirangsang oleh serotonin dan adrenalin dari darah korbannya. Kegiatan menggigit berbeda menurut umur, waktu dan lingkungan. Demikian pula irama serangan sehari-hari dapat berubah menurut musim dan suhu. Kopulasi didahului oleh pengeriapan nyamuk jantan yang terbang bergerombol mengerumuni nyamuk betina. Aedes memilih tanah teduh yang secara periodik di genangi air. Jumlah telur yang diletakkan satu kali maksimum berjumlah seratus sampai empat ratus butir.(Neva FA and Brown HW, 1994) Telur Aedes sp. tidak mempunyai pelampung dan diletakkan satu persatu di atas permukaan air. Ukuran panjangnya 0,7 mm, dibungkus dalam kulit yang berlapis tiga dan mempunyai saluran

berupa corong untuk masuknya spermatozoa. Telur Aedes aegypti dalam keadaan kering dapat tahan bertahun tahun lamanya. Telur berbentuk elips dan mempunyai permukaan yang polygonal. Telurnya tidak akan menetas sebelum tanah digenangi air dan telur akan menetas dalam waktu satu sampai tiga hari pada suhu 30C tetapi membutuhkan tujuh hari pada suhu 16C. ( Neva FA and Brown HW, 1994 ) Larva memiliki kepala yang cukup besar serta thorax dan abdomen yang cukup jelas. Larva menggantungkan dirinya pada permukaan air untuk mendapatkan oksigen dari udara. Larva menyaring mikroorganisme dan partikelpartikel lainnya dalam air. Larva biasanya melakukan pergantian kulit sebanyak empat kali dan berubah menjadi pupa sesudah tujuh hari. (Harwood RF and James MT, 1979) Pupa berbentuk agak pendek, tidak makan tetapi tetap aktif bergerak dalam air terutama bila terganggu. Pupa akan berenang naik turun dari bagian dasar ke permukaan air. Dalam waktu dua atau tiga hari perkembangan pupa sudah sempurna, maka kulit pupa pecah dan nyamuk dewasa muda segera keluar dan terbang. ( Sembel DT, 2009) Siklus Hidup : Aedes aegypti mengalami metamorfosis lengkap / metamorfosis sempurna (holometabola) yaitu dengan bentuk siklus hidup berupa Telur, Larva (beberapa instar), Pupa dan Dewasa (James MT and Harwood RF, 1969) Peran Aedes aegypti sebagai vector penyakit Demam Berdarah Dengue : Nyamuk dapat mengandung virus Demam Berdarah Dengue bila menghisap darah penderita. Virus tersebut akan masuk ke dalam intestinum nyamuk. Replikasi virus terjadi dalam hemocoelum dan akhirnya akan menuju ke dalam kelenjar air liur serta siap ditularkan. Fase ini disebut sebagai extrinsic incubation periode yang memerlukan waktu selama tujuh sampai empatbelas hari. ( Soewondo ES, 1998) Pada biakan sel mamalia, virus

85

Dengue dapat menimbulkan Cyto Pathogenic Effect (CPE) yang tergantung pada jenis sel yang digunakan. Pada sel vertebrata dapat terjadi vacuolisasi dan proliferasi membrane intraseluler sedangkan pada sel nyamuk sering CPE tidak terjadi sehingga infeksinya bersifat persisten. Dengan demikian hal ini dapat dianalogikan dengan keberadaan virus pada tubuh nyamuk Aedes di alam, dimana virus ini dapat berada dalam tubuh nyamuk dan bereplikasi tanpa menimbulkan kematian pada nyamuk karena tidak terbentuknya CPE ( Soegijanto S, 2003) Pengaruh lingkungan yaitu suhu udara dan kelembaban nisbi udara juga berpengaruh bagi viabilitas nyamuk Aedes maupun virus Dengue. Suhu yang relatif rendah atau relatif tinggi, serta kelembaban nisbi udara yang rendah dapat mengurangi viabilitas virus Dengue yang hidup dalam tubuh nyamuk maupun juga mengurangi viabilitas nyamuk itu sendiri. Sehingga pada waktu musim kemarau penularan penyakit Demam Berdarah Dengue sangat rendah dibandingkan dengan pada waktu musim hujan. (Yotopranoto S dkk.,1998) Banyak peneliti telah melaporkan adanya transovarial transmission virus Dengue yang ada di dalam tubuh nyamuk betina Aedes aegypti ke dalam telur telurnya. Dengan dibuktikannya adanya transovarial transmission virus Dengue dalam tubuh nyamuk Aedes aegypti maka diduga kuat bahwa nyamuk ini di alam memegang peranan penting yang bermakna dalam mempertahankan virus Dengue, khususnya pada keadaaan dimana tidak ada hospes susceptible atau kondisi iklim yang tidak menguntungkan bagi nyamuk. (Soegijanto S, 2003) Pengendalian Aedes aegypti : tujuan utama pengendalian vektor adalah untuk menurunkan kepadatan populasi nyamuk Aedes aegypti sampai serendah rendahnya sehingga kemampuan sebagai vektor akan menghilang. Menurut Soegijanto S (2003) secara garis besar terdapat empat cara

pengendalian vektor yakni secara kimiawi, biologik, radiasi dan mekanik atau pengelolaan lingkungan. Pengendalian secara kimiawi dengan menggunakan insektisida dapat ditujukan terhadap nyamuk dewasa maupun larva. Insektisida untuk nyamuk dewasa Aedes aegypti antara lain dari golongan organochlorine, organophosphor, carbamate dan pyrethroid. Insektisida tersebut dapat diaplikasikan dalam bentuk spray terhadap rumah-rumah penduduk. Sedangkan insektisida untuk larva Aedes aegypti yaitu dari golongan organophosphor (Temephos) dalam bentuk sand granules yang dilarutkan dalam air di tempat perindukannya ( tindakan abatisasi). Pengendalian scara radiasi dilakukan dengan bahan radioaktif dosis tertentu terhadap nyamuk dewsa jantan sehingga menjadi mandul, meskipun nantinya akan berkopulasi dengan nyamuk betina tetapi tidak akan menghasilkan telur yang fertile. Pengendalian lingkungan dilakukan dengan cara mencegah nyamuk kontak dengan manusia misalnya memasang kawat kasa pada lubang ventilasi rumah serta menggalakkan gerakan 3 M yaitu menguras tempat-tempat penampungan air dengan menyikat dinding bagian dalam paling sedikit seminggu sekali, menutup rapat tempat penampungan air sehingga tidak dapat diterobos oleh nyamuk dewasa, menanam atau menimbun dalam tanah barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan. Cara lain lagi yang disebut autocidal ovitrap menggunakan suatu tabung silinder warna gelap dengan diameter 10 cm dengan salah satu ujung tertutup rapat dan ujung lainnya terbuka. Tabung tersebut diisi air tawar kemudian ditutup dengan kasa nylon. Secara periodik air dalam tabung ditambah untuk mengganti peguapan yang terjadi. Nyamuk yang bertelur disini dan telurnya menetas menjadi larva dalam air tadi , maka akan menjadi nyamuk dewasa yang tetap terperangkap di dalam tabung tadi. Dari cara pengendalian tersebut diatas tidak ada satupun yang paling unggul. Untuk menghasilkan cara yang efektif maka perlu dilakukan kombinasi dari beberapa cara - cara tersebut diatas. Sedangkan menurut Agoes R

86

(2009) pengendalian nyamuk Aedes aegypti dapat dilakukan dengan cara perlindungan perseorangan, mencegah nyamuk meletakkan telurnya, mencegah pertumbuhan jentik dan membunuh telur, pemberian larvisida, melakukan fogging dan pendidikan kesehatan masyarakat. Perlindungan perseorangan untuk mencegah terjadinya gigitan nyamuk ini yaitu dengan memasang kawat kasa di lubang angin; tidur dengan menggunakan kelambu; penyemprotan dinding rumah dengan insektisida malathion dan penggunaan repellent pada kulit saat berkebun. Mencegah nyamuk meletakkan telurnya dengan cara membuang, membakar atau mengubur benda-benda di pekarangan atau di kebun yang dapat menampung air hujan seperti kaleng, botol, ban mobil dan tempat-tempat lain yang menjadi tempat perindukan Aedes aegypti. Mencegah pertumbuhan jentik dan membunuh telur dengan cara mengganti air atau membersihkan tempattempat air secara teratur tiap minggu sekali, pot bunga, tempayan dan bak air mandi. Pemberian larvisida ( abate ) ke dalam tempat penampungan air/penyimpanan air bersih (abatisasi ). Melakukan fogging dengan malathion untuk membunuh nyamuk dewasa sekurangnya dua kali dengan jarak waktu sepuluh hari misalnya di daerah yang terkena wabah dan daerah endemic yang indeks kepadatan nyamuknya relatif tinggi. Pendidikan kesehatan masyarakat melalui ceramah agar masyarakat dapat memelihara kebersihan lingkungan dan turut secara perseorangan memusnahkan tempat perindukan Aedes aegypti disekitar rumahnya masing-masing. Disamping itu pemantauan kepadatan populasi nyamuk dapat meningkatkan pengendalian vektor. Pengukuran kepadatan populasi larva dilakukan dengan cara pemeriksaan tempat perindukan di dalam dan di luar rumah dari 100 rumah yang terdapat di daerah pemeriksaan. Ada tiga angka indeks yang perlu diketahui yaitu indeks rumah (house index) yaitu suatu persentase rumah yang positif dengan larva Aedes aegypti dari 100 rumah yang diperiksa; indeks wadah (container index) yaitu persentase tempat perindukan yang positif dengan larva Aedes aegypti dari

100 wadah yang diperiksa; indeks breteau (breteau index) ialah jumlah tempat perindukan yang positif dengan larva Aedes aegypti dalam tiap 100 rumah. Penutup : Virus Dengue merupakan virus RNA yang menyebabkan penyakit dengan manifestasi klinis berupa Demam Dengue, Demam Berdarah Dengue dan Dengue Shock Syndrome. Penyakit ini termasuk penyakit yang ditularkan atau disebarkan melalui nyamuk genus Aedes sp. terutama Aedes aegypti yang sering disebut sebagai Tiger Mosquito melalui gigitannya karena nyamuk ini akan mengandung virus Dengue pada kelenjar ludahnya setelah menghisap darah penderita Dengue. Nyamuk ini mempunyai siklus hidup metamorfosis sempurna dengan bentuk siklus hidup berupa tingkatan telur, larva, pupa dan dewasa. Berbagai upaya dapat dilakukan untuk mengontrol populasi nyamuk ini dengan tujuan utama adalah menurunkan kepadatan populasi nyamuk Aedes aegypti sampai serendah rendahnya sehingga kemampuan sebagai vektor akan menghilang dengan cara kimiawi, biologik, radiasi, mekanik terhadap telur, larva, pupa, dewasa maupun terhadap tempat perindukannya. Kepustakaan : BROOKS,GF., BUTEL,JS and MORSE,SA. 2007. Jawetz, Melnick & Adelberg : Mikrobiologi Kedokteran. Edisi 23. EGC.hal 536-537. BROWN,HW. and NEVA,FA. 1994. Basic Clinical Parasitology. 6th Ed. Prentice Hall International Edition HARWOOD, RF and JAMES, MT. 1979. Entomology in Human and Animal Health. 7th Ed. Mc Millan Pub. Co.p. 548 JAMES,MT. and HARWOOD,RF. 1969. Herms Medical Entomology. 6th Ed.The Macmillan Company USA. JOKLIK, WK.,WILLETT, HP., AOS ,DB. And WILFERT,CM. 1992. Zinsser Microbiology. 20th Ed.Aplleton & Lange.pp.

87

LAWUYAN,S. 1996. Demam Berdarah Dengue di Kotamadya Surabaya. Seminar Sehari Demam Berdarah Dengue. Tropical Disease Center, Universitas Airlangga ,Surabaya 28 Oktober 1996. NATADISASTRA, D dan AGOES, R. 2009. Parasitologi Kedokteran. Ditinjau dari Organ Tubuh yang Diserang.EGC. hal. 315-318. SCHLESINGER, S and SCHLESINGER, MJ.1986. The Togaviridae and Flaviviridae.Plenum Press, New York and London. SEMBEL DT. 2009. Entomologi Kedokteran. Penerbit ANDI Yogyakarta. SOEDARTO. 2008. Parasitologi Klinik. Airlangga University Press Surabaya. SOEGIJANTO,S. 2003. Demam Berdarah Dengue, Tinjauan dan Temuan Baru di Era 2003. SOEWONDO, ES. 1998. Demam Berdarah Dengue pada Orang Dewasa, Gejala Klinik dan Penatalaksanaannya. Seminar Demam Berdarah Dengue. TDCUNAIR, Surabaya, 19 September 1998.hal.23-38. YOTOPRANOTO,S.,SUBEKTI,S., ROSMANIDA, SALAMUN. 1998. Analisis Dinamika Populasi Vektor pada Lokasi dengan Kasus Demam Berdarah Dengue yang Tinggi di Kotamadya Surabaya.Majalah Kedokteran Tropis Indonesia, 9 (1-2) : 23-31.

88

INFEKSI HUMAN PAPILLOMAVIRUS DAN CARA PENCEGAHANNYA Akhmad Sudibya Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Abstrak Ada banyak jenis HPV. Tipe 6 dan 11 memiliki kemampuan menyebabkan kutil kelamin. Tipe 16 dan 18 yang terlibat dalam kanker serviks. Kutil kelamin dan kanker serviks dapat dicegah dengan vaksinasi HPV. Kata Kunci : HPV, tipe-tipe HPV, kutil, kutil kelamin, kanker leher rahim, vaksinasi HPV

Human papilloma virus infection AND HOW CANCER Akhmad Sudibya Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
Abstract : There are many types of HPV. Type 6 and 11 have the ability to cause genital warts. Type 16 and 18 are implicated in cervical cancer. Genital warts and cervical cancer can be prevented by HPV vaccination. HPV, HPV types, warts, genital warts, uterus, HPV vaccination

Keywords:

cervical

cancer

Pendahuluan Virus Papiloma Manusia (HPV/Human Papillomavirus) termasuk genus Papovavirus Familia Papovaviridae. Papovavirus dibagi menjadi dua kelompok. Dua kelompok tersebut adalah Papillomavirus dan Polyomavirus. Papillomavirus dibagi memjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang menyerang manusia dan kelompok yang menyerang hewan. Kelompok yang menyerang manusia diberi tambahan nama human. Nama lengkap virus menjadi Human Papillomavirus atau populer dengan nama HPV. Untuk selanjutnya istilah HPV selalu digunakan dalam tulisan ini. Kelompok virus yang menyerang hewan diberi tambahan nama hewan dalam bentuk ajektiva misalnya bovine. Contoh Virus Papiloma yang menyerang hewan adalah bovine papillomavirus (Androphy EJ, 1999). Tidak ada singkatan baku unuk Virus Papiloma yang menyerang hewan. Sebagai contoh istilah BPV tidak dikenal dalam bidang virologi. Jadi, tidak ada singkatan populer untuk bovine papillomavirus. Nama HPV akhir-akhir ini sangat sering dibicarakan karena keterkaitan HPV tipe tertentu dengan kanker leher rahim. Klasifikasi HPV Klasifikasi HPV sangat beragam. Menurut Androphy EJ (2007),

HPV dibagi menjadi banyak tipe berdasarkan penyakit yang berkaitan. HPV tipe 14 dapat menyebabkan penyakit kutil (cutaneous warts/verruca vulgaris). HPV tipe 6,11,16,18, 31, dan 35 dapat menimbulkan penyakit kutil kelamin (genital warts/condyloma acuminata). Lebih dari 90% kanker leher rahim disebabkan oleh HPV tipe 16, 18, 31, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, 66, 68, dan 70 (Androphy EJ, 2007). Karateristik HPV HPV tidak mempunyai envelope sehingga lebih tahan terhadap kondisi lingkungan. HPV merupakan virus DNA yang bersifat nonlitik dan melakukan replikasi di sel-sel epitel skuamosa. Jaringan target meliputi kulit dan membrana mukosa. Bagian tubuh yang diserang adalah tangan, kaki, dan daerah genital. Infeksi kronis HPV tipe tertentu dapat menyebabkan keganasan (Androphy EJ, 2007). Penularan HPV Penularan dapat melalui beberapa cara, yaitu secara seksual, kontak langsung kulit ke kulit, dan melalui kontak dengan benda mati yang terkontaminasi HPV (Androphy EJ, 2007). Cara Pencegahan Penyakit Kutil Yang terpenting

pada

89

pencegahan kutil adalah menjaga kebersihan kulit daerah predileksi dan mengenal lebih dini tanda-tanda awal terjadinya kutil. Daerah predileksi kutil adalah punggung tangan, jari tangan, punggung kaki, jari kaki, dan telapak kaki. Kutil lebih banyak ditemukan pada anakanak (Sularsito SA dkk., 1986). Penularan kutil melalui kontak kulit ataupun otoinokulasi (Handoko RP, 1999). Vaksin untuk mencegah HPV tipe tertentu yang dapat menimbulkan kutil belum tersedia. Cara Pencegahan Penyakit Kutil Kelamin Nama lain untuk penyakit kutil kelamin adalah penyakit jengger ayam dan genital warts. Penyakit ini dapat digolongkan ke dalam Infeksi Menular Seksual. Salah satu rantai penularan yang harus dipotong adalah penularan melalui hubungan seksual (Anonim1, 2009 ; Zubier F, 2009). Selain dengan regulasi hubungan seksual, vaksin untuk mencegah HPV tipe tertentu yang dapat menyebabkan kutil kelamin sudah ada misalnya Gardasil. Cara Pencegahan Kanker Leher Rahim Ada beberapa cara pencegahan kanker leher rahim. Beberapa cara tersebut adalah menghindari kawin muda, tidak berganti-ganti pasangan, paritas lebih kecil atau sama dengan tiga, dan vaksinasi HPV (Harahap RE, 1985 ;. Rengganis I & Kurniawati L, 2009). Paritas lebih kecil atau sama dengan tiga berarti mempunyai anak maksimal tiga.. Selain itu, yang perlu diwaspadai adalah faktor risiko kanker leher rahim. Menurut Emilia O dkk. (2010), faktor risiko kanker leher rahim adalah hubungan seksual pertama usia muda, mempunyai banyak pasangan, berhubungan dengan pria yang menderita penile warts, infeksi virus herpes simpleks, merokok, kadar karoten beta serum rendah, kadar vitamin A rendah, dan pemakaian kontrasepsi oral. Vaksinasi HPV Sampai saat ini di negeri kita vaksin HPV yang dapat melawan semua tipe HPV belum ada. Yang tersedia adalah vaksin HPV untuk tipe 6, 11, 16, dan 18. Ada 2 merek vaksin yang beredar,

yaitu Cervarix dan Gardasil. Cervarix diproduksi oleh GlaxoSmithkline. Vaksin ini dapat melawan HPV tipe 16 dan 18. Oleh karena itu, vaksin ini sering disebut vaksin HPV bivalen. Harga Cervarix lebih murah daripada Gardasil (Anonim2, 2007 ; .Djauzi S. dkk., 2009 ; Rengganis I & Kurniawati L, 2009 ; Pramudianto A & Evaria, 2010). Gardasil dibuat oleh Merck Sharp & Dohme. Ada 4 tipe HPV yang dilawan oleh Gardasil, yakni tipe 6, 11, 16, dan 18. Julukan vaksin HPV kuadrivalen sungguh tepat untuk Gardasil. Harga vaksin ini jauh lebih mahal daripada Cervarix (Djauzi S. dkk., 2009 ; Rengganis I & Kurniawati L, 2009 ; Pramudianto A & Evaria, 2010). Konsensus usia pemberian vaksin dari tiga organisasi dokter spesialis yang sudah ada masih tetap berlaku. Konsensus PAPDI (perhimpunan dokter spesialis penyakit dalam) adalah usia 1255 tahun. Konsensus POGI (perhimpunan dokter spesialis obstetri dan ginekologi) adalah 1055 tahun. Konsensus IDAI (perhimpunan dokter spesialis anak) adalah 10 tahun (Rengganis I & Kurniawati L, 2009). Kesimpulan Salah satu cara pencegahan infeksi HPV adalah vaksinasi HPV. Belum semua tipe HPV tersedia vaksinnya. Vaksinasi HPV hanya dapat melawan infeksi HPV tipe-tipe tertentu. Vaksinasi HPV masih jarang dilakukan karena belum populer dan harga vaksin yang relatif tinggi. Daftar Pustaka Androphy EJ. Human Papillomaviruses and Warts. Dalam : Engleberg NC, DiRita V, Dermody TS, penyunting. Schaechters Mechanisms of Microbial Disease. Edisi ke-4. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 2007. h. 399 405. Anonim1. Kebijaksanaan Program Pencegahan dan Pemberantasan IMS Termasuk AIDS di

90

Indonesia. Dalam : Daili SF, Makes WIB, Zubier F, penyunting. Infeksi Menular Seksual. Edisi ke-4 Cetakan ke-1. Jakarta : Balai Penerbit FK UI, 2009. h. 269 275. Anonim2, CervarixTM , GlaxoSmithKline, 2007. Djauzi S dkk..Konsensus Imunisasi HPV PAPDI Tahun 2008. Dalam : Djauzi S dkk,, penyunting. Pedoman Imunisasi pada Orang Dewasa Tahun 2009. Cetakan ke-2 : Jakarta : Satgas Imunisasi Dewasa Perhimpunan Doketr Spesialis Penyakit dalam (PAPDI), 2009. h. 205, 207. Emilia O dkk..Bebas Ancaman Kanker Serviks. Edisi I. Yogyakarta : Media Pressindo, 2010. h. 7393. Handoko RP. Penyakit Virul. Dalam : Djuanda A dkk,, penyunting. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi III Cetakan I. Jakarta : FK UI, 1999. h. 107115. Harahap RE. Tumor Ganas pada AlatAlat Genital. Dalam : Prawirohardjo S dkk,, penyunting. Ilmu Kandungan. Cetakan ke-2 : Jakarta : Yayasan Bina Pustaka, 1985. h. 313341. Pramudianto A, Evaria. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. Edisi ke-9 2009/2010. Jakarta : CMPMedica, 2010. 389390. Rengganis I, Kurniawati L. Human Papilloma Virus. Dalam : Djauzi S dkk,, penyunting. Pedoman Imunisasi pada Orang Dewasa Tahun 2009. Cetakan ke-2 : Jakarta : Satgas Imunisasi Dewasa Perhimpunan Doketr Spesialis Penyakit dalam (PAPDI), 2009. h. 132140.

Sularsito SA dkk.. Dermatologi Praktis. Edisi ke-1. Jakarta : PADVI, 1986. 6465. Zubier F. Kondiloma Akuminata. Dalam : Daili SF, Makes WIB, Zubier F, penyunting. Infeksi Menular Seksual. Edisi ke-4 Cetakan ke-1. Jakarta : Balai Penerbit FK UI, 2009. h. 140 145.

91

PENGARUH DOSIS PAPARAN GELOMBANG ULTRASONIK TERHADAP KEMATIAN BAKTERI E. COLI Mas Mansyur Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
ABSTRAK Ultrasonik adalah gelombang bunyi yang mempunyai frekuensi lebih besar dari 20.000 Hz. Dalam penjalarannya memindahkan energi dan momentum, gelombang ini jugamengalami pelemahan, pemantulan , hamburan dan penyerapan sehingga intensitasnya berkurang. Disamping sifat ini juga mempunyai sifat menhasilkan panas, gaya ultrasonic steady, kavitasi dan tegangan mekanik yang besar. Bakteri adalah organism bersel tunggal yang dibangun oleh inti, sitoplasma, dan dinding sel. Jika bakteri E. Coli berada di dalam medan ultrasonic, bakteri akan mengalami tegangan mekanik yang besar dan dindingnya akan mengalami peregangan yang besar dan jika batas elastisitasnya terlampaui akan sobek dan bakteri E. Coli pun mati. Dari hasil penelitian yang saya lakukan dibagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Univesitas Wijaya Kusuma Surabaya diperoleh hasil, gelombang ultrasonik dihasilkan oleh fungtion generator yang berdaya 0,42 watt, frekuensi optimum yang dapat membnunuh bakteri E. Coli 1,05 Hz ( Mansyur, 2010), Dosis paparan gelombang ultrasonic yang dapat membunuh bakteri E. Coli sebesar 100% adalah 6,286 x 10 -3 Kwh/liter dalam waktu 15,70 menit. Dengan koefisien korelasi sebesar 0,9946. Kata Kunci : Dosis paparan, persen kematian, mikroorganisme, metode alternative

THE EFFECT OF EXPOSURE DOSE ULTRASONIK WAVE ON DEATH E. COLI BACTERIA Mas Mansyur Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
ABSTRACT Ultrasonik wave is acoustic wave that have frecuency more than 20.000 Hz. On its transmission energy and momentum. This wave also experience attenuation, reflection, scattering, ans absorption so that decreases its intensity. Beside this characteristic also have special characteristic that make heat, ultrasonic steady force, cavity, and bigger stress mechanic. Bacteria is singgel cell orgamism that formed by nucleus substance, cytoplasm and cell wall. In. If the E. Coli bacteria in the ultrasonic field, the bacteria will experience bigger stress mechanic and its wall obtain the big stretching and if more than elasticity its wall, will broken and the E. Coli bacteria is die. From the result of that research which I do in a part of Microbiology Faculty of Medicine Wijaya Kusuma University Surabaya are, The ultrasonic wave produced by fungtion generator with power is 0.42 watt. Optional frecuency that can kill E. Coli bacteria is 1.05 MHz, ( Mansyur, 2010), Exposure dose ultrasonic that can kill the bacteria in 100 % is 6,286 kwh / lliter in 15.70 minute with correlation coefficient 0.9946. Key Word : Exposure dose, percent of death, microorgamism, alternative methods

PENDAHULUAN Menurut Suriawiria, U (2003) Setiap hari, secara normal, manusia menghasilkan antara 100-150 gram berat kering feses atau tinja. Ternyata dari sekian jumlah tersebut akan didapatkan antara 2,5 x 100.000.000.000 sampai 3,6 x 100.000.00.000 sel bakteri yang termasuk bakteri koliform. Bakteri ini merupakan penghuni tubuh manusia bagian dalam dan hewan berdarah panas lainnya yang cukup unik. Artinya, walaupun kehadirannya di dalam usus atau lambung manusia itu normal, tetapi dalam batas-batas keadaan dan lingkungan tertentu ternyata dapat mendatangkan penyakit atau minimal

gangguan terhadap pemiliknya. Kecepatan tumbuh bakteri ini cukup meyakinkan, kalau persyaratan lingkungan memadai. Jika pukul 07.00 kita memiliki 1 batang bakteri ini kemudian ditumbuhkan ke dalam media yang tepat baginya, pada pukul 17.00 sore jumlah tersebut akan menjadi 1.048.576 sel. Jadi hanya di dalam kurun waktu 10 jam jumlahnya akan berlipat ganda sangat cepat dan sangat tinggi. Hal ini disebabkan bakteri dapat memperbanyak diri secara pembelahan sel, yaitu dari 1 menjadi 2, 2 menjadi 4, 4 menjadi 8, 8 menjadi 16, 16 menjadi 32, dan seterusnya di dalam kurun waktu yang relatif singkat ( Tortora,

92

Gerorrd. J, 2007). Berdasarkan rangkaian keterangan di atas, jadilah bakteri koliform sebagai nilai penentu kualitas suatu bahan atau benda terhadap ada tidaknya pencemaran fekal. Penentuan kualitas suatu bahan, khususnya air minum, bahan makanan, obat-obatan, tidak saja dilakukan secara fisik dan kimia, tetapi juga secara biologis atau secara bakteriologis (Saruji, Didik, 2006). Bila gelombang ultrasonik merambat di dalam air, saat terjadi kompresi jarak molekul molekul air menjadi lebih pendek dari keadaan normal, pada saat terjadi ekspansi jarak molekul molekul air menjadi lebih besar, untuk di perlukan energi dan energi diambil dari gelombang ultrasonik yang merambat di dalam air. Selain itu, gelombang ultrasonik yeng intensif diberikan di dalam air dapat menimbulkan beberapa perubahan sifat fisik seperti perubahan suhu air, gaya ultrasonik stedy dan efek mematikan yang disebabkan oleh peristiwa kavitasi, dan radikal radikal itu bereaksi yang menghasilkan H2O2. Dengan demikian di dalam air akan terdapat banyak H2O2 yang berfungsi sebagai desinfektan (Ackerman, 1989). Keuntungan penggunaan gelombang ultrasonik untuk membunuh bakteri adalah ; 1. Ramah lingkungan 2. Dapat membunuh bakteri secara mekanik dan kavitasi yang ditimbulkan oleh gelombang ultarasonik ( Maskunah, 1988; Widodo, Asnar, 1990) 3. Bersifat desinfektan karena gelombang ultrasonik di dalam air dapat membentuk H2O2. ( Croknell, AP, 1980 ). Bakteri E. Coli digunakan sebagai obyek penelitian karena : 1. Digunakan sebagai indikator pencemaran air oleh kotoran manusia atau Hewan (Fardiaz, S, 1992). 2. Merupakan bakteri pathogen yang dapat menimbulkan penyakit pada Manusia (Pelezar,M, 1988).

3. Merupakan bakteri yang paling sering ditemukan jika terjadi pencemaran Air (Fardiaz,S, 1992) Perumusan Masalah Dari latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Berapa dosis paparan gelombang ultrasonik yang dapat membunuh bakteri E. Coli ? 2. Berapa koefisien korelasi pengaruh dosis paparan gelombang ultrasonik terhadap persen kematian bakteri E. Coli. Tujuan Penelitian a. Tujuan umum Mendayagunakan gelombang ultrasonik sebagai metode alternatif membuhuh bakteri E. Coli b. Tujuan khusus 1. Menemukan dosis paparan gelombang ultrasonik untuk membunuh bakteri E. Coli. 2. Menemukan koefisien korelasi antara dosis paparan gelombang ultrasonik dengan persen kematian bakteri E. Coli BAHAN DAN METODE Bahan dan alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bakteri E. Coli, Nutrient Agar Broth, aquadestilasi, EMB agar, alkohol 70 %, kantong plastik, kapas. Sedangkan alat yang digunakan adalah signal generator, osiloskop, transduser ultrasonic, incubator, laminar flow with U V lamp, autoclave, cawan petri, tabung reaksi, gelas beker, O S E, Quebec colony counter dan lup, pembakar bunsen. Variabel penelitian Melalui penelitian ini peneliti mendayagunakan gelombang ultrasonik sebagai metode alternatif untuk membunuh bakteri E. Coli. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah : -. Variabel bebas : dosis paparan gelombang ultrasonik. - Variabel terikat : persen kematian bakteri E. Coli a. Menemukan Waktu Paparan Gelombang Ultrasonik

93

Terhadap Persen Kematian Bakteri E. Coli. Untuk menemukan energi paparan gelombang ultrasonik terhadap persen kematian bakteri E. Coli, dilakukan percobaan dengan data sebagai berikut : - Frekuensi = 1,05 MHz

Daya = 0,42 watt - Volume = 20 ml - Waktu = 1 menit, 2 menit, 3 menit, 4 menit, 5 menit Hasil pengamatan dari percobaan tersebut ditunjukkan pada tabel 1
.

Tabel 1. Hasil pengamatan waktu paparan gelombang ultrasonik terhadap persen. kematian bakteri E. Coli.

No 1 2 3 4 5

Waktu (menit) 1 2 3 4 5

Jumlah E. Coli Kontrol I 100 93 105 110 132 II 98 169 111 123 110 III 103 110 96 97 103

Jumlah E. Coli Terpapar I 66 100 41 53 51 II 65 75 89 67 49 III 79 68 59 63 74

X1
101 124 104 110 115

X2
70 81 63 61 58

% Kematian 30,69 34,68 39,42 44,55 49,57

Untuk memberi gambaran yang lebih jelas hubungan energi paparan gelombang ultrasonik dengan persen kematian bakteri E. Coli, data dari tabel 1. akan disajikan pada Tabel 2 Energi paparan gelombang
. Tabel 2. Hasil pengamatan persen kematian bakteri E. Coli. waktu dan

ultrasonik didefinisikan dengan E = p . t dan p = daya paparan gelombang ultrasonik, bersatuan watt dan t = waktu paparan gelombang ultrasonik, bersatuan detik.

energi

paparan

gelombang

ultrasonik

No 1 2 3 4 5

Waktu (menit) 1 2 3 4 5

Energi (joule) 25,2 50,4 75,6 100,8 126,0

Persen kematian (%) 30,69 34,68 39,42 44,55 49,55 yang digambar dan dihitung dengan menggunakan program Excell, yang tampak pada gambar di bawah ini.

Analisis Data Untuk memperjelas hubungan antara kedua variabel di atas (waktu dan persen kematian) dinyatakan dalam bentuk grafik

94

GRAFIK HUBUNGAN ANTARA WAKTU PAPARAN GELOMBANG ULTRASONIK DENGAN PERSEN KEMATIAN BAKTERI E. COLI PERSEN KEMATIAN (%) 60 40 20 0 0 1 2 3 WAKTU (menit) Gambar 1. Grafik hubungan antara waktu paparan gelombang ultrasonik dengan persen kematian bakteri E. Coli 4 5 6

Dengan metode regresi linier, dari Gambar 1. dapat ditentukan Persamaan garis hubungan antara waktu ( t ) dengan persen kematian (K), yaitu : K = 4,764t + 25,493 - Koefisien korelasi r = 0,9989 - Koefisien determinasi R2 = 0,5133 Hasil tersebut menunjukkan adanya hubungan linier yang meyakinkan antara kedua variabel tersebut, meskipun sebenarnya bervariasi. Dari persamaan di atas terlihat bahwa semakin besar waktu paparannya semakin besar pula persen kematian bakteri E. Coli. Dari persamaan regresina, dapat ditentukan secara teoritis bahwa kematian sebesar 100% terjadi pada waktu paparan 15,70 menit + atau 15 menit 42 detik. Jika energi sama dengan daya dikalikan waktu paparan, maka waktu paparan sebesar 15 menit 42 detik setara dengan energi sebesar 395,64 joule (daya gelombang ultrasonik 0,42 watt). Secara teoritis, energi yang dapat membunuh bakteri E. Coli 100% akan digunakan untuk percobaan selanjutnya, yaitu

menentukan hubungan antara dosis paparan gelombang ultrasonik dengan persen kematian bakteri E. Coli. Energi gelombang ultrasonik dibuat konstan (395,64 joule) sedangka volume suspensi bakteri E. Coli divariasi yaitu 20ml, 30 ml, 40 ml, 50 ml dan 60 ml. b. Menemukan Dosis Paparan Gelombang Ultrasonik Dengan Persen Kematian Bakteri E. Coli Untuk menemukan hubungan antara dosis (energi persatuan volume) paparan gelombang ultrasonik, dilakukan percobaan dengan data sebagai berikut : - Frekuensi = 1,05 MHz - Daya = 0,42 Watt - Waktu = 15,70 menit - Volume = 20 ml, 30 ml, 40 ml, 50 ml dan 60 ml Hasil pengamatan percobaan ini ditunjukkan pada tabel 3. di bawah ini.

95

Tabel 3. Hasil pengamatan variasi volume suspensi bakteri E. gelombang ultrasonik dengan persen kematian bakteri E. Coli.

Coli

yang dipapari

No 1 2 3 4 5

Volume (ml) 20 30 40 50 60

Jumlah E. Coli Kontrol I 113 111 103 99 57 II 93 97 139 104 61 III 104 98 112 91 92

Jumlah E. Coli Perlakuan I 19 61 67 71 21 II 23 51 64 68 97 III 21 32 79 59 32

X1
110 102 118 98 70

X2
21 32 79 59 32

% Kematian 80,91 52,94 40,68 32,65 28,57

Untuk memberikan gambaran yang jelas hubungan antara dosis paparan gelombang ultrasonik Tabel 4. Hasil pengamatan dosis persen kematian bakteri E. Coli. No Dosis (D) (joule / ml) 1 19,782 2 13,188 3 9,891 4 7,913 5 6,594 paparan

dengan persen kematian bakteri E. Coli data dari tabel 3 akan disajikan pada tabel 4. gelombang ultrasonik terhadap .

Persen kematian (%) 80,91 52,94 40,68 32,65 28,57

Analisis Data
Untuk memperjelas hubungan antara kedua variabel diatas dinyatakan dalam bentuk Gambar 2
GRAFIK HUBUNGAN ANTARA DOSIS PAPRAN GELOMBANG ULTRSONIK DENGAN PERSEN KEMATIAN BAKTERI E. COLI PERSEN KEMATIAN (%) 100 80 60 40 20 0 6.595 7.913 9.891 DOSIS (Juole/ml) 13.188 19.782

Gambar 2.Grafik hubungan antara dosis paparan gelombang ultrasonik dengan persen kematian bakteri E. Coli. Berdasarkan Gambar 2. persamaan garisnya adalah K = aD2 + b dengan K adalah persen kematian dan D adalah dosis paparan gelombang ultrasonik. Untuk mencari koefisien korelasi r, koefisien determinasi R2 grafik di atas perlu diubah dalam bentuk regresi linier yang menghubungkan antara persen kematian (K) dengan dosis paparan gelombang ultrasonik kuadrat (D2).

96

Tabel 5. Hubungan antara persen kematian bakteri E. Coli (K) dengan dosis paparan gelombang ultrasonik kuadrat (D2) No D2 K 2 2 (joule / ml ) (%) 1 391,328 80,91 2 173,923 52,94 3 97,832 43,68 4 62,616 32,65 5 43,481 28,57 Untuk memperjelas hubungan antara kedua variabel diatas dinyatakan dalam bentuk Gambar 3 yang digambar dan dihitung dengan program Excell.
GRAFIK HUBUNGAN ANTARA KUADRAT DOSIS DENGAN PERSEN KEMATIAN BAKTERI E. COLI PERSEN KEMATIAN (%) 100 50 0 0 100 200 300 400 500 KUADRAT DOSIS (juole2/ml2

Gambar 3. Grafik hubungan antara kuadrat dosis paparan gelombang ultrasonik dengan persen kematian bakteri E. Coli. Dari data dan grafik diatas dapat ditentukan : - Koefisien korelasi r = 0,9946 - Koefisien determinasi R2 = 0,5358 - Persamaan linier antara K dan D2 K = 0,1475 D2 + 24,4509 Dosis yang menyebabkan kematian bakteri E. Coli sebesar 100% (K=100) dapat ditentukan dengan persamaan garis diatas. Dari perhitungan diperoleh bahwa kematian bakteri sebesar 100% diperlukan dosis paparan gelombang ultrasonik sebesar 22,628 joule/ml atau 6,286 x 10-3 kwh / liter. Koefisien korelasi r = 0,9946 menunjukkan bahwa dosis paparan gelombang ultrasonik mempunyai hubungan yang bermakna terhadap persen kematian bakteri E. Coli. Koefisien determinasi R2 = 0,5358. Hal ini menunjukkan sebaran titik sampelnya sangat bervariasi. Hal ini dapat diatasi dengan menambah jumlah sampel percobaan. PEMBAHASAN Dari hasil pengamatan persen, kematian bakteri E. Coli terhadap waktu paparan gelombang ultrasonik terlihat bahwa semakin lama waktu paparannya persen kematian bakteri E. Coli semakin besar. Dari persamaan regresinya terlihat bahwa kematian bakteri sebanyak 100% terjadi saat suspensi bakteri E. Coli terpapar gelombang ultrasonik selama 15 menit 42 detik. Jika daya yang dihasilkan oleh fungtion generator sebesar 0,42 watt, maka energi paparan gelombang ultrasonik yang menghasilkan kematian sebesar 100% adalah 395,64 joule. Energi paparan gelombang ultrasonik sebesar ini dapat diperoleh dengan jalan : daya gelombang ultrasonik kecil dan waktu paparan lama atau

97

daya gelombang ultrasonik besar dan waktu paparannya pendek. Kedua macam percobaan harus dilakukan untuk mengetahui efektivitas paparan gelombang ultrasonik. Untuk memperoleh daya gelombang ultrasonik yang lebih besar perlu didesain alat penguat daya gelombang ultrasonik. Alat ini berfungsi sebagai penguat getaran listrik yang berasal dari fungtion generator serta meningkatkan daya listrik sehingga diperoleh getaran dengan daya tinggi. Dalam mendesain peralatan tersebut peneliti mengalami kesulitan diantaranya adalah : - Karakteristik transduser ultrasonik tidak diketahui dengan baik. - Tingginya frekuensi yang digunakan untuk membunuh bakteri E. Coli, yang mengakibatkan transistor dan transduser ultrasonik menjadi panas. - Transistor yang ada dipasaran pada umumnya berada pada daerah audio. Dari tabel 5. dan gambar 3 serta analisis data dengan frekuensi dan energi tetap diperoleh dosis paparan gelombang ultrasonik yang dapat membunuh bakteri E. Coli sebesar 100% adalah 22,628 joule/ml atau 6,286 x 10-3 Kwh/liter. Hasil ini kurang sempurna mengingat bahwa energi paparan gelombang ultrasonik tergantung pada daya dan waktu. Seharusnya sebelum mencari dosis paparan gelombang ultrasonik, dilakukan percobaan untuk menentukan hubungan antara daya dengan persen kematian bakteri E. Coli. Dari percobaan tersebut dapat ditentukan daya gelombang ultrasonik yang dapat membunuh bakteri E. Coli sebesar 100%. Sedangkan waktu yang diperlukan untuk membunuh bakteri E. Coli sebesar 100%

telah berhasil ditemukan. Dengan memanfaatkan daya dan waktu paparan gelombang ultrasonik yang dapat membunuh bakteri E. Coli sebesar 100% pada percobaan terdahulu, digunakan untuk menentukan dosis paparan gelombang ultrasonik. Tingginya nilai dosis paparan gelombang ultrasonik terkait dengan keterbatasan respon transduser ultrasonik yang digunakan. Bila frekuensi respon transduser semakin tinggi, maka selain berkaitan dengan nilai frekuensi alamiah bakteri E. Coli, juga meningkatkan impedansi transduser. Hal ini berhubungan dengan efisiensi energi transduser. Jadi keterbatasan respon transduser merupakan kendala utama dari pemanfaatan gelombang ultrasonik untuk membunuh bakteri E. Coli. Terlepas dari kendala yang dihadapi didalam percobaan yang saya lakukan, upaya pendayagunaan gelombang ultrasonik sebagai metode alternatif untuk menurunkan jumlah bakteri E. Coli pada proses pengolahan air bersih memiliki prospek yang baik. hasil penelitian ini membuka peluang bagi peneliti lain untuk melakukan penelitian serupa dengan metode dan respon transduser yang juga lebi baik. Hal ini digunakan untuk mendapatkan metode pengendalian. Jumlah bakteri E. Coli pada proses pengolahan air bersih sekaligus berfungsi mengurangi atau menghilangkan dampak negatif akibat keberadaan bakteri E. Coli di dalam air bersih. Keuntungan penggunaan gelombang ini adalah merupakan gelombang mekanik dengan frekuensi di atas frekuensi ambang dengar manusia adalah tidak terjadinya efek kebisingan yang mengganggu. Di samping itu paparan gelombang ultrasonik

98

di dalam air memiliki efektivitas yang lebih baik karena cepat rambat gelombang ultrasonik didalam air lebih tinggi dibandingkan di udara. Hal ini ditunjang pula oleh derajat kebebasan bergerak bakteri E. Coli di dalam air yang terbatas. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari hasil penelitian yang bertujuan untuk menentukan frekuensi optimal dan dosis paparan gelombang ultrasonik untuk jumlah bakteri E. Coli, yang dilakukan di bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Untuk mencapai persen kematian bakteri E. Coli maksimum dibutuhkan paparan gelombang ultrasonik dengan dosis (energi persatuan volume) sebesar 6,286 x 10-3 Kwh/liter. 2. Terdapat hubungan yang signifikan antara variabelvariabel yang diteliti. Hal ini ditandai dengan nilai koefisien korelasi yang mendekati 1, yaitu : a. Terdapat hubungan yang signifikan antara waktu paparan gelombang ultrasonik dengan persen kematian bakteri E. Coli, dengan r = 0,9989 b. Terdapat hubungan yang signifikan antara dosis (energi persatuan volume) paparan gelombang ultrasonik dengan persen kematian bakteri E. Coli, dengan r = 0,9946. Saran Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa upaya untuk mendayagunakan gelombang

ultrasonik sebagai metode desinfeksi terhadap mikroorganisme khususnya bakteri E. Coli memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan sebagai metode alternatif. Selain relatif tidak beresiko menimbulkan pencemaran lingkungan, metode ini mempunyai efektivitas yang cukup baik. Di bawah ini adalah Kendala utama penerapan metode ini dan saran untuk memperbaikinya : 1. Terbatasnya respon frekuensi transduser, sehingga perlu diupayakan untuk mendapatkan jenis transduser dengan spesifikasi yang diinginkan agar upaya optimasi dosis paparan gelombang ultrasonik memiliki hasil yang lebih baik, ditinjau dari aspek fisis maupun ekonomis. Dengan respon frekuensi yang lebih baik, diharapkan faktor energi persatuan volume yang dibutuhkan untuk desinfeksi E. Coli akan memiliki nilai yang lebih kecil, sehingga tercipta efisiensi energi yang diinginkan. 2. Besar sampel pada percobaan yang ditujukan untuk menemukan waktu dan dosis paparan gelombang ultrasonik terhadap persen kematian bakteri E. Coli perlu ditambah, untuk mendapatkan sebaran titik sampel yang lebih baik. DAFTAR PUSTAKA Ackerman, Eugene, 1985. Biophysical Science, Prinsice Hal Inc, Engelwwood Cliffa, New Jersey. Brooks, Geo F, et al, 2001, Medical Microbiology Twenty Second Edition, McGraw-Hill Inc. Amsyari, Fuad, 2007. Penyakit yang ditularkan melalui air, Seminar Air Sehat, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya. Cameron, Skfronik, 1988. Medical Physics, A. Wileg Inter Sciences, New York. Croknell, AP, 1980. Ultrasonic, Wykeham Publication LTD, London.

99

Cromer, Alan, 1994. Physics For Life Sciences, Mc Graw Hill Inc. Publication, New York. Fardiaz, Srikandi, 1992. Polusi Air dan Udara, Penerbit Kanisius Yogyakarta. Gobermen, GI, 1988. Ultrasonic Theory and Applicaton, The English University Press, London. Hariaji, Imam, 1990. Pemanfaatan Gelombang Ultrasonik Untuk Mengusir Lalat Rumah, Skripsi, FMIPA Universitas Airlangga, Surabaya. Mansyur. Mas, dkk, 2007. Optimasi Frekuensi dan Dosis Paparan Gelombang Ultrasonik Untuk Membunuh Jentik Nyamuk, Seminar DP2M Dikti Depdiknas, Jakarta Maskunah, 1988. Pengaruh Gelomang Ultrasonik Terhadap Suspensi Bakteri, Kolokium, FMIPA Universitas Airlangga Surabaya. Nasir. Moh, 1988. Metode Penelitian, Penerbit Ghalia, Jakarta Pelezar, Michael. J, 1988. Dasar-Dasar Mikrobiologi, Diterjemahkan oleh ratna Sti H, Penerbit UI Press, Jakarta Prijo, T. Anggono, 1989. Studi Tentang Cepat Rambat Gelombang Ultrasonik dan Metode Pengukurannya, Kolokium, FMIPA Universitas Airlangga Surabaya. Saruji, Didik, 2006. Kesehatan Lingkungan, Media Ilmu, Sidoarjo. Spiegel, RM, 1996. Statistika, Penerbit, Erlangga, Jakarta. Suriawiria, Unus, 2005. Air Dalam Kehidupan dan Lingkungan Yang Sehat, Penerbit PT. Alumni, Bandung. Suriawiria, Unus, 2003. Mikrobiologi Air, Penerbit PT. Alumni, Bandung. Tortora, Gerorrd. J, 2007. Microbiology, Pearson Education Inc, San Francisco.

Wiantari, Sugiani, 1993. Pemanfaatan Gelombang Ultrasonik Untuk Membunuh Larva Aedes Aegypti, Skripsi, FMIPA Universitas Airlangga, Surabaya. Widodo, Asnar, 1990. Pembersihan Kotoran Pada Benda Dengan Menggunakan Gelombang Ultrasonik, Kolokium, FMIPA Universitas Airlangga, Surabaya. Widodo, Asnar, 1990. Efisiensi Pencucian Gelombang Ultrasonik, Kolokium, FMIPA Universitas Airlangga, Surabaya.

100

Anda mungkin juga menyukai