Anda di halaman 1dari 19

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Mengapa kebijakan kesehatan itu sangat penting? Hal itu disebabkan antara lain sektor kesehatan merupakan bagian dari ekonomi. Jelasnya sektor kesehatan ibarat suatu sponge yang mengabsorpsi banyak anggaran belanja negara untuk membayar sumber daya kesehatan. Ada yang mengatakan bahwa kebijakan kesehatan merupakan driver dari ekonomi, itu disebabkan karena adanya inovasi dan investasi dalam bidang teknologi kesehatan, baik itu bio-medical maupun produksi, termasuk usaha dagang yang ada pada bidang farmasi. Namun yang lebih penting lagi adalah keputusan kebijakan kesehatan melibatkan persoalan hidup dan mati manusia (Buse, Mays & Walt, 2005). Kebijakan kesehatan itu adalah tujuan dan sasaran, sebagai instrumen, proses dan gaya dari suatu keputusan oleh pengambil keputusan, termasuk implementasi serta penilaian (Lee, Buse & Fustukian, 2002). Kebijakan kesehatan adalah bagian dari institusi, kekuatan dari aspek politik yang memengaruhi masyarakat pada tingkat lokal, nasional dan dunia (Leppo, 1997). Seperempat abad yang lalu wacana praktik medis berbasis bukti telah digulirkan, walaupun dengan pelbagai nama seperti epidemiologi klinik, critical appraisal, atau kajian sistematik. Para dokter dituntut untuk memberikan

pelayanan klinis berdasarkan bukti (evidence), yakni mengambil keputusan dalam pelayanan terhadap pasien atas dasar bukti yang terbaik, melalui

pertimbangan masak, eksplisit dan cermat. Dalam jaminan kesehatan dengan

sistem managed care, bukti bahwa cara diagnosis maupun pengobatan lebih memberikan manfaat dibandingkan mudarat menentukan apakah tindakan medis tersebut ditanggung atau tidak oleh pihak asuransi. Bukti klinis yang baik diperoleh dari penelitian klinis yang ketat, dilandasi kaidah-kaidah penelitian ilmiah. Rentang kekuatan bukti ilmiah tersebut berkisar dari pendapat ahli (expert judgment) sebagai bukti yang dianggap paling lemah, sampai hasil uji klinik dengan randomisasi (randomized controlled trial) sebagai bukti paling kuat, khususnya setelah dilakukan kajian sistematik atas beberapa uji klinik yang dilakukan. Pelbagai instrumen telah digunakan untuk menilai kajian efektivitas intervensi terapi atau pencegahan, hubungan sebab-akibat, perumusan pedoman klinik, dan program promosi kesehatan.Dengan demikian bukti-bukti klinis terutama bersumber pada populasi pasien atau fenomena penyakit secara agregat. Bukti semacam ini tidak asing bagi praktisi kesehatan masyarakat yang melakukan intervensi kesehatan di masyarakat atas dasar bukti pada tingkat populasi, yang dikenal sebagai metode dan substansi epidemiologi. Sejarah menceritakan bagaimana James Lind menggunakan perasan jeruk nipis untuk mencegah penyakit scurvy atas dasar penelitian pada populasi pelaut yang berminggu-minggu berlayar di tengah laut. Ignaz Semmelweis mencegah infeksi pada ibu-ibu setelah melahirkan (puerperal fever) dengan mengharuskan mahasiswa kedokteran untuk mencuci tangan sebelum menolong persalinan. Singkat kata, bukti ilmiah tidak cukup hanya didasarkan pada intuisi,

pengalaman, dan logika patofisiologi yang menjelaskan sebab-akibat penyakit. John Snow melakukan serangkaian kajian di masyarakat untuk menunjukkan

bahwa penyakit cholera yang menelan banyak korban di London ditularkan melalui air yang tercemar. 1.2. Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka disusun suatu perumusan masalah tentang bagaimana kebijakan berbasis bukti dan manajemen. 1.3. Tujuan Makalah ini bertujuan untuk mengetahui tentang kebijakan berbasis bukti dan manajemen. 1.4. Manfaat Makalah ini diharapkan dapat memberi informasi, aasan dan menambah referensi bagi pemakalah dan pembaca.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Kebijakan Kebijakan kesehatan didefinisikan sebagai suatu cara atas tindakan yang berpengaruh terhadap perangkat institusi, organisasi, pelayanan kesehatan dan pengaturan keuangan dari sistem kesehatan (Walt, 1994). Kebijakan kesehatan merupakan bagian dari sistem kesehatan (Bornemisza & Sondorp, 2002). Komponen sistem kesehatan meliputi sumber daya, struktur organisasi, manajemen, penunjang lain dan pelayanan kesehatan (Cassels, 1995). Kebijakan kesehatan bertujuan untuk mendisain program-program di tingkat pusat dan lokal, agar dapat dilakukan perubahan terhadap determinan-determinan kesehatan (Davies 2001; Milio 2001), termasuk kebijakan kesehatan internasional (Hunter2005; Labonte, 1998; Mohindra 2007). Kebijakan kesehatan adalah suatu hal yang peduli terhadap pengguna pelayanan kesehatan termasuk manajer dan pekerja kesehatan. Kebijakan kesehatan dapat dilihat sebagai suatu jaringan keputusan yang saling berhubungan, yang pada prakteknya peduli kepada pelayanan kesehatan masyarakat (Green &Thorogood, 1998). Kebijakan-kebijakan kesehatan dibuat oleh pemerintah dan swasta. Kebijakan merupakan produk pemerintah, walaupun pelayanan kesehatan cenderung dilakukan secara swasta, dikontrakkan atau melalui suatu kemitraan, kebijakannya disiapkan oleh pemerintah di mana keputusannya

mempertimbangkan juga aspek politik (Buse, May & Walt, 2005). Jelasnya

kebijakan kesehatan adalah kebijakan publik yang merupakan tanggung jawab pemerintah dan swasta. Sedangkan tugas untuk menformulasi dan implementasi kebijakan kesehatan dalam satu negara merupakan tanggung jawab Departemen Kesehatan (WHO, 2000). Pengembangan kebijakan biasanya top-down di mana Departemen Kesehatan memiliki kewenangan dalam penyiapan kebijakan. Implementasi dan strateginya adalah bottom-up. Kebijakan seharusnya

dikembangkan dengan partisipasi oleh mereka yang terlibat dalam kebijakan itu. Hal ini untuk memastikan bahwa kebijakan tersebut realistik dan dapat mencapai sasaran. Untuk itu perlu komitmen dari para pemegang dan pelaksana kebijakan. Kebijakan kesehatan harus berdasarkan pembuktian yang menggunakan pendekatan problem solving secara linear. Penelitian kesehatan adalah suatu kegiatan untuk mendapatkan bukti yang akurat. Setelah dilakukan penelitian kesakitan dan penyakit dari masyarakat, termasuk kebutuhan akan kesehatan, sistem kesehatan, tantangannya selanjutnya adalah mengetahui persis penyebab dari kesakitan dan penyakit itu. Walaupun disadari betapa kompleksnya yang berbasis bukti untuk dijadikan dasar dari kebijakan.

2.2. Proses Penyusunan Kebijakan Proses mengacu kepada cara bagaimana kebijakan dimulai, dikembangkan atau disusun, dinegosiasi, dikomunikasikan, dilaksanakan dan dievaluasi. Pendekatan yang paling sering digunakan untuk memahami proses kebijakan adalah dengan menggunakan apa yang disebut tahapan heuristiks (Sabatier dan JenkinsSmith 1993). Yang dimaksud disini adalah membagi proses kebijakan menjadi serangkaian tahapan sebagai alat teoritis, suatu model dan tidak selalu

menunjukkan apa yang sebenarnya terjadi didunia nyata. Namun, serangkaian tahapan ini membantu untuk memahami penyusunan kebijakan dalam tahapantahapan yang berbeda: Identifikasi masalah dan isu: menemukan bagaimana isu isu yang ada dapat masuk kedalam agenda kebijakan, mengapa isu isu yang lain justru tidak pernah dibicarakan. Perumusan kebijakan: menemukan siapa saja yang terlibat dalam perumusan kebijakan, bagaimana kebijakan dihasilkan, disetujui, dan dikomunikasikan. Pelaksanaan Kebijakan: tahap ini yang paling sering diacuhkan dan sering dianggap sebagai bagian yang terpisah dari kedua tahap yang pertama. Namun, tahap ini yang diperdebatkan sebagai tahap yang paling penting dalam penyusunan kebijakan sebab bila kebijakan tidak dilaksanakan, atau dirubah selama dalam pelaksanaan, sesuatu yang salah mungkin terjadidan hasil kebijakan tidak seperti yang diharapkan.. Evaluasi kebijakan: temukan apa yang terjadi pada saat kebijakan dilaksanakan bagaimana pengawasannya, apakah tujuannya tercapai dan apakah terjadi akibat yang tidak diharapkan. Tahapan ini merupakan saat dimana kebijakan dapat diubah atau dibatalkan serta kebijakan yang baru ditetapkan

2.3. Faktor Kontekstual yang Mempengaruhi Kebijakan Konteks mengacu ke faktor sistematis politk, ekonomi dan social, national dan internasional yang mungkin memiliki pengaruh pada kebijakan

kesehatan. Ada banyak cara untuk mengelompokkan faktofaktor tersebut, tetapi Leichter (1979) memaparkan cara yang cukup bermanfaat: a. Faktor situasional, Merupakan kondisi yang tidak permanen atau khusus yang

dapatberdampak pada kebijakan (contoh: perang, kekeringan). Halhal tersebut sering dikenal sebagai focusing event (lihat Bab 4). Event ini bersifat satu kejadian saja, seperti: terjadinya gempa yang menyebabkan perubahan dalam aturan bangunan rumah sakit, atau terlalu lama perhatian publik akan suatu masalah baru. Contoh: terjadinya wabah HIV/AIDS (yang menyita waktu lama untuk diakui sebagai wabah internasional) memicu ditemukannya pengobatan baru dan kebijakan pengawasan pada TBC karena adanya kaitan diantara kedua penyakit tersebut orangorang pengidap HIV positif lebih rentan terhadap berbagai penyakit, dan TBC dapat dipicu oleh HIV. b. Faktor struktural Merupakan bagian dari masyarakat yang relatif tidak berubah. Faktor ini meliputi sistem politik, mencakup pula keterbukaan sistem tersebut dan kesempatan bagi warga masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembahasan dan keputusan kebijakan; faktor struktural meliputi pula jenis ekonomi dan dasar untuk tenaga kerja. Contoh, pada saat gaji perawat rendah, atau terlalu sedikit pekerjaan yang tersedia untuk tenaga yang sudah terlatih, negara tersebut dapat mengalami perpindahan tenaga professional ini ke sektor di masyarakat yang masih kekurangan. Faktor struktural lain yang akan mempengaruhi kebijakan kesehatan suatu masyarakat adalah kondisi demografi atau kemajuan teknologi. Contoh,

negara dengan populasi lansia yang tinggi memiliki lebih banyak rumah sakit dan obatobatan bagi para lansianya, karena kebutuhan mereka akan meningkat seiring bertambahnya usia. Perubahan teknologi menambah jumlah wanita melahirkan dengan sesar dibanyak negara. Diantara alasanalasan tersebut terdapat peningkatan ketergantungan profesi kepada teknologi maju yang menyebabkan keengganan para dokter dan bidan untuk mengambil resiko dan ketakutan akan adanya tuntutan. Dan tentu saja, nasional suatu negara akan berpengaruh kuat tehadap jenis layanan kesehatan yang dapat diupayakan. c. Faktor budaya Dapat mempengaruhi kebijakan kesehatan. DalamZmasyarakat dimana hierarki menduduki tempat penting, akan sangat sulit untuk bertanya atau menantang pejabat tinggi atau pejabat senior. Kedudukan sebagai minoritas atau perbedaan bahasa dapat menyebabkan kelompok tertentu memiliki informasi yang tidak memadai tentang hakhak mereka, atau menerima layanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan khusus mereka. Di beberapa negara dimana para wanita tidak dapat dengan mudah mengunjungi fasilitas kesehatan (karena harus ditemani oleh suami) atau dimana terdapat stigma tentang suatu penyakit (missal: TBC atau HIV), pihak yang berwenang harus mengembangkan sistem kunjungan rumah atau kunjungan pintu ke pintu. Faktor agama dapat pula sangat mempengaruhi kebijakan, seperti yang ditunjukkan oleh ketidakkonsistennya President George W. Bush pada awal tahun 2000an dalam hal aturan sexual dengan meningkatnya pemakaian kontrasepsi atau akses ke pengguguran kandungan. Hal tersebut mempengaruhi kebijakan di Amerika dan negara lain, dimana LSM layanan kesehatan reproduksi

sangat dibatasi atau dana dari pemerintah Amerika dikurangi apabila mereka gagal melaksanakan keyakinan tradisi budaya President Bush. d. Faktor internasional atau exogenous menyebabkan meningkatnya ketergantungan antar negara dan

mempengaruhi kemandirian dan kerjasama internasional dalam kesehatan Meskipun banyak masalah kesehatan berhubungan dengan pemerintahan nasional, sebagian dari masalah itu memerlukan kerjasama organisasi tingkat nasional, regional atau multilateral. Contoh, pemberantasan polio telah dilaksanakan hampir di seluruh dunia melalui gerakan nasional atau regional, kadang dengan bantuan badan internasional seperti WHO. Namun, meskipun satu daerah telah berhasil mengimunisasi polio seluruh balitanya dan tetap mempertahankan cakupannya, virus polio tetap bisa masuk ke daerah tersebut dibawa oleh orangorang yang tidak diimunisasi yang masuk lewat perbatasan. Seluruh faktor tersebut merupakan faktor yang kompleks, dan tergantung pada waktu dan tempat. Contoh menarik bagaimana konteks mempengaruhi kebijakan dipaparkan oleh Shiffman dan rekannya (2002). Mereka

membandingkan hak reproduksi di Serbia dan Croatia, dimana, setelah pemerintahan federal Yugoslavia terpecah, pemerintah menganjurkan para wanitanya untuk memiliki lebih banyak anak. Penulis berpendapat bahwa kebijakan yang mendukung kelahiran disebabkan oleh keyakinan para elit dikedua negara bahwa ketahanan nasional sedang diujung tanduk. Keyakinan para elit ini disebabkan oleh beberapa faktor: salah satunya adalah pergeseran dari filosofi sosialis mengenai emansipasi wanita ke ideologi yang lebih nasionalis.

Faktor yang lain adalah perbandingan yang dibuat oleh kalangan elit antara tingkat kesuburan yang rendah diantarasuku Serb di Serbia suku Croats di Croatia, dengan tingkat kesuburan yang lebih tinggi di kelompok suku lain yang terdapat di dua negara. Untuk memahami bagaimana kebijakan kesehatan berubah, atau tidak, mempunyai arti kemampuan untuk mengkaji kontek dimana kebijakan tersebut dibuat, dan mencoba menilai sejauh mana jenisjenis faktor tersebut dapat mempengaruhi kebijakan yang dihasilkan. Pikirkan tentang kebijakan HIV/AIDS yang dilaksanakan di negara pembaca masingmasing. Sebutkan faktorfaktor kontekstual yang mungkin mempengaruhi cara bagaimana kebijakan itu dikembangkan. Ingat bahwa faktorfaktor kontekstual telah dibedakan menjadi empat faktor yang berbeda. Jelas bahwa masingmasing konteks memiliki sifat yang khusus, tetapi jenis faktor kontekstual yang mungkin akan pembaca identifikasi adalah: Situasional Perdana menteri atau presiden yang baru saja berkuasa dan memutuskan kebijakan AIDS sebagai prioritas Kematian seseorang yang terkenal karena AIDS Struktural Peran media atau LSM dalam mempublikasikan (atau tidak) wabah AIDS yang berkaitan dengan tingkatan dimana sistem politik terbuka atau tertutup Bukti meningkatnya angka kematian karena AIDS yang dipublikasikan mungkin hanya dipublikasikan diantara kelompok tertentu seperti tenaga kesehatan Budaya

10

Gerakan dari kelompok keagamaan baik yang positif maupun negative terhadap penderita HIV/AIDS atau perilaku seksual Internasional Peran donor internasional sumber dana ekstra yang diperoleh melalui insentif global seperti Global Fund untuk AIDS, TB dan Malaria

2.4. Bukti normatif dan operasional Banyak kritik dilontarkan pada pelayanan klinis berbasis bukti yang mengartikan bukti ilmiah secara sempit, bersifat kuantitatif dan mengacu pada kaidah-kaidah probabilitas. Oleh karenanya disepakati bahwa sekuat apapun bukti klinis yang ada, pengambilan keputusan dalam pelayanan kesehatan perlu mempertimbangkan konteks lokal dan Dalam kebijakan kesehatan kebutuhan atau preferensi lokal sering pasien. penuh

masyarakat,

konteks

ketidakpastian, kompleks dan sulit dipahami. Preferensi masyarakat diwarnai tarik- menarik kepentingan oleh pihak-pihak yang berbeda. Bukti ilmiah secara normatif tidak dibatasi oleh konteks. Suatu bukti mempunyai nilai yang rendah atau tinggi, sehingga bisa kurang atau sangat bermanfaat dalam melandasi pengambilan keputusan atau kebijakan. Sifat-sifat bukti (misalnya kesesuaian dengan kenyataan dan konsistensi) menentukan kualitasnya, sejauh mana bukti tersebut dapat diandalkan, terlepas dari konteks yang ada. Fokus pada kualitas bukti ini dilembagakan, misalnya dengan adanya institusi seperti Cochrane and Campbell Collaborations, yang telah mengembangkan kajian sistematik atas bukti-bukti ilmiah bermutu tinggi dalam

11

bidang kedokteran, kesehatan dan kebijakan sosial. Dalam kajian sistematik atas kebijakan kesehatan masyarakat, pelbagai metode digunakan untuk menilai banyak penelitian, menemukan konsistensi temuan-temuan penelitian dan memahami mengapa hasil penelitian bisa berbeda-beda dan bagaimana

intervensi kesehatan dapat efektif dalam konteks tertentu. Berkebalikan dengan orientasi normatif sebagaimana yang sering

diterapkan pada pelayanan klinis berbasis bukti, dalam kesehatan masyarakat bukti hanya dapat dipahami sebagai kesatuan dengan konteksnya. Paham yang praktis dan operasional ini lebih sesuai dengan teori pengambilan Pelbagai kebijakan

keputusan yang harus memperhitungkan banyak faktor.

kesehatan sering didasarkan pada perhitungan politik, kemungkinan keberhasilan, dan waktu yang tepat. Lalu, adakah bukti bahwa kebijakan kesehatan

masyarakat tertentu cenderung bisa diterima atau sebaiknya ditolak? Kajian sistematik untuk menemukan dan menilai bukti ilmiah suatu kebijakan kesehatan tidak bisa mengandalkan penelitian yang teori bersifat eksperimen biomedik dan murni

(randomized controlled trial), kerangka merupakan sintesis statistik.

semata-mata

Secara umum, kajian sistematik harus meminimalkan bias.6 Khusus untuk kebijakan kesehatan, Fielding dan Briss menganjurkan pemanfaatan analisis dampak kesehatan (projek, program dan kebijakan), kajian sistematik dan protofolio untuk menjamin kesesuaian kebijakan dengan masyarakat dan kelaikan dalam implementasi. Kajian sistematik atas bukti kebijakan kesehatan memang bukan segala-galanya untuk menilai apakah kebijakan tersebut sudah tepat, tetapi paling tidak bisa mengarahkan apakah perlu dilakukan penelitian lebih lanjut

12

untuk memperkuat bukti yang telah ada, dan bagaimana penelitian harus dilakukan untuk memaksimalkan kekuatan bukti yang mendukung suatu

kebijakan tertentu. 2.5. Penelusuran bukti untuk kebijakan kesehatan Serangkaian pertanyaan dapat mengarahkan proses penelusuran bukti atas kebijakan atau intervensi kesehatan masyarakat, sehingga mampu

mendukung kebijakan publik yang harus diimplementasikan di masyarakat (Tabel 1). Dalam kebijakan kesehatan, proses implementasi kebijakan atau intervensi kesehatan masyarakat juga dapat berpengaruh terhadap keberhasilan yang dicapai, sehingga hirarki bukti yang mendewakan uji klinik (randomized clinical trial) tidak cocok untuk diterapkan. Tipologi bukti yang relevan dengan isi maupun proses kebijakan

kesehatan tidak dinilai dengan pembobotan untuk menyusun hirarki, tetapi kesesuaian dengan perumusan dan penerapan kebijakan (Tabel 2). Kebijakan kesehatan atau intervensi kesehatan masyarakat menterjemahkan bukti-bukti

ilmiah mengenai prospek intervensi tersebut melalui serangkaian pemahaman, diseminasi dan keterlibatan pemangku kepentingan, adopsi, dan implementasi pada tingkat lokal. Tantangan dalam penggunaan bukti ilmiah untuk mendukung kebijakan kesehatan masyarakat adalah kajian sistematik memadukan buktibukti dari pelbagai dimensi kebijakan sesuai dengan persoalan nyata di

masyarakat yang bersangkutan. akan menjadi model penting kebijakan kesehatan masyarakat berbasis bukti dalam memecahkan masalah-masalah kesehatan masyarakat pada umumnya.

13

Tabel 1. Pertanyaan untuk menelusuri bukti yang melandasi penilaian atas intervensi kesehatan masyarakat faktor Efikasi Pertanyaan spesifik

Apakah intervensi dapat berhasil dalam kondisi ideal? Apakah dilandasi teori yang telah ada? Efektivitas Apakah intervensi dapat berhasil di lingkungan nyata dalam masyarakat? Adakah intervensi lain yang lebih sesuai dengan kondisi yang dihadapi? Manfaat dan kerugian Apakah konsekuensi intervensi? Lebih banyak manfaatnya? Biaya Apakah biaya terjangkau? Nilai dibanding biaya Apakah intervensi lebih bernilai dibandingkan alternatifalternatif lain, relatif dibandingkan biaya yang dibutuhkan? Manfaat inkremental Berapa besar biaya dan manfaat tambahan dibandingkan dengan apa yang telah dilakukan selama ini? Kelaikan Apakah sumberdaya yang diperlukan dapat diperoleh? Kesesuaian Apakah intervensi sesuai dengan prioritas masyarakat, budaya, nilai-nilai dan situasi politik? Keadilan Apakah ada pemerataan manfaat dan sumberdaya? Keberlanjutan Apakah intervensi dapat didukung dengan sistem dan sumberdaya dalam jangka panjang? Sumber: diadaptasi dari Anderson et al. Tabel 2. Tipologi bukti untuk menilai intervensi kesehatan masyarakat Jenis rancangan penelitian yang menjadi sumber bukti Faktor Efikasi Efektivitas Proses implementasi Manfaat dan kerugian Biaya Nilai dibanding biaya Manfaat inkremental Kelaikan Kesesuaian Keadilan Keberlanjutan Kualitatif Survey Cohort & case control + RCT Kuasi-eksperimen ++ ++

++ ++

+ ++ ++ + ++ ++ +

++ ++ +

+ +

++ ++

+ +

+ +

++ ++

+ +

14

Kajian sistematik atas bukti-bukti yang mendukung suatu intervensi kesehatan masyarakat masih membutuhkan pengembangan metodologis dengan aplikasi-aplikasi kebijakan publik yang luas. Sebagai contoh, upaya untuk

menghentikan kebiasaan merokok telah diteliti melalui pelbagai uji klinik dengan randomisasi, antara lain untuk menilai efek konseling, pemberian obat (bupropion) dan sulih nikotin (nicotine patch) terhadap keberhasilan individu berhenti merokok. Intervensi berhenti merokok yang dilakukan di masyarakat (dengan rancangan ramdomized community intervention trial) dapat

menurunkan prevalensi merokok di antara perokok ringan dan sedang, tetapi tidak berhasil mengubah prevalensi merokok di antara perokok berat. Kebijakan kesehatan dalam memerangi kebiasaan merokok jauh lebih luas dari sekedar modifikasi perilaku individual atau pendekatan farmakologis (intervensi medis). Pengenaan pajak rokok yang tinggi, pembatasan tempat untuk merokok, peraturan pemberian label di bungkus rokok dan pariwara sosial melalui media massa merupakan instrumen yang mungkin lebih efisien dalam memerangi rokok. Bagaimana bukti yang kompleks dan kait-mengait dapat digunakan untuk mendukung kebijakan anti- rokok secara terpadu, efektif, efisien, dan merata. 2.6. Evidence Based Management Manajemen berbasis bukti tampaknya telah membuat sedikit kemajuan dalam perawatan kesehatan dibndingkan sejenis klinis lainnya.sementara akademisi dan praktisi manajer telah menuls tentang hal itu dalam jangka sebagian besar positif pemerintah dalam pembuat kebijakan . meskipun ada beberapa manajemen mendorong pembangunan-seperti colaborations cochrane

15

praktek efektif dan organisasi kelompok perawatan, yang pemerintah pengiriman U.K pelayanan kesehatan dan program penelitian organisasi. yayasan penelitian pelayanan kesehatan canadan baru-baru ini didirikan dan inisiatif baru untuk mempromosikan berbasis bukti oleh asosiasi untuk program sarjana dalam administrasi kesehatan. masih jauh dari melihat manajer membuat penggunaan yang tepat dari bukti dalam pengambilan keputusan mereka.

Tabel 3 contoh kesenjangan praktek penelitian dalam manajemen kesehatan overuse Penggunaan merger organisasi sebagai respons terhadap masalah kualitas pelayanan, kapasitas atau kelayakan keuangan dalam organisasi perawatan kesehatan Pengukuran kepuasan pasien dengan menggunakan

konseptual buruk, instrumen yang dirancang buruk, yang menghasilkan data yang sering tidak digunakan Underuse Penggantian dokter dengan tenaga kesehatan lain dalam memberikan berbagai pelayanan kesehatan rutin terutama dalam peraatan primer dan kecelakaan dan pengaturan gaat darurat Konsentrasi beban kerja untuk prosedur partikular dan memiliki autocome pasien yang lebih baik misuse Penggunaan pengobatan berbasis masyarakat rumah sakit seperti dirumah dan sejenisnya sebagai alternatif untuk rawat inap dirumah sakit. Keterlibatan klinikan dala pengelolaan organisasi penyedia

16

layanan kesehatan dan penataan pengaturan manajemen klinis Adopsi dan pelaksanaan manajemen kualitas total atau kualitas inisiatif perbaikan

17

BAB III KESIMPULAN 1. Kebijakan kesehatan didefinisikan sebagai suatu cara atas tindakan yang berpengaruh terhadap perangkat institusi, organisasi, pelayanan kesehatan dan pengaturan keuangan dari sistem kesehatan (Walt, 1994). Kebijakan kesehatan merupakan bagian dari sistem kesehatan (Bornemisza & Sondorp, 2002). 2. Proses Penyusunan Kebijakan yaitu Identifikasi masalah dan isu, Perumusan kebijakan, Pelaksanaan Kebijakan, Evaluasi. 3. Faktor Kontekstual yang Mempengaruhi Kebijakan terdiri dari faktor situasional, faktor struktural faktor budaya dan faktor internasional 4. Bukti ilmiah secara normatif tidak dibatasi oleh konteks. Suatu bukti mempunyai nilai yang rendah atau tinggi, sehingga bisa kurang atau sangat bermanfaat dalam melandasi pengambilan keputusan atau kebijakan. 5. Serangkaian pertanyaan dapat mengarahkan proses penelusuran bukti atas kebijakan atau intervensi kesehatan masyarakat, sehingga mampu mendukung masyarakat 6. Manajemen berbasis bukti tampaknya telah membuat sedikit kemajuan dalam perawatan kesehatan dibndingkan sejenis klinis lainnya.sementara akademisi dan praktisi manajer telah menuls tentang hal itu dalam jangka sebagian besar positif pemerintah dalam pembuat kebijakan . kebijakan publik yang harus diimplementasikan di

18

DAFTAR PUSTAKA

1. Kusnanto, H.Kebijakan Kesehatan Masyarakat Berbasis Bukti.jurnal manajemen pelayanan kesehatan.2008.vol 11. 2008.hal 2-4

2. Massie,RGA.Kebijakan

Kesehatan: Proses,Implementasi,Analisis dan

Penelitian.buletin penilaian sistem kesehatan.vol 12.2009. hal 409-417

3. Walshe K, Rundall TG.Evidence-Based Management : From Theory to Practive in Health Care.The Milbank Quarterly.vol 79.2001.p 429-453

4. Buse K, Mays N, Walt G.Making Health Policy. London School of Hygiene & Tropical Medicine .2005.

5. Kebijakan

Berbasis

bukti.

www.smeru.or.id/report/training/menjembatanikebijakan/4.pdf. 0301/2014

19

Anda mungkin juga menyukai