Anda di halaman 1dari 83

TESIS

SIMULASI DINAMIKA MOLEKULER HIBRIDA MEKANIKA KUANTUM /MEKANIKA MOLEKULER ION Y2+ DALAM AMONIAK CAIR DAN AIR

A HYBRID QM/MM MD SIMULATION FOR Y2+ ION IN LIQUID AMMONIA AND WATER

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh derajat Master of Science Ilmu Kimia

SUKIR 09/286774/PPA/02776

PROGRAM STUDI S2 KIMIA JURUSAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2011

TESIS

SIMULASI DINAMIKA MOLEKULER HIBRIDA MEKANIKA KUANTUM /MEKANIKA MOLEKULER ION Y2+ DALAM AMONIAK CAIR DAN AIR

A HYBRID QM/MM MD SIMULATION FOR Y2+ ION IN LIQUID AMMONIA AND WATER

SUKIR 09/286774/PPA/02776

PROGRAM STUDI S2 KIMIA JURUSAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2011

HALAMAN PERSEMBAHAN

Tesis ini kupersembahkan untuk : Istri dan anak-anakku tercinta, yang dengan tulus telah memberikan dukungan, motivasi dan pengorbanannya demi suksesnya studi ini.

iii

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Yogyakarta, 16 Juni 2011

Sukir

iv

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis haturkan kehadirat Alloh Subhanahu wataala atas terselesaikannya Tesis ini. Tesis ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Master of Science pada Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Penelitian ini

sepenuhnya dilakukan di Pusat Kimia Komputasi Indonesia-Australia (PKKIA) FMIPA UGM Yogyakarta. Studi ini merupakan studi teoritis solvasi ion Y2+ dalam pelarut amoniak cair dan air. Atas terselesaikannya tesis ini, kami menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Dr.rer.nat. Ria Armunanto,M.Si dan Bapak Prof.Dr. Karna Wijaya sebagai dosen pembimbing yang telah melonggarkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan kami dengan penuh kesabaran dan

kesungguhan hingga terselesaikannya penelitian ini. 2. Bapak Prof. Dr. Nuryono, M.S. dan Bapak Prof. Dr. Harno Dwi Pranowo sebagai penguji yang telah banyak memberikan saran dan masukan sehingga kualitas penulisan tesis ini dapat ditingkatkan. 3. Kementrian Agama RI yang telah bersedia mendanai studi pada Program Pasca Sarjana FMIPA UGM. 4. Bapak Drs. Crys Fajar P., M.Si dan Bapak DJoko Prihandono yang selalu setia membantu dan menemani bekerja di Laboratorium Kimia Komputasi. Akhirnya, kami menyadari bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati kami mengharap adanya kritikan, saran, atau ide dari pembaca yang budiman demi kesempurnaan tulisan ini. Harapan kami semoga hasil penelitian ini bermanfaat.

Yogyakarta, 16 Juni 2011

Penyusun v

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL. i HALAMAN PENGESAHAN ii HALAMAN PERSEMBAHAN. iii PERNYATAAN iv KATA PENGANTAR... v DAFTAR ISI.. vi DAFTAR TABEL... viii DAFTAR GAMBAR... ix INTISARI xi ABSTRACT xii BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang ..... 1 I.2 Tujuan Penelitian .. 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Yttrium 6 II.2 Amoniak dan Air 6 II.3 Solvasi Ion dalam Amoniak dan Air.... 8 II.4 Metode Kimia Komputasi.. 11 II.5 Metode Mekanika Molekuler. 13

II.6 Metode Mekanika Kuantum 16 II.5 Persamaan Hartree-Fock 17 II.6 Himpunan Basis (Basis Set) 19 II.7 Keterlibatan Korelasi Elektron. 20 II.8 Dinamika Molekuler. 22 II.9 Metode Hibrida MK/MM. 25 II.10 Batas Berulang dan Aturan Bayangan Terkecil 26 II.11 Analisis Struktur dan Dinamika Solvasi 28 II.12 Mekanika Statistik.. 30

vi

BAB III LANDASAN TEORI, HIPOTESIS DAN RANCANGAN PENELITIAN III.1 Landasan Teori 33 III.2 Hipotesis 37 III.3 Rancangan Penelitian 38 BAB IV METODE PENELITIAN IV.1 Alat dan Bahan 40

IV.2 Prosedur Kerja 40 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN V.1. Penentuan Himpunan Basis . 43 V.2 Perbandingan Interaksi Ion Y+, Y2+ dan Y3+ dengan NH3 dan H2O .. 46 V.3 Struktur Solvasi Ion Y2+ dalam Amoniak Cair. 47 V.4 Struktur Solvasi Ion Y2+ dalam Air.. 58 V.5 Perbandingan Struktur Solvasi Ion Y2+ dalam Air dan Amoniak 66 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN VI.1 Kesimpulan 67 VI.2 Saran-saran. 67 DAFTAR PUSTAKA. 68

vii

DAFTAR TABEL
Tabel II.1 Hubungan entalpi hidrasi dan densitas muatan..... 9 Tabel IV.1 Koordinat Y2+-NH3 dalam sistem koordinat kartesian.... 40 Tabel IV.2 Koordinat Y2+-H2O dalam sistem koordinat kartesian.... 40 Tabel V.1 Perhitungan energi interaksi Y2+ dengan molekul amoniak.... 45 Tabel V.2 Perhitungan energi interaksi ion Y2+, Y2+ dan Y3+ dengan molekul amoniak dan molekul air. 46 Tabel V.3 Parameter optimasi fungsi potensial pasangan Y2+NH3... 48 Tabel V.4 Nilai karakteristik RDF g(r) untuk Y2+ dalam NH3 dari simulasi DM MK/MM dan DM Klasik..... 51 Tabel V.5 Panjang ikatan Y2+-N dan sudut ikat N-Y2+-N pada sistem [Y(NH3)5]2+ . 56 Tabel V.6 Perbandingan solvasi ion Y2+ dalam amoniak dengan beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan... 57 Tabel V.7 Parameter optimasi fungsi potensial pasangan Y2+H2O 58 Tabel V.8 Nilai karakteristik RDF g(r) untuk Y2+ dalam air dari simulasi DM MK/MM 61 Tabel V.9 Perbandingan solvasi ion Y2+ dalam air dengan beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan.. 65 Tabel V.11 Perbandingan sifat struktur solvasi ion Y2+ dalam amoniak dan air. 66 .

viii

DAFTAR GAMBAR

Gambar II.1 Gambar II.2 Gambar II.3 Gambar II.4 Gambar II.5

Interaksi dua molekul air (Hinchliffe, 2003)....... 8 Ilustrasi kotak simulasi dua dimensi (Armunanto, 2004)........ 25 Sistem kondisi batas berulang dalam 2 dimensi (Armunanto, 2004) 26

Representasi 2 dimensi dari MIC (Armunanto, 2004).... 28 Diskretisasi ruang untuk evaluasi fungsi distribusi radial... 28

Gambar III.1 Geometri dalam koordinat kartesian : (a) sistem Y2+-H2O dan (b) sistem Y2+-NH3..
2+

39

Gambar V. 1 Grafik hubungan E(r) dan jarak interaksi single point Y dalam amoniak (a) dan dalam air (b)..... 43 Gambar V.2 Fungsi distribusi radial Y2+-N yang diperoleh dari simulasi DM Klasik dan DM MK/MM ................... 48

Gambar V.3 Fungsi distribusi radial Y2+-H yang diperoleh dari simulasi DM Klasik dan DM MK/MM .. 50 Gambar V.4 Distribusi bilangan koordinasi pada solvasi kulit pertama dari sistem Y2+-NH3 hasil simulasi DM MK/MM dan DM Klasik 52 Gambar V.5 Struktur kompleks ion Y2+ dalam amoniak pada solvasi kulit pertama hasil simulasi DM Klasik : (a) bilangan koordinasi 12 (54,63%) dan (b) bilangan koordinasi 11 (36,23%); DM MK/MM : (c) bilangan koordinasi 5 (77,59%), (d) bilangan koordinasi 4 (21,55%) dan (e) bilangan koordinasi 3 (0,86%) 53

Gambar V.6 Distribusi bilangan koordinasi pada solvasi kulit kedua dari sistem Y2+-NH3 hasil simulasi DM MK/MM dan DM Klasik... 54 Gambar V.7 Distribusi sudut N-Y2+-N pada solvasi kulit pertama dari sistem Y2+-NH3 hasil simulasi DM MK/MM dan DM Klasik... 55 Gambar V.8 Fungsi distribusi radial Y2+-O yang diperoleh dari simulasi DM Klasik dan DM MK/MM ...... 59 Gambar V.9 Fungsi distribusi radial Y2+-H yang diperoleh dari simulasi DM Klasik dan DM MK/MM .. 60 Gambar V.10 Distribusi bilangan koordinasi pada solvasi Y2+ dalam air hasil simulasi DM MK/MM .... 61 Gambar V.11 Distribusi bilangan koordinasi pada solvasi Y2+ dalam air hasil simulasi DM Klasik 62 Gambar V.12 Struktur kompleks ion Y2+ dalam air pada solvasi kulit pertama hasil simulasi DM Klasik : (a) bilangan koordinasi 9 (4,1%) dan (b) bilangan koordinasi 10 (95,9%); DM MK/MM : (c) bilangan ix

koordinasi 6 (4,76%) (d) bilangan koordinasi 7 (58,20%) dan (e) bilangan kordinasi 8 (36,51%)... 63 Gambar V.13 Distribusi sudut O-Y2+-O pada solvasi kulit pertama dari sistem Y2+- H2O hasil simulasi DM MK/MM dan DM Klasik. 64

INTISARI

SIMULASI DINAMIKA MOLEKULER HIBRIDA MEKANIKA KUANTUM/MEKANIKA MOLEKULER ION Y2+ DALAM AMONIAK CAIR DAN AIR Oleh Sukir 09/286774/PPA/02776
Studi struktur solvasi ion Y2+ dalam amoniak cair dan air telah dilakukan dengan menggunakan simulasi dinamika molekuler hibrida mekanika kuantum/mekanika molekuler. Fitting energi untuk menentukan fungsi analitik dilakukan pada level UHF (Unrestricted Hartree-Fock) menggunakan himpunan basis DZVP (DFT Orbital) untuk Y dan SV(P) untuk O, N dan H (amoniak dan air). Kotak simulasi dibagi menjadi dua bagian yaitu wilayah mekanika kuantum dan wilayah mekanika molekuler, sedangkan untuk wilayah transisi digunakan fungsi Smoothing. Sifat struktur solvasi ion Y2+ dalam amoniak cair dan air dianalisis menggunakan data RDF (Radial Distribution Function), CND (Coordination Number Distribution) dan ADF (Anguler Distribution Function) dari konfigurasi koordinat setiap step simulasi. Ion Y2+ dalam amoniak cair tersolvasi menghasilkan struktur kompleks yang fleksibel dengan bilangan koordinasi 4,8 pada kulit pertama dan 12,9 pada kulit kedua, jarak Y2+-N 2,55 pada kulit pertama dan 4,80 pada kulit kedua, jarak Y2+-H 3,09 pada kulit pertama dan 5,80 pada kulit kedua dan sudut N-Y2+-N pada kulit pertama dominan pada 84, 110, 120 dan 160. Ion Y2+ tersolvasi dalam air membentuk kompleks yang fleksibel dengan bilangan koordinasi 7,3 pada kulit pertama dan 15,9 pada kulit kedua, jarak Y2+-O 2,45 pada kulit pertama dan 4,33 pada kulit kedua dan jarak Y2+-H 3,13 pada kulit pertama dan 5,50 pada kulit kedua. Kata kunci : DM MK/MM, solvasi, Y2+

xi

ABSTRACT

A HYBRID QM/MM MD SIMULATION FOR Y2+ ION IN LIQUID AMMONIA AND WATER
By

Sukir 09/286774/PPA/02776
Structural study on solvation of Y2+ ion in liquid ammonia and water has been done by using a hybrid QM/MM MD simulation. Fitting of energy to analytical functions using Lavenberg algorithm was done at level of UHF (Unrestricted Hartree-Fock) using DZVP (DFT Orbital) basis sets for Y and SV(P) for O, N and H (water and ammonia), respectively. Simulation box was divided into two part (the QM and MM regions, whereas for the transition region was used Smoothing function). Solvation structure properties of Y2+ ion in liquid ammonia and water were characterized using RDF, CND, and ADF data obtained from trajectory files (configuration coordinate every simulation step). Y2+ ion in liquid ammonia was solvated to give a flexible complex structure with 4.8 and 12.9 coordination numbers at first and second shell respectively, Y2+-N distances of 2.55 and 4.80 at first and second shell respectively, Y2+-H distances of 3.09 and 5.80 at first and second shell respectively and N-Y2+-N angles dominant at first shell were 84, 110, 120 and 160. Y2+ ion in water was solvated to give a flexible complex structure with 7.3 and 15.9 coordination numbers at first and second shell respectively, Y2+-O distances of 2.45 and 4.33 at first and second shell respectively and Y2+-H distances of 3.13 and 5.50 at first and second shell respectively. Key words : QM/MM MD, solvation, Y2+

xii

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Pada umumnya sistem cairan di alam berada dalam keadaan campuran (sistem larutan). Dalam sistem larutan terjadi interaksi antara molekul-molekul zat terlarut dengan molekul-molekul pelarut. Peristiwa interaksi dalam sistem ini dikenal dengan istilah solvasi. Peristiwa solvasi disebabkan oleh adanya interaksi elektrostatik, terjadinya ikatan hidrogen, atau interaksi Van der Waals antara molekul zat terlarut dan molekul pelarut. Solvasi suatu ion dalam suatu pelarut banyak ditemukan dalam proses alami, misalnya dalam proses metabolisme pada makhluk hidup. Umumnya solvasi tersebut terjadi sebelum dan selama proses metabolisme yang melibatkan air atau pelarut bukan air. Jika suatu ion berada dalam tubuh makhluk hidup maka akan terjadi interaksi antara ion dengan komponen lain dalam tubuh seperti air, lemak, karbohidrat, protein, asam nukleat, dan enzim. Oleh karena itu maka studi tentang solvasi suatu ion dalam suatu pelarut menjadi penting untuk dilakukan. Protein, asam nukleat, dan enzim pada umumnya mengandung unsur nitrogen. Unsur nitrogen dalam sistem biomolekul tersebut merupakan gugus aktif yang memiliki peranan penting karena unsur nitrogen memiliki lone pair electron sehingga merupakan suatu basa Lewis yang penting. Studi interaksi yang terjadi antara unsur nitrogen dalam biomolekul (protein) dengan ion logam dapat dilakukan dengan simulasi komputer terhadap ion logam dalam amoniak. Dengan mengetahui model interaksi ion logam dengan amoniak maka dapat disimulasikan interaksi antara ion logam dengan protein dan senyawa lainnya. Ion logam dibutuhkan dalam mendukung terjadinya proses-proses biologis dalam tubuh, termasuk kerja enzim. Dalam banyak sistem biologi termasuk kerja enzim, pemodelan ion logam dalam suatu cairan sangat penting untuk dipelajari. Logam transisi merupakan salah satu golongan logam yang banyak berperan di dalam proses biologi, misalnya besi, Fe yang terdapat dalam struktur enzim golongan hidrogenase dan sel darah merah, krom, Cr yang berperan dalam

2 metabolisme gula, tembaga, Cu yang berperan dalam kerja enzim reduksi dan oksidasi, dan kobalt, Co yang dapat mempengaruhi kerja beberapa enzim. Umumnya, unsur-unsur golongan IIIB di alam hanya eksis dalam bilangan oksidasi +3 (Canham, 2000). Kenyataannya, saat ini beberapa senyawa dari unsur golongan IIIB dengan bilangan oksidasi +2 dan +1 sudah dapat disintesis. Hal ini menunjukkan bahwa unsur-unsur golongan IIIB khususnya yang memiliki bilangan oksidasi selain +3 justru saat ini menarik untuk dikaji baik untuk studi teoritis maupun eksperimen. Salah satu unsur golongan IIIB yang menarik untuk dikaji adalah yttrium sebab sekitar 31 ppm dari kulit bumi adalah yttrium, sehingga unsur ini

menempati urutan 28 dari kelimpahan unsur di kulit bumi, dan 400 kali lebih banyak dari pada perak. Dalam tubuh manusia terdapat sekitar 0,5 mg yttrium, namun demikian efek biologisnya hingga saat ini belum banyak diketahui. Sementara itu, sistem dalam tubuh makhluk hidup didominasi oleh air dan senyawa biomolekul seperti protein, sehingga interaksi antara yttrium dengan air dan gugus amina dari protein sangat dimungkinkan. Hal ini mengindikasikan bahwa studi teoritis maupun eksperimen terhadap ion yttrium dalam air dan amoniak menarik dan penting untuk dilakukan. Studi pemanfaatan yttrium dalam sistem biologis, dalam jumlah terbatas telah dilakukan. Salah satu studi yang telah dilakukan adalah studi radioterapi terhadap kanker payudara (DeNardo,1998). Dalam studi ini digunakan zat radioimmunoconjugate 90Y-DOTA-peptide-chimeric L6 (ChL6) yang diujicobakan pada tikus yang terinfeksi kanker payudara manusia atau Human Breast Cancer Tumors (HBT 3477) dan terbukti dapat menyembuhkan sekitar 8% sampel yang diujicobakan. Dalam hal ini yang menarik dikaji adalah bagaimana interaksi yttrium dalam senyawa ChL6 dan bagaimana interaksinya terhadap sel kanker sehingga dapat memberikan efek mematikan terhadap sel kanker tersebut. Pada studi teoritis ini, dilakukan simulasi terhadap ion Y2+ dalam air dan amoniak. Studi teoritis maupun eksperimen terhadap logam yttrium dengan bilangan oksidasi +3 telah banyak dilakukan (Marques, 1992; Linqvist-Reis, 2000; Ramos, 2001; Buzko, 2000; Lau, 2006; Bowron, 2007; Diaz-Moreno & Chaboy, 2009) , sedangkan untuk bilangan oksidasi +1 dan +2 belum banyak dilakukan.

3 Studi terhadap ion Y2+ baru terbatas pada fasa padat (Bill dkk, 1986 & 1989) dan fasa gas (Hill dkk, 1997). Umumnya studi teoritis dan eksperimen yang telah dilakukan tersebut baru sebatas pada kajian sifat struktur solvasi ion Y3+ dalam air atau amoniak, sedangkan kajian sifat dinamika strukturnya belum banyak dilakukan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode dinamika molekuler mekanika kuantum/mekanika molekuler atau DM MK/MM

(Armunanto, 2004) dengan menggunakan potensial dua badan (two-body potential). Permasalahan yang dihadapi adalah minimnya referensi yang dapat dibandingkan dengan hasil penelitian ini. Salah satu cara yang ditempuh untuk mengatasi permasalahan ini adalah dengan melakukan kalkulasi ab initio menggunakan basis set yang sama terhadap ion Y3+ dalam air dan dalam amoniak dibandingkan terhadap ion Y2+. Hal ini dilakukan karena referensi yang tersedia adalah data-data hasil studi solvasi terhadap ion Y3+, sehingga dengan hasil kalkulasi tersebut diharapkan bahwa data-data dari referensi yang ada memberikan gambaran sebagai referensi. Sifat struktur dan dinamika solvasi ion yang terlarut dapat ditentukan dengan metode eksperimen dan simulasi komputer. Dalam studi eksperimen dapat

umumnya digunakan metode spektroskopi dan difraksi sinar-X. Metode spektroskopi yang saat ini banyak digunakan adalah EXAFS (Extended X-ray Absorption Fine Structure) dan NMR (Armunanto dkk, 2004). Metode difraksi yang umum dilakukan adalah XRD dan Anomali XRD (Ramos, 2001). Salah satu metode karakterisasi yang umum digunakan untuk studi teoritis adalah simulasi komputer. Simulasi molekuler merupakan suatu eksperimen komputasi yang dikaitkan dengan suatu model molekul. Teknik simulasi dapat dikelompokkan ke dalam : simulasi Monte Carlo (MC), simulasi Conformational Based Monte Carlo (CBMC), simulasi dinamika molekuler (MD) dan simulasi dinamika molekuler Car-Parrinello. Metode difraksi dapat memberikan informasi tentang struktur, seperti jarak ikatan ion dengan pelarut dan bilangan koordinasi kompleks ion dengan pelarut, sedangkan NMR memberikan informasi sifat dinamika seperti waktu tinggal pelarut (sebagai ligan) rata-rata pada kulit solvasi. Metode NMR dapat digunakan

4 untuk menentukan bilangan koordinasi kompleks solvasi, tetapi tidak dapat mengikuti proses pertukaran ligan yang sangat cepat (Armunanto dkk, 2004). Metode NMR juga tidak dapat mendeteksi dinamika larutan yang terjadi dalam satuan waktu di bawah 10-9 detik. Demikian pula terjadi pada alat femtosecond laser pulse spectroscopy, yang belum dapat menggambarkan sifat dinamika larutan secara akurat. Kenyataan ini menunjukkan bahwa cara percobaan mempunyai kelemahan dalam hal batas deteksi pergerakan molekul-molekul dalam larutan. Kelemahan yang terdapat dalam metode eksperimen dapat diperbaiki dengan metode simulasi komputer. Metode simulasi komputer melibatkan banyak molekul pada sistem yang dikaji. Simulasi dinamika molekuler (DM) dapat memberikan informasi tentang sifat struktur dan dinamika sistem. Simulasi Monte Carlo tidak dapat mengamati sifat dinamika tetapi hanya sifat struktur dalam keadaan stabil, karena metode ini tidak mengaitkan sifat struktur sebagai fungsi waktu (Armunanto dkk, 2004). Kajian simulasi dinamika molekuler terhadap solvasi suatu ion, awalnya dilakukan dengan perhitungan komputasi menggunakan metode mekanika molekuler (MM) dan mengasumsikan bahwa kontribusi suku banyak badan

(many-body term) adalah kecil, sehingga dapat diabaikan. Metode MM yang dikenal tidak membutuhkan biaya dan waktu komputasi yang besar, digunakan untuk menghitung seluruh molekul pada sistem simulasi, kemudian melakukan analisis (interpretasi) terhadap data yang dihasilkan. Kelemahan metode MM adalah hasil perhitungan yang diperoleh memiliki tingkat akurasi yang rendah. Metode yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas perhitungan komputasi adalah metode perhitungan struktur elektronik atau mekanika kuantum (MK), yaitu metode semiempiris dan ab initio. Dalam penelitian ini dilakukan simulasi dengan menggunakan metode perhitungan ab initio yang diharapkan dapat menghasilkan data yang lebih akurat. Masalah metode MM (khususnya dalam akurasi) dan metode perhitungan struktur elektronik (membutuhkan biaya dan waktu komputasi yang tinggi) dapat diselesaikan dengan cara mengembangkan perhitungan untuk simulasi yang berbasis pada penggabungan antara mekanika molekuler dan mekanika kuantum, yang dikenal dengan simulasi DM MK/MM. Prinsip simulasi DM MK/MM adalah membagi kotak simulasi menjadi dua

5 bagian, yaitu bagian MK dan bagian MM. Metode perhitungan MK diterapkan pada bagian MK, yaitu terhadap molekul-molekul yang dekat dengan ion pusat dalam radius tertentu termasuk ion pusat tersebut. Jika dianalogikan dengan fenomena kulit, maka bagian MK adalah ion pusat dan kulit solvasi pertama. Solvasi kulit kedua hingga fasa ruah pelarut, dihitung dengan metode perhitungan MM. Masalah bidang batas MK/MM diatasi dengan menggunakan suatu algoritma yang memungkinkan adanya fleksibilitas migrasi partikel/molekul dari wilayah MK ke MM atau sebaliknya. Adanya hibridisasi MK/MM ini menjadikan kebutuhan akan kualitas perhitungan dapat dipenuhi (Urip, 2009). I.2 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian Mempelajari sifat struktur solvasi ion Y2+ dalam amoniak cair dan air menggunakan metode simulasi dinamika molekuler hibrida mekanika

kuantum/mekanika molekuler (DM MK/MM). Manfaat penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran secara teoritis tentang sifat struktur dan dinamika solvasi ion Y2+ dalam amoniak cair dan air. Selain itu penelitian ini diharapkan menjadi langkah awal untuk sintesis senyawa dengan menggunakan ion Y2+ yang hingga saat ini jumlahnya masih sedikit dibandingkan dengan persenyawaan dengan menggunakan ion Y3+.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


II.1 Yttrium Yttrium merupakan logam transisi golongan IIIB dengan lambang Y, dengan nomor atom 39 yang memiliki sifat fisis : lunak, berwarna metalik keperakan, mengkilat dan memiliki sifat kristalin yang tinggi. Yttrium memiliki konfigurasi elektron (ground state) 1s2 2s2 2p6 3s2 3p6 3d10 4s2 4p6 4d1 4f0 5s2, dengan massa atom relatif 88,90585 g/mol, merupakan padatan (pada temperatur kamar) dengan titik didih 3336 C, titik leleh 1526 C, kalor peleburan 11,42 kJ/mol, kalor penguapan 365 kJ/mol, kapasitas kalor (pada 25C) 26,53 J/mol.K, massa jenis pada temperatur kamar 4,472 g/cm3, elektronegativitas 1,22 (skala Pauling), energi ionisasi (pertama) 600 kJ/mol, (kedua) 1180 kJ/mol, (ketiga) 1980 kJ/mol, jari-jari atom 180 pm dan jari-jari kovalen 162 pm. Di alam umumnya yttrium eksis dalam bilangan oksidasi +3. Beberapa senyawa biner dari yttrium(III) antara lain YCl3, YBr3, YH3, Y2O3 dan Y2S3, sedangkan dalam bilangan oksidasi +2 berada dalam senyawa yttrium(II) hidrida, YH2 dan yttrium(II) karbida, YC2. Beberapa senyawa organoyttrium dapat diperoleh dalam bilangan oksidasi 0, +1, +2 (Bayse, 2002). II.2 Amoniak dan Air Molekul amoniak mempunyai bentuk molekul trigonal piramidal. Atom nitrogen dalam molekul amoniak memiliki sebuah lone pair electron dan amoniak bersifat basa lemah dengan pKb = 4,75 (pada 298 K). Molekul amoniak memiliki momen dipol sebesar 1,42 D dengan sudut ikat H-N-H sebesar 107,5 dan bersifat polar (Sakhashiri, 2008). Amoniak memiliki massa molar 17,0306 g/mol, dengan titik lebur 77,73 C (195,42 K), titik didih 33,34 C (239,81 K), dan dalam bentuk padatan berupa kristal putih. Dalam wujud cair amoniak membentuk ikatan hidrogen yang kuat antar molekul-molekulnya. Molekul-molekul amoniak cair saling berinteraksi dengan menggunakan ikatan hidrogen. Berdasarkan hasil simulasi menggunakan metode ab initio terhadap interaksi NH3NH3 dan NH3-NH4+ untuk mengamati adanya ikatan
6

7 hidrogen dalam amoniak, dapat teramati bahwa jarak NHN pada interaksi pada interaksi NH3-NH4+ adalah 2,79

NH3NH3 adalah 3,37 dan

(Baird, 1974). Perbedaan jarak ini kemungkinan disebabkan karena kerapatan elektron atom H dalam ion amonium lebih kecil dibanding atom H dalam molekul amoniak cair sehingga atom H pada ion amonium lebih elektropositif. Sudut NHN dalam ikatan hidrogen antar molekul amoniak cair adalah 148,1 dan 126,9 (Fortes dkk, 2003). Harga energi ikatan hidrogen NHN dalam amoniak cair adalah sebesar 13 kJ/mol. Ikatan hidrogen NHN dalam senyawa protein ternyata lebih kuat dibanding dalam amoniak cair. Studi teoritis terhadap molekul senyawa peptida cysteine3lysine30cysteine telah dilakukan dan teramati bahwa besarnya energi ikatan NHN rata-rata adalah 20,2 kJ/mol (Lantz, 1999). Air merupakan suatu molekul dengan bentuk tetrahedral terdistorsi, dengan sudut ikatan H-O-H sebesar 104,5. Antar molekul air berinteraksi menggunakan interaksi dipol-dipol yang disebut dengan ikatan hidrogen. Pada temperatur 298 K, panjang ikatan OHO dalam ikatan hidrogen antar molekul air adalah 1,97 (lebih pendek jika dibandingkan dengan ikatan NHN pada amoniak cair), sedangkan energi ikatan OHO adalah sebesar 21 kj/mol (lebih kuat dibanding energi ikatan NHN). Energi klasik yang terdapat dalam N-molekul rigid air adalah energi kinetik untuk translasi dan rotasi dengan potensial intermolekuler. Tiap molekul air digambarkan dengan 6 koordinat, masing-masing 3 berada pada pusat massa dan 3 pada bagian yang mengisi orientasi spatial di sekitar pusat massa. Energi dalam sistem air dinyatakan sebagai : 1 = ( + ) + (, , , ) 2

di mana adalah vektor kecepatan linier, adalah vektor kecepatan sudut, adalah momen inersia, dan adalah koordinat (Hinchliffe, 2003). Empat titik muatan Q, masing-masing sebesar 0,19e dan masing-masing berjarak 100 pm dari atom oksigen, bergabung dalam molekul air memberikan potensial Uel. Dua muatan positif menggambarkan atom hidrogen, dan dua muatan

(2.1)

8 negatif menggambarkan lone pairs. Keempat muatan tersusun secara tetrahedral di sekitar atom oksigen. Susunan interaksi 16 Coulomb antara molekul-molekul air tersebut seperti ditunjukkan pada Gambar II.1, memberikan potensial Uel. +Q +Q -Q -Q -Q

-Q +Q

+Q

Gambar II.1 Interaksi dua molekul air (Hinchliffe, 2003) Gambar II.1 memperlihatkan energi konformasi minimum antara dua molekul air yang berjarak 76 pm (jarak antara dua atom oksigen adalah 276 pm). Jika massa jenis air adalah 1 g/cm3, maka untuk 216 molekul air dapat menempati kotak simulasi (kubus) dengan panjang sisi 1862 pm (Hinchliffe, 2003). II.3 Solvasi Ion dalam Amoniak dan Air Solvasi atau dissolution adalah proses tarik menarik (attraction) dan penggabungan (association) antara molekul-molekul pelarut dengan suatu molekul atau ion suatu zat terlarut (solute). Ion-ion yang terlarut dalam suatu pelarut akan tersebar dan kemudian dikelilingi oleh molekul-molekul pelarut. Menurut IUPAC, solvasi adalah suatu interaksi zat terlarut dengan pelarut di mana melalui stabilisasi zat terlarut dalam larutan. Dalam keadaan tersolvasi, sebuah ion dalam larutan akan terkomplekskan oleh molekul-molekul pelarut. Kompleksasi ini dapat ditentukan dengan bilangan koordinasi dan tetapan stabilitas kompleks. Dalam larutan aquous, ion-ion dikelilingi oleh molekul-molekul polar dari air. Pada solvasi kulit pertama, kation dikelilingi oleh molekul-molekul air (biasanya enam molekul) dengan atom-atom parsial negatif oksigen terorientasi terhadap kation. Hal yang sama terjadi untuk anion, akan dikelilingi oleh atomatom parsial positif hidrogen dari molekul air. Di luar kulit pertama, ditemukan juga lapisan molekul-molekul air (pada kulit kedua) yang terorientasi terhadap

9 molekul-molekul air pada solvasi kulit pertama. Jumlah total molekul air yang secara efektif mengelilingi sebuah ion disebut bilangan hidrasi (Canham, 2000). Suatu ion dengan ukuran lebih kecil dan muatan ion lebih besar akan memiliki bilangan hidrasi lebih besar dibanding ion dengan ukuran lebih besar dan muatan ionnya kecil, misalnya ion natrium, Na+ dengan jari-jari 116 pm berukuran lebih kecil dibanding ion kalium, K+ dengan jari-jari 152 pm, ternyata ion natrium terhidrasi sebagai kompleks [Na(OH2)13]+ dengan radius hidrasi 276 pm, sedangkan ion kalium membentuk kompleks hidrasi [K(OH2)7]+ dengan radius hidrasi 232 pm (Canham, 2000). Pembentukkan interaksi ion-dipol dalam ion tersolvasi sangat eksotermik. Besarnya entalpi hidrasi bergantung pada muatan dan ukuran ion, yang dikenal dengan densitas muatan (q/r). Hubungan antara entalpi hidrasi dan densitas muatan ditunjukkan oleh Tabel II.1 di bawah ini. Tabel II.1 Hubungan entalpi hidrasi dan densitas muatan Entalpi hidrasi Ion Na+ Mg2+ Al3+ (kJ/mol) -390 -1890 -4610 Densitas muatan (C/mm3) 24 120 364

Semakin besar muatan ion dan semakin kecil ukuran ion (densitas ion makin besar), semakin besar juga harga entalpi hidrasinya. Dibandingkan dengan ion natrium, ion magnesium dan ion alumunium memiliki ukuran yang lebih kecil dan muatan yang lebih besar sehingga memiliki perubahan entalpi yang jauh lebih besar. Dalam hidrasi ion, harga entropi hidrasi juga negatif, disebabkan karena molekul-molekul air yang mengelilingi ion lebih teratur dibanding molekul air yang berada dalam keadaan bebas (Canham, 2000). Studi teoritis solvasi 1 ion Ag+ dalam 499 molekul air telah dilakukan dengan menggunakan metode DM MK/MM (Armunanto, 2003). Pada studi ini digunakan potensial dua-badan dan tiga-badan. Bagian yang menarik dari studi ini adalah bahwa struktur kompleks yang dihasilkan dari solvasi ion Ag+ dalam air bersifat fleksibel dengan bilangan koordinasi rata-rata 5,4 yang berarti bahwa

10 struktur solvasi pada kulit pertama kadang-kadang berkoordinasi 4, 6 atau 7 dan paling sering berkoordinasi 5 (lebih dari 60%). Hasil berbeda diperoleh jika digunakan pelarut amoniak cair di mana dihasilkan struktur yang rigid dengan bilangan koordinasi 4 membentuk struktur tertrahedral. Kebanyakan studi terhadap solvasi ion yttrium yang telah dilakukan adalah studi untuk ion Y3+. Eksperimen dengan metode EXAFS terhadap larutan aquous YCl3 dan YBr3 digunakan larutan dengan molaritas 2,1 0,6 M dalam air telah dilakukan dan teramati bahwa hidrasi Y3+ dengan 8 molekul air terkoordinasi merupakan spesies yang dominan dengan jarak rata-rata Y-O sebesar 2,33 0,02 untuk YBr3 dan 2,34 0,02 untuk YCl3 (Marques dkk, 1992). Penelitian ini dapat menggambarkan struktur karakteristik dari ion Y3+ dalam air, yaitu dengan terukurnya panjang ikatan untuk interaksi Y-O dan bilangan koordinasi [Y(H2O)n]3+. Pada penelitian ini, bagian yang belum terukur adalah besarnya energi yang dibebaskan pada proses solvasi ion Y3+ dalam air. Pada bagian lain disebutkan bahwa bilangan koordinasi yang dominan adalah 8, berarti dalam kelimpahan yang kecil terdapat koordinasi selain 8, artinya struktur solvasinya bersifat fleksibel. Studi terhadap sistem larutan aquous YCl3 dan YBr3 menggunakan metode anomali XRD juga telah dilakukan (Ramos dkk, 2001). Pada studi ini untuk sistem larutan YCl3 pada konsentrasi 3,5 M, teramati bahwa jarak Y-O adalah sebesar 2,28 , dan pada konsentrasi 2,3 M jarak Y-O adalah sebesar 2,34 . Adapun bilangan koordinasi yang teramati untuk sistem [Y(H2O)n]3+ adalah 8. Studi ini baru terbatas pada penentuan distribusi jarak Y-O pada solvasi kulit pertama dan kedua, dan penentuan bilangan koordinasi sistem kompleks solvasi. Adapun informasi sudut ikatan O-Y-O dan besarnya energi solvasi, belum dijelaskan. Informasi lebih banyak tentang studi ini dilakukan dengan metode NS (Neutron Scattering) dan EXAFS terhadap 1 ion Y3+ dalam 55,5 molekul air (Bowron, 2007). Pada sistem ini teramati bahwa jarak Y-O adalah sebesar 2,39 , dengan bilangan koordinasi kompleks solvasi 3 9 dengan rata-rata 7,4 0,5 molekul air. Distribusi sudut O-Y-O pada kompleks solvasi ini adalah 72 dan 141. Dibandingkan dengan studi sebelumnya, studi ini memberikan informasi

11 yang lebih lengkap, namun belum menjelaskan sifat dinamika dari struktur kompleks solvasi. Studi secara eksperimen dan teoritis terhadap atom yttrium dengan amoniak pada temperatur kamar telah dilakukan (Simard dkk, 2003). Studi eksperimen untuk sistem ini dilakukan dalam suatu reaktor (flash flow reactor), sedangkan studi teoritisnya dilakukan dengan metode DFT. Dalam studi ini teramati bahwa untuk reaksi atom yttrium dengan amoniak dihasilkan kompleks H3NYNH3, YNH(NH3)2,YNH(NH3)3,YNH(NH3)4 yang diawali dengan pembentukkan yttrium imida (YNH). Jarak Y-N(NH) teramati sebesar 1,89-1,97 , sedangkan jarak Y-N (NH3) teramati sebesar 2,48-2,55 , sedangkan energi ikatan HNY-NH3 adalah sebesar 21,53 kkal/mol. Informasi yang diperoleh dari studi ini cukup lengkap, selain distribusi jarak Y-N, bilangan koordinasi, distribusi sudut, besarnya energi ikatan dan mekanisme reaksi juga dapat ditunjukkan adanya frekuensi harmonik dari ligan, namun studi ini belum memberikan gambaran suatu sistem ion yang terlarut dalam suatu pelarut (fasa larutan). Studi terhadap ion Y2+ sejauh ini baru dilakukan dalam fasa padat dan gas. Studi ion Y2+ dalam fasa padat telah dilakukan untuk mempelajari efek Jhn Teller pada kristal CaF2:Y2+(Bill dkk, 1986) dan kristal SrCl2 : Y2+ (Lovi dkk,1989). Studi fasa gas terhadap reaktifitas ion Y2+ terhadap alkana sederhana C1C6 juga telah dilakukan (Hill dkk, 1997). Pada studi ini digunakan instrumen FTMS (Fourier Transform Mass Spectrometer), di mana teramati bahwa reaksi Y2+ dengan alkana sederhana dapat terjadi kecuali dengan metana, sedangkan fragmen yang dominan teramati adalah YC2H42+. Adapun studi terhadap ion Y2+ dalam fasa cair atau fasa larutan sejauh ini baik studi teoritis maupun eksperimen belum banyak dilakukan. II.4 Metode Kimia Komputasi Kimia komputasi adalah suatu disiplin yang menggunakan metode matematika untuk penghitungan sifat molekuler atau untuk simulasi dari perilaku molekuler (IUPAC, 2007). Kimia komputasi merupakan suatu disiplin ilmu yang menarik dan tumbuh dengan cepat, yang berkaitan dengan pemodelan molekul dan simulasi komputer dari sistem biomolekul, polimer, obat-obatan, molekul organik

12 dan anorganik dan lain-lain (Ramachandran dkk, 2008). Kimia komputasi merupakan cabang ilmu kimia yang menggunakan hasil kajian kimia teori yang diterjemahkan ke dalam program kalkulasi komputer untuk menentukan sifat-sifat partikel dan perubahannya (Leach, 2001). Kimia komputasi meliputi pemodelan secara teoritis dan struktural yang dikenal dengan pemodelan molekul (molecular modeling) dan pemodelan proses yang dikenal dengan simulasi molekuler (molecular simulation). Metode kimia komputasi dapat dikelompokkan ke dalam : ab initio (ab initio calculations), semiempiris (semiempirical calculations), pemodelan zat padat (solid state modeling), mekanika molekuler dan simulasi molekuler. Simulasi molekuler adalah suatu eksperimen komputasi yang dikaitkan dengan suatu model molekul. Teknik simulasi dapat dikelompokkan ke dalam : simulasi Monte Carlo (MC), simulasi Conformational Based Monte Carlo (CBMC), simulasi dinamika molekuler (MD) dan simulasi dinamika molekuler Car-Parrinello (Ramachandran dkk, 2008). Dinamika molekuler adalah suatu bentuk simulasi komputer di mana atomatom dan molekul dikondisikan untuk berinteraksi dalam periode waktu tertentu mengikuti hukum-hukum fisika. Dinamika molekular merupakan bidang multidisipliner yang menerapkan hukum-hukum dan teori dari disiplin ilmu matematika, fisika dan kimia. Dinamika molekular bekerja dengan algoritma (prosedur sistematis yang diikuti untuk memecahkan masalah) dari pengetahuan komputer dan teori informasi. Saat ini banyak diaplikasikan dalam bidang material dan biomolekul (Caflisch, 2009). Metode dinamika molekuler merupakan metode simulasi yang sangat berguna dalam mempelajari sistem molekuler seperti molekul organik dalam larutan dan senyawa makromolekul dalam proses metabolisma. Metode ini memungkinkan penggambaran struktur, sifat termodinamika dan sifat dinamis dari sistem pada fasa terkondensasi. Bagian pokok dari metode simulasi adalah tersedianya fungsi energi potensial yang akurat untuk memodelkan sifat dari sistem yang dikaji. Fungsi energi potensial dapat disusun melalui metode mekanika kuantum (Quantum Mechanics) atau mekanika molekul (Molecular Mechanics). Persoalan yang muncul adalah bahwa mekanika kuantum hanya dapat digunakan

13 untuk sistem sederhana dengan beberapa puluh satuan massa (karena perhitungan mekanika kuantum memerlukan waktu yang lama), sedangkan metode mekanika molekuler tidak cukup teliti. Metode yang telah dikembangkan untuk mengatasi hal ini adalah metode hibridisasi yang dikenal dengan metode MK/MM, yaitu bagian yang penting dari sistem kimia dihitung dengan metode MK sedangkan bagian yang tidak harus dijelaskan secara detail dihitung dengan metode MM (Pranowo, 2002). II.4.1 Metode Mekanika Molekuler Metode mekanika molekuler merupakan metode yang menyediakan pernyataan aljabar yang sederhana untuk energi total senyawa, tanpa harus menghitung fungsi gelombang atau kerapatan elektron total. Pernyataan energi mengandung persamaan klasik sederhana, seperti persamaan osilator harmonis untuk menggambarkan energi yang tercakup pada terjadinya uluran, bengkokan dan torsi ikatan, gaya antar molekul, seperti interaksi Van der Waals dan ikatan hidrogen. Semua tetapan dalam persamaan ini harus diperoleh dari data eksperimen atau perhitungan ab initio. Dalam metoda mekanika molekuler, data base senyawa yang digunakan dalam metoda parameterisasi merupakan hal yang penting berkaitan dengan keberhasilan perhitungan. Himpunan parameter dan fungsi matematika dinamakan medan gaya (Force-Field). Seperti halnya pada metoda semiempiris yang diparameterisasi terhadap satu himpunan molekul organik, metoda mekanika molekular diparameterisasi terhadap golongan yang khas dari molekul seperti kelompok hidrokarbon, alkohol atau protein. Suatu medan gaya tertentu, misalnya protein, hanya akan berjalan baik untuk mendeskripsikan kelompok senyawa protein, tetapi akan menghasilkan data yang jelek jika digunakan untuk menghitung golongan senyawa yang lain. Kelebihan dari mekanika molekular adalah dimungkinkannya melakukan pemodelan terhadap molekul yang besar seperti halnya protein dan segmen dari DNA, sehingga metoda ini merupakan alat utama perhitungan biokimiawan. Kekurangan dari mekanika molekular adalah banyak sifat kimia yang tidak dapat didefinisikan dengan metoda ini, seperti halnya keadaan eksitasi elektronik. Dalam upaya untuk bekerja dengan sistem yang besar dan kompleks, sering perangkat lunak mekanika molekuler

14 mempunyai kemampuan dan kemudahan untuk menggunakan perangkat lunak grafik (Ramachandran dkk, 2008). Model mekanika molekuler dikembangkan untuk mendeskripsikan struktur dan sifat-sifat molekul sesederhana mungkin. Bidang aplikasi mekanika molekuler antara lain diterapkan pada: (a) Molekul yang tersusun oleh ribuan atom; (b) Molekul organik, oligonukleotida, peptida dan sakarida; (c) Molekul dalam lingkungan vakum atau berada dalam pelarut; (d) Senyawa dalam keadaan dasar; (e) Sifat-sifat termodinamika dan kinetika (melalui dinamika molekuler). Metode mekanika molekuler didasarkan pada prinsip-prinsip: (a) Inti dan elektron dipandang sebagai partikel bak atom (atom-like); (b) Partikel bak atom tersebut berbentuk sferis dan memiliki muatan neto; (c) Interaksi didasarkan pada potensial klasik dan pegas (hukum Hooke); (d) Interaksi harus dispesifikasikan terlebih dahulu untuk atom-atom yang dipelajari; (e) Interaksi menentukan distribusi ruang dari partikel dan energinya (Pranowo, 2002). Model interaksi potensial realistis diimplementasikan dalam simulasi klasik yang memainkan peranan penting terhadap keakutaran hasil yang dicapai, di mana gaya mekanika molekuler diturunkan. Interaksi antar molekul dibangun oleh gaya yang ditimbulkan oleh atom-atom. Gaya-gaya tersebut bergantung pada posisi tiap partikel (Armunanto, 2004). Selanjutnya energi total sistem didefinisikan sebagai : E=K+V (2.2)

di mana K adalah energi kinetik dan V adalah energi potensial. Energi potensial bergantung pada jarak antar atom V(r1, r2, rN) yang mewakili energi potensial sistem yang mengandung susunan atom-atom dalam suatu konfigurasi yang spesifik. Fungsi potensial ini adalah invarian secara translasi dan rotasi dan dibangun dari posisi relatif atom-atom dan hubungannya satu dengan lainnya. Gaya, F diturunkan sebagai gradien potensial kaitannya dengan perpindahan atomik : Fi = -( , , , ) (2.3)

Jika interaksinya diasumsikan secara timbal balik, maka fungsi pasangan potensialnya menjadi : ( , , , ) = (2.4)

15 Potensial umum yang paling sederhana untuk menggambarkan interaksi suatu pasangan atom adalah potensial Lennard-Jones : ( = )4

(2.5)

Fungsi potensial ini mencapai titik minimum pada sekitar 1,22 di mana memiliki tarik menarik yang lebih besar, sedangkan pada jarak yang lebih dekat tolakmenolaknya lebih kuat. Suku ~

menggambarkan suatu model tolak-menolak

antar atom yang berdekatan. Model ini secara fisika dihubungkan dengan tolakkan ketika awan elektron atom-atom overlap dan energi sistem naik dengan tajam. Suku ~ menggambarkan tarik-menarik yang mendominasi pada jarak yang panjang. Istilah ini mirip gaya dispersi Van der Waals yang mendeskripsikan interaksi dipol-dipol yang terkait dengan fluktuasi dipol-dipol. Untuk menggambarkan interaksi mekanika molekuler yang terjadi dalam solvasi suatu ion, harus tersedia sekurang-kurangnya two-body potential untuk interaksi antara ion-pelarut, pelarut-pelarut dan potensial intramolekuler pelarut. Fungsi potensial two-body untuk menyatakan interaksi ion-pelarut dapat dinyatakan dengan persamaan fitting two-body berikut :
=

di mana M menunjukkan ion, i pelarut, n jumlah atom dalam molekul pelarut, A, B, C dan D adalah parameter optimasi dan q muatan atom, sedangkan a, b, dan d adalah bilangan pangkat yang memiliki harga antara 4 sampai dengan 10. Potensial two-body dalam menggambarkan interaksi antara ionpelarut masih memerlukan koreksi sekitar 10% atau lebih. Solusi untuk mengatasi kekurangan ini adalah dengan menggunakan three-body potential (Armunanto, 2004). Fungsi potensial ini menggambarkan interaksi pelarut-ion-pelarut sebagai koreksi atas interaksi ionpelarut. Fungsi potensial three-body untuk menyatakan interaksi pelarut-ionpelarut dapat dinyatakan dengan persamaan fitting three-body :
( ) ( ) ( ) =

(2.6)

(2.7)

16 di mana a1, a2 dan a3 adalah parameter optimasi dan CL adalah cut-off limit. Simulasi yang lebih lengkap adalah simulasi yang melibatkan interaksi badan banyak (N-body potential). Simulasi ini memerlukan waktu dan biaya komputasi yang besar, padahal biasanya pengaruh many-body sangat kecil. Simulasi yang biasanya diterapkan untuk interaksi N-body potential dilakukan dengan menggabungkan perhitungan interaksi dua-badan dan tiga-badan yang dikenal dengan (2 + 3)-body potential. Metode inipun membutuhkan biaya dan waktu komputasi yang mahal, sehingga sering hanya digunakan metode two-body potential saja. II.4.2 Metode Mekanika Kuantum Suatu sistem kimia dapat dinyatakan dengan fungsi gelombang, dan operator yang terkait. Postulat ini dapat dijelaskan dengan menyelesaikan persamaan Schrodinger : = (2.8)

di mana adalah fungsi gelombang dan E adalah energi total,

adalah operator Hamiltonian total yang mengandung operator energi kinetik dan energi potensial. Operator Hamiltonian total dapat dijelaskan (dalam unit atomik) :
= + +

(2.9)

(2.10)

di mana i dan j adalah elektron , k dan l adalah inti, mk adalah massa inti, adalah operator Nabla, Z adalah nomor atom, rkl adalah jarak antara inti k dan l. Sebagai fungsi gelombang tiga-dimensi, operator Laplace dapat dinyatakan : = = + +

(2.11)

Jika aproksimasi Born-Oppenheimer di aplikasikan terhadap operator Hamilton total, energi kinetik inti akan hilang. Energi total menjadi
= +

(2.12)

17 di mana operator Hamiltonian adalah :


= +

dan fungsi gelombang menggambarkan sistem elektronik dalam atom-atom. Hamiltonian untuk suatu monoelektronik dapat dinyatakan sebagai : ( ) =

(2.13)

(2.14)

II.5 Persamaan Hartree-Fock

Fungsi gelombang yang lengkap suatu elektron tunggal tersusun atas suatu fungsi orbital ruang dan spin ( atau ). Untuk menggambarkan sistem N elektron, fungsi gelombang yang paling sederhana dapat dituliskan dalam bentuk suatu produk orbital-orbital spatial : ) adalah orbital spatial elektron i. Produk fungsi ini disebut produk di mana ( menjamin adanya sifat anti simetri. Dalam suatu sistem N elektron, fungsi (1,2, , ) = (1)(2) ( ) (2.15)

Hartree. Fungsi gelombang ini tidak dapat diterima begitu saja karena tidak

gelombang harus memiliki bentuk untuk mencapai bentuk anti simetri yang seharusnya, oleh karena itu fungsi gelombang pada persamaan (2.15) harus disusun sebagai persamaan (2.16). (1) (2) . = !  . . (N) (1) (1) (2) (2) . . .  . . . . . . (N) (N)

(2.16)

1(1) merepresentasikan suatu fungsi yang bergantung pada ruang dan koordinat
spin untuk elektron berlabel 1. Pembentukkan suatu determinan fungsi gelombang dapat dilakukan dengan memilih suatu set orbital-orbital molekul 1, 2, N dan menetapkan elektron spin dan untuk orbital-orbital ini. Fungsi gelombang determinan ternormalisasi N elektron orbital molekul untuk kulit pada keadaan ground state yang menempati orbital-orbital N/2, dapat ditulis sebagai determinan Slater.

18 (1)(1) (1)(1) (1)(1) /(1)(1) (2)(2) (2)(2) (2)(2) /(2)(2) . . . . .  (2.17) = !  . . . . . . . . . . (N)(N) (N)(N) (N)(N) /(N)(N) Faktor
!

digunakan untuk memastikan bahwa fungsi gelombang ternormalisasi.

Determinan ini adalah bentuk paling sederhana suatu fungsi gelombang orbital yang memadai sesuai dengan prinsip antisimetri dan prinsip Pauli. Approksimasi ini disebut approksimasi Hartree-Fock (HF). Orbital spin terbaik yang mengacu pada energi terendah diperoleh dari minimisasi energi dengan menghubungkan ke pilihan orbital-orbital spin yang mendefinisikan determinan Slater tunggal dengan menjaga mereka tetap ortonormal. / = = (2.18)

Jika faktor pengali Lagrange untuk masing-masing kondisi ortonormalitas ditulis ij, maka persamaan Hartree Fock ditulis : + = 0 (2.19)

Dalam persamaan Hartree-Fock, faktor pengali Lagrange yang sesungguhnya harus ditulis -2ij, untuk membalikkan fakta bahwa mereka terkait ke energi-energi orbital molekuler, sehingga persamaan 2.19 ditulis : 2 = 0 (2.20)

Operator Hamilton untuk sebuah elektron dalam suatu ruang orbital dalam

medan inti dan elektron-elektron yang lain dalam ruang orbitalnya, , mengandung tiga term yang sesuai untuk tiga kontribusi yang berbeda (inti, Coulomb dan pertukaran (exchange)). Hasil ini dapat ditulis sebagai suatu persamaan integro-differensial untuk sesuai dengan persamaan :

(1) + (2)(2) (1) d

(2)(2) d

(1) =

(2.21)

19 II.6 Himpunan Basis (Basis Set) Himpunan basis atau basis set adalah kumpulan fungsi basis, yang digunakan untuk menghitung sistem atom atau molekul tertentu. Fungsi basis adalah fungsi yang menggambarkan perilaku elektron pada satu orbital atom atau molekul. Ada dua tipe himpunan basis yaitu orbital tipe Slater (STO) dan orbital tipe Gaussian (GTO) yang umum digunakan dalam perhitungan elektronik dari beberapa orbital elektron. Bentuk umum orbital tipe Slater adalah :

,n,l,m (r,,) = NYl,m(,)rn-1exp(-.r)

(2.22)

dimana N adalah tetapan normalisasi, dan adalah eksponen orbital. Yl,m adalah fungsi harmonik sferis, l dan m adalah bilangan kuantum momentum sudut. Keunggulan utama fungsi basis Slater adalah kemampuannya menerangkan kelakuan orbital pada jarak pendek dan panjang. Perhitungan energi sistem suatu molekul dilakukan dengan melibatkan fungsi himpunan basis dari semua atom yang terlibat. Dalam suatu sistem kompleks AB, energi interaksi antara ion A dan ligan B didefinisikan sebagai :
( ) = )(

(2.23)

di mana a dan b adalah fungsi basis set untuk ion A dan ligan B, r adalah jarak A-B. EA adalah Energi ion A dengan perhitungan yang hanya menggunakan fungsi basis A dan EB adalah energi ligan B yang dihitung hanya menggunakan fungsi basis B. Dalam perhitungan sebenarnya, mungkin diperoleh E dengan mengikuti proses pencapaian energi yang lebih rendah dari EAB jika jarak antar molekul yang berinteraksi berkurang dari tak terhingga ke arah kesetimbangan yakni pada saat EAB mencapai nilai minimum. E pada saat sistem mencapai keseimbangan bernilai sangat negatif, hal ini disebabkan dengan berkurangnya jarak r tidak hanya menimbulkan interaksi antar molekul tetapi juga monomer-monomer yang ada dalam kompleks AB mulai menggunakan himpunan basis pasangannya. Kesalahan hasil perhitungan akibat fenomena ini dikenal dengan kesalahan superposisi himpunan basis atau basis set superposition error (BSSE). Nilai BSSE biasanya kecil jika dibandingkan dengan E, dan prediksi ab initio pada

20 perhitungan permukaan energi potensial dengan akurasi kuantitatif hanya dapat diterima jika BSSE secara efektif mempunyai harga kecil.
{} {} ( )+ ( ) =

(2.24)

dan adalah energi masing-masing monomer yang diperoleh dengan { } { }

menggunakan fungsi basis dimer lengkap {ab} pada geometri AB yang sesuai.
Fungsi basis a{ab} dalam dan b{ab} dalam perhitungan disebut

himpunan basis semu (ghost).

II.7 Keterlibatan Korelasi Elektron Berdasarkan prinsip variasional, energi yang dihitung (computed) akan lebih besar dari energi keadaan dasar (ground state). Perbedaan antara kedua energi tersebut disebut energi korelasi (Ramachandran dkk, 2008). Jika energi non relatifistik eksak digantikan dengan energi Born-Openheimer dan energi keadaan dasar adalah energi Hartree-Fock dari sistem elektronik, maka energi korelasi didefinisikan sebagai : = . . (2.25)

Energi korelasi pada persamaan tersebut hanya terbatas digunakan pada basis set lengkap untuk satu elektron. Langkah akhir dari perhitungan orbital molekul adalah untuk mendapatkan energi korelasi ini. Metode perhitungan yang digunakan diklasifikasikan atas metode yang berdasarkan fungsi gelombang atau

wavefunction-based method (interaksi konfigurasi, Mller-Plesset Perturbation Theory (MP2), dan Coupled Cluster (CC)) dan metode yang berdasarkan densitas elektron (Density Functional Theory (DFT)). Metode MP2 merupakan metode perhitungan energi dengan level koreksi sampai orde 2. Dalam metode MP2 energi molekuler dihitung dengan menggunakan persamaan : di mana E(2) adalah faktor energi koreksi orde 2, yang dihitung dari :

() + () + () = + ()

(2.26)

() =

1 +

(2.27)

21 di mana subskrip 0 menunjukkan keadaan ground state, i, j, k.adalah spin orbital yang terjadi, a, b, cadalah spin orbital virtual, n jumlah elektron, dan adalah eigenvalue. Dalam banyak hal, metode MP2 lebih reliable dibanding metode DFT, dan merupakan improvement untuk metode HF. Hasil kalkulasi dengan metode MP2 tidak bervariasi dan kemungkinan hasil perhitungannya lebih rendah dari harga energi yang sesungguhnya. Dalam perhitungan dengan metode MP2,

kesetimbangan geometri dan energi vibrasi diperlukan. Kelemahan metode MP2 adalah tidak praktis jika digunakan basis set yang lebih rendah (Ramachandran dkk, 2008). Metode CC diperkenalkan pertama oleh Coester dan Kummal tahun 1958. Metode ini merupakan teknik numerik yang menggunakan penggambaran sistem banyak elektron. Dalam teori CC fungsi gelombang ditulis sebagai suatu eksponen: di mana adalah suatu SD (Singles and Doubles) yang biasanya dibentuk dari adalah suatu operator eksitasi yang ketika bekerja orbital-orbital molekul HF. pada menghasilkan suatu kombinasi linier dari SD tereksitasi. Operator eksitasi cluster ditulis dalam bentuk : = + + + (2.29)
=

(2.28)

di mana adalah operator semua eksitasi tunggal, adalah operator semua eksitasi ganda dan seterusnya. Dalam formalisasi kuantisasi kedua, operatoroperator eksitasi ini lebih mudah dijelaskan sebagai : =

di mana adalah suatu SD tereksitasi tunggal, dan

(2.30) (2.31)

SD|, | = ke dalam suatu kombinasi linier dari SD tereksitasi tunggal n elektron tidak boleh lebih dari n elektron tereksitasi maka tidak ada operator

yang mungkin, demikian juga untuk adalah SD tereksitasi ganda. Dalam sistem dalam operator cluster. Dalam metode CC, dilibatkan juga perhitungan koefisien

mengubah

22
amplitude , , . Dalam beberapa aplikasi diperlukan perhitungan dengan

akurasi tinggi. Perhitungan dengan menggunakan metode CCSDT dapat menghasilkan hasil dengan akurasi tinggi, namun memerlukan waktu dan biaya komputasi yang mahal.

Metode DFT (Density Functional Theory) digunakan untuk menghitung semua sifat sistem dengan densitas elektron (r) yang merupakan fungsi dari tiga variabel, (r) = f(x,y,z). Sebagai densitas adalah fungsi gelombang, yang kemudian dikenal dengan fungsional. Metode ini merupakan formulasi yang luwes dari mekanika kuantun N-partikel dengan penyederhanaan konsep dan efisiensi komputasi. Dalam banyak hal, jika metode ab initio tidak dapat bekerja dengan baik, setidaknya dapat dicoba dengan metode DFT (Ramachandran dkk, 2008). II.8 Dinamika Molekuler Simulasi dinamika molekuler dilakukan berdasarkan atas hukum Newton II yang didefinisikan sebagai (Armunanto, 2004) : Fi = mi.ai (2.32)

di mana Fi adalah gaya yang dikerjakan pada partikel i, mi dan ai masing-masing adalah massa dan percepatan partikel i. F dan a adalah vektor yang memiliki arah yang sama. Hubungan percepatan partikel, a yang berpindah dari ri ke ri + dri dalam waktu dt dapat dituliskan sebagai :
=

(2.33)

Jika persamaan (2.23) dan (2.24) dikombinasikan, maka akan diperoleh persaan (2.25).

Persamaan (2.25) menggambarkan gerakan suatu partikel dengan massa mi sepanjang vektor posisi ri dengan Fi gaya partikel dalam arah tersebut. Jika gaya F yang dilakukan pada partikel i hanya merupakan fungsi posisi ri V(ri) dan dapat dituliskan sebagai :

(2.34)

(gaya

konservatif), maka gaya ini dapat direpresentasikan dengan fungsi energi potensial,

Kombinasi persamaan (2.34) dan (2.35) dapat ditulis sebagai persamaan (2.36),

(2.35)

23

=

(2.36)

Dalam hal kotak tiga dimensi yang memuat atom-atom, di mana gaya konservatif bekerja, atom-atom dapat digerakkan dengan gaya yang diperlukan dari turunan pertama fungsi potensial, sehingga percepatan tiap-tiap atom dapat ditentukan. Trajectory yang menggambarkan posisi, kecepatan dan percepatan atom-atom dalam berbagai variasi waktu dibutuhkan untuk menyelesaikan persamaan (2.36). Energi potensial, V adalah suatu fungsi posisi atomik (3N), ri, dari semua N atom dalam sistem. Persamaan (2.36) harus dipecahkan secara numerik. Algoritma yang paling umum digunakan adalah algoritma Verlet, algoritma Leapfrog, algoritma Velocity Verlet, algoritma Beemans dan algoritma Predictor Corrector. Algoritma yang dipilih harus diprioritaskan bahwa algoritma tersebut dalam keadaan tetap terjaga dengan energi momentum dan secara komputasi efisien dan dapat bekerja dalam langkah waktu yang lama untuk integrasi (Armunanto, 2004). Suatu algoritma sederhana untuk integrasi persamaan numerik dalam selang waktu t dapat diperoleh dari persamaan ekspansi Taylor untuk v(t) : ) + + = ( Jika dilakukan ) = (

+ + + +

(2.37) (2.38)

subtracting dan penyusunan ulang terhadap kedua persamaan

tersebut, maka diperoleh persamaan (2.39) : )+ + = + (


(2.39)

di mana (t) atau ( )t adalah rata-rata kecepatan spontan partikel A pada saat t, sedangkan percepatan a dihitung dari gaya. Dengan menggunakan prosedur dari persamaan ekspansi Taylor dari rA pada saat + diperoleh : (2.40)

Persamaan (2.39) dan (2.40) disebut algoritma leapfrog yang mana dianggap sebagai salah satu teknik yang paling akurat dan paling stabil untuk digunakan dalam dinamika molekuler. Selang waktu t yang digunakan dalam simulasi dinamika molekuler adalah 1 fs. Dalam algoritma ini, mula-mula kecepatan

)= ) + + + (+ (

24 dihitung pada saat + , kemudian dihitung r pada saat + . Dengan cara ini, kecepatan melompat mendahului posisi, kemudian posisi melompat mendahului kecepatan. Keunggulan teknik ini adalah bahwa kecepatan dihitung secara eksplisit (Hinchliffe, 2003).

Algoritma Verlet diturunkan dari persamaan ekspansi Taylor untuk rA(t) :


)= ) + + ) + ( (+ ( )= ) + ) + ( ( (

(2.41) (2.42)

dengan mengasumsikan bahwa term dengan orde 3 dan orde yang lebih besar dapat diabaikan, maka diperoleh :
) = 2 ) )+ ) ( (+ ( (

Persamaan (2.43) dikenal dengan algoritma Verlet. Percepatan diperoleh dari gaya yang dialami oleh atom A pada saat t, sedangkan kecepatan diperoleh dari formula differensiasi : )= (
( ) ( )

(2.43)

(2.44)

Algoritma Verlet menggunakan posisi dan percepatan dan posisi pada saat untuk menghitung posisi baru pada saat + . Keseluruhan proses ini dirangkum dalam iterasi (Hinchliffe, 2003). Suatu varian adalah algoritma kecepatan Verlet yang hanya memerlukan posisi, kecepatan dan percepatan yang semuanya dihubungkan pada step waktu yang sama, sehingga diperoleh formula :
)= ) + + ) ( (+ ( ) = + (+ +

Algoritma lain yang sering digunakan adalah algoritma LavenbergMarquardt yang dapat memberikan penyelesaian numerik terhadap masalah fungsi minimisasi nonlinier, atas parameter ruang fungsi dalam bidang matematika dan komputasi. Algoritma Lavenberg-Marquardt sangat populer digunakan untuk fitting kurva pada beberapa aplikasi perangkat lunak untuk menyelesaikan masalah

(2.45) (2.46)

25 fitting kurva. Masalah minimisasi ini muncul dalam fitting kurva kuadrat terkecil dan pemrograman nonlinier. Algoritma Beeman memiliki keunggulan dalam hal perhitungan yang lebih akurat terhadap nilai kecepatan dan penjagaan nilai energi yang lebih baik. Kelemahan algoritma ini adalah bentuknya yang kompleks sehingga memerlukan waktu komputasi yang mahal. II.9 Metode Hibrida MK/MM Dalam simulasi DM MK/MM digunakan suatu fungsi gaya Smoothing (Smoothing function) yang diterapkan untuk daerah gaya transisi antara MK dan MM. Gaya sistem didefinisikan sebagai : / = + (2.47)

di mana FMM adalah gaya MM untuk sistem penuh, FMK adalah gaya MK dalam daerah MK, FMK/MM adalah gaya MM di daerah MK dan S menunjukkan fungsi Smoothing. Sm(r) = 1 Sm(r) =
, ( )

untuk untuk untuk

r r1 r r1

Sm(r) = 0

r1 < r r0

(2.48)

Migrasi bebas ligan-ligan di antara daerah MK dan daerah MM dimungkinkan dalam pendekatan ini (Armunanto, 2004). Ilustrasi kotak simulasi menggunakan metode hibrida MK/MM ditunjukkan oleh Gambar II.1.

Wilayah MM

Wilayah MK

Wilayah Transisi Gambar II.2 Ilustrasi kotak simulasi dua dimensi (Armunanto, 2004)

26 Wilayah MK (mekanika kuantum) terdiri atas ion dan molekul-molekul pelarut yang terkoordinasi pada solvasi kulit pertama sedangkan wilayah MM (Mekanik Molekuler) merupakan wilayah di mana molekul-molekul pelarut terkoordinasi pada solvasi kulit kedua dan molekul-molekul pelarut yang berada pada sistem ruah. Sedangkan wilayah transisi merupakan wilayah yang berada di antara wilayah MK dan MM. II.10 Batas Berulang dan Aturan Bayangan Terkecil Konsep batas berulang merupakan salah satu konsep yang penting dalam simulasi. Konsep ini merupakan suatu upaya yang menjadikan simulasi yang hanya menggunakan ratusan atom atau molekul, dapat seperti tak terbatas jumlah atom atau molekulnya sehingga mendekati keadaan yang nyata (Armunanto, 2004). Gambar II.2 merupakan ilustrasi yang menggambarkan konsep kondisi batas berulang.

Gambar II.3 Sistem kondisi batas berulang dalam 2 dimensi (Armunanto, 2004). Berdasarkan ilustrasi pada Gambar II.2, kotak yang berada di tengah merupakan kotak di mana simulasi dilakukan, sedangkan kotak-kotak di sekitarnya merupakan duplikat dari kotak simulasi. Menurut Allen (2004), setiap partikel yang berada di dalam kotak simulasi memiliki duplikat pada kotak-kotak yang berada di sekitar kotak simulasi. Arah panah menggambarkan bahwa partikel mengisi seluruh ruang kotak dengan kecepatan yang sama. Dalam konsep ini, jika

27 satu atom meninggalkan kotak simulasi, maka atom tersebut akan digantikan oleh atom lain dengan kecepatan yang sama, masuk dari arah kotak lain yang berada di belakang arah perpindahan atom, oleh karena itu jumlah atom yang berada di dalam kotak simulasi dapat dipertahankan. Lebih jauh, tidak ada atom yang mengalami gaya antar muka akibat adanya atom yang hilang/berpindah (Allen (2004) dalam Urip (2009)). Dalam setiap kotak diterapkan canonical ensemble di mana jumlah atom (N), volum kotak (V) dan temperatur sistem (T) dijaga konstan selama simulasi dijalankan. Perhitungan gaya (energi) non-bonded antar atom memerlukan waktu yang sangat lama dalam suatu simulasi komputer. Oleh karena itu maka perlu dilakukan suatu evaluasi. Cara yang paling banyak digunakan untuk mengevaluasi interaksi bukan ikatan adalah dengan menggunakan non-bonded cutoff dan menerapkan aturan bayangan terkecil, MIC (minimum image convention). Dalam MIC, energi yang dihitung hanya energi atom-atom yang paling dekat dan dengan menerapkan jarak cutoff yang berarti interaksi antara semua pasangan atom yang lebih besar dari jarak cutoff dianggap nol. Dalam hal batas berulang kondisi cutoff tidak boleh lebih dari setengah ukuran kotak simulasi. Dalam prakteknya, kebanyakan interaksi jarak dekat biasanya tidak stabil dan dapat diabaikan di luar jarak cutoff (Armunanto, 2004). Jika diamati lebih jauh, satu atom dapat berinteraksi dengan atom yang terdapat pada kotak tetangganya (yang juga merupakan suatu gambaran mirip suatu atom yang ada pada kotak simulasi), karena atom tetangga tersebut masuk dalam jarak maksimum perhitungan gaya. Jika pendekatan ini diterapkan maka program menjadi lebih sederhana dan daya komputer yang diperlukan untuk perhitungan menjadi lebih kecil. Konsep aturan banyangan terkecil dalam kotak simulasi dapat

diilustrasikan dengan Gambar II.3. Dalam konsep aturan bayangan terkecil ini, digambarkan bahwa pada kotak yang berada di tengah (Gambar II.3), terdapat lingkaran dan notasi r cut (sebagai jari-jari cutoff). Notasi r cut merupakan jarak maksimum yang biasanya diterapkan ketika menghitung gaya antara dua atom. Dalam peristiwa interaksi ini, keajegan jumlah atom pada kotak simulasi diabaikan.

28

Gambar II.4 Representasi 2 dimensi dari MIC (Armunanto, 2004). Interaksi dapat juga terjadi antara satu atom dengan atom lainnya dalam kotak simulasi. Berdasarkan peristiwa ini, perhitungan interaksi tak-berikatan (non-bonded) hanya dilakukan untuk atom-atom yang paling dekat, sehingga tidak memerlukan kebutuhan komputasi yang besar. Konsep ini dikenal dengan aturan bayangan terkecil atau MIC (Armunanto, 2004). II.11 Analisis Struktur dan Dinamika Solvasi Analisis struktur solvasi ion dalam suatu pelarut dilakukan untuk mengidentifikasi struktur kompleks karakteristik meliputi jarak ion-ligan, bilangan koordinasi dan sudut ikatan ligan-ion-ligan. Analisis struktur yang dilakukan adalah analisis RDF (Radial Distribution Function), CND (Coordination Number Distribution) dan ADF (Anguler Distribution Function). Fungsi Distribusi Radial atau fungsi distribusi pasangan atau fungsi

korelasi pasangan g(r) merupakan probabilitas untuk menemukan sebuah atom dalam kulit dr pada jarak r dari titik atom terpilih.

Gambar II.5 Diskretisasi ruang untuk evaluasi fungsi distribusi radial.

29 Pemisahan ruang fisis/volum model ke dalam kulit dr, memungkinkan untuk

menentukan jumlah atom dn(r) pada jarak antara r dan r+dr. dn(r) = g(r) 4 r2 dr

(2.49)

di mana N menunjukkan jumlah total atom, V volum model dan g(r) adalah fungsi distribusi radial. Dalam notasi ini, volum kulit dengan ketebalan dr didekati sebagai Vshell = (r + dr)3 - r3 4 r2 dr. Jika terdapat lebih dari satu spesies kimia, maka fungsi distribusi radial parsial g(r) dapat dihitung sebagai :
()
( = )

di mana c =

adalah ion dan spesies adalah ligan, maka bilangan koordinasi dapat ditentukan sebagai berikut :
) = 4 ) , ( (

, N adalah jumlah spesies dalam volum V. Jika spesies


(2.50)

(2.51)

) adalah jumlah rata-rata spesies dalam kulit sferis (r1-r2). di mana ( autocorrelation functions (VACF), yang didefinisikan sebagai : )= (
) ) ( ( ) ( ( )

Analisis dinamika yang meliputi sifat-sifat spektra seperti frekuensi

librasional dan vibrasional dari gerakan ligan yang terjadi digunakan velocity

(2.52)

di mana N adalah jumlah partikel, Nt adalah jumlah waktu ti dan menunjukkan komponen kecepatan dari partikel j. Kuat spektrum VACF dihitung dengan Fourier transformation. Frekuensi librasional dan vibrasional dari molekulmolekul ligan dihitung menggunakan pendekatan analisis koordinat normal. Enam kuantitas skalar masing-masing Q1, Q2 dan Q3, menunjukkan vibrasi ulur simetri, vibrasi tekuk dan vibrasi ulur asimetri, sedangkan Rx, Ry dan Rz menunjukkan rotasi molekul-molekul ligan pada tiga sumbu utama (x, y, z). Mean residence time (MRT) atau waktu tinggal rata-rata molekul-molekul ligan pada kulit kedua dari ion dihitung dengan persamaan :
) ) = ; ( ( ,

(2.53)

30 ) adalah jumlah molekul ligan (air) semu mula-mula dalam kulit di mana (
koordinasi dan masih di sana setelah waktu t yang digunakan, parameter melewati kulit koordinasi hanya sementara dan kembali dalam waktu .

diperkenalkan untuk menghindari penghitungan molekul-molekul ligan (air) yang

Fungsi korelasi waktu reorientasi (RTCF) dari molekul ligan (air) dihitung sebagai: ( ) = (0) ( ) (2.54)

di mana Pl adalah polynomial Legendre, orde l dan adalah suatu vektor satuan sepanjang sumbu i. Sebagai pangkat mundur untuk MRT dan RTCF, digunakan bilangan pangkat fitting : ) = exp ( ( /) (2.55)

di mana a dan adalah parameter fitting, dan menggambarkan waktu relaksasi yang sesuai. Labilitas kulit solvasi dapat diukur dengan menggunakan sustainabilitas proses pertukaran, di mana Sex adalah koefisien sustainabilitas yang didefinisikan sebagai :

. di mana adalah jumlah semua transisi yang melampau batas kulit, adalah

(2.56)

rata-rata jumlah perubahan yang tetap (persist) setelah 0,5 ps. Invers, 1/, adalah koordinasi. II.12 Mekanika Statistik Mekanika statistik adalah cabang fisika yang mengaplikasikan teori probabilitas yang mana menggunakan alat matematika untuk mempelajari

menunjukkan jumlah upaya yang diperlukan untuk mencapai perubahan tetap kulit

kelakuan termodinamika sistem yang tersusun atas partikel-partikel dalam jumlah besar. Mekanika statistik memberikan suatu framework untuk menghubungkan sifat-sifat individual atom-atom dan molekul-molekul terhadap sifat-sifat

31 makroskopik ruah dari material-material yang dapat diamati dalam kehidupan sehari-hari, misalnya menjelaskan termodinamika sebagai hasil dari deskripsi mekanika kuantum/mekanika klasik dari statistik dan mekanika pada level mikroskopik. Suatu konsep kunci dalam mekanika statistik adalah ensemble. Ensemble adalah suatu gabungan microstate sistem molekul-molekul yang umumnya memiliki satu atau lebih sifat ekstensif. Microstate dari suatu sistem molekul adalah suatu spesifikasi lengkap dari semua posisi dan momentum dalam molekul. Nilai suatu sifat, A, adalah suatu nilai yang bergantung pada posisi dan momentum dari N partikel yang menyusun sistem. Nilai sesaat dari sifat A dapat ditulis A(pN(t), rN(t)) di mana pN(t) dan rN(t) adalan N momentum dan N posisi pada saat t, selanjutnya nilai sesaat dari sifat A berfluktuasi sebagai suatu hasil interaksi antara partikel-partikel. Nilai yang terukur secara eksperimen adalah suatu rata-rata A dalam selang waktu pengukuran yang disebut waktu rata-rata (time average). Rata-rata nilai sifat diperoleh dari pendekatan integral dalam selang pengukuran sampai waktu tak hingga (Armunanto, 2004) : ), ( ) = lim ( nilai dari sifat-sifat sistem

(2.57) dengan

Perhitungan

rata-rata

dilakukan

mensimulasikan kelakuan dinamika sistem. Gaya yang bekerja pada tiap-tiap atom untuk berinteraksi dengan atom-atom lain dalam sistem dapat dihitung dengan membedakan fungsi energi. Gaya yang bekerja pada tiap-tiap atom menghasilkan percepatan yang dapat ditentukan melalui hukum Newton II. Integrasi dari persamaan gerak akan menghasilkan suatu trajectory yang menggambarkan bagaimana posisi, kecepatan dan percepatan dari pertikel-partikel pada waktu tertentu dan dari rata-rata nilai sifat dapat ditentukan menggunakan persamaan ekivalen numerik (2.57). Atom-atom atau molekul-molekul dalam jumlah besar dalam macroscopic state mengakibatkan penentuan suatu konfigurasi awal dari sistem tidak dapat dilakukan. Berdasarkan mekanika statistik yang dilakukan oleh Boltzmann dan Gibbs, suatu sistem tunggal yang berevolusi dalam waktu tertentu digantikan oleh sejumlah besar replikasi sistem yang diprioritaskan

32 secara simultan. Waktu rata-rata kemudian digantikan oleh suatu rata-rata ensemble : = ( , )( , ) (2.58)

Suatu rata-rata ensemble atau nilai ekspektasi, adalah nilai rata-rata sifat A memontum dari semua partikel. Probabilitas densitas, ( , ) adalah

melalui semua replikasi dari ensemble yang dibentuk oleh simulasi. Integral ganda menunjukkan integral 6N yang mengisyaratkan integral untuk 6N posisi dan ) dan posisi probabilitas menemukan suatu konfigurasi dengan momentum ( ). Sesuai dengan hipotesis ergodic, rata-rata ensemble sama dengan rata-rata ( densitas adalah distribusi Boltzmann :

waktu. Dalam kondisi jumlah partikel, volum dan temperatur konstan probabilitas

di mana ( , ) adalah energi, Q adalah fungsi partisi, kB adalah tetapan Boltzmann dan T adalah temperatur. Fungsi partisi untuk canonical ensemble : dengan istilah Hamiltonian, (ensemble pada N, V dan T konstan) dengan jumlah N partikel dapat dijelaskan

( , ) =

(2.59)

dapat dipertimbangkan sebagai energi total, ( , ) di mana Hamiltonian, ( ) dan energi potensial ( ) dari sistem. sama dengan jumlah energi kinetik, Faktor N! timbul dari indistinguisibilitas partikel-partikel, dan faktor diperlukan untuk memastikan bahwa fungsi partisi sama dengan mekanika kuantum hasil sebuah partikel dalam kotak (Armunanto, 2004).

= !

(2.60)

BAB III
LANDASAN TEORI, HIPOTESIS DAN RANCANGAN PENELITIAN

III.1 Landasan Teori Solvasi adalah proses tarik menarik (attraction) dan penggabungan (association) antara molekul-molekul pelarut dengan suatu molekul atau ion suatu zat terlarut (solute). Ion-ion yang terlarut dalam suatu pelarut akan tersebar dan kemudian dikelilingi oleh molekul-molekul pelarut. Menurut IUPAC, solvasi adalah suatu interaksi zat terlarut dengan pelarut di mana melalui stabilisasi zat terlarut dalam larutan. Dalam keadaan tersolvasi, sebuah ion dalam larutan akan terkomplekskan oleh molekul-molekul pelarut. Struktur kompleks solvasi ion dalam pelarut dapat dipengaruhi oleh sifat ion dan sifat pelarut (ligan). Dalam penelitian ini, dibandingkan sifat struktur dan dinamika pada solvasi ion Y2+ dalam amoniak cair dan dalam air. Perbandingan sifat ligan amoniak dengan air antara lain : ukuran molekul amoniak lebih besar dibandingkan dengan molekul air, tetapan dielektrik amonia lebih rendah daripada air, ikatan hidrogen antar molekul amoniak lebih lemah daripada ikatan hidrogen antar molekul air dan secara alamiah dalam deret spektrokimia ligan amoniak lebih kuat dibanding air (Canham, 2000). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode dinamika molekuler mekanika kuantum/mekanika molekuler atau DM MK/MM

(Armunanto, 2004). Metode ini merupakan metode hibrida, di mana bagian yang berada di daerah MK dihitung dengan mekanika kuantum dan bagian yang berada pada daerah MM dihitung dengan mekanika molekuler yang didasarkan pada konsep Newtonian, sedangkan bagian yang berada di daerah antara MK dan MM digunakan fungsi Smoothing yang memungkinkan terjadinya migrasi di antara daerah MK dan MM. Gaya interaksi antar partikel dalam sistem simulasi dihitung dengan menggunakan persamaan (2.47), di mana FMM adalah gaya MM untuk sistem penuh dalam kotak simulasi, FMK adalah gaya MK dalam daerah MK dan FMK/MM adalah gaya MM di daerah MK dan S menunjukkan fungsi gaya Smoothing. Perhitungan gaya MM di daerah MK memiliki akurasi yang rendah sehingga 33

34 dalam perhitungan gaya sistem harus ditiadakan dengan mengurangi gaya sistem dengan S(FMK/MM) dan sebagai gantinya ditambahkan gaya MK yang dihitung hanya di daerah MK. Dalam kotak simulasi di mana terdapat sebuah ion Y2+ dan ratusan molekul pelarut, terjadi interaksi antar partikel yang melibatkan badan banyak (many-body potential). Dalam sistem badan banyak, energi potensial sistem diekspresikan berdasarkan potensial Murrell-Mottram (Lloyd, 1998) : di mana () merupakan energi potensial sistem badan dua (two-body potential), () merupakan energi potensial sistem badan-tiga (three-body potential) dan ( ) merupakan energi potensial sistem badan-N (N-body potential). Simulasi dinamika molekuler yang melibatkan badan banyak (many-body) biasanya dilakukan dengan menggunakan potensial (2+3)-badan, sebab pengaruh badan banyak dengan N>3 biasanya sangat kecil sehingga dapat diabaikan. Dalam kenyataannya, simulasi dengan potensial (2+3)-badan memerlukan waktu dan biaya komputasi yang mahal. Fitting energi untuk simulasi menggunakan potensial 3-badan ditunjukkan oleh persamaan (2.7). Simulasi menggunakan potensial yang dianggap = () + () + () + . +( ) (3.1)

3-badan merupakan koreksi terhadap potensial 2-badan

bermasalah karena tinjauan 2-badan merupakan tinjauan minimal interaksi ionpelarut dengan mengabaikan interkasi 3-badan, sehingga kemungkinan terjadi kesalahan dalam perhitungan sangat dimungkinkan. Fitting energi yang melibatkan 3-badan diperlukan lebih kurang 12000 titik energi, sehingga untuk simulasi yang melibatkan logam berat dengan menggunakan basis set yang besar, diperlukan waktu perhitungan yang cukup besar. Penggunaan potensial 2-badan menjadi salah satu pilihan untuk mengatasi persoalan ini dan untuk menjamin agar penggunaan potensial 2-badan terhindar dari kesalahan yang besar, maka harus divalidasi dengan beberapa metode perhitungan yang dianggap memiliki kualitas perhitungan yang teliti seperti metode MP2 (Mller-Plesset Perturbation Theory ) dan metode CC (Coupled Cluster). Tingkat akurasi hasil simulasi dengan menggunakan potensial 2-badan, dapat dibandingkan dengan hasil penelitian yang tersedia. Simulasi memerlukan data input yang dapat menggambarkan keadaan

yang sebenarnya dan dapat dipahami dengan baik oleh bahasa program

35 (komputer). Dalam penelitian ini, penentuan koordinat sistem pelarut dijaga dalam keadaan rigid (sudut dan panjang ikatan tetap), didasarkan atas data hasil eksperimen dalam fasa gas untuk amoniak dan air, di mana jarak N-H adalah 1,0124 , sudut ikatan H-N-H adalah 106,68, jarak OH adalah 0.9601 dan sudut ikatan H-O-H adalah 104.47 (Armunanto, 2004). Simulasi ion Y2+ dalam amoniak dilakukan pada temperatur 235,16 K, massa jenis sistem 0,690 g/cm3 dan konstanta dielektrik 22,5, sedangkan simulasi ion Y2+ dalam air dilakukan pada temperatur 298,16 K, massa jenis sistem 0,99072 g/cm3 dan konstanta dielektrik 78,5. Salah satu data penting yang dihasilkan pada penelitian ini adalah energi. Energi solvasi adalah energi yang dilepaskan pada pelarutan satu mol suatu ion dalam pelarut sehingga terbentuk larutan encer. Proses hidrasi (solvasi) suatu ion M+n dalam pelarut air dapat ditulis : M+n(g) + H2O(l) M+n(aq) (3.2)

di mana M+n(aq) menunjukkan ion-ion yang dikelilingi oleh molekul-molekul air dan terdispersi dalam larutan. Energi yang dilepaskan berasal dari interaksi yang terbentuk oleh ion-ion dan molekul-molekul air. Dalam studi ini, energi hidrasi ion
Y(II) diperoleh dari simulasi DM Klasik ( ) dan DM MK/MM ( ) yang

ditentukan dengan formalisasi (Armunanto, 2004) :


= Ei-O + Ei-H + RFi-O + RFi-H = +

(3.3) (3.4)

di mana i-O dan i-H berturut-turut menunjukkan interaksi ion-oksigen dan


ion-hidrogen, RF adalah medan reaksi, dan berturut-turut menunjukkan

energi hidrasi di daerah MK yang dihitung dengan potensial klasik dan ab initio mekanika kuantum. Energi dihitung menggunakan formalisasi :
di mana dan =

(3.5)

berturut-turut menunjukkan energi ab initio di

daerah MK untuk ion-air dan sistem air.

36 Solvasi ion oleh molekul-molekul pelarut membentuk suatu kompleks solvasi yang dapat dinyatakan dengan bilangan koordinasi. Harga bilangan koordinasi dapat mempengaruhi struktur geometri kompleks solvasi yang ditunjukkan dengan sudut ikatan dan panjang ikatan antara ion dan molekulmolekul pelarut. Sifat struktural tersebut dapat ditentukan dengan analisis RDF, CND dan ADF dari konfigurasi koordinat (data trajectory). Sifat dinamika solvasi dapat ditinjau dari interaksi antar atom dalam sistem molekul. Interaksi antara dua atom dapat digambarkan dengan hukum Hooke, dengan mengasumsikan bahwa kedua atom dihubungan oleh sebuah pegas. Jika massa kedua atom adalah m1 dan m2 maka gabungan dua atom tersebut menghasilkan massa tereduksi yang dihitung dari : =

(3.6)

Sedangkan frekuensi vibrasi yang terjadi secara otomatis adalah : =


(3.7)

di mana k adalah tetapan gaya (tetapan pegas). Vibrasi stretching (yang melibatkan gerakan ulur dan kompresi) dalam posisi ikatan secara alami dihasilkan karena adanya kenaikan energi potensial. Hubungan perubahan energi diganbarkan dengan persamaan yang mirip hukum Hooke, dengan menggunakan term kubus. Term digunakan untuk membantu peningkatan uluran yang terlalu tajam dari ikatan. = 143,88
( 1 2( ) )

dari

(3.8)

di mana ks adalah tetapan gaya stretching (mdyne.-1), adalah panjang ikatan natural () dan adalah panjang ikatan actual (). Vibrasi tekuk (bending) juga dapat terjadi karena adanya peningkatan energi. Energi potensial dikaitkan dengan vibrasi bending ditunjukkan oleh perasamaan : = 0,21914 ( ) 1 + 7. 10( ) (3.9)

37 di mana adalah tetapan gaya assosiasi, adalah sudut natural ikatan, adalah 2003). Analisis kuat spektrum velocity autocorrelation functions (VACF) menggunakan persamaan (2.52) diterapkan untuk mengamati gerakan vibrasi ulur simetri dan asimetri, vibrasi tekuk (Q1,Q3 dan Q2) dan rotasi dalam arah sumbu x, y dan z (Rx, Ry dan Rz). Analisis Mean Residence Time (MRT) atau waktu tinggal rata-rata molekul pelarut pada kulit kedua digunakan untuk mengamati stabilitas molekul pelarut pada kulit kedua. Sifat labilitas kulit solvasi dapat diukur dengan sustainabilitas proses pertukaran, yang dinyatakan dengan koefisien sustainabilitas, Sex (Armunanto, 2004). Studi eksperimen dan teoritis yang telah dilakukan terhadap reaktifitas atom yttrium terhadap amoniak menunjukkan bahwa hasil reaksi antara atom yttrium dengan molekul amoniak menghasilkan senyawa Y(NH2)2(NH3)x dan YNH(NH3)x (Simard (2003) dan Martinez (2006)). Studi eksperimen dan teoritis terhadap solvasi ion Y3+ dalam air menggunakan larutan garam yttrium(III)halida menunjukkan bahwa struktur solvasi ion Y3+ dalam air cenderung bersifat rigid dengan bilangan koordinasi 8 (Buzko dkk (2006), Marques (1992), Ramos dkk (2001)), namun dalam studi teoritis menggunakan sistem 1 ion Y3+ dalam 55,5 molekul air, menghasilkan kompleks solvasi yang fleksibel. Studi teoritis maupun studi eksperimen terhadap solvasi ion Y2+ dalam amoniak cair dan dalam air, sejauh ini belum banyak dilakukan, sehingga boleh jadi studi ini merupakan studi awal. III.2 Hipotesis Dasar pemikiran Air dan protein merupakan senyawa yang memiliki peranan penting dalam tubuh makhluk hidup. Dalam molekul air terdapat atom O dan dalam molekul protein terdapat gugus amina yang mengandung N. Baik atom O maupun N merupakan atom yang memiliki sifat penting karena memiliki lone pair electron sehingga molekul air maupun gugus amina dapat berfungsi sebagai basa Lewis. Interaksi ion logam dengan molekul air dan gugus amina (amoniak) dapat dipandang sebagai interaksi asam-basa Lewis.

sudut actual ikatan, dan bilangan 0,21914 adalah faktor konversi (Hinchliffe,

38 Ion Y2+ merupakan ion logam golongan transisi dengan konfigurasi

elektron [Ar] 3d1 4s0, sehingga terdapat 1 elektron yang tidak berpasangan dalam orbital d, menyebabkan ion Y2+ secara teoritis polar. Interaksi antar partikel dengan tingkat kepolaran yang sebanding lebih disukai dibandingkan dengan antar molekul dengan kepolaran yang kurang sebanding. Tingkat kepolaran suatu molekul dapat ditinjau berdasarkan harga momen dipolnya. Jika dibandingkan dengan molekul amoniak ( = 1,47 D), maka molekul air ( = 1,85 D) lebih polar. Perbedaan tingkat kepolaran ini memungkinkan terjadinya perbedaan sifat struktur kompleks solvasi jika suatu ion dengan konfigurasi elektron tertentu dilarutkan dalam pelarut amoniak dan dalam air. Beberapa penelitian yang telah dilakukan umumnya menghasilkan data yang sesuai dengan pemikiran tersebut. Solvasi ion Ag+ dan ion Au+ dalam air (Armunanto, 2003), solvasi ion Y3+ dalam air (Bowron, 2006) menghasilkan struktur kompleks solvasi yang fleksibel. Solvasi ion Ag+ dan ion Au+ dalam amoniak cair (Armunanto, 2003) menghasilkan struktur kompleks solvasi yang rigid, sedangkan solvasi ion Sc+ dalam amoniak cair (Urip, 2009) menghasilkan struktur kompleks solvasi yang fleksibel. Fakta ini mengindikasikan bahwa suatu ion yang tidak memiliki elektron tunggal pada orbital d cenderung membentuk kompleks solvasi yang fleksibel dalam pelarut air namun cenderung membentuk kompleks solvasi yang rigid dalam pelarut amoniak cair. Efek sebaliknya cenderung terjadi untuk ion-ion yang memiliki elektron tak berpasangan pada orbital d. Hipotesis Jika efek badan banyak diterapkan dalam simulasi dinamika molekuler terhadap ion Y2+ dalam pelarut amoniak cair dan dalam air, maka ion Y2+ tersolvasi membentuk struktur kompleks pada kulit pertama yang cenderung fleksibel dalam pelarut amoniak cair dan cenderung rigid dalam pelarut air. III.3 Rancangan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia Komputasi AIC UGM dari bulan Agustus 2010 sampai dengan bulan Juni 2011. Penelitian diawali dengan menentukan koordinat sistem pelarut yang didasarkan atas data hasil eksperimen. Atom-atom dalam molekul pelarut dijaga pada jarak ikatan dan sudut

39 ikatan tetap seperti ditunjukkan pada Gambar III.1 (Armunanto, 2004). Basis set terbaik ditentukan berdasarkan data energi interaksi ion-pelarut (E(r)).

Berdasarkan basis set terpilih, dilakukan kalkulasi ab initio single point pada jarak 1,40 r 15 dan sudut 0 180 dan 0 90, kemudian dilakukan fitting energi untuk mendapatkan parameter optimasi dan persamaan fungsi potensial. Potensial pasangan NH3-NH3 dan H2O-H2O diperoleh dari hasil penelitian sebelumnya (Hanongbua dkk, 1988). Simulasi dilakukan dengan membagi sistem menjadi dua wilayah, yaitu ion Y2+dan seluruh molekul pelarut pada solvasi kulit pertama dihitung menggunakan konsep MK dan seluruh isi kotak simulasi dihitung menggunakan konsep MM (sebelum simulasi DM MK/MM dilakukan, terlebih dahulu dilakukan simulasi DM klasik yang hanya menggunakan potensial pasangan kemudian dilakukan simulasi yang menggunakan fungsi potensial untuk simulasi MK/MM), sedangkan untuk wilayah transisi antara MK dan MM digunakan fungsi Smoothing.
Z

Y
r

2+

Y2+

(a)

(b)

Gambar III.1 Geometri dalam koordinat kartesian : (a) sistem Y2+-H2O dan (b) sistem Y2+-NH3 Data-data penting yang dihasilkan pada simulasi DM MK/MM adalah data trajectory yang menggambarkan konfigurasi koordinat dan velocity yang

menggambarkan konfigurasi gaya. Data trajectory digunakan untuk analisis sifat struktur yang meliputi analisis RDF, CND dan ADF. Data velocity digunakan untuk analisis sifat dinamika struktur.

BAB IV METODE PENELITIAN


IV.1 Alat Dan Bahan Perangkat keras Seperangkat komputer dengan Prosesor Intel Pentium Core 2 Quad 2,4 GHz, Random Access Memory (RAM) efektif 3,34 GB, Video Graphic Array Card NVIDIA 512 MB, Hard disk dengan kapasitas sebesar 500 GB dan Monitor FLATTRON. Perangkat lunak GAUSS VIEW, GAUSSIAN 98, GAUSSIAN 03, TURBOMOLE 5.10, QM/MM MD 1.6, FORTRAN 95, XMGRACE dan RASMOL. Sistem yang digunakan 1. Satu ion Y2+ dan 215 molekul amoniak cair. 2. Satu ion Y2+ dan 199 molekul air. IV.2 Prosedur Kerja 1. Penentuan koordinat sistem Y2+-NH3 dan Y2+-OH2 Koordinat sistem Y2+-NH3 dan Y2+-OH2 ditentukan menggunakan GAUSS VIEW didasarkan pada data hasil eksperimen (Armunanto, 2004) seperti dimodelkan pada Gambar III.1 dan terangkum pada Tabel IV.1 dan Tabel IV.2. Tabel IV.1. Koordinat Y2+-NH3 dalam sistem koordinat kartesian Atom Y N H H H X () 0,000000 0,000000 0,000000 0,812002 -0,812002 Y () 0,000000 0,000000 0,937002 -0,468001 -0,468001 Z () 2,470000 0,000000 -0,383001 -0,383001 -0,383001

Tabel IV.2. Koordinat Y2+-H2O dalam sistem koordinat kartesian Atom Y O H H X () 0,00000 0,00000 -0,75740 -0,75740 40 Y () 0,00000 0,00000 0,00000 0,00000 Z () 2,32000 0,00000 -0,58708 -0,58708

41

2. Penentuan himpunan basis Himpunan basis yang digunakan dalam simulasi ditentukan dengan cara menghitung harga E(r) counterpoise pada tingkat teori UHF. Himpunan basis terbaik ditunjukkan dengan alur grafik E(r) vs r yang menunjukkan interaksi yang ideal antara ion dan molekul pelarut, dengan harga BSSE relatif kecil dan akan menghasilkan data E(r) yang tidak berbeda secara signifikan pada tingkat MP2 dan CCSD. 3. Fitting energi Persamaan analitis potensial pasangan Y2+-NH3 dan Y2+-OH2, dilakukan dengan kalkulasi ab initio terhadap titik-titik energi yang berjarak 1,40 r 15 pada sudut 0 180 dan 0 90 seperti ditunjukkan pada Gambar III.1, menggunakan himpunan basis DZVP (DFT Orbital) (Godbout, 1992) untuk Y dan Def2-SV(P) (Kaupp, 1991) untuk N dan H (amoniak) dan O dan H (air). Fungsi potensial untuk interaksi NH3-NH3 dan H2O-H2O diperoleh dari hasil penelitian terdahulu (Hanongbua dkk, 1988). Fitting energi dilakukan terhadap 3645 titik energi interaksi Y2+-NH3 dan 4445 titik energi interaksi Y2+-H2O dengan menggunakan metode kuadrat terkecil dari Lavenberg-Marguart. 5. Simulasi DM MK/MM 5.1 Sistem ion Y(II) dalam amoniak cair Simulasi DM MK/MM dilakukan terhadap sistem 1 ion Y2+ dalam 215 molekul amoniak. Kondisi sistem dijaga pada temperatur 235,16 K, densitas sistem 0,690 g/cm3, cut off untuk interaksi Y2+-NH3 adalah 12,0 dan cut off untuk interaksi non-Coulombic Y-N dan Y-H berturut-turut adalah 6,0 dan 5,0 . 5.2 Sistem ion Y(II) dalam air Simulasi DM MK/MM dilakukan terhadap sistem 1 ion Y2+ dalam 199 molekul air. Kondisi sistem dijaga pada temperatur 298,16 K, densitas sistem 0,99072 g/cm3, cut off untuk interaksi Y2+-H2O adalah 12,0 dan cut off untuk interaksi non-Coulombic Y-O dan Y-H berturut-turut adalah 5,0 dan 3,0 .

42 Protokol Simulasi Simulasi dilakukan dengan membagi sistem menjadi dua wilayah, yaitu ion Y2+ dan seluruh molekul pelarut pada solvasi kulit pertama dihitung menggunakan konsep MK dan seluruh isi kotak simulasi dihitung menggunakan konsep MM (sebelum simulasi MK/MM dilakukan, terlebih dahulu dilakukan simulasi DM klasik yang hanya menggunakan potensial pasangan kemudian dilakukan simulasi yang menggunakan fungsi potensial untuk simulasi MK/MM), sedangkan untuk wilayah transisi antara MK dan MM digunakan fungsi Smoothing. Nilai gaya pada sistem dihitung menggunakan persamaan (2.47) dan pada keadaan transisi dihitung dengan persamaan (2.48). 6. Analisis sifat karakteristik struktur solvasi Analisis sifat karakteristik struktur dilakukan terhadap data konfigurasi koordinat hasil simulasi untuk menentukan distribusi jarak (RDF), distribusi bilangan koordinasi (CND) dan distribusi sudut (ADF). Analisis RDF digunakan untuk menentukan jarak terdekat, jarak terjauh dan jarak rata-rata antara ion dan molekul pelarut, baik pada solvasi kulit pertama maupun kulit kedua. Analisis CND digunakan untuk menentukan bilangan koordinasi molekul pelarut yang berada pada kulit pertama dan kedua. Analisis ADF digunakan untuk menentukan sudut ikatan pelarut-ion-pelarut dalam struktur geometri kompleks solvasi pada kulit pertama. Analisis RDF, CND dan ADF dilakukan menggunakan software FORTRAN 95 dan divisualisasikan dalam bentuk grafik menggunakan software XMGRACE. Bentuk geometri struktur solvasi pada kulit pertama divisualisasikan menggunakan software RASMOL.

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


V.1. Penentuan Himpunan Basis Berdasarkan hasil perhitungan titik energi interaksi Y2+-NH3 dan Y2+-H2O dengan menggunakan metode ab initio pada tingkatan teori UHF, maka diperoleh himpunan basis terbaik DZVP (DFT Orbital) (Godbout, 1992) untuk Y dan Def2SV(P) (Kaupp, 1991) untuk N dan H (amonia) dan O dan H (air). Hubungan antara energi interaksi ion Y2+ dengan amoniak dan air ditunjukkan oleh Gambar V.1.
=0, =0 =0, =60 =0, =90 =0, =120 =0, =150 3 5 7 9 11 13 15

65 45 E(r)/kkal/mol 25 5 -15 1 -35 -55 -75

Y2+

Jarak Y2+ - N ( )

(a)

70 50

E(r)/kkal/mol

30 10 -10 -30 -50 -70 1 3 5 7 9 11 13 15

=0, =0 =0, =60 =0, =100 =0, =130 =0, =175

Jarak Y2+ - O ( )

(b)

Gambar V. 1 Grafik hubungan E(r) dan jarak interaksi ion Y2+ dalam amoniak (a) dan dalam air (b) 43

44 Keteraturan energi tolakan dan tarikan seperti ditunjukkan pada gambar V.1 dijadikan dasar untuk pemilihan basis pada penelitian ini karena dapat menggambarkan interaksi yang baik dibandingkan dengan pasangan himpunan basis yang lain. Gambar V.1 (a) menggambarkan energi interaksi Y2+-NH3 yang dihitung menggunakan metode HF pada jarak 1,70r15 , sudut =0 dan 0150 berdasarkan model Gambar III.1. Orientasi ion Y2+ membentuk garis lurus terhadap lone pair electron dari atom N dalam amoniak pada posisi =0 dan terendah. Jika jarak Y2+-NH3 diperpendek, maka energi tolakan akan meningkat lebih tajam dibandingkan energi tarikan. Hal ini mungkin disebabkan karena adanya tolak menolak yang kuat antar elektron dan antar inti dari kedua atom yang saling mendekat. Sebaliknya jika jarak Y2+-NH3 diperbesar, maka baik energi tolakan maupun energi tarikan perlahan-lahan menurun, sampai pada jarak 15 interaksi Y2+-NH3 teramati sangat lemah, dan pada jarak tak hingga diasumsikan energi interaksi Y2+-NH3 adalah nol. Pada posisi sudut =0, jika sudut diperbesar, teramati bahwa interaksi sistem Y2+-NH3 makin lemah. Hal ini mungkin disebabkan karena energi tolakan makin meningkat akibat posisi atom H makin mendekat ke arah ion Y2+ dan lone pair electron menjauh. Interaksi yang terjadi untuk sistem Y2+-H2O (Gambar V.1 (b), mengindikasikan bahwa jarak Y2+-H2O pada energi terendah terjadi pada jarak 2,32 dengan energi interaksi -65,43 kkal/mol, sedikit lebih lemah dibanding interaksi Y2+-NH3 (energi interaksi = -71,42 kkal/mol). Perbedaan ini dimungkinkan karena menurut deret spektrokimia, ligan amoniak merupakan ligan yang sedikit lebih kuat dibandingkan dengan ligan air, sehingga secara teoritis interaksi Y2+-NH3 lebih kuat dibandingkan dengan. Validasi terhadap akurasi himpuanan basis yang digunakan dilakukan dengan menghitung energi interaksi Y2+-NH3 dan interaksi Y2+-H2O menggunakan metode MP2, CCSD dan CCSD(T) yang dikenal memiliki ketelitian perhitungan yang lebih baik, seperti ditunjukkan pada Tabel V.1 yang menunjukkan bahwa hasil perhitungan energi interaksi Y2+-NH3 dan Y2+-H2O pada jarak tertentu tidak memberikan perbedaan yang nyata. Harga BSSE (Basis Set Superposition Error) =0, di mana pada jarak 2,48 menggambarkan interaksi Y2+-NH3 dengan energi

45 untuk interaksi Y2+-NH3 dan interaksi Y2+-H2O dihitung untuk mengetahui sampai sejauh mana kesalahan perhitungan menggunakan himpunan basis yang telah dipilih. Tabel V.1 Perhitungan energi interaksi ion Y2+ dengan molekul amoniak dan air Metode Ligan NH3 E (kkal/mol) HF MP2 CCSD CCSD(T) -71,42 -74,57 -73,59 -73,58 Jarak Y2+-N () 2,48 2,50 2,50 2,51 Ligan H2O E (kkal/mol) -65,43 -60,41 -58,89 -59,03 Jarak Y2+-O () 2,32 2,42 2,43 2,43

Data eksperimen untuk studi struktur solvasi ion Y2+ dalam amoniak dan air sejauh ini belum tersedia, sehingga untuk validasi data hasil perhitungan pada penelitian ini, dilakukan perhitungan menggunakan metode yang melibatkan korelasi elektron yaitu metode MP2, CCSD dan CCSD(T). Dalam banyak hal metode MP2 (Mller-Plesset Perturbation Theory) lebih reliable dibandingkan dengan metode DFT dan secara virtual selalu menjadi improvement untuk metode HF. Perhitungan menggunakan metode CCSD (Coupled Cluster Singles and

Doubles) yang merupakan metode perhitungan energi yang dapat menghasilkan data dengan akurasi tinggi pada level exitasi tertinggi. Dalam perhitungan yang melibatkan keseimbangan secara geometri, metode CCSD dianggap lebih akurat daripada metode MP2 dan HF. Hasil perhitungan yang dianggap memiliki tingkat akurasi yang sangat baik adalah metode CCSD(T), namun metode ini memerlukan waktu dan biaya perhitungan yang besar (Hinchliffe, 2003). Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan metode HF, energi interaksi terendah untuk interaksi Y2+-NH3 adalah -71,48 kkal/mol pada jarak Y2+-N 2,48 . Jika dibandingkan dengan hasil perhitungan menggunakan metode MP2, CCSD dan CCSD(T), maka hasil perhitungan dengan menggunakan metode HF memiliki perbedaan jarak Y2+-N sekitar 0,02 - 0,03 dan perbedaan energi interaksi Y2+-NH3 sekitar 2,16 - 3,15 kkal/mol. Hasil perhitungan ini mengindikasikan bahwa hasil perhitungan menggunakan metode HF yang

46 digunakan dalam simulasi ini memiliki tingkat kesalahan yang relatif kecil. Hal ini dikuatkan dengan nilai BSSE untuk interaksi Y2+-NH3 adalah sebesar 0,022 kkal/mol yang menunjukkan bahwa tingkat kesalahan dalam perhitungan menggunakan himpunan basis ini relatif kecil. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan metode HF, energi interaksi terendah untuk interaksi Y2+-OH2 adalah -65,43 kkal/mol pada jarak Y2+-O sebesar 2,32 . Jika dibandingkan dengan hasil perhitungan menggunakan metode MP2, CCSD dan CCSD(T), maka hasil perhitungan dengan menggunakan metode HF memiliki perbedaan jarak Y2+-O sekitar 0,10 - 0,11 dan perbedaan energi interaksi Y2+-OH2 sekitar 5,02 6,40 kkal/mol. Hasil perhitungan ini memiliki perbedaan yang sedikit lebih besar jika dibandingkan dengan perhitungan untuk interkasi Y2+-NH3, namun perbedaan ini masih dapat diterima dengan mempertimbangkan bahwa harga BSSE interaksi Y2+-H2O sebesar 0,013 kkal/mol (sangat kecil) dan supaya hasil simulasi yang diperoleh dapat dibandingkan dengan sistem Y2+-NH3, maka himpunan basis ini dipilih untuk simulasi sistem Y2+-H2O. V.2 Perbandingan Interaksi Ion Y+, Y2+ dan Y3+ dengan NH3 dan H2O Studi ion Y2+ dalam fasa larutan ini merupakan studi yang belum banyak dilakukan sehingga belum banyak publikasi atau data XRD yang dapat digunakan sebagai referensi. Data XRD dan publikasi yang tersedia adalah data-data hasil studi untuk ion Y3+. Perhitungan energi pada tingkatan teori HF terhadap interaksi ion Y+, Y2+ dan Y3+ dengan molekul amoniak dan air seperti ditunjukkan pada Tabel V.2, dilakukan sebagai gambaran untuk perbandingan dengan data-data hasil studi yang tersedia. Tabel V.2 Perhitungan energi interaksi ion Y+, Y2+ dan Y3+ dengan molekul amoniak dan molekul air Ion Ligan amoniak Jarak Y-N () Y+ Y2+ Y3+ 2,57 2,48 2,42 E(kkal/mol) -23,63 -71,42 -115,85 Ligan air Jarak Y-O () 2,43 2,30 2,24 E(kkal/mol) -20,62 -65,43 -104,00

47 Berdasarkan hasil perhitungan, menunjukkan bahwa perbedaan energi interaksi Y+-NH3 dengan Y2+-NH3 adalah 202,2% dan perbedaan jarak Y+-N dengan Y2+-N adalah 0,09 , perbedaan energi interaksi Y+-H2O dengan Y2+- H2O adalah 217,3% dan perbedaan jarak Y+-O dengan Y2+-O adalah 0,13 . Perbedaan data ini dapat memberikan gambaran bahwa struktur solvasi ion Y+ dalam amoniak dan air memiliki sifat yang sangat berbeda dengan untuk ion Y2+. Hasil perhitungan untuk ion Y2+ dibandingkan dengan ion Y3+ memberikan perbedaan energi interaksi Y2+-NH3 dengan Y3+-NH3 sebesar 58,0% dan perbedaan jarak Y2+-N dengan Y3+-N adalah 0,06 , perbedaan energi interaksi Y2+- H2O dengan Y3+- H2O sebesar 58,9% dan perbedaan jarak Y2+-O dengan Y3+-O adalah 0,06 . Hasil perhitungan ini memberikan gambaran bahwa kemungkinan struktur solvasi ion Y2+ dalam amoniak dan dalam air memiliki sifat yang tidak jauh berbeda dengan ion Y3+ dalam hal jarak ion-ligan. Dalam struktur solvasi ion Y2+ dalam amoniak, diduga jarak Y2+-N sedikit lebih panjang daripada jarak Y3+-N, dan dalam struktur solvasi ion Y2+ dalam air, diduga jarak Y2+-O sedikit lebih panjang daripada jarak Y3+-O. V.3 Struktur Solvasi Ion Y2+ dalam Amoniak Cair Perhitungan energi dilakukan menggunakan himpunan basis terpilih terhadap sistem Y2+-NH3 pada tingkatan teori UHF, kemudian dilakukan fitting terhadap 3465 titik energi dari berbagai sudut dan jarak Y2+NH3. Fungsi potensial yang menggambarkan semua interaksi elektronik dan interaksi Van der Waals ditunjukkan oleh persamaan (5.1).
=

(5.1)

di mana i menunjukkan atom N atau H dari amoniak, A, B, C dan D adalah parameter optimasi (seperti terangkum dalam Tabel V.3) dan q adalah muatan atomik (untuk N sebesar -0,8022 dan H sebesar 0,2674). Suku pertama dari persamaan 5.1 yang melibatkan muatan qY2+ dengan qN atau qH, menggambarkan interaksi Coulomb yang memperhitungkan interaksi

48 elektrostatik. Interaksi ini memberikan kontribusi yang penting karena adanya perbedaan kerapatan elektron yang besar antara Y2+ dengan N. Tabel V.3 Parameter optimasi fungsi potensial pasangan Y2+NH3
Interval pasangan Y-N Y-H A (kkal.mol . ) -12403.13 -6367.85
-1 5

B (kkal.mol . ) 99797.89 56255.14


-1 7

C (kkal.mol . ) -198503.85 -145212.02


-1 9

D (kkal.mol . ) 166302.36 170243.96


-1 12

Suku kedua dan ketiga menggambarkan tarikan antara spesies Y2+ dengan atom N atau H, sedangkan suku keempat dan kelima menggambarkan tolakan antara spesies Y2+ dengan atom N atau H. Parameter optimasi Y-N memberikan harga yang lebih besar daripada Y-H, karena jarak Y-N lebih kecil daripada Y-H. V.3.1 Analisis RDF Analisis RDF digunakan untuk memperkirakan jarak ikatan Y2+-N dan Y2+-H dalam struktur kompleks solvasi dan memperkirakan bilangan koordinasi kompleks solvasi pada kulit pertama dan kedua. Gambar V.2 menggambarkan fungsi distribusi radial interaksi Y2+-N hasil simulasi DM MK/MM ion Y2+ dalam amoniak cair.

r [ ] Gambar V.2 Fungsi distribusi radial Y2+-N yang diperoleh dari simulasi DM Klasik dan DM MK/MM

49 Berdasarkan analisis RDF interaksi Y2+-N dari simulasi DM MK/MM menunjukkan bahwa distribusi atom N dari amoniak pada kulit pertama berada pada jarak antara 2,37 sampai dengan 3,03 , dengan jarak Y2+-N rata-rata 2,55 . Solvasi pada kulit kedua ditemukan pada jarak antara 4,80 sampai dengan 6,80 . Solvasi pada kulit pertama maupun kulit kedua bersifat fleksibel dan terjadi

gerakan ligan dari kulit pertama ke kulit kedua dan sebaliknya. Hal ini ditunjukkan oleh harga RDF pada daerah transisi antara daerah MK dan MM yang tidak pernah mencapai harga nol. Hal ini dikuatkan dengan adanya puncak tajam di daerah transisi pada jarak 3,49 yang menggambarkan bahwa pertukaran ligan dari kulit solvasi pertama dan kedua terjadi dengan frekuensi yang tinggi. Banyaknya molekul ligan yang bergerak dan teramati pada daerah transisi ini menyebabkan seolah-olah terbentuk kulit antara yang berada di antara kulit pertama dan kulit kedua. Menurut hasil simulasi DM Klasik, digambarkan bahwa pada bilangan integrasi 12,0 mencapai nilai gY-N(r) nol yang berarti menghasilkan struktur rigid seperti divisualisasikan pada Gambar V.5 (a), hal ini tidak bisa dijadikan alasan untuk kestabilan struktur, karena hasil perhitungan simulasi DM klasik pada daerah ini memiliki tingkat akurasi yang rendah, dan pada daerah ini gaya interaksi dihitung dengan metode MK. Gambar V.3 menyatakan distribusi atom-atom hidrogen yang terikat dalam molekul amoniak yang berada pada solvasi kulit pertama dan kulit kedua. Analisis ini dimaksudkan untuk mengamati keberadaan atom-atom hidrogen dalam molekul amoniak di sekitar ion Y2+. Distribusi atom-atom hidrogen dari molekul amoniak berdasarkan simulasi DM MK/MM pada kulit pertama adalah berjarak 2,49 - 3,61 dengan jarak ratarata Y2+-H sebesar 3,09 , sedangkan pada kulit kedua berjarak 5,80 - 7,56 . Seperti halnya RDF interaksi Y2+-N, atom-atom H terdistribusi pada daerah transisi berjarak 3,84 - 4,80 . Hal ini menunjukkan bahwa tingkat fleksibilitas struktur kompleks solvasi ini sangat tinggi. Titik terjauh atom H dapat mencapai jarak 7,56 , kemungkinan disebabkan karena pada jarak tersebut energi interaksi Y2+-NH3 masih cukup kuat dibandingkan dengan ikatan hidrogen dalam amoniak.

50

r [ ] Gambar V.3 Fungsi distribusi radial Y2+-H yang diperoleh dari simulasi DM Klasik dan DM MK/MM Energi solvasi pada kulit kedua pada titik terjauh adalah -7,3 kkal/mol, jauh lebih kuat dibandingkan energi ikatan hidrogen antar molekul amoniak cair (-3,1 kkal/mol) menyebabkan tarikan ion Y2+ terhadap molekul-molekul amoniak pada kulit kedua cukup kuat sehingga cukup banyak molekul amoniak yang dapat bergerak menuju ion melalui daerah transisi. Fakta ini semakin menguatkan dugaan bahwa solvasi pada kulit pertama dan kulit kedua bersifat fleksibel dan diduga terjadi migrasi antara 1-3 molekul amoniak dari solvasi kulit pertama ke solvasi kulit kedua melalui daerah transisi atau sebaliknya. Tabel V.4 menyatakan nilai distribusi jarak Y2+-N dan Y2+-H maksimum dan minimum serta bilangan koordinasi rata-rata pada solvasi kulit pertama dan kulit kedua hasil simulasi DM MK/MM dan DM Klasik. Perbedaan data hasil simulasi DM MK/MM dengan DM Klasik yang sangat nyata adalah adanya perbedaan jumlah rata-rata molekul amoniak yang terkoordinasi pada solvasi kulit pertama dan kulit kedua. Menurut simulasi DM MK/MM, jumlah rata-rata molekul amoniak yang terkoordinasi pada kulit pertama sebanyak 5,2 dan pada kulit kedua sebanyak 22,3 sedangkan menurut simulasi DM Klasik,

51 jumlah rata-rata molekul amoniak yang terkoordinasi pada kulit pertama sebanyak 12,0 dan pada kulit kedua sebanyak 19,8. Tabel V.4 Nilai karakteristik RDF g(r) untuk Y2+ dalam NH3 dari simulasi DM MK/MM dan DM Klasik Y Y Y Y N N H H rM1 2,55 2,69 3,09 3,02 rm1 3,03 3,51 3,61 4,17 N (m1) 5,2 12,0 22,1 36,5 rM2 4,80 5,04 5,80 5,37 rm2 6,80 6,56 7,56 6,80 N (m2) 22,3 19,8 65,8 63,8 Simulasi DM MK/MM DM Klasik DM MK/MM DM Klasik

rMi adalah nilai g (r) maksimum solvasi kulit pertama dan kedua (), rmi adalah nilai g (r) minimum solvasi kulit pertama dan kedua (), N bilangan koordinasi rata-rata yang terintegrasi hingga rmi.

Perbedaan data ini mungkin disebabkan karena perbedaan asumsi dalam perhitungan. DM Klasik menganggap interaksi antara ion Y2+ dengan molekulmolekul amoniak sebagai interaksi antar atom atau molekul bak atom di mana potensial dihitung hanya berdasarkan potensial inti atom akibatnya jarak ideal yang dicapai antara ion Y2+ dengan molekul amoniak menjadi lebih besar, sedangkan DM MK/MM, pada daerah di mana digunakan persamaan gaya berdasarkan MK, memperhitungkan elektron-elektron yang terlibat dalam proses solvasi sehingga jarak optimum ion-amoniak akan teramati lebih akurat dan biasanya teramati lebih pendek daripada hasil perhitungan DM klasik, akibatnya jumlah molekul yang terkoordinasi pada kulit pertama teramati lebih sedikit. Sebenarnya jika dihitung total molekul amoniak yang berada di sekitar ion Y2+ dalam simulasi ini adalah lebih kurang 28-32 molekul. Dari jumlah tersebut, menurut DM MK/MM, yang dihitung sebagai molekul yang terkoordinasi pada solvasi kulit pertama maksimal hanya sekitar 5 molekul, selebihnya berada di daerah transisi atau daerah solvasi kulit kedua. Sebaliknya, DM Klasik menganggap ada 12 molekul amoniak yang terkoordinasi pada kulit pertama dan sekitar 20 molekul amoniak yang berada pada kulit kedua. Perbedaan data yang tajam ini dimungkinkan terjadi untuk sistem kompleks dengan molekul-molekul ligan yang sangat dinamis dengan pertukaran molekul ligan yang sangat cepat.

52 V.3.2 Analisis CND Distribusi bilangan koordinasi hasil simulasi ion Y2+ dalam amoniak pada solvasi kulit pertama disajikan pada Gambar V.4. Hasil analisis CND ini

menggambarkan distribusi molekul amoniak pada solvasi kulit pertama hasil simulasi DM MK/MM dan DM Klasik.

Gambar V.4 Distribusi bilangan koordinasi pada solvasi kulit pertama dari sistem Y2+-NH3 hasil simulasi DM MK/MM dan DM Klasik. Bilangan koordinasi pada solvasi kulit pertama menurut hasil simulasi DM MK/MM adalah 5, 4 dan 3 dengan kelimpahan masing-masing 77,59%, 21,55% dan 0,86%. Hasil ini menunjukkan bahwa struktur kompleks solvasi ion Y2+ dalam amoniak bersifat fleksibel (Gambar V.5 (b), (c), (d)). Kompleks solvasi yang paling stabil adalah dengan bilangan koordinasi 5, mungkin disebabkan karena memiliki orientasi ruang yang mirip dengan struktur kompleks trigonal bipiramida. Struktur kompleks solvasi dengan bilangan koordinasi 4 kurang stabil meskipun membentuk struktur mirip tetrahedral terdistorsi, namun dengan distribusi sudut NY-N sebesar 68,98, 76,25, 100,68, 65,31 dan 57,72 menyebabkan interaksi dalam sistem relatif lemah. Kompleks solvasi dengan bilangan koordinasi 3 dengan distribusi sudut N-Y-N sebesar 73,84, 117,82 dan 84,32 paling labil mungkin karena interaksi dalam sistem sangat lemah dan adanya migrasi molekul ligan yang sangat cepat dari kulit kedua.

53

(a)

(b)

(c)

(d)

(e) Gambar V.5 Struktur kompleks ion Y2+ dalam amoniak pada solvasi kulit pertama hasil simulasi DM Klasik : (a) bilangan koordinasi 12 (54,63%) dan (b) bilangan koordinasi 11 (36,23%); DM MK/MM : (c) bilangan koordinasi 5 (77,59%), (d) bilangan koordinasi 4 (21,55%) dan (e) bilangan koordinasi 3 (0,86%)

54 Menurut hasil simulasi DM Klasik, distribusi bilangan koordinasi pada solvasi kulit pertama adalah masing-masing 12 (54,63%), 11 (36,23%), 10 (8,35%), 9 (0,75%) dan 8 (0,03%). Kompleks dengan 12 molekul ligan terkoordinasi seperti ditunjukkan pada Gambar V.5 (a) merupakan struktur kompleks solvasi yang paling stabil. Berdasarkan data CND DM Klasik ini semakin menguatkan dugaan bahwa struktur solvasi ion Y2+ dalam amoniak pada kulit pertama adalah fleksibel. Distribusi bilangan koordinasi ion Y2+ dalam amoniak pada solvasi kulit kedua yang diperoleh dari simulasi DM MK/MM dan DM Klasik ditunjukkan oleh Gambar V.6.

Gambar V.6 Distribusi bilangan koordinasi pada solvasi kulit kedua dari sistem Y2+-NH3 hasil simulasi DM MK/MM dan DM Klasik. Menurut hasil simulasi DM MK/MM bilangan koordinasi pada solvasi kulit kedua berkisar antara 11 sampai 15 dengan kelimpahan maksimal pada bilangan koordinasi 13 dengan kelimpahan 43,96%. Jika data ini dikaitkan dengan solvasi pada kulit pertama, maka diduga setiap satu molekul amoniak yang tersolvasi pada kulit pertama berinteraksi dengan sekitar tiga molekul amoniak pada kulit kedua, dengan memaksimalkan ikatan hidrogen.

55 Menurut hasil simulasi DM Klasik, solvasi pada kulit kedua memiliki tingkat fleksibilitas yang sangat tinggi, dengan bilangan koordinasi antara 2-12. Berdasarkan kedua hasil simulasi tersebut, dapat dipastikan bahwa solvasi ion Y2+ dalam amoniak baik pada kulit pertama maupun kulit kedua sangat fleksibel, yang ditunjukkan dengan adanya pergerakan molekul amoniak dari kulit pertama, kulit kedua dan sistem ruah yang terjadi dengan sangat dinamis. V.3.3 Analisis ADF Distribusi sudut ikat N-Y2+-N pada struktur kompleks solvasi pada kulit pertama hasil simulasi DM MK/MM dan DM Klasik ditunjukkan oleh Gambar V.7, yang menyatakan kelimpahan sudut N-Y2+-N dalam struktur geometri sistem kompleks solvasi hasil simulasi.

Gambar V.7 Distribusi sudut N-Y2+-N pada solvasi kulit pertama dari sistem Y2+-NH3 hasil simulasi DM MK/MM dan DM Klasik. Distribusi sudut N- Y2+-N hasil simulasi DM MK/MM solvasi ion Y2+ dalam amoniak adalah pada sudut 74,76, 79, 82, 96, 98, 107,110, 120, 125, 139, 161, 165 dan 167. Banyaknya variasi sudut ini, semakin menguatkan dugaan adanya sifat fleksibel struktur kompleks solvasi pada kulit pertama.

56 Berdasarkan hasil simulasi DM Klasik, distribusi sudut yang dominan hanya pada sudut 63, 117 dan 176. Variasi sudut ini mengindikasikan bahwa struktur kompleks solvasi pada kulit pertama adalah rigid (untuk bilangan koordinasi 12), namun berdasarkan data-data yang lain seperti data RDF dan CND pada kulit pertama dan kulit kedua, sifat rigiditas ini tidak terbukti. Visualisasi untuk menggambarkan variasi sudut dalam struktur geometri kompleks solvasi yang memiliki kelimpahan terbesar yaitu kompleks dengan bilangan koordinasi 5, dilakukan dengan program rasmol, yang menggambarkan panjang ikatan Y2+-N dan variasi sudut ikat N-Y2+-N seperti disajikan pada Tabel V.5. Visualisasi ini memberikan gambaran bahwa struktur dengan bilangan koordinasi 5 paling stabil disebabkan karena memiliki struktur geometri yang memiliki energi interaksi terendah. Tabel V.5 Panjang ikatan Y2+-N dan sudut ikat N-Y2+-N pada sistem [Y(NH3)5]2+ Jarak Y2+-N () Y2+-N1 Y2+-N2 Y2+-N3 Y -N4 Y2+-N5
2+

Sudut N- Y2+-N () 74,90 66,64 84,53 76,25 100,68 106,92 118,00 120,00 123,25 159,43

2,91 2,85 2,66 2,56 2,48

Struktur

kompleks

solvasi

seperti

ditunjukkan

pada

Tabel

V.5,

menunjukkan bahwa pada bilangan koordinasi 5, jarak Y2+-N berkisar antara 2,482,91 , sudut N-Y2+-N yang menempati posisi equatorial berkisar antara 118,00123,25, sudut N-Y2+-N antara posisi equatorial-aksial berkisar antara 66,64106,92 dan sudut antara dua posisi aksial adalah 159,43(berdasarkan Gambar V.7

57 dapat mencapai 175). Bentuk kompleks solvasi ini menyerupai bentuk bipiramida trigonal. Sifat struktur hasil simulasi DM MK/MM pada penelitian ini dibandingkan dengan beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, ditunjukkan pada Tabel V.6. Tabel V.6 Perbandingan solvasi ion Y2+ dalam amoniak dengan beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan
Sistem 1 ion Y2+ dalam 215 molekul amoniak 1 ion Y2+ dalam 215 molekul amoniak 1 ion Sc+ dalam 215 molekul amoniak 1 ion Ag+ dalam 215 molekul amoniak 1 ion Au+ dalam 215 molekul amoniak
Jarak M-N ()

Metode DM Klasik DM MK/MM DM MK/MM DM MK/MM DM MK/MM

Struktur Fleksibel Fleksibel Fleksibel Rigid Rigid

Referensi Penelitian ini Penelitian ini Urip (2009) Armunanto (2004) Armunanto (2004)

2,69 2,55 2,37 2,54 2,45

*) M menunjukkan jenis ion logam.

Sesuai dengan dugaan awal bahwa solvasi ion Y2+ dalam amoniak cair menghasilkan struktur kompleks solvasi yang fleksibel. Hasil ini memiliki kesamaan dengan struktur solvasi ion Sc+ dalam amoniak cair (Urip, 2009), perbedaannya adalah bahwa struktur kompleks [Y(NH3)n]2+ lebih stabil dengan bilangan koordinasi 3, 4 dan 5 dibandingkan dengan struktur kompleks [Sc(NH3)n]+ yang memiliki bilangan koordinasi 1-7. Sifat fleksibel struktur solvasi ion Y2+ dalam amoniak cair mungkin disebabkan karena interaksi antara ion Y2+ dengan molekul amoniak kurang disukai sebab dalam struktur elektronik ion Y2+ terdapat sebuah elektron tak berpasangan sehingga bersifat polar, sedangkan molekul amoniak dengan momen dipole 1,47 D (relatif kecil) merupakan molekul yang kurang polar, sehingga interaksi Y2+-NH3 relatif kurang disukai dan menghasilkan struktur yang fleksibel. Struktur kompleks solvasi [Y(NH3)n]2+ relatif lebih stabil dibanding struktur [Sc(NH3)n]+ karena dalam ion Sc+ terdapat 2 elektron tak berpasangan. Jika ditinjau berdasarkan teori asam-basa HSAB (Hard and Soft Base acid), maka ion Y2+ merupakan asam (border line) yang lebih keras

58 dibanding ion Sc+ dan amoniak merupakan basa border line sehingga memungkinkan sifat struktur [Y(NH3)n]2+ lebih stabil dibanding struktur [Sc(NH3)n]+. Jika dibandingkan dengan struktur solvasi ion Ag+ dan Au+ dalam amoniak cair (Armunanto, 2004), maka struktur kompleks [Y(NH3)n]2+ memberikan fenomena yang berbeda, sebab solvasi ion Ag+ dan Au+ dalam amoniak menghasilkan struktur yang rigid (stabil). Sifat rigid kompleks solvasi ion Ag+ dan Au+ dalam amoniak cair, mungkin disebabkan karena dalam struktur elektronik kedua ion tersebut tidak terdapat elektron tak berpasangan pada orbital d. Jarak Y2+-N lebih panjang dibandingkan dengan jarak Sc+-N, Au+-N dan Ag+-N, mungkin disebabkan karena jumlah ligan dalam struktur kompleks [Y(NH3)n]2+ (bilangan koordinasi yang paling stabil 5) lebih banyak dibandingkan dengan [Ag(NH3)4]+ , [Au(NH3)2]+ dan [Sc(NH3)n]+ (paling stabil n=3). Molekul amoniak dalam jumlah yang lebih besar dalam struktur kompleks solvasi dapat menyebabkan orientasi ruang yang lebih besar sehingga jarak ion-ligan menjadi lebih panjang. V.4 Struktur Solvasi Ion Y2+ dalam Air Dalam penelitian ini dilakukan fitting terhadap 4445 titik energi dari berbagai sudut dan jarak Y2+H2O. Fungsi potensial yang menggambarkan semua interaksi elektronik dan interaksi Van der Waals pada sistem Y2+H2O ditunjukkan oleh persamaan (5.2).
= () ()

di mana i menunjukkan atom O atau H dari molekul air, A, B, C dan D adalah parameter optimasi (seperti terangkum dalam Tabel V.7) dan q adalah muatan atomik (untuk O sebesar -0.65980 dan H sebesar 0.32990). Tabel V.7 Parameter optimasi fungsi potensial pasangan Y2+H2O
Interval pasangan Y-O Y-H A (kkal.mol . ) -12491.92 -257.33
-1 5

( )

( )

( )

( )

(5.2)

B (kkal.mol . ) 83158.51 5994.97


-1 7

C (kkal.mol . ) -144051.78 -15581.71


-1 9

D (kkal.mol . ) 103519.74 15461.70


-1 12

59 Suku pertama dari persamaan 5.2 yang melibatkan muatan qY2+ dengan qO atau qH, menggambarkan interaksi Coulomb yang memperhitungkan interaksi elektrostatik. Interaksi ini memberikan kontribusi yang penting karena adanya perbedaan kerapatan elektron yang besar antara Y2+ dengan O. Suku kedua dan ketiga menggambarkan tarikan antara spesies Y2+ dengan atom O atau H, sedangkan suku keempat dan kelima menggambarkan tolakan antara spesies Y2+ dengan atom O atau H. V.4.1 Analisis RDF Fungsi distribusi radial interaksi Y2+-O dan Y2+-H yang menggambarkan interaksi antara ion Y2+ dengan molekul air ditunjukkan oleh Gambar V.8 dan V.9, sedangkan nilai karakteristiknya dirangkum dalam Tabel V.9.

r [ ] Gambar V.8 Fungsi distribusi radial Y2+-O yang diperoleh dari simulasi DM Klasik dan DM MK/MM Menurut hasil simulasi DM MK/MM, jarak Y2+-O pada solvasi kulit pertama berkisar antara 2,28-2,73 dengan puncak tertinggi pada jarak 2,45 . Solvasi ini bersifat fleksibel dengan bilangan koordinasi 7,3. Sifat fleksibel ini ditunjukkan oleh data RDF Y2+-O yang tidak pernah mencapai nol. Solvasi pada

60 kulit kedua paling banyak ditemukan pada jarak 4,33 dengan bilangan koordinasi rata-rata sebesar 20,8. Menurut simulasi DM Klasik, atom-atom O dari molekul-molekul air terdistribusi pada jarak 2,21-3,68 dengan puncak tertinggi pada jarak 2,44 dengan bilangan koordinasi 10,0. Kelimpahan atom O pada kulit kedua paling banyak ditemukan pada jarak 4,55 . Berdasarkan data hasil simulasi, baik DM MK/MM maupun DM Klasik, menunjukkan bahwa struktur solvasi ion Y2+ dalam air bersifat fleksibel.

r [ ] Gambar V.9 Fungsi distribusi radial Y-H yang diperoleh dari simulasi DM Klasik dan DM MK/MM Berdasarkan hasil simulasi DM MK/MM, atom-atom hidrogen dalam molekul-molekul air terdistribusi pada jarak 2,56 3,68 , dengan distribusi terbesar pada jarak 3,13 . Distribusi atom H pada kulit kedua dengan kelimpahan terbesar teramati pada jarak 5,50 dan pada titik terjauh teramati pada jarak

6,19 . Energi interaksi Y2+-H2O pada titik terjauh sebesar -11,6 kkal/mol adalah lebih kuat daripada ikatan hidrogen antar molekul air (-5,1 kkal/mol). Hasil ini tidak jauh berbeda secara nyata dengan hasil simulasi DM Klasik. Harga energi interaksi yang besar sampai titik terjauh ligan ini memungkinkan terbentuknya struktur solvasi yang relatif stabil.

61 Tabel V.8 Nilai karakteristik RDF g(r) untuk Y2+ dalam air dari simulasi DM MK/MM Y Y Y Y O O H H rM1 2,45 2,44 3,13 3,14 rm1 N (m1) rM2 4,33 4,55 5,50 5,25 rm2 5,93 5,48 6,19 6,22 N (m2) Simulasi 20,8 15,6 57,2 59,1 DM MK/MM DM Klasik DM MK/MM DM Klasik

2,73 6,9 3,23 10,0 3,68 18,0 3,87 22,2

rMi adalah nilai g (r) maksimum solvasi kulit pertama dan kedua (), rmi adalah nilai g (r) minimum solvasi kulit pertama dan kedua (), N bilangan koordinasi rata-rata yang terintegrasi hingga rmi.

Berdasarkan hasil simulasi DM MK/MM, jumlah molekul air yang terhidrasi pada kulit pertama rata-rata adalah 7,3 dan pada kulit kedua 20,8. Hal ini menunjukkan bahwa struktur solvasi ion Y2+ dalam air, baik pada kulit pertama maupun kedua bersifat fleksibel. Hal ini juga dapat diamati dari jumlah atom hidrogen yang terdistribusi pada kulit pertama dan kedua di mana jumlahnya lebih besar dari dua kali jumlah atom oksigennya. V.4.2 Analisis CND Gambar V.10 adalah diagram batang dari data CND (Coordination Number Distribution) yang menggambarkan distribusi bilangan koordinasi sistem solvasi ion Y2+ dalam pelarut air hasil simulasi DM MK/MM.

Gambar V.10 Distribusi bilangan koordinasi pada solvasi ion Y2+ dalam air hasil simulasi DM MK/MM

62 Berdasarkan analaisis CND hasil simulasi DM MK/MM (Gambar V.10), molekul air terkoordinasi 5-8 pada solvasi kulit pertama dengan kelimpahan terbesar pada bilangan koordinasi 7 (58,20%), sedangkan pada kulit kedua molekul air terkoordinasi 12-19 dengan kelimpahan terbesar pada bilangan koordinasi 14 (30,68%) dan 16 (28,57). Adanya atom-atom hidrogen dalam jumlah besar (lebih kurang 69 buah) yang teramati pada kulit kedua menunjukkan bahwa solvasi pada kulit kedua lebih fleksibel daripada kulit pertama. Gambar V.11 adalah diagram batang dari data CND (Coordination Number Distribution) yang menggambarkan distribusi bilangan koordinasi sistem solvasi ion Y2+ dalam pelarut air hasil simulasi DM Klasik. Diagram ini jika dibandingkan dengan Gambar V.10 menunjukkan perbedaan distribusi bilangan koordinasi hasil simulasi DM MK/MM dan DM Klasik.

Gambar V.11

Distribusi bilangan koordinasi pada solvasi Y2+ dalam air hasil simulasi DM Klasik

Berdasarkan analaisis CND hasil simulasi DM Klasik (Gambar V.11), molekul air terkoordinasi 10 (95,89%) dan 9 (4,11%) pada solvasi kulit pertama, dan tekoordinasi 10-21 pada kulit kedua dengan kelimpahan terbesar 14 (21,95%). Hasil simulasi ini belum dapat dipercaya, karena secara teoritis suatu ion yang memiliki densitas muatan (q/r) lebih besar umumnya memiliki bilangan hidrasi yang lebih besar (Canham, 2000). Beberapa studi yang telah dilakukan terhadap ion Y3+ yang memiliki harga q/r lebih besar daripada ion Y2+ (Marques, 1992;

63 Linqvist-Reis, 2000; Ramos, 2001; Buzko, 2000; Lau, 2006; Bowron, 2007; DiazMoreno & Chaboy, 2009), menunjukkan bahwa bilangan koordinasi sistem [Y(H2O)n]3+ adalah 3-9 (umumnya 8). Hasil simulasi yang lebih mendekati kenyataan sesuai dengan teori adalah hasil yang diperoleh dari simulasi DM MK/MM di mana bilangan koordinasi pada kulit pertama adalah 5 (0,53%), 6 (4,76%), 7 (58,20%) dan 8 (36,51%). Gambar V.12 memperlihatkan bentuk kompleks solvasi ion Y2+ dalam air berdasarkan hasil simulasi DM Klasik (Gambar V.12 (a) dan (b)) dan simulasi DM MK/MM (Gambar V.12 (c), (d) dan (e)).

(a)

(b)

(c)

(d)

(e)

Gambar V.12 Struktur kompleks ion Y2+ dalam air pada solvasi kulit pertama hasil simulasi DM Klasik : (a) bilangan koordinasi 9 (4,11%) dan (b) bilangan koordinasi 10 (95,89%); DM MK/MM : (c) bilangan koordinasi 6 (4,76%) (d) bilangan koordinasi 7 (58,20%) dan (e) bilangan kordinasi 8 (36,51%).

64 V.4.1 Analisis ADF Distribusi sudut O-Y2+-O dalam sistem struktur geometri kompleks solvasi ion Y2+ dalam air hasil simulasi DM Klasik dan DM MK/MM ditunjukkan oleh Gambar V.13.

Gambar V.13 Distribusi sudut O-Y2+-O pada solvasi kulit pertama sistem [Y(H2O)n]2+ hasil simulasi DM MK/MM dan DM Klasik. Dalam struktur kompleks solvasi ion Y2+ dalam air, distribusi sudut O-Y2+-O hasil simulasi DM MK/MM yang dominan adalah 66, 77, 121, 143 dan 156. Visualisasi menggunakan sofware rasmol terhadap kompleks berkoordinasi 7 (Gambar V.13 (d)) menunjukkan bahwa distribusi sudut O-Y2+-O adalah 92, 63, 73, 80, 148, 60 dan 65. Hal ini dapat terjadi karena migrasi satu buah ligan dari dan ke dalam struktur kompleks akan mengubah bentuk kompleks sehingga sudut O-Y2+-O lebih bervariasi. Banyaknya variasi sudut O-Y2+-O hasil simulasi DM MK/MM menunjukkan bahwa struktur solvasi pada kulit pertama sangat dinamis dalam membentuk struktur dengan koordinasi 5, 6, 7 dan 8 secara bergantian. Distribusi sudut O-Y2+-O hasil simulasi DM Klasik adalah 66, 125,128 dan 160 dengan tingkat variasi yang rendah. Hal ini menunjukkan bahwa struktur solvasi ion Y2+ dalam air menurut simulasi DM Klasik lebih stabil (hampir rigid),

65 migrasi satu molekul air dari dan ke dalam kompleks tidak banyak mengubah distribusi sudut. Perbandingan struktur solvasi ion Y2+ dalam air dengan beberapa hasil penelitian terdahulu ditunjukkan oleh Tabel V.9. Tabel V.9 Perbandingan struktur solvasi ion Y2+ dalam air dengan beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan
Sistem 1 ion Y2+ dalam 199 molekul air 1 ion Y2+ dalam 199 molekul air 1 ion Ag+ dalam 499 molekul air 1 ion Au+ dalam 499 molekul air 1 ion Co2+ dalam 499 molekul air Larutan aquous YCl3 2,1-0,6 M Larutan aquous YBr3 2,1-0,6 M Larutan aquous YCl3 3,5 M Larutan aquous YCl3 2,3 M Jarak Y-O () 2,44 2,45 2,60 2,45 2,17 2,330,02 2,340,02 2,28 2,34 CN*) 10,0 7,3 5,4 4,7 6,0 8 8 8 8 7,4 Metode DM Klasik DM MK/MM DM MK/MM DM MK/MM DM MK/MM EXAFS Referensi Penelitian ini Penelitian ini Armunanto (2004) Armunanto (2004) Armunanto (2003) Marques (2003) Ramos (2001)

Anomali XRD

1 ion Y3+ dalam 55,5 molekul air 2,33-2,39 *) CN menunjukkan bilangan koordinasi.

NS & EXAFS

Bowron (2007)

Berdasarkan hipotesis, diduga solvasi ion Y2+ dalam air menghasilkan struktur yang rigid dengan pemikiran bahwa ion Y2+ relatif polar dan molekul air juga polar sehingga diharapkan menghasilkan interaksi yang disukai, kenyataannnya dalam penelitian ini tidak terbukti. Solvasi ion Y2+ dalam air menghasilkan struktur yang fleksibel, seperti halnya ion Ag+, Au+ dan Y3+ dalam air (Armunanto, 2004; Bowron, 2007). Sifat fleksibel ini mungkin disebabkan karena sifat like dissolve like menurut teori HSAB. Ion Y2+ seperti halnya ion Ag+ dan Au+ termasuk asam yang relatif lunak, sedangkan air termasuk basa keras, sehingga interaksi yang dihasilkan relatif kurang stabil. Ion Co2+ di samping memiliki struktural elektronik polar, juga termasuk asam keras sehingga interaksinya dengan molekul air menghasilkan struktur yang rigid dan stabil (Armunanto, 2003).

66

V.5 Perbandingan Struktur Solvasi Ion Y2+ dalam Amoniak Cair dan Air Ion Y2+ dapat tersolvasi baik dalam amoniak maupun dalam air. Hal ini disebabkan karena baik molekul amoniak maupun molekul air memiliki atom yang bersifat elektronegatif yaitu N dan O, sehingga interaksi ion Y2+ dengan kedua pelarut tersebut memberikan gaya tarik elektrostatik yang kuat. Perbandingan sifat struktur solvasi ion Y2+ dalam pelarut amoniak cair dan air ditinjau dari jarak ion Y2+-molekul pelarut, bilangan koordinasi yang mungkin, sifat interaksi ion Y2+ terhadap molekul pelarut dan sifat kompleks solvasi, terangkum dalam Tabel V.10. Tabel V.10 Perbandingan sifat struktur solvasi ion Y2+ dalam amoniak dan air
Parameter struktur Jarak rata-rata Y-L kulit pertama Jarak rata-rata Y-L kulit kedua Jarak rata-rata Y-H kulit pertama Jarak rata-rata Y-H kulit kedua Sifat interaksi Y-L Sifat kompleks solvasi Bilangan koordinasi kulit pertama Bilangan koordinasi kulit kedua
L adalah molekul pelarut.

Ion Y dalam amoniak 2,55 4,80 3,09 5,80 Asimetris Fleksibel 4,8 12,9

2+

Ion Y dalam air 2,45 4,33 3,13 5,50 Asimetris Fleksibel 7,3 15,9

2+

Pada solvasi kulit pertama dan kedua, jarak Y2+-N lebih besar dibanding jarak Y2+-O, mungkin disebabkan karena ukuran molekul amoniak lebih besar dibanding molekul air dan akibat adanya tolak-menolak atom H antar molekul amoniak menyebabkan struktur kompleks memberikan orientasi ruang yang lebih besar. Solvasi ion Y2+ dalam amoniak cair maupun dalam air menghasilkan struktur yang fleksibel dengan bilangan koordinasi masing-masing 4,8 dan 7,3. Molekul air memiliki ukuran yang lebih kecil daripada molekul amoniak dan memiliki momen dipol yang lebih besar, sehingga memungkinkan lebih banyak molekul air yang terkoordinasi dibandingkan molekul amoniak.

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN


VI.1 Kesimpulan Berdasarkan data-data hasil simulasi DM MK/MM dan pembahasannya, maka pada penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Ion Y2+ tersolvasi dalam amoniak cair menghasilkan struktur kompleks solvasi yang fleksibel dengan bilangan koordinasi kulit pertama dan kulit kedua masing-masing 4,8 dan 12,9. 2. Ion Y2+ tersolvasi dalam air menghasilkan struktur kompleks solvasi yang fleksibel dengan bilangan koordinasi kulit pertama dan kulit kedua masingmasing 7,3 dan 15,9.

VI.2 Saran-saran 1. Untuk hasil yang lebih akurat, hasil yang telah dicapai pada penelitian ini perlu ditingkatkan dengan menggunakan koreksi three-body potential. 2. Agar dapat memberikan gambaran yang sesungguhnya terhadap interaksi ion Y2+ dalam sistem biologis, penelitian ini perlu dilanjutkan dengan melakukan simulasi ion Y2+ dalam sistem campuran pelarut air dan amoniak. 3. Simulasi yang dijalankan pada penelitian ini, terutama untuk simulasi DM MK/MM, memerlukan waktu dan biaya komputasi yang mahal, maka perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan metode komputasi yang lain.

67

DAFTAR PUSTAKA
Armunanto, R., 2004, Simulation of Ag+, Au+, Co2+ in Water, Liquid Ammonia and Water-Ammonia Mixture, Dissertation, Leopold-Franzens-Universitt Innsbruck, Austria. Armunanto, R., Schwenk, C.F., Rode, B.M., 2004, Gold(I) in Liquid Ammonia: Ab inito QM/MM Molecular Dynamics Simulations. J. Am. Chem. Soc., 126, 9934. Armunanto, R., Schwenk, C.F., Randolf, B.R., Rode, B.M, 2004, Ab Initio QM/MM Molecular Dynamics Simulations of Co2+ in Liquid Ammonia. J. Chem. Phys.,305, 135. Amedeo Caflisch, 2009, Molecular Dynamics Simulations, Department of Biochemistry, University of Zurich Baird, N. C.,1974, Simulation of Hydrogen Bonding in Biological Systems: Ab Initio Calculations for NH3-NH3 and NH3-NH4+. Int. J. Quantum Chem, 8, 49-54. Bill, H., Magne, G., Balestra, C. & Lovy, D., 1989, A Trigonally Chargecompensated Y2+ Ion in CaF2: a Jahn-Teller System, J. Phys. Chem. C. Bayse, C.A., 2001, Theoretical Study of the Reaction of Yttrium with Formaldehyde, J. Phys. Chem. A, 106, 4226-4229. Bowron, D. T., & Diaz-Moreno, S., 2007, Local Structure Refinement of Disordered Material Models: Ion Pairing and Structure in YCl3 Aqueous Solutions, J. Phys. Chem. B, 111, 11393-11399
Buzko, V. Y., Sukhno, I. V., Buzko, M. B. and Subbotina, J. O., 2006, Ab Initio and DFT Study of Y3+ Hydration, Int. J. Quantum Chem, 106, 2236-2244.

DeNardo,S.J, Kukis, D.L, Miers, L.A, Winthrop, M.D, Kroger L.A, Salako, Q., Shen, S., Lamborn, K.R, Gumerlock, P.H, Meares, C.F, DeNardo, G.L.,1998,Yttrium-90-DOTA-peptide-chimeric L6 radioimmunoconjugate: Efficacy and Toxicity in Mice Bearing p53 Mutant Human Breast Cancer Xenografts, Nucl. Med., 39(5), 842-9 Diaz-Moreno, S. & Chaboy, J., 2009, Ab initio X-ray Absorption Spectroscopy Study of the Solvation Structure of Yttrium (III) in Dimethyl Sulfoxide, J. Phys. Chem. B., 113, 35273535 Diaz-Moreno, S., Munoz-Paez, A, & Chaboy,. J., 2000, X-ray Absorption Spectroscopy (XAS) Study of the Hydration Structure of Yttrium(III) Cations in Liquid and Glassy States: Eight or Nine-Fold Coordination? J. Phys. Chem. A., 104, 1278-1286 68

69

Hill, Y. D., Huang, Y., Ast, T. and Freiser, B. S., 1997, Study of the Gas-phase Chemistry of Y2+ with Small Alkanes, J. Rapid Comm., Spectrosc., 11, 148154. Hinchliffe, A., 2003, Molecular Modelling for Beginner, John Wiley & Sons Ltd., Manchester, England. Lantz, M.A., Jarvis, S.P., Tokumoto, H., Martynski, T., Kusumi, T., Nakamura, C. & Miyake, J., 1999, Stretching the -helix: A Direct Measure of the Hydrogen-Bond Energy of a Single-Peptide Molecule, Chem. Phys. Lett., 315, 1-2 , 61-68 Lau, E.Y., Lightstone, F.C. & Colvin, M.E., 2006, Environmental Effects on the Structure of Metal Ion-DOTA Complexes: An ab Initio Study of Radiopharmaceutical Metals, J. Inorg. Chem., 45, 9225-9232 Leach, A.R., 2001, Molecular Modelling: Principles and Applications, Addison Wesley Longman Limited, Singapore Lehmann, G., 1979, Ligand-metal Overlap as Source of Intensity for Ligand Field and Charge Transfer Transitions, Chem. Phys. Lett., 65, 184-186. Lindqvist-Reis, P., Lamble, K., Pattanaik, S., Persson, I., & Sandstroom, M., 2000, Hydration of the Yttrium(III) Ion in Aqueous Solution. An X-ray Diffraction and XAFS Structural Study, J. Phys. Chem. B., 104, 402-408. Lloyd, L.D. & Johnston, Roy L., 1998, Modelling Aluminium Clusters with an Empirical Many-Body Potential, School of Chemistry, University of
Birmingham, Edgbaston, Birmingham, England.

Marques, M.I., Marques, M.A. & Rodrigues, J.R., 1992, The Structure of the First Coordination Shell of the Yttrium Ion in Concentrated Aqueous Solutions of YBr3 and YCl3, J. Phys.: Condens. Matter, 4, 76-79. Martinez, A., 2006, Solvation of Yttrium with Ammonia Revisited. Di-amide Formation in the Reaction of Yttrium with Ammonia, J. Phys. Chem. A, 110, 5, 19781981. Pranowo, H.D., 2002, Pengantar Kimia Komputasi, Austrian-Indonesian Centre for Computational Chemistry (AIC), Jurusan Kimia Fakultas MIPA Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Ramachandran, K. I., Deepa, G. & Namboori, K., 2008, Computational Chemistry and Molecular Modeling, Principles and Applications, Amrita Vishwa, Springer.

70

Ramos, S., Neilson, G.W., Barnes, A. C., & Mazuelas, A., 2001, An Anomalous X-ray Diffraction Study of Yttrium(III) Hydration, J. Phys. Chem. B, 105, 2694-2698 Rayner-Canham, G., 2000, Descriptive Inorganic Chemistry, W.H. Freeman and Company, New York. Simard, B., Rayner D.M., & Benichou E., 2003, Solvation of Yttrium with Ammonia: An Experimental and Theoretical Study, J. Phys. Chem. A, 107, 9099-9104. Urip, 2009, Simulasi Dinamika Molekuler Skandium(I) Di Dalam Amonia Cair Dengan Metode Ab Initio Mekanika Kuantum/Mekanika Molekuler, Tesis, Jurusan Ilmu Kimia Program Pascasarjana, FMIPA UGM, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai