Anda di halaman 1dari 13

Masa Pemerintahan Orde Baru di Indonesia (Pemerintahan Presiden Soeharto)/ The Reign of the New Order in Indonesia (Government

of President Soeharto) FOR CLASS XII IPS Semester 1 HISTORY


Masa Pemerintahan Orde Baru di Indonesia (Pemerintahan Presiden Soeharto) (Sumber: Ali, Nur. Modul Bahan Ajar Sejarah. MGMP:Ponorogo.) A) Pemerintahan Orde Baru I) Landasan Struktural. Orde baru adalah suatu tatanan seluruh kehidupan rakyat, bangsa dan Negara yang diletakkan pada meurnian pelaksanaaan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 atau koreksi terhadap penyelewengan di masa Orde Lama dan menyusun kembali kekuataan bangsa untuk menumbuhkan stabilitas nasional guna mempercepat proses pembangunan bangsa. Tujuannya adalah mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu dan berdaulat. Sedangkan landasan structural dari Orde Baru meliputi: (a) Landasan idiil adalah Pancasila. (b) Landasan Konstitusional adalah Undang-undang Dasar 1945. (c) Landasan Operasional adalah Tap Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS)/ Majelis permusyawaratan Rakyat (MPR) yang antara lin meliputi: (1)Tap No. IX/ MPRS/1966 tentang pengukuhan Supersemar (Surat Perintah 11 Maret 1966). (2) Tap No. XXV/MPR)1966 tentang pelarangan faham komunis di Indonesia. (3) Tap No. XX/MPR/1966 tentang tertib hukum berdasarkan Pancasila. (4) Tap No. XII/MPR/1966 tentang pembentukan Kabinet Ampera. (5) Tap No.XXIII/MPR/1967 tentang pencabutan kekuasaan pemerintah Presiden Soekarno dan pengangkatan Letjen Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia. (6) Tap NomXLI/MPR/1968 tentang pembentukan Kabinet Pembangunan. II) Pembentukan Pemerintahan Orde Baru. Atas dasar Tap No.XIII/MPRS/1966, maka pada tanggal 15 Juli 1966 Jenderal Soeharto membentuk Kabinet Ampera. Tugas pokoknya disebut Dwi Dharma yaitu stabilitas politik dan stabilitas ekonomi. sedangkan programnya disebut Catur Karya, yaitu: (1) Memperbaiki kehidupan rakyat di bidang sandang dan pangan.

(2) Melaksanakan Pemilihan Umum. (3) Melaksanakan Politik Luar negeri bebas dan aktif untuk kepentingan nasional. (4) Melanjutkan perjuangan anti imperalisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya. Sementara itu dengan situasi politik yang kacay dan sulit dikendaliakan, akhirnya Presiden Soekarno secara resmi menyerahkan kekuasaan pemerintahan Republik Indonesia kepada jenderal Soeharto sebagai pengemban Supersemar. Kemudian tanggal 7-12 Maret 1967 Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) melaksanakan sidang Istimewa di Jakarta dengan pertimbangan bahwa: 1) Keseluruhan Presiden Presiden Soekarno pada tanggal 22 Juni 1966 yang berjudul Nawaksara dan Surat Presiden Soekarno pada tanggal 10 Januari 1967 yang berjudul Pelengkap Nawaksara tidak memuat secara jelas pertanggungjawaban Presiden mengenai Pemberontakan Gerakan 30 September/ Partai Komunis Indonesia serta epilognya, kemunduran ekonomi dan kemerosotan akhlak. 2) Presiden telah menyerahkan kekuasaan pemerintah kepada pengembang Supersemar. 3) Berdasarkan laporan Pangkopkamtib/ Pengemban Supersemar, terdapat petunjuk bahwa Presiden Soekarno melakukan kebijakan yang secara tidak langsung menguntungkan Gerakan 30 September/ Partai Komunis Indonesia dan melindungi tokoh-tokoh Gerakan 30 September/PKI. Dalam sidang Istimewa tersebut, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) mengeluarkan Tap No. XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Presiden Soekarno dan mengangkat Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia. Setahun kemudian Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPRS) mengeluarkan Tap No. XLI/MPRS/1968, tanggal 27 Maret 1968 Jenderal Soeharto diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia dan dibentuklah Kabinet Pembangunan. Tugas dan Program Kabinet Pembangunan disebut Pancakrida, yaitu: (1) Menciptakan stabilitas politik dan ekonomi. (2) Menyusun dan melaksanakan Repelita. (3) Melaksanakan Pemilihan Umum. (4) Mengembalikan keamanan dan ketertiban masyarakat. (5) Melanjutkan penyempurnaan dan pembersihan aparatur Negara. III) Penataan Stabilitas Politik dan Ekonomi a) Penataan Stabilitasi Politik

1) Politik dalam Negeri (a) Melaksanakan Pemilihan Umum Tahun 1971. Pada tanggal 3 Juli 1971 diselenggarakan Pemilihan Umum dengan asas LUBER (Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia) untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah Tingkat Pertama (DPRD TK I), Dewan Perwakilan Daerah Tingkat Kedua (DPRD TK II). Pemilihan Umum tanggal 3 Juli 1971 tersebut diikuti oleh 10 peserta yang terdiri dari 9 partai politik dan 1 golongan karya. Dalam pemilihan umum tersebut, Golongan Karya (GOLKAR) memperoleh kemenangan mutlak dengan jumlah 236 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), kemudian diikuti Partai Nahdatul Ulama (Partai NU) sebanyak 58 kursi dan Parmus sebanyak 24 kursi. Kemenangan Golongan Karya (GOLKAR) dalam pemilihan Umum tahun 1971 mengindikasi dua hal yaitu; pertama, monoloyalitas Pegawai Negara Sipil yang menjadi penyumbang suara terbesar bagi kemenangan Golongan Karya (GOLKAR), kedua, adanya kekuatan Golongan Karya (GOLKAR) yang telah mengakar kuat di masyarakat. Kekuatan itu terbangun berkat adanya operasi penumpasan kekuatan komunis yang dilakukan oleh Sekber Golongan Karya (GOLKAR) bersama dengan militer dan masyarakat di era tahun 1965-an. (b) Melakukan penyederhanaan partai politik (berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang penyederhanaan partai politik), maka fusi partai politik menghasilkan komposisi sebagai berikut (1) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) didirkan pada tanggal5 Januari 1973 yang dipimpin oleh H. M. S. Mintaredjaa, SH. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merupakan fusi dari Partai Nahdatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Islam Persatuan Tarbiyah Indonesia (Perti). (2) Partai Demokrasi Indonesia (PDI) didirkan pada tanggal 11 Januari 1973 yang dipimpin oleh Mohammad Isneni. Partai Demokrasi Indonesia (PDI) merupakan fusi dari Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik, Ikatan pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) dan Partai Murba. (3) Kelompok Golongan Karya (GOLKAR) yang terdiri dari berbagai organisasi profesi. (c) Menerapkan Dwi Fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Atas dasar latar belakang historis bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah tentara pejuang dan penjuang tentara, maka pada masa orde baru, Tentara Nasional Indonesia (TNI) memiliki peran ganda yang disebut Dwi Fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, yaitu peran sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan serta peranannya sebagai social politik. Oleh karenaa dalam Pemilihan Umum 1971 Tentara Nasional Indonesia (TNI) tidak mempunyai hak pilih, Tentara Nasional Indonesia (TNI) diberi jatah kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) melalui pengangkatan. Dalam prakteknyaa, pengangkatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam lembaga legislative tersebut bukan semata kepentingan politik saja, tetapi lebih didasarkan pada fungsi stabilisator dan dinamisator. 2) Politik Luar Negeri:

(a) Hubungan Republik Indonesia dengan Malaysia. Menghentikan politik konfrontasi dengan Malaysia dengan melakukan normalisasi hubungan Republik Indonesia dengan Malaysia melalui penandatanganan Persetujuan Bangkok tanggal 29 Mei 1966 sampai dengan 1 Juni 1966 antara Menteri Luar Negeri Indonesia yakni Adam Malik dengan Menteri Luar Negeri Malaysia yakni Tun Abdul Razak di Bangkok, Thailand. Kemudian dilanjutkan dengan penandatanganan Jakarta Accord tanggal 11 Agustus 1966 di Jakarta. (b)Hubungan Republik Indonesia dengan Singapura. Melalui jasa baik Duta Besar Pakistan untuk Birma (Myanmar) Habibur Rachman, Pemerintahan Republik Indonesia menyampaikan Nota Pengakuan terhadap Republik Singapura. Nota Pengakuan Republik Indonesia menyampaikan Nota Pengakuan Republik Indonesia disampaikan kepada Perdana Menteri Singapura Lee Kwan Yew pada tanggal 2 Juni 1966. Kemudian Singapura menyampaikan nota jawaban kesediaan Singapura untuk mengadakan hubungan diplomatic. (c) Hubungan Negara Asia Tenggara. Pada masa Orde Lama, tepatnya tanggal 7 Januari 1965 Indonesia keluar dari Perserikatan Bangsa-bangsa. Sejak Orde Baru memerintah, tepatnya tanggal 28 September 1966, Indonesia kembali menjadi anggota Perserikatan Bangsa-bangsa. Bahkan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia yakni Adam Malik terpilih sebagai Ketua Sidang Malis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa dalam sidang Tahun 1974. (d) Hubungan dengan Negara Blok Timur. Hubungan Indonesia dengan Negara blok Timur terasa dingin setelah terjadi pemberontakan Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia (PKI), lebih-lebih setelah Partai Komunis Indonesia (PKI) dinyatakan pemerintah sebagai partai terlarang. Khususnya terhadap Republik Rakyat Cina yang dinilai menjadi pendukung Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia (PKI) hubungannya dibekukan. Kemudian Republik Indonesia melakukan hubungan baik dengan Republik Taiwan (tandingan Republik Rakyat Cina) sebatas kerjasama dalam bidang ekonomi. (e) Hubungan dengan Negara Barat. Hubungan dengan Negara Barat diaktifkan kembali. Setelah Negara Barat bergabung dalam IGGI ( Intergovernmental Group on Indonesia atau bantuan dana dari Negara Barat) atas prakarsa Amerika Serikat, yang beranggotakan Negara seperti: Amerika Serikat, Belanda, Belgia, Perancis, Jerman Barat, Australia, Inggris dan Jepang. IGGI bersedia membantu Indonesia dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional.

b)Penataan Stabilitas Ekonomi 1) Penyelamatan dan Rehabilitas Ekonomi Nasional. Kebijakan perekonomian di era Orde Baru didasarkan Tap Majelis Permuswaratan Rakyat Sementara (MPRS) No. XXIII/ MPRS/1966 yang berisi tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan. Tujuannya adalah untuk mengatasi krisis kemerosotan ekonomi yang melanda di Indonesia sejak tahun 1955. Sesuai dengan Tap Majelis Permusywaratan Rakyat Sementara, ada tiga program yang harus diselesaikan oleh pemerintah secara bertahap, yaitu: (a) Program penyelamatan.

(b) Program stabilitasi dan rehabilitasi. (c) program pembangunan. Dalam program penyelamatan, langkah yang diambil orde Baru meliputi: (1) Penerapan anggaran belanja berimbang (Balanced Budget) yang intinya diterapkan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara 1968 melalui Undang-undang Nomor 13 Tahun 1967. Yang dimaksud anggaran belanja berimbang adalah adanya keseimbangan antara anggaran belanja Negara dan pendapatan Negara. (2) membatasi pemberian kredit Bank dan menghapus kredit impor. (3) menerapkan kebijakan penundaan pembayaran utang luar negeri (rescheduling) serta berusaha untuk mendapatkan pinjaman kredit baru. Selanjutnya Program Stabilisasi adalah usaha untuk membendung laju inflasi. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia mengambil langkah sebagai berikut: (1) mengatur harga dan tarif terutama harga pangan, harga sandang dan valuta asing. (2) mengadakan operasi pajak dengan cara menciptakan cara pemungutan pajak bagi pendapatan perseroan dan kekayaan dengan Menghitung Pajak Sendiri (MPS) dan Menghitung Pajak Orang (MPO). (3) Memberikan stimulus kepada para pengusaha agar mau menyerahkan sebagian hasil usahanya untuk sector pajak dan sector ekspor. (4) Menerapkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.l sedangkan penanaman modal bangsa sendiri, pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Sedangkan Program Rehabilitasi adalah usaha yang dilakukan untuk memulihkan kemampuan berproduksi. Dalam pelaksanaan program ini pemerintah melakukan perbaikan dalam prasarana fisik (jalan, listrik dan lain-lain), prasarana administrative (aparatur Negara, aturan yang menghambat) dan prasarana institusional (lembaga koperasi, lembaga perbankan, lembaga perkreditan desa, dan lain-lain). 2) Pelaksanaan Pembangunan di Segala Bidang. Arah dan kebijakan ekonomi yang ditempuh pada masa Orde Baru diarahkan pada pembangunan di segala bidang. Pelaksanaan pembangunan Orde Baru tersebut bertumpu pada Trilogi Pembangunan yaitu meliputi: (1) Pemerataan pembangunan nasional beserta hasil-hasilnya. (2) Merencanakan, melaksanakan dan mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

(3) Menciptakan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. Selain itu, sasaran pelaksanaan pembangunan diarahkan pada delapan jalur pemerataan, yaitu meliputi: (1) Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok (sandang, pangan, dan papan). (2) Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan. (3) Pemerataan pembagian pendapatan. (4) Pemerataan kesempatan kerja. (5) Pemerataan kesempatan berusaha. (6) Pemerataan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya generasi muda dan wanita. (7) Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh Indonesia. (8) Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan. Pembangunan nasional pada masa Orde Baru dirancang melalui pelaksanaan Pembangunan Jangka Panjang (25 sampai dengan 30 tahun) dan Pembangunan Jangka Pendek (5 tahun). Pembangunan Jangka Pendek dirancang melalui tahapan pelaksanaan Pelita (Pembangunan Lima Tahun). Berikut ini tahapan Pelita (Pembangunan Lima Tahun) pada masa pemerintahan Orde Baru: (1) Pelita (Pembangunan Lima Tahun) I (1969-1974). Titik berat adalah sector pertanian dan sector industry yang mendukung pertanian. (2) Pelita (Pembangunan Lima Tahun) II (1974-1979). Titik berat adalah sekor pertanian dan sector industi yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku. (3) Pelita (Pembangunan Lima Tahun) III (1979-1984). Titik berat adalah sector Pertanian yang menuju sector swasembada pangan dan sector industry yang mengolah bahan baku menjadi barang jadi. (4) Pelita (Pembangunan Lima Tahun) IV (1984-1989). Titik berat adalah sector pertanian yang melanjutkan usaha menuju swasembada pangan dengan meningkatkan industry yang dapat menghasilkan mesin industry ringan dan berat. Masa ini adalah masa keberhasilan Orde Baru, misalnya keberhasilan program Keluarga Berencana dan Swasembada pangan. Namun, ada kecenderungan hanya terdapat di Pulau Jawa saja. Pada massa ini pula Indonesia dikategorikan sebagai Macan Ekonomi Baru di kawasan Asia bersama Korea Selatan, Malaysia, dan Muangthai. Sehingga perekenomomian di Negara itu dikenal sebagai suatu keajaiban (the

miracle). Keberhasilan itu mengakibatkan Presiden Soeharto mendapat julukan sebagai Bapak Pembangunan Indonesia. (5) Pelita (Pembangunan Lima Tahun) V (1989-1994). Titik berat adalah sector pertanian dan industry yang semin meningkatkan kuantitas dan kualitasnya dengan sasaran utama ekspor. Pelaksanaan pembangunan ada kecenderungan di Pulau Jawa, tingkat korupsi tinggi dan utang luar negeri banyak. (6) Pelita (Pembangunan Lima Tahun) VI (1994-1997). Titik berat adalah memasuki proses tinggal landas menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila yaitu penciptaan sistem ekonomi yang seimbang (pertanian yang tangguh dan industry yang kuat) serta pembangunan bidang lain untuk meningkatkan sumber daya manusia. Masa ini adalah masa kejatuhan pemerintahan Orde Baru. Utang luar negeri Indonesia mencapai US $ 136.000.000.000 (136 miliar dollar Amerika Serikat) pada tahun 1997. Pada tahun ini, pemerintah kehilangan kepercayaan dan tahun 1998, Presiden Soeharto turun dari jabaannya. Pelaksanaan pembangunan nasional selama Orde Baru dirancang melalui tahapan Repelita menimbulkan dampak positik dan dampak negative. Dampak Positif Repelita adalah peningkatan kesejahteraan rakyat secara rata-rata, menurunnya angka kemiskinan absolute, menurunkan angka kematian bayi, meningkatkan angka partisipasi pendidikan terutama di tingkat dasar. Dampak Negatif Repelita adalah terjadi pencemaran lingkungan hidup dan sumber daya alam, tidak meratanya pembangunan antar daerah dan antar golongan pekerjaan, terjadi kesenjangan social antar kelompok masyarakat. Secara Fundamental pembangunan ekonomi pada masa Orde Baru sangat rapuh, hal ini disebabkan oleh: (1) Modal pembangunan nasional lebih cenderung bergantung pada pinjaman luar negeri dalam bentuk dolar. Lembaga keuangan Internasional yang memberikan bantuan kredit kepada Pemerintahan Orde Baru diantaranya IGGI ( Intergovernmental Group on Indonesia) dan IMF (International Monetary Fund). Dana pinjaman luar negeri tersebut dinamakan Bukti Ekspor (BE) yang mencakup tiga sector utama yaitu sector impor, sector proyek pembangunan dan Sektor pangan. (2) Penyelenggaraan pemerintah dibawah Presiden Soeharto sangat birokratis dan absolute (diktaktor) sehingga melahirkan kebudayaan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Hal inilah yang natinya menjadi penyebab terjadinya krisis multi dimensional di Indonesia. IV) Menguatnya Peran Negara dalam Seluruh Aspek Kehidupan 1) Bidang Ideologi:

(a) Menjadikannya Pancasila sebagai ideology tertutup. Meskipun pemerintah Orde Baru selalu mengatakan bahwa Pancasila sebagai ideology yang bersifat terbuka, namun kenyataannya Pancasila dirafsirkan dalam satu versi saja, yaitu versi Pemerintah dan siapapun tidak boleh menafsirkan pancasila kecuali Pemerintah. Oleh karena itu pemerintah membentuk BP-7 (Badan Pelaksana Pembina dan Pendidikan Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila) yang bertugas untuk memahami Pancasila secara benar, menafsirkan Pancasila secara benar dan menyampaikan tafsiran Pancasila tersebut kepada masyarakat. (b) Menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal. Atas dasar Tap MPR No. II/MPR/1983 tentang Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang diantaranya berbunyi: dalam rangka ini dan demi kelestarian Pancasila, kekuatan-kekuatan social politik, khususnya partai politik dan Golongan Karya harus benar-benar menjadi kekuasaan social-politik yang hanya berdasarkaan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Oleh karena itu, seluruh kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus menjadikannya Pancasila sebagai asas tunggal. (c) Melaksanakan indoktrinisasi Pancasila secara intens kepada seluruh warga masyarakat. Atas Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) No. II/MPR/1978 tentang P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), setiap warga masyarakat diwajibkan untuk mengikuti Penataran P-4 dan mendapat sertifikat sebagai syarat untuk mencari pekerjaan, melanjutkan sekolah, kenaikan pangkat dan golongan dan sebagainya. 2)Bidang Politik (a) Mengontrol partai Politik. Penyederhanaan partai politik menjadi 2 partai politik dan golongan karya pada intinya untuk mempermudah pemerintah melakukan kotrol. Bagi tokoh politik yang kritis terhadap program pemerinah disingkirkan dan dipenjarakan. (b) Memperbesar peran Golongan Karya (GOLKAR) dan memperkecil peran partai politik. Pemerintah Orde Baru berusaha untuk membesarkan Golongan Karya (GOLKAR) dengna tujuan untuk menguasai lembaga perwakilan rakyat. Untuk membesarkan Golongan Karya (GOLKAR) sebagai partai pemerintah dilaksanakan jalur ABG (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Birokrasi, dan Golkar). (c) Mengatur struktur lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menguntungkan pemerinah. Selama Orde Baru berkuasa, lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) diatur dengan struktur keanggotaan menguntungkan pemerintah. Selain Fraksi Golongan Karya (GOLKAR), Fraksi Demokrasi Indonesia (PDI) dan Fraksi Persatuan Pembagnunan (PPP), Majelis Permusyawaratan Rakyat juga diisi denga fraksi lain yang pro pemerintah, seperti: fraksi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Tentara Nasional Indonesia dan Polisi Republik Indonesia) yang diangkat pemerintah dan Fraksi Utusan Daerah yang beranggotakan Pegawai Negeri Sipi dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang diangkat oleh Pemerintah. Dengan struktur Majelis Permusyawaratan Rakyat yang sedemikian rupa, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tidak mampu menjalankan fungsi checks dan balances karena Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah dikuasai oleh pemerintah (Golongan Karya/ GOLKAR, Tentara Nasional Indonesia dan Polisi Republik Indonesia/ ABRI, dan utusan daerah). Demikian juga lembaga Dewan

Perwakilan Rakyat yang didalamnya terdiri dari empat fraksi yaitu: Fraksi Golongan Karya (GOLKAR), Fraksi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Tentara Nasional Indonesia dan Polisi Republik Indonesia), Fraksi Demokrasi Indonesia (PDI), dan Fraksi Persatuan Pembangunan (PPP) tentu saja suaranya lebih cenderung mendukung pemerintah. d) Tampilnya ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/ Tentara Nasional Indonesia dan Polisi Republik Indonesia) sebagai pemimpin daerah. Denga alasan memelihara ketertiban dan stabilitas, militer ditempatkan pada pos strategis. Melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Dwi Fungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/ Tentara Nasional Indonesia dan Polisi Republik Indonesia) dinyatakan bahwa untuk mencapai stabilitas nasional diperlukan kemanunggalan ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/ Tentara Nasional Indonesia dan Polisi Republik Indonesia) dengan rakyat sebagai basis peran social-politik ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/ Tentara Nasional Indonesia dan Polisi Republik Indonesia). Tetapi lama-kelamaan Dwi Fungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/ Tentara Nasional Indonesia dan Polisi Republik Indonesia) telah berkembang menjadi kekaryaan. Peran kekaryaan ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/ Tentara Nasional Indonesia dan Polisi Republik Indonesia) semakin masuk ke dalam sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Bidang yang sebenarnya lurah, bupati, walikota maupun gubernur hamper seluruhnya diisi oleh Tentara Nasional Indonesia dan Polisi Republik Indonesia baik yang masih menjabat maupun yang sudah pension. e) Membelenggu hak-hak politik warga Negara. Selama masa Orde Baru, hak poltik warga Negara tidak diberi tempat. Demikian juga mahasiswa yang notebene penggerak lahirnya Orde Baru juga tidak luput dari pembelengguan pemerintah. Diawali dengan terjadinya demonstrasi mahasiswa tanggal 15 Januari 1974 yang menentang merajalelanya korupsi, dominasi kapitalis Cina dan investor Jepang. Demonstrasi berubah menjadi kerusuhan masa, yang kemudian dikenal dengan Peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari). Tokoh seperti Hariman Siregar, Syahrir dan Muahhad Aini Chalid ditangkap dan dijebloskan ke penjara dengan tuduhan kegiatan subversive yang mengancaam stabilitas bangsa dan Negara. Sejak peristiwa itu, pemerintah mengeluarkan program Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) yang melarang aktivitas politik mahasiswa dan civitas academica kampus. Kemudian untuk mengorganisir organisasi kemahasiswaan pemerintah membentuk Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK) untuk memudahkan pemerintah melakukan aktivitas politik mahasiswa.

f) Mengontrol kebebasan Pers. Selama masa orde Baru pemerintah menerapkan kekebasan pers yang bertanggung jawab. Hal yang menarik dari sistem kebebasan pers yang diterapkan selam 32 tahun. Orde baru berkuasa ini adalah pada waktu tertentu pers menikmati kebebasan yang longgar, namun pada saat tertentu ketika suhu politik meninggi, pengawasan pemerintah terhadap pers meningkat. Pengawasan yang ketat ini menyebabkan terjadinya kasus pembrededlan atau pelarangan terhadap sejumlah surat kabar dan majalah dengan cara dibredel dan dicabut Surat Izin Usaha Pnerbitan Pers-bya (SIUPP). Di bawah ini merupakan dibredel dan dicabut SIUPPnya:Harian Sinar Harapan tanggal 2 Januari 1973 dengan tuduhan menyiarkan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 1973-1974 sebelum Pemerintah mengumumkan secara resmi, Surat Kabar Prioritas pada tahun 1984 dengan tuduhan melanggar kode etik jurnalistik memuat berita mendahului pengumuman resmi pemerintah, tabloid Monitor

tahun 1991 karena menghina salah satu agama, Majalah Tempo, Editor dan Detik pada tahun 1994 dianggap antipasti terhadap pemerintah. 3) Bidang Sosial. Pemerintah Orde Baru memperluas kekuasaan mereka atas kehidupan social masyarakat melalui tentara. Tentara Nasiona lIndonesia memiliki struktur organisasi yang menempatkan mereka ke desa. Di tingkat Provinsi ada Komando Daerah Militer (Kodam), ditingkat karesidenan ada Komando Resort Militer (Korem), ditingkat kabupaten ada Komando Distrik Militer (Kodim), di tingkat kecamatan ada Komando Rayon Militer (Koramil), dan tingkat desa ada Bintara Pembina Desa (Babinsa). Struktur seperti di atas sebenarnya sangat efektif untuk menjaga integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia, namun dalam prakteknya justru disalahgunakan oleh pemerintah Orde Baru. Dengan struktur seperti itu, Tentara Nasional Indonesia mengaawasi dan mempengaruhi seluruh kehidupan social masyarakat. Tidak mengherankan bahwa Tentara Nasional Indonesia bisa menyusup masuk ke dalam kelompok social untuk memastikan bahwa kelompok social tersebut mendukung Pemerintah Orde Baru atau sebaliknya membahayakan terhadap eksistensi pemerintahaan Orde Baru. Selama Orde Baru, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia bersifat ganda, disatu pihak sebagai penjaga integritas integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia tetapi dilain pihak telah menjadi agen pemerintah untuk melanggengkan kekuasaan pemerintah Orde Baru. Di masyarakat seakan ada pepatah Barang siapa yang berani menentang Soeharto (Orde Baru) berarti akan berhadapan dengan tentara yang bersenjata. Pepatah di atas semakin didukung dengan dibentuk Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (KOMKAMTIB) padaa tanggal 3 Maret 1969 dengan tugas pokoknya: (1) Memulihkan keamanan dan ketertiban akibat pemberontakan Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia serta kegiatan ekstrim dan subversive lainnya. (2) mengamankan kewibawaan pemerintah dan alat-alatnya dari pusat sampai dengan daerah untuk menjamin kelangsungan hidup Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Selama Orde Baru, siapapun yang berseberangan dengan pemerintah akan ditangkap oleh Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (KOMKAMTIB). Mereka yang berseberangan diberi predikat anti Pancasila, anti pembangunan, pengganggu stabilitas, ekstrim kanan, ekstrim kiri dan sebagainya. Hal ini membuat masyarakat takut berpartisipasi dalam kehidupan politik. Masyarakat khawatir apa yang dilakukan mereka dianggap menentang Pemerintah Orde Baru. 4) Bidang Kebudayaan. Pemerintah Orde Baru juga mengontrol bidang kebudayaan. Kebudayaan daerah yang dianggap bertentangan atau membahayakan kebudayaan nasional akan dilarang dan dihapus. Pemerintah juga mengontrol kerja dan produksi kebudayaan. Seniman tidak bisa seenaknya menghasilkan karya seni. Karya seni yang membahayakan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 serta mengkritisi pemerintah Orde Baru akan dilarang. Demikian pula puisi dan pementasan drama atau teater. Semuanya harus ada izin tertulis dari aparat keamanan. Selain itu, isi pementasan atau isi puisi pun harus dikontrol bahkan harus dilaporkan terlebih dahulu sebelum pementasan.

5) Bidang Ekonomi. berbeda dengan Orde lama, pemerintah Orde Baru menjadikan pembangunan ekonomi sebagai panglima. Meskipun demikian, seringkali juga pemerintah Orde Baru bertindak sewenang-wenang, misalnya merampas tanah milik rakyat demi pembangunan, merambah dan menggunduli hutan demi pembangunan dan sebagainya. Kehidupan perekonomian rezim Soeharto memang mengalami kemajuan pesat. Namun, perekonomian bertumpu pada sekelompok kecil orang saja, sehingga tonggak perekonomian tersebut menjadi berantakan ketika krisis moneter melanda Indonesia pada tahun 1997, inilah wujud pembangunan ekonomi yang sifatnya sentralistik. 6) Bidang Pertahanan dan Keamanan. Selama orde Baru tentara telah menjadi alat kekuasaaan untuk melanggengkan kekuasaan pemerintah Orde Baru selain berfungsi sebagai penjaga integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konsep Dwi Fungsi Angkatan Bersenjata Indonesia yang memberikan kekuasaan dibidang politk kepada tentara menempatkan mereka di bawah control pemerintah, karena wilayah politik telah berada di bawah kekuasaan pemerintah. 7) Bidang Agama. Dengan membentuk Departemen agama, Negara juga mengontrol agama di Indonesia. Selama masa orde baru hanya lima agama resmi yang diperbolehkan hidup, agama lain dilarang, orang yang tidak beragama pun juga dilarang. Jadi semua orang harus beragama, tetapi harus salah satu dari lima agama tersebut. Pemerintah juga mengawasi praktik keagamaan dan masing-masing agama. Praktik keagamaan yang dianggap bahaya terhadap keamanan Negara atau bertentangan dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 akan ditindak dengan keras. Bahkan tokoh agama terkenal seperti ketua Nahdatul Ulama dan Ketua Muhammadiyah akan diawasi gerak-gerik mereka secara ketat. Pemerintah memonitor kegiatan dakwah. Melalui oleh Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (KOMKAMTIB) pemerintah Soeharto pernah menerapkan kebijakan agar mubalig mengizinkan untuk berdakwah dan menyeret beberapa mubaligh ke penjara. Dengan kebijakan ini, aparat keamanan bisa berdalih dan beralasan bahwa mereka bisa secara paksa menghentikan suatu tablig atau ceramah agama karena mengkritik pemerintah atau Golongan Karya (GOLKAR), apalagi jika ceramahnya mendorong masyarakat untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah. B) Berakhirnya Pemerintah Orde Baru dan Lahinrya Reformasi I) Krisis Multidimensi di Indonesia a) Krisis Ekomomi 1) Melemahnya Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar. Krisis moneter yang melanda Negara Asia Tenggara sejak bulan Juli 1997, dimulai melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Pada tanggal 1 Agustus 1997, nilai tukar rupiah turun dari Rp 2.575 menjadi Rp 2.603 per dollar. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar tersebut berakibat: (1) Pertumbuhan pereknomian Indonesia mencapai 0%. (2) Iklim bisnis di Indonesia menjadi lesu.

(3) Kondisi moneter menjadi terpuruk yang ditandai dengan dilikuidasinya (dibubarkan) 16 Bank tahun 1997. (4) Perdagangan dengan luar negeri semakin sulit, karena barang dari luar neger menjadi sangat mahal. (5) Hancurnya sistem fundamental perekonomian Indonesia. 2) Hutang Luar Negeri yang sangat besar. Atas dasar pernyataan Ketua Tim Hutang-hutang Luar Negeri Swasta (HLNS) Radius Prawiro seusai sidang Dewan Pemantapan Ketahanan Ekonomi dan Keuangan (DPKEK) yang dipimpin Presiden Soeharto di Buna Graha tanggal 6 Februari 1998, hutang luar negeri Indonesia sampai bulan Februari 1998 mencapai US $ 137.424.000.000.000 (137.424 miliar dollar Amerika Serikat) yang terbagi atas utang swasta nasional yakni US $ 73.862.000.000.000 (73.862 milliar dollar Amerika Serikat) dan utang pemerintah US $ 63.462.000.000.000 (63.462 milliar dollar Amerika Serikat). Utang luar negeri yang sangat besar tersebut mengakibatkan: pedagang luar negeri tidak percaya terhadap importer Indonesia yang dianggapnya tida akan mampu membayar barang dagang mereka, hamper semua Negara tidak mau menerima letter of credit (L/C) dari Indonesia yang disebabkan sistem perbankan di Indonesia yang tidak sehat. b) Krisis Politik a) Kemenangan Golongan Karya (GOLKAR) selama Orde baru dianggap tidak jujur dan adil. Selama Orde baru memerintah pemerintah telah melaksanakan Pemilihan umum sebanyak 6 kali yakni: Pemilihan umum tahun 1971, Pemilihan umum tahun 1977, Pemilihan umum tahun 1982, Pemilihan umum tahun 1987, Pemilihan umum tahun 1992, dan Pemilihan umum tahun 1997 yang secara keseluruhan dimenangkan oleh Golongan Karya (GOLKAR). Masyarakat menilai kemenangan tersebut hanyalah rekayasa belakaa untuk melanggengkan kekuasaan Orde Baru. b) Lima Paket. Selama Orde Baru, pemerintah mengeluarkan 5 Paket Undang-undang Politik yang dinilai oleh masyarakat sebagai sumber ketidak adilan, lima pekt tersebut adalah: (1) UU No. 1/1985 tentang Pemilihan Umum. (2) UU No. 2/1985 tentang Susunan, kedudukan, tugas dan wewenang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). (3) UU No. 3/1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya (GOLKAR) (4) UU No.4/1985 tentang Referendum. (5) UU No.5/1985 tentang Organisasi Massa.

C)Krisis Sosial. Terjadinya pemutusan hubungan kerja secara sepihak sehingga menimbulkan pengangguran dimana-mana, banyaknya ketidakadilan dalam bidang hukum, terlepih dalam

proses peradilan, terjadinya kesenjangan social yang cukup tajam antara golongan kaya (konglomerat) dengan golongan miskin (rakyat). d)Krissi kepercayaan. Pemerintahan Orde Baru dibawah Kepemimpinan Presiden Soeharto yang cenderung diktaktor telah melahirkan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang nantinya menimbulkan rasa ketidakadilan, kesenjangan social yang semakin lebar, rusaknya tatanan politik, ekonomi dan hukum sehingga rakyat sudah tidak percaya lagi terhadap pemerintah. II) Lahirnya Reformasi dan Runtuhnya Pemerintahan Presiden Soeharto a) Pengertian, Tujuan dan Agenda Reformasi. Menurut Adam Normiet, reformasi adalah perubahan radikal untuk perbaikan dalam suatu masyarakat atau Negara. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, reformasi adalah perubahan radikal untuk perbaikan dibidang social, politik atau agama. Atas dasar pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa reformasi adalah suatu gerakan utnuk mengadakan pembaharuan dan perubahan terutama dalam bidang politik, social, ekonomi dan bermasyarakat dan berbangsa , seusai dengan nilai Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 baik dalam bidang politik, social, ekonomi dan hukum. Mahasiswa yang menjadi pelopor gerkan Reformasi mengeluarkan agenda pokok reformasi sebagai berikut: (1) Adili Soeharto dan kroninya. (2) Amandemen Undang-undang Dasar 1945. (3) Supermasi Hukum. (4) Otonomi daerah yang seluas-luasnya. (5) Penghapusan Dwi Fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. (6) Pemerintah yang bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. b) Runtuhnya pemerintah Presiden Soeharto. Adanya anarkis yang bersifat multi dimensi tersebut melahirkan gelombang demonstrasi mahasiswa menentang rezim Orde Baru. Demonstrasi ini akhirnya mengakumulai setelah empat mahasiswa Universitas Tri Sakti (Elang Mulya Lesmana, Hri Haritanto, Hendiriawan Sie dan Hafidin Royan) gugur serta terjadi kerusuhan 12 Mei 1998. Akibatnya pada tanggal 21 Mei 1998, Presiden Soeharto mengundurkan diri dan diganti oleh B. J. Habibie sebagai presiden Republik Indonesia yang ketiga.

Anda mungkin juga menyukai