Anda di halaman 1dari 4

I.

PARADIGMA ARSITEKTUR PERILAKU

Manusia tidak dapat lepas dari lingkungannya. Setiap aspek dalam kehidupan manusia selalu berada dalam lingkungan tertentu. Hal ini merupakan salah satu indikasi bahwa manusia memang tak bisa lepas dari lingkungan. Pola perilaku manusia sedikit banyak juga ditentukan oleh keadaan lingkungan sekitarnya. Lingkungan memiliki peran penting dalam membentuk karakter manusia. Lingkungan juga dapat menjadi sarana bagi manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Tidur, bekerja, rekreasi, ibadah dan berbagai aktivitas lainnya membutuhkan ruang atau lingkungan. Dalam pemenuhan kebutuhan tersebut, terlihat adanya pola perilaku penggunanya. Barker seorang tokoh psikologi ekologi yang mengembangkan penelitian perilaku individual di lapangan,bukan di laboratorium seperti pada umumnya perilaku psikologi tradisional, menelusuri bahwa pola perilaku manusia berkaitan dengan tatanan lingkungan fisiknya, dan melahirkan konsep tatar perilaku (behavior setting). Behavior setting terjadi pada pertemuan antara individu dan lingkungannya. Seorang arsitek melalui pengamatan behavior setting dalam perencanaan proyek tertentu dapat membantu untuk mengenal system social dari dalam setting, dalam arti melihat pola-pola perilaku sistematis yang ditunjukkan oleh penghuni lingkungan tertentu. Dengan demikian, hasil pengamatan ini dapat memperluas wawasan pengetahuan arsitek tentang manusia dari perspektif yang berbeda bukan dari teori semata. Behavior setting sebagai suatu kesatuan cenderung lebih memaksa dibandingkan dengan pola perilaku atau milieu itu sendiri. Disini, Barker, sebagai pencetus konsep behavior setting mengemukakan gagasan yang kontradiktif. Disuatu sisi, ia mengatakan bahwa lingkungan non social, lingkungan ekologi, bukanlah demand behavior. Akan tetapi, disisi lain, ia menerima konsep psikologi Gestalt mengenai persepsi physiognomic, yaitu milieu mempunyai demand quality. Ada tuntutan tertentu seperti ruang terbuka yang merancang seorang anak untuk berlarian. Hal ini dijelaskan dalam konsep Kurt Lewin mengenai kualitas yang mengundang (invitational quality) Kekuatan sosial mempunyai peran kuat dalam menentukan perilaku seseorang atau sekelompok orang.

Behavior setting dalam desain DAlam berbagai argumentasi dikatakan bahwa desain behavior setting yang baik adalah yang sesuai atau pas dengan struktur perilaku penggunanya. Desain arsitektur disebut suatu proses argumentatif. Argumentasi dilontarkan dalam membuat desain yang dapat diadaptasikan, fleksibel, atau terbuka (open ended). Edward Hall mengidentifikasi tiga tipe dasar pola ruang sebagai berikut:

a.

Ruang Berbatas Tetap (fixed feature space)

Ruang berbatas tetap dilingkupi oleh pembatas yang relative tetap dan tidak mudah digeser, seperti dinding massif, jendela, pintu, lantai. b. Ruang Berbatas semitetap (semifixed feature space)

Ruang yang pembatasnya bisa berpindah. PAda rumah-rumah tradisional Jepang misalnya, dinding dapat digeser untuk mendapatkan setting yang berbeda sesuai dengan kebutuhan dan pada waktu yang berbeda. Ruang-ruang pameran yang dibatasi oleh partisi yang dapat dipindahkan ketika dibutuhkan setting yang berbeda. c. Ruang Informal

Ruang yang terbentuk hanya untuk waktu singkat., seperti ruang yang terbentuk ketika dua atau lebih orang berkumpul. Ruang ini tidak tetap dan terjadi diluar kesadaran orang yang bersangkutan. Banyak ruang justru dibentuk seketika ia dibutuhkan untuk aktivitas tertentu. Suatu lay out yang dapat diadaptasikan memungkinkan adanya berbagai pola perilaku pada waktu yang berbeda tanpa perlu melakukan perubahan physical milieu. Misalnya, sebuah ruang serbaguna yang dapat dipakai pada suatu saat untuk dipertandingkan badminton, tenis meja, dan karate. Pada saat lain, bisa dipakai untuk kegiatan halal bi halal. Pada kesempatan lain bisa juga untuk tempat pertunjukan sendra tari. Robert Venturi mengatakan: ada justifikasi untuk bangunan serbaguna,.sebuah ruangan dapat mempunyai sebuah fungsi pada saat yang sama atau pada waktu yang berbeda Konsep system aktivitas dan behavior setting member dasar yang lebih luas dalam mempertimbangkan lingkungan daripada hanya semata-mata tata guna lahan, tipe bangunan, dan tipe ruangan secara fisik. Dengan demikian, membebaskan arsitek dari bentuk-bentuk klise, bentuk-bentuk prototype, atau memaksakan citra yang tidak sesuai dengan pola perilaku masyarakat penggunanya. Sebaliknya, membawa arsitek berpikir pola perilaku dan milieu sebagai suatu entitas atau suatu kesatuan. Rapoport (1969) mengidentifikasi lima aspek budaya yang tercermin dalam desain sebuah rumah, yaitu cara menjalankan aktivitas dasar, struktur keluarga, peran gender, sikap terhadap privasi, dan proses social. Dari uraian tersebut, jelas bahwa organisasi keluarga dan gaya hidup mempunyai peran penting dalam desain suatu behavior setting.

II.

BANGUNAN DENGAN PARADIGMA ARSITEKTUR PERILAKU

BRONJONG HOUSE oleh andyrahmana architect

Denah di atas merupakan denah rumah tinggal. Biasanya, dan memang rumah tinggal akan d rancang berdasarkan pola tingkah laku manusia di rumah, dan masing-masing keluarga memiliki pola perilaku yang berbeda-beda. Ada keluarga yang dapat menerima tamu sebagai bagian dari keluarga mereka sehingga kadang menempatkan ruang tamu berdekatan dengan ruang keluarga. Namun pada kasus bronjong house ini, ruang tamu (ruang publik) dengan ruangan keluarga (semi publik) dan yang lainnya di bedakan. Terlihat ruang tamu di letakkan terbuka seperti di teras. Tanpa adanya pintu terdekat untuk mengakses ke ruangan lainnya. Penzoningan juga terlihat dari letak dapur. Terdapat selasar yang menghubungkan antara ruang tamu ke ruang makan. Sehingga tamu yang akan di jamu tidak perlu melewati ruangan privasi si empunya rumah. Kalaupun harus meminjam toilet, tamu akan melewati ruang keluarga yang sifatnya semi publik. Jadi ruangan di lantai satu bronjong house ini bersifat publik-semi publik.

Anda mungkin juga menyukai