Anda di halaman 1dari 8

Eva Novi Karina 12/339011PSP/4368 Master of International Trade Studies Universitas Gajah Mada

Latar Belakang
Sengketa dapat muncul ketika suatu negara menetapkan suatu kebijakan perdagangan tertentu yang bertentangan dengan komitmennya di World Trade Organization (WTO), atau mengambil kebijakan yang merugikan negara lain. (M. Hawin)

Sengketa antara Indonesia dan Amerika Serikat terkait dengan rokok kretek berawal dari disahkannya Pasal 907 (1) Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act oleh Presiden Obama pada tanggal 22 Juni 2009, dan diberlakukan pada bulan September 2009.

AMERIKA SERIKAT (AS)

Family Smoking Prevention & Tobacco Control Act


(disahkan Presiden Obama 22 Juni 2009 diberlakukan September 2009)

bertujuan untuk menurunkan tingkat perokok muda di kalangan masyarakat AS

Melarang peredaran semua rokok yang mengandung aroma dan rasa (flavored cigarettes), termasuk rokok kretek, di Amerika Serikat. Namun, peraturan tersebut tidak melarang rokok yang mengandung aroma dan rasa menthol.

Dampak bagi Indonesia


Sebagai salah satu produsen rokok kretek terbesar di dunia, ekspor kretek Indonesia mencapai US$ 500 juta atau sekitar Rp. 4,26 triliun/ tahun. Dari total tersebut seperlimanya diekspor ke AS. (Siaran Pers Kemendagri, 21 September
2010)

Dengan aturan itu Indonesia kehilangan potensi pendapatan dari ekspor rokok kretek sejak tahun 2009. Menurut data Kementerian Perdagangan, ekspor produk "cigarettes tobacco--termasuk kretek-Indonesia ke AS yang pada 2007 senilai 604.420 dolar AS turun menjadi 38.000 dolar AS pada 2009, saat regulasi teknis AS mulai diberlakukan. Volume ekspor rokok jenis itu juga turun dari 30.196 kilogram pada 2007 menjadi 9.984 kg pada 2009. Sementara tahun 2010 sama sekali tidak ada ekspor rokok jenis tersebut. Indonesia kehilangan potensi ekspor sebesar US$ 200 juta setahun, serta tertundanya rencana investasi produsen rokok kretek ind ke Amerika Latin krn pintu masuk ekspor ke AS ditutup.

Indonesia

lengthy Concultation with WTO

Proposed to establish a Panel to WTO - Dispute Settlement Body (DSB)

The National Treatment Obligation: Every member country of WTO is obligated to provide equal treatment on similar types of product either manufactured domestically or imported from other member countries of the WTO.

Premise: US violated the WTO provision on National Treatment Obligation as specified in article 2.1 the Technical Barrier to Trade (TBT) Agreement.

Penyelesaian Sengketa WTO


Penyelesaian sengketa WTO di atur di dalam Dispute Settlement Understanding (DSU), dengan Dispute Settlement Body (DSB) sebagai lembaga penyelesaian sengketa WTO. DSB memiliki kewenangan: membentuk Panel menerima laporan Panel laporan dari Appellete Body (AB) yang merupakan lembaga banding dalam penyelesaian sengketa WTO, mengawasi implementasi putusan dan rekomendasi, menguasakan penangguhan konsesi serta kewajiban-kewajiban lain dalam perjanjian yang terkait. Indonesia berargumen bahwa regulasi yang dibuat oleh Amerika Serikat merupakan tindakan yang bersifat diskriminatif. Hal tsb dikarenakan, peraturan tersebut dibuat tanpa disertai bukti ilmiah yang menyatakan bahwa rokok kretek lebih berbahaya dibandingkan dengan rokok kretek. Maka pada tanggal 9 Juni 2010, Indonesia meminta pembentukan panel kepada DSB WTO. Pada intinya, Indonesia mengajukan dua gugatan utama yaitu: 1. Pasal 2.1 TBT Agreement, yaitu bahwa Amerika Serikat telah melakukan diskriminasi. 2. Pasal 2.2 TBT Agreement, yaitu bahwa pelarangan rokok tersebut tidak perlu dilakukan.

Pasal 2.1 TBT Agreement mengatur suatu regulasi teknis yang di buat oleh suatu negara, tidak boleh memperlakukan produk domestik negara tersebut lebih menguntungkan dibandingkan dengan produk impor sejenis. Untuk menentukan apakah telah terjadi suatu pelanggaran terhadap Pasal 2.1 TBT Agreement, ada 3 elemen dalam Pasal tsb yang harus terpenuhi, yaitu: 1. Kebijakan tersebut merupakan suatu regulasi teknis Tobacco Control Act memenuhi elemen ini, karena jelas disebutkan mengenai hal yang di atur dalam aturan tsb, yaitu rokok. AS secara eksplisit menyebutkan karakteristik2 rokok yang di larang, salah satunya adalah rokok kretek. Tobacco Control Act memerintah untuk melarang beredarnya produk produk rokok yang mengandung berbagai karakteristik spt yang disebut dalam Tobacco Control Act tersebut. 2. Bahwa yang menjadi sengketa antara produk impor dengan produk domestik, merupakan produk yang sejenis Rokok kretek & rokok menthol dapat dikategorikan sebagai produk sejenis, karena secara fisik kedua produk tersebut sama. Keduanya merupakan rokok yang dilinting dengan kertas dan digunakan untuk menghisap tembakau. Aroma & rasa kedua jenis rokok tsb juga sama2 dapat menimbulkan ketergantungan terhadap rokok. Klasifikasi tarif keduanya pun sama. 3. Bahwa produk impor diperlakukan kurang menguntungkan dibandingkan dengan produk domestik yang sejenis Dalam Tobacco Control Act, AS melarang peredaran rokok dgn aroma dan rasa tertentu yg merupakan rokok yang diimpor oleh AS, termasuk rokok kretek yang diimpor dari Indonesia. Sedangkan rokok menthol yg merupakan produk domestik Amerika Serikat tidak dilarang peredarannya. AS menyatakan bahwa pelarangan tersebut bukan berdasarkan asal negara, namun lebih kepada dampak yang ditimbulkan bagi generasi muda. Tetapi pada faktanya, efek yang ditimbulkan dari rokok menthol dan rokok kretek adalah sama.

2 Sept 2011 Panel WTO menemukan bahwa kebijakan AS tersebut tidak sesuai dengan ketentuan WTO, karena rokok kretek dan rokok mentol adalah produk sejenis (like products), dan keduanya memiliki daya tarik yang sama bagi kaum muda. Menurut WTO, kebijakan yang membedakan perlakuan terhadap dua produk sejenis, merupakan tindakan yang tidak adil (less favourable).

5 Jan 2012

Pemerintah AS tidak puas terhadap keputusan panel melakukan banding ke Appellate Body (AB) WTO

4 April 2012

Hasil banding yang dikeluarkan AB menegaskan kembali bahwa:


1. keputusan panel sebelumnya adalah benar, dan pemerintah AS telah mengeluarkan kebijakan yang tidak konsisten dengan ketentuan WTO. 2. AS terbukti melanggar ketentuan Pasal 2.12 TBT Agreement di mana AS tidak memberikan waktu yang cukup (reasonable interval) antara sosialisasi kebijakan dan waktu penetapan kebijakan, yaitu sekurang-kurangnya enam bulan, merujuk pada keputusan menteri-menteri di Doha. 3. AB menyatakan bahwa determinasi "produk serupa" seharusnya tidak diinterpretasikan berdasar tujuan pengaturan dan isi regulasi, melainkan pada hubungan kompetitif produk berdasar analisis tradisional keserupaan. Kriteria tradisional keserupaan yang dimaksud meliputi karakteristik fisik, penggunaan akhir, selera dan kebiasaan konsumen, serta klasifikasi tarif.

Berdasarkan ketentuan DSU pasal 17 (14), keputusan AB akan diadopsi oleh DSB setelah 30 hari dikeluarkannya putusan AB, yaitu Mei 2012.

Kini nasib ekspor kretek Indoensia bergantung pada lobi bilateral AS - Indonesia, dengan batas waktu paling lama 6 bulan. 3 opsi yang mungkin dihasilkan: 1. AS merubah beleid pelarangan ekspor sesuai ketentuan WTO 2. AS tetap mempertahankan peraturannya 3. Indoensia mendapat kompensasi yang disepakati tanpa revisi beleid pelarangan ekspor rokok.
Langkah diplomasi yang dapat dilakukan Indonesia setelah putusan AB keluar:

Jika AS tidak melaksanakan rekomendasi WTO, Indonesia akan meminta konsultasi bilateral agar AS melaksanakan rekomendasi Jika tidak juga digubris, sebagai salah satu langkah diplomasi perdagangan Indonesia dapat melakukan retaliasi silang atau cross retaliation, yakni mengenakan pembatasan atau

pelarangan penjualan produk AS di Indonesia senilai kerugian akibat pelarangan penjualan rokok beraroma asal Indonesia di AS (sekitar US$ 200 juta).
Tujuan Indonesia mengajukan kasus rokok kretek ke WTO bukan untuk meningkatkan ekspor produk rokok ke AS, melainkan untuk mengamankan akses pasar rokok kretek Indonesia di AS. Selain itu mencegah aturan yang diterapkan Pemerintah AS ditiru oleh negara lain, termasuk negara-negara tujuan ekspor utama rokok kretek Indonesia. (Imam Pambagyo, Dirjen Kerjasama Perdagangan Internasional)

Anda mungkin juga menyukai