Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Jamu merupakan ramuan asli Indonesia yang telah lama digunakan nenek moyang untuk mencegah sakit dan mengobati penyakit. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan 80% dari orang di seluruh dunia bergantung pada obat-obatan herbal/ jamu untuk beberapa bagian dari perawatan kesehatan primer mereka. Saat ini minat masyarakat terhadap pengobatan dengan memakai jamu semakin meningkat. Menurut riset kesehatan dasar tahun 2010, memberi gambaran bahwa dari populasi di 33 provinsi dengan 70.000 rumah tangga dan 315.000 individu, secara nasional 59,29 persen penduduk Indonesia pernah minum jamu. Angka ini menunjukkan peningkatan penggunaan jamu/obat tradisional secara bermakna. Ternyata 93,76 persen masyarakat yang pernah minum jamu menyatakan bahwa minum jamu memberikan manfaat bagi tubuh. Meskipun jamu banyak digunakan masyarakat Indonesia dalam usaha pengobatan sendiri (self medication), dokter Indonesia masih enggan untuk meresepkan atau menggunakan jamu. Mereka beralasan karena bukti ilmiah mengenai khasiat dan keamanan obat tradisional/jamu pada manusia masih kurang. Berbeda dengan negara tetangga seperti Cina, Korea dan India yang mengintergrasikan cara dan pengobatan tradisional di dalam sistem pelayanan kesehatan formal. Sehingga para dokter di Indonesia masih sedikit menggunakan jamu sebagai salah satu pilihan pengobatan.1 Secara umum, hal tersebut di atas dipengaruhi oleh bebarapa hal yaitu sistem pendidikan kedokteran di Indonesia, perkembangan pengobatan medis di Indonesia, saintifikasi jamu dan intergrasi pelayanan kesehatan tradisional di pelayanan kesehatan di Indonesia. Keempat hal tersebut berperan dalam peresepan jamu oleh dokter Indonesia. Pada kesempatan ini kami membahas fenomena mengenai peresepan jamu oleh dokter Indonesia yang masih sedikit.

1.2. Rumusan Masalah a. Bagaimana sistem pendidikan kedokteran Indonesia dalam mendukung pengetahuan dokter tentang jamu? b. Bagaimana perkembangan pengobatan medis di Indonesia? c. Bagaimana perkembangan saintifikasi jamu di Indonesia? d. Bagaimana intergrasi pelayanan kesehatan tradisional di fasilitas kesehatan di Indonesia?

1.3. Tujuan 1.3.1. Tujuan Umum Menjelaskan peresepan jamu oleh dokter Indonesia masih sedikit.

1.3.2. Tujuan Khusus a. Menjelaskan sistem pendidikan kedokteran Indonesia dalam mendukung pengetahuan dokter tentang jamu b. Menjelaskan perkembangan pengobatan medis di Indonesia c. Menjelaskan perkembangan saintifikasi jamu di Indonesia d. Menjelaskan intergrasi pelayanan kesehatan tradisional di fasilitas kesehatan di Indonesia 1.4. Manfaat Memahami peresepan jamu oleh dokter Indonesia masih sedikit dan mencari cara penyelesaian yang tepat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Obat bahan alam dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis yaitu jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka. Jamu (Empirical based herbal medicine) adalah obat bahan alam yang disediakan secara tradisional, misalnya dalam bentuk serbuk seduhan, pil, dan cairan yang berisi seluruh bahan tanaman yang menjadi penyusun jamu tersebut dan digunakan secara tradisional. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 246 tahun 1992, pengertian jamu adalah obat tradisional yang bahan bakunya simplisia yang sebagian besar belum mengalami standarisasi dan belum pernah diteliti, bentuk sediaan masih sederhana berwujud serbuk seduhan, rajangan untuk seduhan, dan sebagainya. Jamu merupakan obat yang berasal dari bahan tumbuh-tumbuhan, hewan dan mineral atau sediaan galenik atau campuran dari bahan-bahan tersebut yang secara tradisional telah digunakan dalam upaya pengobatan berdasarkan pengalaman. Setiap daerah memiliki ciri khas jamunya tersendiri yang memang bisa memiliki dasar ramuan dan falsafah saling berbeda. Tetapi pada dasarnya sama yaitu semuanya mengandung ramuan alamiah yang terdiri dari tumbuh-tumbuhan, mulai dari akar sampai ke bunga tanaman dapat dimanfaatkan. Ciri khas inilah yang membedakan obat tradisional Indonesia dengan obat tradisional bangsa lain yang mempergunakan bahan alami hewan atau mineral.2

2.2. Saintifikasi Jamu Melihat kompleksitas permasalahan penyelenggaraan jamu yang masih belum sepenuhnya teratasi, Kementrian Kesehatan telah menggulirkan program bahkan gerakan Saintifikasi Jamu yang berdasarkan Permenkes No.03 Tahun 2010 tentang Saintifikasi Jamu Pada Penelitian Berbasis Pelayanan3. Regulasi pengaturan saintifikasi jamu bertujuan untuk: a) memberikan landasan ilmiah (evidence-based) penggunaan jamu secara empiris melalui penelitian berbasis pelayanan kesehatan, mendorong terbentuknya jejaring dokter

b) mendorong terbentuknya jejaring dokter atau dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya sebagai peneliti dalam rangka upaya preventif, promotif, rehabilitatif, dan paliatif melalui penggunan jamu c) meningkatkan kegiatan penelitian kualitatif terhadap pasien dengan penggunaan jamu d) meningkatkan penyediaan jamu yang aman, memiliki khasiat nyata yang teruji secara ilmiah, dan dimanfaatkan secara luas baik untuk pengobatan sendiri maupun dalam fasilitas pelayanan kesehatan. Khusus dalam lingkup sektor kesehatan, gerakan saintifikasi jamu masih harus digulirkan sebagai suatu momentum menuju kegiatan yang lebih besar berskala nasional. Pilihan rasional yang sesuai dengan visi dan misi Kemkes diprioritaskan jamu non-medik yang sesuai dengan paradigma sehat. Dalam konteks ini hubungan antara jamu dengan obat modern adalah sinergi. Antar keduanya terdapat kesejajaran dan saling melengkapi, karena secara filosofis, jamu merupakan ikon sehat. Tetapi karena pelayanan kesehatan yang tidak bisa dipindahkan sektor lain adalah tugas melayani orang sakit, perlu dikembangkan juga jamu medik. Konteks hubungan jamu-obat modern adalah integrasi. Antar keduanya merupakan suatu kesatuan, namun kedudukan jamu adalah sebagai unsur pelengkap obat modern.

2.3. Peran Akademia Akademia adalah semua sosok intelektual yang mengedepankan pendekatan ilmiah rasional demi kemaslahatan bangsa lebih dari pendekatan lainnya. Akademia bukan terbatas pada warga kampus saja, tetapi juga sosok intelektual yang ada di masyarakat.5 Dokter atau dokter spesialis yang berpendekatan biokultural merupkan jenis pendekatan baru yang menyatukan atau mengintegrasikan kedokteran konvesional (dengan paradigma biomedik) dengan non konvesional (dengan paradigma biokultural).6 Dalam dunia kedokteran modern bila akan mengobati pasien, dokter melakukan beberapa tahap sebelum memberi obat, yaitu melakukan wawancara, pemeriksaan fisik dan bila diperlukan pemeriksaan laboratorium serta radiologis. Setelah itu diberikan rencana pengobatan setelah diagnosis penyakitnya ditegakkan. Dalam pemberian obat, dokter akan memberikan beberapa jenis obat antara lain obat utama, simptomatik, ajuvan, dan roboransia/suplementasi. Di sini jamu bisa menjadi salah satu pilihan untuk dipakai sebagai obat. Saat ini program kesehatan bukan hanya untuk mengobati orang sakit tetapi lebih
4

ditekankan bagaimana supaya orang itu tidak sakit. Pada pengobatan modern, pemakaian obat bisa dimanfaatkan sebagai terapi promotif, preventif, maupun kuratif dan rehabilitatif. Demikian juga dalam pemakaian kliniknya, jamu harus dibedakan apakah dipakai promotif dan preventif atau sebagai kuratif maupun rehabilitatif.4

BAB III KERANGKA KONSEPTUAL

Kondisi di Indonesia

Pendidikan Kedokteran Indonesia

Pengobatan Medis di Indonesia

Saintifikasi Jamu

Intergrasi Pelayanan Kesehatan Tradisional di Faskes

Jumlah Kurikulum Tentang Jamu kurang

Jumlah Universitas Yang Ada Kurikulum Jamu Sedikit

Stagnasi Pada Pengobatan Medis Konvensional

Jumlah Dokter Santifikasi Jamu sedikit

Jumlah Faskes Yang Menggunakan Jamu sedikit

Pengetahuan Dokter terhadap Jamu sedikit

Peresepan Jamu oleh Dokter Indonesia masih sedikit

BAB IV PEMBAHASAN

Jamu merupakan obat tradisional Indonesia yang dipakai sejak dahulu dan sudah terbukti khasiatnya, tidak kalah dengan obat herbal impor (misalnya dari China) yang selama ini membanjiri pasar Indonesia karena era perdagangan bebas. Potensi alam Indonesia pun amat besar dengan keanekaragaman etnobotani (tanaman obat) yang dimiliki. Oleh karena itu, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan bertekad untuk menjadikan jamu sebagai tuan rumah obat tradisional di negeri sendiri. Sistem pendidikan kedokteran di Indonesia kurang mengenalkan jamu/herbal sebagai pengobatan tradisional. Ada beberapa fakultas kedokteran yang mulai memasukkan pelajaran tentang jamu/herbal ke dalam pendidikan kedokteran seperti Universitas Airlangga, Universitas Diponegoro, Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, Universitas Hasanudin, dan Universitas Sumatera Utara tetapi jumlahnya masih sedikit dibandingkan 72 fakultas kedokteran yang ada di Indonesia. Dan jumlah Sistem Kredit Semester (SKS) yang hanya 2 SKS, tidaklah mencukupi untuk seorang calon dokter untuk mempelajari jamu/herbal yang jumlahnya ratusan, yang berkhasiat sebagai obat atau bahan obat. Pengobatan medis di Indonesia yang berkiblat ke barat, masih berorientasi memakai obat-obatan dari bahan kimia. Tetapi perkembangan pengobatan medis di negara-negara maju, terjadi peningkatan penggunaan obat jamu/herbal, dikarenakan usia harapan hidup yang lebih panjang sehingga peningkatan penyakit kronik; kegagalan obat modern untuk penyakit kanker dan meningkatnya kemudahan akses informasi mengenai jamu/herbal di seluruh dunia. Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) juga merekomendasikan penggunaan obat tradisional termasuk jamu/herbal dalam pemeliharaan kesehatan masyarakat, pencegahan dan pengobatan penyakit (terutama pada penyakit kronis, penyakit degeneratif dan penyakit kanker). Studi Viginia Techs Departent of Food Science and Technology 2011 menemukan khasiat jamu/rempah; ekstrak buah sirsak dapat menghambat kanker payudara; kandungan vincristine dalam madagaskar prewinkle dapat meningkatkan harapan hidup anakanak leukemia; dan kunyit dapat dikembangkan mengatasi Alzheimer. Sedangkan di Indonesia, walaupun presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Mei 2008 telah mendeklarasikan Jamu Brand Indonesia sebagai wujud perhatian dan dukungan pemerintah dalam penggunaan dan pemanfaatan jamu sebagai obat tradisional, perkembangan pengobatan medis di Indonesia
7

masih stagnan dengan mengutamakan pengobatan konvensional yang memakai obat-obatan dari bahan kimia. Saintifikasi jamu bertujuan untuk memberi landasan ilmiah pada praktek pelayanan jamu di fasilitas kesehatan, yang landasan hukumnya Peraturan Menteri Kesehatan No. 003/Menkes/Per/I/2010 tentang saintifikasi jamu dalam penelitian berbasis pelayanan kesehatan. Memang ada kemajuan yaitu ada 4 ramuan jamu sudah dilakukan saintifikasi jamu (ramuan anti hipertensi, ramuan anti hiperglikemia, ramuan anti hiperkolesterolemia dan ramuan anti hiperurisemia. Tetapi jamu yang sudah tersaintifikasi harus diserahkan ke pemegang program untuk dapat diaplikasikan di jaringan pelayanan kesehatan. Sedangkan dokter yang bisa menggunakan jamu yang tersaintifikasi ini harus melalui pelatihan selama 50 jam terlebih dahulu. Baru 5 angkatan atau sejumlah 150 dokter yang telah mengikuti pelatihan ini dan kebanyakan dokter yang terlatih ini masih terpusat di daerah Jawa Tengah. Obat bahan alami Indonesia dikelompokkan secara berjenjang dari jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka. Sampai saat ini jumlah jamu mencapai ratusan, sedangkan obat herbal terstandar hanya 31 buah dan fitofarmaka hanya 6 buah. Yang fitofarmaka inilah yang dapat diresepkan oleh dokter. Untuk membuat jamu menjadi fitofarmaka harus melalui uji non klinik dan uji klinik, yang keduanya membutuhkan dana yang besar, sedangkan produsen jamu yang produknya sudah laku di pasaran, enggan untuk mengeluarkan dana untuk meningkatkan status jamunya ke tingkat fitofarmaka. Regulasi penggunaan jamu/herbal sudah diatur pada Keputusan Menteri Kesehatan nomor 1109 tahun 2007 tentang penyelenggaraan pengobatan komplementer alternatif di fasilitas pelayanan kesehatan dan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 121/Menkes/SK/II/2008 tentang standar pelayanan medik herbal. Diharapkan dengan adanya regulasi ini, terjadi intergrasi pelayanan kesehatan tradisional di fasilitas kesehatan untuk penggunaan jamu / herbal. Kenyataannya, pada 2011 hanya 36 rumah sakit yang memiliki poli herbal dari 1959 rumah sakit di Indonesia dan 20% kabupaten/kota (100 kabupaten/kota) yang memiliki program pelayanan kesehatan tradisional. Bisa dikatakan pemakaian jamu/herbal di pelayanan kesehatan belum tersebar merata di Indonesia.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan peresepan jamu oleh dokter Indonesia masih sedikit yaitu, sistem pendidikan kedokteran Indonesia yang belum memperkenalkan jamu sebagai pengobatan alternatif secara optimal, perkembangan pengobatan medis di Indonesia yang konvensional, jumlah dokter saintifikasijamu yang masih sedikit dan terpusat di Jawa Tengah dan jumlah fasilitas kesehatan yang terintergrasi dengan pelayanan kesehatan tradisional belum merata di Indonesia yang menyebabkan peresepan jamu oleh dokter Indonesia masih sedikit.

5.2. Saran a. Mewajibkan semua fakultas kedokteran di seluruh Indonesia untuk memasukkan kurikulum tentang jamu dan meningkatkan jumlah SKS yang memadai. b. Mengikuti perkembangan pengobatan medis yang sudah ke arah back to nature, yang menggunakan jamu/herbal dalam pemeliharaan kesehatan masyarakat,

pencegahan dan pengobatan penyakit (terutama degeneratif dan penyakit kanker).

pada penyakit kronis, penyakit

c. Saintifikasi jamu lebih ditingkatkan kekuatan bukti ilmiahnya dengan desain RCT dengan double blind dan jumlah dokter yang terlatih diperbanyak dan lebih menyebar merata ke seluruh Indonesia. d. Jumlah pelayanan kesehatan yang terintergrasi dengan pelayanan kesehatan tradisional secara bertahap ditingkatkan sehinggan akan merata baik di tingkat puskesmas maupun rumah sakit.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ritiasa K, 2005. Pengembangan Obat Bahan Alam Indonesia Menjadi Fitofarmaka. Dexa Media No3, Vol.18, Juli-September, hal: 114-117 2. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 246 tahun 1992 3. Permenkes RI No. 03 Tahun 2010 Tentang Saintifikasi Jamu Dalam Penelitian berbasis Pelayanan Kesehatan 4. Permenkes RI No. 1109 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pengobatan Komplementer-Alternatif di Fasilitas Pelayanan Kesehatan 5. Winkelman, M. 2009. Culture and Health, Applying Medical Antropology, JosseyBass, San Fransico http://www/wikipedia.org/wiki/jamu 6. Guntur HA, 2005. Prospek Herbal untuk Kesehatan. Simposium Nasional Prospek Herbal dan Makanan Fungsional untuk Kesehatan

10

Anda mungkin juga menyukai