U t a m a M U . 5 Aplikasi Jamu untuk Terapi Kedokteran Modern Dr. dr. Arijanto Jonosewojo, SpPD, FINASIM Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Poliklinik Obat Tradisional Indonesia RSU Dr. Soetomo Surabaya Pendahuluan Jamu merupakan ramuan asli Indonesia yang telah lama digunakan nenek moyang kita untuk mencegah sakit dan mengobati penyakit. Saat ini minat masyarakat terhadap pengobatan dengan memakai jamu semakin meningkat. Sejalan dengan meningkatnya taraf pendidikan masyarakat yang menuntut cara berfikir yang rasional, maka jamu perlu dikaji lebih lanjut tentang standarisasi, manfaat dan keamanannya. Indonesia memiliki potensi bahan alam yang besar yang bisa digali sebagai bahan baku jamu dan data jamu yang telah digunakan masyarakat bisa diteliti sehingga bisa dibuktikan keamanan dan manfaatnya. Selama ini dianggap para dokter di Indonesia belum menerima jamu sebagai salah satu pilihan pengobatan karena memang dalam kurikulum pendidikannya belum semua fakultas kedokteran mengajarkan pemanfaatan jamu ini. Di sisi lain, undang-undang tentang praktek kedokteran melarang dokter memberikan pengobatan bila belum terbukti manfaatnya. Pada saat ini sudah banyak regulasi mengenai pemakaian jamu ini di mana mata pelajaran mengenai herbal dan jamu sudah mulai diajarkan di beberapa fakultas kedokteran. Kementerian Kesehatan telah mencanangkan program Saintifikasi Jamu sebagai proses pembuktian secara ilmiah efikasi dan keamanan jamu dengan melakukan penelitian berbasis pelayanan kesehatan. Kementerian Kesehatan juga telah membentuk Direktorat Yankestradkom yang bertugas mempersiapkan jamu untuk masuk kedalam pelayanan kesehatan pada masyarakat. Demikian juga Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) telah membentuk Departemen Pengkajian Pemakaian Pengobatan Komplementer Alternatif di mana pemakaian jamu juga masuk di dalamnya. BPOM juga telah melakukan regulasi dalam melakukan pembagian macam registrasi untuk bahan obat alami/ herbal dengan memberi perhatian khusus untuk jamu. Paradigma sehat sekarang adalah mencegah sakit lebih baik daripada mengobati, sedangkan pada orang yang sakitpun harus diperhatikan sisi sehatnya. Di sini jamu/herbal bisa dipakai bersama dengan obat konvensional/kimia untuk membuat badan kembali sehat. Simposium Penelitian Bahan Obat Alami XV
Solo, 9-10 November 2011
19 M a k a l a h
U t a m a M U . 5 Aplikasi Jamu untuk Terapi Kedokteran Modern Dr. dr. Arijanto Jonosewojo, SpPD, FINASIM Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Poliklinik Obat Tradisional Indonesia RSU Dr. Soetomo Surabaya Pendahuluan Jamu merupakan ramuan asli Indonesia yang telah lama digunakan nenek moyang kita untuk mencegah sakit dan mengobati penyakit. Saat ini minat masyarakat terhadap pengobatan dengan memakai jamu semakin meningkat. Sejalan dengan meningkatnya taraf pendidikan masyarakat yang menuntut cara berfikir yang rasional, maka jamu perlu dikaji lebih lanjut tentang standarisasi, manfaat dan keamanannya. Indonesia memiliki potensi bahan alam yang besar yang bisa digali sebagai bahan baku jamu dan data jamu yang telah digunakan masyarakat bisa diteliti sehingga bisa dibuktikan keamanan dan manfaatnya. Selama ini dianggap para dokter di Indonesia belum menerima jamu sebagai salah satu pilihan pengobatan karena memang dalam kurikulum pendidikannya belum semua fakultas kedokteran mengajarkan pemanfaatan jamu ini. Di sisi lain, undang-undang tentang praktek kedokteran melarang dokter memberikan pengobatan bila belum terbukti manfaatnya. Pada saat ini sudah banyak regulasi mengenai pemakaian jamu ini di mana mata pelajaran mengenai herbal dan jamu sudah mulai diajarkan di beberapa fakultas kedokteran. Kementerian Kesehatan telah mencanangkan program Saintifikasi Jamu sebagai proses pembuktian secara ilmiah efikasi dan keamanan jamu dengan melakukan penelitian berbasis pelayanan kesehatan. Kementerian Kesehatan juga telah membentuk Direktorat Yankestradkom yang bertugas mempersiapkan jamu untuk masuk kedalam pelayanan kesehatan pada masyarakat. Demikian juga Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) telah membentuk Departemen Pengkajian Pemakaian Pengobatan Komplementer Alternatif di mana pemakaian jamu juga masuk di dalamnya. BPOM juga telah melakukan regulasi dalam melakukan pembagian macam registrasi untuk bahan obat alami/ herbal dengan memberi perhatian khusus untuk jamu. Paradigma sehat sekarang adalah mencegah sakit lebih baik daripada mengobati, sedangkan pada orang yang sakitpun harus diperhatikan sisi sehatnya. Di sini jamu/herbal bisa dipakai bersama dengan obat konvensional/kimia untuk membuat badan kembali sehat. Simposium Penelitian Bahan Obat Alami XV
Solo, 9-10 November 2011
19 M a k a l a h
U t a m a M U . 5 Aplikasi Jamu untuk Terapi Kedokteran Modern Dr. dr. Arijanto Jonosewojo, SpPD, FINASIM Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Poliklinik Obat Tradisional Indonesia RSU Dr. Soetomo Surabaya Pendahuluan Jamu merupakan ramuan asli Indonesia yang telah lama digunakan nenek moyang kita untuk mencegah sakit dan mengobati penyakit. Saat ini minat masyarakat terhadap pengobatan dengan memakai jamu semakin meningkat. Sejalan dengan meningkatnya taraf pendidikan masyarakat yang menuntut cara berfikir yang rasional, maka jamu perlu dikaji lebih lanjut tentang standarisasi, manfaat dan keamanannya. Indonesia memiliki potensi bahan alam yang besar yang bisa digali sebagai bahan baku jamu dan data jamu yang telah digunakan masyarakat bisa diteliti sehingga bisa dibuktikan keamanan dan manfaatnya. Selama ini dianggap para dokter di Indonesia belum menerima jamu sebagai salah satu pilihan pengobatan karena memang dalam kurikulum pendidikannya belum semua fakultas kedokteran mengajarkan pemanfaatan jamu ini. Di sisi lain, undang-undang tentang praktek kedokteran melarang dokter memberikan pengobatan bila belum terbukti manfaatnya. Pada saat ini sudah banyak regulasi mengenai pemakaian jamu ini di mana mata pelajaran mengenai herbal dan jamu sudah mulai diajarkan di beberapa fakultas kedokteran. Kementerian Kesehatan telah mencanangkan program Saintifikasi Jamu sebagai proses pembuktian secara ilmiah efikasi dan keamanan jamu dengan melakukan penelitian berbasis pelayanan kesehatan. Kementerian Kesehatan juga telah membentuk Direktorat Yankestradkom yang bertugas mempersiapkan jamu untuk masuk kedalam pelayanan kesehatan pada masyarakat. Demikian juga Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) telah membentuk Departemen Pengkajian Pemakaian Pengobatan Komplementer Alternatif di mana pemakaian jamu juga masuk di dalamnya. BPOM juga telah melakukan regulasi dalam melakukan pembagian macam registrasi untuk bahan obat alami/ herbal dengan memberi perhatian khusus untuk jamu. Paradigma sehat sekarang adalah mencegah sakit lebih baik daripada mengobati, sedangkan pada orang yang sakitpun harus diperhatikan sisi sehatnya. Di sini jamu/herbal bisa dipakai bersama dengan obat konvensional/kimia untuk membuat badan kembali sehat.
Simposium Penelitian Bahan Obat Alami XV
Solo, 9-10 November 2011 20 Pemakaian Jamu pada Kedokteran Modern Dalam dunia kedokteran modern bila akan mengobati pasien, dokter melakukan beberapa tahap sebelum memberi obat, yaitu melakukan wawancara, pemeriksaan fisik dan bila diperlukan pemeriksaan laboratorium serta radiologis. Setelah itu diberikan rencana pengobatan setelah diagnosis penyakitnya ditegakkan. Pemilihan obat yang diberikan harus memenuhi syarat 4 tepat dan 1 waspada yaitu, tepat indikasi, tepat penderita, tepat cara pemberian, tepat dosis dan waspada efek samping. Promosi yang menyatakan bahwa pemberian obat natural atau obat herbal 100% aman adalah pernyataan yang kurang benar. Karena sesuatu yang diindikasikan untuk mengobati tentunya ada efek sampingnya, terlepas apakah efek samping itu merugikan atau justru menguntungkan. Sedangkan efek samping itu sendiri dapat terjadi langsung ataupun lambat. Dalam pemberian obat, dokter akan memberikan beberapa jenis obat antara lain obat utama, simptomatik, ajuvan dan roboransia/suplementasi. Di sini jamu bisa menjadi salah satu pilihan untuk dipakai sebagai obat. Saat ini program kesehatan bukan hanya untuk mengobatai orang sakit tetapi lebih ditekankan bagaimana supaya orang itu tidak sakit. Pada pengobatan modern, pemakaian obat bisa dimanfaatkan sebagai terapi promotif, preventif maupun kuratif dan rehabilitatif. Sekarang juga berkembang dengan pesat pengobatan paliatif untuk pasien-pasien yang menderita penyakit stadium akhir yang sudah tidak ada obatnya, supaya pasien tetap bisa beraktifitas untuk sehari-hari dengan cara mengurangi keluhannya. Demikian juga dalam pemakaian kliniknya, jamu harus dibedakan apakah dipakai promotif dan preventif atau sebagai terapi kuratif, rehabilitatif ataupun sebagai terapi palliatif. Dalam pemakaian jamu untuk pengobatan dapat diberikan sendirian atau digabung dengan obat modern. Pemakaian jamu sebagai kombinasi dengan obat modern memerlukan perhatian khusus. Harus diketahui apakah kombinasi itu bisa mendapatkan sinergisme atau malah terjadi inhibisi. Kombinasi pemberian jamu dengan obat kimia dapat merupakan suatu bentuk terapi simtomatis ataupun terapi ajuvan. Di sini kita melihat peluang pemakaian jamu, sehingga jangan hanya ditekankan untuk pengobatan kuratif saja. Pemberian jamu sebagai terapi simtomatis atau ajuvan lebih menjanjikan daripada dipaksakan menjadi terapi kuratif saja. Sebagai contoh, pengobatan penghilang rasa sakit dengan menggunakan jamu/herbal mungkin akan bisa menggantikan pemakaian NSAID yang pada pemberian jangka panjang bisa menimbulkan gangguan pada lambung atau ginjal. Pemberian simvastatin jangka panjang juga bisa menimbulkan gangguan pada fungsi hati. Contoh lainnya yang sekarang banyak dijumpai adalah masalah pada pengobatan penderita tuberkulosis yang harus mengkomsumsi obat selama 6-12 bulan dan sering terjadi kegagalan pengobatan akibat gangguan pada fungsi hati ataupun
Simposium Penelitian Bahan Obat Alami XV
Solo, 9-10 November 2011 20 Pemakaian Jamu pada Kedokteran Modern Dalam dunia kedokteran modern bila akan mengobati pasien, dokter melakukan beberapa tahap sebelum memberi obat, yaitu melakukan wawancara, pemeriksaan fisik dan bila diperlukan pemeriksaan laboratorium serta radiologis. Setelah itu diberikan rencana pengobatan setelah diagnosis penyakitnya ditegakkan. Pemilihan obat yang diberikan harus memenuhi syarat 4 tepat dan 1 waspada yaitu, tepat indikasi, tepat penderita, tepat cara pemberian, tepat dosis dan waspada efek samping. Promosi yang menyatakan bahwa pemberian obat natural atau obat herbal 100% aman adalah pernyataan yang kurang benar. Karena sesuatu yang diindikasikan untuk mengobati tentunya ada efek sampingnya, terlepas apakah efek samping itu merugikan atau justru menguntungkan. Sedangkan efek samping itu sendiri dapat terjadi langsung ataupun lambat. Dalam pemberian obat, dokter akan memberikan beberapa jenis obat antara lain obat utama, simptomatik, ajuvan dan roboransia/suplementasi. Di sini jamu bisa menjadi salah satu pilihan untuk dipakai sebagai obat. Saat ini program kesehatan bukan hanya untuk mengobatai orang sakit tetapi lebih ditekankan bagaimana supaya orang itu tidak sakit. Pada pengobatan modern, pemakaian obat bisa dimanfaatkan sebagai terapi promotif, preventif maupun kuratif dan rehabilitatif. Sekarang juga berkembang dengan pesat pengobatan paliatif untuk pasien-pasien yang menderita penyakit stadium akhir yang sudah tidak ada obatnya, supaya pasien tetap bisa beraktifitas untuk sehari-hari dengan cara mengurangi keluhannya. Demikian juga dalam pemakaian kliniknya, jamu harus dibedakan apakah dipakai promotif dan preventif atau sebagai terapi kuratif, rehabilitatif ataupun sebagai terapi palliatif. Dalam pemakaian jamu untuk pengobatan dapat diberikan sendirian atau digabung dengan obat modern. Pemakaian jamu sebagai kombinasi dengan obat modern memerlukan perhatian khusus. Harus diketahui apakah kombinasi itu bisa mendapatkan sinergisme atau malah terjadi inhibisi. Kombinasi pemberian jamu dengan obat kimia dapat merupakan suatu bentuk terapi simtomatis ataupun terapi ajuvan. Di sini kita melihat peluang pemakaian jamu, sehingga jangan hanya ditekankan untuk pengobatan kuratif saja. Pemberian jamu sebagai terapi simtomatis atau ajuvan lebih menjanjikan daripada dipaksakan menjadi terapi kuratif saja. Sebagai contoh, pengobatan penghilang rasa sakit dengan menggunakan jamu/herbal mungkin akan bisa menggantikan pemakaian NSAID yang pada pemberian jangka panjang bisa menimbulkan gangguan pada lambung atau ginjal. Pemberian simvastatin jangka panjang juga bisa menimbulkan gangguan pada fungsi hati. Contoh lainnya yang sekarang banyak dijumpai adalah masalah pada pengobatan penderita tuberkulosis yang harus mengkomsumsi obat selama 6-12 bulan dan sering terjadi kegagalan pengobatan akibat gangguan pada fungsi hati ataupun
Simposium Penelitian Bahan Obat Alami XV
Solo, 9-10 November 2011 20 Pemakaian Jamu pada Kedokteran Modern Dalam dunia kedokteran modern bila akan mengobati pasien, dokter melakukan beberapa tahap sebelum memberi obat, yaitu melakukan wawancara, pemeriksaan fisik dan bila diperlukan pemeriksaan laboratorium serta radiologis. Setelah itu diberikan rencana pengobatan setelah diagnosis penyakitnya ditegakkan. Pemilihan obat yang diberikan harus memenuhi syarat 4 tepat dan 1 waspada yaitu, tepat indikasi, tepat penderita, tepat cara pemberian, tepat dosis dan waspada efek samping. Promosi yang menyatakan bahwa pemberian obat natural atau obat herbal 100% aman adalah pernyataan yang kurang benar. Karena sesuatu yang diindikasikan untuk mengobati tentunya ada efek sampingnya, terlepas apakah efek samping itu merugikan atau justru menguntungkan. Sedangkan efek samping itu sendiri dapat terjadi langsung ataupun lambat. Dalam pemberian obat, dokter akan memberikan beberapa jenis obat antara lain obat utama, simptomatik, ajuvan dan roboransia/suplementasi. Di sini jamu bisa menjadi salah satu pilihan untuk dipakai sebagai obat. Saat ini program kesehatan bukan hanya untuk mengobatai orang sakit tetapi lebih ditekankan bagaimana supaya orang itu tidak sakit. Pada pengobatan modern, pemakaian obat bisa dimanfaatkan sebagai terapi promotif, preventif maupun kuratif dan rehabilitatif. Sekarang juga berkembang dengan pesat pengobatan paliatif untuk pasien-pasien yang menderita penyakit stadium akhir yang sudah tidak ada obatnya, supaya pasien tetap bisa beraktifitas untuk sehari-hari dengan cara mengurangi keluhannya. Demikian juga dalam pemakaian kliniknya, jamu harus dibedakan apakah dipakai promotif dan preventif atau sebagai terapi kuratif, rehabilitatif ataupun sebagai terapi palliatif. Dalam pemakaian jamu untuk pengobatan dapat diberikan sendirian atau digabung dengan obat modern. Pemakaian jamu sebagai kombinasi dengan obat modern memerlukan perhatian khusus. Harus diketahui apakah kombinasi itu bisa mendapatkan sinergisme atau malah terjadi inhibisi. Kombinasi pemberian jamu dengan obat kimia dapat merupakan suatu bentuk terapi simtomatis ataupun terapi ajuvan. Di sini kita melihat peluang pemakaian jamu, sehingga jangan hanya ditekankan untuk pengobatan kuratif saja. Pemberian jamu sebagai terapi simtomatis atau ajuvan lebih menjanjikan daripada dipaksakan menjadi terapi kuratif saja. Sebagai contoh, pengobatan penghilang rasa sakit dengan menggunakan jamu/herbal mungkin akan bisa menggantikan pemakaian NSAID yang pada pemberian jangka panjang bisa menimbulkan gangguan pada lambung atau ginjal. Pemberian simvastatin jangka panjang juga bisa menimbulkan gangguan pada fungsi hati. Contoh lainnya yang sekarang banyak dijumpai adalah masalah pada pengobatan penderita tuberkulosis yang harus mengkomsumsi obat selama 6-12 bulan dan sering terjadi kegagalan pengobatan akibat gangguan pada fungsi hati ataupun Simposium Penelitian Bahan Obat Alami XV
Solo, 9-10 November 2011
21 M a k a l a h
U t a m a M U . 5 terjadinya resistensi kuman Mycobacterium tuberculosis terhadap obat standar yang sekarang dipakai. Sekarang ini para klinisi berharap agar obat jamu/herbal yang bisa memperpendek pemberian obat tuberkulosis standar dan mengurangi efek sampingnya dapat segera ditemukan, dikembangkan, diuji khasiat dan keamanannya sehingga bisa diaplikasikan. Pada pasien kanker, pemberian obat herbal bisa diberikan sebagai terapi simtomatis untuk mengurangi nyeri dan juga dipakai untuk meringankan efek samping pemberian kemoterapi seperti mual muntah dan nafsu makan yang menurun. Selain itu, obat herbal yang meningkatkan sistem imun juga dapat dipakai sebagai ajuvan atau kemoajuvan. Dalam beberapa uji klinik di Poliklinik Obat Tradisional di RSUD Dr. Soetomo, pada pemberian kombinasi jamu dengan obat standar konvensional terkadang justru didapatkan hasil yang lebih jelek dibandingkan pemberian sendiri-sendiri. Pada penelitian jamu kolesterol yang merupakan kombinasi temulawak, jati Belanda dan daun jambu, didapatkan hasil pemberian jamu sendiri hasilnya lebih baik daripada kombinasi jamu dan simvastatin. Di sini kita bisa melihat bahwa penggabungan jamu dan simvastatin tidak menghasilkan sinergisme tetapi malah menurunkan angka keberhasilan penurunan kadar kolesterol dibandingkan bila simvastatin diberikan tersendiri. Sedangkan pada penelitian jamu/herbal teh hitam untuk penurun gula darah didapatkan hasil bahwa pemberian teh hitam sendiri tidak menurunkan gula darah puasa dan 2 jam sehabis makan, namun dapat menurunkan HbA 1 C secara cukup bermakna. Hal ini cukup penting dicatat karena pada saat ini evaluasi keberhasilan pengobatan penyakit diabetus mellitus memang lebih dilihat dari penurunan HbA 1 C pada darah. Adapun kombinasi pemberian teh hitam dengan metformin yang sekarang merupakan obat pertama pada penderita diabetes tidak lebih baik dari pada pemberian teh hitam sendiri. Berdasarkan pengalaman tersebut, maka observasi klinik untuk mengetahui penggabungan pemberian terapi jamu/herbal dengan obat konvensional/kimia untuk mengobati pasien menjadi perlu dan penting untuk dilakukan. Kesimpulan Jamu bisa dipakai dalam pengobatan konvensional, baik dipakai tersendiri atau digabung dengan obat konvensional/kimia. Pemakaian kombinasi jamu/herbal perlu pengawasan lebih ketat agar diketahui apakah bersifat sinergi atau justru inhibisi. Pemanfaatan jamu/herbal seyogyanya tidak hanya difokuskan untuk terapi kuratif/utama tetapi bisa menjadi terapi simtomatik atau ajuvan. Jamu juga sebaiknya dipakai sebagai keperluan promotif atau preventif sesuai dengan paradigma sehat yaitu mencegah sakit lebih baik dari pada mengobati. Tidak benar bila dikatakan bahwa pemakaian jamu/obat herbal tidak menimbulkan efek samping, untuk itu diperlukan kewaspadaan pada pemberian jamu/herbal. Simposium Penelitian Bahan Obat Alami XV
Solo, 9-10 November 2011
21 M a k a l a h
U t a m a M U . 5 terjadinya resistensi kuman Mycobacterium tuberculosis terhadap obat standar yang sekarang dipakai. Sekarang ini para klinisi berharap agar obat jamu/herbal yang bisa memperpendek pemberian obat tuberkulosis standar dan mengurangi efek sampingnya dapat segera ditemukan, dikembangkan, diuji khasiat dan keamanannya sehingga bisa diaplikasikan. Pada pasien kanker, pemberian obat herbal bisa diberikan sebagai terapi simtomatis untuk mengurangi nyeri dan juga dipakai untuk meringankan efek samping pemberian kemoterapi seperti mual muntah dan nafsu makan yang menurun. Selain itu, obat herbal yang meningkatkan sistem imun juga dapat dipakai sebagai ajuvan atau kemoajuvan. Dalam beberapa uji klinik di Poliklinik Obat Tradisional di RSUD Dr. Soetomo, pada pemberian kombinasi jamu dengan obat standar konvensional terkadang justru didapatkan hasil yang lebih jelek dibandingkan pemberian sendiri-sendiri. Pada penelitian jamu kolesterol yang merupakan kombinasi temulawak, jati Belanda dan daun jambu, didapatkan hasil pemberian jamu sendiri hasilnya lebih baik daripada kombinasi jamu dan simvastatin. Di sini kita bisa melihat bahwa penggabungan jamu dan simvastatin tidak menghasilkan sinergisme tetapi malah menurunkan angka keberhasilan penurunan kadar kolesterol dibandingkan bila simvastatin diberikan tersendiri. Sedangkan pada penelitian jamu/herbal teh hitam untuk penurun gula darah didapatkan hasil bahwa pemberian teh hitam sendiri tidak menurunkan gula darah puasa dan 2 jam sehabis makan, namun dapat menurunkan HbA 1 C secara cukup bermakna. Hal ini cukup penting dicatat karena pada saat ini evaluasi keberhasilan pengobatan penyakit diabetus mellitus memang lebih dilihat dari penurunan HbA 1 C pada darah. Adapun kombinasi pemberian teh hitam dengan metformin yang sekarang merupakan obat pertama pada penderita diabetes tidak lebih baik dari pada pemberian teh hitam sendiri. Berdasarkan pengalaman tersebut, maka observasi klinik untuk mengetahui penggabungan pemberian terapi jamu/herbal dengan obat konvensional/kimia untuk mengobati pasien menjadi perlu dan penting untuk dilakukan. Kesimpulan Jamu bisa dipakai dalam pengobatan konvensional, baik dipakai tersendiri atau digabung dengan obat konvensional/kimia. Pemakaian kombinasi jamu/herbal perlu pengawasan lebih ketat agar diketahui apakah bersifat sinergi atau justru inhibisi. Pemanfaatan jamu/herbal seyogyanya tidak hanya difokuskan untuk terapi kuratif/utama tetapi bisa menjadi terapi simtomatik atau ajuvan. Jamu juga sebaiknya dipakai sebagai keperluan promotif atau preventif sesuai dengan paradigma sehat yaitu mencegah sakit lebih baik dari pada mengobati. Tidak benar bila dikatakan bahwa pemakaian jamu/obat herbal tidak menimbulkan efek samping, untuk itu diperlukan kewaspadaan pada pemberian jamu/herbal. Simposium Penelitian Bahan Obat Alami XV
Solo, 9-10 November 2011
21 M a k a l a h
U t a m a M U . 5 terjadinya resistensi kuman Mycobacterium tuberculosis terhadap obat standar yang sekarang dipakai. Sekarang ini para klinisi berharap agar obat jamu/herbal yang bisa memperpendek pemberian obat tuberkulosis standar dan mengurangi efek sampingnya dapat segera ditemukan, dikembangkan, diuji khasiat dan keamanannya sehingga bisa diaplikasikan. Pada pasien kanker, pemberian obat herbal bisa diberikan sebagai terapi simtomatis untuk mengurangi nyeri dan juga dipakai untuk meringankan efek samping pemberian kemoterapi seperti mual muntah dan nafsu makan yang menurun. Selain itu, obat herbal yang meningkatkan sistem imun juga dapat dipakai sebagai ajuvan atau kemoajuvan. Dalam beberapa uji klinik di Poliklinik Obat Tradisional di RSUD Dr. Soetomo, pada pemberian kombinasi jamu dengan obat standar konvensional terkadang justru didapatkan hasil yang lebih jelek dibandingkan pemberian sendiri-sendiri. Pada penelitian jamu kolesterol yang merupakan kombinasi temulawak, jati Belanda dan daun jambu, didapatkan hasil pemberian jamu sendiri hasilnya lebih baik daripada kombinasi jamu dan simvastatin. Di sini kita bisa melihat bahwa penggabungan jamu dan simvastatin tidak menghasilkan sinergisme tetapi malah menurunkan angka keberhasilan penurunan kadar kolesterol dibandingkan bila simvastatin diberikan tersendiri. Sedangkan pada penelitian jamu/herbal teh hitam untuk penurun gula darah didapatkan hasil bahwa pemberian teh hitam sendiri tidak menurunkan gula darah puasa dan 2 jam sehabis makan, namun dapat menurunkan HbA 1 C secara cukup bermakna. Hal ini cukup penting dicatat karena pada saat ini evaluasi keberhasilan pengobatan penyakit diabetus mellitus memang lebih dilihat dari penurunan HbA 1 C pada darah. Adapun kombinasi pemberian teh hitam dengan metformin yang sekarang merupakan obat pertama pada penderita diabetes tidak lebih baik dari pada pemberian teh hitam sendiri. Berdasarkan pengalaman tersebut, maka observasi klinik untuk mengetahui penggabungan pemberian terapi jamu/herbal dengan obat konvensional/kimia untuk mengobati pasien menjadi perlu dan penting untuk dilakukan. Kesimpulan Jamu bisa dipakai dalam pengobatan konvensional, baik dipakai tersendiri atau digabung dengan obat konvensional/kimia. Pemakaian kombinasi jamu/herbal perlu pengawasan lebih ketat agar diketahui apakah bersifat sinergi atau justru inhibisi. Pemanfaatan jamu/herbal seyogyanya tidak hanya difokuskan untuk terapi kuratif/utama tetapi bisa menjadi terapi simtomatik atau ajuvan. Jamu juga sebaiknya dipakai sebagai keperluan promotif atau preventif sesuai dengan paradigma sehat yaitu mencegah sakit lebih baik dari pada mengobati. Tidak benar bila dikatakan bahwa pemakaian jamu/obat herbal tidak menimbulkan efek samping, untuk itu diperlukan kewaspadaan pada pemberian jamu/herbal.