Anda di halaman 1dari 3

CETAK ARTIKEL http://io.ppi-jepang.org/cetak.php?

id=321

INOVASI Online CETAK TUTUP


Website : http://io.ppi-jepang.org Email : redaksi@io.ppi-jepang.org

Edisi Vol.14/XXI/Juli 2009 Tanggal cetak : Jumat, 02 Oktober 2009


Kolom : topik utama
Keamanan Pangan Tradisional dan Kesehatan Masyarakat
Oleh : Ardiansyah Michwan
1. Pendahuluan

Sejarah peradaban bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia menunjukkan bahwa berbagai upaya yang dilakukan manusia untuk mempertahankan dan
meningkatkan kesehatannya pada awalnya berbasis pada sumber daya alam yang ada di sekitarnya. Mereka telah mempunyai pengalaman panjang dan turun
temurun dalam menyeleksi berbagai sumber daya hayati di sekitarnya, yang mereka anggap dan yakini bermanfaat bagi peningkatan kesehatan dan terapi
penyakit.

Pangan tradisional adalah makanan dan minuman yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat tertentu, dengan cita rasa khas yang diterima oleh masyarakat
tersebut. Bagi masyarakat Indonesia umumnya amat diyakini khasiat aneka pangan tradisional, seperti tempe, bawang putih, madu, kunyit, jahe, kencur,
temu lawak, asam jawa, sambiloto, daun beluntas, daun salam, cincau, dan aneka herbal lainnya. Jamu sebagai racikan aneka herbal berkhasiat juga
sangat popular di Indonesia, khususnya di pulau Jawa.

Meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya keamanan pangan mengakibatkan meningkatnya perhatian terhadap masalah ini. Permasalahan
mendasar keamanan pangan tradisional pada umumnya terletak pada kelemahan dalam hal jaminan keamanannya terhadap bahaya biologi atau
mikrobiologi, kimia, dan fisik. Adanya bahaya atau cemaran tersebut seringkali ditemukan karena rendahnya mutu bahan baku, teknologi pengolahan,
belum diterapkannnya praktek sanitasi dan higinitas yang memadai, dan kurangnya kesadaran pekerja maupun produsen yang menangani pangan tradisional
(Dewanti-Hariyadi & Nuraida, 2001).

2. Keamanan Pangan

Kejadian atau kasus keracunan makanan (foodborne diseases) karena mengkonsumsi makanan yang tidak aman sering terjadi di masyarakat. Kejadian-
kejadian ini menunjukkan bahwa keamanan pangan di masyarakat masih menjadi masalah utama yang harus dihadapi.

Seiring dengan meningkatnya pengetahuan dan kesadaran akan kesehatan terhadap pangan yang dikonsumsi, mengkonsumsi pangan yang aman merupakan
hal yang harus diperhatikan oleh produsen dan konsumen. Berdasarkan UU RI No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, keamanan pangan adalah kondisi dan
upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan
membahayakan kesehatan manusia. Dengan demikian dapat didefinisikan bahwa pangan yang aman adalah pangan yang tidak mengandung bahaya biologi
atau mikrobiologi, bahaya kimia, dan bahaya fisik, seperti yang ditunjukkan pada Gb. 1.
Berdasarkan laporan BP-POM tahun 2008 yang dikutip Rahayu (2008), kasus sumber-sumber kontaminan bahan pangan terdiri dari kontaminan
biologi/mikrobiologi, kimia, dan unknown (penulis sebutkan sebagai kontaminan fisik). Kontaminan-kontaminan tersebut dapat mencemari pangan sejak
masih berupa bahan mentah sampai siap dikonsumsi.

Dalam perkembangannya kontaminan atau cemaran dapat mengalami perubahan khususnya bahaya biologi/mikroorganisme karena berbagai faktor seperti
terjadinya mutasi peningkatan ketahanan terhadap antibiotika atau kondisi pada saat penanganan atau pengolahan makanan sehingga mengakibatkan
terbentuklah mikroorganisme yang lebih virulen atau lebih tahan selama pengolahan atau pengobatan. Aspek yang juga perlu mendapat perhatian adalah
adalah meningkatnya paparan manusia dengan kontaminan atau cemaran karena perubahan pola hidup/makan, seperti kebiasaan makan di luar, bepergian,
atau kembali ke alam dapat meningkatkan paparan terhadap mikroorganisme patogen. Peningkatan paparan ini juga akan berdampak terhadap peningkatan
resiko berbagai penyakit yang diakibatkan oleh pangan.

Gb. 1. Sumber kontaminan bahan pangan


(Sumber: Rahayu, 2008)

3. Bahaya atau Cemaran Bahan Pangan

Bahaya biologis atau mikrobiologis terdiri dari parasit (protozoa dan cacing), virus, dan bakteri patogen yang dapat tumbuh dan berkembang di dalam
bahan pangan, sehingga dapat menyebabkan infeksi dan keracunan pada manusia. Beberapa bakteri patogen juga dapat menghasilkan toksin (racun),
sehingga jika toksin tersebut terkonsumsi oleh manusia dapat menyebabkan intoksikasi. Intoksikasi adalah kondisi ketika toksin sudah terbentuk di dalam
makanan atau bahan pangan, sehingga mengindikasikan keadaan berbahaya. Sekalipun makanan atau bahan pangan sudah dipanaskan sebelum disantap,
toksin yang sudah terbentuk masih tetap aktif dan bisa menyebabkan keracunan meski bakteri tersebut sudah tidak terdapat dalam makanan.

Adanya virus dan protozoa dalam makanan atau bahan pangan masih belum banyak yang diteliti dan diidentifikasi. Namun informasi tentang virus hepatitis
A dan protozoa Entamoeba hystolitica telah diketahui dapat mencemari air. Cacing diketahui terdapat pada hasil-hasil peternakan, misalnya Fasciola
hepatica yang ditemukan pada daging atau hati sapi. Adanya cemaran cacing tersebut akan mengakibatkan infeksi pada manusia jika mengkonsumsi daging
atau hati sapi yang tidak dimasak dengan baik.

Bahaya kimia pada umunya disebabkan oleh adanya bahan kimia yang dapat menimbulkan terjadinya intoksikasi. Bahan kimia penyebab keracunan seperti
logam berat (timbal/Pb dan raksa/Hg) umumnya berasal dari cemaran industri, residu pestisida, hormon, dan antibiotika. Terbentuknya toksin akibat

1 of 3 2009/10/02 23:12
CETAK ARTIKEL http://io.ppi-jepang.org/cetak.php?id=321

pertumbuhan dan perkembangan jamur atau kapang penghasil toksin juga termasuk dalam bahaya kimia. Beberapa jamur atau kapang penghasil toksin
(mikotoksin) adalah Aspergillus sp., Penicllium sp., dan Fusarium sp., yang dapat menghasilkan aflatoksin, patulin, okratoksin, zearalenon, dan okratoksin.
Termasuk dalam bahaya kimia adalah penggunaan bahan tambahan pangan yang melebihi kadar yang telah ditetapkan oleh instansi terkait dan penggunaan
bahan tambahan yang dilarang untuk makanan/pangan.

Bahaya fisik terdiri dari potongan kayu, batu, logam, rambut, dan kuku yang kemungkinan berasal dari bahan baku yang tercemar, peralatan yang telah
aus, atau juga dari para pekerja pengolah makanan. Meskipun bahaya fisik tidak selalu menyebabkan terjadinya penyakit atau gangguan kesehatan, tetapi
bahaya ini dapat menjadi pembawa atau carier bakteri-bakteri patogen dan tentunya dapat mengganggu nilai estetika makanan yang akan dikonsumsi.

4. Keamanan Mikrobiologis Pangan Tradisional

Walaupun informasi keberadaan bakteri dalam pangan tradisional jumlahnya terbatas, namun diketahui bahwa sayuran sebagai sumber serat yang sangat
baik ternyata mengandung cemaran bakteri dalam jumlah yang tinggi. Penulis beranggapan bahwa kebiasaan mengkonsumsi makanan mentah oleh sebagian
masyarakat kita merupakan kebiasaan yang kurang baik. Tindakan preventif berupa pencucian yang dilanjutkan dengan pemanasan (memasak sampai
matang) merupakan kebiasaan positif yang perlu digalakkan. Hal ini dilakukan untuk mengurangi atau menurunkan jumlah cemaran bakteri sehingga dapat
mengurangi terjadinya bahaya biologis atau mikrobiologis.

Salah satu pangan tradisional yang telah diketahui sebagai pangan fungsional yang sejak jaman dahulu telah dikonsumsi oleh masyarakat kita adalah
minuman jamu. Minuman jamu dapat dibuat dan disajikan secara sederhana di tingkat rumah tangga yang kemudian dijual sebagai “jamu gendong”. Pada
umumnya proses penyiapan jamu ini menggunakan peralatan sederhana dan tingkat sanitasi dan higinitasyang kurang memadai. Hal ini masih ditambah lagi
dengan rendahnya tingkat sanitasi penggunaan peralatan maupun kemasan selama proses penyiapan jamu tersebut. Proses penyiapan “jamu gendong” yang
seadanya tersebut merupakan faktor penyebab turunnya mutu jamu yang dihasilkan, dan tentunya ini dapat berdampak terhadap mutu mikrobiologis jamu
yang dihasilkan.

5. Manajemen Keamanan Pangan

Kontaminasi bahan pangan dapat terjadi dimulai saat penanaman/budidaya, produksi, distribusi/transportasi, retail, dan pengemasan sampai dengan
penyajian dan konsumsi (Gb. 2). Oleh karena itu, untuk menghasilkan produk yang aman, produsen dituntut menjalankan proses produksi yang baik, yang
berujung pada penerapan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) (Taylor, 2008) atau Analisa Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis seperti telah
disebutkan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) dengan No. 01-4852-1998.

HACCP; HAZARD ANALYSIS CRITICAL CONTROL POINT


GAP = Good Agriculture Practice GDP = Good Distribution Practice
GHP = Good Handling Practice GRP = Good Retailing Practice
GMP = Good Manufacturing Practice GCP = Good Catering Practice

Gb. 2. Kaitan HACCP dengan Good Practices dalam rantai pangan


(Sumber: Raspor, 2008)

HACCP adalah suatu sistem yang dianggap rasional dan efektif dalam penjaminan keamanan pangan dari sejak dipanen sampai dikonsumsi. HACCP adalah
suatu sistem yang mampu mengidentifikasi hazard (bahaya) atau cemaran yang potensial dapat mengkontaminasi bahan pangan seperti
biologi/mikrobiologi, kimia, dan fisik (Taylor, 2008). Manajemen keamanan pangan tersebut diharapkan dapat diterapkan pada setiap rantai proses
pengolahan pangan, termasuk di dalamnya pangan tradisional untuk menghindari kasus-kasus keamanan pangan yang sering ditemukan.

Keberhasilan penerapan aplikasi HACCP memerlukan komitmen dan keterlibatan penuh dari manajemen dan seluruh tenaga kerja yang terlibat dalam
proses pengolahan makanan. Walaupun saat ini aplikasi HACCP baru dilaksanakan oleh industri-industri besar, tapi prinsip-prinsip dasarnya dapat
diterapkan untuk industri kecil sebagai penopang industri pangan tradisional di tanah air.

Untuk mendukung manajemen pengendalian keamanan pangan khususnya pangan tradisional, beberapa upaya preventif dapat penulis sajikan pada tulisan
ini. Upaya-upaya tersebut antara lain adalah berkaitan dengan prinsip-prinsip cara pengolahan makanan yang baik yang dapat dilakukan dengan cara-cara
sederhana secara mikro ataupun melibatkan peran swasta dan pemerintah secara makro.

Pertama, memperhatikan masalah sanitasi dan higinitas. Kebersihan pada setiap tahapan proses pengolahan, yang dimulai dari persiapan dan penyediaan
bahan baku, pemakaian air bersih, tahapan pengolahan, dan pasca pengolahan (pengemasan dan penyimpanan) makanan atau pangan tradisional
merupakan langkah-langkah penting untuk menghindari terjadinya infeksi dan intoksikasi. Selain itu usaha-usaha untuk mencegah terjadinya kontaminasi
silang antara bahan baku yang belum diolah dengan bahan jadi juga merupakan upaya preventif yang harus dilakukan.

Kedua, memanfaatkan secara maksimal sifat sinergisme antara bahan-bahan penyusun makanan tradisional yang dikombinasikan dengan penambahan asam
untuk menurunkan pH (keasaman) produk. Seperti kita ketahui bahwa kunyit, jahe, lengkuas, dan bahan-bahan lainnya merupakan pangan tradisional yang
diketahui mempunyai efek antibakteri atau antimikroba. Sifat sinergisme ini juga merupakan usaha untuk menghindarkan penggunaan pengawet kimia.

2 of 3 2009/10/02 23:12
CETAK ARTIKEL http://io.ppi-jepang.org/cetak.php?id=321

Ketiga, upaya pelayanan purna jual yang diberikan kepada konsumen dengan cara penulisan label pada kemasan makanan. Penulisan informasi tentang
batas akhir penggunaan makanan (kadaluarsa), komposisi gizi penyusun makanan tradisional, komposisi zat gizi yang terkandung, bahan pengawet yang
digunakan, informasi kehalalan, dan nama perusahaan atau industri rumah tangga yang memproduksi. Langkah ini merupakan jaminan mutu kepada
konsumen tentang produk yang akan kita pasarkan.

Keempat, peran aktif industri pangan dalam membentuk atau membina pola dan kebiasaan konsumsi yang baik bagi masyarakat. Peran strategis industri
pangan ini dimulai dari penggunaan jenis dan kualitas produk yang digunakan untuk produk olahannya. Industri pangan mempunyai kekuatan yang besar
pula untuk mempengaruhi status gizi dan kesehatan masyarakat umum.

Kelima, peran serta pemerintah dalam memberikan regulasi dan pengawasan terhadap masalah-masalah keamanan pangan. Penguatan jejaring keamanan
pangan nasional yang sudah ada dalam kerangka sistem keamanan pangan terpadu yang melibatkan semua stake-holder pemerintah pusat sampai
pemerintah daerah. Perbaikan sistem pelaporan, pengaduan, pencatatan, dan penegakan hukum agar kasus-kasus keracunan pangan tidak terulang lagi.

6. Daftar Pustaka

1. Dewanti-Hariyadi, R & Nuraida, L. 2001. Keamanan Pangan Fungsional dan Suplemen Berbasis Pangan Tradisional. Prosiding Seminar Nasional
Pangan Tradisional: Basis bagi Industri Pangan Fungsional dan Suplemen, 54-63. Pusat Kajian Makanan Tradisional IPB Bogor

2. Rahayu, W. P. 2008. KLB Keracunan Pangan Tahun 2008: Laporan Tahunan Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan, Badan POM RI,
Jakarta.

3. Raspor, P. 2008. Total food chain safety: how good practice can contribute? Trend in Food Sci. Tech 19, 405-412.

4. Taylor, E. 2008. A new method of HACCP for the catering and food service industry. Food Control 19, 126-134.

Tidak diperkenankan memperbanyak artikel ini untuk kepentingan komersial, kecuali atas izin penulisnya.
Untuk kepentingan komersial, silakan ajukan permohonan secara tertulis melalui formulir yang kami sediakan.

3 of 3 2009/10/02 23:12

Anda mungkin juga menyukai