Anda di halaman 1dari 15

1

Reorientasi Tauhid serta Pengaruhnya terhadap Rekonstruksi Sejarah


Oleh: Muhamad Sofi Mubarok, S.S.I
1


A. Pendahuluan
Membicarakan tauhid dan korelasinya terhadap filsafat sejarah merupakan
sesuatu yang baru dikenal di lingkungan pemikiran intelektual. Apalagi
menyingkap nilai-nilai filosofis suatu kejadian sejarah masih relatif jarang
digandrungi kaum intelektual. Penelitian suatu peristiwa sejarah selalu berhenti
pada penyajian realitas dan fakta-fakta sejarah, dan belum sampai pada tahap
kesimpulan umum dan memetik nilai yang terkandung dalam kejadian sejarah
tersebut.
Untuk sampai pada tahap ini, nalar kritis dan pemahaman yang luas
mutlak diperlukan untuk menyingkap esensi sejarah. Kesimpulan pro maupun
kontra terhadap sejarah itu sendiri adalah wajar, terlebih jika muncul stigma yang
cukup tidak sedap terdengar di telinga sebagai akibat dari mempertanyakan
keabsolutan sejarah; tak ada nilai yang benar-benar mutlak dan absolut di dunia
ini, termasuk konsep keimanan dan sejarah. Maka tak heran jika Jean Paul Sartre
berucap, kebenaran hakiki dapat diperoleh setelah kebenaran itu dipertanyakan.
Begitupun dengan tauhid. Manusia terpaku pada kebenaran yang
ditawarkan pada buku-buku tauhid tentang rumusan kaidah-kaidah keimanan
secara taken for granted. Mempertanyakan keesaan Tuhan merupakan contoh
heretisme (bidah) dalam agama yang terlarang, namun mempertanyakan
aktualisasi tauhid dalam kehidupan sehari-hari merupakan suatu keniscayaan,
mengingat agama dianggap terlalu usang untuk menghadapi tantangan
perkembangan zaman. Oleh karena itu, percakapan mengenai konsep etika tauhid
dan sejarah menjadi pembahasan hangat di kalangan para intelektual dewasa ini.





1
Kandidat Master di Institut Agama Islam (IAI) Ibrahimy Sukorejo, Situbondo,
Jawa Timur, serta peneliti Lembaga Survey Indonesia (LSI) tahun 2007-2011).
2

B. Reinterpretasi Terminologi Tauhid
Umat Islam meyakini agamanya sebagai agama paripurna yang diturunkan
Tuhan untuk menciptakan kebaikan bersama (al-mashlahah al-ammah) dan
mencegah timbulnya kerusakan (daru al-mafasid). Selain itu, Tuhan mengutus
para rasul-Nya untuk mendakwahkan nilai-nilai profetik sekaligus memperbaiki
etika sebagai kerangka pokok dalam mendakwahkan misinya. Salah satu tema
pokok dan nilai universal yang terkandung dalam al-Quran sesuai dengan
konteks perbaikan etika dan moralitas umat di masa lalu adalah purifikasi
keberagamaan bangsa Arab yang semula menganut paganisme menuju keesaan
Tuhan (tauhid).
2

Tauhid dalam pengertian itu sengaja diformulasikan dalam rangka
meluruskan keimanan dan keyakinan seorang hamba kepada Tuhan. Tauhid juga
mengajarkan bahwa segala esensi bagi alam semesta, berupa penciptaan langit dan
bumi, pemberian rizki atas makhluk di jagat raya, serta sistematika sejarah
manusia, kesemuanya bersumber dari Yang Maha Satu. Tata ritual peribadatan
juga hanya ditujukan kepada-Nya dan menolak setiap bentuk penghambaan
terhadap wujud selain-Nya.
Setelah melalui serangkaian pengalaman beragama sebagaimana yang
dicontohkan oleh Muhamad, kaidah-kaidah keimanan lama-kelamaan berkembang
menjadi cabang khazanah keilmuan Islam. Substansi tauhid terjebak pada
pemahaman rigid; aspek ilahiyah (teologi), nubuwwah (profetik) dan samiyyah.
Pembicaraannya pun semakin terbatas pada unsur-unsur normatif tanpa melihat
esensi tauhid sebagai spirit kesatuan (the unity of) aspek-aspek yag melingkupi
kehidupan manusia, berupa aspek ekonomi, sosio-kultural, politik, sejarah, dsb.
Untuk mengeluarkan esensi tauhid dari kekakuan, Ismail Raji Al-Faruqi
menawarkan suatu ide baru tentang pemahaman tauhid. Menurutnya, konsep
tauhid seharusnya diaktualisasikan dalam nilai-nilai praktis dan aktifitas manusia,
bukan sekedar pemikiran nilai-nilai transendental. Dalam bukunya yang
fenomenal, Tauhid, Ismail R. Faruqi berkata demikian,


2
QS. Ali Imran/03: 64.
3

Setelah menerima Tuhan sebagai satu-satunya Yang Dipertuannya,
setelah menyerahkan dirinya, hidup dan seluruh energinya untuk mengabdi
kepada-Nya,
3
dan setelah mengakui kehendak Sang Penguasa sebagai
kehendak yang harus diaktualisasikan dalam ruang dan waktu, dia harus
terjun dalam hiruk-pikuknya dunia dan sejarah, dan menciptakan
perubahan yang dikehendaki. Dia tidak boleh menjalani eksistensi yang
monastik dan isolasionis kecuali jika itu dilakukannya sebagai latihan
pendisiplinan dan penguasaan diri (riydlah). Sekalipun demikian, jika
latihan tersebut tidak menunjang tujuan bagi mencapai keberhasilan yang
lebih besar dalam upaya mentransformasi ruang dan waktu, ia akan
dikutuk sebagai egosentrisme yang tak etis; sebab dalam hal ini sasarannya
adalah perubahan diri sebagai tujuan itu sendiri, bukan sebagai suatu
persiapan untuk mengubah dunia menjadi keserupaan dengan pola Ilahi.
4

Tauhid, oleh karena itu, perlu diaktualisasikan dalam bentuk kreatifitas.
Apalagi, ayat-ayat Tuhan non-verbal (kauniyyah) terhampar luas di bumi dan
tidak terbatas. Untuk itu, memikirkan alam semesta merupakan manifestasi dari
tauhid yang diajarkan Tuhan untuk mencapai pengetahuan akan eksistensi-Nya;
| _ _l> ,...l _ .l.> _,l !.l ,ll _.l _> _ `>,l !., _.,
_!.l !. _. < _. ,!..l _. ,!. !,>! , _ .-, !:. , !, _. _ `,:
,`.. _.,l ,!>.l >..l _,, ,!..l _ ., ,1l l1-, __
5

164. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam
dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi
manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu
Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu
segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara
langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah)
bagi kaum yang memikirkan.

_| _ _l> ,...l _ .l.> _,l !.l ., _|` .,l _
6

190. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya
malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.

3
QS. Adz-Dzariyat/51: 56.

4
Ismail Raji Al-Faruqi, Tauhid: I ts I mplications for Thought and Life,
terjemah Rahmani Astuti, Tauhid (Bandung: Penerbit Pustaka, cet. Ke-1, 1988 M), hal.
35-36.

5
QS. Al-Baqoroh/02: 164,
6
QS. Ali Imran/03: 190.
4


Oleh karena itu, benar jika keimanan dan ketauhidan tidak akan sempurna
kecuali setelah diaktualisasikan dalam bentuk perbuatan dan amaliah praktis. Dua
esensi yang membawa manusia kepada kebahagiaan inilah yang kemudian
menginspirasi Tuhan untuk selalu menyandingkan keduanya dalam teks sriptural
7

yang menjadi terkandung dalam misi profetik Muhamad, sebagaimana firman-
Nya berikut:
| _.. _.l .> _ | _ `.., l.s .>l..l .. _>l!, .. .l!,
_
8

2). Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, 3). Kecuali orang-
orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya
mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.

C. Pengertian Sejarah
Secara linguistik, sejarah () atau history dalam bahasa Inggris
merujuk pada aktifitas penanggalan suatu peristiwa tertentu dan mencatatkannya
berdasarkan periodisasi waktu secara sistematis.
9
Serapan kata sejarah sebenarnya
diambil dari kata yang berarti pohon sejarah. Layaknya sebuah pohon,
sejarah memiliki berbagai cabang. Selain itu, term sejarah juga dapat dimaknai
sesuatu yang sering diperselisihkan orang.
10

Sedangkan sejarah menurut epistimologi Islam, sejarah adalah sekumpulan
ensiklopedia yang sangat besar yang bermula dengan menyebutkan kisah-kisah
para nabi dan peristiwa yang dialami umat pada masa lalu sesuai dengan apa yang
tercatat dalam al-Quran dan hadits sahih, dan berfungsi menyingkap bualan cerita

7
As-Syaukani, Fath al-Qadir, vol. VIII, hal. 56, tersedia dalam
www.altafsir.com

8
QS. Al-Ashr/103: 2-3.

9
Ibnu Mandzur, Lisn al-Arab (Beirut: Dar Shodir, cet. Ke-1, tt), vol. III, hal.
4.

10
Ibnu Mandzur, Lisn al-Arab, vol. IV, hal. 394.
5

Israiliyat, kisah-kisah bangsa asing serta cerita-cerita anonim.
11
Untuk menjaga
kualitas kebenaran sejarah ini, semua agama Samawi selalu menempatkan teks-
teks keagamaan sebagai sumber asal dalam mengungkapkan peristiwa sejarah.
Dalam kajian filsafat, ditemukan dua pola fikir perjalanan sejarah yang
dialami manusia sebagai pembuat peradaban. Sebagian berpendapat bahwa
sejarah berjalan secara linear; ini berarti sejarah berangkat dari titik awal tertentu
dan berkembang menurut garis lurus menuju suatu titik akhir. Di antara dua titik
inilah manusia sebagai subjek sejarah hidup, berpikir dan mengalami relasinya
dengan dunia, sesama, dan makhluk lainnya.
Selain itu, ada juga pemahaman sejarah yang bersifat siklis, yang
beranggapan bahwa seluruh pengalaman hidup manusia bisa terulang dengan cara
tertentu. Ada pengalaman indah dan menyenangkan, atau pengalaman
kontroversial dan menyakitkan yang dapat diingat dan dialami lagi secara baru
bisa lebih menyenangkan tetapi juga bisa lebih menyakitkan. Pengalaman serupa
bisa terulang ketika kita memulai mencermati atau membacanya secara baru atau
juga lewat pelbagai usaha rekonsiliasi melalui banyak pengalaman lain yang
bersifat lebih sintesis.
12

Berdasarkan dua konsep perjalanan sejarah tadi, sejarah versi kebenaran
al-Quran selalu berpijak pada pengalaman masa lalu, berupa pengalaman historis
umat-umat sebelum datangnya generasi Muhamad, untuk kemudian dijadikan
tolak ukur masa kini dalam menjalankan aktifitas kosmiknya sebagai wakil Tuhan
di bumi sesuai dengan koridor yang telah ditetapkan. Ada suatu kerangka siklis
(ad-daur) yang ada di sini; pengulangan masa lalu seakan-akan tidak memberikan
ruang gerak bagi manusia berikutnya untuk memunculkan satu sejarah baru yang
memberikan citra progresif bagi terbentuknya masa kini yang lebih baik.
Namun pengalaman seperti ini kembali terbantahkan oleh al-Quran. Di
satu sisi misalnya, gerak dinamisme yang dimiliki manusia memungkinkan
mereka untuk menciptakan sesuatu sesuai dengan kodrat yang dimiliki dan


11
Ibnu Katsir, as-Sirah an-Nabawiyah, tahqiq Mustafa Abdul Wahid (Beirut:
Libanon, 1396 H/1971 M), vol. I, hal. 9-10.

12
DR. Konrad Kebung, Rasionalisasi dan Penemuan I de-ide (Surabaya:
Prestasi Pustaka, cet. Ke-1, 2008), Hal. 48.
6

kehendak yang mereka inginkan, termasuk sejarah. Dalam ranah inilah sejarah
bergerak dan berkembang. Meski tampaknya al-Quran banyak memberikan versi
statis atas perjalanan sejarah umat manusia, namun interpretasi atas kejadian itu
memberikan sinyalemen kepada manusia untuk berkembang dan berjalan sesuai
dengan hukum Tuhan yang tidak terbatas.

D. Tabayyun sebagai Kerangka Analisis Sejarah
Jauh sebelum adanya kriteria penyeleksian terhadap kebenaran sejarah
yang dikemukakan oleh para sejawaran, al-Quran telah memberikan kerangka
dasar bagi umat Islam untuk selektif terhadap kebenaran suatu berita dan fakta
sejarah. Al-Quran menyebutkan,
!!., _ `.., | `,l> _.! |,., `.,. ,,.. !. .> >,`.. _ls !. `.l-
_,.... _
13

6. Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa
suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu
musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan
kamu menyesal atas perbuatanmu itu.

Dalam konteks ayat ini, al-Quran memberikan ultimatum kepada manusia
untuk tidak segera menerima begitu saja suatu kabar peristiwa tanpa diteliti
terlebih dahulu kebenarannya, terutama jika peristiwa ini memiliki pengaruh besar
terhadap perkembangan sejarah umat manusia (naba). Untuk dapat menganalisis
kebenaran sejarah, terdapat satu kunci utama yang dikemukakan oleh al-Quran,
yaitu tabayyun (klarifikasi).
Secara bahasa, tabayyun berarti at-tatsabbut fi al-amri (mencari kepastian
terjadinya suatu hal atau peristiwa). Kata ini memiliki akar yang sama dengan kata
tabyin dan tibyn. Dalam Lisn al-Arab, Ibnu Mandzur mengatakan bahwa kedua
kata ini sering disebutkan di dalam al-Quran untuk mengingatkan manusia dari
ketergesa-gesaan ketika dihadapkan pada suatu kejadian, dan tidak menerima
begitu saja secara spontan terhadap sesuatu tanpa klarifikasi, karena pada


13
QS. Al-Hujurat/49: 06.
7

dasarnya keterangan dan klarifikasi suatu hal itu bersumber dari Tuhan.
Sebaliknya, sikap ketergesa-gesaan untuk menerima suatu berita tanpa adanya
proses klarifikasi itu berasal dari setan.
14

Dengan munculnya ide tabayyun sebagaimana dikemukakan oleh al-
Quran inilah yang menjadi faktor penting dalam analisis kritis sejarah. Ini
mengindikasikan adanya justifikasi dari al-Quran sendiri yang mengakui
kemungkinan hadirnya kembali sejarah umat manusia yang sama sekali berbeda.
Tabayyun sebagai analisis sejarah yang kemudian dikenal sebagai metode
klarifikasi sejarah, dijadikan pisau analisis untuk menyelamatkan peristiwa sejarah
dari kebohongan dan pengaburan fakta sejarah. Dalam konteks ini, penekanan
ditujukan kepada objek sekaligus subjek pembawa sejarah secara menyeluruh.
Merujuk pada konsep yang ditawarkan oleh al-Quran, Ibnu Khaldun
mencatat beberapa prinsip dasar untuk menyeleksi kebenaran sejarah dan
menghindarkan sejarah dari kecacatan. Di antara kriteria yang diajukan ialah:
15

1. Perlu adanya penyelidikan yang akurat terhadap yang diterima oleh suatu
masyarakat untuk menghindari adanya kebohongan sejarah.
2. Seorang sejarawan hendaknya meninggalkan tendensitas golongannya dan
berlaku se-obyektif mungkin dalam menyeleksi sejarah yang ada. Jika
fanatisme terhadap suatu aliran maupun madzhab tertentu, maka akan
sangat sulit untuk dapat melakukan verifikasi sejarah agar dihasilkan
sejarah yang jauh dari nilai-nilai subyektifitas.
3. Tsiqah (kekuatan) orang-orang yang berada dalam rantai periwayatan
sejarah. Untuk menganalisis para periwayat sejarawan, Ibnu Khaldun
menggunakan metode jarh wa at-tadil
16
sebagaimana yang digunakan
oleh para ahli hadits.

14
Penjelasan lengkap lihat Ibnu Mandzur, Lisn al-Arab, vol.XIII, hal. 62.

15
Ibnu khaldun, Muqoddimah (Beirut: Darul Fikr, 2006), hal. 33.
16
Ilmu jarh wa tadil merupakan ilmu yang digunakan untuk menyeleksi
kebenaran si pembawa suatu khabar atau hadits. Fungsinya adalah untuk membedakan
mana para perawi yang dapat dipertanggungjawabakna ke-adalah-annya dan mana yang
memiliki kecacatan (illat) agar suatu hadits terpelihara otentisitasnya. Lihat Dr. As-
Syarif Hatim bin Arif al-Auni, Nadwah Ulum al-Hadits Ulum wa Afaq, (Mekah:
Universitas Ummul Quro, tt), vol. IX, hal. 19.
8

4. Kebingungan dalam menentukan dan memecahkan maksud dan tujuan dari
terjadinya suatu peristiwa. Sehingga sejarawan hanya menyampaikan
suatu peristiwa sejarah berdasarkan asumsi yang tidak dicek
kebenarannya, dan terjerumus pada pengaburan fakta sejarah.
5. Ketidaktahuan sejarawan tentang tabiat dan watak keadaan suatu
peradaban. Untuk mengatasi persoalan ini, menurut Ibnu Khaldun, perlu
adanya analisis terhadap watak dari suatu peradaban yang ada di sekeliling
umat manusia, sehingga sejarah yang muncul dari peradaban itu tidak
keluar dari jalur kebenarannya. Pada level inilah Ibnu khaldun meletakkan
pondasi utama.
Hal inilah yang kemudian diamini oleh Muhamad Iqbal dalam bukunya
The Reconstruction of Religious Thought in Islam. Dalam bukunya tersebut, Iqbal
mengatakan bahwa keakuratan dalam merekam fakta sejarah (yang merupakan
materi inti bagi sejarah) merupakan kondisi yang sangat diperlukan untuk
membentuk sejarah sebagai sebuah ilmu pengetahuan. Selain itu, keakuratan bagi
fakta kebenaran ilmu pengetahuan sangat bergantung pada orang-orang atau
subjek para pembawa sejarah. Dari sini, hal terpenting untuk sampai pada kritik
sejarah adalah mempelajari personalitas dan karakter para pembawa berita sejarah
yang merupakan faktor penting untuk menilai kesaksian sejarahnya.
17


E. Karakteristik Manusia dalam Ruang Lingkup Sejarah
Sesuai dengan tabiatnya, manusia merupakan makhluk berperadaban.
18

Peradaban yang dihasilkan oleh manusia pada dasarnya merupakan suatu
keniscayaan, karena sosio-struktural manusia memang menghendaki manusia
untuk hidap dalam fitrahnya sebagai manusia yang berakal dan berkembang.
Lantas, dimanakah letak manusia dalam konteks sejarah?
Sebagai bagian dari alam, manusia diciptakan untuk melengkapi dan
mengatur eksistensi alam; alam menjadi bagian dari kehidupan manusia. Dalam
mengatur dan memelihara stabilitas alam sebagai ciptaan Tuhan yang sengaja


17
Muhamad Iqbal. The Reconstruction Of Religious Thought in I slam, hal.
60, dalam www.ziaraat.com

18
Ibnu khaldun, Muqoddimah hal. 33.
9

dipersiapkan untuk manusia, Al-Quran juga menggambarkan manusia untuk
melakukan panggilan kosmik, di mana dunia adalah alam dimana mutlak untuk
direalisasikan.
Ajaran agama yang dibawa oleh Muhamad merupakan ajaran baku yang
dapat ditafsirkan sesuai dengan kebutuhan umat manusia dalam beberapa generasi
yang berbeda. Ajaran agama yang dinamis ini menuntut manusia untuk ikut
campur dalam proses alam dalam mentransformasi kehidupan di setiap aspeknya
sesuai dengan kehendak Tuhan. Meski corak peradaban berbeda tiap daerah,
namun eksistensinya harus dipadukan dalam satu kesatuan; mengenal konsep satu
ketuhanan, satu idealisme serta satu pemikiran manusia sebagai makhluk yang
paling unggul di antara yang lain.
Konsep manusia sebagai subjek dari sejarah ini merupakan suatu argumen
yang diluncurkan untuk membantah argumen kosmologi yang menyatakan bahwa
dunia merupakan akhir dari sebuah hukum kausalitas.
19
Argumen ini, meski
dalam pembuktiannya bisa jadi benar, namun menyisakan ruang sempit dan kaku
bagi terbentuknya sejarah yang dinamis.
Ibnu Khaldun sering kali menyatakan bahwa esensi sejarah (yang sering
disalahpahami oleh para pengamat sejarah) hanyalah sekumpulan berita tentang
nilai-nilai sosial manusia yang membentuk peradaban dunia. Yang harus segera
digali bersama dalam pengertian terbatas ini, Ibnu Khaldun mengatakan bahwa
pengertian sejarah juga mencakup segala sesuatu yang muncul dari watak dan
tabiat peradaban, berupa sifat-sifat buas, lunak, fanatisme kesukuan, bentuk-
bentuk penaklukan atas manusia satu sama lainnya, dan apa saja yang tumbuh
sejalan dengan peradaban manusia berupa sistem kerajaan, negara serta
kedudukannya.
20

Dalam kerangka inilah Ibnu Khaldun mencoba keluar dari stagnasi sejarah
dan bergerak menuju satu nilai universal bagi sejarah itu sendiri. Ia tidak hanya
terjebak pada pemahaman sejarah sebagaimana dipahami kaum Materialis, namun


19
Iqbal menyebutnya batasan kosmologi as a finite effect.

20
Ibnu Khaldun, Muqoddimah, hal. 27.
10

mencoba menarik premis-premis khusus untuk kemudian menuju suatu
kesimpulan umum; filsafat sejarah.
Misalnya, ketika ditemukan ayat berikut:
:| _! , >.l.ll _.| _sl> _ _ ,l> l! `_-> !, _. ..`, !, ,`.
,!. _> _,.. ..> '_.1. ,l _! _.| `ls !. .l-. _
21

30. Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya
aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata:
"Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami
Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan
berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."

Menurut Ibnu Khaldun, porsi manusia sebagai wakil Tuhan di bumi
mengindikasikan karakteristik manusia yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya
di dunia ini. Hewan dalam pandangan Ibnu Khaldun hanya mampu bergerak
berdasarkan naluri dan insting yang dimiliki, sehingga pergerakan hewan
cenderung tidak teratur dan kaku. Berbeda dengan itu, manusia memiliki karakter
dasar untuk bergerak dan berkembang sesuai dengan kemampuan akal budinya
dalam satu sistematika keberaturan (al-intidzom fi al-afal al-basyariyah). Untuk
itu, manusia mampu menciptakan kerangka berfikirnya sendiri dalam melakukan
sebuah tindakan dan menarik hukum kausalitas yang ada di dunia ini untuk
dijadikan acuan dasar bagi terbentuknya konstruk manusia dalam menciptakan
sejarahnya sendiri.
22

Maka sudah barang tentu sejarah mesti digerakkan dalam konteks ini.
Penunjukkan Tuhan atas manusia untuk mengemban misi sebagai pemelihara
eksistensi dunia memberikan suatu ruang gerak sebebas-bebasnya kepada manusia
untuk hidup dan berkembang menuju keteraturan yang dikehendaki Tuhan tanpa
mesti dibayang-bayangi oleh kekakuan sejarah.
F. Rekonstruksi Tekstualitas Sejarah Menuju Nilai Kontekstual
Sebagai makhluk yang memiliki keniscayaan untuk berubah dan
berkembang, manusia tidak pernah terlepas dari konsep universalitas sejarah. Ibnu


21
QS. Al-Baqoroh/02: 30.
22
Ibnu Khaldun, Muqoddimah, hal. 271.
11

Khaldun dengan cerdas telah mencoba mendekonstruksi pemahaman dan
pembahasan sejarah yang hanya berkutat pada peristiwa dan kejadian masa lalu
menuju aktualisasi diri. Pembahasan dalam ilmu sejarah selalu saja identik
dengan perbuatan, peristiwa dan keadaan masyarakat yang ditemukan di hadapan
mereka. Perhatian sejarawan klasik hanya bertumpu pada memindahkan apa yang
berlangsung di dunia sekitar mereka, kawasan intelek interpretatif
23
belaka tanpa
mengenal lebih dalam aspek-aspek yang membentuk narasi sejarah itu sendiri.
Substansi dan esensi dari sejarah terabaikan. Para sejarawan kemudian mengubah
peristiwa, perbuatan dan keadaan masyarakat yang mereka kenal menjadi sebuah
okjek kemampuan konseptif. Oleh karena itu, cerita yang mereka tinggalkan
kepada kita tidak dapat terpahami sepenuhnya.
24

Untuk mengatasi materialisasi sejarah ini, para ahli filsafat sejarah
mencoba melahirkan dinamika baru dalam menetapkan hukum-hukum sejarah
agar nilai-nilai yang terkandung dalam sejarah masa lalu dapat dapat dihadirkan
kembali pada masa kini, dan melahirkan semacam antitesis dari sejarah asli.
Analisis kesejarahan ini kemudian melahirkan konsep sejarah reflektif. Sejarah
reflektif menurut Hegel, adalah sejarah yang cara penyajiannya tidak dibatasi oleh
waktu yang dengannya ia berhubungan, melainkan yang ruhnya melampaui masa
kini.
25
Tujuan dari sejarah reflektif ini adalah untuk mendapatkan suatu gambaran
umum tentang universalitas sejarah. Artinya, manusia di belahan dunia manapun
memiliki satu-kesatuan sejarah yang mendunia dan tidak dibatasi oleh ruang dan
waktu.
Berbeda dengan konsep sejarah reflektif yang lebih menekankan
penyusunan materi sejarah sebagai sesuatu yang penting, terdapat sejarah reflektif
yang memiliki nuansa pragmatis. Refleksi pragmatis (didaktis), masih menurut
Hegel, meskipun hakikatnya jelas abstrak, adalah nyata dan tidak dapat dibatalkan
oleh masa kini, dan mempercepat sejarah kematian masa lampau dengan
kehidupan masa kini. Sehingga muncul paradigma untuk memutuskan sejarah


23
G.W.F. Hegel, The Philosophy of History, terjemah Cuk Ananta Wijaya,
Filsafat Sejarah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. Ke-III, 2007), hal. 1.

24
Hegel, ibid., hal. 2.

25
Hegel, ibid., hal. 3.
12

masa lalu. Meski demikian, tak ada perbedaan artifisial dari sejarah reflektif
universal maupun pragmatis.
26

Dewasa ini, ahli sejarah memandang perlu adanya suatu penjelasan dari
dalam diri sejarah itu sendiri. Mereka memberikan definisi bahwa memahami arti
suatu peristiwa sejarah dapat dicapai melalui filsafat. Filsafat sejarah yang
sekarang dianggap sebagai bagian dari cabang ilmu sejarah berpijak pada
pertimbangan pemikiran terhadap sejarah sebagai sebuah metode, dan tidak
menggunakan metode lainnya. Hegel menjelaskan bahwa dalam ilmu ini, nampak
seolah-olah pemikiran harus merendahkan apa yang sudah pasti, pada realitas
fakta; bahwa inilah yang merupakan dasar dan pedomannya: seraya filsafat
bermukim di dalam wilayah ide yang dihasilkan jiwa, tanpa mengacu pada
aktualitas.
27

Sejarah, untuk itu merupakan bahan renungan. Untuk merenungkan nilai-
nilai filosofis dari sejarah, diperlukan suatu analisis rasio. Rasio merupakan
penguasa dunia; dengan demikian sejarah dunia memberikan proses rasional
kepada manusia. Keyakinan dan istitusi ini merupakan sebuah hipotesis dalam
bidang sejarah sebagaimana adanya. Di dalam filsafat tidak ada hipotesis. Hal itu
dibuktikan dengan pengetahuan spekulatif, bahwa Rasio dan istilah ini mungkin
memadai bagi kita, tanpa harus menyelidiki hubungan yang ditopang oleh Alam
Semesta dengan ada Ilahi merupakan Substansi, maupun sebagai Kekuatan yang
Tidak Terbatas; Materi yang Tidak Terbatas yang mendasari semua kehidupan
alamiah dan spiritual yang aslinya juga sebagai Bentuk yang Tidak Terbatas
yang membuat Materi ini bergerak. Di satu pihak, Rasio adalah substansi Alam
Semesta; yang melalui dan di dalamnya realitas memiliki ada dan sibsistensinya.
Di lain pihak, ia merupakan energi yang Tidak Terbatas dari Alam Semesta;
karena Rasio bukannya tanpa kekuatan yang tidak mampu menghasilkan sesuatu,
yang semata-mata merupakan ide, semata-mata merupakan makna yang berada
di luar realitas, tak seorangpun yang mengetahui di mana; sesuatu yang terpisah


26
Hegel, ibid., hal. 5.

27
Hegel, ibid.,hal. 11.
13

dan abstrak, di dalam kepala orang tertentu. Ia adalah kompleks yang tidak
terbatas dari segala sesuatu, Hakikat dan Kebenaran utuh.
28

Ide atau Rasio ini merupakan Kebenaran, Keabadian, esensi yang
berkuasa secara mutlak; ia mewujudkan dirinya dalam Dunia, dan di Dunia tidak
ada perwujudan yang lain kecuali ide dan kemurnian serta keagungannya
merupakan tesis, seperti yang telah kita katakan, yang telah dibuktikan di dalam
Filsafat, dan di sini dipandang sebagaimana yang telah ditunjukkan.
29

Dari sini, Ismail Raji Al-Faruqi mengakhiri pembahasannya tentang
prinsip sejarah dengan sebuah kesimpulan bahwa manusia mampu menciptakan
sejarah karena manusia itulah subjek dari sejarah itu sendiri. Dia berkata:
Tugasnya sebagai rasul tidak lebih adalah menerima dan menyampaikan
pesan Ilahi, Isi pesan tersebut mendiktekan kepadanya untuk ikut
campur tangan dalam proses-proses alam, dalam kehidupan kaumnya dan
seluruh manusia, untuk melahirkan perubahan yang diinginkan, Sebab,
seperti Hayy Ibn Yaqzan, setelah menemukan Tuhan dan kehendak Ilahi,
dia mesti memotong batang-batang pohon menjadi sebuah rakit untuk
digunakannya menyeberangi lautan, untuk mengakhiri pengasingan
individualisnya, untuk mencari masyarakat dan dunia, dan membuat
sejarah.
30

Karena esensi dari manusia tidak dapat dilepaskan dari rentetan sejarah
dan menafsir kehendak Tuhan sebagai wakil-nya di bumi. Maka, menciptakan
sejarah untuk sampai pada tahap akhir dunia merupakan esensi dari manusia
sesuai dengan fitrahnya sebagai makhluk yang paling mulia di antara makhluk
lainnya.

G. Penutup
Sebagai kesimpulan, ada dua hal pokok yang dapat kita tarik dari
pembahasan di atas. Pertama, tauhid merupakan kunci dasar keimanan yang benar
sesuai dengan yang diajarkan agama. Sesuai dengan konsep dasar al-Quran,
ketauhidan hanya akan memiliki nilai jika seseorang mampu
mengimplementasikannya dalam tindakan nyata, seperti melakukan perbaikan
alam semesta, dan melakukan perubahan sesuai yang dikehendaki dengan tetap


28
Hegel, ibid., hal. 12-13.

29
Hegel, hal. 13.
30
Ismail Raji Al-Faruqi, Tauhid, hal. 38-39.
14

berpijak pada prinsip-prinsip dasar syariah. Kedua, kunci utama dari sejarah
adalah keluar dari ruang kaku sejarah yang hanya berkutat pada nilai-nilai
materialnya saja tanpa memperhatikan substansi dan esensinya. Manusia tidak
lagi dipandang sebagai objek sejarah, namun harus bergerak progresif menjadi
subjek dari sejarah itu sendiri. Hanya melalui tahap inilah tauhid dan sejarah
selalu hidup dari masa ke masa, sehingga tercapailah cita-cita Tuhan dalam
menciptakan manusia sebagai wakil-Nya di bumi; merealisasikan Tuhan bagi
kehidupan yang baik untuk manusia dan untuk alam sekitarnya. Wallahu alam.

15

DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran Al-Karim
Al-Auni, As-Syarif Hatim bin Arif, Nadwah Ulum al-Hadits Ulum wa Afaq
(Mekah: Universitas Ummul Quro, tt)
Al-Faruqi, Ismail Raji, Tauhid: I ts Implications for Thought and Life, terjemah
Rahmani Astuti, Tauhid (Bandung: Penerbit Pustaka, cet. Ke-1, 1988 M)
As-Syaukani, Fath al-Qadir, tersedia dalam www.altafsir.com
Hegel, G.W.F., The Philosophy of History, terjemah Cuk Ananta Wijaya,
Filsafat Sejarah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. Ke-III, 2007)
Iqbal, Muhamad, The Reconstruction Of Religious Thought in I slam, dalam
www.ziaraat.com
Katsir, Ibnu as-Sirah an-Nabawiyah, tahqiq Mustafa Abdul Wahid (Beirut:
Libanon, 1396 H/1971 M)
Kebung, Konrad, Rasionalisasi dan Penemuan I de-ide (Surabaya: Prestasi
Pustaka, cet. Ke-1, 2008)
Khaldun, Ibnu Muqoddimah (Beirut: Darul Fikr, 2006)
Mandzur, Ibnu, Lisn al-Arab (Beirut: Dar Shodir, cet. Ke-1, tt)

Anda mungkin juga menyukai