Anda di halaman 1dari 39

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Dalam suatu Negara sistem politik merupakan suatu hal yang menentukan tentang bagaimana sistem pemerintahan yang akan dilakukan. Sistem politik merupakan organ penting yang menentukan tentang bagaimana konsep pemerintahan yang akan dibentuk nantinya. Sebagai suatu sistem, sistem politik itu harus mempunyai karakteristik tertentu yang dinilai sebagai sifat melekat dalam sistem politik tersebut. Salah satu karakteristik sistem politik yang sangat banyak dianut pada masa sekarang ini yaitu trias politica. Dalam doktrin ini, menurut Montesquieu bahwa dalam sistem pemerintahan negara, ketiga jenis kekuasaan harus terpisah, baik mengenai fungsi (tugas) maupun mengenai alat perlengkapan (organ) yang melaksanakan 1. Kekuasaan Legislatif, dilakasanakan oleh suatu badan perwakilan rakyat (Parlemen) 2. Kekuasaaan Eksekutif, dilaksanakan oleh pemerintah (presiden atau raja dengan bantuan Menteri-menteri atau Kabinet) 3. Kekuasaan Yudikatif, dilaksanakan oleh badan peradilan ( Mahkamah Agung dan pengadilan bawahannya) Sesuai dengan konsep diatas jelas dikatakan bahwa sebenarnya kekuasaan didalam suatu negara hendaknya dibatasi agar nantinya tidak memunculkan hegemoni kekuasaan yang dipegang oleh satu penguasa (sistem monarki).

Universitas Sumatera Utara

Selanjutnya Montesquieu mengemukakan bahwa kemerdekaan hanya dapat dijamin jika ketiga fungsi tersebut dipegang masing-masing badan secara terpisah. Meskipun ada berbagai penolakan, tentang perubahan dan penyesuaian teori ini, namun dengan adanya teori ini pembagian fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif menjadi dasar penyelenggara kekuasaaan negara. Dalam hal ini lembaga legislatif bertugas pada proses pembuatan perundang-undangan (legislasi) dan pengawasan terhadap penyelenggara kekuasaan pemerintah, Eksekutif dianggap sebagai penyelenggara negara berdasarkan hukum yang berlaku, sedangkan yudikatif bertugas sebagai menyelesaikan sengketa-sengketa yang terjadi di dalam negara yang harus independen dan tidak memihak. Di Indonesia sendiri konsep pembagian kekuasaan sebagaimana yang dikemukakan oleh Montesqiueu sebenarnya telah diserap kedalam sistem konstitusional negara Indonesia. Walaupun ketiga undang-undang dasar kita tidak secara eksplisit mengatakan bahwa doktrin trias politica dianut tetapi karena ketiga undang-undang dasar menyelami jiwa dan demokrasi konstitusional, maka dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut trias politica dalam arti adanya pembagian kekuasaan. Hal ini jelas dari pembagian Bab dalam Undang-Undang Dasar 1945. Misalnya Bab III tentang kekuasaan Pemerintahan Negara, Bab VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat, dan Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman. 1 Dengan meminjam teori Prof. Jennings bahwa pemisahan kekuasaan dalam arti materil, dapat disebutkan bahwa pembagian itu harus dipertahankan dengan prinsip dalam fungsi-fungsi kenegaraan yang secara karakteristik memperlihatkan adanya pemisahan kekuasaan itu kepada bagian yang tidak dianut

Miriam Budiharjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, Garmedia Pustaka Utama, 2008, hal. 288

Universitas Sumatera Utara

oleh UUD 1945. Dimana UUD 1945 hanya mengenal pemisahan kekuasaan dalam arti formil, oleh karenanya pemisahan kekuasaan tidak dipertahankan secara prinsipil. Dengan perkataan lain UUD 1945 hanya mengenal pembagian kekuasaaan (division of power) bukan pemisahan kekuasaan (separation of power)2 DPR sebagai lembaga legislatif adalah badan atau lembaga yang

berwenang membuat undang-undang dan sebagai kontrol terhadap pemerintahan atau eksekutif sedangkan Kekuasaan eksekutif merupakan lembaga penyelenggara negara yang bertugas menjalankan roda pemerintahan. Dari fungsinya tersebut maka pihak legisaltif dan eksekutif dituntut untuk melakukan kerjasama, apalagi di Indonesia memegang Prinsip pembagian kekuasaan. Dalam hal ini, maka tidak boleh ada suatu kekuatan yang mendominasi. Berfungsinya pengawasan tersebut akan memberikan warna dinamika hubungan antara eksekutif dengan legislatif, dimana secara garis besar dinamika tersebut terpola dalam hubungan yang seimbang antara eksekutif dengan legislatif dan hubungan yang dominatif dari legislatif atas eksekutif. Posisi seimbang dapat terjadi apabila eksekutif dan legisaltif masing-masing memiliki posisi tawar-menawar yang seimbang. Dalam perjalanan politik pada masa Orde Baru. Kekuasaan Presiden merupakan pusat dari seluruh proses politik yang berjalan di Indonesia. Hal ini ditandai dengan hegemoni kekuasaan yang dimiliki Presiden yang cukup besar serta tidak jelasanya batasan kewenangan yang semakin cenderung ke arah negatif yang menimbulkan peyalahgunaan wewenang. Dalam melaksanakan kekuasaanya Presiden diberikan kekuasaan yang sangat besar oleh UUD 1945. Oleh karena itu

Ismail Sunny. Pergeseran Kekuasaan Eksekutif. Jakarta, Aksara Baru. 1986 hal. 16

Universitas Sumatera Utara

dapat dilihat bahwa hal ini sering dimamfaatkan oleh rezim yang berkuasa untuk kepentingan politiknya sendiri. Melihat hubungan eksekutif dan lehislatif pada masa Orde Baru maka dapat dikatakan terjalin hubungan yang sangat baik dimana hampir tidak ditemukan konflik antara eksekutif dan legislatif. Soeharto yang pada waktu itu pemegang tampuk kekuasaan menggunakan topangan superioritas lembaga eksekutif terhadap DPR dan peran dwifungsi ABRI yang menghasilkan kehidupan politis yang stabil. Selain itu anggota DPR mayoritas berasal dari partai Pemerintah dan Utusan Daerah yang di pilih langsung oleh Presiden tentunya juga akan mendukung pemerintah 3. Sehingga fungsi control yang hanya dimiliki oleh legislatif tidak akan berjalan dengan efektif. Reformasi telah menurunkan Soeharto dari kursi Presiden yang didudukinya selama kurang lebih 32 tahun. Selanjutnya habibie yang mengisi kekosongan kekuasaan untuk menggantikan Soeharto berdasarkan pasal 8 UUD 1945 4. Habibie juga ternyata tidak mampu bertahan karena pemerintahannya lebih dipandang sebagai reproduksi Orde Baru ketimbang sebagai suatu produk Reformasi. Perubahan UUD 1945 adalah salah satu agenda reformasi yang di usung oleh seluruh kelompok dan kekuatan kelompok reformis dimana ada dua jalan menuju perubahan konstitusi yaitu amandemen atau membentuk UUD yang baru. Tarik menarik kedua gagasan tersebut akhirnya selesai setelah tim kecil yang terdiri dari tujuh partai politik pemenang pemilu 1999 yaitu partai Golkar, PPP, PKB, PAN, PBIB, dan partai Keadilan dan PDI-P yang berhalangan hadir plus TNI pada tanggal 29 september 1999 sepakat melakukan perubahan terhadap

Miriam Budiharjo dan Ibrahim Ambong, Fungsi Legislatif dalam Sistem Politik Indonesia Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995. Hal. 44 4 Abraham Amos, Sistem Ketatanegaraan Indonesia ( dari Orla, Orba, Sampai Reformasi) Jakarta : Rajawali Press, 2005, hal. 4

Universitas Sumatera Utara

konstitusi 5 Reformasi dianggap sebagai titik tolak bagi perbaikan sistem konstitusi Indonesia agar kelemahan-kelemahan UUD pada masa Orde Baru tidak terulang kembali terutama untuk mencegah kekuasaan totalitarianisme. Oleh karenanya UUD 1945 perlu diperbaiki dengan memberikan batasan-batasan yang lebih kongkrit tentang ruang lingkup lembaga kepresidenan sesuai dengan kedaulatan rakyat. Misalnya pasal 5 ayat 1 tentang kekuasaan membuat undang-undang yang terlalu didominasi oleh Presiden perlu di perbaiki. Perubahan UUD 1945

menghendaki agar kekuasaan membuat undang-undang tidak hanya di tangan Presiden melainkan berada ditangan Presiden dan DPR. Oleh karenanya Presiden tidak lagi memiliki otoritas penuh dalam membuat undang-undang melainkan telah ada DPR yang ikut mengawasi dan mengesahkan Undang-Undang. Di lihat berdasarkan interaksinya antar eksekutif dan legislatif maka terjadi penguatan kekusaan legisalatif terhadap eksekutif setelah diadakannya amandemen UUD 1945 yang berkenaan dengan pasal-pasal yang mengatur fungsi legislasi DPR yang mengindikasikan adanya penguatan DPR yang sifatnya kelembagaan. Dengan amandemen tentunya telah merubah suatu kedudukan fungsi eksekutif menjadi pelaksana aturan yang dihasilkan oleh legislatif. Hal sebaliknya justru pada lembaga legislatif akubat perubahan UUD 1945 yang pertama dan kedua kekuasaan dan kewenangan DPR semakin menguat dan meningkat. Bahkan sebagian hak preogratif Presiden dan administrasi lembaga tinggi lainnya ikut beralih kepada intitusi DPR. Pemilu tahun 2004 telah menghasilkan konfigurasi politik yang khas, dimana lembaga legislatif berasal dari tujuh belas partai politik yang terbagi
5

AM Fatwa, dari Cipinang ke Senayan ( Catatan Gerakan Reformasi dan aktifitas Legislatif Hingga ST MPR 2002), Jakarta : Penerbit INTRANS, 2003, hal. 313

Universitas Sumatera Utara

menjadi 550 kursi di DPR dan sebanyak tujuh partai besar menguasai hampir 91 persen kursi yang didalamnya tidak memiliki dominasi kekuatan. Sebagaimana dengan keputusan nomor 98/SK/KPU/2004 menetapkan Susilo Bambang Yudhoyono dan Yusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih dengan perolehan suara 6 berdasarkan partai yang mendukung kedua pasangan. Susilo Bambang Yuhoyono dan Yusuf Kalla hanya menguasai 173 kursi dengan rincian yakni partai Demokrat 56 kursi dan Partai Golkar 127 kursi. Tentunya jika hal ini diikuti maka akan menghambat Presiden dalam melaksanakan kebijakannya hal ini dikarenakan walaupun Presiden dan DPR memiliki kewenangan yang sama, namun dalam pengambilan kebijakan akhir tetap di tangan DPR. Dalam hal ini Presiden hendaknya harus menguasai lebih dari setengah suara yang mendukung pemerintah di legislatif. Oleh karenanya disepakati tentang perlunya dilakukan koalisi antar partai, dimana dalam pemilu 2004 partai politik yang tergabung dalam koalisi pemerintahan terdiri dari Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang, Partai Golkar, dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia. Hubungan eksekutif dengan legislatif ini sebenarnya juga patut di cermati. Hasil keputusan Presiden dalam pemilihan menteri-menteri dalam pemerintahan lebih banyak di dasarkan atas koalisi partai bukan pada keahlian masing-masing calon. Langkah ini diambil tak lain agar pemerintah dapat menguasai mayoritas suara di parlemen. Asumsinya kebijakan-kebijakan Presiden dalam menjalankan roda pemerintahan tentunya akan bergerak lancar apabila parlemen dari partai koalisi ini telah di kuasai.

Susilo Suharto, Kekuasaan Presiden Republik Indonesia dalam Periode Berlakunya UUD 1945 Surabaya : Penerbit Graha Ilmu, hal. 122

Universitas Sumatera Utara

Salah satu gagasan politik pada waktu itu adalah menciptakan keseimbangan yang baik antara DPR dan lembaga Presiden, yang sekaligus mewakili kepentingan seluruh masyarakat dan menjamin kehadiran pusat pengambilan keputusan yang efektif. Namun dalam proses implementasinya pemikiran ini tidak dapat terlaksana. Presiden dan DPR sama-sama memiliki pijakan yang kuat konstitusi. Disatu sisi Presiden merupakan cerminan dari suara rakyat karena dipilih langsung sebaliknya DPR mewakili kepentingan rakyat serta memiliki kedudukan yang kuat secara institusi. Oleh karena memiliki kedudukan yang sama-sama kuat inilah yang mengakibatkan kedua lembaga ini sulit untuk menyatukan kepentingannya. Namun adanya ketakutan terulangnya dominasi Presiden seperti rezim orde baru telah mengakibatkan sistem politik lebih condong melemahkan posisi Presiden akibatnya Eksekutif tampak tidak berdaya untuk membuat kebijakan-kebijakan karena selalu dihadang oleh lembaga legislatif. Cerminan hal diatas tentunya dapat megakibatkan ketidaktsabilan politik. pemerintahan SBY dan JK misalnya banyaknya kebijakan-kebijakan strategis pemerintah yang dihadang oleh interpelasi DPR tentunya telah menghambat pemerintah untuk menunjukkan kinerja terbaiknya karena harus hadangan DPR yang analogikan sebagai suatu tembok besar untuk memuluskan kebijakan yang diambil. Beranjak dari berbagai masalah tersebut, peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian dalam menganalisis bagaimana sebenarnya Hubungan antara eksekutif dan legislatif pasca reformasi

Universitas Sumatera Utara

2. Perumusan Masalah Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana sebenarnya hubungan lembaga legislatif dan eksekutif dalam pemerintahan Republik Indonesia pasca reformasi Bagaimana sebenarnya latar belakang kurang sejalannya hubungan lembaga legislatif dan eksekutif dalam pemerintahan pasca reformasi.

3. Batasan Masalah Adapun dalam penelitian ini banyak menjelaskan konteks hubungan legislatif dan eksekutif pada pemerintahan SBY periode I dan II serta menjelaskan mengapa sering terjadi ketidakharmonisan hubungan antara legislatif dan eksekutif.

4 Tujuan dan Manfaat penelitian 4.1. Tujuan Penelitian 1. Untuk melihat dekripsi kekuasaan yang dimiliki eksekutif dan legislatif pasca reformasi. 2. Untuk mengetahui hubungan antara lembaga eksekutif dan legislatif pasca reformasi. 3. Untuk mengetahui latar belakang yang mempengaruhi

keberlangsungan hubungan legislatif dan eksekutif pada roda pemerintahan pasca reformasi.

Universitas Sumatera Utara

4.2. Manfaat Penelitian Sebagai Sebuah karya Ilmiah setiap penulisan selalu di arahkan agar banyak memilki manfaat. Maka manfaat penelitian ini adalah: 1. Memperluas dan memperdalam pemahaman peneliti terhadap hubungan legislatif dan eksekutif pasca reformasi terutama di era pemerintahan SBY 2. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi cerminan yang berguna bagi pengembangan sistem politik di Indonesia terutama kaitannya dengan kekuasaan eksekutif

5. Kerangka Teori 5.1 Perspektif dan Konsep Demokrasi Perkataan demokrasi yang pertama kali diciptakan oleh sejarahwan Herodotus. Pada abad ke-5 SM. Demokrasi berarti Pemerintahan rakyat ( demo: Rakyat, Krateis: memerintah). Sistem ini kritik dari pemikir Yunani lainnya seperti Plato, Aristoteles, bahkan dari Thucydides, karena mereka menilai bahwa warga negara biasa tidak berkompeten untuk memerintah. Tetapi Yunani Kuno pada umunya percaya bahwa demokrasi adalah tatanan politik yang terbaik untuk menciptakan kestabilan politik 7. Namun secara historis, demokrasi itu muncul sebagai respon terhadap sistem monarkhi-diktator di Yunani pada abad ke 5SM. Dalam

perkembangannya yang lebih jauh, demokrasi di lihat sebagai respon terhadap teokrasi dan monarki absolut itu, berasal dari gagasan tentang sekuralisme oleh
7

Anthonius Sitepu, Sistem Politik Indonesia, Medan: Fakultas Ilmu Sosial dan Politik USU, 2004, hal 5-6

Universitas Sumatera Utara

Niccolo Machiavelli ( 1469-1527). Gagasan tentang kontrak sosial oleh Thomas Hobbes ( 1588-1679), gagasan tentang kontitusi negara liberalisme dan pemisahan kekuasaan menjadi badan-badan ( legislatif, eksekutif, yudikatif) dan federatif oleh John Locke ( 1832-1670) dan selanjutnya dikembangkan oleh Baron Montesquiue (1789-1785) dan gagasannya tentang pemisahan kekuasaan jadi badan-badan (legislatif, eksekutif, yudikatif) serta tentang gagasan kedaulatan rakyat dan kontrak social negara oleh Jean Jacques Rousseau ( 1712-1779)8 Dalam lebih tegas lagi dikatakan bahwa teori demokrasi telah berkembang sejak fase awal sejarah peradaban yakni masa Yunani Kuno yakni sintesa dari teori-teori lain, seperti teori yang memandang kekuasaan ada di tangan Tuhan (teokrasi) atau kekuasaan berada di tangan Raja (monarkhi). Sebagai teori yang menekankan kedaulatan ada di tangan rakyat. Tampaknya ini menjadi popular dan berkembang dalam mana kekuasaan di terima secara luas sebagi teori dan model bagi masyarakat modern. 9 Namun tidaklah berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa pertumbuhan terhadap pemikiran (teori) demokrasi tidak ada gagasan sepopuler demokrasi ini, sebagai obsesi bagi masyarakat beradab sampai saat ini. Maka dalam hubungan ini, demokrasi yang dilihat sebagai suatu sistem politik dan ara pengaturan dalam rangka penyelenggaraan ( politik dan pemerintahan). 10 Menurut Schumpeter dalam bukunya, Capitalism, Socialism and Democracy, demokrasi atau metode domokratik adalah pengaturan

kelembagaan untuk mencapai keputusan-keputusan politik di dalam dimana individu, melalui perjuangan memperebutkan suara rakyat pemilih, memperoleh
8

Masyukuri Abduulah, Hubungan Eksekutif-legislatif dalam Teori Politik Islam, Jakarta : forum Indonesia satu (FIS), 2001, hal.92 9 Din Syamsudin, kekuasaan dan rakyat : Refeleksi Pemikiran dan Praktek Politik Islam Jakarta : Forum Indonesia Bersatu ( FIS), 2001, hal 132-333, 10 Anthonius Sitepu, op. Cit, hal. 7

Universitas Sumatera Utara

kekuasaan untuk membuat keputusan Defenisi Schumpeterian yang lebih bersifat empiric, dekriktif, institusional dan procedural iniah yang mendominasi teorisasi mengenai demokrasi sejak 1970-an. 11 Namun berkenaan dengan itu. Affan Gaffar juga menuturkan bahwa dalam ilmu politik dikenal dua macam cara pemahaman demokrasi yakni, pemahaman secara normatif dan pemahaman secara empiris (procedural democracy). 12 Dalam pemahaman secara normatif, demokrasi merupakan suatu secara ideal yang hendak dilakukan atau diselenggarakan oleh pemerintah dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Ungkapan semacam ini biasanya diterjemahkan ke dalam konstitusi pada masing-masing negara misalnya dalam Undang-Undang Dasar 1945. Disamping secara Normatif, ada juga pemahaman demokrasi secara empiris, yaitu bagaimana kita melihat makna demokrasi itu dalam perwujudannya dalam kehidupan politik

5.2 Teori Kedaulatan Menurut sejarah dikenal lima teori kedaulatan yaitu kedaulatan Tuhan, kedaulatan Raja, kedaulatan Negara, kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat. a. Teori kedaulatan Tuhan Diantara lima teori kedaulatan tersebut diatas, yang paling tua menurut sejarahnya ialah teori kedaulatan Tuhan. Pada abad pertengahan, antara abad V sampai XV, teori ini mulai berkembang. Teori ini dalam perkembangannya mempunyai hubungan yang erat dengan perkembangan agama baru yang muncul
Pendapat Joseph Schumpeter, lihat Mohtar Masoed. Negara, Capital, dan Demokrasi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003, hal.15 12 Pendapat Affan Gaffar, lihat Anthonius sitepu, op.Cit hal. 9
11

Universitas Sumatera Utara

saat itu yaitu agama Kristen, yang selanjutnya disusun dalam suatu organisasi keagamaan, yaitu gereja, yang dipimpin oleh seorang paus sebagai kepala. Pada waktu itu ada dua organisasi kekuasaan yang diperintah oleh raja, dan organisaasi kekuasaan gereja dikepalai oleh seorang Paus, karena pada waktu itu organisasi gereja tersebut mempunyai alat-alat perlengkapan organisasi negara. Perkembangan selanjutnya dapat dicatat, bahwa agama baru ini mendapat tantangan hebat. Karena agama baru ini dianggap bertentangan dengan kepercayaan yang dianut pada waktu itu yaitu menyembah dewa-dewa atau pantheisme . banyak para pemimpinnya dikejar-kejar, ditangkap, diubuang atau dibunuh, karena dianggap mengancam kedudukan Raja. Akan tetapi karena penganutnya ulet dan tabah , maka agama itu tidak lenyap, melainkan malah tumbuh dan berkembang. Penganut ajaran kedaulatan Tuhan diantarannya ialah Augustinus, Thomas Aquinas, dan Marsilius. 13

b. Teori Kedaulatan Raja Menurut Marsilius kekuasaan tertinggi didalam suatu negara ialah raja, karena raja sebagai wakil Tuhan di dunia untuk melaksanakan kedaulatan. Ajaran Marsilius dikemukakan pada akhir abad pertengahan awal abad berikutnya yaitu zaman renaissance. 14 Kecuali kepada Tuhan, Raja merasa tidak bertanggung jawab kpeada siapapun. Malahan kepercayaan atau agama yang harus dianut oleh rakyat, Rajalah yang menetapkan.

13 14

Soehino, Ilmu Negara, Edisi cetakan ketiga, Liberty, Yogyakarta, 2000, hlm 152 Ibid, hal. 153

Universitas Sumatera Utara

c. Teori Kedaulatan Negara Penganut teori ini diantaranya ialah George Jellinek dan Jean Bodin. Teori ini menyatakan bahwa kedaulatan ini tidak ada ditangan Tuhan ataupun Raja, melainkan ada pada negara. Hukum diciptakan oleh negara, oleh karena itu segala sesuatu harus tunduk kepada Negara. Menurut Jellinek, hukum adalah penjelmaan kehendak negara, jadi

hukum diciptakan oleh negara, dengan demikian satu-satunya sumber hukum adalah negara. Jean Bodin berpendapat bahwa adat kebiasaan yang secara nyata berlaku ditengah-tengah masyarakat bukanlah hukum. Sebaliknya menurut Jellinek, adat kebiasaan itu merupakan hukum, apabila negara telah menetapkan sebagai hukum.\ d. Teori Kedaulatan Hukum Penganut teori ini adalah Krabbe. Teori ini menyatakan bahwa yang memiliki kekuasaan tertinggi dalam suatu negara ialah hukum, karena itu baik raja, penguasa, dan rakyat serta negara sendiri tunduk terhadap hukum. Menurut krabbe yang menjadi sumber hukum adalah rasa hukum, yang terdapat di masyarakat. Rasa hukum ini dalam bentuknya masih sederhana atau primitif, dan dalam bentuknya yang telah maju disebut kesadaran hukum 15. Struyken, Sarjana hukum bangsa belanda menyatakan bahwa rasa hukum tidak dapat dijadikan sumber hukum, karena rasa hukum itu selalu berubah-ubah dan rasa hukum dari A tidak akan sama dengan rasa hukum dari B, dan rasa hukum A dan B yang sekarang akan berbeda dengan rasa A dan B sendiri dalam waktu 5 tahun yang akan datang.

15

Ibid, hal. 156-157,158

Universitas Sumatera Utara

Pendapat Struycken ini dibantah oleh Kranenburg dengan mengatakan anatara lain Krabbie tidak mengatakan bahwa rasa hukum atau kesadaran hukum dari setiap orang itu adalah sama. Dalam hubungan ini Struycken sendiri hanya menyatakan kesadaran hukum itu tidak dapat dijadikan sebagai sumber hukum, karena di dalam jiwa manusia tidak hanya bergerak kesadaran hukum saja, dan masih banyak hal-hal yang menggerakkan jiwa manusia. e. Teori Kedaulatan Rakyat Pencetusnya ialah J.J Rousseau. Teori ini menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi dalam negara ialah rakyat. Teori kedaulatan rakyat juga di ikuti oleh Imanuel Kant. Dapat dicatat yang dimaksud rakyat oleh Rousseau, bukanlah penjumlahan daripada individu-individu., dan mempunyai kehendak, kehendak mana diperolehnya dari individu-individu melalui perjanjian masyarakat, yang oleh Rousseau kehendak tadi disebut kehendak umum atau volonte generale, yang diangga mencerminkan kemauan atau kehendak umum. Sebaliknya kalau kehendak tersebut dari individu-individu didalam negara tanpa melalui perjanjian masyarakat, maka kehendak yang ada padanya bukanlah kehendak umum. 5.3 Teori dan Konsep Kekuasaan Dalam sebuah negara gagasan tentang pemisahan kekuasaan sangat diasumsikan sebaga suatu cara untuk menjadikan negara tidak berpusat pada satu tangan (monarkhi) melainkan harus memiliki batasan-batasan kewenangan. Dalam hal ini Jhon Locke mengemukakan gagasan tentang teori yang memisahkan kekuasaan dari tiap-tiap negara kedalam tiga bagian Antara lain 16: 1. Kekuasaan Legislatif, yakni kekuasaan untuk membuat undang-undang.
16

Moh. Mahfud MD, Dasar dan struktur ketatanegaraan Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2001, hal. 72

Universitas Sumatera Utara

2. Kekuasaan eksekutif, yakni kekuasaan untuk melaksanakan undangundang. 3. Kekuasaan Federatif, yakni kekuasaan mengadakan perserikatan dan aliansi serta segala tindakan dengan semua orang dan badan-badan luar negeri. Menurut John Locke, ketiga kekuasaan ini harus dipisahkan satu dari yang lainnya 17. Menurut Montesquieu dalam suatu pemerintahan negara, ketiga jenis kekuasaan itu harus terpisah, baik mengenai fungsi (tugas) maupun mengenai alat kelengkapan ( organ) yang melaksanakan : 1. Kekuasaan Legislatif dilaksanakan oleh suatu badan perwakilan rakyat ( parlemen) 2. Kekuasaan eksekutif, dilakasanakan oleh pemerintah ( presiden atau raja dengan bantuan menteri-menteri atau cabinet) 3. Kekuasaan Yudikatif, dilaksanakan oleh badan peradilan ( Mahkamah Agung dan pengadilan dibawahnya) Isi ajaran Montesquieu ini adalah mengenai pemisahan kekuasaan ( the Separation of Power) yang dikenal dengan Istilah Trias Politica istilah yang diberikan oleh Imanuel Kant. Keharusan pemisahan kekuasaan negara menjadi tiga jenis itu adalah agar tindakan sewenang-wenang oleh raja dapat dihindarkan. Istilah Trias Politica berasa dari kata Yunani yang artinya Politik Tiga Serangkai, Menurut ajaran trias Politica dalam setiap pemerintahan negara harus ada tiga jenis kekuasaan yang tidak dapat dipegang oleh satu tangan saja,

C.S.T Kansil dan Cristine S.T Kansil, Sistem pemerintahan Indonesia, Jakarta: Bumi aksara, 2003, hal. 8

17

Universitas Sumatera Utara

melainkan kekuasaan itu harus terpisah. 18Ajaran Trias Politica ini nyata-nyata bertentangan dengan kekuasaan yang marak terjadi pada zaman feodalisme pada abad pertengahan. Pada jaman itu yang memegang kekuasaan dalam negara ialah seorang Raja, yang membuat sendiri undang-undang, menjalankan dan menghukum segala pelanggaran atas undang-undang yang dibuat dan dijalankan oleh raja tersebut. Setelah pecah revolusi perancis pada tahun 1789, barulah paham tentang kekuasaan yang bertumpuk di tangan raja menjadi lenyap. Dan ketika itu pula timbul gagasan baru mengenai pemisahan kekuasaan yang dipelopori oleh Montesqiueu. 19 Pemisahan ketiga kekuasaan harus jelas satu sama lain, baik mengenai tugas dan fungsi, maupun mengenai alat perlengkapan atau sebagai organ penyelenggara negara. Montesqiueu menegaskan, bahwa

kemerdekaan individu terhadap tindakan sewenang-wenang pihak penguasa akan terjamin apabila ketiga kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudisil diadakan pemisahan yang jelas satu sama lain. Prof Jennings membedakan antara pemisahan kekuasaan dalam arti materil dan pemisahan dalam arti formal. Adapun yang dimaksudkan dengan kekuasaan dalam arti materil ialah pemisahan kekuasaan dalam arti pembagian kekuasaan itu dipertahankan dengan tegas dalam tugas kenegaraan yang dengan jelas memperlihatkan adanya pemisahan kekuasaan itu kepada tiga bagian: yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif. Sedangkan yang dimaksudkan dengan pemisahan kekuasaan dalam arti formal ialah pembagian kekuasaan itu tidak dipertahankan dengan jelas. 20

18

ibid, Hal. 8-9 C.S.T Kansil, Op.Cit, hal. 10-11 20 Pendapat Jennings, ibid, hal. 14
19

Universitas Sumatera Utara

Prof. Dr. Ismail Suny S.H.,M.C.L. dalam bukunya yang berjudul Pergeseran Eksekutif mengambil kesimpulan dalam arti materil itu sepantasnya disebut separation of power (Pemisahan kekuasaan) sedangkan yang dalam arti formal sebaiknya disebut Division of power. Amerika dianggap sebagai negara yang pertama menerapkan ajaran pemisahan kekuasaan trias politica misalnya Presiden Amerika Serikat yang tidak dapat membubarkan kongres. Sebaliknya kongres tidak dapat menjatuhkan presiden selama jabatan empat tahun. Selain itu para Hakim Agung Amerika Serikat, sekali diangkat oleh Presiden, selama berkelakuan baik, memegang jabatan seumur hidup atau sampai waktunya mengundurkan diri secara sukarela, sebab Mahkamah Agung Amerika Serikat mempunyai kedudukan yang bebas. Badan Yudisiil tertinggi atau Mahkamah Agung Amerika Serikat bertanggung jawab untuk menafsirkan undang-undang, mempunyai hak uji materiil atau judicial review atas undang-undang terhadap konstitusi, meskipun hak ini hanya merupakan konvensi ketatanegaraan, tidak tertulis di dalam konstitusi. Berbeda dengan Inggris, perdana menteri dapat membimbing Dewan Perwakilan Rakyat. Presiden Amerika Serikat tidak dapat membimbing Kongres. Presiden dan para menteri tidak boleh merangkap anggota kongres. Sebaliknya Perdana menteri dan kebanyakan Menteri di Inggris berasal dari Majelis rendah dan turut dalam perdebatan majelis itu. Perdana menteri mengetuai kabinet yang terdiri dari teman separtai dan sekaligus memberi bimbingan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam menyelenggarakan tugasnya sehari-hari misalnya dalam soal menentukan prioritas pembahasan. Oleh karenanya sebagaimana negara-negara yang menganut sistem Presidensil dalam pemerintahan Negara, Indonesia telah menempatkan presiden

Universitas Sumatera Utara

dalam fungsi Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan di Negara Republik Indonesia yang memiliki kekuasaan yakni sebagai berikut 21 : 1) Kekuasaannya Legislatif ( Pasal 5 dan Pasal 7 ayat 2 ) 2) Kekuasaannya Administratif ( Pasal 15 dan Pasal 17 ayat 2 ) 3) Kekuasaannya Eksekutif ( Pasal 4 ayat 1) 4) Kekuasaannya Militer ( Pasal 10, 11 dan 12 ) 5) Kekuasaannya Yudikatif ( Pasal 14 ) 6) Kekuasaannya Diplomatik ( Pasal 13 ) Secara lebih terperinci, dapatlah dikemukakan bahwa Presiden Republik Indonesia berdasarkan Undang undang dasar 1945 mempunyai kekuasaan. 1) Menjalankan undang undang 2) Mengangkat dan memberhentikan menteri menteri 3) Membentuk undang undang bersama sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat. 4) Membentuk Peraturan Pemerintah pengganti undang undang. 5) Menetapkan Peraturan Pemerintah pengganti undang undang. 6) Mengajukan RAPBN. 7) Memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Perang Republik Indonesia. 8) Menetapkan perang dengan persetujuan DPR. 9) Menerima duta dari Negara lain. 10)Memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi. 11)Memberi gelar dan tanda jasa

21

UUD 1945 pasca amandemen

Universitas Sumatera Utara

12)Mengangkat duta dan konsulat. Relasi antara legistatif ( DPR ) dan eksekutif ( Presiden) dalam hal pembuatan Undang undang, tertuang dalam Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 yang telah diamandemen, berbunyi : Setiap rancangan undang undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. 5.4 Partai Politik 5.4.1 Pengertian Partai Politik Dalam kehidupan modern dan demokratis keberadaan partai politik menjadi suatu keharusan, sebab fungsi utama partai politik adalah berssaing untuk memenangkan pemilu. Secara umum partai politik dapat dirumuskan sebagai suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi dan nilai cita-cita yang sama. Berdasarkan istilah dari partai politik Carl Friedrich menjelaskan bahwa partai merupakan sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pemimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini, memberikan kepada anggota partainya kemamfaatan ini bersifat idiil dan materil. 22 Sedangkan Sigmund Neumann dalam bukunya yang berjudul, Modern Political Parties mengemukakan efenisi partai politik sebagai organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat melalui persaingan dengan suatu golongan golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda. Sama halnya dengan Frederich, RH Soltau menyatakan bahwa partai politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai sesuatu kesatuan

22

Miriam Budiharjo, Op cit hal. 404

Universitas Sumatera Utara

politik

dengan

memnfaatkan

kekuasaaanya

untuk

memilih

bertujuan

mengendalikan atau menguasai serta melaksanakan kebijakan partainya.

5.4.2 Sistem Kepartaian a. Sistem Partai Tunggal Sistem partai tunggal dipakai pada partai yang mempunyai kedudukan dominan diantara beberapa partai lainnya. Sistem kepartaian dalam sistem ini dijelakskan pada kondisi non kompetitif, hal ini dikarenakan partai-partai yang ada harus menerima pemimpin partai dari partai yang dominan dan tidak dibenarkan bersaing untuk melawan partai yang dominan tersebut. b. Sistem Dwi Partai Sistem ini diartikan dengan adanya dua partai atau adanya bebrapa partai akan tetapi didominasi oleh dua partai. Sistem Dwi partai umumnya diperkuat dengan dipergunakannya sistem pemilihan singel member contituency (sisitem distrik) dimana dalam setiap daerah pemilihanya hanya dapat dipilih satu wakil saja. Selain itu sistem ini memiliki suatu kecenderungan untuk menghambat pertumbuhan dan perkembangan partai kecil dengan demikian akan

memperkokoh sistem ini diterapkan pada berbagai negara. c. Sistem Multi Partai Sistem multi partai cocok jika diterapkan didalam negara yang memiliki keanekaragaman budaya . perbedaan tajam antara ras, agama atau suku bangsa mendorong golongan-golongan masyarakat lebih cenderung menyalurkan ikatanikatan terbatasnya dalam satu wadah yang sempit saja. Sistem ini banyak

Universitas Sumatera Utara

berkembang pada negara seperti Malaysia, Netherland, Australia, Prancis, Swedia, dan Rusia. 23 Sistem Multi Partai jika dihubunngkan dengan sistem pemerintahan Parlementer, mempunyai kecenderungan untuk menitikberatkan kekuasaan pada badan legislatif, sehingga peran badan eksekutif sering lemah dan ragu-ragu. Hal ini di sebabkan karena tidak ada satu partai yang cukup kuat untuk membentuk pemerintahan sendiri, sehingga pemerintah yang berkuasa harus berinisiatif melakukan koalisi dengan partai lain agar memiliki dukungan di parlemen. Dalam hal koalisi partai yang bekoalisi harus selalu mengadakan kompromi sebagai mitra dan apabila sewaktu-waktu tidak ada kesepakatan yang tercapai memungkinkan koalisi dapat pecah kembali. Sehingga semua partai dapat saja memposisikan sebagai koalisi ataupun oposisi tergantung dengan kesepakatan dengan partai penguasa.. 5.4.3 Fungsi Partai Politik Di dalam setiap negara, pandangan terhadap partai politik sangatlah berbeda. Hal ini tentunya dilihat dari pelaksanaan tugas atau fungsi partai di masing-masing negara. Partai politik di dalam negara demokrasi cenderung menjalankan negara untuk fungsinya sebagaimana fungsi asli yaitu jembatan bagi warga terjun dalam pengelolaan kehidupan bernegara serta

memperjuangkan kepentingan di hadapan penguasa. Adapun fungsi partai politik di dalam negara demokrasi antara lain :

23

ibid hal. 419-420

Universitas Sumatera Utara

Sebagai Sarana Komunikasi Politik

Di dalam suatu negara yang masyarakatnya majemuk kehilangan aspirasi sangatlah rentan terjadi oleh karenanya perlu di tampung dan di perjuangkan. Partai politik disini berperan dalam penggabungan( agregasi) aspirasi masyarakat setelah digabungkan aspirasi kemudian diolah dalam bentuk yang lebih teratur yang sering disebut sebagai artikulasi kepentingan. Kepentingan-kepentingan inilah yang dirumuskan menjadi usul kebijakan yang diasukkan kedalam program partai politik. Hal ini tentunya salah satu fungsi komunikasi politik partai. Sedangkan disisi lain Partai politik juga didorong untuk melakukan penyebaran terhadap informasi-informasi kebijakan pemerintah terhadap masyarakat

sehingga partai dapat disebut sebagai jembatan antara pemerintah dan yang diperintah. Istilah ini kemudian diperkuat oleh Sigmund Neuman yang menjelaskan bahwasanya partai politik merupakan perantara besar yang menghubungkan kekuatan-kekuatan dan ideologi-ideolog sosial dengan lembaga pemerintah yang resmi dan mengkaitkan dengan aksi politik didalam masyarakat politik yang lebih luas. 24 Sebagai Sarana Sosialisasi Politik

Sosialisasi diartikan sebagai suatu proses dimana sesorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik, yang umumnya berlaku dalam masyarakat dimana ia berada. Di sisi lain menurut M. Rush sosiologi politik diartikan sebagai suatu proses yang melaluinya orang dalam masyarakat tertentu belajar mengenali sistem politiknya. Proses ini sedikit banyaknya menentukan persepsi dan reaksi mereka terhadap fenomena politik. Dalam menjalankan fungsi

24

Meriam Budiharjo, Ibid. Hal 406

Universitas Sumatera Utara

sosialisasi politik, partai politik menjadi penghubung yang mensosialisasikan nilai-nilai politik generasi yang satu ke ke generasi lainnya. Hal ini tentunya dilakukan partai politik dengan berbagai cara seperti melalui media massa, ceramah-ceramah, penerangan, kursus kader, penataran atau sebagainya. Disamping menjadi jembatan dalam melakukan pendidikan politik, partai politik juga dituntut melakukan fungsi untuk mendidik anggota-angotanya untuk menjadi manusia yang sadar akan tanggung jawabnya sebagai warga negara dan menempatkan kepentingan sendiri dibawah kepentingan nasional. Sebagai Sarana Rekrutmen Politik Berkaitan dengan fungsi ini partai politik dituntut untuk melakukan seleksi untuk merekrut kader-kader yang kompeten sebagai calon pemimpin baik pemimpin nasional maupun pemimpin partai. Setiap partai yang memiliki kaderkader yang berkualitas tentunya akan mendapat kesempatan yang lebih besar untuk mengembangkan diri. Rekrutmen partai politik menjamin kontinuitas dan kelestarian partai, sekaligus merupakan salah satu cara untuk menjaring dan melatih calon-calon pemimpin. Sebagai Sarana Pengatur Konflik Setiap negara pasti memiliki potensi konflik. Hal ini dikarenakan didalam setiap negara pasti memiliki masyarakat yang memiliki banyak perbedaanperbedaan baik dari segi etnis, sosial ekonomi ataupun agama. Oleh karenanya disini partai politik diperlukan untuk membantu mengatasi atau sekurangkurangnya dapat diatur sedemikian rupa sehingga akibat negatifnya dapat ditekan seminimal mungkin.

Universitas Sumatera Utara

Elite-elite partai politik berperan untuk menumbuhkan pengertian diantara mereka yang berkonflik serta meyakinkan pendukungnya. Menurut Lijphart perbedaan-perbedaan atau perpecahan di tingkat massa dapat diatasi oleh kerjasama-kerjasama oleh elite-elite politik. Oleh karenanya peran partai politik tentunya dapat mencegah terjadinya konflik-konflik yang terjadi di masyarakat. 5.5 Legislatif 5.5.1 Teori Perwakilan Politik Lembaga perwakilan muncul pada abad ke-18 M di Eropa sebagai lembaga demokrasi. Pada waktu itu muncul gagasan bahwa pemerintahan memerlukan persetujuan dari yang diperintah. Luasnya wilayah pada waktu itu berdampak kepada kurangna realisasi kepentingan di perintah oleh karenanya perlu dibentuk lembaga perwakilan untuk mewakili kepentingan rakyat yang disebut sebagai parlemen. Parlemen merupakan suatu mekanisme untuk merealisasikan gagasan normatif bahwa pemerintahan harus di jalankan dengan kehendak rakyat.. Sebagaimana dengan teori perwakilan politik yang di cetuskan oleh Alfred de Gazio, perwakilan meruapakan hubungan antara dua pihak yaitu wakil dengan yang terwakili dimana wakil memiliki kewenangan untuk melakukan berbagai tindakan yang berkenaan dengan kesepakatan yang dibuatnya. 25Dengan demikian keterwakilan politik hanya akan terwujud apabila kepentingan anggota masyarakat telah diwakili sepenuhnya oleh wakil-wakil mereka di dalam lembaga parlemen.

25

Arni Sabit, Perwakilan Politik Indonesia. Jakarta : CV Rajawali, 1985, hal. 1

Universitas Sumatera Utara

Dalam perkembangannya rakyat menyelenggarakan kedaulatan yang dimilikilinya melalui wakilnya. Para wakil rakyat inilah yang kemudian mewakili mayoritas rakyat. Oleh karenanya masyarakat memberikan mandat kepada para wakilnya untuk mewakili kepentinganya dalam proses politik dan pemerintahan. Secara teoritis setiap wakil tentunya melihat dirinya merupakan wakil yang mewakili warga negara yang berada dalam batas lingkup perwakilannya. Namun dalam implementasainya hal ini sangatlah sulit dilakukan hal ini dikarenakan tidaklah mungkin seorang wakil memberikan seluruh perhatian terhadap rakyat yang diwakilinya. Oleh karenanya para wakil biasanya melakukan pemusatan perhatian yang dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu memberikan perhatian kepada kelompok, memperhatikan partai, dan memperhatikan wilayah dan daerah yang diwakili 26 melalui teori ini kemudian akan memudahkan para wakil untuk memperjuangkan kepentingan keseluruhan rakyat yang diwakilinya. Dengan berkembangnya gagasan bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat, maka badan legislatif menjadi badan yang berhak menyelenggarakan kedaulatan itu dengan jalan menentukan kebijakan umum dan menuangkannya kedalam undang-undang. Sehingga badan eksekutif hanya berperan sebagai penyelenggara dari kebijakan umum. Salah satu pemikir yang merupakan pelopor dari gagasan kedaulatan rakyat Rousseau menolak adanya badan perwakilan, tetapi mencita-citakan suatu bentuk demokrasi langsung, dimana rakyat secara langsung merundingkan serta memutuskan soal-soal kenegaraan dan politik. Akan tetapi apa yang di impikan oleh Rousseau sangatlah tidak praktis, dan hanya di pertahankan dalam bentuk

26

Ibid, hal. 29

Universitas Sumatera Utara

khusus dan terbatas seperti pada referendum. Boleh dikatakan bahwa dalam negara modern dewasa ini rakyat menyelenggarakan kedaulatan yang dimilikinya melalui wakil-wakil yang dipilihnya secara berkala. Dewasa ini legislatif tidak lagi dipandang hanya sebagai lembaga perwakilan rakyat. Dalam negara demokratis sekarang selain menjalankan kedaulatan rakyat lembaga ini juga dituntut untuk bisa melakukan pengawasan terhadap pemerintah atau eksekutif. Jika melihat fungsi legislatif dan eksekutif yang saling berhubungan tentu memerlukan kerjasama antara eksekutif dan legislatif. Dalam menjelaskan hal ini AM fatwa menjelaskan bahwa ada dua peranan yang menghubungkan hubungan antara legislatif dan eksekutif. Pertama yaitu memberi peranan yang bermakna menyalurkan aspirasi rakyat dan kedua yaitu pemupukan kewibawaan eksekutif serta memberikan legitimasi kepada legislatif. Jika melihat kedua peranan tersebut maka akan memunculkan dua opsi terhadap hubungan antara legislatif dan eksekutif saling memperlemah atau saling searah atau mendukung. 5.5.2 Fungsi Legislatif Sebagaimana yang diatur didalam undang-undang setiap negara, lembaga legislatif memiliki peranan dan fungsi. Namun diantara fungsi badan legislatif yang diatur pada tiap negara terdapat dua fungsi legislatif yang paling penting yaitu membentuk undang-undang (legislasi) dan mengontrol eksekutif. Namun dari pada itu masih banyak fungsi legislatif lain yang masing-masing diatur oleh tiap negara diantaranya Seperti legislatif Amerika Serikat yang memiliki wewenang untuk menuntut dan mengadili pejabat Presiden, termasuk Presiden.

Universitas Sumatera Utara

a. Fungsi legislasi Fungsi ini merupakan wewenang badan legislatif untuk merumuskan perundang-undangan. Dimana dalam membahas badan legislatif sering

membentuk panitia-panitia untuk memanggil menteri atau pejabat lain untuk dimintai keterangan seperlunya. Namun dewasa ini wewenang ini kemudian mulai bergeser ke badan eksekutif. Mayoritas undang-undang di rumuskan dan di bahas oleh eksekutif dan selajutnya legislatif hanya tinggal mengesahkan dan mengamandemennya. Hal dilatarbelakangi oleh banyaknya negara modern sekarang yang memberikan tanggung jawab kesejahteraan rakyat kepada eksekutif karena itu harus mengatur semua aspek kehidupan masyarakat. b. Fungsi Kontrol Seiring semakin berkurangnya fungsi legislasi yang dimiliki badan legislatif maka peranananya dibidang kontrolling seakin menonjol. Oleh karenanya badan eksekutif senantiasa mengawasi kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan eksekutif. Dimana pengawasan yang dilakukan oleh badan legislatif dilakukan melalui hal-hal berikut:

b.1 Hak Interpelasi Hak ini merupakan hak untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakannya didalam suatu bidang. dalam dilaksanakannya hak interpelasi, eksekutif wajib memberikan penjelasan dalam sidang pleno yang mana dibahas oleh anggota-anggota dan diakhiri dengan pemungutan suara mengenai apakah memuaskan atau tidak. Apabila kebijakannya kurang

Universitas Sumatera Utara

memuaskan maka hal ini menununjukkan kebijakan eksekutif diragukan untuk dilaksanakan.

b.2 Hak Petisi Fungsi ini hampir sama dengan hak interpelasi yaitu untuk memintai keterangan eksekutif mengenai suatu kebijakan akan tetapi didalam hak ini tidak diikuti dengan perdebatan terbuka karena sifatnya hanya meminta jawaban sesuai materi jawabannya. Pertanyaan dapat diberikan secara lisan ataupun tulisan serta dapat dijawab secara lisan maupun tulisan.

b.3 Hak angket. Hak angket merupakan hak badan legislatif untuk mengadakan suatu peneyelidikan terhadap suatu kebijakan pemerintah yang dianggap gagal. Dalam hal ini badan legislatif akan membentuk panitia angket dan melaporkan hasil penyelidikan kepada anggota DPR lainnya.

5.6 Konsepsi Sistem Presidensial 5.6.1 Sejarah singkat Sejarah sistem presidensial berawal dari lahirnya negara baru Amerika Serikat buah dari perjuangan rakyat koloni inggris di benua Amerika untuk memiliki pemerintahan sendiri lepas dari pusat kekuasaan, Kerajaan Inggris, namun hak dan kedudukannya tidak sederajat dengan hak dan kedudukan penduduk di Inggris. Keinginan rakyat Amerika sudah tentu berbenturan dengan inggris yang tidak ingin wilayah koloninya lepas dari negara induk. Kehendak

Universitas Sumatera Utara

mereka untuk merdeka akhirnya harus ditempuh melalui peperangan panjang dan melelahkan, dengan inggris ( 1775 1783 ), yang kala itu merupakan Negara adikuasa dan adidaya. Dan akhirnya rakyat koloni memenangkan peperangan dan selanjutnya mereka menyatakan diri merdeka, sebagai bangsa Amerika. 27 Para pendiri bangsa sadar bahwa untuk keluar dari kesulitan dibutuhkan pemerintahan yang kuat. pemerintahan kuat diartikan sebagai pemerintahan yang memiliki landasan atau konstitusi yang kokoh dan kuat . Sejarah Amerika mencatat perjuangan tokoh tokoh seperti Hamilton, Madison, dan Jay, tercatat sebagai perjuangan yang gigih agar rakyat Amerika menerima konstitusi. Sejarah konstitusi Amerika Serikat mewariskan Deklarasi Kemerdekaan ( 4 Juli 1776), sampai Pasal Konfederasi (1781), Kesimpulan Perang Revolusi (1783), Penyusunan Konstitusi (1787), dan pengesahan Pernyataan hak-hak Dasar (Bii of Rights, 1791). Sejarah Amerika Serikat juga dihiasi para pemimpin bangsanya yang memiliki integritas pribadi yang kuat dan visi tajam mengenai demokrasi, Sejarah Amerika mencatat dengan tinta emas peran George Washington, Abraham Lincons, Thomas jaferson, Roosevelt, J.F. Kennnedy, Ronal Reagen, hingga Clinton di era modern. 28 Konstitusi Amerika Serikat terbentuk atas dasar keinginan pendiri bangsa akan adanya kepemimpinan pemerintahan yang kokoh namun tetap berorientasi pada kepentingan umum dan melindungi kepentingan individu. Maka UndangUndang Dasar Amerika Serikat (1787) merangkum teori kedaulatan rakyat dan pemisahan kekuasaan di atas kenyataan objektif bahwa negara bekas koloni Inggris tersebut tidak ada raja. Konstitusi Amerika Serikat menekankan pemegang
27

Hendarmin Ranadierksa, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Bandung : Fokus Media, 2007, hal. 127 28 Ibid, Hal. 129

Universitas Sumatera Utara

kekuasaan adalah produk dari kedaulatan rakyat. Para pemuat konstitusi memberikan istilah atas fungsi kepala negara dengan kekuasaan eksekutif dalam negara republik dengan sebutan Presiden. Agaknya tidak salah kalau ada yang mengartikan bahwa Presiden dalam sistem presidensial adalah raja yang dipilih rakyat. Yang paling menonjol dalam Konsistusi Amerika adalah prinsip pemisahan kekuasaan lembaga-lembaga Negara seperti yang dikendaki dalam teori Trias Politica. 29 Pemikiran inilah yang kemudian tatkala banyak di ikuti oleh negara-negara menganut demokrasi pada masa sekarang ini. Adanya pembagian kekuasaan di dalam negara dianggap dapat memberikan keseimbangan (balance) di dalam negara dimana ketiga lembaga negara itu dapat saling melakukan proses control. 5.6.2. Prinsip Prinsip Sistem Presidensial Di dalam sistem presidensial dapat dicatat adanya prinsip prinsip sebagai berikut : 1) Kepala Negara menjadi Kepala Pemerintah. 2) Pemerintah tidak bertanggung jawab kepada parlemen (DPR). Pemerintah dan parlemen sejajar. 3) Menteri menteri bertanggung jawab kepada Presiden. 4) Eksekutif dan legislatif sama- sama kuat 30 Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam sistem ini Presiden menjabat sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan serta tidak bertanggung jawab kepada Parlemen oleh karenanya kekuasaan yang diberikan

29 30

Ibid, Hal. 130-131 Moh. Mahfud MD, Op.Cit, Hal. 74

Universitas Sumatera Utara

kepada seorang Presiden cukuplah besar walaupun demikian DPR dan Presiden memiliki Posisi yang sejajar dan tidak dapat saling menjatuhkan. 5.6.3 Ciri umum Sistem Presidensial. Ciri umum sistem presidensial. 1) 2) 3) Presiden dan legislatif dipilih dalam pemilu Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Dipercaya sebagai sistem yang stabil.. 31

Dalam sistem Presidensial, Presiden dan legislatif masing-masing dipilih langsung oleh rakyat dalam pemilihan umum. Artinya keduanya bertanggung jawab pada rakyat. Sebagai pelaksana fungsi pemerintahan Presiden adalah figure yang memperoleh mandat rakyat untuk memperoleh mandat rakyat untuk melaksanakan tugasnya berdasarkan periode waktu yang ditentukan kontitusi. Presiden juga memiliki jabatan yang memiliki dua fungsi, fungsi Kepala Negara dan fungsi Kepala Pemerintahan. Selaku Kepala Negara Presiden sebagai simbol representasi negara dan simbol pemersatu bangsa sementara selaku Kepala Pemerintahan, Presiden harus bertanggung jawab penuh atas jalannya

pemerintahan. Dengan adanya kedua fungsi dalam satu figure maka kedudukan Presiden dalam pemerintahan menempati posisi sentral. Dengan kedua posisi tersebut maka logis bila kedudukan Presiden lebih kuat dalam lebih beribawa dibandingkan dengan jabatan dua lembaga Trias Politika lainnya. Legislatif dan Yudikatif, yang masing- masing hanya mengemban satu fungsi. Selain itu sistem Presidensial dipercaya memiliki Stabilitas politik yang baik dan telah ditunjukkan

31

ibid, hal. 133-135

Universitas Sumatera Utara

oleh pemerintahan di Amerika Serikat, dimana sejak konstitusi sistem Presidensial ini telah diberlakukan lebih dari dua ratus tahun yang lalu.

5.7 UUD 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Undang Undang Dasar 1945 yang berlaku sekarang adalah UUD 1945 yang ditetapkan berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 beserta perubahan perubahan ( Perubahan Pertama 1999, Perubahan Kedua 2000, Perubahan Ketiga 2001, dan Perubahan Keempat 2002) . penegasan ini sangat perlu untuk membedakan dengan UUD 1945 yang ditetapkan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945 dan berlaku untuk seluruh indonesia sampai 27 Desember 1949, dan untuk Negara bagian RI sampai 7 Agustus 1950. Secara hukum (Yuridis) sangat Penting membedakan pengertian UUD 1945 yang ditetapkan PPKI tanggal 18 Agustus 1945 dan UUD 1945 yang ditetapkan berlaku kembali melalui dekrit Presiden 5 juli 1959 tersebut. UUD 1945 yang berlaku sejak Juli 1959 dimaksudkan sebagai pengganti UUD sementara 1950. Dekrit merupakan jalan pintas membentuk UUD tetap yang semestinya ditetapkan oleh Konstituante. Tidak semua ketentuan dalam UUD 1945 yang ditetapkan PPKI tanggal 18 Agustus 1945, masih berlaku berdasarkan dekrit 5 Juli 1959. Ketentuan-ketentuan yang tidak berlaku terjadi karena adanya perubahan sifat dan kedudukan UUD 1945 (menjadi UUD tetap), lampau waktu, atau materinya tidak dibutuhkan pada saat UUD 1945 berlaku kembali.

Universitas Sumatera Utara

Sejak tahun 1999 ada 3 pengertian lain lagi terhadap UUD 1945, yaitu termasuk perubahan-perubahannya. Dengan demikian ada tiga pengertian UUD 1945, yaitu: 1. UUD 1945 Yang ditetapkan PPKI tanggal 18 Agustus 1945 2. UUD 1945 berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli tahun 1959 3. UUD 1945 termasuk perubahn-perubahannya. 32 Jadi Pengertian Undang-undang yang berlaku saat ini adalah Undang-undang dasar 1945 termasuk perubahan-perubahannya.

5.8 Kerangka Konsep 5.8.1 Negara Adapun Istilah Negara yang dikenal sekarang mulai timbul pada zaman renaissance di Eropa pada Abad le- 15. Pada masa itu mulai dipergunakan orang Lo Stato yang berasal dari bahas Italia yang kemudian telah menjelma menjadi perkataan LEtat dalam bahasa Perancis, The State dalam bahasa Inggris atau Der Staat dalam bahasa Jerman dan Det Staati dalam bahasa Belanda. Kata Lo Sato dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi Negara pada waktu itu diartikan sebagai suatu sistem tugas atau fungsi-fungsi public dan alat-alat perlengkapan yang teratur didalam wilayah (daerah) tertentu. 33 Alat-alat perlengkapan yang dimaksud adalah lembaga-lembaga Politik seperti: Lembaga legislatif, eksekutif, dan Yudikatif Jadi dengan demikian negara dapat disebutkan sebagai organ yang menjalankan keseluruhan perangkat-perangkat yang ada didalam negara.
Bagir Manan, Perkembangan UUD 1945, Yogyakarta: FH UI Press, 2004, hal. 9 C.S.T, Kansil dan Christine S.T Kansil, Ilmu Negara (Umum dan Indonesia), Jakarta : PT Pradnya Paramita 2001, hal. 8-9
33 32

Universitas Sumatera Utara

5.8.2 Kekuasaan Kekuasaan adalah kemampuan sesorang atau kelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah lakunya seseorang maupun kelompo lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu mnjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan (relationship) dalam arti bahwa ada satu pihak yang memerintah dan ada pihak yang diperintah (the rule and ruled), satu pihak yang memerintah, satu pihak yang mematuhi perintah. Misalnya, seorang presiden membuat undang-undang ( subjek dari kekuasaan), tetap disamping itu juga dia harus tunfuk kepada undang-undang ( objek dari kekuasaan). Namun demikian kekuasaan politik tidaklah mungkin tanpa penggunaan kekuasaaan (machsuitoefening).34 Kekuasaan itu harus digunakan dan dijalankan. Apabila penggunaan kekuasaan itu berjalan efektif, hal ini dapat disebut sebagai Kontrol ( penguasaan/ pengendalian). Dengan sendirinya untuk menggunakan kekuasaan politik yang ada, harus ada penguasa yaitu pelaku yang memegang kekuasaan ( Mactsniddelen) agar pengguanaan kekuasaan itu dapat dilakukan dengan baik Adapun yang dimaksud dalam kekuasaan politik

disini adalah seperti apa yang terdapat dalam Trias Politica. Kekuasaan politik tersebut meliputi: kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

34

Miriam Budiharjo, op cit, hal. 35-37

Universitas Sumatera Utara

5.8.3 Eksekutif Kekuasaan eksekutif biasanya dipegang oleh badan eksekutif. Di negaranegara demokratis badan eksekutif biasanya terdiri dari kepala negara seperti Raja atau Presiden, beserta Menteri-menterinya. Dalam sisitem Presidensil Menterimenteri merupakan pembantu Presiden dan langsung dipimpin olehnya, dan dalam sistem Parlementer para Menteri dipimpin oleh seorang Perdana Menteri. 5.8.4. Legislatif Legislatif merupakan satu badan yang terdiri wakil yang mewakili kepentingan rakyat yang diwakilinya. Fungsi utama dari legislatif untuk merumuskan undang-undang serta melakukan fungsi kontroling (pengawasan) terhadap kebijakan-kebijakn yang dilaksanakan oleh Presiden. Dalam

melaksanakan kedua fungsi badan legislatif diberikan hak interpelasi, angket, petisi dll yang kemudian akan memudahkan badan legislatif untuk mengontrol eksekutif. 5.8.5. Amandemen Undang-undang Dasar (Perubahan Konstitusi) Istilah perubahan Konstitusi (change of constitusion) merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan seluruh bentuk perubahan konstitusi. Selain itu, istilah perubahan digunakan untuk menunjukkan suatu sisitem perubahan seperti yang dijelaskan oleh Sri Soemartini yang mengelompokkan perubahan kendala dua sistem: 1. Sistem pertama ialah bahwa apabila suatu undang-undang Dasar diubah, maka yang akan berlaku adalah undang-undang Dasar atau

Universitas Sumatera Utara

Konstusi yang baru secara keseluruhan artinya bagian konstitusi yang diubah langsung berlaku dan mengahapuskan dan mengganti ketentuanketentuan yang diubah. 2. Sistem yang kedua ialah apabila suatu undang-undang Dasar diubah, maka konstitusi yang asli tetap berlaku, dan perubahan terhadap undang-undang dasar yang bersifat amandemen, penambahan terhadap konstitusi yang lama. 35 Dalam teori yang telah dipaparkan diatas, terlihat bahwa sebenarnya bahwa ide pembagian kekuasaan mungkin berasal dari ide demokrasi yang

memberikan gagasan untuk menolak terpusatnya kekuasaan pada satu lembaga karena rentan melahirkan sistem otoriter. Oleh karenanya perlu adanya suatu pemisahan kekuasaan yang salah satu fungsinya untuk mengawasi kinerja atau kekuasaan lembaga lain agar tetap berada dalam fungsi sebenarnya. Pemisahan kekuasaan yang salah satunya legislatif merupakan lembaga sebagai representasi dari rakyat namun disamping itu pada akhirnya lembaga legislatif juga dibebani suatu tugas untuk melakukan suatu check and balances atau sebuah fungsi pengawasan terhadap lembaga eksekutif. Hal ini terlihat dengan adanya hak-hak khusus yang diberikan kepada lembaga legislatif yang diatur dalam undangundang. Seperti hak angket dan hak interpelasi. Fungsi pengawasan yang dilakukan oleh legislatif kepada eksekutif tentunya akan menghasilkan suatu format relasi antara legislatif dan eksekutif. Adanya kekuatan check and balances yang dimiliki oleh lembaga legislatif
35

Pendapat Sri Soemartini, lihat Firdaus, Pertanggung jawaban, Presiden dalam Negara Hukum Demokrasi, Bandung : Yrama Widya, 2007, hal. 67

Universitas Sumatera Utara

tentunya akan menuntut eksekutif untuk menjalin dukungan kepada parlemen melalui partai politik. Adanya partai politik tentunya akan memudahkan lembaga eksekutif untuk mendapatkan dukungan dari parlemen. Dalam hal ini jika Negara menganut sistem multipartai maka dapat dengan melakukan koalisi-koalisi. Selain itu sistem Presidensial yang menjadikan Presiden Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan yang artinya dukungan-dukungan legislatif sangatlah mutlak demi terlaksananya kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan pemerintah.

Universitas Sumatera Utara

7. Metodologi Penelitian 7.1 Jenis Penelitian Berdasarkan metode yang dipakai maka penelitian ini menggunakan penelitian Kualitatif deskriptif. Penelitian ini pada akhirnya berusaha

menggambarkan hubungan antara lembaga legisaltif dan eksekutif pasca reformasi. selain itu penelitian ini juga memberikan gambaran sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki . 7.2 Teknik Pengumpulan Data

Dalam mendapatkan data dalam penelitian ini penulis menggunakan penelitian kepustakaan (Library Research). Yaitu mengumpulkan data data dari UUD 1945 (konstitusi) pasca amandemen, buku-buku, literature, dokumen-dokumen. Artikelartikel, jurnal, majalah, koran dan sumber lainnya yang berhubungan relasi eksekutif dan legislatif pasca reformasi 7.3 Teknik Analisa Data Dalam tekhnik ini data-data yang di peroleh akan dikumpulkan untuk memberikan gambaran bagaimana hubungan antara lembaga legislatif dan eksekutif. Selanjutnya penulis akan menggunakan tekhnik analisa data yang digunakan untuk menjelaskan hal apa saja yang mempengaruhi keberlangsungan hubungan antara lembaga legislatif dan eksekutif pada proses pemerintahan pasca reformasi .

Universitas Sumatera Utara

8 Sistematika Penulisan Untuk memperoleh suatu gambaran yang lebih terperinci, maka penulis membagi dalam empat bab. Untuk itu disusun sistematika sebagai berikut : BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, pembatasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, metodologi penelitian, dan sistematika penelitian. BAB II : DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN

Bab ini mendeskripsikan objek yang akan diteliti yaitu gambaran lembaga eksekutif, Kekuasaan dan wewenang eksekutif pasca reformasi, Sejarah Perkembangan Legisatif di Indonesia BAB III : HUBUNGAN LEGISLATIF DAN PASCA REFORMASI EKSEKUTIF

Bab ini membahas analisis hubungan antara legislatif dana eksekutif pasca reformasi yang terdiri dari system Presidensil di Indonesia, peta kekuatan politik di Parlemen dan Implementasi hubungan antara legislatif dan eksekutif. BAB IV : PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan dan saran-saran yang berguna terkait dengan penelitian.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai