Anda di halaman 1dari 24

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar yang paling esensial bagi manusia untuk mempertahankan hidup dan kehidupan. Sebagai makluk bernyawa, tanpa pangan manusia tidak mungkin dapat melangsungkan hidup dan kehidupanya untuka berkembang biak dan masyarakat. Pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup merupakan salah satu penentubagi perwujudan ketahanan pangan nasional. Ketahanan pangan terwujud apabila seluruh penduduk mempunyai akses fisik dan ekonomi terhadap pangan untuk memenuhi kecukupan gizi sesuai kebutuhannya agar dapat menjalani kehidupan yang sehat dan produktif dari hari ke hari. Pangan merupakan produk pertanian yang berkaitan erat dengan alam dan kelestarian lingkungan. Kekurangan pangan terus menerus secara langsung akan mempengaruhi perkembangan fisik, mental, produktivitas, kesanggupan kerja manusia, dan meningkatkan angka kriminalitas. Suatu negara yang dapat memenuhi kebutuhan pangannya minimal kesejahteraan rakyatnya dapat dipenuhi. GumbiraSaid (1997) menyatakan bahwa swasembada pangan merupakn salah satu atau prasyarat bagi keberhasilan pembangunan nasional, apabila semua faktor terkait memungkinnya. Jumlah penduduk Indonesia terus bertambah dari tahun ke tahun. Banyaknya penduduk tersebut membawa konsekuensi bagi pemerintah Indonesia untuk dapat menyediakan pangan bagi rakyatnya. Kekurangan pangan yang dialami oleh bangsa Indonesia saat ini lebih banyak disebabkan oleh penerapan strategi industrialisasi yang berdasarkan kombinasi strategi industrialisasi yang berspektrum luas dengan strategi industrialisasi berteknologi tinggi yang mengandalkan bahan baku dari luar negeri. Seharusnya strategi yang diterapkan adalah strategi agribisnis yang membangun ekonomi dengan basis pertanian dalam negeri melalui agroindustri (Saragih, 1998). Kerusakan lingkungan akibat eksploitasi sumber alam yang berlebihan oleh manusia (tidak memperhatikan pengelolaan berkelanjutan) dan bencana alam

(misalnya, musim kering yang panjang, banjir, dan kebakaran hutan) juga memberikan kontribusi terhadap penurunan produksi pangan dari suatu daerah. Gumbira-Said (1997) menyatakan dalam kurun waktu 1994-1997 Indonesia mengalami kekurangan pengadaan pasokan beras karena menurunnya volume produksi relative terhadap kapasitas produksi potensial sebagai akibat banyaknya bencana alam yang terjadi dalam kurun waktu tersebut. Indonesia adalah salah satu diantara 3 NB (negara berkembang) disamping China dan India yang berpenduduk banyak. Indonesia adalah negara net-importir pangan, sebaliknya untuk China dan India. Impor pangan Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun, baik volume maupun nilainya. Pada periode 1996-02 misalnya, impor pangan mengambil pangsa 62% dari nilai ekspor pertanian Indonesia, meningkat dibandingkan dengan periode 1993-94 yang hanya 52%. Apabila dihitung nilai impor pangan terhadap nilai ekspor total dikurangi dengan hutang luar negeri pernah negatif pada waktu hutang luar negeri tinggi periode 1996-02 (Husein Sawit 2007a). Namun, pada saat sekarang diperkirakan menjadi positif, dengan angka di atas 50%3. Artinya, lebih dari separoh devisa hasil ekspor setelah dikurangi hutang luar negeri, diperuntukkan untuk konsumtif, impor pangan. Devisa itu seharusnya dimanfaatkan untuk impor barang-barang kapital yang diperlukan untuk pembangunan ekonomi. Impor pangan dalam periode 1996-2005 telah menghabiskan devisa tidak kurang USD 1,6 milyar/tahun setara dengan Rp 14,7 triliun/tahun, hanya untuk impor 10 produk pangan seperti beras, jagung, kedelai, gula, susu, daging dll. Itu belum termasuk impor gandum yang mencapai 5 juta ton pada 20005 yang menguras devisa Rp 7,2 triliun. Indonesia pernah menyampaikan Trade Policy Review pada 2003 (WTO 2003). Salah satu yang dilaporkan adalah impor gandum. Pada 2002, impor gandum menghabiskan devisa USD 1,2 milyar, terbesar ke 6 diantara 10 besar produk impor Indonesia seperti bahan kimia, mesin, otomotif, mesin khusus, biji besi (iron), tekstil, plastik dsb. Gandum satu-satunya bahan pangan, lainnya adalah untuk bahan baku industri dan barang kapital Melihat itu semua, Indonesia sesungguhnya sedang menghadapi risiko tinggi terhadap ketahanan pangan, memperlemah pembangunan perdesaan serta

usaha pengentasan kemiskinan di wilayah perdesaan. Itu terjadi karena keterbatasan devisa, tingginya hutang luar negeri, serta perdagangan pangan dunia yang dikontrol oleh MNCs (multi national coorporations). Itu dapat membawa dampak buruk terhadap suatu negara besar seperti Indonesia, apabila tidak ada usaha untuk menciptakan perlindungan yang tepat serta membangun industri pangan DN (dalam negeri) yang kuat. Peranan hutan pada hidrologi daerah aliran sungai (DAS) dalam menjaga kestabilan tata air yang secara langsung mempengaruhi aliran sungai telah lama menjadi bahan diskusi dan perdebatan para ahli hidrologi. Perdebatan mengenai peranan hidrologi hutan sudah dimulai sejak abat 19, pada saat ahli kehutanan eropa memperkenalkan teori busa. Teori ini berpendapat bahwa tanah, akar dan daun yang terdapat pada hutan yang komplek berperan sebagai busa raksasa yang menyerap air hujan yang jatuh (menyimpan air pada musim penghujan dan mengeluarkan air pada musim kemarau). Meskipun banyak dikritik sejak tahun 1920-an, teori ini banyak mendapat perhatian para ahli hidrologi hutan. Tanggapan awal para ahli kehutanan Amerika terhadap peranan hutan dalam mengatur aliran sungai dimulai tahun 1905 seperti dikemukakan berdasarkan pendapat Gifford Pinchot, bahwa hutan mampu mengatur aliran sungai, tetapi pengaruh hutan terhadap aliran sungai menjadi sangat penting hanya pada kondisi tutupan hutan melingkupi sebagian besar DAS (CIFOR dan FAO, 2005; Andreassian, 2004)

B. Tujuan 1. Mengetahui faktor yang menyebabkan Indonesia melakukan impor bahan pangan 2. Mengetahui dampak degradasi luas tutupan lahan (hutan) pada DAS

(dianjurkan luas minimal hutan 30% dari DAS)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Ketahanan Pangan, Ketersediaan Pangan Pangan adalah kebutuhan dasar manusia paling utama, karena itu pemenuhan pangan merupakan bagian dari hak asasi manusia (individu).

Pemenuhan pangan juga sangat penting sebagai komponen dasar untuk membentuk sumberdaya manusia yang berkualitas. Pangan merupakan rangkaian dari tiga komponen utama yaitu 1) ketersediaan dan stabilitas pangan (food availability and stability), 2) kemudahan memperoleh pangan (food accessibility), dan 3) pemanfaatan pangan (food utilization). Ketahanan pangan merupakan sistem terintegrasi, terdiri atas subsistem ketersediaan pangan, distribusi pangan, dan konsumsi pangan. Terwujudnya ketahanan pangan individu merupakan sinergi dari interaksi ketiga subsistem tersebut dari berbagai level (Baliwati 2007). Ketahanan pangan merupakan salah satu isu utama upaya peningkatan status gizi masyarakat yang paling erat kaitannya dengan pembangunan pertanian. Situasi produksi pangan dalam negeri serta ekspor dan impor pangan akan menentukan ketersediaan pangan yang selanjutnya akan mempengaruhi kondisi ketahanan pangan tingkat wilayah. Sementara ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga, akan ditentukan pula oleh daya beli masyarakat terhadap pangan (Syarief 2004). Ketersediaan pangan merupakan kondisi penyediaan yang cukup makanan dan minuman yang berasal dari tanaman, ternak, dan ikan serta turunannya, bagi penduduk suatu wilayah dalam suatu kurun waktu tertentu. Ketersediaan pangan merupakan suatu sistem yang berjenjang, mulai dari nasional, provinsi (regional), lokal (kabupaten/kota), dan rumah tangga/individu. Ketersediaan pangan dapat diukur pada tingkat makro (nasional), meso (provinsi, kabupaten/kota) maupun tingkat mikro (rumah tangga) (Baliwati & Roosita 2004). Ketersediaan pangan di suatu wilayah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi oleh penduduk. Ketersediaan pangan harus dipertahankan sama atau lebih besar daripada kebutuhan

penduduk. Jika keadaan ini tercapai maka ketahanan pangan (food security) akan berada pada tingkat yang aman. Ketersediaan pangan (food availibility) di suatu daerah atau wilayah ditentukan oleh berbagai faktor seperti keragaan produksi pangan, tingkat kerusakan dan kehilangan pangan karena penanganan yang kurang tepat, dan tingkat ekspor/impor pangan (Mahfi 2009). Subsistem ketersediaan pangan mencakup aspek produksi, cadangan serta keseimbangan antara ekspor dan impor pangan. Ketersediaan pangan harus dikelola sedemikian rupa, sehingga walaupun produksi pangan bersifat musiman, terbatas, dan tersebar antar wilayah, volume pangan yang tersedia bagi masyarakat harus cukup jumlah dan jenisnya, serta stabil penyediaannya dari waktu ke waktu (Suryana 2001). Komponen ketersediaan pangan meliputi kemampuan produksi, cadangan, maupun impor pangan setelah dikoreksi dengan ekspor dan berbagai penggunaan seperti untuk bibit, pakan, industri makanan/non pangan, dan tercecer (Baliwati et al 2004). Pola konsumsi pangan penduduk suatu daerah yang meliputi jumlah dan jenis pangan biasanya berkembang dari pangan yang tersedia setempat atau yang telah ditanam di daerah tersebut untuk jangka waktu yang panjang (Suhardjo 1989). Ketersediaan pangan suatu wilayah dapat dipenuhi dari tiga sumber yaitu: produksi dalam negeri, impor pangan, dan pengelolaan cadang pangan. Impor pangan merupakan alternatif terakhir untuk mengisi kesenjangan antar produksi dan kebutuhan pangan dalam negeri (Baliwati 2007).

B. Pangan Strategis Beras. Beras telah berkembang tidak hanya sekedar menjadi komoditas penting tetapi juga strategis di Indonesia dan di negara-negara Asia pada umumnya. Di Indonesia, hanya dalam waktu beberapa dekade saja beras telah diterima sebagai pangan pokok dihampir seluruh lapisan masyarakat, termasuk di daerah-daerah yang semula pangan pokok masyarakatnya bukan beras, seperti Madura (dominan jagung) atau Maluku dan Irian (dominan sagu dan umbi). Perubahan tersebut terjadi seiring dengan pembangunan pangan nasional yang dimulai sejak tahun 1960-an (Saliem et al. 2005).

Beras selain sering digambarkan sebagai komoditas pangan yang memiliki nilai ekonomis tinggi bagi masyarakat, beras juga merupakan komoditas politis dan strategis, mengingat untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok masyarakat, tidak kurang dari 2.5 juta ton beras harus disediakan setiap bulannya (sambutan Menteri Pertanian dalam Saliem et al. 2005). Peristiwa penting terkait dengan stabilitas harga beras sebagai pangan pokok pada periode sebelum era 1970-an adalah pergantian rezim pemerintah dari Orde Lama ke Orde Baru yang dikomando oleh Letjen Soeharto pada tahun 1966. Inflasi tidak terkendali yang berdampak pada kenaikan harga pangan semasa rezim Orde Lama memicu demonstrasi besar-besaran yang dikenal dengan peristiwa Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat). Salah satu dari tiga tuntutan tersebut adalah penurunan harga pangan pokok (beras) (Saliem et al. 2005). Jagung. Komoditas jagung dapat memiliki peranan yang ganda, tidak hanya sebagai bahan makanan pokok, tetapi juga sebagai bahan baku industri (Pasandaran & Kasryno 2005). Jagung dapat berfungsi seperti beras bila dinilai dari kandungan gizinya. Kandungan energi antara beras dan jagung relatif sama dalam setiap seratus gramnya, bahkan protein jagung lebih tinggi daripada beras (Ariani & Pasandaran 2005). Jagung juga merupakan bahan baku utama pakan unggas (sekitar 50% dari ransum), sehingga harga jagung akan sangat berpengaruh pada harga daging unggas (Tangendjaya et al 2005). Ketergantungan impor yang cukup tinggi menyebabkan jagung rentan dengan gejolak pasar luar negeri (Syafaat et al. 2003). Tepung terigu. Bahan baku utama untuk industri tepung terigu adalah gandum. Dengan melalui proses pengolahan, biji gandum ini menghasilkan tepung terigu. Konversi gandum terhadap tepung terigu setiap pabrik berbeda. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain kualitas gandum dan efisiensi mesin pengolah (Afriani 2002). Berdasarkan konversi dari Depperindag tahun 1998, maka kebutuhan gandum untuk tepung terigu terus meningkat setiap tahunnya dengan ratarata peningkatan sekitar 8,2% setiap tahunnya. Peningkatan kebutuhan gandum ini juga diikuti dengan produksi tepung terigu. Kebutuhan gandum untuk pembuatan tepung terigu terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan industri tepung terigu. Besarnya kebutuhan gandum juga tercermin dari perkembangan impornya.

Kedelai. Kedelai merupakan komoditas pangan terpenting ketiga setelah beras dan jagung. Kedelai adalah tanaman yang kaya protein, sehingga mempunyai peranan sangat penting dalam industri pangan dan pakan. Kedelai merupakan salah satu sumber protein nabati yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat karena harganya yang relatif terjangkau (Balitbangtan 2005). Rata-rata konsumsi kedelai nasional mencapai 1803 juta ton per tahun, tidak diimbangi dengan produksi dalam negeri sehingga 60% ketersediaan harus dipenuhi dari impor (Anonim 2008 dalam Mauludyani 2008). Kedelai. Kedelai merupakan komoditas pangan terpenting ketiga setelah beras dan jagung. Kedelai adalah tanaman yang kaya protein, sehingga mempunyai peranan sangat penting dalam industri pangan dan pakan. Kedelai merupakan salah satu sumber protein nabati yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat karena harganya yang relatif terjangkau (Balitbangtan 2005). Rata-rata konsumsi kedelai nasional mencapai 1803 juta ton per tahun, tidak diimbangi dengan produksi dalam negeri sehingga 60% ketersediaan harus dipenuhi dari impor (Anonim 2008 dalam Mauludyani 2008). Ubi kayu. Ubi kayu adalah tanaman umbi-umbian daerah tropik dan merupakan sumber kalori pangan yang paling murah di dunia. Ubi kayu dikonsumsi sebagai makanan pokok oleh sekitar 400 juta orang di daerah tropik yang lembab di Afrika, Asia, dan Amerika. Ubi kayu berbeda denga bahan-bahan pangan pokok lainnya, sangat mudah busuk dan harus dikonsumsi secara cepat atau diubah menjadi produk yang dapat disimpan. Ubi kayu mulai rusak segera setelah dipanen dan sama sekali membusuk dalam dua atau tiga hari, kecuali jika disimpan dalam gudang pendingin. Keanekaragaman internasional dalam peranan yang dimainkan ubi kayu dalam sistem komoditi, berasal dari pengadaan manfaat akhir ubi kayu. Ubi kayu di Indonesia dimanfaatkan sebagai makanan segar maupun kering, makanan ternak dan aci sebagai makanan dan keperluan industri (Pearson et al. 1986). semua masyarakat mengkonsumsi gula, terutama gula pasir. Pada tahun 2002, tingkat konsumsinya mencapai 9,18 kg/kap/th (Ariani 2003).

C. Kondisi Penutupan Lahan di Indonesia Indonesia adalah salah satu Negara Mega Biodiversity yang terletak dalam lintasan distribusi keanekaragaman hayati benua Asia (Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan) dan Benua Australia (Pulau Papua) serta sebaran wilayah peralihan Wallacea (Pulau Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara). Indonesia memiliki hutan tropis ketiga terluas di dunia setelah Brasil dan Zaire, sehingga sangat penting peranannya sebagai bagian dari paru-paru dunia serta penyeimbang iklim global. Untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari melalui optimalisasi manfaat hutan, pemerintah telah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan secara proporsional dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai dan atau pulau, yaitu minimal 30% (tiga puluh persen), seperti dituangkan pada pasal 18 UU No. 41 tahun 1999. Kawasan hutan dimaksud kemudian dideliniasi sesuai dengan fungsinya, yaitu sebagai hutan konservasi, lindung atau produksi (Dephut, 2008). Dephut (2008) juga menyatakan penutupan lahan pada kawasan hutan, terutama yang terkait dengan tutupan hutan sangat dinamis dan berubah dengan cepat dimana kondisi hutan semakin menurun dan berkurang luasnya. Berdasarkan data yang ada, luas hutan selama periode 1985-1997 untuk tiga pulau besar

(Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi) telah berkurang seluas 1,6 juta ha/tahun. Untuk periode 1997-2000 laju pengurangan hutan di dalam kawasan hutan mencapai angka 2,84 juta ha/tahun atau 8,5 juta ha selama 3 tahun. Penggunaan lahan termasuk dalam komponen sosial budaya karena penggunaan lahan mencerminkan hasil kegiatan manusia atas lahan serta statusnya (Bakosurtanal, 2007). Adanya aktifitas manusia dalam menjalankan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya sehari-hari berdampak pada perubahan

penutup/penggunaan lahan. Diperkotaan, perubahan umumnya mempunyai pola yang relatif sama, yaitu bergantinya penggunaan lahan lain menjadi lahan urban. Perubahan penggunaan lahan yang pesat terjadi apabila adanya investasi di bidang pertanian atau perkebunan. Dalam kondisi ini akan terjadi perubahan lahan hutan, semak, ataupun alang-alang menjadi lahan perkebunan. Perubahan yang dilakukan oleh masyarakat terjadi dalam skala kecil (Sitorus, dkk, 2006)

Wijaya (2004) menyatakan faktor-faktor yang menyebabkan perubahan penutupan lahan diantaranya adalah pertumbuhan penduduk, mata pencaharian, aksesibilitas, dan fasilitas pendukung kehidupan serta kebijakan pemerintah. Tingginya tingkat kepadatan penduduk di suatu wilayah telah mendorong penduduk untuk membuka lahan baru untuk digunakan sebagai pemukiman ataupun lahanlahan budidaya. Mata pencaharian penduduk di suatu wilayah berkaitan erat dengan usaha yang dilakukan penduduk di wilayah tersebut. Perubahan penduduk yang bekerja di bidang pertanian memungkinkan terjadinya perubahan penutupan lahan. Semakin banyak penduduk yang bekerja di bidang pertanian, maka kebutuhan lahan semakin meningkat. Hal ini dapat mendorong penduduk untuk melakukan konversi lahan pada berbagai penutupan lahan. Klasifikasi penutup lahan/penggunaan lahan adalah upaya pengelompokan berbagai jenis penutup lahan/penggunaan lahan ke dalam suatu kesamaan sesuai dengan sistem tertentu. Klasifikasi penutup lahan/penggunaan lahan digunakan sebagai pedoman atau acuan dalam proses interpretasi citra penginderaan jauh untuk tujuan pemetaan penutup lahan/penggunaan lahan. Banyak sistem klasifikasi penutup/penggunaan lahan yang telah dikembangkan, yang dilatarbelakangi oleh kepentingan tertentu atau pada waktu tertentu (Sitorus,dkk, 2006). Degradasi hutan adalah penurunan kuantitas tutupan hutan dan stok karbon selama periode tertentu yang diakibatkan oleh kegiatan manusia (Permenhut, 2009). Dalam upayanya untuk menentukan tingkat degradasi di tipetipe hutan yang terpenting, Forest Watch Indonesia melakukan analisis data spasial dari Inventarisasi Hutan Nasional. Dari hasil analisis ini disimpulkan, bahwa pada pertengahan 1990an, Indonesia memiliki hutan yang berpotensirusak dan memang sudah rusak seluas 41 juta ha; 59 juta ha hutan alam yang belum dialokasikan untuk bentuk konsesi apa saja, dan 9 juta ha hutan yang telah ditebang untuk konversi menjadi hutan tanaman industri atau perkebunan tanaman keras, atau untuk kepentingan transmigrasi (FWI/GFW, 2001). FWI/GWI (2001) juga menyatakan bahwa Laju kehilangan hutan semakin meningkat. Pada tahun 1980-an laju kehilangan hutan di Indonesia ratarata sekitar 1 juta ha per tahun, kemudian meningkat menjadi sekitar 1,7 juta ha per tahun pada

tahun-tahun pertama 1990-an. Sejak tahun 1996, laju deforestasi tampaknya meningkat lagi menjadi menjadi rata-rata 2 juta ha per tahun.

III.

PEMBAHASAN

A. Penyebab Impor Bahan Pangan Kegagalan pembangunan pertanian yang selama ini dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia membawa dampak yang sangat besar bagi rendahnya tingkat kesejahteraan petani Indonesia. Sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan bagi seluruh rakyat Indonesia, pemerintah melaksanakan beerbagai kebijakan yang kurang berpihak pada kesejahteraan petani misalnya kebijakan impor bahan pangan dari luar negeri, kebijakan revolusi hijau, dan kebijakan pengaturan distribusi produk pertaanian dalam negeri. Guna meningkatkan ketahanan pangan rakyat Indonesia, pemerintah melakukan kebijakan impor bahan pangan. Nilai import bahan pangan Indonesia ini dari tahun ke tahun semakin meningkat persentasenya, sehingga tingkat ketergantungan bangsa Indonesia pada negara lain/luar negeri semakin besar. Kebijakan ini menjadi alternative utama yang dipilih pemerintah Indonesia karena kebijakan ini merupakan kebijakan yang sangat mudah untuk dilaksanakan. Bahkan kebijakan ini juga dapat memberi peluang pada oknum pengambil kebijakan untuk menarik keuntungan pribadi. Dalam jangka pendek kebijakan ini memang dapat mengatasi permasalahan ketahanan pangan bangsa Indonesia yang dari tahun ke tahun semakin kompleks akibat tingginya laju pertumbuhan penduduk Indonesia. Namun dalam jangka panjang kebijakan ini dapat menghancurkan sector pertanian dalam negeri. Hal ini wajar karena produk pertanian dalam negeri kalah bersaing dalam hal harga dengan produk pertanian dari luar negeri. Para petani dari Negara maju dapat menjual harga produk mereka karena dalam proses produksi mereka mendapat subsidi dari Negara. Sementara itu petani dalam negeri tidak mampu menjual produk pertanian mereka dengan harga yang sama atau lebih rendah dari harga produk luar negeri karena dari tahun ke tahun subsidi yang diberikan oleh pemerintah pada mereka semakin kecil sedangkan harga sarana produksi pertanian (pupuk, bibit, pestisida, dan lain-lain) dari tahun ke tahun terus meningkat. Kekalahan produk pertanian dalam negeri dari produk pertanian luar negeri

menyebabkan pendapatan petani dari usaha tani menjadi semakin rendah, sehingga margin keuntungan yang didapat juga semakin kecil. Hal itu mungkin tidak akan menjadi problem pelik bagi para petani bila biaya produksi pertanian rendah, namun karena biaya produksi relatif tinggi dan semakin meningkat dari tahun ke tahun maka keuntungan tersebut tersedot habis untuk menutup biaya produksi. Otomatis hal itu menyebabkan petani tidak mampu lagi mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari dan harus berhutang agar kebutuhan hidup mereka terpenuhi. Kondisi tersebut menyebabkan keluarga petani tidak mengalami peningkatan kesejahteraan. Kebijakan revolusi hijau yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia di era Orde Baru merupakan kebijakan pertanian yang turut andil dalam menciptakan kegagalan pembangunan pertanian di Indonesia. Meski kebijakan ini tidak dapat dikatakan sepenuhnya gagal karena dalam tataran produksi kebijakan tersebut sebenarnya juga dapat meningkatkan produksi pangan dalam negeri, namun kebijakan ini merupakan kebijakan pembangunan yang tidak dapat dimasukkan dalam kategori berhasil. Hal itu karena meski kebijakan tersebut dapat meningkatkan tingkat produksi pangan dalam negeri namun disisi lain kebijakan tersebut menyebabkan merosotnya tingkat kesejahteraan petani Indonesia. Penekanan strategi revolusi hijau pada upaya peningkatan produksi pangan dalam negeri telah menyebabkan petani yang sebenarnya memiliki posisi penting dalam usaha tesebut menjadi pihak yang dikorbankan karena sama sekali terabaikan kebutuhan mereka yaitu kebutuhan untuk dapat hidup sejahtera. Guna meningkatkan produktifitas usaha pertanian maka pemerintah memaksa petani untuk merubah pola usaha tani yang selama ini dilaksanakan. Mereka harus melaksanakan pola usaha tani yang memiliki label modern, yaitu pola usaha tani yang memanfaatkan teknologi baru (mekanisasi pertanian, penggunaan bibit unggul, pupuk kimia, pestisida, pola tanam, dan lain-lain). Kebijakan tersebut tidak akan menimbulkan masalah apabila dibarengi dengan kebijakan dalam distribusi sarana produksi pertanian (saprotan) yang memungkinkan petani dapat memperoleh saprotan tersebut dengan mudah dan murah. Namun

sayangnya hal itu tidak terjadi. Guna melaksanakan pola usaha tani modern petani tidak mendapat dukungan yang memadai dari pemerintah. Hal itu nampak jelas dari fenomena yang sering terjadi di lapangan yaitu hilangnya saprotan dari pasar pada saat petani membutuhkan. Kalau pun saprotan ada, namun jumlahnya terbatas sehingga harga yang harus dibayar oleh petani untuk mendapatkan saprotan menjadi relative mahal. Pemerintah memang telah mencoba untuk melaksanakan berbagai upaya untuk menjaga stabilitas pasokan dan stabilitas harga saprotan namun sayang usaha tersebut tidak sepenuhnya berhasi. Para petani masih seringkali menjadi korban permainan para pedagang nakal saprotan. Kenyataan itu menunjukkan bahwa kebijakan revolusi hijau telah menghilangkan kedaulatan pangan yang selama ini dimiliki oleh petani. Berbeda dengan pola pertanian tradisional yang memungkinkan petani untuk menyediakan sarana produksi pertanian secara mandiri, pola pertanian modern yang diperkenalkan oleh pemerintah melalui program revolusi hijau memaksa petani untuk menggunakan sarana produksi pertanian yang tidak dapat mereka sediakan sendiri. Revolusi hijau menyebabkan para petani harus menanggalkan kedaulatan pangan yang selama ini mereka miliki dan menjadi sangat tergantung dengan pihak lain dalam pengadaan sarana produksi pertanian. Ketergantungan ini pada akhirnya juga menyebabkan menurunnya kesejahteraan mereka karena biaya produksi jauh lebih tinggi dari hasil yang diperoleh. Kebijakan ketiga yang turut menjadi penyebab gagalnya pembangunan pertanian Indonedia adalah kebijakan pengaturan distribusi hasil produk pertanian dalam negeri. Kebijakan pengaturan distribusi bahan pangan produk dalam negeri telah gagal menciptakan kesejahteraan bagi kaum tani Indonesia. Penekanan kebijakan ini pada upaya pengamanan ketahanan pangan dalam negeri telah menyebabkan harga jual produk hasil pertanian dalam negeri tidak berpihak pada kaum tani. Upaya pemerintah untuk menyediakan pangan murah bagi rakyat telah mengorban kepentingan petani karena pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mengatur harga jual produk pertanian dalam negeri yang memungkinkan rakyat dapat membeli produk tersebut dengan harga murah, yaitu dengan menetapkan harga pembelian produk pertanian dalam negeri yang rekatif sangat murah. Konsekwensi

dari kebijakan tersebut adalah penghasilan petani rendah dan kesejahteraan mereka menurun. Faktor lain yang mendorong adanya impor bahan pangan adalah iklim, khususnya cuaca yang tidak mendukung keberhasilan sektor pertanian pangan, seperti yang terjadi saat ini. Pergeseran musim hujan dan musim kemarau menyebabkan petani kesulitan dalam menetapkan waktu yang tepat untuk mengawali masa tanam, benih besarta pupuk yang digunakan, dan sistem pertanaman yang digunakan. Sehingga penyediaan benih dan pupuk yang semula terjadwal, permintaanya menjadi tidak menentu yang dapat menyebabkan kelangkaan karena keterlambatan pasokan benih dan pupuk. Akhirnya hasil produksi pangan pada waktu itu menurun. Bahkan terjadinya anomali iklim yang ekstrem dapat secara langsung menyebabkan penurunan produksi tanaman pangan tertentu, karena tidak mendukung lingkungan yang baik sebagai syarat tumbuh suatu tanaman. Contohnya saat terjadi anomali iklim El Nino menyebabkan penurunan hasil produksi tanaman tebu, sehingga negara melalukan impor gula. Penyebab impor bahan pangan selanjutnya adalah luas lahan pertanian yang semakin sempit. Terdapat kecenderungan bahwa konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian mengalami percepatan. Dari tahun 1981 sampai tahun 1999 terjadi konversi lahan sawah di Jawa seluas 1 Juta Ha di Jawa dan 0,62 juta Ha di luar Jawa. Walaupun dalam periode waktu yang sama dilakukan percetakan sawah seluas 0,52 juta ha di Jawa dan sekitar 2,7 juta Ha di luar pulau Jawa, namun kenyataannya percetakan lahan sawah tanpa diikuti dengan pengontrolan konversi, tidak mampu membendung peningkatan ketergantungan Indonesia terhadap beras impor. Ketergantungan impor bahan baku pangan juga disebabkan mahalnya biaya transportasi di Indonesia yang mencapai 34 sen dolar AS per kilometer. Bandingkan dengan negara lain seperti Thailand, China, dan Vietnam yang rata-rata sebesar 22 sen dolar AS per kilometer. Sepanjang kepastian pasokan tidak kontinyu dan biaya

transportasi tetap tinggi, maka industri produk pangan akan selalu memiliki ketergantungan impor bahan baku. Faktor-faktor di atas yang mendorong dilakukannya impor masih diperparah dengan berbagai kebijakan-kebijakan pemerintah yang semakin menambah ketergantungan kita akan produksi pangan luar negeri. Seperti kebijakan dan praktek privatisasi, liberalisasi, dan deregulasi. Privatisasi, akar dari masalah ini tidak hanya parsial pada aspek impor dan harga seperti yang sering didengungkan oleh pemerintah dan pers. Lebih besar dari itu, ternyata negara dan rakyat Indonesia tidak lagi punya kedaulatan, yakni kekuatan dalam mengatur produksi, distribusi dan konsumsi di sektor pangan. Saat ini di sektor pangan, kita telah tergantung oleh mekanisme pasar yang dikuasai oleh segelintir perusahaan raksasa. Privatisasi sektor panganyang notabene merupakan kebutuhan pokok rakyattentunya tidak sesuai dengan mandat konstitusi RI, yang menyatakan bahwa Cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Faktanya, Bulog dijadikan privat, dan industri hilir pangan hingga distribusi (ekspor-impor) dikuasai oleh perusahaan seperti Cargill dan Charoen Phokpand. Mayoritas rakyat Indonesia jika tidak bekerja menjadi kuli di sektor pangan, pasti menjadi konsumen atau end-user. Privatisasi ini pun berdampak serius, sehingga berpotensi besar dikuasainya sektor pangan hanya oleh monopoli atau oligopoli (kartel), seperti yang sudah terjadi saat ini. Liberalisasi, disebabkan oleh kebijakan dan praktek yang menyerahkan urusan pangan kepada pasar (1998, Letter of Intent IMF), serta mekanisme perdagangan pertanian yang ditentukan oleh perdagangan bebas (1995, Agreement on Agriculture, WTO). Akibatnya negara dikooptasi menjadi antek perdagangan bebas. Negara ini pun melakukan upaya liberalisasi terhadap hal yang harusnya merupakan state obligation terhadap rakyat. Market access Indonesia dibuka lebarlebar, bahkan hingga 0% seperti kedelai (1998, 2008) dan beras (1998). Sementara domestic subsidy untuk petani kita terus berkurang (tanah, irigasi, pupuk, bibit, teknologi dan insentif harga). Di sisi lain, export subsidy dari negara-negara

overproduksi pangan seperti AS dan Uni Eropa beserta perusahaan-perusahaannya malah meningkat. Indonesia pun dibanjiri barang pangan murah, sehingga pasar dan harga domestik kita hancur. Hal ini jelas membunuh petani kita. Deregulasi, beberapa kebijakan sangat dipermudah untuk perusahaan besar yang mengalahkan pertanian rakyat. Seperti contoh UU No. 1/1967 tentang PMA, UU No. 4/2004 tentang Sumber Daya Air, Perpres 36 dan 65/2006, UU No. 18/2003 Tentang Perkebunan, dan yang termutakhir UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal. Dengan kemudahan regulasi ini, upaya privatisasi menuju monopoli atau kartel di sektor pangan semakin terbuka. Hal ini semakin parah dengan tidak diupayakannya secara serius pembangunan koperasi-koperasi dan UKM dalam produksi, distribusi dan konsumsi di sektor pangan. Dengan sistem kebijakan dan praktek ini, Indonesia kini tergantung kepada pasar internasional (harga dan tren komoditas). Maka saat terjadi perubahan polapola produksi distribusi konsumsi secara internasional, kita langsung terkena dampaknya. Kasus kedelai 2008 ini sebenarnya bukanlah yang pertama, karena ada kasus-kasus sebelumnya (beras pada tahun 1998, susu pada tahun 2007, dan minyak goreng pada tahun 2007). Hal ini akan sedikit banyak serupa pada beberapa komoditas pangan yang sangat vital bagi rakyat yang masih tergantung pada pasar internasional: beras, kedelai, jagung, gula, singkong dan minyak goreng.

B. Dampak Penurunan Luas Tutupan Lahan Secara umum, keberadaan tutupan lahan hutan berpengaruh terhadap neraca air DAS dimana akan menurunkan aliran permukaan tetapi menaikkan aliran dasar, perkolasi dan evapotranspirasi. Semakin luas DAS pengaruh keberadaan tutupan lahan hutan terhadap komponen nerca air semakin menurun. Sifat-sifat lahan pada suatu daerah sangat di-pengaruhi oleh jenis tanah, kemiringan lahan, penggunaan lahan dan iklim. Dari aspek kemiringan lahan maka daerah ini didominasi oleh daerah yang curam. Adanya curah hujan yang tinggi dengan durasi yang lama membuat tanah di dae-rah ini sering mengalami longsor karena tanah yang lapisan bawah impermeabel menyebabkan tanah cepat jenuh,

sehingga aliran permukaan dan erosi cepat terja-di. Hal ini terlihat dari kondisi warna tanah yang pucat dan terang karena sering mengalami pencucian bahan organik oleh air hujan. Agar tidak membahayakan kawasan di bawahnya, maka DAS hulu harus tetap dipertahankan sebagai hutan lindung. Kebijakan konservasi lahan harus diperhatikan untuk mencegah terjadinya erosi yang besar masuk ke alur-alur sungai. Kebijakan kon-servasi yang dimaksud adalah zonasi penggunaan lahan yang rasional terutama bagian hulu DAS sehingga debit air yang optimum dan merata sepanjang tahun dapat dipertahankan. Dari analisis peta tutupan lahan tahun 1990; 2000; dan 2009, dibandingkan dengan peta penunjukkan fungsi kawasan hutan tahun 1999 serta peta penataan batas kawasan hutan tahun 2004, maka terlihat telah terjadi pembukaan lahan hu-tan yang terlihat dari berkurangnya tutupan lahan hutan. Pada kawasan hutan telah terjadi perambahan hutan menjadi perla-dangan berpindah (pertanian lahan kering campur semak) dan perubahan tutupan hutan menjadi semak belukar karena adanya penebangan liar yang telah merambah ke dalam kawasan konservasi sehingga menimbulkan lahan kritis. kondisi sumberdaya air pada DAS semakin mengkhawatirkan, karena debit musim hujan dan musim kemarau yang begitu fluktuatif yang berpengaruh terhadap fluktuasi penyediaan air bersih untuk minum, industri dan kebutuhan penggunaan air lainnya dan rentan terjadi konflik penggunaan air. Debit maksimum (Qmaks) adalah besarnya debit (harian) terukur yang paling tinggi di outlet sebagai akibat kejadian hujan tertentu dan tidak terlampaui oleh kejadian hujan yang lain selama satu tahun (Linsley et al. 1986). terjadinya kecenderungan peningkatan debit maksimum (Qmaks), diantaranya karena penurunan luas tutupan hutan, sehingga secara keseluruhan fungsi hutan sebagai penahan aliran permukaan semakin menurun, dan menyebabkan penurunan infiltrasi dan perkolasi serta meningkatkan aliran permukaan. Peningkatan aliran permukaan pada musimhujan akan menyebabkan peningkatan debit maksimum (Qmaks). Faktor lainnya yang diduga menyebabkan peningkatan debit maksimum adalah karena umumnya (hampir 70%) tutupan hutan pada SWP DAS terletak pada lereng yang relatif curam (15% - 45%) hingga sangat curam ( > 45%) sehingga bila tutupannya

berubah jadi pertanian lahan kering atau semak belukar akan berpengaruh terhadap aliran permukaan. Debit Minimum. Debit minimum pada suatu DAS umumnya

menggambarkan besarnya aliran dasar (base flow) yang terjadi. Selain itu, debit minimum juga menggambarkan kemampuan DAS bersangkutan untuk merespon masukan (input) utama berupa hujan, selanjutnya menyimpan atau

menginfiltrasikannya ke dalam tanah untuk dialirkan menjadi aliran sungai pada saat tidak terjadi hujan. Terjadinya kecenderungan penurunan debit minimum pada SWP DAS tidak terlepas dari pengaruh menurunnya tutupan hutan. Hal ini menunjukkan bahwa penutupan hutan ternyata masih menjadi pilihan terbaik untuk tetap menjaga kondisi hidrologis suatu DAS. Hal ini sesuai dengan pernyataan Agus et al. (2002) bahwa tutupan hutan merupakan penggunaan lahan yang paling aman secara ekologis. Selanjutnya dikatakan bahwa tanah hutan yang memiliki serasah tidak terganggu akan mampu berperan sebagai filter pergerakan air di dalam tanah, selain itu tanah juga menjadi lebih tahan terhadap erosi, sehingga secara keseluruhan hutan mempunyai fungsi hidrologi yang lebih baik dibandingkan jenis penutupan lahan lainnya. Kecenderungan penurunan debit minimum yang terjadi pada SWP DAS harus menjadi perhatian serius, agar tidak terjadi krisis air pada musim kemarau yang beru-jung pada konflik antar pengguna air. Fluktuasi Debit. Fluktuasi debit sungai menggambarkan perubahan hasil air (water yield) yang dihasilkan oleh suatu DAS sebagai respon terhadap ma-sukan hujan. Fluktuasi debit merupakan gambaran kualitas suatu DAS. Apabila perbedaan antara debit musim hujan dengan debit di musim kemarau (fluktuasi debit) sudah sangat tinggi, maka dapat dikatakan bahwa DAS tersebut secara hidrologis telah mengalami degradasi. Dengan kata lain fluktuasi debit dapat digunakan sebagai salah satu indikator untuk menilai apakah suatu DAS telah mengalami degradasi atau masih baik. Fluktuasi debit dapat ditentukan berdasarkan perbandingan antara debit maksimum dan debit minimum (Qmaks/Qmin). Dalam istilah kehutanan sering pula disebut sebagai Koefisien Regim Sungai (KRS). Ada pula yang menyebutnya sebagai rasio debit. Meningkatnya fluktuasi debit menunjukkan bahwa perubahan tutupan lahan hutan telah menyebabkan perubahan perilaku hidrologi yang

berpengaruh terhadap ketersediaan air. Penurunan tutupan lahan hutan menyebabkan penurunan kapasitas infiltrasi tanah yang pada giliran akan menyebabkan peningkatan aliran permukaan dan debit sungai.

IV.

KESIMPULAN

1. Kebijakan pengaturan distribusi bahan pangan produk dalam negeri telah gagal menciptakan kesejahteraan bagi kaum tani Indonesia. 2. Pergeseran musim hujan dan musim kemarau menyebabkan petani kesulitan dalam menetapkan waktu yang tepat untuk mengawali masa tanam, benih besarta pupuk yang digunakan, dan sistem pertanaman yang digunakan. 3. Faktor-faktor di atas yang mendorong dilakukannya impor masih diperparah dengan berbagai kebijakan-kebijakan pemerintah ,seperti kebijakan dan praktek privatisasi, liberalisasi, dan deregulasi. 4. Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan penutupan lahan diantaranya adalah pertumbuhan penduduk, mata pencaharian, aksesibilitas, dan fasilitas pendukung kehidupan serta kebijakan pemerintah. 5. Peningkatan debit maksimum karena penurunan luas tutupan hutan, sehingga fungsi hutan sebagai penahan aliran permukaan semakin menurun, dan menyebabkan penurunan infiltrasi dan perkolasi serta meningkatkan aliran permukaan. 6. Tanah hutan yang memiliki serasah tidak terganggu akan mampu berperan sebagai filter pergerakan air di dalam tanah 7. Penurunan tutupan lahan hutan menyebabkan penurunan kapasitas infiltrasi tanah yang pada giliran akan menyebabkan peningkatan aliran permukaan dan debit sungai.

V.

DAFTAR PUSTAKA

Agus et al. 2002. Konservasi Hutan dan Lahan. IPB Press : Jakarta Ariani. 2003. Kebijakan Beras dan Pangan Nasional. IPB Press: Jakarta. Afriani, Indah Yulianti. 2002. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Impor Ilegal Daging Sapi dan Susu Indonesia. Skripsi. Departemen Sosial Ekonomi Ekonomi Pertanian. Badan Pusat Statistik 2000. Statistik Indonesia 1999. Badan Pusat Statistik. Jakarta. Bakasurtani. 2007. Konservasi Tanah di Indonesia. suatu rekaman dan analisa. Rajawali. Jakarta. Baliawati. 2007. Pengantar Pangan dan Gizi. Jakarta : Penerbit Swadaya CIFOR dan FAO. 2005. Hutan dan banjir, tenggelam dalam suatu fiksi, atau berkembang dalam fakta . RAB Publication 2005/03. Forest Prespectives 2. CIFOR dan FAO. Bogor dan Bangkok. Kasryno, dkk. 2002. Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi. Linsley R.K, Kohler, M.A, dan Paulhus, J.L.H, 1983, Hydrology For Enginers (Third Edition), Mc. Graw Hill Book Company, New York. Mahfi. 2009. Perekonomian Indonesia: Beberapa Permasalahan Penting. Cetakan 1. Jakarta: Ghalia Indonesia. Pearson et al.1986. Theory of Econometrics: An Introductory Exposition of

Econometrics. Harper and Row publisher Inc. New York, USA. Saliem et al. 2005. Analisis Integrasi Pasar Beras Domestik dengan Pasar Beras Dunia dan Pengaruh Adanya Tarif Impor. Skripsi. Departemen Sosial Ekonomi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Sitorus dkk. 2006. Kerusakan Tanah-Tanah Pertanian di Indonesia dan Cara Merehabilitasinya, Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Suhardjo. 1989. Analisis Impor Beras Serta Pengaruhnya Terhadap Harga Beras Dalam Negeri. Skripsi. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Suryana, Achmad dkk. 2001. Bunga Rampai Ekonomi Beras. Jakarta: LPEMFEUI.

Syarief. 2004. Ekonomi Internasional. Edisi ke lima. Jakarta: Penerbit Erlangga. Wijaya. 2004. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Penerbit Andi Yogyakarta, Yogyakarta. WTO (2003), Trade Policy Review-Indonesia, report by the Secretariat (WT/TPR/S/117): Geneva

KEBIJAKAN IMPOR PANGAN INDONESIA DAN DAMPAK DEGRADASI HUTAN PADA DAS

DEWI FLORIANTI 05111002012

PROGRAM STUDI TEKNIK PERTANIAN JURUSAN TEKNOLOGI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA INDRALAYA 2013

Anda mungkin juga menyukai