Anda di halaman 1dari 42

DEPARTEMEN KEHUTANAN

DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM

BALAI TAMAN NASIONAL BALI BARAT


Cekik Gilimanuk, Bali Telepon 0365-61060, BALI 82253 E-mail : tnbb@telkom.net

Review Faktor Pembatas Ekologi dalam Upaya Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) Taman Nasional Bali Barat

Oleh Teguh Rianto, S. Hut NIP. 710035719 Calon PEH pada Balai Taman Nasional Gunung Rinjani

PROGRAM MAGANG CPNS DEPARTEMEN KEHUTANAN FORMASI TAHUN 2004 DI BALAI TAMAN NASIONAL BALI BARAT

Cekik, Februari 2006

HALAMAN PENGESAHAN

Karya Tulis sebagai Tugas Akhir Program Magang CPNS Dephut Formasi tahun 2004 dengan judul : Review Faktor Pembatas Ekologi dalam Upaya Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) Taman Nasional Bali Barat Telah disetujui dan disahkan pada :

Hari Tanggal Tempat

: : 14 Februari 2006 : Cekik

Menyetujui, Pembimbing

Penyusun,

(Wawan Suryawan, BSc.F.) NIP. 710016336

(Teguh Rianto, S.Hut.) NIP. 710035719

Mengesahkan, Kepala Balai Taman Nasional Bali Barat Ub. Kepala Bag. Tata Usaha

( Ir. Kuswaya, BSc.F. ) NIP. 080041127

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kepada Allah SWT atas segala berkah dan rahmatNya, sehingga laporan kegiatan Review Faktor Pembatas Ekologi dalam Upaya Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) di Taman Nasional Bali Barat dapat selesai. Laporan ini dimaksudkan sebagai perrtanggungjawaban atas Program Magang CPNS Departemen Kehutanan yang dilaksanakan selama 3 bulan (24 Nopember 2005 18 Februari 2006) Bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak juga telah memberikan pengaruh tersendiri sehingga sangat membantu terselesaikannya laporan ini. Oleh karena itu, penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Ir. Soedirun Dartosoewarno, selaku Kepala Balai Taman Nasional Bali Barat, 2. Ir. Kuswaya, selaku Kepala Bagian Tata Usaha Balai Taman Nasional Bali Barat, 3. Ketut Catur Murbawa, S. Hut, selaku pembimbing kegiatan magang, 4. Wawan Suryawan, BSc. F, selaku pembimbing dalam penulisan laporan, 5. drh. Agus Krisna dan staffnya di Seksi Konservasi Wilayah III; Pak Engkol, Mas Juni, Mas Reza, Pak Lah, terima kasih pengalamanpengalamannya di Menjangan, The Unforgettable!, 6. Drs. Abdullah Abbas, MM, dan staff di Seksi Konservasi Wilayah I; Pak Jarman, Pak Nunus, Pak Made, Mas Ipung, Norman, terima kasih pinjaman komputernya, 7. M. Noor Sooetawijaya, BSc. F dan staff Seksi Konsevasi Wilayah II; Pak Nana, Pak Maman, Mas Karsun, Mas Sugi, Pak Sukadi, Pak Kasidi, 8. Teman-teman senasib seperjuangan di seksi IV, Kukuh as keple senior, Mbak Eri, Mas Susi, Jenz, Asep Sawala Princess, Yani Suseksi dan Pipink (makasih pinjaman motornya), Big Budi, Aris, Yuli, Leny, Opie (makasih kameranya, jadi pengen lho?) dan Septi. Terima kasih for the all goodness

of you, jika tidak bisa membalas di sini, di dunia ini, semoga Yang Kuasa bisa membalas di akhirat kelak. Amin. 9. Pak Putu, tetangga sebelah kami, maaf jika kami terlalu ramai dan merepotkan, ........mematahkan jemuran? 10. Seluruh staff di Balai TNBB, terutama bagian konservasi yang telah rela membagi tempat duduk dalam keseharian kami

Penulis menyadari bahwa tulisan dalam laporan ini masih sederhana, walaupun tidaklah sesederhana dalam proses pembuatannya. Penulis sangat menghargai saran dan kritik yang ditujukan untuk memperbaiki laporan ini. Semoga laporan ini bermanfaat bagi dunia pengetahuan maupun pihak-pihak yang berkepentingan. Amin.

Penulis

DAFTAR ISI Halaman Halaman Judul .................. i Halaman Pengesahan .................................................................................... ii Kata Pengantar ............................................................................................. iii Daftar Isi ....... v Daftar Tabel ...... vi Daftar Gambar ...... vii Daftar Lampiran ... viii Intisari .......................................................................................................... ix

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ........................................................................... 1 1.2. Tujuan ........................................................................................ 2 1.3. Ruang Lingkup ....................................................................... 3

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekologi Jalak Bali a. Klasifikasi dan Morfologi ................................................. 4 b. Habitat ............................................................................. 5 c. Musim Biak ...................................................................... 7 d. Daerah Jelajah, Sebaran Alami dan Populasi Liar ........... 7 2. 2. Pemulihan Populasi Liar Jalak Bali ......................................... 9

BAB III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi Penelitian ....................................................................... 11 3.2. Waktu Penelitian ....................................................................... 13 3.3. Bahan dan Alat........................................................................... 14 3.4. Metode Pengumpulan dan Analisis Data ................................... 14

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4. 1. Melepasliarkan Satwa Seperti Melempar Koin ........................ 15 4. 2. Pengembalian populasi liar jalak Bali 4. 2. 1. Tahapan Pelepasliaran .......................................................... 15 a. Persiapan ........................................................................... 16 b. Pelepasan .......................................................................... 21 c. Monitoring ....................................................................... 22 4. 3. Habitat 4. 3. 1. Tipe habitat .......................................................................... 23 4. 3. 2. Produktivitas pakan .............................................................. 24 4. 3. 3. Iklim kering dan kebakaran hutan ........................................ 25 4. 3. 4. Pesaing dan predator ........................................................... 26

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ................................................................................ 28 5.2. Saran .......................................................................................... 28

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 29

LAMPIRAN ................................................................................................. 31

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB

DAFTAR TABEL

Nomor 1. Data Populasi Jalak Bali Menurut

Halaman

Lokasi Penyebaran Dari Tahun 1974-2003 ...................................... 9 2. Jenis-jenis Fauna yang Dilindungi yang Terdapat di TNBB . 12 3. Jenis-jenis Flora yang Dilindungi yang Terdapat di TNBB .. 13 4. Jadwal Kegiatan Penelitian ... 14

DAFTAR GAMBAR

Nomor

Halaman

1. Jalak Bali (Leucopsar rothschildi Stress.) ....................................... 4 2. Kubah/ sangkar pelatihan pra lepas liar ........................................... 17 3. Kondisi dalam sangkar pelatihan pra lepas liar ................................ 18 4. Sangkar buatan .. 18 5. Grafik Keadaan Populasi Jalak Bali . 21 6. Habitat Jalak Bali di Teluk Brumbun ............................................... 24

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor 1. Tabel Asal Usul Induk Transfer

Halaman

Jalak Bali dalam Kegiatan Penangkaran TNBB .............................. 31 2. Vegetasi Penting untuk Jalak Bali ................................................... 32

Review Faktor Pembatas Ekologi dalam Upaya Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) Taman Nasional Bali Barat

Oleh : Teguh Rianto, S. Hut*

Taman Nasional Bali Barat (TNBB) dengan luas 19.002,89 Ha ditetapkan dengan fungsi untuk mendukung kehidupan Jalak Bali (Leucopsar rothschildi). Populasi liar di habitat alamnya adalah kritis, survey tahun 2001 menyebutkan hanya tersisa sejumlah 6 ekor. Penyebab pengurangan adalah pengurangan daerah jelajah (terutama konversi lahan untuk pertanian atau pemukiman) dan penangkapan liar (perdagangan, burung peliharaan). Upaya pelestarian melalui penangkaran in situ dengan tujuan pelepasliaran telah dilakukan pada tahun 1987-1995 oleh ICBP/ BirdLife melalui Proyek Bali Starling. Kemudian setelah proyek berakhir ditangani secara intern TNBB sejak 1995 sampai sekarang. Satu hal menyedihkan bahwa produksi penangkaran adalah sukses (populasi sejumlah 100 ekor lebih sampai tahun 2005) namun tidak pada pertambahan populasi liarnya. Kelestarian jalak Bali dapat ditinjau dari aspek keamanan hukum (peraturan perundangan dan kebijakan), keamanan sosial (pengamanan dari manusia) dan keamanan secara ekologi (faktor habitat dan perilaku alam). Tulisan ini membahas aspek ekologi jalak Bali dengan fokus pada teknis pelepasliaran yang dianggap bertanggung jawab terhadap pembentukan perilaku jalak Bali ketika akan dilepas serta keadaan habitatnya. Bahwa teknik pelepasliaran yang telah dilakukan dalam upaya pengembalian jalak Bali ke habitatnya belum cukup untuk bisa dikatakan bisa menjamin jalak Bali hasil pelepasan dapat survive dan hidup mandiri karena kegiatan pelatihan adalah pasif. Poses pembentukan perilaku lebih condong ke arah trial and error bukan pada suatu betuk pengenalan. Habitat jalak Bali di sekitar Teluk Brumbun telah mengalami pergeseran tipe vegetasi dari savana menjadi hutan sekunder oleh invasi jenis eksotik intaran (Azadirachta indica).

Magang CPNS Dephut Formasi Th. 2004 di Balai Taman Nasional Bali Barat Calon PEH pada Balai Taman Nasional Gunung Rinjani, NTB

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB

BAB I PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang Taman Nasional Bali Barat (TNBB) dengan luas 19.002,89 Ha ditetapkan dengan fungsi untuk mendukung kehidupan Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) (Anonim., 2005). Burung endemik Bali ini, secara hidupan liar dahulu dapat dijumpai di sepertiga bagian pulau. Penyempitan areal penyebaran Jalak Bali terjadi karena eksploitasi/penebangan, konversi untuk lahan pertanian, perkebunan dan pemukiman maupun kebakaran hutan. Dan sekarang jenis ini hanya mendiami daerah di ujung barat pulau di daerah hutan musim dan di padang rumput akasia (Shannaz dkk., 1995). Pengurangan daerah jelajah tersebut dan ditambah lagi penangkapan burung secara ilegal untuk perdagangan ataupun burung peliharaan telah menurunkan jumlah populasi liarnya di alam sampai batas kritis terendah. Pada tahun 1990 jumlah liarnya di alam diperkirakan tinggal 13 ekor (van Balen dan Gepak, 1994 dalam Shannaz dkk., 1995), walau jumlahnya di penangkaran masih + 700 ekor (van Helvoort, 1990 dalam Shannaz dkk., 1995). Sedangkan menurut data sensus tahun 2001 hanya tersisa sejumlah 6 ekor, sehingga kemungkinan berkembang pada tingkat aman masih sangat diragukan. Bas van balen (pemerhati jalak Bali) pernah mengisyaratkan bahwa populasi aman bagi kelangsungan kelestarian jalak Bali di habitat adalah + 500 ekor (Dartosoewarno, 2001). Upaya untuk melestarikan spesies ini telah mendapatkan perhatian cukup serius dari berbagai pihak di tingkat nasional maupun internasional. Secara hukum Pemerintah Indonesia menetapkan sebagai satwa yang dilindungi berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 421/Kpts/Um/8/1970, kemudian Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999. Jalak Bali tercatat dalam Red Data Book IUCN sejak 1966 dan dikategorikan sebagai satwa yang paling terancam punah (critically endangered) (tahun 2002). Disamping itu sejak tahun 1970, jalak Bali telah dimasukkan dalam Appendix I CITES yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB

Keppres No. 43 Tahun 1978 (Dartosoewarno, 2004). Hal ini berarti bahwa semua bentuk perdagangan internasional untuk Jalak Bali dilarang. Proyek bali Straling sebagai proyek penyelamatan jalak Bali yang ada sejak 1987 oleh ICBP (International Council for Bird Preservation) atau sekarang BirdLife, bekerjasama dengan Pemerinrtah Indonesia dan kebun-kebun binatang di Amerika dan Inggris telah membantu memperbaiki penjagaan di taman nasional dan mendukung populasi liar di alam dengan melepaskan sejumlah kecil burung hasil penangkaran dan mengembalikan jumlah liar di alam sampai sejumlah 35 dan 55 ekor (dalam Shannaz, 1995). Proyek tersebut berakhir di tahun 1995, dan upaya penyelamatan Jalak bali ditangani secara intern melalui Program Pemulihan Populasi Liar Jalak Bali. Bagaimananpun hasil berbiak di penangkaran ketika ditangani ICBP/BirdLife ataupun intern TNBB bisa dikatakan sukses. Sejumlah 36 ekor burung sapihan diliarkan pada periode 1992/1993 dan 36-40 ekor pada tahun 1994 (Shannaz, 1995). Kemudian sejumlah 59 ekor diliarkan sampai dengan tahun 2003 (Dartosoewarno, 2004). Hanya saja populasi liar di habitat alamnya tidak pernah tercatat mengalami pertumbuhan bahkan cenderung berkurang (pertumbuhan nol). Berdasarkan hasil survey pendahuluan, ada dugaan awal bahwa faktor ekologi ini juga menjadi ancaman potensial terhadap kelangsungan hidup jalak Bali paska pelepasan. Ada dugaan bahwa tidak adanya pertumbuhan populasi liar disebabkan karena satwa tidak/kurang dapat survive, jadi lebih ke faktor ketidaksiapan jalak Bali untuk beradaptasi dengan lingkungan barunya. Tidak adanya pertumbuhan liar ini berlawanan dengan produktivitas jalak Bali di penangkaran. Berdasarkan hal tersebut penelitian ini mencoba membahas mengenai permasalahan dalam pemulihan populasi liar Jalak Bali di habitat alam, terutama berkaitan dengan upaya pelepasliaran dan keadaan habitatnya, kemudian memberikan solusi alternatif.

1. 2. Tujuan Untuk mengetahui permasalahan di dalam upaya pelestarian populasi liar jalak Bali dan difokuskan berkaitan dengan upaya pelepasliaran dan habitatnya.

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB

1. 3. Ruang Lingkup Untuk bisa survive jalak Bali harus diamankan secara hukum (peraturan perundangan dan kebijakan), sosial (aman dari pencurian) dan, ekologi (kesiapan terhadap lingkungan baru, keadaan habitat). Penelitian ini membahas satu faktor yang menjadi ancaman keamanan terhadap kelangsungan upaya pelestarian yaitu faktor pembatas ekologi sebagai satu lingkup bahasan tersendiri. Bukan berarti memisahkan ketiga faktor seolah-olah sebagai suatu faktor yang saling tidak berhubungan, akan tetapi lebih kepada tujuan penyederhanaan bahasan. Faktor ekologi dalam bahasan tulisan ini adalah upaya pelepasliaran (pra-paska) dan keadaaan habitat yang dianggap bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidupan liar jalak Bali.

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Ekologi Jalak Bali 2. 1. a. Klasifikasi dan Morfologi Klasifikasi jalak Bali sebagai berikut (Pujiati, 1987) : Phyllum Kelas Ordo : Chordata : Aves : Passerformis

Sub Ordo : Ocines Famili Spesies : Sturnidae : Leucopsar rothschildi Stressemann, 1912 (jalak Bali, curik putih, jalak putih Bali )

TNBB

Gambar 1. Jalak Bali (Leucopsar rothschildi Stress.) Jalak Bali memiliki tubuh berukuran sedang (+25 cm), berwarna putih. Bulu seluruhnya putih bersih, kecuali ujung sayap dan ujung ekor hitam Mempunyai jambul (kuncir) yang indah dengan panjang 9-12 cm, baik dari jenis kelamin jantan maupun pada betina. Jalak Bali jantan mempunyai jambul lebih panjang daripada yang betina. Matanya berwarna coklat tua, daerah sekitar kelopak mata tanpa bulu seolah-olah membentuk bayangan mata (eye shadow) berwarna biru muda. Paruh runcing dengan panjang 2-3 cm, berbentuk khas yaitu dibagian atasnya terdapat peninggian yang memipih tegak. Warna paruh abu-abu

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB

kehitaman dengan ujung berwarna kuning kecoklat-coklatan. Kaki jalak Bali berwarna abu-abu pucat (Pujiati, 1987).

2. 1. b. Habitat Untuk mendukung kehidupan satwa liar diperlukan satu kesatuan kawasan yang dapat menjamin segala keperluan hidupnya baik makanan, air, udara bersih, garam mineral, tempat berlidung berkembang biak dan tempat untuk bermain serta mangasuh anak. Kawasan yang terdiri dari berbagai komponen baik fisik maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang biak satwa liar disebut habitat (Anonim., 2002). Satwa menempati habitat sesuai dengan kebutuhannya saat itu. Setiap aktivitas satwa membutuhkan kondisi habitat yang berbeda. Habitat yang dimanfaatkan satwa pada suatu saat sesuai dengan fungsinya disebut sebagai habitat aktual. Sedangkan kawasan luas yang terdiri dari berbagai tipe habitat disebut sebagai habitat potensial. Secara umum, habitat mempunyai fungsi dalam penyediaan makanan, air, ruang dan berlindung (Anonim., 2002). Tempat-tempat yang dipergunakan untuk tidur, bersarang, mencari makan dan minum dapat merupakan daerah dengan tipe habitat yang berbeda (Alikora, 1978 dalam Pujiati, 1987). Jalak Bali mencari makan di pohon-pohon atau semaksemak yang tumbuh di bawah pohon. Kadang-kadang turun ke padang rumput yang terdapat di antara semak-semak. Makanan alami jalak Bali terdiri dari macam-macam serangga (ulat, belalang, semut, dan rayap) dan buah-buahan (buah kepuh, bidara dan murbei). Makanan utama jalak Bali pada musim hujan adalah buah kerasi (Lantana camara) dan bunga kemloko (Phylanthus emblica) (dalam Pujiati, 1987). Menurut Suprapto dan Suryawan (Anonim., 1994) Jalak Bali juga memakan jenis-jenis makanan seperti buah walikukun (Schoutenia ovata), bunga laban (Vitex pubescens), bunga dadap (Erythrina orientalis). Kemudian juga talok (Grewia koordersiana), buni (Antidesma bunius ), bekul (Zyzyphus mauritiana), trenggulun, kalak, ciplukan, kelayu (Suryawan, 1994). Pohon-pohon yang dipergunakan sebagai tempat bersarang antara lain pilang (Acacia leucophloea), lontar (Borassus flabellifer), talok (Grewia

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB

koordersiana), laban ( Vitex pubescens), kesambi (Schleichera oleasa) (dalam Pujiati, 1987), klumprit (Terminalia microcarpa), dan walikukun (Schoutenia ovata) (Anonim., 1994). Lubang-lubang aktif yang dipergunakan untuk bersarang, dapat dijumpai pada kondisi topografi yang berbeda. Di lereng bukit yang curam, lembah maupun pada permukaan topografi yang datar. Lubang aktif tersebut umumnya berada di antra tajuk pohon sehingga tersembunyi sedemikian rupa dan terlindung dari incaran satwa pemangsa. Umumnya tidak jauh dari sekitar sarang merupakan lingkungan dengan kondisi makanan melimpah (Anonim., 1994). Tinggi lubang sarang antara 2,5-7 m dengan diameter lubang + 10 cm. Sarang tersebut biasanya merupakan bekas lubang yang dibuat oleh burung pelatuk (Dryocopus pileatus) atau lubang-lubang alami di pohon (dalam Pujiati, 1987). Sarang disusun dari ranting-ranting, daun-daun dan rumput-rumput kering . Menurut Suprapto dan Suryawan (Anonim., 1994) jalak Bali biasanya tidur di antara semak belukar yang hijau sepanjang tahun, berduri dan memanjat seperti landepan (Barleria prionitis) dan kaliage, atau diantara tajuk pohon yang selalu hijau seperti malaman (Cleistanthus myrianthus), suli (Bridelia monaica), kesambi (Schleichera oleasa) di sekitar daerah lereng lembah. Kondisi tempat tidur tersebut tampak akan kontras pada saat musim kemarau karena kondisi sekitarnya yang kering meranggas. Dan Jalak Bali belum pernah dijumpai tidur bertengger di atas pohon. Menurut Alikodra (dalam Pujiati, 1987) tempat yang dipergunakan untuk mencari minum adalah tempat berair, misalnya rawa-rawa di bawah hutan buta-buta (Excoecaria agallocha), mata air atau embun yang melekat pada daun. Habitat terakhir ditemukannya jalak Bali di TNBB hanya disekitar bagian utara semenanjung Prapat Agung, yaitu di daerah Teluk Brumbun dan Teluk Kelor (Dartosoewarno, 2001) merupakan daerah bertipe iklim kering dengan musim kemarau yang lebih panjang, tanpa mata air ataupun air permukaan. Satusatunya sumber air adalah air payau pada kubangan-kubangan lantai hutan mangrove (Suryawan, 2004). Habitat jalak Bali terdiri atas tiga macam tipe vegetasi yaitu hutan musim, savana dan mangrove (Anonim., 1994). Hutan musim tersusun oleh jenis-jenis

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB

seperti talok (Grewia koordersiana), walikukun (Schoutenia ovata), kapasan (Croton argyrathus), putian ( Symplocos javanica), kesambi (Schleichera oleasa), kemloko (Phylanthus emblica), suli (Bridelia monaica), dan laban (Vitex

pubescens). Di lantai hutan musim disusun oleh jenis-jenis kerasi (Lantana camara), kirinyuh (Eupatorium inufolium), dan nyawon (Vernonia cinerea). Vegetasi savana terdiri dari padang rumput (kerasi, kirinyuh, dan nyawon) yang diselang-seling oleh beberapa jenis pohon seperti pilang ( Acacia leucophloea) dan kemloko (Phylanthus emblica). Sedangkan jenis-jenis penyusun mangrove seperti Ceriops tagal, sentigi (Pemphis acidula), Excoecaria agallocha, Rhizophora apiculata, Rhizophora stylosa, api-api (Avicenia marina), dan prapat (Sonneratia alba) (Suryawan, 2004).

2. 1. c. Musim Biak Musim berbiak Jalak Bali mulai periode Nopember, aktif berpasangan sampai memasuki periode awal muasim penghujan pada bulan Januari pasangan induk diantaranya sudah ada yang mulai bertelur. Periode berbiak ini berlangsung hingga bulan Mei dimana bulan basah mulai berakhir. Setaip pasangan biasanya hanya menghasilkan satu sampai dua anak setiap musim berbiaknya. Lama waktu aktivitas biak mulai dari bertelur hingga anak keluar dari sarang yaitu selama kurang lebih 40 hari dengan rincian 15 hari mengeram, dan 25 hari membesarkan anak dalam sarang biak (Suryawan, 2004).

2. 1. d. Daerah Jelajah, Sebaran Alami dan Populasi Liar Burung liar membutuhkan lingkungan yang tepat untuk menyelasaikan seluruh proses berkembang biak. Jika tidak mampu memperoleh makanan yang memadai, tempat bersarang atau daerah jelajah yang baik, maka prosesnya akan mengalami gangguan bahkan sampai tidak jadi (Cahyadin, 1993). Daerah jelajah Jalak Bali untuk pasangan berbiak di Teluk Kelor antara 2,4-3,5 ha (Cahyadin, 1993), situasi ini mungkin umum. Ada indikasi bahwa pasangan berbiak mempertahankan teritorinya sepanjang tahun.

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB

Daerah jelajah jalak Bali di Semenanjung Prapat Agung terkonsentrasi di Teluk Brumbun-Teluk Kelor, meliputi kawasan Teluk Brumbun, Hulu, dan Lembah Lestari Timur, Lembah Lestari Barat, Lembah Gonbang, Bukit Gondang, Bukit Utama dan Teluk Kelor (Imansyah, 2001). Menurut Cahyadin (1993) daerah jelajah jalak Bali di alam bervariasi tergantung dari keadaan iklim. Di Taman Nasional Barat pada iklim normal dengan curah hujan cukup, cenderung untuk menetap di daerah Batu Licin sampai Batu Gondang, sedangkan pada musim kering akan menetap di lembah-lembah yang sempit di daerah Teluk Kelor sampai Teluk Brumbun dan sekitar pemukiman di Tegal Bunder (Cahyadin, 1993). Menurut sejarah sebarannya, jalak Bali pernah ditemukan di daerah Bubunan, Singaraja ( kurang lebih 50 Km sebelah Timur kawasan TNBB). Hal ini memberi gambaran bahwa sebaran Jalak Bali pada masa lampau meliputi areal lebih luas (Anonim., 1994). Berikut data lokasi penyebaran dan populasi yang tercatat dari tahun 1974- 2003 :

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB

Tabel 1. Data Populasi Jalak Bali Menurut Lokasi Penyebaran Dari Tahun 1974-2003. Lokasi No Tahun 1. 1974 2. 1975 3. 1976 4. 1978 5. 1979 6. 1980 7. 1991 8. 1992 9. 1993 10. 1994 11. 1995 12. 1996 13. 1997 14. 1998 15. 1999 16. 2000 17. 2001 18. 2002 19. 2003 20. 2004 21. 2005
Sumber : TNBB, 2005

Jumlah e 2 18 0 0 25 28 23 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 13 0 0 0 35 7 2 4 4 2 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 f 36 23 21 22 11 7 7 28 16 16 9 8 10 0 11 2 3 0 0 0 0 g 0 24 0 0 0 0 4 16 17 17 18 8 11 26 16 13 3 9 29 24 12 h (ekor) 109 107 91 87 84 105 36 48 37 29 28 28 14 26 37 15 6 9 29 24 12

a 13 15 35 25 7 35 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 6 7 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

b 42 20 35 37 4 24 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

c 0 0 0 3 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Keterangan Lokasi : a. Banyu Wedang b. Teluk Terima c. Tegal Bunder e. Prapat Agung d. Cekik f. Lampu Merah g. Teluk Kelor h.TelukBrumbun

2. 2. Pemulihan Populasi Liar Jalak Bali Pemulihan populasi Liar Jalak Bali merupakan upaya untuk meliarkan sub populasi buatan ke habitatnya. Cikal bakal sub populasi buatan yang akan diliarkan secara keseluruhan diperoleh dari hasil penangkaran Jalak Bali yang dikelola secara intern oleh TNBB. Harapan dengn bertambahnya jumlah individu

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB

populasi liar akan bangkit kembali untuk berkembang biak secara mandiri secara alamiah di habitatnya (Dartosoewarno, 2004). Program Pemulihan populasi Liar jalak Bali oleh TNBB dapat dikelompokkan dalam empat lingkup kegiatan, meliputi penangkaran,

pelepasliaran, pembinaan habitat dan pengamanan. Lingkup kegiatan penangkaran meliputi pengkayaan individu melalui program pembiakan di penangkaran, peningkatan produktivitas biak melalui perbanyakan pasangan induk,

pemeliharaan kualitas induk, pembesaran dan perawatan piyik, penyapihan anak, sampai dengan aktivitas pengelompokan individu untuk populasi bentukan. Sedangkan kegiatan pelepasliaran meliputi pelatihan pralepas liar, peliaran ke habitat, dan monitoring paska pelepasan (Dartosoewarno, 2004).

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB

BAB III METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi Penelitian Penelitian di lakukan di Taman Nasonal Bali Barat. Taman Nasional Bali Barat (TNBB) secara administrasi pemerintahan, terletak dalam 2 kabupaten yaitu Kabupaten Buleleng dan Jembrana, Propinsi Bali. Secara geografis terletak antara 8o 05' 20" sampai dengan 8 o 15' 25" LS dan 114 o 25' 00" sampai dengan 114o 56' 30" BT. Topografi kawasan terdiri dari dataran landai (sebagian besar datar), agak curam, dengan ketinggian tempat antara 0 s.d 1.414 mdpl. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 493 / Kpts - II / 1995 tanggal 15 September 1995 TNBB mempunyai luas 19.002,89 Ha yang terdiri dari kawasan daratan seluas 15.587,89 Ha dan kawasan perairan 3.415 Ha. Kemudian berdasarkan Surat Keputusan Dirjen Perlindungan dan Konservasi Alam No. 186 / Kpts / DJ - V / 1999 Tanggal 13 Desember 1999 tentang penunjukan zona pada TNBB, terdiri dari zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan intensif dan zona pemanfaatan budaya. Berdasarkan Schmidt-Ferguson, kawasan TNBB termasuk dalam tipe iklim C, D dan E dengan curah hujan rata-rata C : 1.559 mm/tahun, D : 1.064 mm/tahun, E : 972mm/tahun. Taman Nsional Bali Barat yang terletak di daerah Trofis yang dipengaruhi angin Munson mendapat penyinaran sepanjang tahun, dengan kelembaban udara antara 55 % sampai 85 %, kelembaban udara di dalam hutan sekitar 86 %. Temperatur udara rata-rata 33o C pada beberapa lokasi, Sungai-sungai yang ada dalam kawasan TNBB meliputi S. Labuan Lalang, S. Teluk Terima, S. Trenggulun, S. Bajra / Klatakan, S. Melaya, dan S. Sangiang Gede. Kecepatan angin berkisar 5 10 km/jam. Kondisi topografi Taman

Nasional Bali Barat mempengaruhi curah hujan setempat. Hal ini dapat dilihat pada keadaan musim kemarau, yaitu lereng bagian Selatan pegunungan lebih hijau dibandingkan dengan bagian Utara pegunungan.

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB

TNBB seringkali identik sebagai taman nasional yang dibentuk untuk memberikan perlindungan bagi kelangsungan / keberadaan Jalak Bali (Leucopsar rothchildi). Namun secara umum dapat dikatakan kawasan TNBB kaya akan potensi fauna. Berdasarkan jenisnya, fauna yang terdapat di TNBB antara lain terdiri dari 7 jenis mamalia, 2 jenis reftilia, 105 jenis aves, 120 jenis ikan, dan lain-lain. Tabel 2. Jenis-jenis Fauna yang Dilindungi yang Terdapat di TNBB
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 NAMA Jalak Bali Trenggiling, Kesih (Bali) Jelarang, Kapan-kapan (Bali) Landak Kueuk Menjangan Banteng Pelanduk, Kancil (Bali) Biawak Penyu rider NAMA ILMIAH Leucopsar rothschildi Manis javanicus Ratufa bicolor Hystric branchyura Felis marmorata Cervus timorensis Bos javanicus Trangulus javanicus Varanus salvator Lepidochelys olivceae STATUS langka; dilindungi Langka; dilindungi katagori II (CITES) Langka; dilindungi katagori II (CITES) Langka langka; dilindungi populasi menurun Dilindungi; katagori II (CITES) langka; menuju kepunahan katagori III vulnerable langka; dilindungi populasi menurun langka; langka; dilindungi

Berdasarkan ketinggian tempat maka kawasan TNBB dibagi dalam 2 ekosistem yakni Tipe Ekosistem Darat yang meliputi : Ekosistem Hutan Mangrove, Ekosistem Hutan Pantai, Ekosistem Hutan Pantai, Ekosistem Hutan Musim, Ekosistem Hutan Hujan Dataran Rendah, Ekosistem Evergreen, Ekosistem Savana, dan Ekosistem River Rain Forest. Sedangkan Tipe Ekosistem Laut meliputi Ekosistem Coral Reef, Ekosistem Padang Lamun, Ekosistem Pantai Berpasir, Ekosistem Perairan Laut Dangkal, Dan Ekosistem Perairan Laut Dalam.

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB

Tabel 3. Jenis-jenis Flora yang Dilindungi yang Terdapat di TNBB


No 1 1 Bayur NAMA 2 NAMA ILMIAH 3 Pterospermum diversifolium Antidesma bunius Langerstroemia speciosa Steleochocarpus burahol Santalum album STATUS 4 Tanaman langka (IUCN; dilindungi SK Mentan No. 54/Kpts/Um/2/1972 Tanaman langka Tanaman langka (IUCN; dilindungi SK Mentan No. 54/Kpts/Um/2/1972 Langka; Tanaman langka (IUCN; dilindungi SK Mentan No. 54/Kpts/Um/2/1972 Tanaman langka (IUCN; dilindungi SK Mentan No. 54/Kpts/Um/2/1972 Tamanam langka IUCN Tamanam langka IUCN Tanaman langka BTNBB Tamanam langka IUCN Tamanam langka IUCN Tamanam langka (IUCN; dilindungi SK Mentan No. 54/Kpts/Um/2/1972) Tanaman Langka (IUCN; dilindungi SK Mentan No. 54/Kpts/Um/2/1972) Tanaman Langka

2 3

Buni Bungur

4 5

Burahol Cendana

Kemiri

Aleuritas moluccana

7 8 9 10 11 12

Kepah, Kepuh (Bali) Kesambi Kruing bunga Mundu Pulai Sawo kecik

Sterculia foetida Schleichera oleosa Diptercocaus Hasseltii Garcinia dulcis Alstonia scolaris Manilkara kauki

13

Sono keling

Dalbergia latifolia

14

Trengguli

Cassia fistula

3.2. Waktu Penelitian Penelitian dilakukan selama berlangsungnya Kegiatan Magang CPNS Dephut, yakni 3 bulan, mulai tanggal 24 Nopember 2005-18 Februari 2006. Tahapan-tahapan di dalam penelitian ini disusun dalam tabel sebagai berikut :

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB

Tabel 4. Jadwal Kegiatan Penelitian


No 1. Kegiatan M1 Bulan I M2 M3 M4 M1 Bulan II M2 M3 M4 M1 Bulan III M2 M3 M4

Survey pendahuluan 2. Rancangan penelitian 3. Pengambilan data 4. Penulisan laporan 5. Seminar hasil 6. Revisi Keterangan : M = Minggu ke-...

3.3. Bahan dan Alat Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian adalah alat tulis dan kamera.

3.4. Metode Pengumpulan dan Analisis Data Pengumpulan data dilakukan melalui studi literatur, wawancara dengan petugas lapangan, dan observasi lapangan. Hasil pengamatan dianalisis secara deskriptif kualitatif.

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4. 1. Melepasliarkan Satwa Seperti Melempar Koin Setiap makhluk hidup di dunia ini layak untuk hidup bebas di alam. Bukan dalam kandang yang hanya beralas pada pola kepuasan manusia. Setiap satwa mempunyai fungsi ekologis masing-masing. Bukan tanpa sebab satu invidu diciptakan dan bukan tanpa akibat pula jika satu individu hilang dari alam. Keberadaan suatu satwa lebih penting menyangkut kelangsungan kehidupan di alam ini. Dengan dasar konsep tersebut pelepasliaran adalah penting. Namun, permasalahan tidak begitu saja selesai setelah pelepasan berjalan, sebab masih ada tanggung jawab moral yang dibebankan. Dalam kehidupan sebelumnya (di penangkaran) satwa hanya hidup dalam suatu ruangan ukuran tertentu, diperhatikan kebutuhannya, diberi pakan kesukaannya, kemudian tiba-tiba harus hidup dengan usaha mereka sendiri (dilepas ke alam). Sebab ketidaktahuan satwa akan habitatnya yang lebih luas, yang bukan sekedar ukuran kuadrat tertentu, memunculkan pertanyaan bagaimana hidup mereka nanti di lingkungan barunya. Seperti melempar koin, apabila mendapat salah satu sisinya sebagai suatu kemenangan, bukan berarti sisi satunya tidak bakal muncul juga. Karena proses sebenarnya baru dimulai, apakah keberadaan satwa lepasan tersebut dapat dikatakan terjamin kehidupan setelahnya?

4. 2. Faktor Teknis Pelepasliaran Pelepasliaran kembali satwa hasil penangkaran ke habitat alaminya ditujukan untuk meningkatkan populasi sesuai dengan daya dukung habitatnya. Harapan ke depannya adalah bertambahnya individu melalui proses perbiakan alami kemudian populasi liar meningkat, terjadi perkawinan silang dengan populasi liar yang telah ada sehingga terjadi perbaikan kualitas genetis.

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB

a. Persiapan Prosedur seluruh rangkaian kegiatan persiapan pelepasliaran jalak Bali di TNBB meliputi seleksi keturunan, seleksi kelamin, pembentukan sub populasi, tes medis, dan pelatihan pra pelepasan. Proses seleksi keturunan dilakukan untuk memastikan calon peserta pelatihan tidak berasal dari satu pasang induk, untuk menghindari terjadinya inbreeding. Seleksi kelamin bertujuan untuk memilih pasangan dengan komposisi sex ratio sama, satu pasangan adalah satu jantan dan satu betina. Harapannya setelah diliarkan dapat melakukan pertambahan individu melalui perbiakan alamiah. Kemudian individu-individu hasil seleksi dipersatukan dalam sangkar pra pelatihan dalam rangka pembentukan sub populasi buatan. Pembentukan sub populasi buatan dilakukan sejak usia individu 50-60 hari dengan pertimbangan pada usia tersebut individu telah mandiri dalam mengkonsumsi kebutuhan pakannya. Pengelompokkan dini dimaksudkan agar individu-individu saling mengenal sebagai suatu koloni membangun soliditas kelompok. Jalak bali dalam hidupan liarnya hidup secara berkelompok dan akan menolak terhadap individu lain yang mencoba memasuki kelompoknya. Pelatihan pra lepas liar merupakan suatu bentuk pelatihan terhadap sub populasi buatan sebelum diliarkan ke habitatnya untuk program penggemukan populasi liar. Sarana pelatihan yaitu berupa sangkar berukuran tinggi 17 m, diameter 30 m, terbuat dari bahan terali kawat dengan ukuran lubang 1x1 cm, berkerangka besi siku yang terpancang di atas pondasi setinggi 1 m (Gambar 2). Lokasi sangkar pelatihan terletak di habitat alam Jalak bali di kawasan Teluk Brumbun, Semenanjung Prapat Agung, TNBB. Inti pelepasliaran adalah satwa lepas mampu bertahan hidup dalam habitat barunya, sehingga tujuan penting pelatihan pra lepas liar adalah membuat satwa calon lepasan dapat menyesuaikan diri dengan habitat barunya (Abey, 1999). Tujuan pelatihan pra lepas liar di TNBB didefinisikan sebagai : Pelatihan kemampuan individu untuk bisa beradaptasi terhadap

lingkungan baru, seperti terhadap keadaan panas, angin, hujan (keadaan cuaca) serta komponen-komponen penyusun lingkungan seperti vegetasi,

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB

burung-burung jenis lain, mamalia, reptil, primata, dan satwa predator, pelatihan interaksi dengan populasi liar jalak Bali yang telah ada. Juga pelatihan optimalisasi kemampuan individu untuk berlindung dari predator, berburu pakan alam. Pelatihan pemanfaatan habitat seperti pemanfaatan vegetasi untuk bertengger, areal berburu pakan, vegetasi sebagai tempat berlindung, bermain, berbiak, dan sebagainya.

Gambar 2. Kubah/ sangkar pelatihan pra lepas liar Penilaian terhadap kegiatan persiapan pelepasliaran di TNBB sebagai berikut: Kondisi sangkar pelatihan Kondisi sangkar pelatihan dideskripsikan sebagai berikut : pohon pilang-sejumlah tujuh pohon, enam pohon intaran; lantai hutan bersemak belukar, kolam persediaan air model tembok yang dibuat lebih tinggi dari permukaan tanah, serta sarang buatan yang ditempel di pohon pilang untuk pelatihan berbiak (Gambar 3-4). Dengan kondisi seperti disebutkan, memang ada kemiripan dengan kondisi habitat liarnya. Namun untuk dapat memenuhi tujuan pelatihan, ada komponen yang masih kurang. Keadaan yang ada mungkin hanya mensimulasi bagaimana jalak Bali mengenal pohon untuk bertengger, bermain, mengenal genangan air buatan (kolam), ataupun mengenal burung jenis lain meskipun dibatasi pagar. Tetapi tidak untuk berburu pakan alam seperti buah, menurut catatan jalak Bali tidak memakan buah

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB

intaran. Bagaimana juga dengan simulasi mengenal predator, jika predator adalah ancaman potensial terhadap populasi liar (meskipun belum ada konfirmasi ilmiah mengenai predator yang memangsa jalak Bali).

Gambar 3. Kondisi dalam sangkar pelatihan pra lepas liar Gambar 4. Sangkar buatan Perlakuan pemberian pakan dan jenis pakan Pakan diberikan harian. Jenis pakan yang diberikan terdiri dari pakan buatan (semacam pelet - biasa diberikan pada burung-burung budidaya), pakan alami seperti kroto, jangkrik, belalang, ulat hongkong dan buah-buahan (pepaya dan pisang). Model perlakuan pemberian pakan dan jenis pakannya ini masih sama ketika burung masih menjalani proses sebelumnya (penangkaran sampai dengan seleksi pra pelatihan). Tidak ada pengenalan kepada pakan alami sebenarnya yang ada di habitat liarnya. Bukankah penempatan burung disini untuk dilatih untuk bisa mandiri nantinya? Mengapa masih disamakan dengan perlakuan sebelumnya? Kroto, jangkrik ataupun belalang mungkin masih bisa ditemukan di habitat lepasannya nanti, tidak untuk pelet, pisang ataupun pepaya. Pengkayaan habitat dengan penanaman pepaya atau pisang pun tidak mungkin dilakukan (pelanggaran UU no. 5/1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, pasal 33 (1) : kegiatan merubah zona inti kawasan dengan introduksi spesies asing) . Seharusnya ada saat dimana jalak bali diberi pakan alam yang ada di habitatnya sekarang, karena yang akan mendukung hidupnya nanti

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB

hanyalah buah/pakan lain yang tersedia di alam. Dukungan atau bantuan manusia nantinya setelah pelepasliaran memang masih diberikan tapi sifatnya tidak permanen dan dikurangi serta dihilangkangkan secara bertahap hingga saat satwa yang dilepaskan dapat hidup mandiri di hutan (Anonim., 2004). Jika tidak, otomatis optimalisasi kemampuan individu untuk berburu pakan di habitatnya nanti kurang, karena dalam memori burung tidak ada pengetahuan tentang jenis pakan yang ada di alam. Kalaupun ada merupakan hasil dari proses trial and error (mencoba

sesuatu untuk kemudian tahu dan disimpan dalam memori bahwa sesuatu itu baik atau tidak baik untuknya) ketika dilepas nanti. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana bisa insting liar terbentuk disini, mengingat bahwa jalak Bali yang dilepaskan ini tidak mempunyai gen liar, dilihat dari asal usul induk (Lampiran 1), gen yang ada pada jalak Bali lepasan merupakan keturunan kesekian dari gen asli. Menurut Prasetyo (2005) syarat satwa yang dilepaskan selain harus mempunyai kondisi fisik yang layak juga harus sudah memiliki insting liar seperti insting mencari mangsa bila harus mencari makan. Pelatihan kemampuan individu Kesiapan jalak Bali terhadap kondisi lingkungan di kawasan TNBB merupakan faktor penting yang harus diantisipasi ketika akan melakukan pelepasan. Pelatihan kemampuan individu ini pada dasarnya adalah pembentukan insting liar. Selama masih dalam tahap pelatihan, seharusnya dukungan manusia (pihak pengelola) adalah aktif. Jika melihat pada tujuan pelatihan, ada banyak tujuan yang tidak terpenuhi. Penilaian ini didasarkan pada kondisi penangkaran dan waktu pelatihan. Pelatihan yang ada mungkin hanya memenuhi tujuan pengenalan pemanfaatan habitat untuk bertengger atau bermain, maupun pelatihan kemampuan individu untuk bertahan pada cuaca panas. Tetapi tidak tujuan pelatihan untuk berburu pakan alam (tidak ada pohon buah sebagai pakan yang disukai jalak Bali), tidak untuk berlindung dari predator (tidak ada simulasi mengenal predator), tidak untuk pelatihan kemampuan bertahan

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB

dalam cuaca basah, serta tidak untuk pelatihan berbiak (waktu pelatihan yang terbatas, 2-3 bulan sebelum musim hujan) Adanya anggapan bahwa waktu yang akan menjawab proses adaptif. Bagaimana jika waktu tidak berpihak? Proses adaptif yang ada adalah terbentuk dengan sendirinya, dan pengetahuan burung tersebut nantinya masih sangat terbatas. Untuk hal-hal lain lagi-lagi proses trial and error yang berbicara. Seandainya yang dicoba adalah sesuatu yang benar, maka hal itu tidak menjadi masalah, tetapi jika sesuatu yang dicoba adalah sesuatu salah, akan fatal akibatnya, mungkin berakhir dengan kematian. Waktu pelatihan Lama waktu pelatihan dapat didasarkan pada siap dalam kategori fisik dan perilaku, seperti kesehatan satwa selama waktu pelatihan, perilaku umum seperti agresifitas dalam mencari pakan secara mandiri, menunjukkan perilaku liar, cukup sensitif dengan kehadiran manusia (Prasetyo, 2005). Menurut hasil pengamatan, lama waktu pelatihan setidaknya berlangsung selama kurang lebih dua sampai tiga bulan sebelum musim penghujan tiba, yaitu pada awal bulan Oktober atau Nopember. Hasil pelaporan monitoring dan evaluasi sebelumnya menyebutkan bahwa lama waktu enam bulan pelatihan menyebabkan terciptanya perilaku individu yang semakin jinak. Dapat saja terjadi hal seperti itu, sebab perlakuan burung saat pelatihan sama dengan ketika masih dipenangkaran. Yang membedakan hanyalah ukuran sangkarnya saja. Satwa dikurung, dalam waktu lama, rutin diberi pakan. Dalam keadaan ini satwa menjadi terlalu biasa dengan manusia. Bukankah sama dengan burung-burung peliharaan pada umumnya? Dengan alasan yang bersifat politis, bahkan untuk periode tahun 2005 ini jalak Bali menjalani masa pelatihan di sangkar pelatihan hanya berlangsung selama satu bulan. Hal ini menjadi bukti bahwa upaya konservasi masih bisa dibatasi oleh suatu muatan kepentingan tertentu

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB

yang sifatnya ego semata. Upaya konservasi seharusnya tidak boleh ada pembatasan, tidak boleh ada free riders yang mengambil untung tanpa memperhatikan kepentingan yang lebih besar sebagai tujuan utama. Perlu disegarkan kembali tentang amanah utama yang diemban institusi ini : kelestarian jalak Bali.

b. Pelepasan Pelepasan jalak Bali dilakukan dengan tujuan pemulihan populasi liar di alam yang saat ini dalam kondisi kritis. Kegiatan pelepasan ini dilakukan secara bertahap setiap tahunnya. Berikut grafik keadaan populasi jalak Bali :
120
rencana dilepas periode 2001-2005 jumlah populasi dilepas populasi liar diharapkan 2001-2005

106

100

populasi liar hasil survey paska pelepasan produktivitas penangkaran sampai 2004 populasi penangkaran s.d. 2004 setelah kematian, peliaran, dll

88 80

Jumlah individu

73 64 61 57 58

60

60 59 45 41 36 26 28 27 28 15 11 12 3 10 37 30 23 20

42 40

44 38 29 28 24 17 9 6 2001 Tahun 2002 2003 2004 2005 0 1999 10 21 12 10 34 24 41

20

0 1996 1997 1998

2000

Gambar 5. Grafik Keadaan Populasi Jalak Bali

Jumlah individu yang dilepas kurang dari jumlah seharusnya seperti dalam perencanaan (Program Pemulihan Populasi Lima Tahunan Jalak Bali) dikarenakan produktivitas penangkaran dibatasi oleh anggaran. Anggaran jatah makanan pada tahun berjalan faktor keterbatasan jatah makanan dimana jatah anggaran mengikuti jumlah yang telah diajukan sebelumnya sedangkan populasi pada tahun berjalan terus bertambah. Disamping hal tersebut, pengelola masih harus

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB

menyisihkan anakan (dengan kualitas yang sama dengan jalak Bali yang dilepas) yang diperuntukkan sebagai calon induk.

c. Monitoring Monitoring merupakan kegiatan lanjutan paska pelepasan yang

dilaksanakan oleh tenaga fungsional Pengendali Ekosistem Hutan (PEH), dimulai sejak peliaran hingga periode peliaran tahun berikutnya. Monitoring dilaksanakan setiap dua hari sekali, sekaligus pemberian pakan di lokasi pelepasan. Dalam kegiatan ini dilakukan pendataan mengenai : kemampuan adaptasi jalak Bali dalam pemanfaatan habitat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya seperti pakan dan air, vegetasi untuk berlindung dari keadaan cuaca dan predator, vegetasi sebagai tempat untuk beristirahat dan tidur, vegetasi sebagai tempat untuk berkembang biak, kemampuan untuk melakukan aktivitas biaknya secara alamiah dengan memanfaatkan media biak alam maupun buatan, pendataan mengenai faktor-faktor tertentu yang berpengaruh sebagai faktor pembatas kelangsungan hidup jalak Bali, seperti predator, komponen habitat, termasuk juga adanya indikasi perburuan liar. Menurut hasil pengamatan kegiatan yang ada lebih disebut sebagai kegiatan pemberian pakan daripada kegiatan monitoring. Jika perilaku harian jalak Bali didefinisikan sebagai perilaku 12 jam maka ada informasi yang kurang. Monitoring yang dilakukan selama ini berlangsung beberapa jam saja. Sisa jam pengamatan selanjutnya dibawah tenaga fungsional Polisi kehutanan (Polhut), akan tetapi sifat observasinya adalah keamanan semata, nilai informasi yang bersifat ekologis tentunya akan lebih bermakna ketika observasi dilakukan oleh tenaga yang sesuai peruntukkannya. Menurut penilaian kami, seperti ada perasaan jenuh, atau telah terbiasa karena kegiatan ini telah berlangsung sejak 1998 sehingga data-data tentang perilaku harian seperti sudah bisa ditebak, sudah terekam seperti keadaan pelepasliaran tahun-tahun sebelumnya. Pelepasliaran adalah permanen, akan tetapi bantuan atau dukungan

manusia masih diberikan dan dikurangi serta dihilangkan secara bertahap.

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB

Bantuan dan dukungan dalam hal ini seperti pakan,

air, maupun keamanan

habitat. Perlakuan pemberian pakan dan air paska pelepasan dilakukan bersamaan dengan kegiatan monitoring. Hanya saja jenis pakan yang diberikan masih sama dengan ketika menjalani prsoses sebelumnya (penangkaran sampai pelatihan), masih tetap pelat atau kroto kristal, ulat hongkong, pisang dan pepaya. Pertanyaan masih sama, bukankah pakan-pakan tersebut tidak pernah bisa ditemukan di habitat alamnya yang sekarang?

4. 3. Habitat 4. 3. 1. Tipe habitat Menurut catatan, tipe vegetasi sebagai habitat jalak Bali dibedakan menjadi tiga yaitu hutan mangrove, hutan musim dan savana. Hanya hutan musim dan savana yang mendukung kebutuhan pakan sedangkan hutan mangrove mendukung kebutuhan air karena pada daerah ini terdapat cekungan-cekungan yang dapat menyimpan air. Menurut catatan, tipe vegetasi tahun 1920, digambarkan dengan savana kering, hutan semak, sampai hutan tinggi lebat sebagai habitat jalak Bali. Selama musim berkembang biak, populasi liar yang tersisa menempati semak belukar yang mudah terbakar dan hutan savana, dapat diketemukan pada ketinggian 150175 m di sebelah Timur Semenanjung prapat Agung. Habitat ini didominasi oleh pilang (Acacia leucophloea), kerasi (Lantana camara), kirinyuh (Eupatorium inufolium), serta alang-alang (Imperata cylindrica). Habitat ini terpotong-potong dengan adanya lembah basah dan berdaun lebat yang didominasi oleh talok (Grewia koordersiana), laban ( Vitex pubescens), lontar (Borassus flabellifer), dan walikukun (Schoutenia ovata). Berdasarkan observasi visual tipe habitat hutan savana yang sekarang lebih tepat disebut sebagai hutan sekunder (peralihan dari tipe savana ke hutan musim). Hutan savana yang ada sekarang dideskripsikan sebagai hutan tiang dengan sedikit spot-spot padang rumput (Gambar 6), bukan savana pilang lagi seperti yang sudah dikenal. Ada beberapa spesies dominan penyusun hutan musim dan savana yaitu intaran (Azadirachta indica) dan kemloko (Phylanthus emblica),

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB

serta kerasi (Lantana camara)

yang patut mendapat perhatian pengelola.

Terutama jenis intaran, segera, mengapa? Karena merupakan spesies eksotik yang sifatnya invasif. Sifat invasif jenis ini dapat dilihat dari dominasi jenis tersebut yang menurut hasil penelitian Maharani (2003) berdasarkan skor INP (Indek Nilai Penting), intaran dan kemloko menduduki peringkat atas dari vegetasi berhabitus pohon yang ditemukan. Dari pengalaman-pengalaman pengelolaan konservasi

memberikan fakta bahwa spesies invasi selalu mengalahkan vegetasi asli. Contoh kasus seperti penutupan savana oleh Acacia nilotica di Taman Nasional Baluran. Menurut catatan pula, tidak pernah ada laporan pohon intaran bermanfaat untuk mendukung keperluan hidup Jalak Bali (manfaat dalam arti penyedia pakan atau pemanfaatan pohon untuk berbiak).

Gambar 6. Habitat Jalak Bali di Teluk Brumbun 4. 3. 2. Produktivitas pakan Teluk brumbun dipilih sebagai tempat pelatihan sekaligus lokasi pelepasan berdasarkan catatan bahwa Teluk brumbun merupakan lokasi terakhir

ditemukannya populasi liar Jalak Bali. Menurut Masyud , (2002) syarat pakan yang baik yang perlu diperhatikan oleh setiap pengelola satwa, baik untuk satwa yang hidup bebas dialam (in-situ) maupun di luar habitat atau dalam suatu penangkaran (ex-situ), yakni :

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB

Ragam makanan, artinya makanan yang disediakan sedapat mungkin adalah makanan yang beragam sehingga satwa memiliki relung yang lebih luas. Cukup, artinya makanan tersebut harus sesuai jumlahnya dengan kebutuhan satwa. Sempurna, artinya makanan tersebut harus sesuai unsur-unsur gizi yang diperlukan satwa baik protein, lemak, mineral, vitamin, dan energi. Disukai ( palatable ), artinya makanan yang dikelola adalah makanan yang banyak dikonsumsi satwa. Sesuai dengan kebiasaan satwa ( food habit ). Kontinuitas ketersediaan, artinya makanan tersebut harus selalu tersedia secara terus-menerus. Menurut hasil penelitian tentang potensi pakan jalak Bali di Teluk

Brumbun (Maharani, 2003) bahwa ketersediaan vegetasi pakan Jalak Bali berdasarkan kebutuhan pakan harian (pakan buah) dengan total biomassa yang ada melebihi kebutuhan pakan jalak Bali. Tetapi jenis vegetasi pakan yang ada keanekaragamannya relatif rendah. Hanya potensi yang tinggi tersebut termasuk juga nilai biomassa dari intaran dan kemloko, padahal seperti yang telah disinggung pada bahasan sebelumnya menurut catatan jalak Bali (dalam populasi liarnya) tidak pernah memakan buah intaran dan buah kemloko . Sehingga perlu ada konfirmasi ilmiah mengenai pakan jalak Bali di alam sebenarnya, sesuai dengan syarat pakan disebut diatas. Jikalau harus dilakukan pengkayaan habitat pun, jenis-jenis yang harus ditanam sebagai pakan disesuaikan dengan hasil penelitian dimaksud.

4. 3. 3. Iklim kering dan kebakaran hutan Habitat terakhir jalak bali di Semenanjung Prapat Agung sebelah Timur Laut merupakan daerah beriklim monsoon kering, dengan curah hujan rendah (rata-rata 40 mm per bulan); musim penghujan mulai Desember sampai April dan musim kemarau mulai Juni sampai Oktober (dalam Anonim., 1995). Keadaan iklim ini berpengaruh terhadap terjadinya penurunan daya dukung habitat untuk

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB

dapat menyangga kelangsungan hidup setiap organisme didalamnya. Setuju, habitat dilanda bencana rawan pakan dan air. Akan tetapi keadaan ini belum diketahui apakah menambah jumlah kematian dari populasi liar jalak Bali. Sebab keadaan ini merupakan rutinitas iklim monsoon, terjadi berulang dari tahun ke tahun. Populasi-populasi liar akan selalu cenderung untuk teradaptasi dengan baik terhadap keadaan habitatnya ini, kecuali keadaan iklim adalah ekstrim. Menurut catatan, populasi liar pada musim kemarau masih bisa memanfaatkan kubangan air di lantai hutan bakau. Musim berbiak pun mengikuti irama musim, musim berbiak jalak Bali (dalam kehidupan liarnya) bertepatan dengan musim penghujan. Permulaan hujan memicu pertumbuhan tunas muda dan daun-daunan makanan ulat bulu, yang merupakan makanan utama anak burung di tahap-tahap awal setelah ditetaskan. Satu hal lagi sebagai ciri khas habitat yang beriklim monsoon kering yaitu terjadinya kebakaran. Kebakaran yang terjadi secara berulang-ulang akhirnya menghasilkan vegetasi klimaks berupa padang rumput (savana). Kehadiran api ini sebenarnya penting sebagai bagian dari terbentuknya lingkungan savana. Savana adalah klimaks karena api. Api menjaga lingkungan savana dari perubahan ke arah hutan sekunder. Padang savana merupakan tempat mencari makan yang baik bagi banyak satwa (Alikodra, 1990). Menurut teorinya, kebakaran merupakan faktor yang dapat mematikan atau mengurangi populasi satwa liar secara langsung. Akan tetapi menurut catatan, sejarah kebakaran di TNBB bagaimanapun telah memberi dampak positif bagi jalak Bali. Beberapa tanaman yang berguna bagi biologis jalak Bali (krasi dan pilang) mendapat manfaat dari kebakaran tersebut. Terlebih lagi hasil dari pembukaan ladang alang-alang menarik mamalia besar untuk merumput, dimana jalak Bali sering terlihat menunggang rusa (hubungan mutualisme) (Dirgayusa dalam Anonim., 1995)

4. 3. 4. Pesaing dan predator Beberapa burung yang menjadi pesaing dalam penggunaan pakan/air, pemanfaatan ruang dan sarang biak diantaranya yaitu jalak putih ( Sturnus

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB

melanopterus),

jalak

hitam (Acridocteres javanica),

bultok (Megaleima

armiliaris), terocok (Picnototus gouavier), kacer dan punai. Kompetisi langsung pesaing dalam pemanfaatan habitat yang sama ini sifatnya masih dugaan, belum ada observasi sebagai konfirmasi ilmiah untuk melihat hal tersebut apakah berpengaruh terhadap penurunan populasi liar jalak Bali karena kalah bersaing dalam memanfaatkan habitat yang sama? (Anonim., 1994). Beberapa predator penyebab langsung penurunan populasi liar jalak Bali seperti tikus (Rattus sp.), gagak (Corvus macrorhyncus), elang (Spizaetus malayanus), alap-alap (Elanus caeruleus) (Pujiati, 1987). Predator potensial yang mengancam populasi liar jalak Bali antara lain biawak ( Varanus salvator), ular, dan serta tokek yang mengganggu sarang biak ( Anonim., 1994). Predatorpredator ini sama sifatnya dengan pesaing, masih bersifat dugaan, karena kehadiran mereka nyata ada sehingga dianggap potensial. Namun belum ada observasi sebagai konfirmasi ilmiah untuk melihat hal tersebut apakah berpengaruh terhadap penurunan populasi liar jalak Bali.

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5. 1. Kesimpulan

Setuju, bahwa teknlogi penangkaran telah berhasil dikuasai ditunjukkan dengan produktivitas dipenangkaran yang cukup menggembirakan, dilihat dari jumlah individu di penangkaran yang mencapai 100 ekor lebih (tahun 2005). Tetapi tidak setuju, untuk teknik pelepasliaran. Teknik pelepasliaran yang telah dilakukan dalam upaya pengembalian jalak Bali ke habitatnya belum cukup untuk bisa dikatakan menjamin jalak Bali hasil pelepasan dapat survive dan hidup mandiri. Tidak cukup memberi bekal keahlian untuk bisa hidup tanpa dukungan manusia. Habitat jalak Bali di sekitar Teluk Brumbun telah mengalami pergeseran tipe vegetasi dari savana menjadi hutan sekunder. Di luar masalah keamanan, faktor pembatas populasi liar adalah ketidaksiapan jalak Bali beradaptasi dengan lingkungan barunya dan

ketidaksiapan habitat untuk mendukung kehidupan jalak Bali.

5. 2. Saran Perlu pengembangan skill teknik pelepasliaran, sharing masalah kepada ahlinya seperti organisasi penyelamatan satwa (jaringan PPS indonesia) Pemusnahan spesies eksotik yang bersifat invasif seperti intaran (Azadirachta indica) untuk melindungi tipe vegetasi asli terutama savana, yang meruapakan habitat bagi jalak Bali dan satwa liar lain. Penambahan anggaran untuk peningkatan produktivitas di penangkaran sehingga jumlah yang dilepasliarkan akan lebih banyak. Kegiatan konsevasi sebaiknya tidak berorientasi pada proyek, demi tujuan mulia konservasi itu sendiri.

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB

DAFTAR PUSTAKA

Abey, Ridwan, 1999. Kembali ke Alam. BICONS-PPSC. www. jaringanpps.org/jar_pps_news_view.php?newsid=4. Anonimous, 1976. Kehidupan Satwa Burung Jalak Putih Bali (Curik Putih) Leucopsar rothschildi. Seksi Perlindungan dan Pengawetan Alam Bali, Singaraja-Bali. _________, 1994. Laporan Inventarisasi Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) di Taman Nasional Bali Barat. Balai Taman Nasional Bali Barat, Cekik-Bali. _________, 1995. Laporan Workshop Jalak Bali. Proyek Pengambangan Taman Nasional Bali Barat T.A. 1995/1996. Balai Taman Nasional Bali Barat, Cekik-Bali. _________, 1999. Penangkaran In Situ untuk Pelestarian Jalak Bali (Leucopsar rothschildi). Taman Nasional Bali Barat, Cekik-Bali. _________, 2001. Monitoring Pelepasan Jalak Bali (Leucopsar rothschildi Stressmann 1912) di Balai Taman Nasional Bali Barat. Proyek Pemantapan Pengelolaan Balai Taman Nasional Bali Barat. Cekik-Bali. _________, 2002. Teknik Pengelolaan Margasatwa. Laboratorium Suaka Alam. Fakultas Kehutanan UGM Yogyakarta (Tidak dipublikasikan). _________, 2004. Proyek-proyek BOS. Yayasan Penyelamatan Orangutan Borneo/BOSFoundation. http://elisa.ugm.ac.id/files/cahyonoagus/tLOdEisC/Study%20guidelines% 20BI%20revisi%20062004.doc. Dartosoewarno, Soedirun, 2001. Pelestarian Jalak Bali di Taman Nasional Bali Barat Kendala, Tantangan, dan Strategi. Disajikan dalam Rangka Rencana Pelepasan dan Peliaran ke Habitat Alami Burung Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) Hasil Penangkaran. Taman Nasional Bali Barat, Cekik-Bali. ___________, 2004. Taman Nasional Bali Barat : Strategi Meminimalisir Aksi Ilegal di dalam Kawasan. Balai Taman Nasional Bali Barat, CekikBali. Laine, Elisabeth, 2004. Mari Kita Belajar Tentang Taman Nasional Bali Barat. Satelit Multi Computer. Negara- Bali.

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB

Maharani, Desi Sagita, 2003. Studi Potensi Vegetasi Pakan Jalak Bali (Leucopsar rothschildi Stressmann 1912) di Teluk Brumbun Taman Nasional Bali Barat. Program Diploma III Konservasi Sumberdaya Hutan. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB, Bogor (Tidak Dipublikasikan). Pujiati, 1987. Studi Populasi Jalak Bali (Leucopsar rothschildi Stressmann 1912) di Taman Nasional Bali Barat. Skripsi Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB, Bogor (Tidak Dipublikasikan). Prasetyo, Sulung, 2005. Melepasliarkan Satwa, seperti Melempar Koin. Harian Sore Sinar Harapan, 25 Desember 2005 No. 4690. Pribadi, Agus, 2001. Studi Komposisi Pakan Jalak Bali (Leucopsar rothschildi ) di Penangkaran Taman Nasional Bali Barat. Laporan Kerja Lapangan. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPM, Malang (Tidak Dipublikasikan). Suryawan, Wawan, 1994. Inventarisasi Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) di Taman Nasional Bali Barat. Balai Taman Nasional Bali Barat, Cekik-Bali. Suryawan, Wawan, 2004. Penangkaran Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) di Penangkaran Taman Nasional Bali Barat. Taman Nasional Bali Barat. Cekik-Bali. Shannaz, Jepson dan Rudyanto, 1995. Burung-burung Terancam Punah di Indonesia. PHPA/ BirdLife International-Indonesia Programme. Bogor.

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB

Lampiran 1. Tabel Asal Usul Induk Transfer Jalak Bali dalam Kegiatan Penangkaran TNBB

No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.

Transfer Tahun Jumlah 1995 3 1996 6 1997 12 1998 10 1999 7 2000 2001 2002 4 2003 9 2004 22 73

Jumlah 3 8 20 30 31 17 5 9 14 30

Asal
Keterangan :

KBS KBS/DPS TMII/BDG TMII KBS/MDN/TSI DKI/BDG DKI DKI/JEPANG

KBS : Kebun Binatang Surabaya TMII : Taman Mini Indonesia Indah TSI : Taman Safari Indonesia DKI : BKSDA DKI DPS : penangkar di Denpasar BDG : penangkar di Bandung MDN : penangkar di Madiun JEPANG : pemerintah Jepang

Sumber : Dartosoewarno, 2004

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB

Lampiran 2. Vegetasi Penting untuk Jalak Bali (Laine, 2004) Jenis Pohon walikukun talok kesambi laban kepuh dadap pilang kemloko buta-buta bekul* sawo kecik krasi* * semak Manfaat Makanan ada, ulat daun ada, buah dan ulat daun ada, buah da ulat buah ada, ulat bunga ada, daging biji ada, madu bunga, ulat ada, ulat bunga dan daun ada, daging buah busuk ada, ulat daun ada, buah dan ulat buah ada, buah ada, buah Sarang ada, lubang alami ada, lubang alami ada, lubang alami ada, lubang alami Status asli daerah, langka asli daerah, langka asli daerah, langka asli daerah, langka asli daerah, langka asli daerah asli daerah, langka aksotik, langka asli daerah eksotik eksotik, langka eksotik

ada, lubang alami

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB

Anda mungkin juga menyukai