Anda di halaman 1dari 11

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia.

Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir dengan semangat "koreksi total" atas penyimpangan yang dilakukan oleh Soekarno pada masa Orde Lama. Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar. Era Pasca Soeharto atau Era Reformasi di Indonesia dimulai pada pertengahan 1998, tepatnya saat Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 dan digantikan wakil presiden BJ Habibie. Krisis finansial Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia melemah dan semakin besarnya ketidak puasan masyarakat Indonesia terhadap

pemerintahan pimpinan Soeharto saat itu menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran yang dilakukan berbagai organ aksi mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia. Pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto dari segi ekonomi dapat dikatakan membangun perekonomian Indonesia pasca jatuhnya rezim Orde Lama yang juga dibarengi dengan turunnya perekonomian pada masa akhir pemerintahan Orde Lama. Seoharto pada masa Orde Baru yang menjadi presiden Republik Indonesia dijuluki sebagai Bapak Pembangunan.

Pembangunan di segala bidang yang khususnya pembangunan dalam bidang perekonomian adalah salah satu kebijakan Soeharto yang paling menonjol.

B. Rumusan Masaalah Berkaitan dengan judul makalah ini Sejarah Era Orde Baru Dan Era Reformasi tersebut, maka masalah yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut : 1. Mengapa harus mahasiswa yang menjadi ujung tombak dalam gerakan demokrasi pada Era Pasca Orde Baru. 2. Sejarah dan perkembangan bangsa Indonesia pada tahun 1996 1998 (Orde Baru) hingga masa Era Reformasi (1998 sekarang.

BAB II PEMBAHASAN

A. Stabilitas dan Konsolidasi Ekonomi Pada masa Orde Baru, pemerintah menjalankan kebijakan yang tidak mengalami perubahan terlalu signifikan selama 32 tahun. Dikarenakan pada masa itu pemerintah sukses menghadirkan suatu stablilitas politik sehingga mendukung terjadinya stabilitas ekonomi. Karena hal itulah maka pemerintah jarang sekali melakukan perubahan-perubahan kebijakan terutama dalam hal anggaran negara. Pada masa pemerintahan Orde Baru, kebijakan ekonominya berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ekonomi tersebut didukung oleh kestabilan politik yang dijalankan oleh pemerintah. Hal tersebut dituangkan ke dalam jargon kebijakan ekonomi yang disebut dengan Trilogi Pembangungan, yaitu stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi yang stabil, dan pemerataan pembangunan. Hal ini berhasil karena selama lebih dari 30 tahun, pemerintahan mengalami stabilitas politik sehingga menunjang stabilitas ekonomi. Kebijakankebijakan ekonomi pada masa itu dituangkan pada Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN), yang pada akhirnya selalu disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk disahkan menjadi APBN. APBN pada masa pemerintahan Orde Baru, disusun berdasarkan asumsiasumsi perhitungan dasar. Yaitu laju pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, harga ekspor minyak mentah Indonesia, serta nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Asumsi-asumsi dasar tersebut dijadikan sebagai ukuran fundamental ekonomi nasional. Padahal sesungguhnya, fundamental ekonomi nasional tidak didasarkan pada perhitungan hal-hal makro. Akan tetapi, lebih kearah yang bersifat mikroekonomi. Misalnya, masalah-masalah dalam dunia usaha, tingkat resiko yang tinggi, hingga penerapan dunia swasta dan BUMN yang baik dan bersih. Oleh

karena itu pemerintah selalu dihadapkan pada kritikan yang menyatakan bahwa penetapan asumsi APBN tersebut tidaklah realistis sesuai keadaan yang terjadi. Format APBN pada masa Orde Baru dibedakan dalam penerimaan dan pengeluaran. Penerimaan terdiri dari penerimaan rutin dan penerimaan pembangunan serta pengeluaran terdiri dari pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Sirkulasi anggaran dimulai pada 1 April dan berakhir pada 31 Maret tahun berikutnya. Kebijakan yang disebut tahun fiskal ini diterapkan seseuai dengan masa panen petani, sehingga menimbulkan kesan bahwa kebijakan ekonomi nasional memperhatikan petani. APBN pada masa itu diberlakukan atas dasar kebijakan prinsip berimbang, yaitu anggaran penerimaan yang disesuaikan dengan anggaran pengeluaran sehingga terdapat jumlah yang sama antara penerimaan dan pengeluaran. Hal perimbangan tersebut sebetulnya sangat tidak mungkin, karena pada masa itu pinjaman luar negeri selalu mengalir. Pinjaman-pinjaman luar negeri inilah yang digunakan pemerintah untuk menutup anggaran yang defisit. Ini artinya pinjaman-pinjaman luar negeri tersebut ditempatkan pada anggaran penerimaan. Padahal seharusnya pinjaman-pinjaman tersebut adalah utang yang harus dikembalikan, dan merupakan beban pengeluaran di masa yang akan datang. Penerapan kebijakan tersebut menimbulkan banyak kritik, karena anggaran defisit negara ditutup dengan pinjaman luar negeri. Padahal, konsep yang benar adalah pengeluaran pemerintah dapat ditutup dengan penerimaan pajak dalam negeri. Sehingga antara penerimaan dan pengeluaran dapat berimbang. Permasalahannya, pada masa itu penerimaan pajak saat minim sehingga tidak dapat menutup defisit anggaran.

B. Stabilitas Politik dan Keamanan Pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.
4

Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya. Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya. Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Baru. Pengucilan politik - di Eropa Timur sering disebut lustrasi dilakukan terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminal dilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat "dibuang" ke Pulau Buru. Sanksi nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melalui pembuatan aturan administratif. Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi kekuatan lama ikut dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol). Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.

Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II 1966 dan konsep akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo. Soeharto merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwitujuan, bisa tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu menciptakan sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi. Di masa Orde Baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa Indonesia. Setiap hari media massa seperti radio dan televisi mendengungkan slogan "persatuan dan kesatuan bangsa". Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi dari daerah yang padat

penduduknya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa, terutama ke Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya. Namun dampak negatif yang tidak diperhitungkan dari program ini adalah terjadinya marjinalisasi terhadap penduduk setempat dan kecemburuan terhadap penduduk pendatang yang banyak mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa program transmigrasi sama dengan jawanisasi yang sentimen anti-Jawa di berbagai daerah, meskipun tidak semua transmigran itu orang Jawa. Pada awal Era Reformasi konflik laten ini meledak menjadi terbuka antara lain dalam bentuk konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan. Sementara itu gejolak di Papua yang dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian keuntungan pengelolaan sumber alamnya, juga diperkuat oleh ketidaksukaan terhadap para transmigran. C. Kebijakan Pemerintah Bidang Sosial Budaya 1. Meningkatnya pelayanan kesehatan Pelayanan kesehatan dan memberikan kebebasan terhadap seluruh masyarakat untuk menjaga dan melestarikan budaya masing-masing, sebagai peninggalan nenek moyang mereka, dengan seperti itu masyarakat lebih menjaga keaneka ragaman budaya yang ada di daerah masing-masing.
6

2. Fasilitas pendidikan dasar sudah semakin merata Dimana kita tahu bersama bahwa Pendidikan dasar di zaman pemerintahan Orde Lama sangat minim, dan bahkan banyak masyarakat yang masi buta baca, dengan adanya kebijakan dari pemerintah tentang pemerataan Pendidikan dan juga beberapa program tentang pemberantasan buta Baca. Kebijakan pembangunan nasional Indonesia selama masa orde baru, yang dirumuskan dalam program Pembangunan Jangka Panjang (PJP), telah berhasil mengangkat angka pertumbuhan ekonomi yang meyakinkan pada saat itu. Namun di sisi lain, keterlibatan masyarakat baik dalam proses maupun dalam pemanfaatan hasil, belum mencapai tingkatan yang merata (adil). Sebaliknya, proses dan hasil pembangunan tersebut masih sangat terkonsentrasi pada sekelompok kecil masyarakat, terutama para pemilik modal. Kondisi tersebut sangat dimungkinkan, mengingat model pembangunan yang dilakukan lebih berorientasi pada pencapaian pertumbuhan ekonomi, dengan konsekuensi menjadikan uang atau capital sebagai yang paling pokok. Dengan demikian, kelompok masyarakat yang terlibat dalam proses maupun pemanfaatan hasil, terbatas pada mereka yang kuat secara ekonomi. Pada gilirannya, kondisi ini menyebabkan keresahan sosial yang berujung pada krisis multidimensi dan ancaman disintegrasi nasional (Aris Munandar, 2002: 12).

D. Normalisasi Politik Luar Negeri Pada awal kepemimpinannya, Soeharto bersikap pasif terhadap masalah politik luar negeri Indonesia. Soeharto mempunyai dewan penasihatnya sendiri untuk membantunya dalam pengambilan keputusan. Hal ini menunjukkan bahwa ia tidak terlibat secara penuh pada perumusan kebijakan terutama berkaitan dengan politik luar negeri Indonesia. Menurut Roeder (dalam Suryadinata, 1998: 48), alasan keterlibatan Soeharto yang tidak penuh dalam perumusan politik luar negeri adalah karena Soeharto tidak memiliki banyak pengalaman terkait dengan masalah-masalah internasional sehingga Soeharto tidak terlalu tertarik pada
7

politik luar negeri. Pada awal Orde Baru ini terdapat sedikitnya dua pembantu perumus politik luar negeri Indonesia yakni militer (Departemen Pertahanan dan Keamanan, Lembaga Pertahanan Nasional dan Badan Koordinasi Intelijen Negara) dan Departemen Luar Negeri. Dalam pemerintahan Soeharto ini terdapat pembagian kerja yakni Deplu menangani politik luar negeri pada bidang politik, militer berurusan dengan politik luar negeri kaitannya dengan masalah keamanan dan Bappenas berhubungan dengan masalah ekonomi (Suryadinata, 1998: 55). Walaupun pada kenyataannya, militer, apalagi setelah kudeta 1965, lebih sering mengintervensi urusan politik luar negeri ini di berbagai bidang. Perbedaan arah politik luar negeri Indonesia dari orde Lama ke Orde Baru dapat dilihat dari orientasi kebijakan luar negeri Indonesia yang tidak lagi berdikari atau berorientasi ke dalam dan menutup diri dari bantuan asing, namun juga berorientasi ke luar yakni berusaha membangun hubungan persahabatan dengan pihak asing terutama negara-negara Barat. Orientasi ke dalam berupa pembangunan didukung oleh adanya hubungan dengan pihak asing bertujuan untuk melancarkan pembangunan itu sendiri. Kebijakan yang digunakan pun kebijakan pintu terbuka, dengan meningkatkan investasi asing dan mencari bantuan dana untuk merehabilitasi ekonomi Indonesia (Suryadinata, 1998: 44). Soeharto mengupayakan agar Indonesia mampu berperan dominan dalam permasalahan baik regional maupun internasional. Konfrontasi yang ada pun dikesampingkan terlebih dahulu dan mengedepankan perdamaian, karena menurutnya stabilitas regional diperlukan untuk menjamin keberhasilan rencana pembangunan (Suryadinata, 1998: 45). Fokus dan perhatian Indonesia pada faktor stabilitas keamanan ini menunjukkan bahwa Soeharto mulai tertarik dengan politik luar negeri. Hal ini diimplementasikan dalam Deklarasi Bangkok dimana Indonesia meminta pangkalan militer asing di kawasan Asia Tenggara harus bersifat sementara dan juga masalah intervensi Indonesia di Timor Timur. Pemerintahan Orde Baru ini juga menunjukkan penyimpangan dari arah politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif. Pada era ini terlihat bahwa Indonesia
8

memiliki kecenderungan untuk mendekati negara-negara Barat dan menjauhi negara-negara komunis (Suryadinata, 1998: 46). Sikap ini dapat dilihat dari hubungan beku antara Indonesia dengan RRC. Presiden Soeharto mulai menampakkan ketertarikannya pada urusan politik luar negeri pada tahun 1980-an, khususnya setelah pemilu tahun 1982. Soeharto menjadi lebih aktif dalam perumusan politik luar negeri Indonesia dengan menjalankan politik luar negeri tingkat tinggi bagi Indonesia (Suryadinata, 1998: 63). Soeharto menjadi semakin percaya diri dengan kemenangan mutlak yang diraihnya dan partainya dalam pemilu 1982. Politik luar negeri Indonesia pun semakin berorientasi keluar. Indonesia semakin berkeinginan untuk memainkan peran dominan dalam masalah regional maupun ekstra-regional (Suryadinata, 1998: 46). Hal ini dapat dilihat dengan upayanya memunculkan citra Non-Blok dan menjadi pemimpin Gerakan Non-Blok. Meningkatnya peran aktif Soeharto dalam politik dalam maupun luar negeri dapat dilihat dari masalah Timor Timur. Pada tahun 1980-an, Timor Timur telah berada di bawah kendali Indonesia dan Soeharto merasa bahwa saat itu adalah saat yang tepat bagi Indonesia untuk berperan aktif dalam masalah-masalah internasional (Suryadinata, 1998: 63). Soeharto mulai mengemukakan inisiatifinisiatifnya berkaitan dengan masalah internasional dan politik luar negeri Indonesia diantaranya tanggapannya terhadap peristiwa Dili dimana ia berada dalam kendali penuh, proses normalisasi hubungan dengan RRC walaupun ditentang oleh pihak militer dan masalah pengambilalihan Timor Timur. Indonesia mulai aktif menunjukkan peran kepemimpinannya kepada kawasan regional maupun dunia internasional. Indonesia mulai antusias mendukung APEC, terlibat sebagai Ketua Gerakan Non Blok, menjadi penengah antara Singapura dan Malaysia dan berupaya membantu memecahkan masalah Kamboja dimana hal ini dinilai oleh banyak pengamat sebagai cara Indonesia menunjukkan kepemimpinan regional (Suryadinata, 1998: 65-66).

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan Pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto dari segi ekonomi dapat dikatakan membangun perekonomian Indonesia pasca jatuhnya rezim Orde Lama yang juga dibarengi dengan turunnya perekonomian pada masa akhir pemerintahan Orde Lama. Seoharto pada masa Orde Baru yang menjadi presiden Republik Indonesia dijuluki sebagai Bapak Pembangunan.

Pembangunan di segala bidang yang khususnya pembangunan dalam bidang perekonomian adalah salah satu kebijakan Soeharto yang paling menonjol. Selama tahun 1964-1966, hiperinflasi melanda Indonesia dengan akibat lumpuhnya perekonomian. Pemerintah Orde Baru di bawah pimpinan Jenderal Soeharto yang mulai memegang kekuasaan pemerintahan pada bulan Maret 1966 memberikan prioritas utama bagi pemulihan roda perekonomian. Sejumlah ahli ekonomi dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ditarik sebagai penasehat ekonomi pemerintah, dan bebarapa di antaranya kemudian menduduki jabatan penting dalam kabinet. Menjelang tahun 1969 stabilitas moneter sudah tercapai dengan cukup baik, dan pada bulan April tahun itu Repelita I dimulai. Dasawarsa setelah itu penuh dengan peristiwa-peristiwa penting bagi perkembangan ekonomi di Indonesia. Perekonomian tumbuh lebih cepat dan lebih mantap dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, pergeseran-pergeseran telah terjadi dalam struktur perekonomian dan komposisi output nasional. B. Saran Semoga dengan adanya makalah ini, teman-teman dan juga masyarakat yang membacanya dapat lebih memahami tentang Kebijakan Pemerintah di masa Orde Baru, agar tidak dengan mudahnya melupakan Sejarah Negara kita yang sangat kita Cintai ini.

10

DAFTAR PUSTAKA

Anon, 2008. Soeharto dan Kebijkaan Luar Negeri RI [Online].dalam http://beritasore.com/2008/01/12/soeharto-dan-kebijakan-luar-negeri-ri/ [diakses pada 22 Oktober 2013]. Elson, R E. 2001. Suharto: A Political Biography. Cambridge: Cambridge University Press Namira, Kiki. 2009. Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru dan Reformasi, Medan : Universitas Sumatera Utara Tersedia di http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/14868 (diunduh pada 22 Oktober 2013) Pudjiastuti, Tri Nuke. 2008. Politik Luar Negeri Indonesia Era Orde Baru, dalam Ganewati Wuryandari (ed.), 2008. Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Pusaran Politik Domestik. Jakarta: P2P LIPI dan Pustaka Pelajar. hlm. 112-173. Suryadinata, Leo, 1998. Politik Luar Negeri Indonesia Selama Orde Baru (1): Munculnya Militer, dalam Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Soeharto, [terj.], Jakarta, LP3ES, hlm. 43-62 Suryadinata, Leo, 1998. Politik Luar Negeri Indonesia Selama Orde Baru (2): Peran Tegas Presiden, dalam Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Soeharto, [terj.], Jakarta, LP3ES, hlm. 63-82.

11

Anda mungkin juga menyukai