BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Salah satu tujuan yang ingin dicapai dalam Pembangunan Menuju Indonesia Sehat 2015 yang diadopsi dari Millennium Development Goals(MDGs-2015) ialah membawa pembangunan kearah yang lebih adil bagi semua pihak, bagi manusia dan lingkungan hidup, bagi laki-laki dan perempuan, bagi orang tua dan anak-anak, serta bagi generasi sekarang dan generasi mendatang. Salah satu sasarannya adalah penurunan Angka Kematian Anak. Program Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada anak merupakan salah satu pemberantasan penyakit yang termasuk dalam Program Pembangunan Nasional.(Depkes RI, 2010). Penyakit saluran pernapasan merupakan salah satu penyebab kesakitan dan kematian yang paling penting pada anak. Salah satu penyakit saluran pernapasan pada anak adalah pneumonia. Pneumonia merupakan penyakit yang sering terjadi dan setiap tahunnya menyerang sekitar 1% dari seluruh penduduk di Amerika Serikat. Meskipun telah ada kemajuan dalam bidang antibiotik, pneumonia tetap merupakan penyebab kematian terbanyak keenam di Amerika Serikat (Price & Wilson, 2006). Munculnya organisme nosokomial yang didapat dari rumah sakit yang resisten terhadap antibotik, ditemukannya organisme organisme yang baru (sepertiLegionella), bertambahnya jumlah penjamu yang lemah daya tahan tubuhnya dan adanya penyakit seperti AIDS semakin memperluas spektrum dan derajat kemungkinan penyebab penyebab pneumonia, dan ini menjelaskan mengapa pneumonia masih merupakan masalah kesehatan yang mencolok (Price & Wilson, 2006). Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama pada anak dinegara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak berusia dibawah lima tahun (balita). Diperkirakan hampir seperlima kematian anak diseluruh dunia, lebih kurang 2 juta anak balita, meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar di Afrika dan Asia Tenggara. Menurut survei kesehatan nasional (SKN) 2001, 27,6% kematian bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit sistem respiratori, terutama peumonia (Nastiti N.Rahajoe dkk, 2010).
Terdapat berbagai faktor resiko yang menyebabkan tingginya angka mortalitas pneumonia pada anak balita dinegara berkembang. Faktor resiko tersebut adalah pneumonia yang terjadi pada masa bayi, berat badan lahir rendah (BBLR), tidak mendapat imunisasi, tidak mendapat ASI yang adekuat, malnutrisi, defisiensi vitamin A, tingginya prevalensi kolonisasi bakteri patogen di nasofaring, dan tingginya pajanan terdapat polusi udara (polusi industri atau asap rokok) (Nastiti N.Rahajoe dkk, 2010). Bayi dan anak kecil lebih rentan terhadap penyakit ini karena respon imunitas mereka masih belum berkembang dengan baik. Pneumonia seringkali merupakan hal yang terakhir terjadi pada orang tua dan orang yang lemah akibat penyakit kronik tertentu. Pasien peminum alkohol, pasca bedah, dan penderita penyakit pernpasan kronik atau infeksi virus juga mudah terserang penyakit ini. Hampir 60% dari pasien-pasien yang kritis di ICU dapat menderita pneumonia, dan setengah dari pasien-pasien tersebut akan meninggal (Price & Wilson, 2006). Di negara berkembang, pneumonia pada anak terutama disebabkan oleh bakteri. Bakteri yang sering menyebabkan pneumonia adalah Streptococcus Pneumoniae, Haemophilus Influenzae, dan Staphylococcus Aureus. Di negara maju, pneumonia pada ank terutama disebabkan oleh virus, dismaping bakteri, atau campuran bakteri dan virus. Virkki dkk melakukan penelitian pneumonia pada anak dan menemukan etiologi virus saja sebanyak 32% , campuran bakteri dan virus 30%, dan bakteri saja 22%. Virus yang paling banyak ditmukan adalah Respiratory Syncytial Virus (RSV), Rhinovirus, dan Virus Parainfluenza. Bakteri yang terbanyak adalah Streptococcus Pneumoniae, Haemophilus Influenzae tipe B, dan Mycoplasma Pneumoniae. Kelompok anak berusia 2 tahun ke atas mempunyai etiologi infeksi bakteri yang lebih banyak daripada anak berusia dibawah 2 tahun (Nastiti N.Rahajoe dkk, 2010). Di Sungai Penuh, berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Sungai Penuh jumlah kejadian pneumonia bertambah setiap tahunnya. Data tahun 2011 menyebutkan bahwa dari 6 puskesmas utama yang ada di Kota Sungai Penuh jumlah pertama terbesar ada di Puskesmas Rawang dengan jumlah89 penderita selama tahun 2011 (Dinkes Kota Sungai Penuh, 2011). Berdasarkan data yang diperoleh dari laporan bulanan Puskesmas Rawang, setiap bulannya (dari bulan Januari sampai November 2011) berkisar 10-20 penderita setiap bulannya. Dan jumlah terbesar berada pada kisaran usia 14 tahun (Laporan bulanan Puskesmas Rawang, 2011). Secara sistematis dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Table 1.1
REKAPITULASI LAPORAN PROGRAM P2 ISPA DINAS KESEHATAN KOTA SUNGAI PENUH TAHUN 2011 REALISASI PENEMUAN PENDERITA PNEUMONIA PNEUMONIA BERAT < 1 TH 1-4 TH < 1 TH 1-4 TH 2 4 0 0 8 11 5 0 3 29 89 8 16 0 2 119 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 S umb er : Din as Kes ehat an Kot a Sungai Penuh, 2011
NO.
PUSKESMAS
1 2 3 4 5 6
Sungai Penuh Rawang Kumun Desa Gedang Tanah Kampung Koto Baru TOTAL
Berdasarkan survey pendahuluan yang dilakukan di Puskesmas Rawangpada tanggal 20 Desember 2011, pada 14 balita yang terkena pneumonia, 7diantaranya terjadi pada anak usia 1- 4 tahun dan 2 orang disebabkan oleh status imunisasi yang tidak lengkap, dan 1 orang menderita malnutrisi, 4 orang tidak mendapatkan ASI ekslusif. Berdasarkan fenomena diatas peneliti tertarik untuk meneliti tentang Faktor Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Pneumonia Pada Balita Di Puskesmas Kecamatan Hamparan Rawang Kota Sungai Penuh Tahun 2011. Tapi tidak semua variabel yang diteliti karena keterbatasan waktu dan biaya. Variabel yang diteliti adalah umur anak, status gizi, status imunisasi, dan pemberian ASI ekslusif. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut diatas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut : Faktor-Faktor Apa saja Yang Berhubungan Dengan Kejadian Pneumonia Pada Balita Di Puskesmas Kecamatan Hamparan Rawang Kota Sungai Penuh Tahun 2011 ?
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Diketahuinya Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian pneumonia pada balita di Puskesmas Kecamatan Hamparan Rawang Kota Sungai Penuh Tahun 2011. 2. Tujuan Khusus a. Diketahuinya distribusi frekuensi kejadian pneumonia pada balita di Puskesmas Kecamatan Hamparan Rawang Kota Sungai Penuh Tahun 2011. b. Diketahuinya distribusi frekuensi umur balita di Puskesmas Kecamatan Hamparan Rawang Kota Sungai Penuh Tahun 2011. c. Diketahuinya distribusi frekuensi status imunisasi balita di Puskesmas Kecamatan Hamparan Rawang Kota Sungai Penuh Tahun 2011. d. Diketahuinya distribusi frekuensi status gizi balita di Puskesmas Kecamatan Hamparan Rawang Kota Sungai Penuh Tahun 2011. e. f. Diketahuinya distribusi frekuensi pemberian ASI Ekslusif pada balita di Puskesmas Kecamatan Hamparan Rawang Kota Sungai Penuh Tahun 2011. Diketahuinya hubungan Umur anak dengan kejadian pneumonia pada balita di Puskesmas Kecamatan Hamparan Rawang Kota Sungai Penuh Tahun 2011. g. Diketahuinya hubungan Status Imunisasi dengan kejadian pneumonia pada balita di Puskesmas Kecamatan Hamparan Rawang Kota Sungai Penuh Tahun 2011. h. Diketahuinya hubungan Status Gizi dengan kejadian pneumonia pada balita di Puskesmas Kecamatan Hamparan Rawang Kota Sungai Penuh Tahun 2011. i. Diketahuinya hubungan Pemberian ASI Ekslusif dengan kejadian pneumonia pada balita di Puskesmas Kecamatan Hamparan Rawang Kota Sungai Penuh Tahun 2011. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti Sebagai bahan untuk mengembangkan kemampuan dalam melakukan penelitian , menambah wawasan dan ilmu pengetahuan serta pengalaman dalam mengumpulkan, memproses, dan menganalisa data yang diperoleh dari hasil penelitian. 2. Bagi Puskesmas Sebagai bahan pertimbangan dalam upaya pencegahan dan penanggulangan serta pemberantasan penyakit infeksi saluran pernafasan khususnya Pneumonia pada balita. 3. Bagi Institusi Pendidikan
Memberikan sumbangan agar dapat dimanfaatkan dengan baik bagi mahasiswa kesehatan khususnya mahasiswa S1-Keperawatan STIKES Indonesia Padang . 4. Bagi Peneliti Berikutnya Sebagai bahan referensi, data dasar dan data pembanding untuk meneliti faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian pneumonia pada balita. E. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian dilaksanakan di Puskesmas Rawang Kota Sungai Penuh tentang faktorfaktor yang berhubungan pada dengan kejadian Pneumonia Agustus pada Balita. Penelitian penelitian ini ini, dilaksanakan bulan Desember sampai 2012. Dalam
variabel independennya adalah factor-faktor yang berhubungan dengan kejadian pneumonia pada balita diantaranya Umur anak, Status imunisasi, Status Gizi dan Pemberian ASI, sedangkan variabel dependennya adalah kejadian Pneumonia pada Balita. Yang menjadi responden pada penelitian ini adalah semua ibu balita dengan pneumonia yang datang ke Puskesmas Rawang untuk berobat. Penelitian ini menggunakan instrumen berupa lembaran kuesioner dengan rancangan cross sectional study menggunakan metode analitik.
primer atau komplikasi dari suatu penyakit virus, seperti morbilli atau varicella (Nursalam, dkk,2008). Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi Streptococcus group B dan bakteri gram negatif seperti E. colli, Pseudomonas sp, dan Klebsiella sp. Pada bayi yang lebih besar dan anak balita, pneumonia sering disebabkan oleh infeksiStreptococcus Pneumoniae, Haemophilus Influenzae, dan Staphylococcus Aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut, sering juga ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae (Nastiti N.Rahajoe dkk, 2010). Streptococcus Pneumoniae (pneumokokus) adalah penyebab yang paling sering dari pneumonia bakteri, baik yang didapat dari masyarakat (kira-kira 75% dari semua kasus) maupun dari rumah sakit. Staphylococcus Aureus (kokus gram positif) dan asil aerobik gram negatif, termasuk Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella Pneumoniae, dan E. colli menyebabkan sebagian besar pneumonia nosokomial (Price & Wilson, 2006). 3. Klasifikasi a. Pembagian anatomis: Biasanya gejala penyakit datang mendadak, tetapi kadang-kadang didahului oleh infeksi traktus respiratorius bagian atas. Pada anak besar bisa disertai badan menggigil dan pada bayi disertai kejang. Suhu naik cepat sampai 39-40C dan suhu ini biasanya tipe febris kontinua. Nafas menjadi sesak, disertai nafas cuping hidung dan sianosis sekitar hidung dan mulut dan nyeri pada dada (Dr Rusepno Hasan dkk, 2007) Anak lebih suka tiduran pada dada yang sakit. Batuk mula-mula kering kemudian menjadi produktif. Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang khas tampak setelah 1-2 hari. Pada permulaan suara pernafasan melemah sedangkan pada perkusi tidak jelas ada kelainan. (Ngastiyah, 2005) 2) Pneumonia lobularis (Bronkopneumonia) Pada stadium permulaan sukar dibuat diagnosis dengan pemeriksaan fisik tetapi dengan adanya napas dangkal dan cepat, pernafasan cuping hidung dan sianosis sekitar hidung dan mulut dapat diduga adanya pneumonia. Hasil pemeriksaan fisik tergantung daripada luas daerah auskultasi yang terkena, pada perkusi sering tidak ditemukan kelainan dan pada auskultasi mungkin hanya terdengar ronki basah, nyaring halus atau sedang. Bila sarang bronkopneumonia menjadi satu (konfluens) mungkin pada perkusi terdengar keredupan dan suara pada suara pernapasan pada auskultasi terdengar mengeras. Pada stadium resolusi, ronki terdengar lagi. (Ngastiyah, 2005) 1) Pneumonia lobaris
Bronchopneumonia lebih sering merupakan infeksi sekunder terhadap berbagai keadaan yang melemahkan daya tubuh. Sebagian infeksi primer biasanya hanya dijumpai pada anak-anak dan orang tua. Beberapa keadaan yang dapat berkomplikasi bronchopneumonia ialah: pertussis, morbilli, penyakit infeksi lain yang disertai demam, infeksi saluran pernafasan bagian atas, penyakit jantung, gizi buruk, alkoholisme menahun, keadaan pasca bedah dan keadaan terminak sesudah penyakit lama. (dr. Sutisna Himawan, 1990) 3) Pneumonia interstitialis (bronkiolitis) Bronkiolitis akut ialah suatu sindrom obstruksi bronkiolus yang sering diderita bayi atau anak berumur kurang dari 2 tahun, paling sering pada usia 6 bulan. Bronkiolitis akut sebagian besar disebabkan oleh respiratory syncyal virus (50%). (Ngastiyah, 2005) b. Pembagian pneumonia bakteri: 1) Pneumonia stafilokokus Pneumonia stafilokokus disebabkan oleh Staphylococcus aureus, tergolong pneumonia yang berat karena cepat menjadi progresif dan resisten terhadap pengobatan. Pada umumnya pneumonia ini diderita bayi, yaitu 30% di bawah umur 3 bulan dan 70% sebelum 1 tahun (Dr. Rusepno Hassan dkk, 2007) 2) Pneumonia streptokokus Grup A Streptokokus hemolyticus biasanya menyebabkan infeksi traktus respiratorius bagian atas, tetapi kadang-kadang dapat juga menimbulkan pneumonia. Pneumonia streptokokus sering merupakan komplikasi penyakit virus seperti influenza, campak, cacar air dan infeksi bakteri lain seperti pertusis, pneumonia pneumokokus. (Dr. Rusepno Hassan, 2007) 3) Pneumonia pneumokokus Pneumokokus merupakan penyebab utama pneumonia.Pneumokokus dengan serotipe 1 sampai 8 menyebabkan pneumonia pada orang dewasa lebih dari 80%, sedangkan pada anak ditemukan tipe 14,1,6,9. Angka kejadian tertinggi ditemukan pada usia kurang dari 4 tahun dan mengurang dengan berkurangnya umur. Pneumonia lobaris hampir selalu disebabkan oleh pneumokokus, ditemukan pada orang dewasa dan anak besar, sedangkan bronkopneumonia lebih sering dijumpai pada anak kecil dan bayi (Dr. Rusepno Hassan, 2007). Berdasarkan pedoman MTBS (2000), pneumonia dapat diklasifikasikan secara sederhana berdasarkan gejala yang ada. Klasifikasi ini bukanlah merupakan diagnose medis dan hanya bertujuan untuk membantu para petugas kesehatan yang berada di lapangan untuk
menentukan tindakan yang perlu diambil, sehingga anak tidak terlambat mendapatkan penanganan. Klasifikasi tersebut adalah: a. Pneumonia berat atau penyakit sangat berat, apabila terdapat gejala: semuanya, kejang atau anak letargis / tidak sadar. 2) Terdapat tarikan dinding dada dalam 3) Terdapat stridor (suara napas bunyi grok-grok saat inspirasi) b. Pneumonia, apabila terdapat gejala napas cepat. Batasan napas cepat adalah: 1) Anak usia 2-12 bulan apabila frekuensi napas 50x/menit atau lebih 2) Anak usia 12 bulan-5tahun apabila frekuensi napas 40x/menit atau lebih c. Batuk bukan pneumonia, apabila tidak ada tanda-tanda pneumonia atau penyakit sangat berat. (DR.Nursalam,M.Nurs dkk,2008). 4. Patogenesis Apabila kuman patogen mencapai bronkioli terminalis, cairan edema masuk ke dalam alveoli, diikuti oleh leukosit dalam jumlah banyak, kemudian makrofag akan membersihkan debris sel dan bakteri. Proses ini bisa meluas lebih jauh lagi ke segala atau lobus yang sama, atau mungkin ke bagian lain dari paru-paru melalui cairan bronkial yang terinfeksi. Melalui saluran limfe paru, bakteri dapat mencapai aliran darah dan pluro viscelaris. Karena jaringan paru mengalami konsolidasi, maka kapasitas vital dan comlience paru menurun, serta aliran darah yang mengalami konsolidasi menimbulkan pirau/ shunt kanan ke kiri dengan ventilasi perfusi yang mismatch, sehingga berakibat pada hipoksia. Kerja jantung mungkin meningkat oleh karena saturasi oksigen yang menurun dan hiperkapnie. Pada keadaan yang berat bisa terjadi gagal nafas (DR.Nursalam,M.Nurs dkk,2008). Di antara semua pneumonia bakteri, patogenesis dari Pneumonia pneumococcus merupakan yang paling banyak diselidiki. Pneumococcus umumnyamencapai alveoli lewat percikan mucus atau saliva. Lobus bagian bawah paru paling sering terkena efek gravitasi. Setelah mencapai alveoli, maka Pneumococcusmenimbulkan respon khas yang terdiri dari empat a. tahap yang berurutan, yaitu: Kongesti (4-12 jam pertama): eksudat serosa masuk krdalam alveoli melalui pembuluh darah yang berdilatasi dan bocor b. Hepatisasi Merah (48 jam berikutnya): paru tampak merah dan bergranula karena sel-sel eritrosit, fibrin, dan leukosit PMN mengisi alveoli. 1) Ada tanda bahaya umum, seperti anak tidak bisa minum atau menetek, selalu memuntahkan
c.
Hepatisasi Kelabu (3-8 hari): paru tampak kelabu karena leukosit dan fibrin mengalami konsolidasi didalam alveoli yang terserang
d. Resolusi (7-11 hari): eksudat mengalami lisis dan direabsorbsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali pada struktur semula (Price and Wilson,2006: 806). 5. Manifestasi klinis Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar antara ringan hingga sedang, sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil yang berat, mengancam kehidupan, dan mungkin terdapat komplikasi sehingga memerlukan perawatan di RS. Beberapa factor yang mempengaruhi gambaran klinis pneumonia pada anak adalah imaturitas anatomik dan imunologik, mikroorganisme penyebab yang luas, gejala klinis yang kadang-kadang tidak khas terutama pada bayi, terbatasnya penggunaan prosedur diagnostik invasif, etiologi nonifeksi yang relatif lebih sering, dan factor pathogenesis. Di samping itu, kelompok usia pada anak merupakan factor penting yang menyebabkan karakteristik penyakit berbeda-beda, sehingga perlu dipertimbangkan dalam tatalaksana pneumonia. Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut: a. Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu makan, keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah, atau diare; kadang-kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner. b. Gejala ganguan respiratori, yaitu batuk, sesak nafas, retraksi dada, takipnea, napas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan tanda klinis tanda klinis seperti pekak perkusi,suara nafas melemah, dan ronki. Akan tetapi pada neonatus dan bayi kecil, gejala dan tanda pneumonia lebih beragam dan tidak selalu terlihat jelas. Pada perkusi dan auskultasi paru umumnya tidak ditemukan kelainan. Keluhan meliputi demam, menggigil, batuk, sakit kepala, anoreksia, dan kadangkadang keluhan gastrointestinal seperti mntah dan diare. Secara klinis ditemukan gejala respiratori seperti takipnea, retraksi subkosta (chest indrawing), nafas cuping hidung, ronki, dan sianosis. Penyakit ini sering ditemukan bersamaan dengan konjungtivis, otitis media, faringitis, dan laryngitis. Anak besar dengan pneumonia lebih suka berbaring pada sisi yang sakit dengan lututtertekuk karena nyeri dada. Ronki hanya ditemukan bila ada infiltrate alveolar. Retraksi dan takipnea merupakan tanda klinis pneumonia yang bermakna. Bila terjadi epusi pleura atau empiema, gerakan ekskursi dada tertinggal di daerah efusi. Gerakan
dada juga akan terganggu bila terdapat nyeri dada akibat iritasi pleura. Bila efusi pleura bertambah, sesak nafas semakin bertambah,tetapi nyeri pleura semakin berkurang dan berubah menjadi nyeri tumpul. Kadang-kadang timbul nyeri abdomen bila terdapat pneumonia lobus kanan bawah yang menimbulkan iritasi diafragma. Nyeri abdomen data menyebar ke kuadran kanan bawah dan menyerupai apendisitis.abdomen mengalami distensi akibat dilatasi lambung yang disebabkan oleh aerofagi atau ileus paralitik. Hati mungkin teraba karena tertekan oleh diafragma, atau memang membesar karena terjadi gagal jantung kongestif sebagai komplikasi pneumonia (Nastiti N. Rahajoe dkk, 2008). Tanda- tanda klinis utama termasuk hal-hal berikut ini: a. c. e. f. Batuk Takipnea Melemahnya suara nafas Retraksi dinding toraks b. Dispnea d. Sianosis
g. Napas cuping hidung h. Nyeri abdomen (disebabkan oleh iritasi diafragma oleh paru terinfeksi didekatnya) i. j. Batuk paroksismal mirip pertusis (umumnya terjadi pada anak yang lebih kecil) Anak-anak yang lebih besar tidak nampak sakit (Cecily L. Betz dkk, 2002). 6. Pencegahan a. Menghindarkan bayi/anak dari paparan asap rokok, polusi udara dan tempat keramaian yang berpotensi penularan. b. Menghindarkan bayi/anak dari kontak dengan penderita ISPA. c. Membiasakan memberikan ASI. suara serak, sesak nafas dan adanya retraksi. e. f. Periksakan kembali jika dalam dua hari belum menampakkan perbaikan dan segera ke rumah sakit jika kondisi anak memburuk. Pemberian vaksinasi g. Vaksin Pneumokokus (untuk mencegah pneumonia karena Streptococcus pneumonia) h. Vaksin Flu d. Segera berobat jika mendapati anak kita mengalami panas, batuk, pilek terlebih jika disertai
i.
(http://sobatbaru.blogspot.com/2008/12/pengertianpneumonia.html) B. Faktor Resiko Penyebab Terjadinya Pneumonia pada Balita 1. Umur Anak Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting pada perbedaan dan kekhasan pneumonia anak, terutama dalam spektrum etiologi, gambaran klinis, dan strategi pengobatan (Nastiti N.Rahajoe dkk, 2010). Bayi dan anak kecil lebih rentan terhadap penyakit ini karena respon imunitas mereka masih belum berkembang denga baik. Pneumonia seringkali merupakan hal yang terakhir terjadi pada orang tua dan orang yang lemah akibat penyakit kronik tertentu(Price & Wilson, 2006). Faktor umur dapat mengarahkan kemungkinan penyebab atau etiologi pneumonia (Ostapchuk, 2004). a. Group B Strepptococcus dan gram negatif bakteri enterik merupakan penyebab yang paling umum pada neonatal ( bayi berumur 0-28 hari) dan merupakan transmisi vertikal dari ibu sewaktu persalinan. b. Pneumonia pada bayi berumur 3 minggu sampai 3 bulan yang paling sering adalah bakteri, biasanya bakteri Streptococcus Pneumoniae (Correa, 1998) c. Balita usia 4 bulan sampai 5 tahun, virus merupkan penyebab tersering dari pneumonia, yaitu respiratory syncytial virus. (Depkes RI, 2009). 2. Status Imunisasi
Kekebalan dapat dibawa secara bawaan, keadaan ini dapat dijumpai pada balita umur 5-9 bulan, dengan adanya kekebalan ini balita terhindar dari penyakit. Dikarenakan kekebalan bawaan hanya bersifat sementara, maka diperlukan imunisasi untuk tetap mempertahankan kekebalan yang ada pada balita (Depkes RI, 2004). Salah satu strategi pencegahan untuk mengurangi kesakitan dan kematian akibat pneumonia adalah dengan pemberian imunisasi. Melalui imunisasi diharapkan dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian penyakit yang dapapat dicegah dengan imunisasi. Imunisasi dasar adalah imunisasi wajib yang sesuai Program Pengembangan Imunisasi (PPI) yang terdiri dari BCG untuk mencegah penyakit tuberculosis, DPT untuk mencegah penyakit diphteri, pertusis dan tetanus, imunisasi campak untuk mencegah penyakit campak, imunisasi polio untuk mencegah penyakit polio, dan Hepatitis B untuk mencegah penyakit Hepatitis B (Ranuh, 2005).
Imunisasi yang penting berkaitan dengan pneumonia antara lain imunisasi DPT, campak, pneumokokus, dan Hib. Imunisasi DPT dan campak adalah imunisasi wajib yang harus diberikan pada anak, sedangkan imunisasi pneumokokus dan Hib merupakan imunisasi anjuran yang dapat diberikan pada anak karena memberikan kekebalan terhadap kuman penyebab pneumonia. Jenis-jenis imunisasi yang berhubungan dengan kejadian pneumonia adalah : a. DPT Imunisasi ini diberikan untuk mnimbulkan kekebalan aktif dalam waktu yang bersamaan terhadap penyakit diftia, tetanus dan pertusis (batuk rejan) yang salah satu gejala dari penyakit pertusis adalah infeksi saluran pernafasan. Imunisasi ini diberikan lima kali pada usia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan, 18 bulan, dan 5 tahun. b. Vaksin Campak Imunisasi ini bertujuan untuk mendapatkan kekebalan terhadp penyakitcampak secara aktif dan komplikasi dari penyakit campak dapat menyebabkan pneumonia. Imunisasi ini diberikan pada usia 9 bulan. c. Hib Imunisasi ini bertujuan untuk mencegah pneumonia karena Haemophilus Influenza type B dan diberikan pada usia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan dan 15 bulan. d. Pneumokokus Imunisasi ini bertujuan untuk mencegah pneumonia karena Streptococcus Pneumonia dan diberikan pada usia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan dan 12 bulan. (Depkes RI, 2009).
3. Status Gizi Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorbs, transportasi, penyimpanan, metabolism dan pengeluaran zat-zat sisa untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal dari organ-organ serta menghasilkan energy (Supariasa dkk, 2002). Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi (Almatsier). Keadaan gizi adalah faktor yang sangat penting bagi timbulya pneumonia.Tingkat pertumbuhan fisik dan kemampuan imunologik seseorang sangat dipengaruhi adanya
persediaan gizi dalam tubuh dan kekurangan zat gizi akan meningkatkan kerentanan dan beratnya infeksi suatu penyakit seperti pneumonia (Dailure, 2000). Ada empat bentuk nutrisi : a. Under nutrition: kekurangan konsumsi pangan secara relatif atau absolut untuk periode tertentu b. Specific defisiency: kekurangan zat gizi tertentu, misalnya kekurangan vitamin A, yodium, Fe, dan lain-lain c. Over nutrition: kelebihan konsumsi pangan untuk periode tertentu LDL (Low Density Lipoprotein), HDL (High Density Lipoprotein) dan VLDL (Very Low Density Lipoprotein). Dalam menentukan klasifikasi status gizi harus ada ukuran baku yang sering disebut Reference. Baku antropometri yang sekarang digunakan di Indonesia adalah WHONCHS (I Dewa Nyoman Supariasa dkk, 2002). d. Imbalance: karena disproporsi zat gizi, misalnya: kolesterol terjadi karena tidak seimbangnya
Tabel 2.1 Klasifikasi status gizi Balita berdasarkan WHO-NCHS Indeks umur ( BB/U) Status Gizi Gizi kurang Gizi buruk Gizi lebih Tinggi badan menurut Normal umur (TB/U) tinggi badan (BB/TB) Pendek Kurus Kurus sekali Gemuk 4. Pemberian ASI Ekslusif WHO dan UNICEF mendefenisikan pemberian makan bayi yang optimal adalah pemberian ASI ekslusif mulai dari saat lahir hingga 4-6 bulan dan makanan tambahan yang sesuai diberikan ketika bayi sudah berumur 6 bulan. ASI merupakan makanan yang higienis, Berat badan menurut Normal Ambang Batas -2 SD s/d +2 SD < -2 SD s/d -3 SD < -3 SD > + 2 SD -2 SD -3 SD s/d < -2 SD -2 SD s/d +2 SD -3 SD s/d < -2 SD < -3 SD > + 2 SD
murah, mudah diberikan, dan penelitian menunjukkan perkembangan kognitifnya lebih tinggi dari pada bayi yang mendapat susu formula (Gibney, 2009) ASI yang diberikan pada bayi hingga usia 4 bulan selain sebagai bahan makanan bayi juga berfungsi sebagai pelindung dari penyakit dan infeksi, karena dapat mencegahpneumonia oleh bakteri dan virus. Riwayat pemberian ASI yang buruk menjadi salah satu faktor risiko yang dapat meningkatkan kejadian pneumonia pada balita (Dailure, 2000). BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan menggunakan desain cross sectional study, yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara variabel independen (umur anak, status gizi, status imunisasi, dan pemberian ASI ekslusif) dengan variabel dependen (kejadian pneumonia pada balita) pada waktu bersamaan (Notoatmodjo, 2005 ). B. Tempat & Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Hamparan Rawang Kota Sungai Penuh. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Desember 2011 sampai bulan Agustus 2012. C. Populasi & Sampel Penelitian 1. Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah semua balita yang ada di wilayah kerja Puskesmas Rawang Kota Sungai Penuh yaitu sebanyak 938 orang.
2. Sampel a. Besar Sampel Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 90 orang yang didapat dengan menggunakan rumus: Keterangan: = Jumlah sampel
= Besar populasi
2
= Tingkat Kepercayaan atau ketepatan yang diinginkan ( 0,1 ) Jadi, = = = = 90, 36 = 90 orang
b. Teknik Pengambilan Sampel Dalam penelitian ini peneliti memilih multi stage random sampling, yaitu pertama dengan mengundi desa yang mungkin terpilih menjadi tempat pengambilan sampel, sehingga didapat 3 desa, yaitu Desa Koto Teluk, Desa Kampung Diilir, dan Desa Koto Dian. Kemudian peneliti mengundi populasi yang bakal menjadi sampel yang terdapat dalam 3 desa tersebut. Untuk mengundi yaitu dengan mengambil 20% dari 938, mendapatkan hasil 188, kemudian mendapatkan hasil mendapatkan hasil 4 diundi mengeluarkan angka 3 sehingga didapatkan 3,6,9 dan seterusnya sampai berjumlah 90 orang. c. Kriteria Sampel Inklusi : 1) Balita-balita yang terdiagnosis pneumonia 2) Orang tua balita bersedia menjadi responden 3) Tidak buta aksara 4) Pada saat penelitian responden berada dirumah Ekslusi : 1) Ibu balita tidak bersedia menjadi responden 2) Pada saat penelitian responden tidak berdomisili di desa tersebut. 3) Buta aksara D. Teknik Pengumpulan Data 1. Jenis Data Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder a. Data Primer
Data umur, status imunisasi dan pemberian ASI ekslusif diperoleh melalui wawancara langsung kepada responden dengan menggunakan kuesioner, sedangkan status gizi ditentukan secara antropometri dengan mengukur berat badan menurut umur. b. Data Sekunder Data diperoleh dari Laporan Tahunan Dinas Kesehatan Kota Sungai Penuh tentang Kejadian Pneumonia pada balita di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Sungai Penuh, data dari Puskesmas Rawang tentang jumlah balita diwilayah binaan. 2. Instrumen Penelitian Instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang dibuat oleh peneliti berdasarkan tinjauan kepustakaan dan observasi serta lembar observasi untuk data yang diamati langsung oleh peneliti. 3. Langkah-langkah pengumpulan data Adapun pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti meliputi : a. Meminta surat izin penelitian dari Institusi Pendidikan yaitu dari akademik Prodi S1Keperawatan STIKES Indonesia. b. Mengurus perizinan dari Dinas Kesehatan Kota Sungai Penuh untuk mengambilan data tentang kejadian Pneumonia. c. d. e. Mengurus Perizinan untuk melakukan penelitian dari Puskesmas Kecamatan Hamparan Rawang Kota Sungai Penuh. Meminta persetujuan dari responden yaitu ibu balita yang menderita Pneumania dengan menandatangani surat persetujuan/ inform consentmenjadi responden. Melakukan wawancara dengan orang tua yang balitanya terkena pneumonia Teknik pengolahan data dalam suatu penelitian merupakan suatu langkah yang sangat penting agar data yang diperoleh dapat memberikan jawaban atau gambaran informasi tentang penelitian untuk melakukan pengolahan data. Data diolah secara komputerisasi dengan langkah-langkah sebagai berikut : a. Menyunting Data (Editing) Setelah data dari responden didapati, peneliti memeriksa kembali semua jawaban yang telah diisi oleh responden di kuesioner dan melihat kelengkapannya. Didapati dari responden semua jawaban kuesioner telah lengkap. b. Mengkode Data (Coding) Setelah data lengkap, peneliti memberikan pengkodean data dengan penyederhanaan jawaban dengan cara mengganti huruf dengan skor seperti berikut : 4. Teknik Pengolahan Data
Variabel kejadian pneumonia, apabila terjadi pneumonia diberi kode 0, jika tidak terjadi pneumonia diberi kode 1. Variabel status gizi, apabila status gizi nya baik diberi kode 1, jika tidak baik diberi kode 0. Untuk variabel pemberian ASI ekslusif dan status imunisasi apabila jawaban benar diberi nilai 1, jika salah diberi nilai 0. c. Membuat Struktur Data (Tabulating) Selanjutnya peneliti menyusun data yang tersedia menurut urutan, mengelompokkan data dan menghitung jumlah masing-masing variabel, memindahkan variabel yang telah dikelompokkan kedalam tabel yang disiapkan. d. Memasukkan Data (Entry) Selanjutnya peneliti menuangkan data yang diperoleh ke dalam master tabelsecara komputerisasi dengan baris responden dan pada kolom berisi pertanyaan. e. Membersihkan Data (Cleaning) Kemudian data diperiksa ulang kembali dengan melibatkan distribusi frekuensi dan mendapatkan nilai yang logis dan tidak ditemukan kesalahan pada data. E. Analisa Data 1. Analisa Univariat Analisa univariat digunakan untuk mengetahui gambaran distribusi dan presentase dari masing-masing variabel penelitian, baik variabel independen maupun variabel dependen. Sehingga diketahui distribusi frekuensi Umur anak, Status imunisasi, Status Gizi dan Pemberian ASI dengan kejadian Pneumonia pada balita.
2. Analisa Bivariat Analisa Bivariat dilakukan untuk melihat hubungan dua variabel yaitu variabel independen yang meliputi Umur anak, Status imunisasi, Status Gizi dan Pemberian ASI dengan variabel dependen yaitu kejadian Pneumonia pada balita. Pengujian dilakukan dengan menggunakan chi square menggunakan program SPSS versi 11,5. Dalam mengambil keputusan uji statistik digunakan batas bermakna 0,05 dengan ketentuan bermakna apabila p < 0,05 dan tidak bemakna apabila p > 0,05. F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsep Terdapat berbagai faktor resiko yang menyebabkan tingginya angka mortalitas pneumonia pada anak balita dinegara berkembang. Faktor resiko tersebut adalah pneumonia
yang terjadi pada masa bayi, berat badan lahir rendah (BBLR), tidak mendapat imunisasi, tidak mendapat ASI yang adekuat, malnutrisi, defisiensi vitamin A, tingginya prevalensi kolonisasi bakteri patogen di nasofaring, dan tingginya pajanan terdapat polusi udara (polusi industri atau asap rokok) (Nastiti N.Rahajoe dkk, 2010). Sedangkan menurut teori yang terdapat dalam buku ilmu kesehatan anak yang mempengaruhi timbulnya pneumonia adalah anak dengan daya tahan tubuh menurun, anak dengan penyakit menahun, anak dengan malnutrisi, anak dengan trauma paru dll. Adapun faktor yang diteliti adalah usia, penyakit pernafasan kronik dan malnutrisi. Maka kerangka konsep yang muncul berdasarkan teori diatas adalah : Bagan 3.1 Kerangka Teori Faktor Resiko Pneumonia Pada Anak Anak dengan daya tahan tubuh yang menurun Anak dengan trauma paru atau kelainan struktur dada atau paru-paru Anak dengan malnutrisi Anak dengan defisiensi sistem imun. Anak dengan penyakit menahun Faktor antrogen seperti anastesi, aspirasi Anak dengan pengobatan antidiotika yang tak sempurna
Pneumonia
Faktor-Faktor Risiko Pneumonia pada bayi : berat badan lahir rendah (BBLR) tidak mendapat imunisasi, tidak mendapat ASI yang adekuat malnutrisi defisiensi vitamin A, tingginya prevalensi kolonisasi bakteri patogen di nasofaring, tingginya pajanan terdapat polusi udara (polusi industri atau asap rokok)
Sumber: ilmu kesehatan anak vol. 3 Universitas Indonesia Sumber : Nastiti N.Rahajoe dkk, 2010
Bagan 3.2 Kerangka Konsep Variabel Independen Dependen Umur anak Variabel
G. Defenisi Operasional Tabel 3.1 Defenisi Operasional Variabel Dependen Pneumonia Defenisi Operasional Penyakit parenkim paru yang terjadi pada balita ditandai dengan nafas 40 kali/menit & Alat Ukur Lembar observasi Cara Ukur Hasil Ukur Skala Ukur Ordinal
suhu 37,5C Independent Batasan dimana Umur anak anak mudah terkena infeksi pneumonia Status Imunisasi yang imunisasi sudah diterima pada anak sesuai usia 0-12 bulan , imunisasi yang diteliti didalam penelitian ini adalah riwayat imunisasi DPT dan campak. Status Gizi Keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makana dan status gizi ditentukan menggunakan antropometri berat badan per umur Pemberian Pemberian ASI ASI ekslusif sedini mungkin setelah persalinan tanpa tambahan cairan lain dan tanpa tambahan makanan padat smpai bayi berusia 6 bulan
Lembar kuesioner
Ordinal
Lembar kuesioner
Ordinal
Timbangan Menimbang 1. Gizi baik berat berat badan 2. Gizi kurang badan
Ordinal
Lembar kuesioner
H. Hipotesis Penelitian 1. Ada hubungan Umur anak dengan kejadian pneumonia pada balita. 2. Ada hubungan Status Imunisasi dengan kejadian pneumonia pada balita. 3. Ada hubungan Status Gizi dengan kejadian pneumonia pada balita. 4. Ada hubungan Pemberian ASI Ekslusif dengan kejadian pneumonia pada balita.
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Angka kejadian penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) di Indonesia masih tinggi terutama pada balita, kasus kesakitan tiap tahun mencapai 260.000 balita. Pada akhir tahun 2000, ISPA mencapai enam kasus di antara 1000 bayi dan balita. Tahun 2003 kasus kesakitan balita akibat ISPA sebanyak lima dari 1000 balita, salah satu penyebab ISPA pada balita yaitu sanitasi rumah yang tidak sehat (Supraptini, 2006). Menurut data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2004, di Indonesia rumah sehat dibagi menjadi tiga kategori yaitu kategori baik, kategori sedang dan kategori kurang. Persentase rumah sehat di Indonesia kategori baik mencapai 35,3%, kategori sedang 39,8% dan kategori kurang 24,9%. Target rumah sehat di Indonesia sebesar 80%, dari kategori rumah sehat di atas tidak ada yang memenuhi target, sehingga rumah sehat di Indonesia belum tercapai (Depkes RI, 2000). Berdasarkan profil Dinas Kesehatan Lampung Timur (2010), rumah penduduk di Lampung Timur dapat dibedakan berdasarkan sifat bahannya yaitu yang terbuat dari batu atau gedung permanen sebanyak 6146 rumah, terbuat dari setengah batu atau semi permanen sebanyak 2399 rumah, terbuat dari kayu atau papan sebanyak 989 rumah, dan terbuat dari bambu 3187 rumah. Berdasarkan data tersebut rumah penduduk Kabupaten Lampung Timur masih banyak yang berkategori rendah, hal ini dapat memicu timbulnya penyakit ISPA (Dinas Kesehatan dan Sosial Lampung Timur, 2010). Berdasarkan profil Puskesmas Bandar Sribawono (2010), angka kejadian ISPA di Desa Bandar Agung tahun 2008 sebanyak 697 kasus yang di dominasi pada golongan umur satu sampai 59 bulan dan tahun 2009 sebanyak 345 kasus yang didominasi pada umur satu sampai empat tahun. Sedangkan tahun 2010 sebanyak 432 kasus ISPA dari bulan Januari sampai bulan November sebanyak 203 kasus (Desa Bandar Agung 2010; Puskesmas Bandar Sribhawono 2008-2010). Menurut Notoatmodjo (2003), rumah yang luas ventilasinya tidak memenuhi syarat kesehatan akan mempengaruhi kesehatan penghuni rumah, hal ini disebabkan karena proses pertukaran aliran udara dari luar ke dalam rumah tidak lancar, sehingga bakteri penyebab penyakit ISPA yang ada di dalam rumah tidak dapat keluar. Ventilasi juga menyebabkan
peningkatan kelembaban ruangan karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit, oleh karena itu kelembaban ruangan yang tinggi akan menjadi media yang baik untuk perkembangbiakan bakteri penyebab penyakit ISPA. Sanitasi rumah dan lingkungan erat kaitannya dengan angka kejadian penyakit menular, terutama ISPA (Taylor, 2002). Beberapa hal yang dapat mempengaruhi kejadian penyakit ISPA pada balita adalah kondisi fisik rumah, kebersihan rumah, kepadatan penghuni dan pencemaran udara dalam rumah (Iswarini dan Wahyu, 2006). Selain itu juga faktor kepadatan penghuni, ventilasi, suhu dan pencahayaan (Ambarwati dan Dina, 2007). Menurut Ranuh (1997), rumah yang jendelanya tidak memenuhi persyaratan menyebabkan pertukaran udara tidak dapat berlangsung dengan baik, akibatnya asap dapur dan asap rokok dapat terkumpul dalam rumah, bayi dan anak yang sering menghisap asap tersebut di dalam rumah lebih mudah terserang ISPA. Rumah yang lembab dan basah karena banyak air yang terserap di dinding tembok dan cahaya matahari pagi yang sulit masuk dalam rumah juga memudahkan anak-anak terserang ISPA. Berdasarkan hasil penelitian Yusup dan Sulistyorini (2005), diketahui bahwa ada hubungan yang bermakna antara ventilasi, pencahayaan dan kepadatan penghuni dengan kejadian ISPA pada balita. Berdasarkan hasil survei pendahuluan di desa Bandar Agung pada tanggal 4-5 April 2011, bahwa terdapat 20 rumah yang mempunyai sanitasi kurang baik seperti berlantai tanah, rumah tidak mempunyai plafon, ventilasi yang tidak bisa dilalui sirkulasi udara dengan baik. Sedangkan kasus ISPA tahun 2010 dari bulan Januari sampai bulan November masih banyak yaitu 432 kasus. Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai apakah ada Hubungan Antara Sanitasi Fisik Rumah Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Desa Bandar Agung Kecamatan Bandar Sribhawono Kabupaten Lampung Timur Tahun 2011.
1.2
1.2.1 Identifikasi Masalah 1. Tahun 2003 kasus kesakitan balita akibat ISPA sebanyak lima
dari 1000 balita, salah satu penyebab ISPA pada balita yaitu sanitasi rumah yang tidak sehat. 2. Berdasarkan data Dinas Kesehatan dan Sosial tahun 2010 rumah
penduduk Kabupaten Lampung Timur masih banyak yang berkategori rendah, hal ini dapat memicu timbulnya penyakit ISPA. 3. Tahun 2010 sebanyak 432 kasus ISPA dari bulan Januari sampai
bulan November sebanyak 203 kasus (Desa Bandar Agung 2010; Puskesmas Bandar Sribhawono 2008-2010) 4. Hasil survei pendahuluan di desa Bandar Agung pada tanggal 4-
5 April 2011, bahwa terdapat 20 rumah yang mempunyai sanitasi kurang baik seperti berlantai tanah, rumah tidak mempunyai plafon, ventilasi yang tidak bisa dilalui sirkulasi udara dengan baik. 1.2.2 Perumusan Masalah Apakah ada hubungan antara sanitasi fisik rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Desa Bandar Agung, Kecamatan Bandar Sribhawono Kabupaten Lampung Timur Tahun 2011?
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum Untuk mengetahui hubungan antara sanitasi fisik rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Desa Bandar Agung Kecamatan Bandar Sribhawono Kabupaten Lampung Timur tahun 2011. 1.3.2 Tujuan khusus
1. Mengetahui hubungan antara ventilasi rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Desa Bandar Agung, Kecamatan Bandar Sribhawono Kabupaten Lampung Timur? 2. Mengetahui hubungan antara pencahayaan alami rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Desa Bandar Agung, Kecamatan Bandar Sribhawono Kabupaten Lampung Timur? 3. Mengetahui hubungan antara kelembaban rumah dengan
kejadian ISPA pada balita di Desa Bandar Agung, Kecamatan Bandar Sribhawono Kabupaten Lampung Timur?
4.
Mengetahui hubungan antara lantai rumah dengan kejadian ISPA pada balita di di Desa Bandar Agung, Kecamatan Bandar Sribhawono Kabupaten Lampung Timur? 5. Mengetahui hubungan antara dinding rumah dengan kejadian
ISPA pada balita di Desa Bandar Agung, Kecamatan Bandar Sribhawono Kabupaten Lampung Timur?
6.
Mengetahui hubungan antara plafon rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Desa Bandar Agung, Kecamatan Bandar Sribhawono Kabupaten Lampung Timur? 1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi masyarakat Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat yang mempunyai balita yang menderita ISPA tentang pentingnya menjaga kondisi fisik rumah seperti ventilasi yang memenuhi standar, pencahayaan yang cukup, kelembaban yang cukup, lantai, dinding, dan atap rumah yang baik. 1.4.2 Bagi instansi terkait khususnya Puskesmas Bandar Sribhawono Memberikan informasi agar dapat dijadikan pedoman dalam pengambilan kebijakan pada program kepedulian pada balita yang terkena ISPA. 1.4.3 Bagi Peneliti Untuk aplikasi dan mengembangkan ilmu yang diperoleh dari institusi dalam penerapanya di masyarakat.
2.1
Pengertian ISPA
Menurut Khaidirmuhaj (2008), ISPA adalah penyakit infeksi saluran pernafasan atas yang meliputi infeksi mulai dari rongga hidung sampai denganepiglottis dan laring seperti demam, batuk, pilek, infeksi telinga (otitis media), dan radang tenggorokan (faringitis). Menurut Anonim (2008), ISPA adalah penyakit ringan yang akan sembuh dengan sendirinya dalam waktu satu sampai dua minggu, tetapi penyakit ini dapat menyebabkan komplikasi (gejala gawat) jika dibiarkan dan tidak segera ditangani. 2.2 Klasifikasi ISPA
Klasifikasi ISPA dapat dikelompokkan berdasarkan golongannya dan golongannya umur yaitu: a. Menurut Anonim (2008), ISPA berdasarkan golongannya:
1) Pneumonia yaitu proses infeksi akut yang mengenai jaringan paruparu (alveoli). 2) Bukan pneumonia meliputi batuk pilek biasa (common cold), radang tenggorokan (pharyngitis), tonsilitis dan infeksi telinga (otitis media). b. Menurut Khaidirmuhaj (2008), ISPA dapat dikelompokkan
berdasarkan golongan umur yaitu: 1) Untuk anak usia 2-59 bulan : a) Bukan pneumonia bila frekuensi pernafasan kurang dari 50 kali permenit untuk usia 2-11 bulan dan kurang dari 40 kali permenit untuk usia 12-59 bulan, serta tidak ada tarikan pada dinding dada. b) Pneumonia yaitu ditandai dengan nafas cepat (frekuensi pernafasan sama atau lebih dari 50 kali permenit untuk usia 2-11 bulan dan frekuensi pernafasan sama atau lebih dari 40 kali permenit untuk usia 12-59 bulan), serta tidak ada tarikan pada dinding dada. c) Pneumonia berat yaitu adanya batuk dan nafas cepat (fast breathing) dan tarikan dinding pada bagian bawah ke arah dalam (servere chest indrawing). 2) Untuk anak usia kurang dari dua bulan : a) Bukan pneumonia yaitu frekuensi pernafasan kurang dari 60 kali permenit dan tidak ada tarikan dinding dada. b) Pneumonia berat yaitu frekuensi pernafasan sama atau lebih
dari 60 kali permenit (fast breathing) atau adanya tarikan dinding dada tanpa nafas cepat. 2.3 Etiologi ISPA
ISPA dapat disebabkan oleh bakteri, virus, dan riketsia. Bakteri penyebab ISPA antara lain genus Streptococcus, Staphylococcus, Pneumococcus, Hemofilus, Bordetella, dan
Corynebacterium. Virus penyebabnya antara lain golongan Mexovirus, Adenovirus, Coronavirus, Pikornavirus, Mikoplasma, Herpesvirus, dan lain-lain (Depkes RI, 2000). 2.4 Cara penularan
ISPA dapat terjadi karena transmisi organisme melalui AC (air conditioner), droplet dan melalui tangan yang dapat menjadi jalan masuk bagi virus. Penularan faringitis terjadi melalui droplet, kuman menginfiltrasi lapisan epitel, jika epitel terkikis maka jaringan limfoid superficial bereaksi sehingga terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Padasinusitis, saat terjadi ISPA melalui virus, hidung akan mengeluarkan ingus yang dapat menghasilkan superinfeksi bakteri, sehingga dapat menyebabkanbakteribakteri patogen masuk ke dalam rongga-rongga sinus (WHO, 2008). 2.5 Pertolongan pertama penderita ISPA
Menurut Benih (2008), untuk perawatan ISPA di rumah ada beberapa hal yang dapat dilakukan seorang ibu untuk mengatasi anaknya yang menderita ISPA yaitu: 2.5.1 Mengatasi panas (demam) Untuk anak usia dua bulan sampai lima tahun, demam dapat diatasi dengan memberikan parasetamol atau dengan kompres, bayi di bawah dua bulan dengan demam harus segera dirujuk. Parasetamol diberikan sehari empat kali setiap enam jam untuk waktu dua hari. Cara pemberiannya, tablet dibagi sesuai dengan dosisnya, kemudian digerus dan diminumkan. Memberikan kompres, dengan menggunakan kain bersih dengan cara kain dicelupkan pada air (tidak perlu di tambah air es). 2.5.2 Mengatasi batuk Dianjurkan untuk memberikan obat batuk yang aman misalnya ramuan tradisional yaitu jeruk nipis setengah sendok teh dicampur dengan kecap atau madu setengah sendok teh dan diberikan tiga kali sehari. 2.5.3 Pemberian makanan
Dianjurkan memberikan makanan yang cukup gizi, sedikit-sedikit tetapi berulang-ulang yaitu lebih sering dari biasanya, lebih-lebih jika terjadi muntah. Pemberian ASI pada bayi yang menyusu tetap diteruskan. 2.5.4 Pemberian minuman Diusahakan memberikan cairan (air putih, air buah dan sebagainya) lebih banyak dari biasanya. Hal ini akan membantu mengencerkan dahak, selain itu kekurangan cairan akan menambah parah sakit yang diderita. 2.5.5 Lain-lain Tidak dianjurkan mengenakan pakaian atau selimut yang terlalu tebal dan rapat, lebih-lebih pada anak yang demam. Membersihkan hidung pada saat pilek akan berguna untuk mempercepat kesembuhan dan menghindari komplikasi yang lebih parah. Diusahakan lingkungan tempat tinggal yang sehat yaitu yang berventilasi cukup dan tidak berasap. Apabila selama perawatan di rumah keadaan anak memburuk maka dianjurkan untuk membawa ke dokter atau petugas kesehatan. Untuk penderita yang mendapat obat antibiotik, selain tindakan di atas diusahakan agar obat yang diperoleh tersebut diberikan dengan benar selama lima hari penuh dan setelah dua hari anak perlu dibawa kembali ke petugas kesehatan untuk pemeriksaan ulang. 2.6 Pencegahan ISPA
Menurut Benih (2008), pencegahan ISPA ada empat yaitu : a. b. c. d. 2.7 Menjaga keadaan gizi agar tetap baik. Melakukan immunisasi. Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan. Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA. Sanitasi Fisik Rumah
2.7.1 Pengertian rumah Menurut Notoatmodjo (2003), rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga. Menurut Dinkes (2005), secara umum rumah dapat dikatakan sehat apabila memenuhi kriteria yaitu: a. Memenuhi kebutuhan fisiologis meliputi pencahayaan,
penghawaan, ruang gerak yang cukup, dan terhindar dari kebisingan yang mengganggu.
b.
Memenuhi kebutuhan psikologis meliputi privacy yang cukup, komunikasi yang sehat antar anggota keluarga dan penghuni rumah. c. Memenuhi persyaratan pencegahan penularan penyakit antar
penghuni rumah meliputi penyediaan air bersih, pengelolaan tinja, limbah rumah tangga, bebas vektor penyakit dan tikus, kepadatan hunian yang tidak berlebihan, dan cukup sinar matahari pagi. d. Memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan baik
yang timbul karena keadaan luar maupun dalam rumah, antara lain fisik rumah yang tidak mudah roboh, tidak mudah terbakar dan tidak cenderung membuat penghuninya jatuh tergelincir. Menurut Dinkes (2005), rumah sehat adalah proporsi rumah yang memenuhi criteria sehat minimum komponen rumah dan sarana sanitasi dari tiga komponen (rumah, sarana sanitasi dan perilaku) di satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. Minimum yang memenuhi kriteria sehat pada masingmasing parameter adalah sebagai berikut: 1) Minimum dari kelompok komponen rumah adalah langitlangit, dinding, lantai, jendela kamar tidur, jendela ruang keluarga, ventilasi, sarana pembuangan asap dapur, dan pencahayaan. 2) Minimum dari kelompok sarana sanitasi adalah sarana air bersih, jamban (sarana pembuangan kotoran), sarana pembuangan air limbah (SPAL), dan sarana pembuangan sampah. 3) Perilaku Sanitasi rumah adalah usaha kesehatan masyarakat yang menitikberatkan pada pengawasan terhadap struktur fisik yang digunakan sebagai tempat berlindung yang mempengaruhi derajat kesehatan manusia (Azwar, 1990). Sarana sanitasi tersebut antara lain ventilasi, suhu, kelembaban, kepadatan hunian, penerangan alami, konstruksi bangunan rumah, sarana pembuangan sampah, sarana pembuangan kotoran manusia, dan penyediaan air. Sanitasi rumah sangat erat kaitannya dengan angka kesakitan penyakit menular, terutama ISPA. Lingkungan perumahan sangat berpengaruh pada terjadinya dan tersebarnya ISPA (Azwar, 1990). Rumah yang tidak sehat merupakan penyebab dari rendahnya taraf kesehatan jasmani dan rohani yang memudahkan terjangkitnya penyakitdan mengurangi daya kerja atau daya produktif seseorang. Rumah tidaksehat ini dapat menjadi reservoir penyakit bagi seluruh lingkungan, jikakondisi tidak sehat bukan hanya pada satu rumah tetapi pada kumpulanrumah
(lingkungan pemukiman). Timbulnya permasalahan kesehatan di lingkungan pemukiman pada dasarnya disebabkan karena tingkatkemampuan ekonomi masyarakat yang rendah, karena rumah dibangun berdasarkan kemampuan keuangan penghuninya (Notoatmodjo, 2003).
2.7.2 Ventilasi Menurut Sukar (1996), ventilasi adalah proses pergantian udara segar ke dalam dan mengeluarkan udara kotor dari suatu ruangan tertutup secara alamiah maupun buatan. Berdasarkan kejadianya ventilasi dibagi menjadi dua yaitu: a. Ventilasi alamiah
Ventilasi alamiah berguna untuk mengalirkan udara di dalam ruangan yang terjadi secara alamiah melalui jendela, pintu dan lubang angin. Selain itu ventilasi alamiah dapat juga menggerakan udara sebagai hasil sifat porous dinding ruangan, atap dan lantai. b. Ventilasi buatan
Ventilasi buatan dapat dilakukan dengan menggunakan alat mekanis maupun elektrik. Alatalat tersebut diantaranya adalah kipas angin, exhauster dan AC. Menurut Dinata (2007), syarat ventilasi yang baik adalah sebagai berikut: 1) Luas lubang ventilasi tetap minimal lima persen dari luas lantai ruangan, sedangkan luas lubang ventilasi insidentil (dapat dibuka dan ditutup) minimal lima persen dari luas lantai. Jumlah keduanya menjadi 10% dari luas lantai ruangan. 2) Udara yang masuk harus bersih, tidak dicemari asap dari sampah atau pabrik, knalpot kendaraan, debu, dan lain-lain.
3) Aliran udara diusahakan cross ventilation dengan menempatkan lubang ventilasi berhadapan antar dua dinding. Aliran udara ini jangan sampai terhalang oleh barang- barang besar, misalnya lemari, dinding, sekat, dan lain-lain. Menurut Dinata (2007), secara umum penilaian ventilasi rumah dapat dilakukan dengan cara membandingkan antara luas ventilasi dan luas lantai rumah, dengan menggunakan rollmeter. Berdasarkan indikator penghawaan rumah, luas ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan
adalah lebih dari sama dengan 10% dari luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah kurang dari 10% dari luas lantai rumah. 2.7.3 Pencahayaan Alami Cahaya matahari sangat penting, karena dapat membunuh bakteribakteri patogen di dalam rumah, misalnya bakteri penyebab penyakit ISPA dan TBC. Oleh karena itu, rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup. Jalan masuk cahaya (jendela) luasnya sekurang-kurangnya 15% sampai 20% dari luas lantai yang terdapat di dalam ruangan rumah (Azwar, 1990). Pencahayaan alami menurut Suryanto (2003), dianggap baik jika besarnya antara 60120 lux dan buruk jika kurang dari 60 lux atau lebih dari 120 lux. Hal yang perlu diperhatikan dalam membuat jendela, perlu diusahakan agar sinar matahari dapat langsung masuk ke dalam ruangan, dan tidak terhalang oleh bangunan lain. Fungsi jendela di sini, di samping sebagai ventilasi juga sebagai jalan masuk cahaya. Lokasi penempatan jendela pun harus diperhatikan dan diusahakan agar sinar matahari lebih lama menyinari lantai (bukan menyinari dinding), maka sebaiknya jendela itu harus di tengahtengah tinggi dinding (tembok). 2.7.4 Kelembaban kelembaban rumah yang tinggi dapat mempengaruhi penurunan daya tahan tubuh seseorang dan meningkatkan kerentanan tubuh terhadap penyakit terutama penyakit infeksi. Kelembaban juga dapat meningkatkan daya tahan hidup bakteri. Menurut Suryanto (2003), kelembaban dianggap baik jika memenuhi 40-70% dan buruk jika kurang dari 40% atau lebih dari 70%. Kelembaban berkaitan erat dengan ventilasi karena sirkulasi udara yang tidak lancar akan mempengaruhi suhu udara dalam rumah menjadi rendah sehingga kelembaban udaranya tinggi. Sebuah rumah yang memiliki kelembaban udara tinggi memungkinkan adanya tikus, kecoa dan jamur yang semuanya memiliki peran besar dalam patogenesis penyakit pernafasan (Krieger dan Higgins, 2002). 2.7.5 Lantai Lantai rumah dapat mempengaruhi terjadinya penyakit ISPA karena lantai yang tidak memenuhi standar merupakan media yang baik untuk perkembangbiakan bakteri atau virus penyebab ISPA. Lantai yang baik adalah lantai yang dalam keadaan kering dan tidak lembab. Bahan lantai harus kedap air dan mudah dibersihkan, jadi paling tidak lantai perlu diplester
dan akan lebih baik kalau dilapisi ubin atau keramik yang mudah dibersihkan (Ditjen PPM dan PL, 2002). 2.7.6 Dinding Dinding rumah yang baik menggunakan tembok, tetapi dinding rumah di daerah tropis khususnya di pedesaan banyak yang berdinding papan, kayu dan bambu. Hal ini disebabkan masyarakat pedesaan perekonomiannya kurang. Rumah yang berdinding tidak rapat seperti papan, kayu dan bamboo dapat menyebabkan penyakit pernafasan yang berkelanjutan seperti ISPA, karena angin malam yang langsung masuk ke dalam rumah. Jenis dinding mempengaruhi terjadinya ISPA, karena dinding yang sulit dibersihkan akan menyebabkan
penumpukan debu, sehingga akan dijadikan sebagai media yang baik bagi berkembangbiaknya kuman (Suryanto , 2003).
2.7.7 Plafon Rumah yang sehat hendaknya mempunyai plafon. Plafon yang memenuhi sarat kesehatan adalah yang terbuat dari bahan triplek. Plafon yang tidak memenuhi sarat adalah yang terbuat dari bahan geribik dan rumah yang tidak memiliki plafon. Tinggi minimum 2,4 meter, sebaiknya 3-4 meter (WHO) berfungsi agar matahari tidak dirasakan langsung.
2.8 2.8.1
Kerangka Teori
Kerangka teori pada dasarnya adalah ringkasan dari tinjauan pustaka yang digunakan untuk mengidentifikasi variable-variabel yang akan di teliti atau di ambil yang berkaitan dengan konteks ilmu pengetahuan yang digunakan untuk mengembangkan kerangka konsep penelitian (Notoatmodjo),2005). Berdasarkan uraian pada tinjauan pustaka, maka dapat di buat kerangka teori sebagai berikut: Gambar 2.1 Kerangka Teori
Berdasarkan kerangka teori di atas, maka kerangka konsep dari hubungan antara sanitasi fisik rumah dengan kejadian ispa pada balita dapat dilihat pada kerangka dibawah ini:
3.2.1
Variabel bebas Variabel bebas dalam penelitian ini adalah sanitasi fisik rumah yang meliputi ventilasi, pencahayaan alami, kelembaban, lantai, dinding, dan plafon rumah.
3.2.2 Variabel terikat Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kejadian ISPA pada balita. 3.3 Definisi Operasional Variabel Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel Penelitian Variabel Ventilasi DO Cara Ukur Alat Ukur Rollmeter Hasil
0= Tidak baik (<10% dari luas lantai) 1= Baik (10% dari luas lantai)
No
Skala Ordinal
Pencahayaan alami
Lubang angin untuk observasi proses pergantian udara segar ke dalam dan mengeluar-kan udara kotor dari suatu ruangan tertutup secara alamiah maupun buatan. Penerangan rumah observasi
Luxmeter
Kelembaban
Lantai
secara alami oleh sinar matahari untuk mengurangi kelembaban dan membunuh bakteri penyebab ISPA. Kandungan uap air observasi yang dapat dipengaruhi oleh sirkulasi udara dalam rumah dan pencahayaan yang masuk dalam rumah. Jenis bahan atau alas observasi dasar penutup rumah bagian bawah, dinilai dari segi bahan dan kedap air.
Check list
0= Tidak baik : Ordinal bila tidak kedap air (terbuat dari tanah) 1= Baik : bila kedap air (terbuat dari kramik, semen dan ubin)
Dinding
Plafon
Kualitas dinding observasi dinilai dari segi kontruksi bangunan. Permanen jika dibuat dari bahan kayu yang dirapatkan atau tembok yang diplester dan dicat, non permanen jika dibuat tembok atau papan/bambu yang tidak dirapatkan atau bahan yang kasar permukaannya. Jenis bahan atau alas observasi penutup rumah Bagian atas, dinilai dari ada tidaknya
Check list
0= Tidak baik : Ordinal Bila semi permanen, bambu dan kayu atau papan 1= Baik : Bila Permanen
Check list
0= Tidak baik : Ordinal bila tidak ada plafond dan ada plafon tapi
plafon.
tidak bisa melindungi kotoran dari atap. 1= Baik : bila ada plafon dan bisa melindungi dari kotoran atap.
Kejadian ISPA
Merupakan saluran
infeksi
Angket
Recall
pernafasan
Ordinal
tahun yang di tandai dengan batuk pilek, demam, sakit telinga (otitis radang media), dan
tenggorokan
(faringitis)
3.4
Hipotesis
1. Ada hubungan antara ventilasi rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Desa Bandar Agung Kecamatan Bandar Sribhawono. 2. Ada hubungan antara pencahayaan alami rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Desa Bandar Agung Kecamatan Bandar Sribhawono. 3. Ada hubungan antara kelembaban rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Desa Bandar Agung Kecamatan Bandar Sribhawono. 4. Ada hubungan antara lantai rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Desa Bandar Agung Kecamatan Bandar Sribhawono. 5. Ada hubungan antara dinding rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Desa Bandar Agung Kecamatan Bandar Sribhawono.
6. Ada hubungan antara plafon rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Desa Bandar Agung Kecamatan Bandar Sribhawono.
BAB IV METODELOGI PENELITIAN 4.1 Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan pendekatan cross sectional yaitu rancangan studi epidemiologi yang mempelajari hubungan penyakit dan paparan (faktor penelitian) dengan cara mengamati status paparan dan penyakit serentak pada individuindividu dari populasi tunggal, pada suatu saat atau periode (Murti, 1997). 4.2 Subjek Penelitian
Subjek pada penelitian ini adalah seluruh rumah yang di dalamnya terdapat balita berusia nol sampai lima tahun di Desa Bandar Agung Kecamatan Bandar Sribhawono. 4.3 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian ini di Desa Bandar Agung Kecamatan Bandar Sribhawono dan dilaksanakan pada bulan Juni 2011. 4.4 Metode Penetapan Sampel
4.4.1 Populasi penelitian Populasi penelitian ini adalah semua Kepala keluarga yang mempunyai balita berusia nol sampai lima tahun di Desa Bandar Agung, Kecamatan Bandar Sribhawono yang berjumlah 426 Kepala Keluarga.
4.4.2 Sampel pada penelitian Besar sampel dapat dihitung dengan rumus Khotari (1990). Teknik pengambilan sampel yang akan digunakan adalah cluster random sampling yaitu suatu pencuplikan di mana unit pencuplikan adalah kelompok (misalnya dukuh atau rumah tangga) bukan individu dan klaster yang dipilih secara random dari populasi (Murti, 2006). Karena pencuplikan sampel adalah cluster random sampling dengan jumlah populasi 62 KK dari 426 KK. Denga rumus sebagai berikut :
N : Besar populasi P : Perkiraan proporsi (prevalensi) variabel dependen pada populasi (95%) q : 1-p Z1-/2 : Statistik Z (Z = 1,96 untuk = 0,05) d : Delta presisi absolut atau margin of error yang diinginkan di kedua sisi proporsi (5%). 4.4.3 Kriteria inklusi dan Eksklusi a. Kriteria inklusi atau kriteria subjek yang memenuhi syarat sebagai sampel penelitian ini adalah : 1) Merupakan warga yang berdomisili (tinggal menetap) dan memiliki rumah di Desa Bandar Agung, Kecamatan Bandar Sribhawono. 2) Mempunyai balita berusia nol sampai lima tahun dalam setiap KK. 3) Bersedia menjadi responden. b. Kriteria eksklusi atau kriteria subjek yang tidak memenuhi syarat sebagai sampel penelitian ini adalah : 1) Bukan merupakan warga yang berdomisili (tinggal menetap) dan tidak memiliki rumah di Desa Bandar Agung, Kecamatan Bandar Sribhawono. 2) Tidak mempunyai balita berusia nol sampai lima tahun dalam setiap KK 3) Tidak bersedia menjadi responden.
4.5
Data
4.5.1 Data primer Data primer diperoleh melalui wawancara secara langsung kepada responden dengan menggunakan pedoman wawancara semi terstruktur, observasi dan pengukuran dilakukan pada sanitasi fisik rumah meliputi Ventilasi, pencahayaan alami, kelembaban, lantai, dinding dan plafon. 4.5.2 Data sekunder
Data sekunder diperoleh dari instansi-instansi kesehatan seperti dinas kesehatan kabupaten atau kota, puskesmas serta kantor kepala desa yang meliputi data jumlah kasus, gambaran umum lokasi penelitian dan data demografi. 4.5.3 Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, observasi dan pengukuran. Wawancara secara langsung ditujukan kepada ibu yang memiliki balita dengan menggunakan pedoman wawancara semi terstruktur, observasi dan pengukuran mengenai sanitasi fisik rumah dilakukan dengan menggunakan peralatan untuk mengukur luas ventilasi, pencahayaan alami, kelembaban, lantai, dinding, dan plafon rumah. 4.6 Jalannya Penelitian
Peneliti mengadakan survei awal ke Puskesmas Desa Bandar Sribhawono untuk meminta ijin mencari data Desa dengan jumlah kasus ISPA selama 3 tahun terakhir. Kemudian datang ke kantor Kelurahan Bandar Sribhawono untuk mencari data monografi, dan datang ke Posyandu pada setiap dusun untuk mencari data jumlah KK yang mempunyai balita. Penelitian dilakukan dengan mengadakan observasi langsung pada lantai, dinding dan plafon rumah, sedangkan pengukuran langsung pada ventilasi, pencahayaan alami dan kelembaban rumah. 4.7 Metode Analisis Data
4.7.1 Analisis univariat Analisis univariat (analisis persentase) dilakukan untuk menggambarkan distribusi frekuensi masing-masing, baik variabel bebas (independen), variabel terikat (dependen) maupun deskripsi karakteristik responden. 4.7.2 Analisis bivariat Analisis bivariat dilakukan dengan menggunakan uji chi square dengan rumus :
Menurut Budiarto (2001), dasar pengambilan keputusan penerimaan hipotesis dengan tingkat kepercayaan 95% : a. Jika nilai sig p > 0,05 maka hipotesis penelitian diterima. b. Jika nilai sig p 0,05 maka hipotesis penelitian ditolak. 4.8 Pengolahan Data
Menurut Budiarto (2001), kegiatan dalam proses pengolahan data meliputi: 1. Editing, yaitu memeriksa kelengkapan, kejelasan makna jawaban, konsistensi maupun kesalahan antar jawaban pada kuesioner. 2. Coding, yaitu memberikan kode-kode untuk memudahkan proses pengolahan data. a. Variabel Ventilasi Alat ukur: Rollmeter Kode 0 = Tidak baik (<10% dari luas lantai)
1 b. = Baik (10% dari luas lantai)
1 c.
Variabel Pencahayaan alami Alat ukur: Luxmeter Kode 0 = Tidak baik (<60 lux atau >120 lux) = Baik (60-120 lux)
Variabel Kelembaban Alat ukur: Hygrometer Kode 0 = Tidak baik (<40% atau >70%) 1 = Baik (40-70%) d. Variabel Lantai Alat ukur: Check list Kode 0 = Tidak baik : bila tidak kedap air (terbuat dari tanah) = Baik : bila kedap air (terbuat dari kramik, semen dan ubin)
Variabel Dinding Alat ukur: Checlist Kode: 0 = Tidak baik : Bila semi permanen, bambu dan kayu atau papan 1 = Baik : Bila Permanen f. Variabel Plafon
e.
Alat ukur: Checklis Kode: 0 = Tidak baik : bila tidak ada plafond dan ada plafon tapi tidak bisa melindungi kotoran 1 = Baik : bila ada plafon dan bisa melindungi dari kotoran atap. g. Variabel Kejadian Ispa Alat ukur: Recall Kode: 0 = Tidak pernah 3. 4.
= Pernah
dari
atap.
Tabulating, yaitu mengelompokkan data sesuai variabel yang akan diteliti guna memudahkan analisis data.
4.9
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kuisioner. Pedoman observasi. Formulir isian pengukuran. Rollmeter. Luxmeter. Hygrometer. 4.10 Bahan Penelitian Bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah:
1. Alat tulis ( computer ) 2. Buku-buku referensi sebagai bahan pertimbangan