Anda di halaman 1dari 9

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI

2013 Magister Psikologi UMM, ISSN: 2303-2936 Volume I (2), 190 - 198

Konseling logoterapi untuk meningkatkan kebermaknaan hidup lansia


Hana Uswatun Hasanah Suprapto Madiun Jawa Timur1

Abstraksi

Menjadi tua adalah suatu hal yang tidak dapat dihindari. Saat memasuki periode lansia, menjadi seseorang yang lebih berarti dalam hidup tampaknya sangat penting. Lansia akan menghadapi berbagai persoalan yang terkait dengan beberapa perubahan yang dialami lansia, yaitu perubahan dalam aspek fisik, kognitif, dan psikososial. Hal tersebut akan menimbulkan berbagai dampak bagi lansia, salah satunya ialah perasaan tidak bermakna dalam hidup yang dapat menyebabkan terjadinya gejala fisik. Subjek ialah lansia yang mengalami ketidakbermaknaan hidup dan berdampak pada gejala fisik. Penanganan yang diberikan terhadap subjek ialah konseling logoterapi dengan metode dereflection. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan studi kasus tunggal. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan pengisian Kuesioner Kebermaknaan Hidup. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konseling logoterapi dapat meningkatkan kebermaknaan hidup pada lansia.

Kata kunci Konseling logoterapi, kebermaknaan hidup, lansia

Pendahuluan
Menjadi seseorang yang berarti dalam hidup tampaknya sangat penting saat memasuki periode lansia (Wong, 2007). Pada masa ini, lansia harus dapat menerima, bersikap positif, serta dapat menjalani masa tuanya dengan tenang. Lansia akan menghadapi berbagai persoalan seperti perasaan kesepian, menurunnya kondisi fisik dan kognitif, perasaan tidak mampu, kematian pasangan atau orang-orang terdekat (Suri, 2010), hilangnya dukungan sosial (Tang, 2008; Umberson & Montez, 2010), serta penurunan kesempatan dalam hal ekonomi karena tidak bekerja atau pensiun (Vladeck & Segel, 2010). B Berbagai persoalan tersebut dapat mempengaruhi lansia dalam memaknai kehidupan. Persoalan yang terjadi pada masa lansia tersebut terkait dengan beberapa perubahan yang dialami lansia, yaitu perubahan yang meliputi aspek fisik (Smith & Gove, 2005), kognitif (Duff, et al., 2010), dan psikososial (Brown & Lowis, 2003). Perubahan-perubahan yang terjadi dapat mempengaruhi individu dalam
1

melakukan aktivitas sehari-hari (Ayranci & Ozdac, 2006) serta dalam hubungan sosialnya dengan orang lain (Holt-Lunstad, Smith, & Layton, 2010). Lansia dapat mengalami kecemasan terhadap perubahan-perubahan tersebut, dan mempengaruhi mereka dalam memaknai hidupnya. Lansia yang tidak mampu melalui berbagai perubahan secara baik akan merasa kehilangan makna dan tujuan dari hidupnya. Hal tersebut akan dapat berdampak bagi lansia, misalnya neurosis, khususnya noogenic neuroses, yaitu neurosis yang lebih dikarenakan tidak terpenuhinya keinginan untuk hidup bermakna (Frankl, 2008). Kebermaknaan hidup lansia berkaitan dengan persepsi terhadap kualitas hidup (Alavi et al., 2011), yang mencakup kesejahteraan psikologis, fungsi fisik yang baik, hubungan dengan orang lain, kesehatan, dan aktivitas sosial. Proses penuaan mengakibatkan penurunan dalam banyak hal, terutama dalam hal kesehatan dan kekuatan fisik. Kebermaknaan hidup juga berkaitan dengan kematian di usia tua (Krause, 2009). Lansia yang merasa hidupnya bermakna akan memiliki usia ha-

Korespondensi ditujukan kepada Hana Uswatun Hasanah S, hanauswatunhasanah@yahoo.com, telepon: 085643233777

190

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013,Volume I (2), 190 - 198

rapan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan lansia yang merasa hidupnya tidak bermakna. Kebermaknaan hidup juga memiliki keterkaitan dengan fungsi tubuh pada lansia. Lansia yang merasa tidak bermakna dapat merasa putus asa dan sia-sia dalam menjalani hidupnya, bahkan merasa menjadi beban bagi orang lain (Langle & Probst, 2000). Lansia yang memiliki makna hidup dapat melihat tujuan yang lebih besar dan saling keterkaitan dalam kehidupan, merasa lebih memegang kendali dalam mengarahkan hidupnya, serta menunjukkan keinginan kuat untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik (Reker & Woo, 2011). Mereka tidak mudah mengalami depresi dibandingkan dengan individu yang mementingkan diri sendiri, tanpa memiliki komitmen nyata untuk pengembangan pribadi, interpersonal, atau masyarakat (Reker & Woo, 2011). Memiliki makna hidup berarti dapat meningkatkan semangat hidup dan meletakkan dasar untuk kesejahteraan (Wong, 2007). Kehilangan makna hidup dapat menurunkan semangat untuk hidup, yang pada gilirannya dapat menyebabkan perasaan kekosongan dan depresi, dan dalam kasus terburuk, hingga bunuh diri. Untuk mengatasi perasaan tidak bermakna dalam hidup, lansia membutuhkan bantuan untuk mendapatkan makna hidupnya kembali. Konseling logoterapi merupakan sarana bagi lansia untuk menemukan dan meningkatkan makna dan tujuan hidupnya. Salah satunya ialah logo-autobiografi, pengembangan dari logoterapi, untuk meningkatkan kebermaknaan hidup dan kesehatan mental (Cho, 2008). Penanganan konseling logoterapi dapat dilakukan melalui beberapa metode. Salah satunya ialah metode dereflection dimana klien mengabaikan gejala fisik yang dialami dan lebih memperhatikan hal yang positif dan bermanfaat. Metode ini dapat digunakan pada berbagai kasus gangguan psikologis, seperti Skizofrenia (Lantz, 1982). Keluarga diajarkan metode dereflection sehingga dapat berperan sebagai terapis bagi individu skizofrenia dengan lebih memberikan perhatian terhadap minat dan aktivitas yang lebih bermanfaat. Berdasarkan permasalahan yang dialami subjek yaitu merasa kehilangan makna hidup yang berakibat pada gejala-gejala fisik pada subjek, maka penanganan yang akan diberikan kepada subjek ialah konseling logoterapi dengan metode dereflection. Tujuan penanganan tersebut ialah agar subjek memahami per-

masalahan yang dihadapinya sehingga dapat menemukan makna dan tujuan hidupnya kembali serta mandiri dan bertanggungjawab terhadap pilihan-pilihan hidup yang lebih positif dan bermanfaat. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap wawasan dan wacana dalam pengembangan ilmu psikologi, terutama pada bidang psikologi konseling, psikologi klinis, serta psikologi perkembangan, dimana konseling logoterapi dapat diterapkan pada kasus yang sama terhadap individu yang mengalami gangguan fisik akibat perasaan tidak bermakna dalam hidup.

Tinjauan Pustaka
Upaya manusia untuk mencari makna hidup merupakan motivator utama dalam hidup, yang muncul karena dorongan nalurinya, yang hanya dapat dipenuhi oleh orang yang bersangkutan (Frankl, 2008; Macdonald, Wong, & Gingras, 2011). Keinginan untuk mencari makna hidup tersebut dapat terhambat karena berbagai hal, biasa disebut dengan frustasi eksistensial (Frankl, 2008). Seseorang dikatakan sehat secara mental yang didasarkan pada tingkatan ketegangan tertentu dimana terdapat jarak antara ketegangan yang telah dialami dengan ketegangan yang masih dapat dicapai; atau kesenjangan kondisi seseorang pada saat tertentu dengan kondisi yang seharusnya dicapai (Frankl, 2008). Dengan mengalami ketegangan tersebut, seseorang dapat meninjau kembali makna hidupnya. Seseorang yang merasa tidak memiliki makna hidup, tidak melihat makna yang layak dalam hidupnya dan mengalami kekosongan batin yang biasa disebut kehampaan eksistensial (Macdonald, Wong, & Gingras, 2011). Hal tersebut banyak dialami oleh lansia, yang terlihat dalam bentuk rasa bosan karena kurangnya aktivitas, terutama bila para lansia tersebut telah pensiun atau berhenti bekerja. Terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan makna hidup pada lansia, salah satunya melalui konseling logoterapi. Konseling logoterapi merupakan bagian dari pendekatan eksistensial yang diperkenalkan oleh Viktor Frankl pada tahun 1992 dalam bukunya, Mans Searching for Meaning (Glassman, 1995). Frankl berpendapat bahwa gangguan yang dialami individu merupakan hasil dari kegagalan mencari makna hidup yang biasanya diperoleh dari penderitaan dan kehilangan, serta kegagalan dalam membuat

191

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013,Volume I (2), 190 - 198

pilihan yang bermakna dan memaksimalkan potensi individu (Gladding, 2004). Frankl berpendapat bahwa setiap saat terdapat kesempatan baru untuk membuat pilihan dan menciptakan apapun (Bekerian & Levey, 2005; Bastaman, 2007). Tiap individu memiliki makna hidup yang berbeda, termasuk pada lansia. Menurut Frankl, setiap individu memiliki keinginan untuk bermakna dalam hidupnya, yang bersifat independen, tidak berdasarkan jenis kelamin, usia, kapasitas intelektual, karakteristik kepribadian, atau agama (Takkinen & Ruoppila, 2001). Sebagian lansia menyatakan bahwa makna hidup mereka ialah hubungan mereka dengan orang lain (Takkinen & Ruoppila, 2001). Sebagian lain merasa hidupnya bermakna saat mereka dapat melakukan aktivitas baru yang melibatkan kepentingan sosial, terutama setelah pensiun atau tidak bekerja (Takkinen & Ruoppila, 2001; Wong, 2007). Melalui konseling logoterapi, konselor memberikan bantuan psikologis kepada lansia mengenai dirinya berkaitan dengan kebermaknaan hidup. Tahapan dalam konseling logoterapi mencakup perkenalan, pengungkapan dan penjajagan masalah, pembahasan bersama, evaluasi dan penyimpulan, serta pengubahan sikap dan perilaku untuk meningkatkan kebermaknaan hidup (Bastaman, 2007). Proses dan tahapan konseling logoterapi sejalan dengan konseling pada umumnya, dan komponen logoterapi dibahas selama pelaksanaan konseling yang bertujuan agar lansia menemukan makna dan tujuan hidupnya. Konseling logoterapi merupakan konseling pada individu yang mengalami ketidakjelasan makna dan tujuan hidup sehingga menyebabkan kehampaan dan kehilangan gairah hidup, bukan untuk kasus patologis berat yang membutuhkan psikoterapi (Bastaman, 2007). Empat langkah konseling logoterapi yaitu (1) mengambil jarak atas gejala (distance from symptoms) dimana konselor membantu menyadarkan subjek bahwa gejala sama sekali tidak identik dan mewakili diri subjek, namun semata-mata merupakan kondisi yang dialami dan dapat dikendalikan; (2) modifikasi sikap (modification of attitude) dimana konselor membantu subjek untuk mendapatkan pandangan baru atas diri dan kondisinya, selanjutnya subjek menentukan sikap baru untuk menentukan arah dan tujuan hidupnya; (3) pengurangan gejala (reducing symptoms) dimana konselor menggunakan teknik logote-

rapi berupa dereflection untuk menghilangkan atau mengurangi dan mengendalikan gejala pada subjek; (4) orientasi terhadap makna (orientation toward meaning) dimana konselor bersama subjek membahas bersama nilai-nilai dan makna hidup yang secara potensial ada dalam kehidupan subjek, memperdalam dan menjabarkannya menjadi tujuan yang lebih konkrit. (Bastaman, 2007) melalui langkahlangkah tersebut, subjek akan menemukan makna hidupnya dan dapat mengendalikan gejala fisik yang dirasakan subjek. Dalam pendekatan humanistik eksistensial, terdapat beberapa gangguan yang dapat dialami individu. Salah satunya ialah neurosis noogenik yaitu gangguan yang disebabkan tidak terpenuhinya keinginan untuk hidup bermakna. Metode dereflection dalam konseling logoterapi dapat digunakan untuk mengatasi neurosis noogenik yang terjadi pada lansia. Metode ini memanfaatkan kemampuan transendensi diri yang terdapat pada setiap individu dewasa dimana klien tidak memperhatikan kondisi yang menimbulkan ketidaknyamanan sehingga lebih memperhatikan hal-hal yang positif dan bermanfaat (Bastaman, 2007). Melalui metode ini, klien akan mengalami perubahan sikap, yaitu dari sikap yang terlalu memperhatikan diri menjadi memiliki komitmen terhadap suatu yang penting baginya. Melalui langkah-langkah dan metode pada konseling logoterapi tersebut, lansia yang kehilangan makna hidupnya dapat berusaha untuk memperolehnya kembali. Seharusnya masa tua memberikan kesempatan bagi lansia untuk memberikan perhatian pada kondisi kesehatan, serta menjalin hubungan yang lebih dekat dengan keluarga dan para sahabat. Lansia yang hidup secara bermakna digambarkan sebagai individu yang menerima dan bersikap positif terhadap proses menjadi tua dan dapat menjalaninya dengan tenang (Bastaman, 2007). Kondisi kesehatan mereka terjaga dan sejahtera, dihormati dan menjadi panutan dalam keluarga dan lingkungannya, serta bersedia membagi pengalaman-pengalamannya yang bermanfaat. Lansia yang memperoleh makna dari kehidupannya, akan menjadi pribadi yang lebih terbuka, bersedia melakukan pengalaman baru, menjadi pribadi yang menyenangkan, dan lebih berhati-hati (Reker & Woo, 2011). Lansia yang bermakna dalam hidupnya selalu memiliki harapan pada dirinya akan menjadi lebih baik dan bersedia untuk mem-

192

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013,Volume I (2), 190 - 198

perbaiki diri, berguna dan bermanfaat pada lingkungan atau komunitas yang terkait dengan kehidupannya sebagai lansia (Bastaman, 2007). Hubungan sosial dengan orang lain juga merupakan salah satu faktor yang terkait dengan perasaan bermakna dalam hidup. Lansia yang memiliki makna dalam hidupnya mampu hidup secara mandiri dan tidak terlalu bergantung pada keluarga, memiliki hubungan yang dekat dengan keluarga serta memiliki teman dan sahabat sebagai wadah untuk bersosialisasi di luar rumah (Bastaman, 2007). Apabila lansia yang mengalami ketidakbermaknaan dalam hidup mulai menyadari dan menemukan makna hidupnya kembali, konselor yang berperan sebagai participating partner dapat menarik keterlibatan dengan klien sedikit demi sedikit (Bastaman, 2007). Karakteristik konseling logoterapi ialah jangka pendek, berorientasi masa depan dan berorientasi pada makna hidup (Bastaman, 2007). Hubungan konselor dengan klien ditandai dengan keakraban dan keterbukaan, saling menghargai, memahami, dan menerima. Konseling logoterapi dapat dilakukan secara fleksibel, yaitu direktif atau non direktif dan tidak terpaku dalam tahapan pelaksanaannya (Bastaman, 2007).

adalah nyata dan mengarah pada penyakit tertentu, meski dokter dan paramedis tidak menemukan hal serius berkaitan dengan penyakit kronis.

Metode pengumpulan data


Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan pengisian kuesioner kebermaknaan hidup. Wawancara dilakukan terhadap subjek dan istri serta anak subjek. Informasi yang diperoleh pada saat asesmen atau pra konseling digunakan untuk menentukan langkah-langkah yang akan dilakukan pada saat konseling. Informasi yang diperoleh pada saat proses konseling digunakan untuk mengetahui perkembangan subjek pada setiap sesi. Informasi yang diperoleh pada saat pasca konseling digunakan untuk mengetahui perubahan subjek secara keseluruhan, serta informasi yang diperoleh dari keluarga subjek digunakan untuk mengetahui kesesuaian informasi perubahan yang disampaikan subjek, sedangkan informasi yang diperoleh pada saat tindak lanjut digunakan untuk mengetahui apakah perubahan pada subjek bersifat menetap atau tidak. Jenis wawancara yang digunakan ialah tidak terstruktur dimana wawancara dilakukan secara informal, pertanyaan-pertanyaan diajukan dengan bebas kepada subjek (Zuriah, 2005; Vanderstoep & Johnston, 2009). untuk mengumpulkan data-data terkait dengan subjek sebagai penunjang dalam penentuan intervensi yang sesuai dengan permasalahan yang dialami subjek. Kuesioner kebermaknaan hidup diadaptasi dari The Meaning in Life Questionnaire MLQ (Steger, Frazier, Oishi et al., 2006). MLQ memiliki reliabilitas .70 untuk item presence (1, 4, 5, 6, 9) dan .73 untuk item search (2, 3, 7, 8, 10) serta nilai validitas .70 untuk item presence dan .33 untuk item search . Tujuan diberikan kuesioner ini ialah untuk mengetahui kebermaknaan hidup subjek sebelum dan setelah dilakukan konseling, (Steger et al., 2006). Kuesioner diberikan pada awal dan akhir konseling, dan merupakan alat ukur semantik diferensial yang bersifat menilai kesesuaian item dengan kondisi subjek sehingga interpretasinya dilakukan pada setiap item untuk mengetahui kondisi kebermaknaan hidup subjek saat pengukuran dilakukan (Widhiarso, 2012). Kuesioner ini telah digunakan untuk pengukuran dalam kegiatan terapi dan penelitian, serta sebagai sarana untuk memahami subjek

Metode Penelitian Rancangan penelitian


Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan studi kasus tunggal (single case study), dimana suatu kasus diperdalam dengan batas-batas tertentu dari waktu ke waktu secara detil, pengumpulan data mendalam yang melibatkan berbagai sumber informasi (seperti observasi, wawancara, materi audiovisual, dokumen) dan deskripsi kasus (Creswell, et al., 2007; Fellows & Liu, 2008). Studi kasus tunggal diterapkan untuk melakukan evaluasi terhadap peranan dan pengaruh suatu intervensi pada kasus tunggal (Kazdin, 1998).

Subjek penelitian
Subjek penelitian ialah individu berusia 62 tahun, sering mencari pelayanan medis karena merasakan berbagai keluhan fisik, diantaranya sakit kepala (pusing), punggung kaku, nyeri di persendian tangan & kaki, dada sesak, perut kembung, lambung perih, lemah pada bagian kaki dan suara serak. Subjek meyakini bahwa keluhan fisik yang dirasakannya

193

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013,Volume I (2), 190 - 198

saat akan memulai konseling untuk mencari dan membangun makna dan tujuan hidupnya selama proses konseling (Steger & Shin, 2010).

Prosedur penelitian
Prosedur penelitian studi kasus tunggal dilakukan dalam beberapa tahap (Lesmana, 2008), yaitu tahap persiapan penelitian dilakukan dengan menentukan intervensi yang akan diberikan kepada subjek dengan administrasi yang dapat dilakukan secara berulang. Pada penelitian ini intervensi yang diberikan ialah konseling logoterapi. Tahap pelaksanaan dimana peneliti membangun hubungan dengan subjek sehingga subjek dapat menjelaskan permasalahan yang dialaminya. Peneliti mulai mengumpulkan data mengenai subjek melalui wawancara. Pada awal konseling, peneliti dan subjek membuat kesepakatan mengenai tujuan konseling, frekuensi konseling, durasi setiap sesi konseling, lama konseling atau jumlah sesi keseluruhan, harapan subjek, serta kesediaan subjek untuk berkomitmen. Selanjutnya subjek diminta mengisi MLQ untuk mengetahui tingkat kebermaknaan hidup subjek pada awal konseling. Selama pelaksanaan konseling, subjek menuliskan keadaannya setiap hari dan evaluasi dilakukan pada setiap sesi untuk mengetahui perkembangan subjek. Pada akhir konseling, evaluasi dilakukan pada seluruh proses konseling, dengan indikator tujuan dan harapan yang telah dise-pakati pada awal konseling. Konseling diakhiri saat kondisi subjek mengalami perkembangan ke arah lebih baik. Selanjutnya subjek diminta mengisi MLQ kembali untuk mengetahui tingkat kebermaknaan hidup subjek pada akhir konseling. Tahap penutup atau pasca konseling dimana peneliti menghentikan intervensi dan memberikan kesimpulan akhir dari keseluruhan intervensi yang telah dilakukan. Dilakukan wawancara terhadap istri subjek untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada subjek, apakah sesuai dengan yang telah disampaikan oleh subjek. Tahap follow up dilakukan untuk mengetahui keadaan subjek setelah konseling berakhir, apakah keterampilan mengatasi masalah yang dipelajari selama konseling dapat dipertahan-kan oleh subjek dalam kesehariannya, serta apakah subjek telah menunjukkan pemahaman diri yang positif.

permasalahan yang dialami subjek dan tujuan yang akan dicapai subjek. Lukas (Bastaman, 2007) menjabarkan empat langkah konseling logoterapi yaitu (1) mengambil jarak atas gejala (distance from symptoms) dimana konselor membantu menyadarkan subjek bahwa gejala sama sekali tidak identik dan mewakili diri subjek, namun semata-mata merupakan kondisi yang dialami dan dapat dikendalikan; (2) modifikasi sikap (modification of attitude) dimana konselor membantu subjek untuk mendapatkan pandangan baru atas diri dan kondisinya, selanjutnya subjek menentukan sikap baru untuk menentukan arah dan tujuan hidupnya; (3) pengurangan gejala (reducing symptoms) dimana konselor menggunakan teknik logoterapi berupa dereflection untuk menghilangkan atau mengurangi dan mengendalikan gejala pada subjek; (4) orientasi terhadap makna (orientation toward meaning) dimana konselor bersama subjek membahas bersama nilai-nilai dan makna hidup yang secara potensial ada dalam kehidupan subjek, memperdalam dan menjabarkannya menjadi tujuan-tujuan yang lebih konkrit.

Metode analisis dan interpretasi data


Analisis data penelitian dilakukan pada saat tahap pra konseling, pelaksanaan konseling, pasca konseling, dan pada tahap tindak lanjut atau follow-up. Analisis data pada penelitian ini memfokuskan pada peningkatan yang telah dicapai oleh subjek selama pemberian konseling (Kazdin, 1998). Analisis data dilakukan melalui pengumpulan hasil wawancara kemudian dirangkum untuk mendapatkan inti dari hasil wawancara. Kuesioner Kebermaknaan Hidup dianalisa dan diinterpretasi secara deskriptif pada setiap item untuk mengetahui perkembangan subjek pada awal konseling dengan akhir konseling. Analisis data pra konseling dilakukan untuk mengetahui kondisi awal subjek dan halhal yang telah dilakukan untuk mengatasi permasalahan yang dialami subjek serta tingkat kebermaknaan hidup subjek. Sedangkan analisis data pada pelaksanaan konseling dilakukan untuk mengetahui perkembangan kondisi subjek berkaitan dengan kebermaknaan hidup dan mengidentifikasikan perubahan ataupun hambatan yang dialami subjek selama menjalani proses konseling. Selanjutnya analisis data pasca konseling dilakukan untuk mengetahui peningkatan kebermaknaan hidup dari awal hingga akhir konseling. Pada tahap ini, subjek diharapkan telah mencapai level nor-

Rancangan intervensi
Intervensi yang akan diberikan kepada subjek ialah untuk konseling logoterapi mengatasi 194

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013,Volume I (2), 190 - 198

matif dari seorang individu normal, masalah yang dialaminya telah diatasi, gejala atau keluhan yang dirasakan subjek telah berkurang, tidak ditemukan kriteria diagnosa yang mungkin pada awal konseling, serta orang-orang terdekat merasakan peningkatan kondisi subjek setelah konseling (Kazdin, 1998). Selain itu, dapat diketahui faktor yang berperan terhadap peningkatan kondisi subjek tersebut. Analisis data pada tahap tindak lanjut dilakukan untuk mengetahui kemampuan subjek untuk mempertahankan perbaikan yang dicapai selama konseling, setelah konseling dihentikan, serta untuk mengetahui kemampuan subjek untuk mengaktualisasikan kebermaknaan hidup yang telah dicapainya hingga akhir konseling melalui aktivitas sehari-hari.

Hasil analisis dan interpretasi data


Hasil analisis dan interpretasi data mengenai kondisi subjek sebelum diberikan konseling, hal yang dilakukan konselor selama konseling, serta kondisi subjek setelah diberikan konseling. Berdasarkan hasil analisis dan interpretasi data menunjukkan bahwa konseling logoterapi dapat meningkatkan kebermaknaan hidup pada lansia. Hal tersebut dapat diketahui pada pra, proses, dan pasca konseling serta pengisian Kuesioner Kebermaknaan Hidup yang menunjukkan peningkatan kebermaknaan hidup pada subjek. Konseling logoterapi diberikan pada subjek karena konseling ini merupakan konseling yang diberikan pada individu yang

Tabel 1 Kondisi subjek sebelum dan setelah konseling


Sebelum Konseling Pemberian Intervensi Setelah Konseling 1. Keluhan yang dirasakan subjek telah berkurang dan mampu diabaikan oleh subjek sehingga tidak memenuhi kriteria diagnosa untuk gangguan psikologis Subjek telah mampu menerima kondisi bahwa ia tidak mampu memberikan nafkah bagi keluarganya dan lebih memperhatikan hal-hal yang dapat dilakukannya untuk membahagiakan keluarganya Subjek dapat mempertahankan pengendalian emosi yang telah berhasil dilakukannya agar dapat terus dilakukan dalam kehidupan sehari-hari Pernyataan dari anggota keluarga bahwa terdapat perubahan subjek ke arah yang lebih baik berkaitan dengan sikapnya terhadap anggota keluarga Subjek telah memiliki tujuan hidup, yaitu membahagiakan dan mensejahterakan keluarga meski tidak berupa materi, dapat bermanfaat bagi orang lain, dan lebih dekat dengan Tuhan

1. Subjek sering mencari pelayanan Konseling logoterapi diberikan dalam 4 medis karena merasakan berbagai langkah, yaitu: keluhan fisik : sakit kepala (pusing), 1. mengambil jarak atas gejala (distance punggung kaku, nyeri di persendian from symptoms) dimana konselor tangan & kaki, dada sesak, perut membantu menyadarkan subjek kembung, lambung perih, lemah pada bahwa gejala sama sekali tidak identik bagian kaki, suara serak dan mewakili diri subjek, namun 2. Subjek tidak dapat menerima semata-mata merupakan kondisi yang kenyataan bahwa keadaan keluarga dialami dan dapat dikendalikan; tidak tercukupi secara finansial karena 2. modifikasi sikap (modification of subjek tidak mampu memberikan attitude) dimana konselor membantu nafkah bagi keluarganya subjek untuk mendapatkan 3. Subjek menjadi mudah marah dan pandangan baru atas diri dan merasa tidak dihormati sebagai kondisinya, selanjutnya subjek kepala keluarga karena istri dan menentukan sikap baru untuk anak-anaknya sering tidak menuruti menentukan arah dan tujuan perkataan subjek hidupnya; 4. Permasalahan yang dihadapi subjek 3. pengurangan gejala (reducing membuatnya merasa tidak berharga, symptoms) dimana konselor merasa tujuan hidupnya tidak menggunakan teknik logoterapi terpenuhi dan merasa hidupnya tidak berupa dereflection untuk bermakna menghilangkan atau mengurangi dan mengendalikan gejala pada subjek; 4. orientasi terhadap makna (orientation toward meaning) dimana konselor bersama subjek membahas bersama nilai-nilai dan makna hidup yang secara potensial ada dalam kehidupan subjek, memperdalam dan menjabarkannya menjadi tujuantujuan yang lebih konkrit.

2.

3.

4.

5.

195

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013,Volume I (2), 190 - 198

mengalami ketidakjelasan makna dan tujuan hidup. Hal tersebut menyebabkan subjek mengalami kehampaan dan kehilangan gairah hidup. Konseling logoterapi juga diberikan pada subjek karena konseling ini tidak diterapkan untuk kasus patologis berat yang membutuhkan psikoterapi. Selain itu, konseling logoterapi memiliki karakteristik jangka pendek, berorientasi masa depan dan berorientasi pada makna hidup (Bastaman, 2007). Dalam pendekatan humanistik eksistensial, subjek mengalami neurosis noogenik yaitu gangguan yang disebabkan tidak terpenuhinya keinginan subjek untuk hidup bermakna, gangguan tersebut berupa beberapa keluhan fisik yang dialami subjek. Penanganan yang diberikan pada subjek ialah konseling logoterapi dengan menggunakan metode dereflection. Metode ini memanfaatkan kemampuan transendensi diri yang terdapat pada setiap individu dewasa seperti subjek dimana subjek diarahkan untuk tidak memperhatikan kondisi yang menimbulkan ketidaknyamanan (Bastaman, 2007). Melalui metode tersebut subjek lebih memperhatikan hal-hal yang positif dan bermanfaat dan mengalami perubahan sikap, yaitu dari sikap yang terlalu memperhatikan diri menjadi sikap yang memiliki komitmen terhadap suatu yang penting bagi subjek. Dalam kasus ini, hal yang penting bagi subjek ialah menentukan tujuan hidup dan menemukan makna hidupnya kembali. Metode dereflection lebih adaptif untuk dilakukan, dimana subjek lebih mudah menerima kondisi dirinya, karena metode tersebut tidak membutuhkan banyak hal yang berkaitan dengan kontrol terhadap pribadinya sebagai seorang lansia. Melalui metode dereflection, subjek dapat melihat hal yang berarti dalam kehidupan mereka dan dapat mengatasi kehampaan eksistensial yang dialaminya. Konseling logoterapi membantu subjek untuk menemukan sendiri makna hidupnya, menyadari bahwa mereka memiliki kebebasan dalam menentukan pilihan hidup dan bertanggung jawab terhadap pilihan hidup tersebut (Sugioka, 2011). Hasil dari konseling logoterapi ini didukung oleh kemauan dan motivasi subjek untuk meningkatkan kebermaknaan hidupnya serta dukungan dari anggota keluarga subjek. Istri subjek menyatakan bahwa terdapat perubahan subjek ke arah yang lebih baik berkaitan dengan sikapnya terhadap istri dan anak-anak subjek. Istri subjek tidak lagi menemui kebiasaan subjek untuk memeriksakan kondisi fisiknya secara berlebihan ke puskesmas. Istri

subjek juga menyatakan bahwa subjek kini lebih dapat mengendalikan emosi daripada sebelumnya. Selain dari proses konseling logoterapi, peningkatan kondisi subjek tersebut dipengaruhi oleh pihak lain, yaitu penjelasan dari saudara subjek yang berprofesi dokter yang dapat meyakinkan subjek bahwa gejala fisik yang dikeluhkannya bukan merupakan gejala dari penyakit kronis tertentu. Serta percakapan yang sering dilakukan subjek dengan temannya dimana subjek diajarkan untuk mengubah sikapnya dalam menjalani hidup dan dalam menyikapi orang lain. Subjek menyadari bahwa masukan dari dua pihak tersebut serta proses konseling yang telah dilakukan memiliki manfaat yang besar terhadap dirinya untuk menjadi lebih baik di waktu yang akan datang. Selanjutnya berdasarkan Kuesioner Kebermaknaan Hidup yang diisi oleh subjek, terdapat perbedaan yang signifikan pada beberapa poin di awal konseling dengan di akhir konseling. Hal tersebut menunjukkan bahwa subjek belum menemukan tujuan hidupnya sebelum diberikan konseling dan telah mampu menentukan tujuan hidupnya secara jelas setelah diberikan konseling, yaitu dapat membahagiakan keluarga, dapat bermanfaat bagi orang lain, serta lebih dekat dengan Tuhan. Pada poin lain juga terdapat perbedaan yang signifikan, dimana hasil pengisian kuesioner menunjukkan bahwa pada awal konseling subjek belum menemukan makna hidupnya dan pada akhir konseling subjek telah menemukan makna hidupnya. Sedangkan hasil pengisian kuesioner secara keseluruhan, kondisi subjek menunjukkan adanya perubahan pada awal dan akhir konseling. Subjek telah mampu menentukan tujuan hidupnya secara jelas dan telah menemukan makna hidupnya kembali. Selama proses konseling logoterapi, peneliti dan subjek memiliki hubungan yang akrab, terbuka, saling menghargai, memahami dan menerima, sehingga proses konseling dapat dilakukan secara fleksibel. Konseling bersifat direktif dimana peneliti memberikan pengarahan pada subjek mengenai hal-hal yang dapat dilakukan subjek sebagai proses untuk menemukan makna hidupnya. Peneliti berperan sebagai participating partner yang menarik keterlibatan dengan subjek sedikit demi sedikit setelah subjek mulai menyadari dan menemukan makna hidupnya (Bastaman, 2007). Keterbatasan dalam penelitian ini ialah faktor eksternal yang tidak dapat dikontrol oleh peneliti, yang kemungkinan dapat mempenga-

196

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013,Volume I (2), 190 - 198

ruhi hasil konseling. Faktor eksternal tersebut ialah pengaruh dari keluarga, saudara, serta sahabat subjek. Keluarga, terutama istri subjek, memberikan dukungan setiap saat agar subjek dapat menerima kondisi fisiknya dan menjalani hidup dengan lebih tenang. Selama proses konseling, keluarga mendukung subjek untuk melakukan hal-hal yang positif dan bermanfaat sehingga kebermaknaan hidup subjek meningkat. Saudara subjek yang berprofesi dokter juga memberikan pengaruh terhadap hasil konseling. Saudara subjek tersebut melakukan pemeriksaan terhadap kondisi fisik subjek dan tidak menemukan kemungkinan yang mengarah pada penyakit kronis tertentu. Saudara subjek menjelaskan bahwa gejala fisik yang dialami subjek akibat kondisi fisik subjek yang mengalami penurunan karena memasuki masa lansia, dan meyakinkan bahwa subjek tidak perlu mengkhawatirkan gejala-gejala tersebut. Selanjutnya sahabat subjek yang sering melakukan percakapan dengan subjek juga memberikan dukungan pada subjek. Ia meyakinkan bahwa subjek dapat memiliki kehidupan yang lebih tenang dengan menerima kondisi fisiknya yang menurun. Sahabat subjek yang mengalami kelumpuhan tersebut menyampaikan bahwa ia dapat menjalani hidupnya dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat, sehingga ia berharap subjek dengan kondisi fisik yang lebih baik juga dapat melakukan hal-hal yang bermanfaat. Diharapkan setelah konseling dihentikan, subjek dapat mempertahankan atau meningkatkan kebermaknaan hidupnya sehingga menjadi pribadi yang lebih terbuka dan menyenangkan, bersedia melakukan pengalaman baru (Reker & Woo, 2011), selalu memiliki harapan menjadi lebih baik dan bersedia untuk memperbaiki diri, berguna dan bermanfaat bagi lingkungan sekitar (Bastaman, 2007). Selain itu, sebagai proses meningkatkan kebermaknaan hidupnya, subjek diharapkan dapat mempertahankan ketertarikan, aktivitas, dan interaksi sosial selama periode lansia (Feldman, 2003) serta mampu menemukan makna yang positif dari kehidupan dan kematian, bahkan dalam kondisi fisik yang tidak baik, seperti penurunan fungsi tubuh (Wong, 2007).

modifikasi sikap, pengurangan gejala, serta orientasi terhadap makna. Hambatan yang telah dikemukakan dapat menjadi pertimbangan dan perbaikan bagi penelitian selanjutnya. Peneliti selanjutnya disarankan untuk memonitor perkembangan subjek setelah tindak lanjut guna mengetahui seberapa jauh efek konseling logoterapi terhadap subjek serta melibatkan keluarga sebagai orang-orang terdekat subjek guna memberikan dukungan terhadap perubahan subjek ke arah lebih baik.

Daftar Pustaka
Alavi, K., et al. (2011). Exploring the meaning of ageing and quality of life for sub-urban older people. Pertanika Journal Social, Science and Humanistic , 19, 41-48. Ayranci, U., & Ozdag, N. (2006). Health of elderly: Importance of nursing and family medicine care. The Internet Journal of Geriatrics and Gerontology, 3 (1), archive http://www.ispub.com/journals Bastaman, H. D. (2007). Logoterapi-psikologi untuk menemukan makna hidup dan meraih hidup bermakna. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Baxter, P., & Jack, S. (2008). Qualitative case study methodology: Study design and implementation for novice researchers. The Qualitative Report, 13 (4), 554-559. Bekerian, D. A., & Levey, A. B. (2005). Applied psychology-putting theory into practice. New York: Oxford University Press. Brown, C., & Lowis, M. J. (2003). Psychosocial develop ment in the elderly: An investigation into eriksons ninth stage. Journal of Aging Studies, 17, 415-426. Cho, S. (2008). Effects of logo-autobiography program on meaning in life and mental health in the wives of alcoholics. Asian Nursing Research , 2 (2), 129-139. Creswell, J. W., et al. (2007). Qualitative research de signs: Selection and implementation. The Counseling Psychologist, 35 (2), 236-264. Duff, K., et al. (2010). Predicting cognitive change in older adults: The relative contribution of practice Eeffects. Archives of Clinical Neuropsychology, 25 (2), 81-88. Feldman, R. S. (2003). Essentials of understanding psychology (5 th ed.). New York: McGraw-Hill. Fellows, R., & Liu, A. (2008). Research methods for construction (3 rd ed.). Malden, MA: Wiley-Blackwell. Frankl, V. E. (2008). Optimisme di tengah tragedi, analisis logoterapi. Bandung: Penerbit Nuansa. Gladding, S. T. (2004). Counseling a comprehensive pro fession (5 th ed.). USA: Pearson Prentice Hall. Glassman, W. E. (1995). Approaching to psychology (2nd ed.). Philadelphia: Open University Press. Holt-Lunstad, J., Smith, T. B., & Layton, J. B. (2010). Social relationships and mortality risk: A meta-analytic review. Plos Medicine, 7 (7), 1-20.

Simpulan dan Rekomendasi


Dari hasil penelitian secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa konseling logoterapi dapat meningkatkan kebermaknaan hidup pada lansia melalui empat tahapan dalam konseling logoterapi yaitu mengambil jarak atas gejala,

197

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013,Volume I (2), 190 - 198

Kazdin, A. E. (1998). Methodological issues and strategies in clinical research (2nd ed.). Washington: American Psychological Association. Krause, N. (2009). Meaning in life and mortality. Journal of Gerontology: Social Sciences. 64B (4), 517-527. Lantz, J. E. (1982). Dereflection in family therapy with schizophrenic clients. International Forum for Logo therapy, 5 (2), 119-122. Langle, A. & Probst, C. (2000). Existensial questions of the elderly. International Medical Journal, 7 (3), 193196. MacDonald, M. J., Wong, P. T., & Gingras, D. T. (2011). Meaning-in-Life measures and developmental of a brief version of the personal meaning profile. The Human Quest for Meaning, 17, 357-382. Reker, G. T., & Woo, L. C. (2011). Personal meaning orientations and psychosocial adaptation in older adults. Sage open, 28 April, 1-10. Smith, S., & Gove, J. E. (2005). Physical changes of aging. The Institute of Food and Agricultural Sciences - University of Florida. Sugioka, Y. (2011). Integrative medicine and dimensional anthropology. Journal of Philosophy and Ethnics in Health Care and Medicine, 5, 112-130. Steger, M. F., & Shin, J. Y. (2010). The relevance of the meaning in life questionnaire to therapeutic practice: A look at the initial evidence. The International Forum for Logotherapy, 33, 95-104. Steger, M. F., et al. (2006). The meaning in life questionnaire: Assessing the presence of and search for

meaning in life. Journal of Counseling Psychology, 53 (1), 80-93. Suri, R. (2010). Working with the Eelderly: Existentialhumanistic approach. Journal of Humanistic Psy chology, 50 (2), 175-186. Takkinen, S., & Ruoppila, I. (2001). Meaning in life in three samples of elderly persons with high cognitive functioning. International Journal Aging and Human Development , 53 (1), 51-73. Tang, Y. (2008). Social support of elderly caregivers. International Journal of Business and Management, 3 (8), 81-84. Umberson, D., & Montez, J. K. (2010). Social relationships and health: A flashpoint for health policy. Journal of Health and Social Behavior, 51, S54-S66. Vanderstoep, S. W., & Johnston, D. D. (2009). Research methods for everyday life-blending qualitative and quantitative approaches. San Francisco: JosseyBass A Wiley Imprint. Vladeck, F., & Segel, R. (2010). Identifying risks to healthy aging in new york citys varied NORCs. Journal of Housing for The Elderly, 24 (3), 1-19. Widhiarso, W. (2012). Skala Psikologi . Retrieved 2012, from http://www.widhiarso.staff.ugm.ac.id Wong, P. T. (1998-2007). International network on personal meaning. Retrieved 2012, from http://www. meaning.ca Zuriah, N. (2005). Metodologi penelitian sosial dan pendidikan: Teori dan aplikasi. Jakarta: PT Bumi Aksara.

198

Anda mungkin juga menyukai