Anda di halaman 1dari 31

BAB II KONSEP DASAR

A. TBC Paru 1. Pengertian Tuberkulosis pulmoner adalah penyakit infeksius yang terutama menyerang parenkim paru, dengan agen infeksius utama Mycobacterium tuberculosis (Smeltzer & Bare, 2001). Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, yang dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah (Price, 2001). Pemeriksaan radiologis dapat memperkuat diagnosis, karena lebih 95% infeksi primer terjadi di paru-paru maka secara rutin foto thorax harus dilakukan. Ditemukannya kuman Mycobacterium tuberculosis dari kultur merupakan diagnostik TBC yang positif, namun tidak mudah untuk menemukannya. 2. Klasifikasi TBC Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB Paru dibagi menjadi (Mansjoer, 2000) : a. Tuberkulosis Paru BTA positif Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.

10

b. Tuberkulosis Paru BTA negatif Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif dan foto rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. TB Paru BTA negatif Rontgen Positif dibagi berdasarkantingkat keparahaan TB Paru BTA Negatif Rontgen Positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto rontgen dada memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas penderita buruk. Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibedakan menjadi (Mansjoer, 2000): a. Kasus Baru Kasus baru adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian). b. Kambuh (Relaps) Kambuh (Relaps) adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif. c. Pindahan (Transfer in) Pindahan adalah penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu kabupaten lain dan kemudian pinah berobat ke kabupaten ini. Penderita pindahan tersbut harus membawa surat rujukan/pindah.

11

d. Setelah lalai (Pengobatan setelah default/drop out) Setelah lalai adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian atang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil

pemeriksaan dahak BTA positif. e. Lain-lain 1) Gagal Gagal adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke 5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan atau lebih. Adalah penderita dengan hasil BTA negatif Rontgen positif mmenjadi BTA positif pada akhir bulan ke 2 pengobatan. 2) Kasus kronis Kasus kronis adalah penderita dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2. 3. Etiologi Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman yang berbentuk batang dengan ukuran panjang 1 4 m dan tebal 0,3 0,6 m dan digolongkan dalam basil tahan asam (BTA). Bakteri Mycobacterium tuberculosa seperti halnya bakteri lain pada umumnya, akan tumbuh dengan subur pada lingkungan dengan kelembaban yang tinggi. Air membentuk lebih dari 80% volume sel

12

bakteri dan merupakan hal essensial untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel bakteri (Gibson, 2000). 4. Patofisiologi Penyakit TBC biasanya menular melalui udara yang tercemar dengan bakteri Mikobakterium tuberkulosa yang dilepaskan pada saat penderita TBC batuk, dan pada anak-anak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita TBC dewasa. Bakteri ini bila sering masuk dan terkumpul di dalam paru-paru akan berkembang biak menjadi banyak (terutama pada orang dengan daya tahan tubuh yang rendah), dan dapat menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening. Oleh sebab itulah infeksi TBC dapat menginfeksi hampir seluruh organ tubuh seperti: paru-paru, otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah bening, dan lain-lain, meskipun demikian organ tubuh yang paling sering terkena yaitu paru-paru (Smeltzer & Bare, 2001). Saat Micobacterium tuberkulosa berhasil menginfeksi paru-paru, maka dengan segera akan tumbuh koloni bakteri yang berbentuk globular (bulat). Biasanya melalui serangkaian reaksi imunologis bakteri TBC ini akan berusaha dihambat melalui pembentukan dinding di sekeliling bakteri itu oleh sel-sel paru. Mekanisme pembentukan dinding itu membuat jaringan di sekitarnya menjadi jaringan parut dan bakteri TBC akan menjadi dormant (istirahat). Bentuk-bentuk dormant inilah yang sebenarnya terlihat sebagai tuberkel pada pemeriksaan foto rontgen.

13

Pada sebagian orang dengan sistem imun yang baik, bentuk ini akan tetap dormant sepanjang hidupnya. Sedangkan pada orang-orang dengan sistem kekebalan tubuh yang kurang, bakteri ini akan mengalami perkembangbiakan sehingga tuberkel bertambah banyak. Tuberkel yang banyak ini membentuk sebuah ruang di dalam paru-paru. Ruang inilah yang nantinya menjadi sumber produksi sputum (dahak). Seseorang yang telah memproduksi sputum dapat diperkirakan sedang mengalami pertumbuhan tuberkel berlebih dan positif terinfeksi TBC. Meningkatnya penularan infeksi yang telah dilaporkan saat ini, banyak dihubungkan dengan beberapa keadaan, antara lain memburuknya kondisi sosial ekonomi, belum optimalnya fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat, meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai tempat tinggal dan adanya epidemi dari infeksi HIV. Disamping itu daya tahan tubuh yang lemah/menurun, virulensi dan jumlah kuman merupakan faktor yang memegang peranan penting dalam terjadinya infeksi TBC. Individu rentan yang menghirup basil tuberculosis dan terinfeksi. Bakteri dipindahkan melalui jalan nafas ke alveoli untuk memperbanyak diri, basil juga dipindahkan melalui sistem limfe dan pembuluh darah ke area paru lain dan bagian tubuh lainnya. Sistem imun tubuh berespon dengan melakukan reaksi inflamasi. Fagosit menelan banyak bakteri, limfosit specifik tuberculosis melisis basil dan jaringan normal, sehingga mengakibatkan penumpukkan eksudat dalam alveoli dan menyebabkan bronkopnemonia.

14

Massa jaringan paru / granuloma (gumpalan basil yang masih hidup dan yang sudah mati) dikelilingi makrofag membentuk dinding protektif. Granuloma diubah menjadi massa jaringan fibrosa, yang bagian sentralnya disebut komplek Ghon. Bahan (bakteri dan makrofag) menjadi nekrotik, membentuk massa seperti keju. Massa ini dapat mengalami kalsifikasi, memebentuk skar kolagenosa. Bakteri menjadi dorman, tanpa perkembangan penyakit aktif. Individu dapat mengalami penyakit aktif karena gangguan atau respon inadekuat sistem imun, maupun karena infeksi ulang dan aktivasi bakteri dorman. Dalam kasus ini tuberkel ghon memecah, melepaskan bahan seperti keju ke bronki. Bakteri kemudian menyebar di udara, mengakibatkan penyebaran lebih lanjut. Paru yang terinfeksi menjadi lebih membengkak mengakibatkan bronkopneumonia lebih lanjut (Smeltzer & Bare, 2001). 5. Tanda dan Gejala Gambaran klinis tuberculosis mungkin belum muncul pada infeksi awal dan mungkin tidak akan pernah timbul bila tidak terjadi infeksi aktif. Bila timbul infeksi aktif klien biasanya memperlihatkan gejala : batuk purulen produktif disertai nyeri dada, demam (biasanya pagi hari), malaise, keringat malam, gejala flu, batuk darah, kelelahan, hilang nafsu makan dan penurunan berat badan (Corwin, 2001). Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara

15

klinis tidak terlalu khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa secara klinik (Corwin, 2001). . a. Gejala sistemik/umum 1) Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul. 2) Penurunan nafsu makan dan berat badan. 3) Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah). 4) Perasaan tidak enak (malaise), lemah. b. Gejala khusus 1) Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara "mengi", suara nafas melemah yang disertai sesak. 2) Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan keluhan sakit dada. 3) Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.

16

4) Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejangkejang. 6. Penatalaksanaan Menurut Smeltzer & Bare (2001), penatalaksanaan TBC adalah : a. Pengobatan Tujuan terpenting dari tata laksana pengobatan tuberkulosis adalah eradikasi cepat M. tuberculosis, mencegah resistensi, dan mencegah terjadinya komplikasi. Jenis dan dosis OAT : 1) Isoniazid (H) Isoniazid (dikenal dengan INH) bersifat bakterisid, efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif, yaitu kuman yang sedang berkembang. Efek samping yang mungkin timbul berupa neuritis perifer, hepatitis rash, demam Bila terjadi ikterus, pengobatan dapat dikurangi dosisnya atau dihentikan sampai ikterus membaik. Efek samping ringan dapat berupa kesemutan, nyeri otot, gatal-gatal. Pada keadaan ini pemberian INH dapat diteruskan sesuai dosis. 2) Rifampisin (R) Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman semi-dorman (persisten). Efek samping rifampisin adalah hepatitis, mual, reaksi

17

demam, trombositopenia. Rifampisin dapat menyebabkan warna merah atau jingga pada air seni dan keringat, dan itu harus diberitahukan pada keluarga atau penderita agar tidak menjadi cemas. Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak berbahaya. 3) Pirazinamid (P) Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan suasana asam. Efek samping pirazinamid adalah hiperurikemia, hepatitis, atralgia. 4) Streptomisin (S) Bersifat bakterisid, efek samping dari streptomisin adalah nefrotoksik dan kerusakan nervus kranialis VIII yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. 5) Ethambutol (E) Bersifat bakteriostatik, ethambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman penglihatan, buta warna merah dan hijau, maupun optic neuritis. b. Pembedahan Dilakukan jika pengobatan tidak berhasil, yaitu dengan mengangkat jaringan paru yang rusak, tindakan ortopedi untuk memperbaiki kelainan tulang, bronkoskopi untuk mengangkat polip granulomatosa tuberkulosis atau untuk reseksi bagian paru yang rusak.

18

c. Pencegahan Menghindari kontak dengan orang yang terinfeksi basil tuberkulosis, mempertahankan status kesehatan dengan asupan nutrisi adekuat, minum susu yang telah dilakukan pasteurisasi, isolasi jika pada analisa sputum terdapat bakteri hingga dilakukan pengobatan, pemberian imunisasi BCG untuk meningkatkan daya tahan tubuh terhadap infeksi oleh basil tuberkulosis virulen. 7. Pengobatan TB Paru Pengobatan tuberculosis berdasarkan panduan OAT dan terdiri dari faseintensif dan fase lanjutan (Crofton, 2005) adalah : a. Kategori 1 (2HRZE/4H3R3) Obat ini diberikan untuk: 1) Penderita baru TBC paru BTA positif 2) Penderita TBC paru BTA positif rontgen positif yang sakit berat 3) Penderita TBC ekstra paru berat b. Kategori 2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3) Obat ini diberikan untuk: 1) Penderita kambuh (relaps) 2) Penderita gagal (failure) 3) Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default) c. Kategori 3 (2HRZ/4H3R3) Obat ini diberikan untuk: 1) Penderita baru BTA positif dan rontgen positif sakit ringan

19

2) Penderita ekstra paru ringan, yaitu TBC kelenjar limfe (limfadenitis), pleuritis eksudativa unilateral, TBC kulit, TBC tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.d. OAT sisipan (HRZE) 8. Penularan TB Paru Sumber penularan menurut Smeltzer & Bare (2001) penderita TB Paru BTA (+) melalui : a. Pernapasan / Udara Percikan dahak yang keluar bila penderita batuk/ bersin tanpa menutup mulut/ hidung dan terhirup oleh orang lain maka orang tersebut dapat terinfeksi, tetapi tidak semua orang yang menghirup akan tertular penyakit TB Paru, pada orang yang sehat, kuman tersebut biasanya menjadi tidak aktif dan orang itu tetap sehat. TB Paru juga tidak ditularkan melalui : Peralatan makan, tempat tidur, berjabat tangan, dll. Bila penderita sudah minum obat 1-2 minggu kuman menjadi lemah sehingga virulensinya (keganasannya) sudah menurun dan kemungkinan untuk menular semakin sedikit. b. Daya Tahan Tubuh Kondisi fisik yang lemah : kekurangan gizi, terkena penyakit tertentu, pecandu obat, pengguna horman steroid akan mudah tertular kuman TB Paru.

20

c. Kontak Makin erat kontak dalam waktu lama makan akan semakin besar resiko tertular. d. Kondisi Lingkungan TB Paru adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman mycobacterium tuberculosis yang penyebarannya dapat melalui udara sehingga kondisi lingkungan yang buruk merupakan salah satu faktor yang dapat mempercepat penularan TB Paru, selain itu disebabkan pula oleh kondisi sosio ekonomi, kepadatan jumlah penduduk serta kondisi gizi yang buruk. 9. Komplikasi Komplikasi penderita TB paru menurut Smeltzer & Bare (2001) adalah : a. Pendarahan dari saluran pernafasan bagian bawah yang dapat mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas. b. Penyebaran infeksi ke organ lain Misalnya : otak, jantung persendian, ginjal aslinya. 10. Pencegahan TB paru Menurut Mansjoer (2000) pencegahan TB Paru meliputi : a. Menghentikan kebiasaan meludah disembarang tempat b. Bila batuk / bersin mulut ditutup dengan tissue / sapu tangan c. Membakar tissue selekas mungkin setelah digunakan d. Menghindari kerumunan orang banyak / padat

21

e. Memanfaatkan sinar matahari langsung, yang dapat membunuh kuman TB dalam waktu 5 menit f. Menjemur alat tidur secara teratur dibawah sinar matahari g. Sistem ventilasi (aliran udara) yang baik h. Peningkatan gizi penderita i. j. Pemberian vaksin BCG Hidup sehat : makan makanan, istirahat yang cukup, olah raga teratur, hindari rokok, alkohol, hindari stress.

B. Epidemiologi TB Paru Menurut Bustan (2002), model segitiga epidemiologi menggambarkan interaksi tiga komponen penyakit yaitu Manusia (Host), penyebab (Agent) dan lingkungan (Environment). Untuk memprediksi penyakit, model ini

menekankan perlunya analis dan pemahaman masing-masing komponen. Penyakit dapat terjadi karena adanya ketidak seimbangan antar ketiga komponen tersebut. 1. Host Pejamu (Host) adalah hal-hal yang berkaitan dengan terjadinya penyakit TB Paru, antara lain : umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, kebiasaan merokok, dan sosial ekonomi. a. Umur Umur merupakan faktor terpenting dari Host pada TBC. Variabel umur berperan dalam kejadian penyakit tuberkulosis paru.

22

Risiko untuk mendapatkan tuberkulosis paru dapat dikatakan seperti halnya kurva normal terbalik, yakni tinggi ketika awalnya, menurun karena diatas 2 tahun hingga dewasa memliki daya tahan terhadap tuberkulosis paru dengan baik. Puncaknya tentu dewasa muda dan menurun kembali ketika seseorang atau kelompok menjelang usia tua. Infeksi tuberkulosis aktif meningkat secara bermakna sesuai dengan umur. Insiden tertinggi tuberkulosis paru biasanya mengenai usia dewasa muda. Di Indonesia diperkirakan 75% penderita TB Paru adalah kelompok usia produktif yaitu 15-50 tahun (Smith, 2004). Terdapat 3 puncak kejadian dan kematian TB Paru, yaitu : 1) Paling rendah pada awal anak (bayi) dengan orang tua penderita 2) Paling luas pada masa remaja dan dewasa muda sesuai dengan pertumbuhan, perkembangan fisik-mental dan momen kehamilan pada wanita, 3) Puncak sedang pada usia lanjut. Dalam perkembangannya, infeksi pertama semakin tertunda, walau tetap tidak berlaku pada golongan dewasa, terutama pria dikarenakan penumpukan grup sampel usia ini atau tidak terlindung dari resiko infeksi. b. Jenis Kelamin Pria lebih umum terkena, kecuali pada wanita dewasa muda yang diakibatkan tekanan psikologis dan kehamilan yang menurunkan resistensi. Tuberculosis terutama menyerang laki-laki. Jumlah

23

penderita TB Paru laki-laki hampir dua kali lipat dibandingkan jumlah penderita TB Paru pada wanita, yaitu 42,34% pada laki-laki dan 28,9% pada wanita. TB paru lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan terjangkitnya TB paru (Smith, 2004) c. Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap

pengetahuan seseorang diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan pengetahuan penyakit TB Paru, sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersin dan sehat. Selain itu tingkat pedidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap jenis pekerjaannya (Smith, 2004). d. Pekerjaan Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus dihadapi setiap individu. Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu paparan partikel debu di daerah terpapar akan mempengaruhi terjadinya gangguan pada saluran pernafasan. Paparan kronis udara yang tercemar dapat meningkatkan morbiditas, terutama terjadinya gejala penyakit saluran pernafasan dan umumnya TB Paru (Smith, 2004).

24

e. Kebiasaan Merokok Menurut Aditama (2002), perilaku merokok adalah aktivitas menghisap atau menghirup asap rokok dengan menggunakan pipa atau rokok. Seperti halnya perilaku lain, perilaku merokok pun muncul karena adanya faktor internal (faktor biologis dan faktor psikologis, seperti perilaku merokok dilakukan untuk mengurangi stres) dan faktor eksternal (faktor lingkungan sosial, seperti terpengaruh oleh teman sebaya). Seseorang yang dikatakan perokok berat adalah bila mengkonsumsi rokok lebih dari 21 batang perhari dan selang merokoknya lima menit setelah bangun pagi. Perokok sedang menghabiskan 11-21 batang dan perokok ringan menghabiskan rokok kurang dari 10 batang (Aditama, 2002). Merokok merupakan penyebab utama penyakit paru-paru yang bersifat kronis dan obstruktif, misalnya bronchitis dan empisema. Merokok juga terkait dengan influenza dan radang paru-paru lainnya. Pada penderita asma, merokok akan memperparah gejala asma sebab asap rokok akan lebih menyempitkan saluran pernafasan. Selain itu efek merugikan dari merokok dapat timbul pada masa remaja. Efek merugikan tersebut mencakup meningkatnya kerentanan terhadap batuk kronis, produksi dahak dan serak (Sitepoe, 2000). Merokok diketahui mempunyai hubungan dengan

meningkatkan resiko untuk mendapatkan kanker paru-paru, penyakit

25

jantung koroner, bronchitis kronik dan kanker kandung kemih. Kebiasaan merokok meningkatkan resiko untuk terkena TB paru sebanyak 2,2 kali (Sitepoe, 2000). f. Sosial Ekonomi Keadaan sosial ekonomi berkaitan erat dengan pendidikan, keadaan sanitasi lingkungan, gizi dan akses terhadap pelayanan kesehatan. Penurunan pendapatan dapat menyebabkan kurangnya kemampuan daya beli dalam memenuhi konsumsi makanan sehingga akan berpengaruh terhadap status gizi. Apabila status gizi buruk maka akan menyebabkan kekebalan tubuh yang menurun sehingga memudahkan terkena infeksi TB Paru. Jenis pekerjaan seseorang juga mempengaruhi terhadap pendapatan keluarga yang akan mempunyai dampak terhadap pola hidup sehari-hari diantara konsumsi makanan, pemeliharaan kesehatan selain itu juga akan mempengaruhi terhadap kepemilikan rumah (Depkes, 2001). Kepala keluarga yang mempunyai pendapatan dibawah UMR akan mengkonsumsi makanan dengan kadar gizi yang tidak sesuai dengan kebutuhan bagi setiap anggota keluarga sehingga mempunyai status gizi yang kurang dan akan memudahkan untuk terkena penyakit infeksi diantaranya TB Paru. Dalam hal jenis kontruksi rumah dengan mempunyai pendapatan yang kurang maka kontruksi rumah yang dimiliki tidak memenuhi syarat kesehatan sehingga akan

26

mempermudah terjadinya penularan penyakit TB Paru (Depkes, 2001). 2. Agent Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman yang berbentuk batang dengan ukuran panjang 1 4 m dan tebal 0,3 0,6 m dan digolongkan dalam basil tahan asam (BTA). Basil tuberkulosis berukuran sangat kecil berbentuk batang tipis, agak bengkok, bergranular, berpasangan yang hanya dapat dilihat di bawah mikroskop. Panjangnya 1- 4 mikron dan lebarnya antara 0,3-0,6 mikron. Basil tuberkulosis akan tumbuh secara optimal pada suhu

sekitar 37C dengan tingkat pH optimal (pH 6,4-7,0). Untuk membelah dari 1-2 kuman membutuhkan waktu 14-20 jam.Kuman tuberkulosis terdiri dari lemak lebih dari 30% berat dinding kuman, asam strearat, asam mikolik, mycosides, sulfolipid serta Cord factor dan protein terdiri dari tuberkuloprotein (tuberkulin). TB Paru pada orang dewasa biasanya disebabkan oleh reaktivasi infeksi sebelumnya sedangkan pada anak-anak menunjukkan penularan aktif Mycobacterium tuberculosis (Gibson, 2000). Bakteri karakteristik alami dari agen TBC hampir bersifat resisten terhadap disifektan kimia atau antibiotika dan mampu bertahan hidup pada dahak yang kering untuk jangka waktu yang lama. Pada Host, daya infeksi dan kemampuan tinggal sementara Mycobacterium tuberculosis sangat tinggi. Patogenesis hampir rendah dan daya

27

virulensinya tergantung dosis infeksi dan kondisi Host. Sifat resistensinya merupakan problem serius yang sering muncul setelah penggunaan kemoterapi moderen, sehingga menyebabkan keharusan mengembangkan obat baru. Umumnya sumber infeksinya berasal dari manusia dan ternak (susu) yang terinfeksi. Untuk transmisinya bisa melalui kontak langsung dan tidak langsung, serta transmisi kongenital yang jarang terjadi (Gibson, 2000). 3. Environment Pada umumnya, lingkungan rumah yang buruk (tidak memenuhi syarat kesehatan) akan berpengaruh pada penyebaran penyakit menular termasuk penyakit TB. Berikut ini akan diuraikan mengenai lingkungan rumah yang berpengaruh terhadap kejadian TB : a. Kelembaban Udara Kelembaban udara adalah prosentase jumlah kandungan air dalam udara. Kelembaban terdiri dari 2 jenis, yaitu (Keman, 2005) : 1) Kelembaban absolut, yaitu berat uap air per unit volume udara 2) Kelembaban nisbi (relatif), yaitu banyaknya uap air dalam udara pada suatu temperatur terhadap banyaknya uap air pada saat udara jenuh dengan uap air pada temperatur tersebut. Secara umum penilaian kelembaban dalam rumah dengan menggunakan hygrometer. Menurut indikator pengawasan perumahan, kelembaban udara yang memenuhi syarat kesehatan dalam rumah

28

adalah 40-60 % dan kelembaban udara yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 40 % atau > 60 %. Rumah yang tidak memiliki kelembaban yang memenuhi syarat kesehatan akan membawa pengaruh bagi penghuninya. Rumah yang lembab merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme, antara lain bakteri, spiroket, ricketsia dan virus. Mikroorganisme tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara. Selain itu kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan membran mukosa hidung menjadi kering sehingga kurang efektif dalam menghadang mikroorganisme. Bila kondisi suhu ruangan tidak optimal, misalnya terlalu panas akan berdampak pada cepat lelahnya saat bekerja dan tidak cocoknya untuk istirahat. Sebaliknya, bila kondisinya terlalu dingin akan tidak menyenangkan dan pada orang-orang tertentu dapat menimbulkan alergi. Hal ini perlu diperhatikan karena kelembaban dalam rumah akan mempermudah berkembangbiaknya

mikroorganisme antara lain bakteri spiroket, ricketsia dan virus. Mikroorganisme tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara ,selain itu kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan membran mukosa hidung menjadi kering seingga kurang efektif dalam menghadang mikroorganisme. Kelembaban udara yang meningkat merupakan media yang baik untuk bakteri-baktri termasuk bakteri tuberkulosis. Bakteri mycobacterium tuberculosa seperti halnya

29

bakteri lain, akan tumbuh dengan subur pada lingkungan dengan kelembaban tinggi karena air membentuk lebih dari 80 % volume sel bakteri dan merupakan hal yang essensial untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel bakteri (Keman, 2005). b. Ventilasi Rumah Ventilasi adalah usaha untuk memenuhi kondisi atmosfer yang menyenangkan dan menyehatkan manusia (Lubis, 2002). Berdasarkan kejadiannya, maka ventilasi dapat dibagi ke dalam dua jenis, yaitu: 1) Ventilasi alam. Ventilasi alam berdasarkan pada tiga kekuatan, yaitu: daya difusi dari gas-gas, gerakan angin dan gerakan massa di udara karena perubahan pergerakan temperatur. udara Ventilasi (angin), alam ini mengandalkan udara dan

bebas

temperatur

kelembabannya. Selain melalui jendela, pintu dan lubang angin, maka ventilasi pun dapat diperoleh dari pergerakan udara sebagai hasil sifat porous dinding ruangan, atap dan lantai. 2) Ventilasi buatan Pada suatu waktu, diperlukan juga ventilasi buatan dengan menggunakan alat mekanis maupun elektrik. Alat-alat tersebut diantarana adalah kipas angin, exhauster dan AC (air conditioner). Persyaratan ventilasi yang baik menurut Lubis (2002) adalah : 1) Luas lubang ventilasi tetap minimal 5 % dari luas lantai ruangan, sedangkan luas lubang ventilasi insidentil (dapat dibuka dan

30

ditutup) minimal 5 % dari luas lantai. Jumlah keduanya menjadi 10% dari luas lantai ruangan. 2) Udara yang masuk harus bersih, tidak dicemari asap dari sampah atau pabrik, knalpot kendaraan, debu dan lain-lain. 3) Aliran udara diusahakan cross ventilation dengan menempatkan lubang ventilasi berhadapan antar dua dinding. Aliran udara ini jangan sampai terhalang oleh barang-barang besar, misalnya lemari, dinding, sekat dan lain-lain. Luas ventilasi rumah yang < 10 % dari luas lantai (tidak memenuhi syarat kesehatan) akan mengakibatkan berkurangnya konsentrasi oksigen dan bertambahnya konsentrasi karbondioksida yang bersifat racun bagi penghuninya. Disamping itu, tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan peningkatan kelembaban ruangan karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ruangan yang tinggi akan menjadi media yang baik untuk tumbuh dan berkembang biaknya bakteri-bakteri patogen termasuk kuman tuberkulosis (Notoatmodjo, 2003). Selain itu, fungsi kedua ventilasi adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen seperti tuberkulosis, karena di situ selalu terjadi aliran udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir. Luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan mengakibatkan terhalangngya proses pertukaran aliran udara dan sinar matahari yang

31

masuk ke dalam rumah, akibatnya kuman tuberkulosis yang ada di dalam rumah tidak dapat keluar dan ikut terhisap bersama udara pernafasan (Notoatmodjo, 2003). c. Suhu Rumah Suhu adalah panas atau dinginnya udara yang dinyatakan dengan satuan derajat tertentu. Suhu udara dibedakan menurut Walton (2001), dibedakan menjdi: 1) Suhu kering, yaitu suhu yang ditunjukkan oleh termometer suhu ruangan setelah diadaptasikan selama kurang lebih sepuluh menit, umumnya suhu kering antara 24 34 C. 2) Suhu basah, yaitu suhu yang menunjukkan bahwa udara telah jenuh oleh uap air, umumnya lebih rendah daripada suhu kering, yaitu antara 20-25 C. Secara umum, penilaian suhu rumah dengan menggunakan termometer ruangan. Berdasarkan indikator pengawasan perumahan, suhu rumah yang memenuhi syarat kesehatan adalah antara 20-25 C, dan suhu rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 20 C atau > 25 C. Suhu dalam rumah akan membawa pengaruh bagi penguninya. Menurut Walton (2001), suhu berperan penting dalam metabolisme tubuh, konsumsi oksigen dan tekanan darah. Suhu rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan meningkatkan kehilangan panas tubuh dan tubuh akan berusaha menyeimbangkan dengan suhu

32

lingkungan melalui proses evaporasi. Kehilangan panas tubuh ini akan menurunkan vitalitas tubuh dan merupakan predisposisi untuk terkena infeksi terutama infeksi saluran nafas oleh agen yang menular. Sedangkan menurut Goul & Brooker (2003), bakteri mycobacterium tuberculosa memiliki rentang suhu yang disukai, tetapi di dalam rentang ini terdapat suatu suhu optimum saat mereka tumbuh pesat. Mycobacterium tuberculosa merupakan bakteri mesofilik yang tumbuh subur dalam rentang 25-40 C, akan tetapi akan tumbuh secara optimal pada suhu 31-37 C. d. Pencahayaan Rumah Pencahayaan alami ruangan rumah adalah penerangan yang bersumber dari sinar matahari (alami), yaitu semua jalan yang memungkinkan untuk masuknya cahaya matahari alamiah, misalnya melalui jendela atau genting kaca (Notoatmodjo, 2003). Cahaya berdasarkan sumbernya dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: 1) Cahaya Alamiah Cahaya alamiah yakni matahari. Cahaya ini sangat penting, karena dapat membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah, misalnya kuman TBC. Oleh karena itu, rumah yang cukup sehat seyogyanya harus mempunyai jalan masuk yang cukup jendela), luasnya sekurang-kurangnya 15%-20%. Perlu diperhatikan agar sinar matahari dapat langsung ke dalam ruangan, tidak terhalang oleh bangunan lain. Fungsi jendela disini selain sebagai ventilasi,

33

juga cahaya

sebagai jalan masuk cahaya. Selain itu jalan masuknya alamiah juga diusahakan dengan genteng kaca

(Notoatmodjo, 2003). 2) Cahaya Buatan Cahaya buatan yaitu cahaya yang menggunakan sumber cahaya yang bukan alamiah, seperti lampu minyak tanah, listrik, api dan lain-lain. Kualitas dari cahaya buatan tergantung dari terangnya sumber cahaya (brightness of the source). Pencahayaan buatan bisa terjadi dengan 3 cara, yaitu direct, indirect, semi direct atau general diffusing. Secara umum pengukuran pencahayaan terhadap sinar matahari adalah dengan menggunakan lux meter, yang diukur ditengah-tengah ruangan, pada tempat setinggi < 84 cm dari lantai, dengan ketentuan tidak memenuhi syarat kesehatan bila < 50 lux atau > 300 lux, dan memenuhi syarat kesehatan bila pencahayaan rumah antara 50-300 lux. Menurut Notoatmodjo (2003), cahaya matahari mempunyai sifat membunuh bakteri, terutama kuman mycobacterium tuberculosa. Kuman tuberkulosa hanya dapat mati oleh sinar matahari langsung. Oleh sebab itu, rumah dengan standar pencahayaan yang buruk sangat berpengaruh terhadap kejadian tuberkulosis. Kuman tuberkulosis

dapat bertahan hidup pada tempat yang sejuk, lembab dan gelap tanpa sinar matahari sampai bertahun-tahun lamanua, dan mati bila terkena sinar matahari, sabun, lisol, karbol dan panas api. Kuman

34

mycobacterium tuberculosa akan mati dalam waktu 2 jam oleh sinar matahari; oleh tinctura iodii selama 5 menit dan juga oleh ethanol 80% dalam waktu 2-10 menit serta mati oleh fenol 5% dalam waktu 24 jam. Rumah yang tidak masuk sinar matahari mempunyai resiko menderita tuberkulosis 3-7 kali dibandingkan dengan rumah yang dimasuki sinar matahari. e. Kepadatan Penghuni Rumah Kepadatan penghuni adalah perbandingan antara luas lantai rumah dengan jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal. Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh perumahan biasa dinyatakan dalam m per orang. Luas minimum per orang sangat relatif, tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk perumahan sederhana, minimum 8 m/orang. Untuk kamar tidur diperlukan minimum 3 m/orang. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni > 2 orang, kecuali untuk suami istri dan anak dibawah dua tahun. Apabila ada anggota keluarga yang menjadi penderita penyakit tuberkulosis sebaiknya tidak tidur dengan anggota keluarga lainnya (Lubis, 2002). Secara umum penilaian kepadatan penghuni dengan

menggunakan ketentuan standar minimum, yaitu kepadatan penghuni yang memenuhi syarat kesehatan diperoleh dari hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni 8 m/orang dan kepadatan penghuni

35

tidak memenuhi syarat kesehatan bila diperoleh hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni 8 m/orang (Lubis, 2002). Kepadatan penghuni dalam satu rumah tinggal akan

memberikan pengaruh bagi penghuninya. Luas rumah yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan perjubelan (overcrowded). Hal ini tidak sehat karena disamping menyebabakan kurangnya konsumsi oksigen, juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, terutama tuberkulosis akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain (Notoatmodjo, 2003). Menurut penelitian Atmosukarto (2000), didapatkan data bahwa : 1) rumah tangga yang penderita mempunyai kebiasaan tidur dengan balita mempunyai resiko terkena TB 2,8 kali dibanding dengan yang tidur terpisah; 2) Tingkat penularan TB di lingkungan keluarga penderita cukup tinggi, dimana seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang di dalam rumahnya; 3) besar resiko terjadinya penularan untuk tangga dengan penderita lebih dari 1 orang adalah 4 kali dibanding rumah tangga dengan hanya 1 orang penderita TB.

36

C. Kerangka Teori Host, Agent, dan Lingkungan merupakan faktor penentu yang saling berinteraksi, terutama dalam perjalanan alamiah epidemi TBC baik periode Prepatogenesis maupun Patogenesis. Interaksi tersebut dapat digambarkan dalam Bagan Segitiga Epidemiologi TBC.

Host: a. Umur b. Jenis kelamin c. Pendidikan d. Pekerjaan e. Kebiasaan merokok f. Status Ekonomi

Agent : Mycobacterium tuberculosis

Environment : a. Kelembaban udara b. Ventilasi rumah c. Suhu rumah d. Pencahayaan rumah e. Kepadatan penghuni rumah

Kejadian TBC Paru

Bagan 2. 1 Kerangka Teori Sumber : Ahmadi (2002) dan Bustan (2002)

37

D. Kerangka Konsep Karakteristik individu a. Umur b. Jenis kelamin c. Pendidikan d. Pekerjaan e. Kebiasaan merokok f. Sosial ekonomi TBC Paru

Lingkungan a. Kepadatan hunian b. Ventilasi c. Pencahayaan

Bagan 2.2 Kerangka Konsep

E. Variabel Penelitian Variabel dalam penelitian ini adalah : 1. Variabel Independen (Variabel Bebas) Variabel Independen adalah merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen. Variabel independen dalam penelitian ini adalah karakteristik individu, sosial ekonomi dan karakteristik lingkungan. 2. Variabel Dependen (Variabel Terikat) Variabel dependen merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kejadian TBC Paru.

38

F. Hipotesis Penelitian Menurut Notoatmodjo (2005), hipotesa penelitian adalah jawaban sementara penelitian, patokan duga atau sementara, yang kebenaranya akan dibuktikan dalam penelitian tersebut, hipotesis dalam penelitian ini yaitu: 1. Hipotesis Mayor : Ada hubungan karakteristik individu dengan kejadian TBC paru yang berkunjung di Puskesmas Bandarharjo Semarang. Hipotesis minor : a. Ada hubungan umur dengan kejadian TBC paru yang berkunjung di Puskesmas Bandarharjo Semarang. b. Ada hubungan jenis kelamin dengan kejadian TBC paru yang berkunjung di Puskesmas Bandarharjo Semarang c. Ada hubungan pendidikan dengan kejadian TBC paru yang berkunjung di Puskesmas Bandarharjo Semarang d. Ada hubungan pekerjaan dengan kejadian TBC paru yang berkunjung di Puskesmas Bandarharjo Semarang e. Ada hubungan kebiasaan merokok dengan kejadian TBC paru yang berkunjung di Puskesmas Bandarharjo Semarang f. Ada hubungan sosial ekonomi dengan kejadian TBC paru yang berkunjung di Puskesmas Bandarharjo Semarang. 2. Hipotesis Mayor : Ada hubungan lingkungan dengan kejadian TBC paru yang berkunjung di Puskesmas Bandarharjo Semarang. Hipotesis minor :

39

a. Ada hubungan kepadatan hunian dengan kejadian TBC paru yang berkunjung di Puskesmas Bandarharjo Semarang b. Ada hubungan ventilasi dengan kejadian TBC paru yang berkunjung di Puskesmas Bandarharjo Semarang c. Ada hubungan pencahayaan dengan kejadian TBC paru yang berkunjung di Puskesmas Bandarharjo Semarang

Anda mungkin juga menyukai