Anda di halaman 1dari 20

BAB I PENDAHULUAN Dahulu, ketika Rasullah Muhammad SAW belum diangkat menjadi Rasul Allah keadaan masyarakat Jahiliah

di Makkah sangat buruk, akhlak mereka sangat hancur. Ketika masa-masa itu Muhammad SAW sangat merasa resah dan gundah memikirkan umatnya. Akhirnya beliau ber-uzlah ke Gua Hira. Di Gua Hira inilah Allah SWT menurunkan wahyunya yang pertama kepada Muhammad SAW, dan saat itulah Muhammad SAW diangkat menjadi Rasul Allah yng terakhir. Wahyu Allah yang pertama kali diturunkan ialah QS.Al-Alaq: 1-5. Wahyu Allah tidak hanya turun sekali kepada Rasullah SAW melainkan turun dalam beberapa kurun waktu. Wahyu Allah tersebut turunsesuai dengan kebutuhan umat kala itu. Setelah sepinggal Rasulullah, tepatnya pada masa khalifah Abu Bakar,wahyu-wahyu tersebut dikumpulkan dan dibukukan dikarenakan sahabat-sahabat Nabi yang hafal AlQuran sudah banyak yang meninggal, sehinngga dirasa perlu untuk membukukan AlQuran agar menjaga kelestarian wahyu Allah tersebut. Bagaimana kita yakin bahwa Al-Quran yang ada sekarang itu merupakan wahyu Allah. Keaslian Al-Quran sebagai wahyu Allah tetap terjaga sampai sekarang diantaranya dikarenakaneksistensi atau adanya para penghafal Al-Quran sehingga isinya pun tidak ada yang berubah hingga saat ini. Inilah slah satu pembuktian kebenaran Al-Quran sebagai wahyu Allah SWT. Allah menurunkan wahyu-Nya sebagai bentuk solusi akan permasalahanpermasalahan yang terjadi di tengah umat manusia. Wahyu-Nya yang telah dibukukan(AlQuran)hingga saat ini masih sangat cocok untuk menjadi solusi permasalahanpermasalahan ataupun perkara-perkara umat di zaman ini meskipun wahyu tersebut sebenarnya diturunkan di masa jahiliah dulu. Itulah salah satu keistimewaan Al-Quran, tak lekang oleh waktu. AL-Quran merupakan pedoman, tuntunan untuk kita menjalani kehidupan di dunia ini. Al-Quran berisi petunjuk yang akan membimbing kita untuk tetap berjalan di koridorNya hingga nanti bertemu dengan-Nya di Akhirat kelak. Al-Quran menunjukkan jalan keselamatan di dunia maupun diakhirat. Al-Quran menuntun kita untuk menjadikan kehidupan di dunia ini aman dan tentram. Karenanyalah sudah sepatutnya muslim

menjalankan aturan-aturan dan petunjuk-petunjuk Allah tersebut. Bagaimana caranya kita, muslim berkomitmen terhadap Al-Quran?

BAB II SUMBER-SUMBER AJARAN ISLAM

2.1 Sumber ajaran islam primer. Kutinggalkan kepadamu dua perkara, dan kamu sekalian tidak akan sesat selama berpegang teguh kepada keduanya, yaitu Kitabullah (Al-Quran dan Sunnah Rasul-Nya). 2.1.1 Al Quran Secara etimologi Alquran berasal dari kata qaraa, yaqrau, qiraaatan, atau quranan yang berarti mengumpulkan (al-jamu) dan menghimpun (al-dlammu). Sedangkan secara terminologi (syariat), Alquran adalah Kalam Allah taala yang diturunkan kepada Rasul dan penutup para Nabi-Nya, Muhammad shallallaahu alaihi wasallam, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas. Al-Quran menyajikan tingkat tertinggi dari segi kehidupan manusia. Sangat mengaggumkan bukan saja bagi orang mukmin, melainkan juga bagi orang-orang kafir. AlQuran pertama kali diturunkan pada tanggal 17 Ramadhan (Nuzulul Quran). Wahyu yang perta kali turun tersebut adalah Surat Alaq, ayat 1-5. Al-Quran memiliki beberapa nama lain, antara lain adalah Al-Quran (QS. Al-Isra: 9), Al-Kitab (QS. Al-Baqoroh: 1-2), Al-Furqon (QS. Al-Furqon: 1), At-Tanzil (QS> As-Syuara: 192), Adz-Dzikir (Surat Al-Hijr: 1-9).

2.1.1.1 Pokok-pokok kandungan Pokok- pokok kandungan dalam Alquran antara lain: o Pokok-pokok keimanan (tauhid) kepada Allah, keimanan kepada malaikat, rasul-rasul, kitab-kitab, hari akhir, qodli-qodor, dan sebagainya. Tauhid, yaitu kepercayaan keesaann Allah SWT dan semua kepercayaan yang berhubungan dengan-Nya o Prinsip-prinsip syariah sebagai dasar pijakan manusia dalam hidup agar tidak salah jalan dan tetap dalam koridor yang benar bagaiman amenjalin hubungan kepada Allah (hablun minallah, ibadah) dan (hablun minannas, muamalah).

o Janji atau kabar gembira kepada yang berbuat baik (basyir) dan ancaman siksa bagi yang berbuat dosa (nadzir). o Kisah-kisa sejarah, seperti kisah para nabi, para kaum masyarakat terdahulu, baik yang berbuat benar maupun yang durhaka kepada Tuhan. o Dasar-dasar dan isyarat-isyarat ilmu pengetahuan: astronomi, fisika, kimia, ilmu hukum, ilmu bumi, ekonomi, pertanian, kesehatan, teknologi, sastra, budaya, sosiologi, psikologi, dan sebagainya.

2.1.1.2 Keutamaan Al-Quran Keutamaan Al-Quran ditegaskan dalam Sabda Rasullullah, antara lain: Sebaik-baik orang di antara kamu, ialah orang yang mempelajari Al-Quran dan mengajarkannya Umatku yang paling mulia adalah Huffaz (penghafal) Al-Quran (HR. Turmuzi) Orang-orang yang mahir dengan Al-Quran adalah beserta malaikat-malaikat yang suci dan mulia, sedangkan orang membaca Al-Quran dan kurang fasih lidahnya berat dan sulit membetulkannya maka baginya dapat dua pahala (HR. Muslim). Sesungguhnya Al-Quran ini adalah hidangan Allah, maka pelajarilah hidangan Allah tersebut dengan kemampuanmu (HR. Bukhari-Muslim). Bacalah Al-Quran sebab di hari Kiamat nanti akan datang Al-Quran sebagai penolong bagai pembacanya (HR. Turmuzi).

2.1.1.3 Al-Quran sebagai Kalamullah. Al-Quran adalah wahyu harfiah dari Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan bahasa Arab dan membacanya adalah ibadah. Sebagai Kalamullah, Al-Quran dalam bentuk aslinya berada dalam indu Al-Kitab (Lauh Mahfuzh) dalam lindungan Tuhan. Lalu diturunkan kepada Nabi dalam bahasa kaumnya (bahasa Arab).

Tuhan dalam menyampaikan firman-Nya kepada mansusia dialkukan dengan tiga cara, yaitu: Dengan wahyu (langsung ke dalam hati Nabi) Di belakang tabir (wahyu diserap oleh indera Nabi tanpa melihat pemberi wahyu) Dengan mengutus malaikat (Jibril) yang membacakan wahyu. 2.1.1.4 Fungsi Alquran Fungsi Al-Quran antara lain adalah: Menerangkan dan menjelaskan (QS. 16:89; 44:4-5) Al-Quran kebenaran mutlak (Al-Haq) (QS. 2: 91, 76) Pembenar (membenarkan kitab-kitab sebelumnya) (QS. 2: 41, 91, 97; 3: 3; 5: 48; 6: 92; 10: 37; 35: 31; 46: 1; 12: 30) Sebagai Furqon (pembeda antara haq dan yang bathil, baik dan buruk) Sebagai obat penyakit (jiwa) (QS. 10: 57; 17:82; 41: 44) Sebagai pemberi kabar gembira Sebagai hidayah atau petunjuk (QS. 2:1, 97, 185; 3: 138; 7: 52, 203, dll) Sebagai peringatan Dalam AL-Quran banyak diterangkan tentang kisah para nabi dan umat terdahulu,baik umat yang taat melaksanakan perintah Allah maupun yang mereka yang menentang dan mengingkari ajaran Nya.Bagi kita,umat uyang akan datang kemudian rentu harus pandai mengambil hikmah dan pelajaran dari kisah-kisah yang diterangkan dalam AlQuran. sebagai cahaya petunjuk (QS. 42: 52) Sebagai pedoman hidup (QS. 45: 20) Sebagai ajaran islam Fungsi AL-Quran sebagai sumber ajaran islam sudah diyakini dan diakui kebenarannya oleh segenap hukum islam.Adapun ajarannya meliputi persoalan kemanusiaan secara umum seperti hukum, ibadah, ekonomi, politik, social, budaya,pendidikan,ilmu pengethuan dan seni.

2.1.1.5 Al-Quran sebagai Mukjizat Mukjizat memiliki arti melemahkan, mengalahkan, atau membuat tidak kuasa. Al-Quran sebagai mukjizat berarti ia dapat mengalahkan atai melemahkan sehingga tida ada seorangpun yang kuasa melawannya. Mukjizat tersebut dapat berupa keindahan susunan bahasanya dan dari kedalaman isinya. Dari segi bahasa, Al-Quran, tidak ada seorang pun yang dapat menandinginya. Hal ini membuktikan bahwa Al-Quran bukanlah buatan manusia, melainkan murni wahyu dari Allah SWT. Terhadap orang-orang yang tidak percaya kepada Al-Quran, Tuhan menantang mereka secara bertahap: 1. Menantang mereka untuk menyusun karangan semacam Al-Quran secara keseluruhan 2. Kalau tak bisa, silakan menyusun sepuluh surat saja semacam Al-Quran 3. Kalau tak bisa, silakan menyusun satu surat saja 4. Jika tidak bisa juga, Tuhan menantang manusia unti membuat sesuatu seperti atau lebih kurang sama dengan surat Al-Quran Bagaimanapun usahanya, manusia tidak akan bisa dan pasti tidak akan mampu untuk menyaingi Al-Quran. dari segi isi, susunan bahasa, sastra, dan keindahannya, apa yang ada dalam Al-Quran bukan sekadar tanpa makna. Makna-makna yang terkandung dalam AlQuran begitu luas. Ayat-ayatnya selalu memberikan kemungkinan arti yang tak terbatas, dan selalu terbuka untuk menerima interpretasi baru. Al-Quran telah disesuaikan (sudah pasti disesuaikan) bagi seluruh zaman. Al-Quran berisi petunjuk agama atau syariat, dan mengandung mukjizat, tuntunan hidup di dunia dan hidup sesudah mati, serta berita-berita gaib, seperti berita tentang manusia akan dibangkitkan di hari akhirat. Al-Quran juga mengandung keterangan tentang isyarat-isyarat ilmiah. Seluruh ilmu pengetahuan dan teknologi pada dasarnya berasal dari Al-Quran. Keutamaan membaca Al-Quran, yaitu membacanya adalah ibadah. Bagi orang yang membaca Al-Quran akan mendapat pahala yang telah dijanjika Allah SWT. Menurut Ali Bin Abi Thalib, membaca Al-Quran dalah 50 kebajikan untuk tiap-tiap hurufnya apabila dibaca waktu melaksanakan sholat, 25 kebajikan apabila di luar sholat (dalam keadaan berwudhu), dan 10 kebajikan apabila tidak berwudhu. Bukan hanya membaca,

mendengarkan orang yang membaca Al-Quran pun akan mendapat kan pahala. Selain membaca dan mendengar, belajar dan mengajarkan membaca Al-Quran pun adalah suatu kebajikan. 2.1.1.6 Komitmen Muslim Terhadap Al-Quran

1. Mengimani Kita harus yakin bahwa Al-Quran adalah kalamullah yang diturunkan oleh Allah Subhanahu Wa Taala kepada Rasulullah Salallahu Alaihi Wa Salam. Kita wajib mengimani semua ayat-ayat yang kita baca, baik yang berupa hukum-hukum maupun kisah-kisah. Baik yang menurut kita terasa masuk akal maupun yang belum dapat kita pahami, yang nyata maupun yang gaib. Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al-Quran) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri) seraya berkata : ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al-Quran dan kenabian Nabi Muhammad Salallahu Alaihi Wa Salam).(Q.S. Al Maidah : 83). 2. Membaca Di dalam Al-Quran disebutkan bahwa membaca dengan sebenar-benar bacaan (haqqa tilawah) merupakan parameter keimanan orang tersebut kepada Al-Quran. Firman Allah Subhanahu Wa Taala : Orang-orang yang telah Kami berikan Al-Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan haqqa tilawah mereka itulah orang-orang yang beriman kepadanya. Dan barang siapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang merugi.(Q.S.Al Baqarah:121). 3. Mentadabburi Tadabbur Al-Quran dapat dilakukan dengan mengulangi ayat-ayat yang kita baca dan meresapinya kedalam hati serta memikirkan maknanya dengan bacaan yang lambat. Tidak hanya hati yang mentadabburi, tapi fisik kita yang lain pun ikut bertadabbur. Rasulullah

Salallahu Alaihi Wa Salam merupakan contoh terbaik bagi kita dalam cara mentadabburi Al-Quran, diriwayatkan ketika diturunkan surat Huud dan Al Waqiah sampai beruban rambutnya karena takut terhadap Allah Subhanahu Wa Taala. Maka apakah mereka tidak mentadabburkan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu turun dari sisi selain Allah tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak didalamnya.(Q.S.An Nissa : 82). 4. Menghapal Rasulullah Salallahu Alaihi Wa Salam mengatakan barang siapa yang didalam rongga tubuhnya tidak ada sedikitpun Al Qurn, tak ubahnya bagaikan rumah yang bobrok. (HR. At Tarmidzi, hadist no.998,hlm 417). 5. Mengamalkan Mengamalkan berawal dari memahami ilmu-ilmunya serta berpegang teguh pada hukumhukumnya, kemudian menyelaraskan hisup dan tingkah laku serta akhlaknya, sebagaiman akhlak Rasulullah Salallahu Alaihi Wa Salam dalam Al Quran. Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk pada kaum yang dzalim.(Q.S.Al Jumaah:5). Alangkah buruknya perumpamaan ini bagi mereka yang tidak mengamalkan ayat-ayat Allah (termasuk didalamnya Al-Quran), yaitu dengan perumpamaan keledai yang memikul kitab-kitab besar tetapi ia tidak mengerti apa yang ada didalamnya. Jadi bila manusia tidak mengamalkan Al Quran seperti keledai yang tidak merasakan selain beban bawaan tanpa dapat memanfaatkan apa yang dibawanya itu. Untuk menjadi seorang muslim yang senantiasa komitmen terhadap Al-Quran bisa dicapai melalui proses pembinaan diri. Hal ini dilakukan tidak hanya sekali saja melainkan secara berkesinambungan dan bertahap.

2.1.1.6 Bukti Kebenaran Al-Quran Sebagai Wahyu Allah Al-Quran mempunyai sekian banyak fungsi. Di antaranya adalah menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad saw. Bukti kebenaran tersebut dikemukakan dalam tantangan

yang sifatnya bertahap.Pertama, menantang siapa pun yang meragukannya untuk menyusun semacam Al-Quran secara keseluruhan (baca QS 52:34). Kedua, menantang mereka untuk menyusun sepuluh surah semacam Al-Quran (baca QS 11:13). Seluruh AlQuran berisikan 114 surah. Ketiga, menantang mereka untuk menyusun satu surah saja semacam Al-Quran (baca QS 10:38). Keempat, menantang mereka untuk menyusun sesuatu seperti atau lebih kurang sama dengan satu surah dari Al-Quran (baca QS 2:23). Dalam hal ini, Al-Quran menegaskan: Katakanlah (hai Muhammad) sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan mampu membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain. (QS 17 :88). Seorang ahli berkomentar bahwa tantangan yang sedemikian lantang ini tidak dapat dikemukakan oleh seseorang kecuali jika ia memiliki satu dari dua sifat: gila atau sangat yakin. Muhammad saw. sangat yakin akan wahyu-wahyu Tuhan, karena Wahyu adalah informasi yang diyakini dengan sebenarnya bersumber dari Tuhan. Walaupun Al-Quran menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad, tapi fungsi utamanya adalah menjadi petunjuk untuk seluruh umat manusia. Petunjuk yang dimaksud adalah petunjuk agama, atau yang biasa juga disebut sebagai syariat. Syariat, dari segi pengertian kebahasaan, berarti jalan menuju sumber air. Jasmani manusia, bahkan seluruh makhluk hidup, membutuhkan air, demi kelangsungan hidupnya. Ruhaninya pun membutuhkan air kehidupan. Di sini, syariat mengantarkan seseorang menuju air kehidupan itu. Paling tidak ada tiga aspek dalam Al-Quran yang dapat menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad saw., sekaligus menjadi bukti bahwa seluruh informasi atau petunjuk yang disampaikannya adalah benar bersumber dari Allah SWT. Ketiga aspek tersebut akan lebih meyakinkan lagi, bila diketahui bahwa Nabi Muhammad bukanlah seorang yang pandai membaca dan menulis. Ia juga tidak hidup dan bermukim di tengah-tengah masyarakat yang relatif telah mengenal peradaban, seperti

Mesir, Persia atau Romawi. Beliau dibesarkan dan hidup di tengah-tengah kaum yang oleh beliau sendiri dilukiskan sebagai Kami adalah masyarakat yang tidak pandai menulis dan berhitung. Inilah sebabnya, konon, sehingga angka yang tertinggi yang mereka ketahui adalah tujuh. Inilah latar belakang, mengapa mereka mengartikan tujuh langit sebagai banyak langit. Al-Quran juga menyatakan bahwa seandainya Muhammad dapat membaca atau menulis pastilah akan ada yang meragukan kenabian beliau (baca QS 29:48). Ketiga aspek yang dimaksud di atas adalah sebagai berikut. Pertama, aspek keindahan dan ketelitian redaksi-redaksinya. Tidak mudah untuk menguraikan hal ini, khususnya bagi kita yang tidak memahami dan memiliki rasa bahasa Arab karena keindahan diperoleh melalui perasaan, bukan melalui nalar. Namun demikian, ada satu atau dua hal menyangkut redaksi Al-Quran yang dapat membantu pemahaman aspek pertama ini. Seperti diketahui, seringkali Al-Quran turun secara spontan, guna menjawab pertanyaan atau mengomentari peristiwa. Misalnya pertanyaan orang Yahudi tentang hakikat ruh. Pertanyaan ini dijawab secara langsung, dan tentunya spontanitas tersebut tidak memberi peluang untuk berpikir dan menyusun jawaban dengan redaksi yang indah apalagi teliti. Namun demikian, setelah Al-Quran rampung diturunkan dan kemudian dilakukan analisis serta perhitungan tentang redaksi-redaksinya, ditemukanlah hal-hal yang sangat menakjubkan. Ditemukan adanya keseimbangan yang sangat serasi antara kata-kata yang digunakannya, seperti keserasian jumlah dua kata yang bertolak belakang. Kedua adalah pemberitaan-pemberitaan gaibnya. Firaun, yang mengejar-ngejar Nabi Musa., diceritakan dalam surah Yunus. Pada ayat 92 surah itu, ditegaskan bahwa Badan Firaun tersebut akan diselamatkan Tuhan untuk menjadi pelajaran generasi berikut.Tidak seorang pun mengetahui hal tersebut, karena hal itu telah terjadi sekitar 1200 tahun S.M. Nanti, pada awal abad ke-19, tepatnya pada tahun 1896, ahli purbakala Loret menemukan di Lembah Raja-raja Luxor Mesir, satu mumi, yang dari data-data sejarah terbukti bahwa ia adalah Firaun yang bernama Maniptah dan yang pernah mengejar Nabi Musa a.s. Selain itu, pada tanggal 8 Juli 1908, Elliot Smith mendapat izin dari pemerintah Mesir untuk membuka pembalut-pembalut Firaun tersebut. Apa yang

ditemukannya adalah satu jasad utuh, seperti yang diberitakan oleh Al-Quran melalui Nabi yang ummiy (tak pandai membaca dan menulis itu). Mungkinkah ini? Setiap orang yang pernah berkunjung ke Museum Kairo, akan dapat melihat Firaun tersebut. Terlalu banyak ragam serta peristiwa gaib yang telah diungkapkan Al-Quran dan yang tidak mungkin dikemukakan dalam kesempatan yang terbatas ini. Ketiga, isyarat-isyarat ilmiahnya. Banyak sekali isyarat ilmiah yang ditemukan dalam Al-Quran. Misalnya diisyaratkannya bahwa Cahaya matahari bersumber dari dirinya sendiri, sedang cahaya bulan adalah pantulan (dari cahaya matahari) (perhatikan QS 10:5); atau bahwa jenis kelamin anak adalah hasil sperma pria, sedang wanita sekadar mengandung karena mereka hanya bagaikan ladang (QS 2:223); dan masih banyak lagi lainnya yang kesemuanya belum diketahui manusia kecuali pada abadabad bahkan tahun-tahun terakhir ini. Dari manakah Muhammad mengetahuinya kalau bukan dari Dia, Allah Yang Maha Mengetahui! Kesemua aspek tersebut tidak dimaksudkan kecuali menjadi bukti bahwa petunjukpetunjuk yang disampaikan oleh Al-Quran adalah benar, sehingga dengan demikian manusia yakin serta secara tulus mengamalkan petunjuk-petunjuknya. 2.1.2Hadist Menurut bahasa Hadist artinya jalan hidup yang dibiasakan terkadang jalan tersebut ada yang baik dan ada pula yang buruk. Pengertian Hadist seperti ini sejalan dengan makna hadis Nabi yang artinya : Barang siapa yang membuat sunnah (kebiasaan) yang terpuji, maka pahala bagi yang membuat sunnah itu dan pahala bagi orang yang mengerjakanny; dan barang siapa yang membuat sunnah yang buruk, maka dosa bagi yang membuat sunnah yang buruk itu dan dosa bagi orang yang mengerjakannya. Sementara itu Jumhurul Ulama atau kebanyakan para ulama ahli hadis mengartikan Al-Hadis, Al-Sunnah, Al-Khabar dan Al-Atsar sama saja, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun ketetapan. Sementara itu ulama Ushul mengartikan bahwa Al-Sunnah adalah sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad dalam bentuk ucapan, perbuatan dan persetujuan beliau yang berkaitan dengan hukum.

2.1.2.1 Fungsi Hadist Sebagai sumber ajaran Islam kedua, setelah Alquran, Hadist memiliki fungsi yang pada intinya sejalan dengan alquran. Keberadaan Al-Sunnah tidak dapat dilepaskan dari adanya sebagian ayat Alquran : a. Yang bersifat global (garis besar) yang memerlukan perincian. b. Yang bersifat umum (menyeluruh) yang menghendaki pengecualian. c. Yang bersifat mutlak (tanpa batas) yang menghendaki pembatasan, d. Isyarat Alquran yang mengandung makna lebih dari satu (musytarak) yang e. menghendaki penetapan makna yang akan dipakai dari dua makna tersebut, bahkan terdapat sesuatu yang secara khusus tidak dijumpai keterangannya di dalam Alquran yang selanjutnya diserahkan kepada hadis nabi.` 2.1.2.3 macam- macam Hadist Macam-macam As-Sunnah:

ditinjau dari bentuknya: 1. Fili (perbuatan Nabi) 2. Qauli (perkataan Nabi) 3. Taqriri (persetujuan atau izin Nabi)

ditinjau dari segi jumlah orang-orang yang menyampaikannya: 1. Mutawir, yaitu yang diriwayatkan oleh orang banyak 2. Masyhur, diriwayatkan oleh banyak orang, tetapi tidak sampai (jumlahnya) kepada derajat mutawir 3. Ahad, yang diriwayatkan oleh satu orang.

Ditinjau dari kualitasnya: 1. Shahih, yaitu hadits yang sehat, benar, dan sah 2. Hasan, yaitu hadits yang baik, memenuhi syarat shahih, tetapi dari segi hafalan pembawaannya yang kurang baik. 3. Dhaif, yaitu hadits yang lemah 4. Maudhu, yaitu hadits yang palsu.

Ditinjau dari segi diterima atau tidaknya

1. Maqbul, yang diterima. 2. Mardud, yang ditolak.

2.1.2.4 Kedudukan hadist: Kedudukan Hadist sebagai sumber ajaran Islam selain didasarkan pada keterangan ayat-ayat Alquran dan Hadist juga didasarkan kepada pendapat kesepakatan para sahabat. Yakni seluruh sahabat sepakat untuk menetapkan tentang wajib mengikuti hadis, baik pada masa Rasulullah masih hidup maupun setelah beliau wafat. 1. Hadist adalah sumber hukum Islam kedua setelah Al-Quran 2. Orang yang menyalahi Sunnah/hadist akan mendapat siksa (QS. Al-Mujadilah, 58: 5) 3. Menjadikan hadist/Sunnah sebagai sumber hukum adalah tanda orang yang beriman (QS. An-Nisa, 4: 65) 2.1.2.5 Perbedaan Al-Quran dengan As-Sunnah:

Segala yang ditetapkan Al-Quran adalah absolut nilainya. Sedangkan yang ditetapkan As-Sunnah tidak semuanya bernilai absolut. Ada yang bersigat absolut, ada yang bersifat nisbi zhanni

Penerimaan seorang muslim terhadap Al-Quran adalah dengan keyakinan. Sedangakan terhadap As-Sunnah, sebagian besar hanyalah zhanny (dugaan-dugaan yang kuat).

2.1 Sumber ajaran islam sekunder. Syariat Islam yang disampaikan dalam Al-Quran dan Al-Sunnah secara komprehensif, memerlukan penelaahan dan pengkajian ilmiah yang sungguh-sungguh serta berkesinambungan. Didalam keduanya terdapat lafad yang am-khash, mutlhlaq-muqayyad, nasiks-mansukh, dan muhkam mutasyabih, yang masih memerlukan penjelasan. Sementara itu, nash Al-Quran dan Sunnah telah berhenti, padahal waktu terus berjalan dengan sejumlah peristiwa dan persoalan yang datang silih berganti (al-wahy qad intaha wal alwaqai la yantahi). Oleh karena itu, diperlukan usaha penyelesaian secara sungguh-sungguh atas persoalan-persoalan yang tidak ditunjukkan secara tegas oleh nash itu maka kedudukan ijtihad sangat lah penting sebagai sumber ajaran di dalam Islam.

2.2.1 Ijtihad sebagai sumber ajaran islam Secara bahasa, ijtihad berasal dari kata jahada. kata ini beseta seluruh variasinya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa, sulit dilaksanakan, atau yang tidak disenangi. Kata inipun berarti kesanggupan (al-wus), kekuatan (al-thaqah), dan berat (al-masyaqqah) (Ahmad bin Ahmad bin Ali al-Muqri al-Fayumi, t.th : 112, dan Elias A. Elias dan Ed. E. Elias, 1982 : 126).[1] Sedangkan menurut istilah ulama ushul; Ijtihad ialah mencurahkan daya kemampuan untuk menghasilakan hukum syara dari dalil-dalil syara secara terinci.[2] Para ulama bersepakat tentang pengertian ijtihad secara bahasa, tetapi berbeda pandangan mengenai pengertianya secara istilah (terminologi).pengertian ijtihad secara istilah muncul belakangan, yaitu pada masa tasyri dan masa sahabat. Perbedaan ini meliputi hubungan ijtihad dengan fikih, ijtihad dengan Al-Quran, ijtihad al-Sunnah, dan ijtihad dengan dalalah nash. (Jalaluddin Rakhmat, 1989 : 33) Menurut Abu Zahrah (t.th : 379), secara istilah, arti ijtihad adalah ; upaya seorang ahli fikih dengan kemampuanya dalam mewujudkan hukum-hukum amaliah yang diambil dari dalil-dalil yang rinci. Menurut al-Amidi yang dikutip oleh wahbah al-Zuhaili (1978 : 480), ijtihad ialah :pengerahan segala kemampuan untuk menentukan sesuatau yang dhanni dari hukumhukum syarak. Devinisi ijtihad diatas secara tersirat menunjukkan bahwa ijtihad hanya berlaku pada bidang fikih, bidang hukum yang berkenaan dengan amal; bukan bidang pemikiran. Oleh karena itu, menurut ulama fikih, ijtihad tidak terdapat pada ilmu kalam dan tasawuf. Disamping itu, ijtihad berkenaan dengan dalil zhanni, sedangkan ilmu kalam menggunakan dalil qadhi. Hal ini senada dengan pendapat Ibrahim Hosen, yang selanjutnya dikutipoleh Jalaludddin Rakhmat (1989 ; 33), yang mengatakan bahwa cakupan ijtihad hanyalah bidang fikih. Selanjutnya, Hosen mengatakan, pendapat yang mengatakan bahwa ijtihad secara istilah juga berlaku dibidang akidah atau akhlak, jelas tidak bisa dibenarkan. Berbeda dengan Hosen, Harun Nasution mewnjelaskan bahwa pengertian ijtihad hanya dalam lapangan fikih adalah ijtihad dalam artian sempit. Dalam arti luas, menurutnya, ijtihad juga berlaku dalam bidang politik, akidah, tasawuf, dan filsafat. Senada dengan Harun Nasution, Ibrahim Abbas al-Dzarwi (1983: 9) mendefinisikan ijtihad sebagai : Pengerahan daya dan upaya untuk memperoleh maksud. . 2.2.2 Macam-Macam ijtihad

Macam-macam ijtidah yang dikenal dalam syariat islam, yaitu o Ijma, yaitu menurut bahasa artinya sepakat, setuju, atau sependapat. Sedangkan menurut istilah adalah kebulatan pendapat ahli Ijtihad umat Nabi Muhammad SAW sesudah beliau wafat pada suatu masa, tentang hukum suatu perkara dengan cara musyawarah. Hasil dari Ijma adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat. o Qiyas yaitu berarti mengukur sesuatu dengan yang lain dan menyamakannya. Dengan kata lain Qiyas dapat diartikan pula sebagai suatu upaya untuk membandingkan suatu perkara dengan perkara lain yang mempunyai pokok masalah atau sebab akibat yang sama. Contohnya adalah pada surat Al isra ayat 23 dikatakan bahwa perkataan ah, cis, atau hus kepada orang tua tidak diperbolehkan karena dianggap meremehkan atau menghina, apalagi sampai memukul karena sama-sama menyakiti hati orang tua. o Istihsan, yaitu suatu proses perpindahan dari suatu Qiyas kepada Qiyas lainnya yang lebih kuat atau mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima untuk mencegah kemudharatan atau dapat diartikan pula menetapkan hukum suatu perkara yang menurut logika dapat dibenarkan. Contohnya, menurut aturan syarak, kita dilarang mengadakan jual beli yang barangnya belum ada saat terjadi akad. Akan tetapi menurut Istihsan, syarak memberikan rukhsah (kemudahan atau keringanan) bahwa jual beli diperbolehkan dengan system pembayaran di awal, sedangkan barangnya dikirim kemudian. o Mushalat Murshalah, yaitu menurut bahasa berarti kesejahteraan umum. Adapun menurut istilah adalah perkara-perkara yang perlu dilakukan demi kemaslahatan manusia. Contohnya, dalam Al Quran maupun Hadist tidak terdapat dalil dilakukan oleh umat Islam demi kemaslahatan umat. o Sududz Dzariah, yaitu menurut bahasa berarti menutup jalan, sedangkan menurut istilah adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat. Contohnya adalah adanya larangan meminum minuman keras walaupun hanya seteguk, padahal minum seteguk tidak memabukan. Larangan seperti ini untuk menjaga agar jangan sampai orang tersebut minum banyak hingga mabuk bahkan menjadi kebiasaan. yang memerintahkan untuk membukukan ayat-ayat Al Quran. Akan tetapi, hal ini

Istishab, yaitu melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan telah ditetapkan di masa lalu hingga ada dalil yang mengubah kedudukan hukum tersebut. Contohnya, seseorang yang ragu-ragu apakah ia sudah berwudhu atau belum. Di saat seperti ini, ia harus berpegang atau yakin kepada keadaan sebelum berwudhu sehingga ia harus berwudhu kembali karena shalat tidak sah bila tidak berwudhu.

o Urf, yaitu berupa perbuatan yang dilakukan terus-menerus (adat), baik berupa perkataan maupun perbuatan. Contohnya adalah dalam hal jual beli. Si pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang yang telah diambilnya tanpa mengadakan ijab kabul karena harga telah dimaklumi bersama antara penjual dan pembeli. 2.2.3 Ruang Lingkup Ijtihad (Majal Al-Ijtihad) Ruang lingkup ijtihad adalah masalah yang diperbolehkan penetapan hukumnya dengan cara ijtihad. Istilah teknis yang terdapat dalam ikmu usul fiqh adalah al mujtahid fih. Menurut Abu Hamid Muhammad Al-Ghozali (t.th : 354), lapangan ijtihad adalah setiap hukum syara yang tidak memiliki hukum qothi. Adapun hukum yang diketahui dari agama secara dlarurah danbidahah (pasti benar berdasarkan pertimbangan akal), tidak termasuk lapangan ijtihad. Secara tegas, Wahbah Al-Zuhaili menjelaskan bahwa sesuatu yang ditetapkan berdasarkan dalil qathi al-tsubut wa dalalah tidak termasuk lapangan ijtihad. Persoalan-persoalan yang tergolong ma ulima min al-din bi al dlarurah, diantaranya kewajiban sholat lima waktu, puasa pada bulan rhamadan, zakat, haji, keharaman zina, pencurian dan minuman khamar. Secara lebih jelas, Wahbah Al-Zuhaili (1978: 497) menjelaskan lapangan ijtihad itu ada dua. Pertama, sesuatu yang tidak dijelaskan sama sekali oleh Allah dan Nabi Muhammad SAW dalam Al-Quran dan al-Sunnah (ma la nasha fi ashlain). Kedua sesuatu yang ditetapkan berdasarkan dalil zhanni al-tsubut wa al-dalalah atau salah satunya (zhanni altsubut atau zhanni al-dalalah).[3] Selama ada dalil yang pasti maka dalil itu tidak bisa dijadikan obyek ijtihad, atas dasar ayat-ayat hukum tadi telah benar menunjukkan arti yang jelas dan tidak mengandung tawil yang harus diterapkan untuk ayat-ayat itu. Contoh masalah yang sudah ada hukumnya dalam nash: Artinya: perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah masing-masing seratus kali dera. (QS.An-Nuur: 22).

Contoh diatas sudah jelas, bahwa baik laki-laki maupun perempuan yang berzina, masingmasing didera seratus kali, hukum ini sudah jelas sehingga tidak perlu diijtihadi. Sedangkan contoh masalah yang membutuhkan ijtiihad adalah: Artinya : Dan lakukanlah sholat, tunaikanlah zakat (QS.Al-Baqoroh:43) Dalam contoh ini memang sudah jelas bahwa umat manusia diperintahkan untuk melaksanakan sholat dan zakat, namun bagaimana cara melakukannya belum diterangkan dalam ayat tersebut, jadi masih perlu diijtahadi, contohnya berapa ukuran zakat padi, zakat perdagangan, zakat profesi, dan seterusnya. 2.2.4 Ijtihad : Sumber Dinamika Dewasa ini umat Islam dihadapkan kepada sejumlah peristiwa kekinian yang menyangkut berbagai aspek kehidupan. Peristiwa-peristiwa itu memerlukan penyelesaian yang saksama, lebih-lebih untuk kasus yang tidak tegas ditunjuk dalam nash. Di balik itu, kata Roter Garaudy, yang dikutip Jalaluddin Rakhmad (1989 :39), tantangan umat sekarang ada dua macam, taklid kepada Barat dan taklid kepada masa lalu.taklid model pertama muncul karena tidakmampuan dalam membedakan antar modernisasi dan cara hidup Barat; sedangkan taklid model kedua muncul karena ketidakmampuan dalam membedakan antara syariat yang merupakan wahyu dan pandangan fuqaha masa lalu tentang syariat itu. Melihat persoalan-persoalan diatas, umat islam dituntut untuk keluar dari kemelut itu, yaitu dengan cara melakukan ijtihad. Oleh karena itu, ijtihad menjadi sangat penting meskipun tidak bisa dilakukan oleh setiap orang. Adapun kepentinganya itu disebabkan oleh hal-hal berikut.[4] 1. Jarak antara kita dengan masa tasyri semakin jauh. Jarak yang jauh ini memungkinkan terlupakanya beberapa nas, khususnya dalam al-Sunnah, yaitu maksudnya hadis-hadis palsu dan perubahan pemahaman terhadap nas.oleh karena itu, para mujtahid dituntut secara bersungguh-sungguh menggali ajaran Islam yang sebenarnya melalui kerja ijtihad. 2. Syariat disampaikan dalam Al-Quran dan Sunnah secara komprehensif ; memerlukan penelaahan dan pengkajian yang sungguh-sungguh. Didalamnya terdapat

yang am dan khas,muthlaq dan muqayyad, hakim dan mahkum, nasikh danmansukh, serta yang lainya yang memerlukan penjelasan para mujtahid. 2.2.5 Syarat-Syarat Seorang Mujtahid. Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani (t.th; 250-252) menyodorkan syaratsyarat mujtahid mujtahid sebagai berikut : 1. Mengetahui Al-Quran dan al-Sunnah yang bertalian dengan masalah-masalah hukum. Jumlah ayat-ayat hukum didalam Al-Quran sekitar 500 ayat. 2. Mengetahui ijma sehingga tidak berfatwa atau berpendapat yang menyalahi ijma ulama. 3. Mengetahui bahasa Arab karena Al-Quran dan al-Sunnah disusun dalam bahasa Arab. 4. Mengetahui ilmu ushul fiqh.ilmu ini merupakan ilmu terpenting bagi mujtahid karena membahasa dasar-dasar serta hal-hal yang berkaitan dengan ijtihad. 5. Mengetahui nasikh-mansukh sehingga berdasarkan dalil yang sudah mansukh . 2.2.5 Hukum Ijtihad Ulama berpendapat, jika seorang Muslim dihadapkan kepada suatu peristiwa, atau ditanya tentang suatu masalah yang berkaitan dengan hukum syara, maka hukum ijtihad bagi orang itui bisa wajib ain, wajib kifayah, sunat atau haram, bergantung kapasitas orang tersebut.[5] Pertama, bagi seorang Muslim yang memenuhi kriteria mujtahid yang dimintai fatwa hukum atas suatu peristiwa yang terjadi dan ia khawatir peristiwa itu akan hilang begitu saja tanpa kepastian hukumnnya, atau ia sendiri mengalami peristiwa yang tidak jelas hukumnya dalam nas, maka hukum ijtihad menjadi wajib ain. Kedua, bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria mujtahid yang diminta fatwa hukum atas suatu peristiwa hukum yang terjadi, tetapi ia mengkhawatirkan peristiwa itu lenyap dan selain dia masih ada mujtahid lainnya, maka hukum ijtihad menjadiwajib kifayah. Artinya, jika semua mujtahid tidak ada yang melakukan ijtihad atas kasus tersebut, maka semuanya berdosa. Sebaliknya, jika salah seorang dari mereka melakukan ijtihad, maka gugurlah tuntutan ijtihad atas diri mereka. tidak berfatwa atau berpendapat

Ketiga, hukum ijtihad menjadi sunat jika dilakukan atas persoalan-persoalan yang tidak atau belum terjadi. Keempat, hukum ijtihad menjadi haram dilakukan atas peristiwa-peristiwa yang sudah jelas hukumnya secara qathi, baik dalam Al-quran maupun dalam As-sunnah; atau ijtihad atas peristiwa yang hukumnya telah ditetapkan secara ijmak.

DAFTAR PUSTAKA
http://manshurzikri.wordpress.com/ http://www.hikmatun.wordpress.com/pengertian al-quran http://ridha-anakkampus.blogspot.com/2012/06/makalah-sumber-ajaran-islam.html http://yahyaayyash.wordpress.com/2008/05/31/komitmen-muslim-terhadap-alqur%E2%80%99an/ http://edukasi.kompasiana.com/2012/12/28/bukti-kebenaran-al-quran-520519.html http://fungsialquran.blogspot.com/

Anda mungkin juga menyukai