tentu saja banyak sekali memberikan dampak untuk kehidupan sistem pendidikan dalam negeri ini, dan dampak yang muncul paling dominan adalah berbagai dampak negatif, yang dapat merugikan generasi penerus bangsa ini, khususnya dalam penurunan kualitas pendidikan. Faktanya Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke105 (1998), dan ke-109 (1999). Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia. Tentu saja fakta di atas merupakan hal yang menyeramkan, mau jadi apa nanti jika generasi penerus bangsa ini hanya bisa menjadi follower bukan pemimpin teknologi, bangsa ini hanya bisa menggunakan teknologi, tanpa bisa menciptakan, atau memiliki ide-ide cermerlang untuk menciptakan teknologi. Hal itu terjadi akibat dari masih rendahnya kualitas pendidikan yang dimiliki oleh bangsa ini. Keadaan ini akan tetap terjadi jika mafia pendidikan di Indonesia masih tetap melakukan aktivitasnya. Beberapa dampak yang ditimbulkan dari kegiatan mafia pendidikan diantaranya adalah ketakutan masyarakat akan biaya pendidikan, hal ini merupakan salah satu dampak negatif yang cukup berpengaruh penting terhadap pemerataan pendidikan di negeri ini, karena semakin banyak oknum yang tidak bertanggung jawab dalam pengalokasian dana pendidikan, maka dana yang seharusnya telah dikucurkan untuk pendidikan akan berkurang untuk hal lain yang kurang berperan di dalam pendidikan, sehingga kebutuhan pendidikan yang sebenarnya sudah terdanai, harus mencari lagi beberapa dana tambaahan yang mengakibatkan terlihat membengkaknya dana pendidikan yang harus
dibayark oleh orang tua siswa, jadi akan timbul bayangan-bayangan atau ketakutan khususnya bagi masyarakat kecil akan besarnya biaya pendidikan di negeri ini. Fakta di negeri ini pula, dana BOS adalah salah satu program bantuan dana bagi siswa yang kurang mampu, namun nampaknya dana bos ini belum bisa direalisasikan dengan baik karena berdasarkan data penelitian bank dunia, 3600 orang tua siswa dari 720 sekolah di sejumlah wilayah tanah air, 71,6% orang tua tidak tahu mengenal laporan dana BOS dan 92,65% tidak pernah melihat papan pengumuman tentang penggunaan BOS. Menilik dari fakta di atas, bahwa hampir banyak sekali orang tua siswa yang kurang tahu mengenai laporan dana bos, hal ini akan semakin membuat leluasa jalan para mafia pendidikan untuk menyalahgunakan penggunaan uang Dana BOS. Jika hal ini terus menerus terjadi, maka akan menurunkan minat pendidikan, khususnya bagi masyarakat yang kurang mampu. Sehingga juga akan timbul masalah baru yaitu kurangnya pemerataan kesempatan pendidikan. Dampak lain yang ditimbulkan adalah terganggunya proses pendidikan suatu siswa sehingga akan menimbulkan prestasi yang diraih tidak memuaskan, masalah tersebut dapat terjadi saat guru banyak mengkorupsi waktu yang sebenarnya digunakan untuk mengajar di kelas namun tidak digunakan secara maksimal, sehingga murid-murid yang bisa dikatakan kurang cerdas(tidak bisa menguasai konsep tanpa keterangan lanjutan dari guru), akan mendapatkan imbasnya, masalah baru yang ditimbulkan juga akan mengakibatkan menurunnya kualitas pendidikan, selanjutnya dampak lain yang akan muncul adalah SDM yang memiliki kualitas semu, artinya prestasi atau kualitas pendidikan yang dimiliki oleh tiap siswa bukan kemampuan sebenarnya, kualitas tersebut tertutupi oleh kecurangan-kecurangan yang serasa dihalalkan saat menjalani ujian faktanya saat UNAS berlangsung banyak sekali kecurangan yang berlangsung, mulai dari pendistribusian soal, pengerjaan soal, sampai dengan pengawasan saat ujian berlangsung. Tentu saja beberapa oknum yang terlibat dalam kecurangan ini tidak lain juga merupakan guru-guru ataupun pendidik-pendidik mereka yang seharusnya memberikan teladan yang baik, namun malah memberikan cara pintas untuk memperoleh nilai yang memuaskan. Generasi penerus bangsa diajari untuk berbangga pada hasil, walaupun proses untuk mendapatkannya penuh kecurangan dan ketidakjujuran. Poin yang tertancap abadi di benak mereka antara lain adalah bahwa ketidakjujuran yang dilegalkan bukanlah perbuatan melanggar norma hukum. Legalitas terhadap ketidakjujuran itu lambat laun menjadi etos kerja, yang tercermin lewat komitmen pribadi. Mereka mendefinisikan pengertian profesional sebagai usaha untuk hidup layak dengan berbagai cara yang dilegalkan. Semakin permisif sikap suatu bangsa terhadap hal tersebut, maka seolaholah karakter itulah yang dianggap paling benar. Kaum terdidik hanya memerlukan keahlian
atau keterampilan saja. Komitmen moral boleh dinomor duakan.Padahal apa pun profesinya diperlukan komitmen moral yang tinggi. Tanpa landasan itu, keahlian atau jabatan seseorang mudah disalahgunakan. Kenyataannya SDM yang bersih dan berwibawa tidak mungkin hadir tanpa adanya penyelenggaraan pendidikan yang bersih dan berwibawa. Hal lainnya adalah permasalahan pada saat sistem penerimaan siswa baru, faktanya selalu ada 2 jalur dalam tahun penerimaan siswa baru, jalur tersebut adalah jalur reguler (jalur tes ataupun beasiswa) dan jalur selanjutnya adalah jalur non reguler yang biasa disebut jalur belakang, namun jalur non reg yang dimaksudkan di sini adalah jalur yang tidak legal, jadi jalur ini sebenarnya tidak diumumkan seperti jalur reguler. Jalur ini disediakan untuk orang-orang kelas atas ataupun berduit yang ingin untuk menjadi siswa di salah satu sekolah yang biasanya adalah salah satu sekolah favorit di daerah tersebut, namun sebenarnya kemampuannya tidak mencukupi untuk masuk ke sekolah itu. Tentu saja hal ini juga akan menurunkan kualitas pendidikan, dan persaingan yang ketat.