Anda di halaman 1dari 7

KETOASIDOSIS DIABETIKUM ( KAD )

Ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan komplikasi akut diabetes melitus yangserius, suatu keadaan darurat yang harus segera diatasi. KAD memerlukanpengelolaan yang cepat dan tepat, mengingat angka kematiannya yang tinggi.Pencegahan merupakan upaya penting untuk menghindari terjadinya KAD. Ketoasidosis diabetikum (KAD) adalah keadaan

dekompensasi-kekacauan metabolik yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif. Akibat diuresis osmotik, KAD biasanya mengalami dehidrasi berat dan bahkan dapat menyebabkan syok. Faktor pencetus yang berperan untuk terjadinya KAD adalah infeksi, infark miokardakut, pankreatitis akut, penggunaan obat golongan steroid, menghentikan atau mengurangi dosis insulin. Pada pasien KAD dijumpai pernafasan cepat dan dalam (kussmaul), berbagai derajat dehidrasi (turgor kulit berkurang, lidah dan bibir kering, mata cekung), kadang-kadang disertai hipovolemia sampai syok dan terdapat bau aseton dari napas penderita. Penanganan pasien penderita ketoasidosis diabetikum adalah dengan memperoleh riwayat menyeluruh dan tepat serta melaksanakan pemeriksaan fisik sebagai upaya untuk mengidentifikasi kemungkinan factor-faktor pemicu. Pengobatan utama terhadap kondisi ini adalah rehidrasi awal (dengan menggunakan isotonic saline) dengan pergantian potassium serta terapi insulin dosis rendah. Penatalaksanaan Prinsip-prinsip pengelolaan KAD adalah: a. Penggantian cairan dan garam yang hilang b. Menekan lipolisis sel lemak dan menekan glukoneogenesis sel hati denganpemberian insulin. c. Mengatasi stress sebagai pencetus KAD d. Mengembalikan keadaan fisiologis normal dan menyadari pentingnyapemantauan serta penyesuaian pengobatan.

1. Cairan

Untuk mengatasi dehidrsi digunakan larutan garam fisiologis. Berdasarkan perkiraan hilangnya cairan pada KAD mencapai 100 ml per kg berat badan, maka pada jam pertama

diberikan 1 sampai 2 liter, jam kedua diberikan 1 liter. Ada dua keuntungan rehidrasi pada KAD: memperbaiki perfusi jaringan dan menurunkan hormon kontraregulator insulin. Bila kadar glukosa kurang dari 200 mg% maka perlu diberikan larutan mengandung glukosa (dekstrosa 5 % atau 10 %). 2. Insulin a. Insulin infus intravena dosis rendah berkelanjutan Insulin regular intravena memiliki waktu paruh 45 menit, sementara pemberian insulin secara intramuskular atau subkutan memiliki waktu paruh sekitar 24 jam. Insulin infus intravena dosis rendah berkelanjutan (continuous infusion of low dose insulin) merupakan standar baku pemberian insulin di sebagian besar pusat pelayanan medis.

Protokol ini dimulai dengan tahap persiapan yaitu dengan memberikan infus D5% 100cc/jam. Setelah itu, bila terdapat fasilitas syringe pump, siapkan 50 unit insulin reguler (RI) dalam spuit berukuran 50 cc, kemudian encerkan dengan larutan NaCl 0,9 % hingga mencapai 50 cc (1 cc NaCl = 1 unit RL). Bila diperlukan 1,5 unit insulin/jam, petugas tinggal mengatur kecepatan tetesan 1,5 cc/jam. Dapat pula diberikan 125 RI dalam 250 ml larutan NaCl 0,9%, yang berarti setiap 2 cc NaCl = 1 unit RI. Bila tidak tersedia syringe pump, dapat digunakan botol infus 500 cc larutan NaCl 0,9%. Masukkan 12 unit RI (dapat juga 6 unit atau angka lain, sebab nantinya akan diperhitungkan dalam tetesan) ke dalam botol infus 500 cc larutan NaCl 0.9%. Bila dibutuhkan 1 unit insulin/jam, maka dalam botol infus yang berisi 12 unit RI, diatur kecepatan tetesan 12 jam/botol, sehingga 12 unit RI akan habis dalam 12 jam. Bila dibutuhkan 2 unit perjam, kecepatan tetesan infus diatur menjadi 6 jam/botol, karena 12 unit RI akan habis dalam 6 jam, demikian seterusnya, tetesan diatur sesuai permintaan. Sebagai patokan tetesan, 1 cc cairan infus = 20 tetesan makro = 60 tetesan mikro. Pemberian insulin infus intravena dosis rendah 48 unit/jam menghasilkan kadar insulin sekitar 100 uU/ml dan dapat menekan glukoneogenesis dan lipolisis sebanyak 100%. Cara pemberian infus insulin dosis rendah berkelanjutan dikaitkan dengan komplikasi metabolik seperti hipoglikemia, hipokalemia, hipofosfatemia, hipomagnesema, hiperlaktatemia, dan disequilibrium osmotik yang lebih jarang dibandingkan dengan cara terapi insulin dengan dosis besar secara berkala atau intermiten. b. Insulin intramuskular Penurunan kadar glukosa darah yang dicapai dengan pemberian insulin secara intramuskular lebih lambat dibandingkan dengan cara pemberian infus intravena berkelanjutan. Terapi insulin intramuskular dosis rendah (5 unit) yang diberikan secara berkala (setiap 12jam) sesudah pemberian insulin dosis awal (loading dose) sebesar 20 m juga merupakan cara terapi insulin pada pasien KAD. Cara tersebut terutama dijalankan di pusat pelayanan medis yang sulit memantau pemberian insulin infus intravena berkelanjutan. Pemberian insulin intramuskular tersebut dikaitkan dengan kadar insulin serum sekitar 6090 U/dL. c. Insulin subkutan Terapi insulin subkutan juga dapat digunakan pada pasien KAD. Namun, untuk mencapai kadar insulin puncak dibutuhkan waktu yang lebih lama. Cara itu dikaitkan dengan penurunan kadar glukosa darah awal yang lebih lambat serta timbulnya efek hipoglikemia lambat (late hypoglycemia) yang lebih sering dibandingkan dengan terapi menggunakan insulin intramuskular.

3. Kalium Pada awalnya KAD biasanya kadar ion K serum meningkat hiperkalemia yang fatal sangat jarang dan bila terjdi harus segera diataasi dengan pemberian bikarbonat. Bila pada elektrokardiogram ditemukan gelombang T yang tinggi, pemberian cairan dan insulin dapat segera mengatasi keadaan hiperkalemi tersebut. Yang perlu menjadi perhatian adalah hipokalemiayang dapat fatal selaama pengobatan KAD. Ion kalium terutama terdapat di intraselular. Pada keadaan KAD, ion K bergerak ke luar sel dan selanjutnya dikeluarkan melalui urine. Total defisit K yang terjadi selama KAD diperkirakan mencapai 3-5 mEq/kg BB. Selama terapi KAD, ion K kembali mempertahankan kadar K serum dalam batas normal., perlu pemberian kalium. Pada pasien tanpa gagal ginjal serta tidak ditemukannya gelombang T yang lancip dan tinggi pada elektrokardiogram, pemberian kalium segera dimulai setelah jumlah urine cukup adekuat.

4. Glukosa Setelah rehidrasi awal 2 jam pertama, biasanya kadar glukosa darah akan turun. Selanjutnya dengan pemberian insulin diharapkan terjadi penurunan kadar glukosa sekitar 60 mg%/jam. Bila kadar glukosa mencapai < 200 mg% maka dapat dimulai infus mengandung glukosa. Perlu dditekankan di sini bahwa tujuan terapi KAD bukan untuk menormalkan kadar glukosa tetapi untuk menekan ketogenesis. 5. Bikarbonat Terapi bikarbonat pada KAD menjadi topik perdebatan selama beberapa tahun. Pemberian bikarbonat hanya dianjurkan pada KAD yang berat. Adapun alasan keberatan pemberian bikarbonat adalah: a.Menurunkan pH intraselular akibat difusi CO2 yang dilepas bikarbonat. b. Efek negatif pada dissosiasi oksigen di jaringan c. Hipertonis dan kelebihan natrium d. Meningkatkan insidens hipokalemia e. Gangguan fungsi serebral f. Terjadi hiperkalemia bila bikarbonat terbentuk dari asam keton. Saat ini bikarbonat hanya diberikan bila pH kurang dari 7,1 walaupun demikian komplikasi asidosis laktat dan hiperkalemia yang mengancam tetap merupakan indikasi pemberian bikarbonat. Pemantauan Pemantauan merupakan bagian yang terpenting dalam pengobatan KAD mengingat penyesuaian terapi perlu dilakukan selama terapi berlansung. Untuk itu perlu dilaksanakan pemeriksaan: 1. kadar glukosa darah tiap jam dengan glukometer 2. elektrolit tiap 6 jam selama 24 jam selanjutnya tergantung keadaa. 3.Analisis gas darah, bila pH <7 waktu masuk periksa setiap 6 jam sampai pH >7,1, selanjutnya setiap hari sampai keadaan stabil 4. Vital Sign tiap jam 5. Keadaan hidrasi, balance cairan 6. Waspada terhadap kemungkinan DIC

DAFTAR PUSTAKA 1. Kitabchi AE, et.al. Management of Hyperglycemic Crises in Patients With Diabetes, Diab Care. 2001;24(1):131-153. 2. Jean-Louis Chiasson, et. al.Diagnosis and treatment of diabetic ketoacidosis and the hyperglycemic hyperosmolar state. CMAJ.2003; 168 (7):859-866. 3. American Diabetes Association. Hyperglycemic Crises in Diabetes, Diab Care. 2004; 27(Suppl 1):94-102. 4. Kitabchi AE et.al. Thirty Years of Personal Experience in Hyperglycemic Crises: Diabetic Ketoacidosis and Hyperglycemic Hyperosmolar State, J Clin Endocrinol Metab. 2008; 93: 15411552.

Anda mungkin juga menyukai