Anda di halaman 1dari 4

Apa Itu Bank Syariah (BEI NEWS Edisi 18 Tahun V, Januari-Februari 2004) Sejumlah bank nasional mulai membuka

unit syariah. Apa pemicunya? Apa pula beda bank syariah dan bank konvensional? Seberapa besar dukungan BI terhadap pengembangan bank syariah? Tim BEINEWS Akhir-akhir ini, bank-bank ramai-ramai membuka cabang syariah. Pengalaman masa lalu, saat awal-awal krisis 1998, ketika banyak bank konvensional bertumbangan bisa jadi sebagai pemicunya. Sementara, bank-bank syariah terus melenggang seakan tak ada masalah dengan krisis. Maka, tidak berlebihan jika kemudian para pengusaha perbankan syariah mulai membujuk masyarakat beralih ke bank syariah. Krisis ekonomi yang salah satunya berdampak negatif pada industri perbankan nasional dinilai kalangan pebisnis syariah bisa dijadikan pelajaran berharga. Karena, sesungguhnya, kata pebisnis syariah, sistem yang diterapkan banyak perbankan waktu itu dilarang keras dalam prinsip ekonomi syariah. Kredit yang diberikan perbankan, ternyata tidak mampu memberikan manfaat langsung alias nilai tambah yang dapat diterima langsung oleh nasabah. Akibatnya, ketika terjadi peningkatan bunga kredit yang fantastik, nilai usaha nasabah sudah tidak sebanding lagi dengan pembiayaan yang diberikan. Selain itu, pinjaman dalam bentuk dolar (Amerika) ternyata banyak digunakan untuk membiayai kegiatan bisnis yang hanya berpendapatan rupiah. Valuta asing (valas) yang semula hanya sebagai alat pertukaran nilai, telah berubah menjadi alat komoditas. Faktor lain adalah adanya mark up terhadap nilai proyek, sehingga mengakibatkan munculnya ekonomi berbiaya tinggi. Ini terjadi lantaran begitu kuatnya moral hazard dalam proses pemberian kredit di samping juga karena kedekatan pengusaha dengan penguasa. Di sisi lain, adanya kompetisi yang ketat antarbank mengakibatkan bank kurang memperhatikan antara hasil penempatan dana dan hasil yang dibayarkan kepada nasabah (pemilik dana). Apalagi, banyak bank melanggar batas maksimum pemberian kredit (BMPK) sebab kebanyakan kredit bank dikucurkan kepada grupnya sendiri. Begitu krusialnya persoalan yang melilit perbankan konvensional kala itu. Maka, perbankan syariah pun muncul dengan menawarkan sistem bagi hasil, yakni nisbah keuntungan berupa porsi bagian untuk nasabah yang nilai riilnya ternyata lebih tinggi daripada bunga yang diberikan bank konvensional. Misalkan, sebuah bank syariah memberikan pembiayaan kepada nasabah, maka hasil usahanya dibagi sesuai dengan kesepakatan. Dalam operasionalnya, transaksi bank syariah harus bermanfaat, sehingga menimbulkan nilai

tambah dari setiap pembiayaan. Uang tetaplah sebagai alat tukar karena itu tidak boleh dijadikan komoditas. Setiap transaksi harus spesifik dan transparan. Karena itu, hal yang bersifat meragukan (gharar) harus dihindari. Begitu pula dengan risiko transaksi. Risiko transaksi mesti dikelola secara baik karena bank syariah merupakan pemegang amanah (mudharib) Sebenarnya, kajian tentang perbankan syariah sudah mucul sejak 1980-an. Namun, realisasinya baru pada 1991 dengan munculnya bank syariah pertama di Indonesia, yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang beroperasi pada 1992. Tapi, ketika itu, landasan hukumnya belum kuat mengingat dalam Undang-Undang (UU) No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, belum disebutkan adanya perbankan syariah. Baru setelah terjadi revisi dan muncul UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, status bank syariah secara hukum sudah mulai kuat. Bahkan, dalam UU tersebut, bank umum konvensional diperbolehkan membuka unit syariah. Sejak saat itu, mulailah bermunculan bank dan unit-unit bank syariah. Ada Bank Syariah Mandiri serta unit-unit bank syariah yang lain, seperti Bank IFI, Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Bukopin, Bank Danamon, Bank Republik Indonesia (BRI), Bank Internasional Indonesia (BII), dan Bank Niaga. Sementara, untuk bank pembangunan daerah (BPD), adalah Bank Jabar (Jawa Barat). Dan, tahun ini akan menyusul Bank Pembangunan Daerah (BPD) Aceh, Bank Pembangunan Daerah (BPD) Sumsel (Sumatra Selatan), dan Bank Pembangunan Daerah (BPD) Riau yang membuka unit syariah. Bahkan, yang agak ekstrim, Hongkong Shanghai Bank Corporation (HSBC), salah satu bank asing, tak ketinggalan turut membuka unit layanan syariah di Jakarta. Penyebab munculnya bank syariah, di antaranya, satu, market yang dianggap luas ternyata belum digarap secara maksimal. Ini bisa dilihat dari jumlah bank syariah yang masih di bawah 15 bank. Bila dibandingkan dengan jumlah penduduk negeri ini yang mencapai 200 juta jiwa dan diasumsikan 30%-nya menggunakan bank syariah, berarti, ada 60 juta nasabah yang potensial. Ini merupakan merupakan market yang luar biasa besarnya. Apalagi, bank syariah tidak hanya dikhususkan untuk orang muslim karena di sejumlah bank, ternyata terdapat nasabah nonmuslim. Ini membuktikan bahwa bank syariah membuka peluang yang sama terhadap semua nasabah tanpa membedakan agama. Dengan penetrasi pasar yang masih terbilang rendah, bank syariah berpotensi mengalami pertumbuhan yang tinggi. Setidaknya, hal itu tergambar dari data Bank Indonesia (BI). Bila jumlah dana pihak ketiga (DPK) bank syariah pada Juni 2002 baru Rp1,84 triliun, per Juni 2003 sudah meningkat hingga mencapai Rp3,86 triliun. Sedangkan, dari sisi pembiayaan, bila per Juni 2002 baru sebesar Rp2,71 triliun, posisi Juni 2003 sudah mencapai Rp4,23 triliun. Dua, sistem bagi hasil terbukti lebih menguntungkan ketimbang sistem bunga yang dianut bank konvensional. Seperti yang terjadi ketika krisis, nasabah kredit dikenakan suku bunga yang tinggi

karena banyak bank mengalami kesulitan likuiditas guna menutupi biaya operasional dan membayar bunga dan simpanan. Berbeda dengan bank syariah. Bank syariah mengunakan sistem bagi hasil pada akhir tahun, bukan sistem bunga. Itulah sebabnya mereka tidak terpengaruh dengan krisis. Tiga, return yang diberikan kepada nasabah pemilik dana ternyata lebih besar daripada bunga deposito bank konvesional. Bahkan, bila rata-rata bunga deposito hanya 7,5%, bank syariah dapat memberikan kentungan hingga 9,5%. Ditambah lagi belakangan ini, suku bunga sertifikat Bank Indonesia (SBI) terus mengalami penurunan, sehingga suku bunga bank juga menurun. Dampaknya, sejumlah bank syariah kecipratan rezeki karena para nasabah memindahkan dana ke deposito syariah. Dengan adanya penurunan suku bunga SBI, mau tidak mau, bank konvesional mesti menyesuaikan diri dengan menurunkan bunga deposito dan tabungan. Bila tidak, biaya dana yang dikeluarkan bank akan lebih besar daripada keuntungan yang diperoleh. Dan, pada gilirannya, bank bisa berpotensi mengalami negative spread atau selisih negatif antara biaya dana dan biaya kredit. Melihat kondisi bank konvensional yang demikian itu, begitu tepat bila bank syariah dijadikan alternatif bagi nasabah yang lebih menghendaki kestabilan return maupun pembagian hasil usaha yang lebih pasti. Di sisi lain, perkembangan bank syariah pun terlihat dipacu oleh keseriusan BI yang memperoleh lampu hijau. Sewaktu mencalonkan diri sebagai Gubernur BI, salah satu program kerja Burhanuddin Abdullah adalah mengembangkan perbankan syariah. Dan setelah ia terpilih, program tersebut mulai direalisasikan. Langkah Burhanuddin di antaranya mengembangkan Biro Perbankan Syariah yang ada di BI menjadi Direktorat Perbankan Syariah, di samping sudah tercantum dalam UU Perbankan No. 10 Tahun 1998 guna mempercepat pencapaian target yang ada dalam blue print pengembangan bank syariah. Seperti dikatakan Burhanuddin, bank syariah memiliki dinamika, mekanisme, dan perkembangan sendiri. Karena itu, BI hanya menfasilitasi agar bidup bank syariah semakin meningkat dan semakin baik. Maka, mulai November lalu, di BI sudah dibentuk Direktorat Bank Syariah. Kalau sebelumnya hanya ada unit syariah yang berada di bawah direktorat, sekarang, perbankan syariah sudah menjadi sebuah direktorat yang dilengkapi dengan bidang perizinan, pengaturan, dan pengawasan. Di luar itu, kita akan terus melakukan berbagai sosialisasi kepada masyarakat bersama dengan komponen masyarakat lain. Dan saya melihat, dari waktu ke waktu, perkembangan bank syariah semakin meningkat. Ini sebagai alternatif bagi masyarakat yang selama ini lebih banyak mengenal bank konvensional. Jadi, pengembangan bank syariah bisa semakin terbuka. Walau sekarang, kontribusinya masih relatif kecil dibanding bank konvensional, ujar Burhanuddin.

Dalam praktiknya, memang terdapat sejumlah perbedaan karakteristik antara bank syariah dan bank konvensional. Satu, bank syariah tidak melaksanakan transaksi pinjam-meminjam uang berdasarkan bunga dalam bentuk apa pun, tapi dengan sistem bagi hasil dengan nasabahnya. Dua, hubungan antara bank syariah dan nasabahnya tidak berupa hubungan debitor-kreditor tapi lebih kepada hubungan partisipasi dalam menanggung risiko dan menerima hasil dari suatu perjanjian usaha. Tiga, bank syariah memisahkan kedua jenis pendanaan supaya dapat dibedakan antara hasil yang diperoleh dari dana sendiri dan hasil yang diperoleh dari dana simpanan yang diterima atas dasar prinsip bagi hasil. Empat, bank syariah tidak memberikan pinjaman dalam bentuk uang tunai, tetapi bekerja sama atas dasar kemitraan, seperti mudharabah, musyawarakah atas dasar jual beli (murabahah), atau atas dasar sewa (ijarah). Lima, dalam hal laba, bagi bank syariah bukan satu-satunya tujuan karena bank syariah mengupayakan bagaimana memanfatkan sumber dana yang ada guna membangun kesejahteraan masyarakat. Lagi pula, bank syariah bekerja di bawah pengawasan Dewan Pengawasan Syariah (DPS).

Anda mungkin juga menyukai