Anda di halaman 1dari 53

TESIS

PROFIL KADAR MATRIX METALLOPROTEINASE-9 SERUM DAN HUBUNGANNYA DENGAN DERAJAT PENYAKIT PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU

THE PROFILE OF SERUM MATRIX METALLOPROTEINASE-9 LEVEL AND ITS CORRELATION WITH DISEASE SEVERITY IN PULMONARY TUBERCULOSIS PATIENTS

ELIANA MUIS

PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2011

ABSTRAK Eliana Muis: Profil kadar matrix metalloproteinase-9 serum dan hubungannya dengan derajat penyakit pada penderita tuberkulosis paru (dibimbing oleh: Erwin Arief, Irawaty Djaharuddin) Latar Belakang: Terdapat hipotesis bahwa degradasi matriks ekstraseluler dan pembentukan kavitas pada TB paru mungkin dimediasi mekanisme inflamasi. MMP-9 sebagai salah satu protease, mampu mendegradasi kolagen tipe IV yang merupakan komponen utama membran basal paru. Kadar MMP-9 ditemukan tinggi pada penyakit paru dengan atau tanpa kavitas. Sel-sel inflamasi lokal maupun yang beredar dalam sirkulasi mampu mensintesis MMP-9. Salah satu komponen MTb, yaitu LAM terbukti dapat menginduksi aktivitas MMP-9. Satu penelitian menemukan hubungan antara kadar MMP-9 serum dan derajat lesi pada foto toraks penderita TB paru. Tujuan: Bagaimana profil kadar MMP-9 serum dan hubungannya dengan derajat penyakit pada penderita TB paru. Metode: Dilakukan penelitian analitik observasional dengan pendekatan potong lintang sejak Februari 2011, terhadap penderita TB paru kasus baru BTA positif, usia 15 tahun, di RS DR. Wahidin Sudirohusodo dan BBKPM Makassar. Terhadap populasi penderita TB paru dilakukan wawancara/anamnesis, pemeriksaan fisis, apusan sputum BTA dan pemeriksaan foto toraks. Subyek yang memenuhi kriteria inklusi dilakukan pemeriksaan kadar MMP-9 serum dan klasifikasi derajat lesi foto toraks yang menjadi dasar penentuan derajat penyakit TB paru. Hasil: Selama penelitian diperoleh sebanyak 66 subyek, berumur antara 16-70 tahun, terdiri dari 41 laki-laki (62,1%) dan 25 perempuan (37,9%). Kadar MMP-9 serum terendah 123,4 ng/ml, tertinggi 2000 ng/ml dengan rerata 1038580,4 ng/ml. Meskipun tidak bermakna secara statistik, rerata kadar MMP-9 ditemukan lebih tinggi pada perempuan (1205,7 ng/ml) dibanding laki-laki (937,1 ng/ml), dan IMT kategori kurus (1074,8 ng/ml) dibanding kategori normal ditambah obes (990,1 ng/ml). Disamping itu, terlihat kecenderungan semakin tua umur semakin rendah kadar MMP-9 serum. Rerata kadar MMP-9 serum pada lesi luas (1379,9 ng/ml) lebih tinggi secara bermakna dibanding lesi sedang (717,9 ng/ml) dengan p<0,001. Kesimpulan: Terdapat hubungan antara kadar MMP-9 serum dengan derajat penyakit TB. Kadar MMP-9 serum lebih tinggi pada derajat lesi luas foto toraks penderita TB paru kasus baru BTA positif. Meskipun tidak bermakna secara statistik, didapatkan profil rerata kadar MMP-9 serum lebih tinggi pada subyek perempuan dan IMT kategori kurus, serta ada kecenderungan semakin tua umur semakin rendah rerata kadar MMP-9 serum. Kata Kunci: Tuberkulosis, kasus baru, BTA positif, MMP-9, derajat lesi

ii

ABSTRACT Eliana Muis: The profile of serum matrix metalloproteinase-9 levels and its correlation with disease severity in patients with pulmonary tuberculosis (Advisor: Erwin Arief, Irawaty Djaharuddin) Background: There is a hypothesis that extracellular matrix degradation and the formation of cavities in pulmonary tuberculosis may be mediated by inflammatory mechanisms. MMP-9 as a protease, is capable to degrade type IV collagen which is the main component of basement membrane in lung. Levels of MMP-9 was found higher in pulmonary disease with or without a cavity. Local and circulating inflammatory cells is able to synthesize MMP-9. One of the MTb components, LAM is capable of inducing the activity of MMP-9. One study found a correlation between MMP-9 serum level and disease severity define by radiographic lesions in patients with pulmonary tuberculosis. Objectives: To determine the profile of serum levels of MMP-9 and its relationship with disease severity in patients with pulmonary tuberculosis. Methods: We conducted an analytical observational study with cross-sectional approached since February 2011, and enrolled subjects with new cases of positive smear pulmonary TB, age 15 years, in the RS DR. Wahidin Sudirohusodo and BBKPM Makassar. On population, we conducted interviews/anamnesis, physical examination, sputum AFB smears and chest X-ray examination. Subjects who meet inclusion criterias did the examination of MMP-9 serum levels and the degree of radiographic lesions were classified in order to determine disease severity of pulmonary TB. Results: During the study, a total of 66 subjects were collected, aged between 1670 years, consisted of 41 males (62.1%) and 25 women (37.9%). The lowest level of serum MMP-9 was 123.4 ng/ml, the highest 2000 ng / ml with a mean 1038 580.4 ng/ml. Although not statistically significant, mean levels of MMP-9 was found higher in women (1205.7 ng / ml) than men (937.1 ng / ml), and BMI categories of underweight (1074.8 ng / ml) than obese plus normal category (990.1 ng / ml). In addition, there was a tendency that the older age, the lower levels of serum MMP-9. The mean serum levels of MMP-9 in the the extensive lesion (1379.9 ng / ml) was significantly higher than the moderate lesions (717.9 ng / ml) with p <0.001. Conclusion: There is a correlation between the serum MMP-9 levels with disease severity. Level of serum MMP-9 was found higher in the extensive lesions on radiographic findings of new cases of positive smear pulmonary TB patients. Although not statistically significant, mean levels of MMP-9 serum were higher in female subjects and underweight BMI category, and there is a tendency that the older the age, the lower the levels of serum MMP-9. Keywords: Tuberculosis, new cases, smear positive, MMP-9, disease severity

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan karunia yang dilimpahan-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini, yang merupakan karya akhir untuk melengkapi persyaratan penyelesaian pendidikan keahlian pada Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar. Pada kesempatan ini saya ingin menghaturkan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Ketua Konsorsium Ilmu Kesehatan di Jakarta, atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I dalam bidang Ilmu Penyakit Dalam di Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar. 2. Prof. Dr. dr. Idrus Paturusi, SpBO, FICS; Rektor Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. Ir. Mursalim dan Prof. Dr. dr. A. Razak Thaha, MSc, SpGK; Direktur dan mantan Direktur Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk mengikuti Pendidikan Dokter Spesialis di Universitas Hasanuddin Makassar. 3. Prof. Dr. dr. Irawan Yusuf, PhD dan Prof. Dr. dr. Idrus Paturusi, SpBO, FICS; Dekan dan mantan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, atas kesempatan yang diberikan untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis di bidang Ilmu Penyakit Dalam.

iv

4. Prof. Dr. dr. Syahrul Rauf, SpOG(K) dan Prof. Dr. dr. Syamsu, SpPD, K-AI; Koordinator dan mantan Koordinator PPDS-I Fakultas Kedokteran

Universitas Hasanuddin bersama staf, yang senantiasa memantau kelancaran program pendidikan Spesialis Bidang Ilmu Penyakit Dalam. 5. Prof. Dr. dr. Syakib Bakri, SpPD, K-GH dan Prof. dr. A. Rifai Amiruddin, SpPD, K-GEH (Alm.); Ketua dan mantan Ketua Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, atas kesediaan beliau untuk menerima, mendidik, membimbing dan memberi nasihat-nasihat yang sangat berharga kepada saya dalam mengikuti pendidikan Dokter Spesialis Bagian Ilmu Penyakit Dalam. 6. Dr. dr. A. Fachruddin Benyamin, SpPD, K-HOM dan Prof. Dr. dr. Syakib Bakri, SpPD, K-GH; Ketua Program Studi dan mantan Ketua Program Studi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin yang senantiasa memberi motivasi, membimbing dan mengawasi kelancaran proses pendidikan selama saya mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Penyakit Dalam. 7. Seluruh Guru Besar, Konsultan dan staf pengajar di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin sebagai pengajar yang sangat berjasa dan bagaikan orang tua yang sangat saya hormati dan banggakan. Tanpa bimbingan mereka, mustahil bagi saya mendapat ilmu dan menimba pengalaman di Bagian Ilmu Penyakit Dalam. 8. dr. Irawaty Djaharuddin, SpP, dr. Erwin Arief, SpP, SpPD, K-P dan dr. Muhammad Junus Patau, SpP, SpPD, K-P (alm.); selaku pembimbing karya

akhir, atas kesediaan dalam membimbing sejak perencanaan hingga selesainya karya akhir ini, serta senantiasa memberikan perhatian dalam membaca, mengoreksi, berdiskusi dan memberikan saran dalam perbaikan dan penyempurnaan karya akhir ini. 9. dr. Nur Ahmad Tabri, SpP, SpPD, K-P; selaku penasehat akademis saya, dr. Tutik Harjianti, SpPD,K-HOM; selaku sekretaris Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK-UNHAS; dan dr. Haerani Rasyid, MS, SpPD, K-GH; selaku sekretaris program studi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK-UNHAS, atas bimbingannya selama saya menempuh pendidikan di Bagian Ilmu Penyakit Dalam. 10. Dr. dr. Arifin Seweng, MPH; selaku konsultan statistik atas kesediaannya membimbing dan mengoreksi sejak awal hingga hasil penelitian ini. 11. Para Direktur dan Staf Rumah Sakit di mana saya telah mengikuti pendidikan, yaitu RS Dr. Wahidin Sudirohusodo, RSUD Labuang Baji, RS Akademis Jaury, RS Islam Faisal, RS Stella Maris, RS Ibnu Sina, atas segala bantuan fasilitas dan kerja samanya selama ini. 12. Para pegawai Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK-UNHAS, Paramedis, dan Pekarya pada masing-masing rumah sakit, atas segala bantuan dan kerjasamanya selama ini. 13. Seluruh teman sejawat peserta program PPDS-I Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, atas jalinan persaudaraan dan kerja samanya selama ini. 14. Para partisipan dengan penuh kesadaran, keikhlasan untuk mengikuti penelitian ini.

vi

Pada saat yang berbahagia ini, saya tidak lupa menyampaikan rasa hormat dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada kedua orang tua saya Ayahanda H. A. Abdul Muis Arief, BAE dan Ibunda Hj. Martha Muis (alm.), mereka yang paling berjasa dalam hidup saya, yang sangat saya cintai dan hormati. Terima kasih atas segenap cinta yang tidak akan pernah terbalas hingga akhir hayatku. Kepada saudara-saudara saya Ulmiah Muis, ST, MT; Ismarli Muis, SPsi, MPsi dan Agisma Muis, SP; ipar-ipar saya, keponakan dan segenap keluarga lainnya yang selama ini dengan tulus ikhlas memberikan dukungan dan bantuan selama saya mengikuti pendidikan ini. Akhir kata, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan kiranya Allah SWT selalu melimpahkan rahmat,petunjuk,dan hidayah-Nya kepada kita semua, Amin.

Makassar, Desember 2011

Eliana Muis

vii

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL ABSTRAK ABSTRACT KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR SINGKATAN DAFTAR TABEL DAN GAMBAR BAB I A. B. C. D. BAB II A. B. PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Tuberkulosis Paru Peran Matrix Metalloproteinase-9 pada Immunopatogenesis Tuberkulosis BAB III KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN VARIABEL PENELITIAN A. B. Kerangka Teori Kerangka Konsep

i ii iii iv viii xi xii 1 1 4 4 4 5 5

11

14 14 15

viii

C. D. E. BAB IV A. B. C. D. E. F. G. H. I. J. BAB V A. B.

Hipotesis Variabel Penelitian Definisi Operasional dan Kriteria Obyektif METODOLOGI PENELITIAN Metode Penelitian Tempat dan Waktu Penelitian Populasi dan Subyek Penelitian Kriteria Inklusi dan Eksklusi Perkiraan Besar Sampel Metode Pengumpulan Sampel Metode Pengumpulan Data Metode Pemeriksaan Analisis Data Alur Penelitian HASIL PENELITIAN Deskripsi Subyek Penelitian Hubungan Karakteristik Jenis Kelamin, Umur dan IMT dengan Kadar MMP-9 Serum

15 15 15 18 18 18 18 19 19 19 19 20 23 24 25 25

25 28 29 29

C. BAB VI A.

Hubungan Kadar MMP-9 Serum dengan Derajat Lesi PEMBAHASAN Deskripsi Subyek Penelitian

ix

B.

Hubungan Karakteristik Jenis Kelamin, Umur dan IMT dengan Kadar MMP-9 Serum 31 32 34 34 34 35 40 41

C.

Hubungan Kadar MMP-9 Serum dengan Derajat Lesi

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN A. B. Kesimpulan Saran

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN 1 LAMPIRAN 2

DAFTAR SINGKATAN

BTA DM IL-1 IMT IUATLD LED MMP


MOTT MTb

: Basil tahan asam : Diabetes melitus : Interleukin-1 beta : Indeks massa tubuh : the International Union Againts TB and Lung Disease : Laju endap darah : Matrix metalloproteinase
: : Mycobacterium other than TB Mycobacterium tuberculosis

OAT PBS RHZES SPS TB TIMPs TNF- WHO

: Obat antituberkulosis : Phosphate Buffer Saline : Rifampisin-IN- Pirazinamid-Etambutol-Streptomisin : Sewaktu-Pagi-Sewaktu : Tuberkulosis : Specific tissue inhibitors of metalloproteinases : Tumor necrosis factor alpha : World Healt Organization

xi

DAFTAR TABEL DAN GAMBAR

TABEL Tabel 1 Sebaran Karakteristik Subyek Menurut Umur, Tingkat Pendidikan, IMT, Derajat Lesi Foto Toraks dan Derajat BTA Tabel 2 Perbandingan Rerata Kadar MMP-9 Serum Menurut Jenis Kelamin Tabel 3 Perbandingan Rerata Kadar MMP-9 Serum Menurut IMT Tabel 4 Perbandingan Rerata Kadar MMP-9 Serum Menurut Umur 27 27 26 26

GAMBAR Gambar Perbandingan Rerata Kadar MMP-9 Serum Menurut Derajat Lesi 28

xii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Tuberkulosis (TB) hingga kini masih menjadi masalah kesehatan diseluruh dunia. Satu dari tiga penduduk dunia terinfeksi Mycobacterium tuberculosis (MTb) dengan jumlah total diperkirakan lebih dari dua milyar orang, tetapi hanya sekitar 5-10% yang berkembang menjadi TB aktif.1 Tuberkulosis terutama ditemukan pada dewasa muda di usia yang paling produktif secara ekonomis (1550 tahun).2 Angka kematian akibat TB diperkirakan 4.500 kasus per hari dan berada di peringkat ketujuh penyebab kematian. Apabila tidak diobati, diperkirakan setiap penderita TB aktif akan menulari 10 sampai 15 orang per tahun.3-4 Sekitar 95% penderita TB berada di negara berkembang dan merupakan 25% dari kematian akibat penyakit yang seharusnya bisa dicegah.5 Adapun prevalensi nasional kasus TB paru di Indonesia tahun 2009 diperkirakan 0,24%.6 Transmisi MTb terutama melalui saluran napas. Apabila terjadi infeksi MTb, maka yang berperan sebagai garis depan sistim imun pejamu adalah makrofag dan sel epitel alveolar. Komponen lain yang ikut terlibat yaitu reactive nitrogen, reactive oxygen dan sitokin proinflamasi seperti tumor necrosis factor alpha (TNF-) dan interleukin-1 beta (IL-1) yang pada akhirnya menyebabkan inflamasi, pembentukan granuloma dan kavitas. Terjadinya nekrosis kaseosa dan infiltrasi limfosit juga makrofag memunculkan hipotesis bahwa degradasi matriks dan pembentukan kavitas mungkin dimediasi mekanisme inflamasi. Protease yang

disekresi makrofag terakvitasi berperan penting dalam destruksi jaringan paru yang mengalami inflamasi. Diantara protease tersebut, matrix metalloproteinase (MMP) banyak diteliti karena enzim ini mampu mendegradasi seluruh unsur matriks ekstraseluler termasuk kolagen, gelatin, mielin, laminin, fibronektin dan elastin.7 Pada manusia telah diidentifikasi 24 jenis MMP yang diproduksi oleh berbagai jenis sel termasuk limfosit, granulosit dan makrofag teraktivasi.8 Matrix metalloproteinase merupakan zinc-dependent endopeptidase dan sebagai antagonis kemokin berperan dalam migrasi lekosit dan remodeling jaringan. Ekspresi MMP berlebihan ditemukan pada berbagai jenis penyakit inflamasi paru dan adanya gangguan keseimbangan kadar protease dan inhibitor, khususnya antara MMP dan specific tissue inhibitors of metalloproteinases (TIMPs) akan menyebabkan destruksi jaringan atau remodeling jaringan.7 Matrix metalloproteinase-9 (MMP-9) diketahui mampu mendegradasi kolagen tipe IV yang merupakan komponen utama membran basal paru. Proteolisis matriks ekstraseluler berperan penting dalam mekanisme peningkatan permeabilitas vaskuler yang memungkinkan migrasi lekosit ke fokus infeksi. Baik sel-sel inflamasi lokal maupun yang beredar dalam sirkulasi terbukti mampu mensintesis dan mensekresikan MMP-9. Mycobacterium tuberculosis sendiri juga mampu menstimulasi ekspresi MMP-9.7 Rivera-Marrero dkk9 menemukan bahwa salah satu komponen dinding sel MTb yaitu glycolipid lipoarabinomannan (LAM) dapat menginduksi aktivitas MMP-9 dan hasil ini menyokong teori keterlibatan langsung MMP dalam patobiologi infeksi TB khususnya mekanisme destruksi jaringan paru.

Kadar MMP-9 serum tinggi pada penyakit paru dengan atau tanpa kavitas.9 Satu penelitiandikutip dari 10 membuktikan bahwa kadar MMP-9 tinggi pada bronchoalveolar lavage penderita TB aktif dengan kavitas, juga pada eksperimen ekstraksi paru mencit yang terinfeksi MTb. Dalam penelitian lain oleh RiveraMarrero dkk11 juga terbukti bahwa peningkatan sintesis/sekresi MMP-9 terjadi akibat stimulasi sitokin, khususnya TNF- yang disekresi oleh makrofag teraktivasi. Pada kadar rendah, sitokin berperan lokal melalui mekanisme autokrin dan parakrin, tetapi jika kadarnya meningkat, sitokin memiliki efek endokrin. Mengingat induksi MMP-9 pada penderita TB tidak terbatas hanya di fokus infeksi, dapat diasumsikan peningkatan kadar MMP-9 juga terjadi dalam sirkulasi akibat stimulasi lekosit melalui pelepasan sitokin oleh makrofag teraktivasi.7 Hrabec dkk7 menemukan hubungan antara kadar MMP-9 serum dan derajat lesi pada foto toraks penderita TB paru, serta mengusulkan bahwa meskipun enzim ini bukanlah petanda spesifik tuberkulosis tetapi kuantifikasi MMP-9 serum dapat bermanfaat untuk penilaian aktivitas TB paru. Adapun derajat lesi pada foto toraks merupakan salah satu dasar penentuan klasifikasi derajat penyakit TB paru. Di Indonesia, sepanjang penelusuran, belum ada laporan hasil penelitian kadar MMP-9 serum penderita TB paru dan hubungannya dengan derajat penyakit. Berdasarkan uraian diatas, dilakukan penelitian untuk mengetahui profil kadar MMP-9 serum dan hubungannya dengan derajat penyakit pada penderita yang terinfeksi M. tuberculosis.

B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, diajukan rumusan masalah yaitu bagaimana profil kadar MMP-9 serum dan hubungannya dengan derajat penyakit pada penderita TB paru.

C. Tujuan Penelitian Tujuan Umum : Mengetahui profil kadar MMP-9 serum dan hubungannya dengan derajat penyakit pada penderita TB paru. Tujuan Khusus : 1. 2. Mengetahui profil kadar MMP-9 serum pada penderita TB paru. Menilai hubungan kadar MMP-9 serum dengan derajat lesi foto toraks yang menjadi dasar penentuan derajat penyakit TB paru.

D. Manfaat Penelitian Dengan diketahuinya hubungan kadar MMP-9 serum dan derajat penyakit TB paru, maka kuantifikasi kadar MMP-9 serum dapat dipertimbangkan sebagai salah satu alat bantu penilaian derajat dan aktivitas penyakit penderita TB paru.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tuberkulosis Paru Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung akibat infeksi

Mycobacterium tuberculosis (MTb) yang berbentuk batang, tahan terhadap asam pada pewarnaan hingga disebut juga sebagai basil tahan asam (BTA), cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam ditempat gelap dan lembab. Sumber penularan yaitu penderita TB paru BTA positif yang saat batuk atau bersin akan menyebarkan mikrobakteri ke udara dalam bentuk droplet. Seseorang dapat terinfeksi jika droplet terhirup ke dalam saluran pernapasan. Kemudian bisa menyebar dari paru ke bagian tubuh lain melalui sistim peredaran darah, saluran limfe, saluran cerna, atau menyebar langsung kebagian tubuh lain.12 Berdasarkan penelitian oleh Lurie pada mencit, ada empat tahap infeksi TB paru yaitu:3,13,14 1. Tahap pertama dimulai dengan inhalasi MTb. Makrofag alveoli akan memfagosit dan menghancurkan mikobakteri. Pada tahap ini, daya penghancuran mikobakteri tergantung kemampuan mikobakterisid intrinsik dari sel fagosit pejamu dan virulensi mikobakteri. 2. Tahap kedua mikobakteri yang tidak hancur pada destruksi intraseluler awal akan bermultiplikasi dan merusak makrofag. Pada tahap ini, monosit dan sel-

sel inflamasi lain bermigrasi ke paru terinfeksi. Monosit lalu berdiferensiasi menjadi makrofag dan memfagosit mikobakteri tersebut tetapi tidak menghancurkannya. Pertumbuhan mikobakteri terjadi secara logaritmik dan makrofag makin banyak terakumulasi meskipun kerusakan jaringan yang terjadi hanya minimal. 3. Tahap ketiga berlangsung dua sampai tiga minggu setelah infeksi, dimana sel limfosit T yang tersensitisasi antigen spesifik berproliferasi dalam lesi membentuk tuberkel kemudian mengaktivasi makrofag untuk membunuh mikobakteri sehingga pertumbuhan mikobakteri terhenti. 4. Tahap keempat terjadi nekrosis sentral pada lesi primer yang menghambat pertumbuhan mikobakteri hingga menjadi stasis dan dormant. Fokus kaseosa cair merupakan kondisi yang sangat baik untuk pertumbuhan mikobakteri ekstraseluler. Sedang pembentukan kavitas dapat menyebabkan ruptur dekat bronkus sehingga mikobakteri bisa menyebar melalui saluran nafas. Progresifitas dan penyebaran hematogen bisa terjadi setelah beberapa bulan hingga beberapa tahun pasca infeksi primer.

Manifestasi klinis penderita TB paru bervariasi dan kadang tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan kesehatan. Gejala klinis yang sering dikeluhkan seperti demam, batuk atau batuk darah, sesak napas, nyeri dada, gejala malaise yang sering ditemukan berupa anoreksia, tidak ada nafsu makan, badan semakin kurus, sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam dan sebagainya.4 World Healt Organization (WHO) dan the International Union Againts Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD) merekomendasikan diagnosis dan

klasifikasi kasus TB, serta penilaian respon terapi melalui pemeriksaan apusan sputum. Pemeriksaan sputum berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan terapi, dan menentukan potensi penularan.15,16 Untuk penegakan diagnosis TB paru, pengambilan sampel sputum dilakukan pada semua penderita yang dicurigai TB sebanyak tiga spesimen dalam dua hari kunjungan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS), dengan perwarnaan Ziehl Nielsen atau Kinyoun Gobbet. Diagnosis TB paru BTA positif apabila: (1)

Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif; (2) Satu specimen SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks menunjukkan gambaran TB; dan (3) Satu atau lebih spesimen hasilnya BTA positif setelah tiga spesimen sputum SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotik yang bukan obat anti-TB.15 Pemeriksaan radiologis toraks merupakan cara yang praktis untuk menemukan lesi TB, meskipun biayanya lebih tinggi dibanding pemeriksaan sputum. Lokasi lesi umumnya di daerah apeks paru, tetapi dapat pula mengenai lobus bawah atau di daerah hilus. Pada awal perjalanan penyakit, gambaran radiologis berupa bercak-bercak seperti awan berbatas tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat, maka bayangan terlihat berupa bulatan berbatas tegas (tuberkuloma). Pada kavitas, bayangannya berupa cincin yang mula-mula berdinding tipis, kemudian menebal dan dinding jadi sklerotik. Bila terjadi fibrosis, terlihat bayangan bergaris-garis. Pada kalsifikasi, bayangannya tampak sebagai bercak-bercak padat berdensitas tinggi. Pada atelektasis, terlihat seperti fibrosis luas disertai penciutan sebagian atau satu lobus, atau bahkan satu bagian

paru. Pada satu foto toraks penderita TB, sering didapatkan bermacam-macam bayangan sekaligus, seperti infiltrat, garis-garis fibrotik, kalsifikasi, kavitas nonsklerotik maupun sklerotik, atelektasis bahkan emfisema.6 Penentuan klasifikasi derajat penyakit TB paru diantaranya berdasarkan derajat lesi pada pemeriksaan foto toraks. The National Tuberculosis Association di Amerika Serikat telah menetapkan klasifikasi derajat lesi foto toraks penderita TB paru yang sring digunakan dalam klinik, yaitu:16 Lesi minimal jika proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih dari sela iga dua depan (volume paru yang terletak diatas chondrosternal junction dari iga dua depan dan processus spinosus dari vertebra torakal empat atau korpus vertebra torakal lima), serta tidak dijumpai kavitas. Lesi sedang jika proses penyakit lebih luas dari lesi minimal tetapi tidak boleh lebih luas dari satu paru atau jumlah seluruh proses yang ada paling banyak seluas satu paru atau bila proses TB mempunyai densitas lebih padat dan lebih tebal, maka luas proses tersebut tidak boleh lebih sepertiga luas satu paru. Bila disertai kavitas, maka luas semua kavitas (diameter) tidak lebih dari 4 cm. Lesi luas jika kelainan lebih luas dari lesi sedang. Untuk memantau kemajuan terapi dilakukan pemeriksaan ulang sputum secara mikroskopis sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Pemeriksaan sputum secara mikroskopis lebih baik dibanding pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan terapi. Hasil pemeriksaan positif apabila satu atau kedua spesimen

hasilnya BTA positif. Sedangkan hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila kedua spesimen tersebut negatif. Setelah konversi, maka penderita dianggap tidak dapat menularkan lagi atau tidak dalam keadaan infeksius. Laju endap darah (LED) tidak digunakan untuk memantau kemajuan terapi oleh karena tidak spesifik untuk TB. 17 Pentingnya monitoring sputum dalam menilai konversi sputum yaitu:18 1. Konversi sputum dari positif menjadi negatif sangat penting dan merupakan pemeriksaan respons terapi yang obyektif. 2. Dengan pemantauan sputum secara regular, dapat diketahui kegagalan respons terapi lebih dini atau sebagai tanda peringatan relaps. 3. Sputum penderita dengan resistensi ganda harus dipantau setiap bulan untuk menentukan konversi sputum dan untuk menjamin bahwa penderita tetap dengan kultur negatif. 4. Selama terapi dapat diketahui berapa lama waktu yang dibutuhkan penderita untuk konversi. 5. Sputum negatif pada akhir terapi hanya menyimpulkan bahwa pasien telah sembuh. 6. Pasien yang membutuhkan lebih dari 2-3 bulan untuk konversi memerlukan tambahan terapi untuk mencapai angka kesembuhan. 7. Pasien dengan sputum tetap positif selama lebih dari 3 bulan atau menjadi positif setelah konversi, membutuhkan evaluasi gagal terapi.

Respons terapi paling cepat dapat diketahui dari respons klinis pasien dan khususnya dengan menilai perbaikan keluhan batuk, berat badan, dan demam. Namun demikian, konversi sputum tetap merupakan pemeriksaan yang paling obyektif. Adapun beberapa faktor yang dapat mempengaruhi respons terapi diantaranya yaitu usia, jenis kelamin, riwayat pengobatan TB sebelumnya, gangguan imunitas, genetik, resistensi ganda obat anti-TB, infeksi oleh Mycobacteria other than tuberculosis (MOTT), lesi radiologi, derajat

Mycobacterium, tingkat sosial ekonomi, pendidikan dan ras.15,19-25 Panduan obat anti-TB yang digunakan dalam Program Nasional

Penanggulangan TB di Indonesia yaitu:15 Kategori 1 diberikan pada pasien baru TB paru BTA positif, BTA negatif dengan foto toraks positif dan TB ekstra paru. Paduan obatnya 2RHZE/4R3H3. Kategori 2 diberikan pada pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya: kambuh, gagal dan default dengan paduan obat 2RHZES/ RHZE/5R3H3E3. Disamping kedua kategori tersebut diatas, disediakan paduan obat anti-TB sisipan RHZE. Hasil pengobatan pasien TB BTA positif yaitu:15 1. Sembuh pasien telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap dan pemeriksaan ulang sputum hasilnya negatif pada akhir pengobatan dan minimal satu kali pemeriksaan sebelumnya negatif.

10

2. Pengobatan lengkap pasien telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap tetapi tidak memenuhi persyaratan sembuh atau gagal. 3. Meninggal pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun. 4. Pindah pasien yang pindah berobat ke unit lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui. 5. Default (putus berobat) pasien yang tidak berobat dua bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai. 6. Gagal pasien yang hasil pemeriksaan sputumnya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

B. Peran Matrix Metalloproteinase-9 pada Immunopatogenesis Tuberkulosis Garis depan pertahanan tubuh melawan infeksi MTb dilaksanakan oleh selsel makrofag dan epitelial alveolar. Respons imun protektif melawan basil tahan asam yaitu migrasi sel limfosit T dan makrofag ke lokasi infeksi, hingga menyebabkan inflamasi jaringan dan pembentukan granuloma. Kemiripan antara nekrosis kaseosa sentral dengan infiltrasi limfosit dan makrofag mendukung hipotesis bahwa degradasi matriks dan pembentukan kavitas diperantarai oleh mekanisme inflamasi. Terdapat pula berbagai bukti bahwa sekresi protease oleh makrofag berperan penting dalam destruksi jaringan paru yang mengalami inflamasi.7 Dari berbagai protease yang disekresikan oleh makrofag, matrix metalloproteinase (MMP) secara khusus menarik perhatian sejumlah peneliti.

11

Enzim ini diketahui mampu mendegradasi matriks ekstraseluler termasuk diantaranya kolagen, gelatin, myelin, laminin, fibronektin dan elastin. Sampai saat ini, telah diketahui 25 enzim anggota MMP yang dikelompokkan ke dalam empat spesifitas yaitu kolagenase, stromyelisin, gelatinase dan membrane type metalloproteinases (MT-MMPs). Berbagai enzim ini memiliki kandungan ion Zinc2+ dan memerlukan Ca2+ agar mampu menjalankan aktifitas sepenuhnya. Secara in vivo, MMP diinhibisi oleh tissue inhibitors of matrix metalloproteinases (TIMPs) dan makroglobulin alfa-2 (2-macroglobulin). Meskipun MMP berperan penting dalam remodeling dan perbaikan jaringan secara fisiologis, ekspresi yang berlebihan dihubungkan dengan berbagai penyakit kronis. Ketidakseimbangan kadar protease dan enzim inhibitor, khususnya antara MMP dan TIMPs, akan mengakibatkan destruksi jaringan atau abnormalitas perbaikan jaringan.7 Dua gelatinase, MMP-2 (gelatinase A, kolagenase tipe IV 71-kDa) dan MMP-9 (gelatinase B, kolagenase tipe IV 92-kDa) atau matrixin, memiliki kemampuan mendegradasi kolagen tipe IV dan denaturasi kolagen tipe I. Baik selsel inflamasi lokal maupun yang beredar dalam sirkulasi mampu mensintesis MMP-9, sedang MMP-2 umumnya diekspresikan oleh sel fibroblast dan endotel.7 Matrix metalloproteinase-9 memiliki peran penting dalam berbagai penyakit infeksi. Enzim ini mampu mendegradasi kolagen tipe IV yang merupakan komponen utama membran basal, sebagai suatu bentuk khusus matriks ekstraseluler. Proteolisis matriks ekstraseluler juga penting dalam mekanisme peningkatan permiabilitas vaskuler yang memungkinkan migrasi lekosit ke lokasi infeksi.7 Beberapa studi menunjukkan MMP-9 secara khusus diekspresikan dalam

12

berbagai manifestasi tuberkulosis, termasuk TB aktif dengan kavitas, meningitis dan pleuritis.26 Park dkkdikutip dari 27 menemukan peningkatan ekspresi MMP-9 pada cairan efusi pleura penderita TB lebih tinggi dibanding cairan efusi penderita karsinoma paru, dan produksi MMP-9 terutama oleh sel-sel epitel dalam granuloma jaringan pleura. Rivera-Marrero dkk11 membuktikan peningkatan sintesis/sekresi MMP-9 distimulasi oleh sitokin, khususnya TNF-, yang diproduksi oleh makrofag dalam infiltrat inflamasi. Pada kadar rendah, sitokin berperan lokal melalui mekanisme autokrin dan parakrin, tetapi jika kadarnya meningkat, sitokin memiliki efek endokrin. Karena induksi MMP-9 pada penderita TB tidak terbatas hanya di lokasi infeksi, dapat diasumsikan bahwa peningkatan kadar MMP-9 juga terjadi dalam sirkulasi akibat stimulasi lekosit melalui pelepasan sitokin oleh makrofag teraktivasi. Penelitian untuk menentukan protein spesifik yang dilepaskan oleh beberapa sel ke dalam sirkulasi pada suatu proses patologis memungkinkan penemuan tes untuk diagnostik. Karena telah terbukti MTb mampu menstimulasi ekspresi MMP-9 pada paru terinfeksi, Hrabec dkk7 melakukan penelitian untuk mengetahui hubungan antara kadar MMP-9 serum dan derajat lesi foto toraks penderita TB. Terbukti bahwa peningkatan kadar MMP-9 serum terjadi sebagai respons sel-sel inflamasi melawan infeksi MTb, kemudian mengusulkan kuantifikasi enzim ini bermanfaat sebagai alat tes bantu dalam diagnosis TB paru.

13

BAB III KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN VARIABEL PENELITIAN

A. KERANGKA TEORI
Inhalasi M. tuberculosis ke dalam paru

Aktivasi makrofag & sel epitel alveolar TIMP

Sekresi reactive oxygen species & nitrogen species

Sekresi sitokin (NF-B, TNF, IL-1)

Sekresi protease (MMP-9)

Degradasi matriks ekstraseluler

Peningkatan permeabilitas vaskuler

Migrasi lekosit ke fokus infeksi

Reaktivasi

Pembentukan granuloma

Derajat lesi pada foto toraks

14

B. KERANGKA KONSEP Variabel bebas Kadar MMP-9 Variabel tergantung Derajat lesi Tuberkulosis paru

Usia Jenis kelamin IMT Variabel kendali

C. HIPOTESIS 1. 2. Kadar MMP-9 serum tinggi pada penderita TB paru. Semakin luas derajat lesi foto toraks penderita TB paru maka semakin tinggi kadar MMP-9 serum.

D. VARIABEL PENELITIAN 1. 2. 3. Variabel bebas Variabel tergantung Variabel kendali : Kadar MMP-9 : Derajat lesi TB paru : Usia, IMT, jenis kelamin

E. DEFINISI OPERASIONAL DAN KRITERIA OBYEKTIF 1. Penderita TB paru adalah penderita dengan gejala klinis penyakit TB yang didukung hasil pemeriksaan sputum BTA positif.

15

2.

Kasus baru adalah penderita yang belum pernah mendapat OAT atau pernah mendapat OAT kurang dari 1 bulan.

3. 4.

Umur dalam tahun, sesuai hasil wawancara. Tingkat pendidikan: Rendah = tidak sekolah, SD, SMP Menengah = SMA, SMK Tinggi = Perguruan Tinggi

5.

Derajat penyakit TB paru didasarkan pada derajat lesi TB aktif pada pemeriksaan foto toraks, dimana gambaran yang dicurigai sebagai lesi TB aktif jika didapatkan: Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular. Bayangan bercak milier. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)

6.

Derajat lesi foto toraks diklasifikasikan menjadi: Lesi minimal jika proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih dari sela iga dua depan (volume paru yang terletak diatas chondrosternal junction dari iga dua depan dan processus spinosus dari vertebra torakal empat atau korpus vertebra torakal lima), serta tidak dijumpai kavitas.

16

Lesi sedang jika proses penyakit lebih luas dari lesi minimal tetapi tidak boleh lebih luas dari satu paru atau jumlah seluruh proses yang ada paling banyak seluas satu paru atau bila proses TB mempunyai densitas lebih padat dan lebih tebal, maka luas proses tersebut tidak boleh lebih sepertiga luas satu paru. Bila disertai kavitas, maka luas semua kavitas (diameter) tidak lebih dari 4 cm. Lesi luas jika kelainan lebih luas dari lesi sedang. 7. Derajat BTA: 1+ : ditemukan 10-99 BTA dalam 100 LP 2+ : ditemukan 1-10 BTA dalam 1 LP, minimal dibaca 50 LP 3+ : ditemukan >10 BTA dalam 1 LP, minimal dibaca 20 LP 8. Status gizi berdasarkan IMT untuk Asia yaitu kurus jika IMT <18,5 kg/m2, normal jika IMT 18,5-22,9 kg/m2, dan obes jika IMT 23 kg/m2. 9. Kadar MMP-9 serum tinggi jika 10 ng/ml.

17

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Penelitian Penelitian ini bersifat analitik observasional dengan menggunakan pendekatan potong lintang.

B. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian direncanakan berlangsung mulai bulan Februari 2011 sampai tercapai jumlah sampel yang diinginkan dengan metode sebagai berikut: 1. Tahap pengumpulan sampel dilakukan di RS DR. Wahidin Sudirohusodo dan Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Makassar. 2. Pemeriksaan sampel sputum dilakukan di Laboratorium NEHCRI, sedang darah sampel di laboratorium Prodia Makassar.

C. Populasi dan Subyek Penelitian Populasi penelitian adalah semua penderita TB paru pria dan wanita baik rawat jalan atau rawat inap di RS DR. Wahidin Sudirohusodo dan rawat jalan di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Makassar. Subyek penelitian adalah populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Sampel yang dikoleksi yaitu sputum dan spesimen darah.

18

D. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 1. Kriteria inklusi: a. b. c. Penderita TB paru kasus baru dengan sputum BTA positif. Berusia 15 tahun. Bersedia ikut dalam penelitian ini.

2. Kriteria Eksklusi: Subyek menolak untuk berpartisipasi dalam penelitian.

E. Perkiraan Besar Sampel Besar sampel diperkirakan berdasarkan rumus: N = z 2PQ d2 Keterangan: z = nilai standar untuk 0,05 = 1,96 P = Proporsi variabel yang diteliti = 0,2 D = tingkat ketepatan absolut yang dikehendaki = 0,1 Jumlah sampel minimal: n = 62

F. Metode Pengumpulan Sampel Pengumpulan sampel dilakukan dengan consecutive sampling sampai jumlah sampel yang diinginkan tercapai.

G. Metode Pengumpulan Data 1. Wawancara/anamnesis, yaitu untuk memperoleh informasi tentang

karakteristik dan keadaan umum subyek, misalnya nama, umur, jenis

19

kelamin, keluhan, riwayat penyakit sebelumnya dan riwayat penyakit dalam keluarga dengan menggunakan kuesioner yang telah disiapkan (lampiran), kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan fisis, foto toraks dan apusan sputum BTA. 2. Pemeriksaan apusan untuk menentukan derajat BTA dari bahan sampel sputum dilakukan di laboratorium NEHCRI. 3. Pemeriksaan kadar MMP-9 dari bahan sampel darah dilakukan di laboratorium Prodia.

H. Metode Pemeriksaan 1. Sampel darah vena diambil sebanyak 5 cc. Identitas penderita ditulis di label yang tertera pada tabung darah, kemudian langsung dikirim ke laboratorium Prodia. 2. Pemeriksaan kadar MMP-9 serum dengan teknik quantitative sandwich enzyme immunoassay yang dinyatakan dalam satuan ng/ml. Cara kerja pemeriksaan MMP-9: a. Darah diambil dengan serum separator tube (SST) biarkan membeku selama 30 menit, kemudian serum dipisahkan dengan centrifuge 1000 x g selama 30 menit. Spesimen disimpan pada suhu <-20oC. Serum yang diperiksa diencerkan dengan pengencer kalibrator RD 5-10 (Calibrator Diluent) dengan perbandingan 1:10 (50 l serum + 450 l pengencer). b. Tambahkan 100 l pengencer tera (Assay Diluent) RD 1-34 pada setiap tabung.

20

c. Tambahkan 100 l baku sampel per tabung. Tutup dengan pita perekat. Biarkan selama 2 jam pada suhu kamar pada pengocok mikroplate dengan orbit horizontal (0,12) tempatkan pada 50050 rpm. d. Aspirasi setiap sumur dan cuci sebanyak 4 kali. Pencucian dengan buffer pencuci (400 l) menggunakan botol semprot, pipet banyak saluran, manifold dispenser dan autowasher. Buanglah cairan seluruhnya pada setiap tahap untuk mendapatkan hasil yang baik setelah pencucian terakhir, buanglah buffer pencuci dengan aspirasi. Balikkan lempeng dan keringkan dengan kertas pengisap. e. Tambahkan 200 l conjugate MMP-9 pada setiap tabung, tutuplah dengan pita perekat. Simpan pada suhu kamar selama 2 jam pada pengocok. f. Ulangi aspirasi/pencucian seperti pada langkah d. g. Tambahkan 200 l cairan substrak pada setiap tabung. Eram selama 30 menit pada suhu kamar pada benchtop. Hindarkan dari cahaya. h. Tambahkan 50 l cairan penghenti pada setiap tabung. Bila perubahan warna tidak seragam, ketuklah pelan lempengan untuk memastikan percampuran. i. Tentukan densitas optikal dalam 30 menit, gunakan pembaca mikroplate yang dipasang pada 450 nm, koreksi pada 540-570 nm. j. Gambar nilai hasil peresapan yang dihasilkan oleh konsentrasi MMP-9 dalam baku pada kertas log0log atau lin-log dan buatlah kurva baku. k. Baca hasil konsentrasi dari sampel yang diperiksa pada kurva baku. l. Kalikan hasilnya dengan faktor pengencer (x10).

21

3.

Sampel sputum dikumpulkan dalam pot bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan tidak bocor. Identitas penderita ditulis di label yang tertera pada pot, kemudian langsung dikirim ke laboratorium NEHCRI Makassar.

4.

Dekontaminasi dilakukan terhadap sampel sputum penderita TB paru: a. Sputum yang ditambahkan dengan volume yang sama dengan ketiga campuran zat dekontaminan (1:1) sebagai berikut: 4% NaOH 2,94% trinatrium sitrat N-acelyl L-cystein2 b. Dicampur menggunakan vorteks selama 10 detik, biarkan selama 15 menit pada suhu kamar. c. Diencerkan 18 kali dengan Phosphate Buffer Saline (PBS) atau aquadest steril, lalu disentrifus 3000 rpm selama 30 menit dengan suhu 40oC. d. Supernatan dibuang perlahan dan endapan diencerkan dengan PBS atau aquades steril. Sediaan ini dipakai untuk tes apusan dan kultur BTA.

5.

Pemeriksaan apusan untuk menentukan derajat BTA secara mikroskopik dengan pewarnaan Ziehl Neelsen: a. Sputum dan suspensi koloni dioleskan diatas object glass yang telah ditandai, dibiarkan sampai kering dan difiksasi dengan cara melewatkan diatas nyala api sebanyak 3 kali. b. Tempatkan sediaan pada rak dan genangi zat warna Carbol fuchsin sampai menutupi seluruh sampel.

22

c. Sediaan dilewatkan kembali diatas nyala api sampai zat mengeluarkan uap (tidak sampai mendidih) sebanyak 3 kali, biarkan selama 5 menit. d. Kemudian dicuci dengan air mengalir dan ditambahkan HCl alkohol, biarkan 2 menit, kemudian cuci dengan air mengalir. e. Genangi zat warna Methilen blue 1-2 menit, lalu cuci dengan air mengalir dan biarkan kering. f. Sediaan dibaca menggunakan mikroskop, hasil positif jika terdapat batang berwarna merah yang biasa disebut basil tahan asam. I. Analisis Data Analisis data dilakukan dengan menggunakan SPSS for windows versi 16. Metode statistik yang digunakan adalah statistik diskriptif dan uji hipotesis. Statistik diskriptif yang dihitung adalah nilai rerata dan standar deviasi variabel karakteristik dan hasil pemeriksaan laboratorium yang datanya bersifat numerik. Sedangkan untuk variabel yang datanya bersifat kategorikal, dilakukan perhitungan sebaran frekuensi. Uji hipotesis dilakukan untuk menilai hubungan antara variabel bebas (MMP9) dengan variabel tergantung (derajat lesi), digunakan uji t tidak berpasangan (Independent t test) dan Anova test. Hasil uji statistik dianggap signifikan jika nilai p<0,05.

23

J.

Alur Penelitian Populasi

Penderita TB paru

Anamnesis

Pemeriksaan fisis

Apusan sputum BTA

Pemeriksaan foto toraks

Sampel Kasus baru BTA positif

Pemeriksaan kadar MMP-9 serum

Klasifikasi derajat lesi foto toraks

Analisis Data

HASIL

24

BAB V HASIL PENELITIAN

A. Deskripsi Variabel Penelitian Pada penelitian ini jumlah subyek yang diteliti sebanyak 66 orang penderita TB paru kasus baru BTA positif, yang berumur antara 16-70 tahun dengan rerata 36,714,4 tahun. Sampel terdiri dari 41 laki-laki (62,1%) dan 25 perempuan (37,9%). Indeks massa tubuh terendah didapatkan 11,29 kg/m2, tertinggi 25,61 kg/m2 dengan rerata 18,32,9 kg/m2. Didapatkan kadar MMP-9 serum terendah 123,4 ng/ml, tertinggi 2000 ng/ml dengan rerata 1038,8580,4 ng/ml. Sebaran karakteristik subyek penelitian menurut umur, tingkat pendidikan, IMT, derajat lesi foto toraks dan derajat BTA terlihat pada tabel 1. B. Hubungan Karakteristik Jenis Kelamin, Umur dan IMT dengan Kadar MMP-9 Serum Tabel 2 memperlihatkan perbandingan rerata kadar MMP-9 serum menurut jenis kelamin subyek penelitian. Rerata kadar MMP-9 serum pada perempuan (1205,7 ng/ml) lebih tinggi dibanding laki-laki (937,1 ng/ml), akan tetapi hasil uji statistik menunjukkan perbedaan tersebut tidak bermakna dengan p>0,05.

25

Tabel 1. Sebaran Karakteristik Subyek Menurut Umur, Tingkat Pendidikan, IMT, Derajat Lesi Foto Toraks dan Derajat BTA Karakteristik subyek Umur 10-19 tahun 20-29 tahun 30-39 tahun 40-49 tahun 50-59 tahun 60-70 tahun Tingkat pendidikan Rendah Menengah Tinggi IMT (kg/m2) Kurus Normal Obes Derajat lesi foto toraks Lasi minimal Lesi sedang Lesi luas Derajat BTA 1+ 2+ 3+ n 5 18 19 11 6 7 40 24 2 38 25 3 0 34 32 29 10 27 % 7,6 27,3 28,8 16,7 9,1 10,6 60,6 36,4 3,0 57,6 37,9 4,5 0 51,5 48,5 43,9 15,2 40,9

Tabel 2. Perbandingan Rerata Kadar MMP-9 Serum Menurut Jenis Kelamin Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan Independent t test n 41 25 Rerata 937,1 1205,7 Simpang baku 559,6 586,4 p 0,068

26

Tabel 3 memperlihatkan perbandingan rerata kadar MMP-9 serum menurut IMT subyek penelitian. Rerata kadar MMP-9 serum pada IMT kategori kurus (1074,8 ng/ml) lebih tinggi dibanding kategori normal ditambah obes (990,1 ng/ml). Akan tetapi hasil uji statistik menunjukkan perbedaan tersebut tidak bermakna dengan p>0,05.

Tabel 3. Perbandingan Rerata Kadar MMP-9 Serum Menurut IMT IMT Kurus Normal+Obese Independent t test n 38 28 Rerata 1074,8 990,1 Simpang baku 592,5 570,8 p 0,562

Tabel 4 memperlihatkan perbandingan rerata kadar MMP-9 serum menurut umur subyek penelitian. Rerata kadar MMP-9 serum paling tinggi pada umur 0-19 tahun (1377,4 ng/ml) dan terlihat kecenderungan semakin tua umur semakin rendah kadar MMP-9 serum. Akan tetapi hasil uji statistik menunjukkan perbedaan tersebut tidak bermakna dengan p>0,05.

Tabel 4. Perbandingan Rerata Kadar MMP-9 Serum Menurut Umur Umur 10-19 tahun 20-29 tahun 30-39 tahun 40-49 tahun 50-59 tahun 60-70 tahun Anova test n 5 18 19 11 6 7 Rerata 1377,4 1016,1 1154,9 991,3 882,8 749,0 Simpang baku 573,8 534,5 702,2 590,0 476,1 326,3 p

0,459

27

C. Hubungan Kadar MMP-9 Serum dengan Derajat Lesi Pada penelitian ini, hasil pemeriksaan foto toraks diklasifikasikan menurut derajat lesi menjadi lesi minimal, sedang dan luas sesuai definisi operasional dan kriteria obyektif. Tidak satu pun yang tergolong derajat lesi minimal, hanya terdapat lesi sedang dan luas. Gambar berikut memperlihatkan hubungan antara kadar MMP-9 serum dan derajat lesi foto toraks subyek penderita TB paru kasus baru BTA positif. Rerata kadar MMP-9 serum pada lesi luas (1379,9 ng/ml) lebih tinggi secara bermakna dibandingkan lesi sedang (717,9 ng/ml) dengan p<0,001. Hal ini menunjukkan adanya hubungan bermakna antara kadar MMP-9 serum dengan derajat lesi foto toraks yang menjadi dasar penentuan derajat penyakit TB, dimana lesi luas berhubungan dengan kadar MMP-9 serum yang tinggi dibandingkan dengan lesi sedang.

Gambar. Perbandingan Rerata Kadar MMP-9 Serum Menurut Derajat Lesi


28

BAB VI PEMBAHASAN

A. Deskripsi Variabel Penelitian Penelitian ini melibatkan 66 subyek penderita TB paru kasus baru BTA positif yang terdiri dari 41 laki-laki (62,1%) dan 25 perempuan (37,9%) dengan perbandingan 1,64:1. Beberapa penelitian juga mendapatkan hasil serupa, yaitu kejadian TB paru lebih sering pada laki-laki dibanding perempuan.30 Tjandrasusilo31 mendapatkan hasil penelitian, kejadian TB pada laki-laki 55,8% dan perempuan 44,2%. Munir dkk32 mendapatkan penderita laki-laki 52,5% dan perempuan 47,5%. Soomro dkk33 mendapatkan penderita laki-laki 62 subyek dan perempuan 38 subyek. Nakagawa34 melaporkan bahwa diagnosis TB paru pada permpuan seringkali terlambat dan juga kurang berminat pergi ke pelayanan kesehatan, namun tidak demikian halnya dengan penderita laki-laki. Rentang umur subyek penelitian ini didapatkan antara 16-70 tahun dengan sebaran terbanyak pada kelompok umur dekade ketiga (28,8%). Tjandrasusilo31 menemukan sampel terbanyak pada kelompok umur 31-45 tahun (40,3%). Tampubolon dkk35 mendapatkan kelompok umur penderita TB paru terbanyak pada usia produktif yaitu 15-44 tahun (79%) dan ini berbahaya mengingat tingkat mobilitas dan interaksi sosial yang sangat tinggi sehingga kemungkinan penularan ke orang lain dan lingkungannya sangat besar. Kadar MMP-9 serum seluruh subyek penelitian tinggi dengan rerata 1038,8580,4 ng/ml. Matrix metalloproteinase-9 dalam kuantitas rendah dapat

29

ditemukan pada paru orang dewasa sehat, tetapi meningkat tajam pada beberapa penyakit paru yang memiliki karakteristik yaitu remodeling jaringan.36 Matrix metalloproteinase dapat diproduksi oleh berbagai jenis sel, termasuk limfosit dan granulosit, tetapi secara khusus diproduksi pula oleh makrofag teraktivasi.37

Telah ada berbagai bukti bahwa MTb mampu menstimulasi ekspresi MMP-9 pada paru terinfeksi. Kadar MMP-9 serum manusia juga telah dilaporkan berhubungan dengan derajat penyakit TB.38 Hrabec dkk7 melakukan penelitian untuk mengetahui hubungan antara kadar MMP-9 serum dan luas lesi foto toraks penderita TB. Didapatkan peningkatan kadar MMP-9 serum yang terjadi akibat respons sel-sel inflamasi melawan infeksi MTb, dan diusulkan bahwa kuantifikasi enzim ini bermanfaat sebagai alat tes bantu dalam diagnosis TB paru. Park dkkdikutip dari 27 menemukan peningkatan ekspresi MMP-9 pada cairan efusi pleura penderita TB lebih tinggi dibanding cairan efusi pada penderita karsinoma paru, dan produksi MMP-9 terutama oleh sel-sel epitel dalam granuloma jaringan pleura. Tingkat pendidikan subyek penderita TB paru kasus baru BTA positif pada penelitian ini sebagian besar rendah (60,6%). Tingkat pendidikan yang rendah dihubungkan dengan rendahnya pengetahuan dan pemahaman penderita mengenai penyakit TB dan bisa berakibat pada kurangnya kepatuhan minum obat. Sebagian besar subyek penelitian memiliki IMT kategori kurus (57,6%). Diketahui bahwa status gizi menentukan fungsi seluruh sistim tubuh termasuk sistim imun untuk melawan berbagai penyakit infeksi. Keadaan gizi buruk akan

30

menyebabkan gangguan sistim imun yang berhubungan dengan fungsi sistim imun seluler, fungsi fagosit, sistim komplemen, dan produksi sitokin.34 Pada penelitian ini, subyek penderita TB paru kasus baru BTA positif memiliki gambaran foto toraks dengan lesi sedang dan luas dengan perbandingan yang relatif berimbang (51,5% vs 48,5%). Gambaran lesi sedang dan lesi luas dihubungkan dengan adanya kavitas, dan penderita TB paru dengan kavitas merupakan sumber utama penularan penyakit. Multiplikasi basil MTb meningkat dalam kavitas, diduga sebagai akibat tingginya tekanan oksigen didalamnya. Distribusi hasil pemeriksaan apusan sputum seluruh subyek dalam penelitian ini menunjukkan derajat BTA hampir berimbang antara derajat 1+ dan 3+ (43,9% vs 40,9%), sementara yang memiliki hasil 2+ hanya sebesar 15,2%.

B. Hubungan Karakteristik Jenis Kelamin, Umur dan IMT dengan Kadar MMP-9 Serum Profil kadar MMP-9 serum pada subyek penderitaTB paru kasus baru BTA positif pada penelitian ini ditinjau dari perbandingan kadar MMP-9 serum menurut jenis kelamin, umur dan IMT. Sampai saat ini, belum ada penelitian yang secara khusus menilai hubungan antara karakteristik jenis kelamin, umur dan IMT penderita TB paru dengan kadar MMP-9 serum. Meskipun analisis statistik hasilnya tidak bermakna (p>0,05), rerata kadar MMP-9 serum pada subyek perempuan (1205,7 ng/ml) ternyata lebih tinggi dibanding laki-laki (937,1 ng/ml).

31

Rerata kadar MMP-9 serum pada IMT kategori kurus (1074,8 ng/ml) lebih tinggi dibanding kategori normal ditambah obes (990,1 ng/ml), namun hasil uji statistik menunjukkan perbedaan tersebut juga tidak bermakna (p>0,05). Rerata kadar MMP-9 serum ditemukan paling tinggi pada umur 0-19 tahun (1377,4 ng/ml) dan terlihat kecenderungan semakin tua umur semakin rendah kadar MMP-9 serum. Akan tetapi hasil uji statistik kembali menunjukkan bahwa perbedaan tersebut tidak bermakna (p>0,05). Sepanjang penelusuran, baru ada satu studi yang membandingkan kadar MMP-9 serum antara 23 subyek sehat dan 20 subyek penderita TB paru. Hasil studi tersebut menemukan bahwa peningkatan kadar MMP-9 serum pada penderita TB disebabkan oleh peningkatan sintesis dan/atau sekresi oleh sel-sel inflamasi sebagai respons terhadap infeksi MTb.7

C. Hubungan Kadar MMP-9 Serum dengan Derajat Lesi Rerata kadar MMP-9 serum pada lesi luas (1379,9 ng/ml) didapatkan lebih tinggi secara bermakna dibanding lesi sedang (717,9 ng/ml) dengan p<0,001. Hal ini menunjukkan adanya hubungan bermakna antara kadar MMP-9 serum dengan derajat lesi foto toraks yang menjadi dasar penentuan derajat penyakit TB, dimana lesi luas berhubungan dengan kadar MMP-9 serum yang tinggi dibandingkan dengan lesi sedang. Hrabec dkk7 membuktikan bahwa adanya hubungan antara kadar MMP-9 serum dan derajat lesi foto toraks, sehingga memungkinkan kuantifikasi enzim ini sebagai alat tes tambahan dalam menilai derajat dan aktivitas penyakit TB paru.

32

Keterbatasan dalam penelitian ini adalah tidak dilakukannya perbandingan kadar MMP-9 serum antara subyek sehat dengan penderita TB paru yang diharapkan dapat lebih memastikan peran kuantifikasi enzim ini dalam membantu menegakkan diangosis dan menilai perkembangan penyakit. Penelitian ini hanya fokus pada penderita TB paru kasus baru BTA positif, sementara hasil pemeriksaan sputum seringkali negatif karena berbagai kemungkinan penyebab. Salah satunya, bukan sputum melainkan ludah yang dikeluarkan oleh penderita untuk diperiksa BTA. Pada pemeriksaan foto toraks, gambaran TB yang ditemukan juga sangat bervariasi mulai lesi minimal sampai lesi luas. Karena itu, juga perlu diteliti perbandingan kadar MMP-9 serum antara subyek penderita TB paru BTA positif dan BTA negatif.

33

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan 1. Terdapat hubungan antara kadar MMP-9 serum dengan derajat penyakit TB dimana kadar MMP-9 serum lebih tinggi pada derajat lesi luas foto toraks penderita TB paru kasus baru BTA positif. 2. Meskipun tidak bermakna secara statistik, akan tetapi didapatkan profil rerata kadar MMP-9 serum lebih tinggi pada subyek perempuan dan IMT kategori kurus, serta ada kecenderungan semakin tua umur semakin rendah rerata kadar MMP-9 serum. B. Saran Kuantifikasi kadar MMP-9 serum dapat dijadikan sebagai alat tes yang membantu penilaian derajat dan aktivitas penyakit TB paru. Akan tetapi, masih diperlukan penelitian lebih lanjut yang membandingkan antara subyek penderita TB paru BTA positif dan BTA negatif untuk lebih memastikannya.

34

DAFTAR PUSTAKA

1.

Montoro E, Rodriguez R. Chapter 7: Global Burden of Tuberculosis. Tuberculosis 2007 from basic science to patient care, First Edition. Palomino, JC, Leo SC, Ritacco V (Eds.). 2007:pp.263-282.

2.

Badruddin SH, Ansari NB. Overview of vitamin D and its role in tuberculosis prevention and treatment. Infectious Diseases Journal of Pakistan 2008;17:135-138.

3.

Van Crevel RV, Ottenhoff THM, JWM VdM. Innate Immunity to Mycobacterium tuberculosis. Clin Microbiol Rev. 2002;15:294-309.

4.

Martineau AR, Griffiths CJ. Vitamin D in the Treatment and Prevention of Tuberculosis. Expert Rev Endocrinol Metab. 2008;3:105-107.

5.

Anonim. Editorial: Strategi DOTS di Rumah Sakit. J Respir Indo. 2006;26:74-77.

6.

Amin Z, Asril B. Tuberkulosis paru. Buku Ajar Penyakit Dalam Volume II Edisi IV. Setiyohadi B, Alwi I (Eds.). Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI, Jakarta. 2006:998-1004.

7.

Hrabec E, Strek M, Zieba M, Hrabec Z. Circulation level of matrix metalloproteinase-9 is correlated with disease severity in tuberculosis patients. Int J Tuberc Lung Dis 6(8):713-719.

8.

Greenlee KJ, Werb Z, Kheradmand F. Matrix Metalloproteinases in Lung: Multiple, Multivatious, and Multifaceted. Physiol Rev 2007;87:68-98.

35

9.

Rivera-Marrero CA, Schuyler W, Roser S, et al. M. tuberculosis induction of matrix metalloproteinase-9: the role of mannose and receptor-mediated mechanisms. Am J Physiol Lung Cell Mol Physiol 2002;282:L546-55.

10. Chang JC, Wysocki A, Tchou-Wong KM, et al. Effect of Mycobacterium tuberculosis and its components on macrophages and the release of matrix metalloproteinases. Thorax 1996;51:306-311. 11. Rivera-Marrero CA, Schuyler W, Roser S, Roman J. Induction of MMP-9 mediated gelatinolytic activity in human monocytic cells by cell wall components of Mycobacterium tuberculosis. Microbial Pathogenesis

2000;173:45-52. 12. WHO. Global Tuberculosis Control: Surveillance, Planning, Financing in WHO Report 2006:35-37. 13. Raja A. Immunology of Tuberculosis. Indian J Med Res 2004;120:213-232. 14. Pieters J. Mycobacterium tuberculosis and the macrophage: maintaining a Balance. Cell Host & Microb 2008;3:399-446. 15. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Tuberkulosis secara global. Second Edition. DepKes RI, Jakarta. 2008. 16. ATS documents. American Thoracic Society/Centers for Disease Control and Prevention/Infectious Diseases Society of America: Treatment of

Tuberculosis. Am J Respir Crit Care Med 2003;267:603-62. 17. Senkoro M, Mfinanga SG, Morkve O. Smear microscopy and culture conversion rates among smear positive pulmonary tuberculosis patients by HIV status in Dar es Salaam, Tanzania. BMC Infect Dis 2010;10:1-6.

36

18. Santa Clara County Public Health Department. Monitoring sputum during TB treatment. TB Fact Sheet 2c.1. 19. Nugroho H, Suradi, Surjanto E. Penilaian Keberhasilan Pengobatan TB paru Kombinasi Dosis Tetap (Fixed Dose Combination/FDC) di Surakarta. Naskah lengkap Kongres Nasional X Perhimpunan Dokter Spesialis Paru Indonesia (PDPI). Surjanto E, Suradi, Reviono, et al (Eds.). Surakarta 2005:35-42. 20. Karim F, Islam A, Chouwdhury, et al. Gender differences in delays in diagnosis and treatment of tuberculosis. Health Policy and Planning 2007;22:329-34. 21. Sharma SK, Mohan A. Multidrug-Resistant Tuberculosis A Menace that threatens to destabilize tuberculosis control. Chest 2006;130:261-72. 22. Widjaya JT, Jasaputra DK, Roostati RL. Analisis Kadar Interferon Gamma pada Penderita Tuberkulosis Paru dan Orang Sehat. J Respir Indo 2010;30(2):119-23. 23. Liu PT, Modlin RL. Human macrophage host defense against Mycobacterium tuberculosis. Immunology 2008;20:371-6. 24. Lakshmi V. Mycobacterial infections: Significance and control. Int J Diab Dev Countries 1999;19:62-8. 25. Frodsham AJ, Hill AVS. Genetics of infectious diseases. Human Molecular Genetics 2004;13:R187-94. 26. Nnoahan KE, Clarke A. Low serum vitamin D levels and tuberculosis: a systemic review and meta-analysis. Inter J Epidemiol 2008;37:113-119.

37

27. Taylor JL, Hattle JM Dreitz SA, et al. Role for matrix metalloproteinase 9 in granuloma formation during pulmonary M. tuberculosis infection. Infection & Immunity 2006;74:6135-6144. 28. Lemire JM. Immunomodulatory actions of 1,25-dihydroxyvitamin D3. J of Steroids Biochem & Mol Biol. 1995;53:599-602. 29. Vidyarini M, Selvaraj P, Jawahar MS, Narayanan PR. 1,25-dihydroxyvitamin D3 modulated cytokine response in pulmonary tuberculosis. Cytokine 2007;40)128-134. 30. Borgdorff. Transmission of Mycobacterium tuberculosis depending on the age and sex of source cases. Am J Epidemiol 2011;154:934-43. 31. Tjandrasusilo R. Tesis: Pola resistensi antituberkulosis pada rumah sakit pendidikan di Makassar. Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK-UNHAS 2007. 32. Munir SM, Nawas A, Soetoyo DK. Pengamatan pasien tuberkulosis paru dengan multidrug resistant (TB-MDR) di poliklinik paru RSUP Persahabatan. J Respir Indo 2010;30(2):92-104. 33. Soomro JA, Qazi HA. Factors associated with relapsed tuberculosis in males and females: A comparative study. Tanaffos 2009;8(3):22-7. 34. Nakagawa MY, Ozasa K, Yamada N, et al. Gender difference in delays to diagnosis and health care seeking behaviour in rural area of Nepal. Int J Tuberc Lung Dis 2001;5:220-4. 35. Tampubolon GEM, Soepandi PZ, Manuhutu EJ, et al. Isolasi Mycobacteria Other Than TB pada penderita TB paru resisten obat ganda (TB-MDR).

38

Naskah Lengkap Kongres Nasional X Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). Surjanto E, Suradi, Reviono, et al (Eds.). Surakarta 2005:68-86. 36. Atkinson JJ, Senior RM. Matrix metalloproteinase-9 in lung remodeling. Am J Respir Cell Mol Biol 2003;28:12-24. 37. Quiding-Jrbrink M, Smith DA, Bancroft J. Production of matrix metalloproteinases in response to Mycobacterial infection. Infection & Immunity 2001;69(9):5661-70. 38. Friedland JS. Interview about: Matrix metalloproteinases and infection. Mod Asp Immunobiol 2006;20:9.

39

Lamp. 1 SURAT PERYATAAN PERSETUJUAN

Yang bertanda tangan dibawah ini : Nama Umur Jenis Kelamin Pekerjaan Alamat/Tlp./HP : __________________________________________ : _______ tahun : L / P : __________________________________________ : __________________________________________

Dengan ini menyatakan bersedia mengikuti penelitian yang berjudul : PROFIL KADAR MATRIX METALLOPROTEINASE-9 SERUM DAN HUBUNGANNYA DENGAN DERAJAT LESI TUBERKULOSIS PARU

sampai dengan selesai, karena saya menyadari manfaatnya bagi kepentingan penderita dan kemajuan ilmu pengetahuan, terutama bagi perkembangan ilmu Kedokteran.

Makassar, Peneliti,

2011

Yang membuat pernyataan,

dr. Eliana Muis

______________________

40

Lamp. 2 FORMULIR PENELITIAN


Tanggal IDENTITAS Nama Umur Rumah Sakit Agama Pendidikan Pekerjaan Alamat/Tlp. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG Batuk Sesak Nyeri dada +/+/+/Lendir Demam Keringat banyak +/Darah +/+/+/BB menurun Kontak pasien TBC ( Merokok ) +/+/+/1. Islam 1. SD 2. Protestan 2. SMP 3. Katolik 3. SMA tahun Jenis Kelamin No. RM 4. Hindu 4. PT 5. Budha L / P Bulan Tahun

5. Tdk sekolah

___ Batang/bungkus per hr

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU 1. Diabetes 5. Bronkitis 2. TBC OAT : bln 3. PPOK 7. Obesitas
o

4. Asma 8. Penyakit lainnya: kg/m2

6. Penyakit jantung

PEMERIKSAAN FISIS T mmHg N x/m S C P x/m TB cm BB kg IMT

LABORATORIUM Lekosit Hb HCT Trombosit LED I/II GAMBARAN FOTO TORAKS SGOT SGPT Ureum Kreatinin GDS +/+/+/BTA I Sputum BTA II BTA III

41

Anda mungkin juga menyukai