Anda di halaman 1dari 10

HUBUNGAN ANTARA KETERAMPILAN SOSIAL DAN STRES PADA ANAK BERBAKAT

Zikrayati Dona Eka Putri

1.2

Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma Jakarta

Abstrak
Pada saat sekarang ini orang tua, guru maupun masyarakat masih menganggap bahwa anak yang pintar adalah anak yang memiliki IQ yang tinggi atau nilai tinggi di sekolah. Pada kenyataannya peran IQ dalam keberhasilan seseorang hanya menempati posisi kedua setelah EQ (keterampilan sosial). Pada anak berbakat kurangnya keterampilan sosial menjadi salah satu penyebab anak-anak ini rentan terhadap masalah. Untuk itu tujuan dari penelitian ini adalah menguji secara empiris apakah ada hubungan antara keterampilan sosial dan stres pada anak berbakat. Subjek dalam penelitian ini adalah 38 orang siswa SMA baik lak-laki maupun perempuan yang mengikuti program akselerasi. Alat ukur yang digunakan adalah skala keterampilan sosial dan skala stres. Analisis data menggunakan teknik korelasi Pearson (1-tailed). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara keterampilan sosial stres pada anak berbakat. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang lebih mendalam mengenai permasalah yang dialami anak-anak berbakat dan diharapkan dapat membantu studi-studi selanjutnya mengenai pengetahuan akan masalah-masalah keterampilan sosial yang dialami oleh anak berbakat. Kata kunci: keterampilan sosial, stres, anak berbakat

PENDAHULUAN Indonesia adalah sebuah negara besar yang tengah mengalami transisi, yaitu dari masyarakat rumpun ke arah dengan keunikan sistem yang sosial, sistem nilai dan

kekerabatannya

masyarakat

modern

membutuhkan

dukungan

keprofesionalan, ilmu pengetahuan yang mampu mengakomodasikan aspek-aspek inteligensi dan mengoptimalkan potensi sumber daya manusia. Salah satunya yang sangat dibutuhkan pada saat sekarang ini adalah pendidikan. Setiap orang mempunyai bakat dan kemampuan yang berbeda-beda sehingga membutuhkan pendidikan yang berbeda-beda pula. Pendidikan mempunyai peranan yang amat menentukan bagi pengembangan dan perwujudan diri individu dengan menyediakan lingkungan yang memungkinkan peserta didik untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya secara

optimal, terutama bakat yang ada pada mereka yang berbakat istimewa atau memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa (gifted) (Munandar, 2002). Bagi sebagian orang, anak berbakat adalah seseorang yang memiliki kemampuan yang superioritas atau seseorang yang memiliki tingkat kecerdasan (IQ) yang tinggi. Terman yang menggunakan inteligensi sebagai kriteria tunggal untuk

mengidentifikasikan anak berbakat yaitu IQ 140 (Munandar, 2002). Konsep lain tentang keberbakatan yang sampai sekarang banyak digunakan dalam mengidentifikasi siswa berbakat di Indonesia adalah dari Renzulli, dkk (1981). Menurut definisi yang dikemukakan Renzulli yang lebih dikenal dengan The Three Ring Conception(dalam Munandar, 2002) anak berbakat merupakan satu interaksi diantara tiga sifat dasar manusia yang terdiri dari: Kemampuan di atas rata-rata, kreativitas dan komitmen terhadap tugas yang tinggi. Pada saat sekarang ini sistem pendidikan di Indonesia masih berorientasi pada perkembangan kecerdasan rasional dan kurang berorientasi pada pengembangan kecerdasan emosional dalam proses belajar mengajar. Penilaian yang dilakukan di sekolah untuk menentukan prestasi belajar adalah kemampuan rasional seperti kemampuan berbahasa dan berhitung. Basic life skill atau kemampuan seperti mengatasi konflik, bersikap asertif, mengendalikan marah, mengarahkan diri, berempati dan keterampilan sosial cenderung tidak dinilai (Setiabudhi & Dwiyanto, 2003). Di beberapa institusi pendidikan, guru, orangtua, dan masyarakat masih menganggap bahwa anak yang cerdas adalah anak yang mendapat nilai tinggi atau rangking tertinggi di sekolah atau memiliki IQ yang superior. Pada kenyataannya peran IQ dalam keberhasilan di sekolah maupun nantinya didunia kerja hanya menempati posisi kedua sesudah kecerdasan emosi dalam menentukan peraih prestasi puncak dalam pekerjaan (Goleman, 1999). Beberapa penelitian menemukan adanya kesulitan sosialisasi pada anak berbakat (Lytle & Campbell, 1979; Kaluger dan Marthin, 2000). Munandar (2002) juga mengatakan bahwa kesulitan dalam sosialisasi sering terjadi pada anak-anak yang memiliki kemampuan diatas rata-rata atau anak-anak berbakat. Hal itu biasanya disebabkan karena anak-anak berbakat ini dalam segi kognitifnya berkembang jauh lebih pesat dari teman-temannya yang berada pada taraf rata-rata sehingga biasanya anak-anak berbakat ini akan mengalami kesulitan saat berinteraksi dengan temanteman yang berbeda dengannya. Mereka lebih banyak menyendiri dan dapat dihinggapi

rasa

kesendirian

dan

kesunyian.

Bellack

&

Hersen

(dalam

Laluyan,

2005)

mengemukakan keterampilan sosial adalah kemampuan individu untuk mengungkapkan perasaannya baik yang positif maupun negatif dalam konteks hubungan interpersonal tanpa menerima konsekuensi kehilangan penguatan sosial atau dalam konteks hubungan interpersonal yang memiliki kemampuan untuk mengungkapkan respon baik verbal dan non verbal. Kesulitan dalam keterampilan sosial dianggap wajar apabila masih dalam taraf normal, tetapi apabila kesulitan ini tidak ditangani dengan baik, maka hal ini akan berpengaruh pada tingkat perkembangannya yang selanjutnya dan semakin lama masalah sosialisasi ini akan dapat menimbulkan stres. Dikemukakan juga oleh Suharsono (2002) bahwa anak yang ber-IQ tinggi sementara EQ-nya rendah akan sangat rawan terkena stres dan cepat merasa frustasi, karena ia tidak memiliki pengelola hati ketika menghadapi tekanan (dalam Safullah & Maulana, 2005). Faktor yang menjadi penyebab kerentanan anak berbakat terhadap stres adalah karakter yang dimiliki anak-anak berbakat seperti harga diri yang rendah, perfeksionis, kepekaan yang berlebihan (supersensitivity), kurangnya keterampilan sosial, isolasi sosial, harapan yang tidak realistis dan tidak tersedianya pelayanan pendidikan yang sesuai (Munandar, 2002). Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan di atas, maka penulis hendak mengetahui apakah ada hubungan antara keterampilan sosial dan stres pada anak-anak berbakat.

METODE PENELITIAN Partisipan dalam penelitian ini adalah siswa SMA baik laki-laki maupun perempuan yang berada di kelas akselerasi dengan pertimbangan bahwa salah satu kriteria siswa di kelas akselerasi adalah anak berbakat di bidang akademis. Mahasiswa pria berjumlah 14 orang dan wanita berjumlah 24 orang. Rentang usia pratisipan berkisar antara 14 sampai 16 tahun. siswa yang rentang usianya 14 tahun (23.7 %), usia 15 tahun (47.4 %), usia 16 tahun (28.9 %). Pengambilan data dilakukan dengan teknik purposive. Variabel dalam penelitian ini adalah stres sebagai variabel terikat dan keterampilan sosial sebagai variabel bebas yang dipengaruhi oleh beberapa faktor: usia, gender, etnokultur. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan dua angket yaitu: angket keterampilan sosial untuk mengungkap data tentang bagaimana

keterampilan sosial pada anak berbakat dan stres diungkap dengan menggunakan skala stres. Skor skala terentang antara 0 4, mulai dari tidak sangat setuju, setuju, tidak setuju dan sangat tidak setuju. Untuk skala keterampilan sosial dari 53 item yang diujicobakan gugur 19 item dan yang valid 34 item dengan validitas berkisar antara 0.324 0.768 dengan reliabilitas sebesar 0.923. Skala stres dari 33 item yang diujicobakan gugur 9 dan 24 item yang sahih dengan validitas berkisar antara 0.315 0.736 dengan reliabilitas sebesar 0.873.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya hubungan yang negatif antara keterampilan sosial dan stres pada anak berbakat (r = - 0.39; p < 0,01). hasil mean empirik dan kurva normal keterampilan sosial, dapat diketahui bahwa keterampilan sosial pada anak berbakat yaitu 96.74 berada pada posisi rata-rata. Hal ini sesuai dengan pendapat Whitmore (dalam Munandar, 2002) yang mengatakan bahwa ada anak berbakat yang sulit menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sosialnya; mereka lebih banyak menyendiri dan dapat dihinggapi rasa kesendirian dan kesunyian. Di pihak lain ada pula anak berbakat yang ingin populer dan menjadi pemimpin, hal ini dapat mengarah ke kecendrungan untuk mendominasi kelompoknya. Dari faktor yang mempengaruhi keterampilan sosial seperti usia bahwa keterampilan sosial paling tinggi terdapat pada usia 16 tahun ( =99.91) jika dibandingkan dengan usia 14 ( = 96.44) dan 15 tahun ( = 94.94). Berdasarkan jenis kelamin wanita ( = 97.04) diketahui memiliki keterampilan sosial paling tinggi dibandingkan dengan pria ( = 96.21). Dilihat dari hasil deskripsi subjek penelitian berdasarkan suku bangsa dapat diketahui yang memiliki keterampilan sosial yang tinggi terdapat pada subjek yang berasal dari suku Batak ( = 112), Manado ( = 101) dan Bengkulu ( = 108) sedangkan rata-rata keterampilan sosial paling rendah terdapat pada suku bangsa Jawa ( = 94.02). Deskripsi subjek yang sedikit berbeda dari biasanya adalah deskripsi subjek berdasarkan organisasi, dimana rata-rata keterampilan sosial tertinggi terdapat pada subjek yang tidak mengikuti organisasi ( = 97.04) dibandingkan dengan subjek yang mengikuti organisasi ( = 96.08). Dari data yang diperoleh ada beberapa kemungkinan sehingga menyebabkan hasil rata-rata keterampilan sosial pada subjek yang tidak mengikuti organisasi lebih tinggi dari pada subjek yang mengikuti organisasi, seperti karena faktor jenis kelamin atau usia yang sesuai dengan pendapat Merrel dan Gimpel (1997). Faktor kedua yang menyebabkan subjek yang tidak mengikuti organisasi lebih

baik keterampilan sosialnya jika dibandingkan dengan yang ikut organisasi karena kemungkinan subjek yang tidak mengikuti organisasi merasa bahwa mereka sudah memiliki keterampilan sosial yang sudah baik sehingga mereka merasa tidak perlu lagi untuk mengikuti kegiatan organisasi. Dilihat dari rata-rata perkomponen pada keterampilan sosial diketahui yang paling berpengaruh adalah komponen hubungan pribadi ( = 121.25) yaitu kemampuan seseorang untuk mengenali dan merespon dengan tepat perasaan dan keprihatinan orang lain, memiliki kemampuan dalam hubungan pribadi dan cenderung pintar membaca emosi dari ungkapan wajah orang lain. Rata-rata komponen yang paling rendah terdapat pada kemampuan dalam mengorganisasikan kelompok ( = 103.33). Anak-anak berbakat ini secara sosial kemampuan dalam mengorganisasikan kelompok atau kemampuan untuk bekerjasama dalam kelompok cenderung kurang. Apabila dilihat dari deskripsi subjek berdasarkan organisasi juga terlihat bahwa anak-anak berbakat yang masuk organisasi adalah anak-anak yang cenderung tidak terampil dalam sosialisasi jika dibandingkan dengan anak-anak yang tidak masuk organisasi. Dari data diketahui bahwa anak-anak berakat ini lebih banyak yang tidak berminat mengikuti organisasi jika dibandingkan dengan mereka yang mau ikut organisasi. hasil mean empirik stres diketahui bahwa pada subjek penelitian ini rata-rata stres yaitu 60.05 berada pada taraf rata-rata atau sedang. Hal ini sesuai dengan pendapat Munadar (2002) yang mengatakan bahwa anak berbakat memiliki kerentanan terhadap masalah yang dapat menganggu kesehatan mental mereka. Kerentanan ini tampak pada semua anak-anak berbakat, tetapi sebagian dari mereka mampu menggunakan kekuatan intelektualnya yang unggul dalam menyesuaikan diri secara efektif. Hal lain yang juga mungkin cukup berpengaruh dari kemampuan anak dalam menyelesaikan masalah adalah adanya faktor dukungan dari orang tua, sekolah dan lingkungan sehingga membuat mereka dapat berfungsi secara efektif (Munandar, 2002). deskripsi subjek berdasarkan jenis kelamin diperoleh data bahwa ternyata rata-rata stres paling tinggi terdapat pada subjek berjenis kelamin wanita ( = 61.96) dari pada pria ( = 59.79). Hasil ini mungkin disebabkan karena karakteristik pada wanita yang sering dianggap manja, tergantung, lemah, penuh kasih sayang, kelembutan, sensitif dan malu-malu, sedangkan pria dianggap memiliki karakteristik seperti agresif, ambisius, kemampuan memimpin, mandiri, dan keras (Munandar, 2002).

KESIMPULAN Berdasarkan hasil pengumpulan data dan hasil analisis data yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hipotesa dalam penelitian ini diterima, berarti adanya hubungan yang negatif antara keterampilan sosial dan stres pada anak berbakat.

SARAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, peneliti mempunyai beberapa saran yang dapat diberikan, adalah sebagai berikut: 1. Dari data yang diperoleh bahwa rata-rata keterampilan sosial pada anak berbakat ini masih berada pada taraf sedang, hal ini memberikan gambaran bahwa anak-anak berbakat ini memiliki IQ yang sangat tinggi sedangkan EQ (keterampilan sosial) masih berada pada taraf rata-rata. Oleh karena itu diharapkan agar anak-anak berbakat untuk dapat meningkatkan terus keterampilan sosial yang sudah dimiliki seperti mengikuti kegiatan organisasi, seni, dan kegiatan yang mementingkan kerjasama sehingga salah satu masalah yang sering dihadapi seperti kesulitan dalam sosialisasi bisa mengurangi permasalahan-permasalahan dialami. Dari hasil penelitian ini ternyata EQ merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan seseorang nantinya tidak hanya di pendidikan tapi juga keberhasilan seseorang nanti di dunia kerja, sehingga diharapkan kepada sekolah agar menggunakan salah satu tes EQ untuk nantinya dapat digunakan sebagai bahan tambahan dalam mendapatkan gambaran anak-anak di sekolah. Kepada sekolah-sekolah yang memiliki program akselerasi diharapkan agar dapat memberikan fasilitas layanan konseling atau bimbingan konseling bagi anak-anak berbakat. Bimbingan konseling memberikan informasi dan sarana bagi anak-anak untuk membantu mereka dalam mengetahui penyebab timbulnya masalah dan cara menangani masalah-masalah yang dihadapinya. 2. Sehubungan dengan penelitian ini, penulis menyarankan untuk peneliti selanjutnya agar mencoba meneliti siswa-siswa berbakat di luar Jakarta atau di daerah-daerah. Dari hasil data penelitian ini diketahui bahwa anak-anak berbakat yang diteliti yang diambil pada siswa-siswa yang berada di Jakarta dan sekitarnya mempunyai tingkat stres yang sedang atau rata-rata, hal ini bisa saja karena faktor lingkungan dan sekolah yang dapat memenuhi kebutuhan mereka dengan semua fasilitas yang

memadai. Untuk itu bagi para peneliti selanjutnya juga bisa melihat bagaimana perbedaan antara anak-anak berbakat yang ada di daerah dengan anak-anak berbakat yang ada di daerah perkotaan. Selain itu, diharapkan juga bagi peneliti selanjutnya untuk menambah populasi penelitian sehingga didapatkan hasil yang maksimal.

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, S. (1996). Pengantar psikologi inteligens. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Azwar, S. (1997). Reliabilitas dan validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Azwar, S. (2005). Penyusunan skala psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Akselerasi-Hartati pdf. (2004). Perepektif psikologi program askelerasi bagi anak berbakat akademik. http://www.google.com. Brecht, G. (2000). Mengenal dan menanggulangi stress. Jakarta: Prenhallindo. Berry, L.M. (1998). Psychology at work; an introduction to organization psychology. (2nded). New York : Mc-Graw Hill Davison, G.C., Neale, J.M. & Kring, A.N. (2006). Psikologi abnormal. Jakarta : Raja Grafindo Persada Caldarella, Paul & Merrel, Kenneth. W. (1997). A child and adolescent social skills. Taxonomy. Utah: Utah State University Fontana, D. (1998). Managing stress. London : Blackwell Publishing Genshaft, J.L., Bireley, M. & Hollinger, C.L. (1995). Serving gifted talented students. Texas: Pro.ed Goleman, D. (1999). Emotional intelligence, mengapa EI lebih penting dari pada IQ. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama Goleman, D. (1999). Kecerdasan emosi untuk mencapai puncak prestasi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama Hadi, S. (1996). Statistik 2 (Edisi ke- 16). Yogyakarta: Yayasan penerbitan fakultas psikologi universitas gajah mada. Kaluger, G. & Martin, R. (2008). The loneliness of the gifted child. Peabody journal of education. 61, 127-132. Kemala, I. N. pdf. (2007). Stres pada remaja. http://www.google.com Lytle, G.W. & Camphbell, N.J. (2008). Do special programs affect the social status of the gifted. Peabody journal of education. 80, 93-97. Lytle, G.W. & Camphbell, N.J. (2008). Do special programs affect the social status of the gifted. Peabody journal of education. 80, 93-97.

Linda. (2007) Issues in the social and emotional adjustment of gifted children: what does the literature say? Versteynen University of Waikato Merrel, Kenneth. W & Gimpel, Gretchen. A. (1997). Social skills of children and adolescents. Conceptualization, Assessmant treatment. London: Law rence Erlbaum Associates,.Inc. Munandar, U.S.C. (2002). Kreativitas dan keberbakatan strategi mewujudkan potensi kreatif dan bakat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Nevid, J.S., Rathus, S.A. & Greene, B. (2005). Psikologi abnormal. Jakarta: Erlangga. Potter, L. Ph.D., M.Gifted.Ed. & Dip.Ed. (1999). Social skill of gifted children. a Child Psychologist and Senior Lecturer in Education at the Flinders. University of South Australia. Porwandari, K. (2006). Stress, http://www.google.com . trauma dan stres pasca trauma.

Powell, D. (1983). Human adjustment normal adaptation through the life cycle. Toronto : Little Brown Prabowo, H. & Puspita, I. (1997). Psikologi pendidikan. Jakarta: Gunadarma Rice, L. P. (1998). Stress and health. An international Thomas publishing company Reni, A. (2004). Akselerasi. Jakarta : PT. Gramedi Widia Sarana Indonesia Tumewu, S. (2008). My town manado. http://www.google.com Saifullah, A. & Maulana, N.A. (2005). Melejitkan potensi kecerdasan anak. Yogyakarta: Ar-ruzz Media Jogjakarta Santrock, J.W. (1999). Life-Span Development (Seventh Edition). New York: McGraw-Hill. Sarafino, E.P. (1998). Health Psychology: Biopsychosocial Interactions (Second Edition). New York: John Wiley & Sons, Inc. Sarafino, E.P. (2002). Health Psychology: Biopsychosocial Interactions (Fourth Edition). New York: John Wiley & Sons, Inc. Setiabudhi, T & Dwiyanto, H. (2003). Gramedia Pustaka Utama. Anak unggul berotak prima. Jakarta:

Supratiknya, A. (1993). Psikologi kepribadian 1, teori-teori psikodiagnotik (Klinis). Yogyakarta : Kanisius

Yanti-Desvi pdf. (2005). Keterampilan sosial pada anak menengah akhir yang mengalami gangguan perilaku. http://www.google.com

Anda mungkin juga menyukai