Anda di halaman 1dari 5

CEFTRIAXONE VERSUS KLORAMFENIKOL DALAM TERAPI DEMAM TIFOID AKUT

Abstrak: Demam tifoid merupakan salah satu masalah kesehatan dunia, dimana terdapat 200 juta kasus dan 700.000 kematian setiap tahunnya. Di Mesir, sejak awal tahun 1980-an, telah terjadi peningkatan prevalensi kasus multidrug resistance (MDR) terhadap antibiotik lini pertama yang biasa digunakan dalam pengobatan demam tifoid, seperti kloramfenikol, ampifilin, dan trimetroprim-sulfamethoxazole (TMP-SMX). Oleh karena itu, antibiotik jenis lain seperti golongan fluorokuionolon dan sefalosporin generasi tiga perlu dievaluasi lebih lanjut mengenai keefektivitasnnya dan efek samping yang dapat ditimbulkan. Tujuan dari penelitian ini adalah membandingkan efektivitas penggunaan kloramfenikol, yang merupakan obat klasik dalam penatalaksanaan demam tifoid akut di Abbassia Fever Hospital (AFH), dibandingkan dengan ceftriaxone, yang merupakan obat lini pertama dalam penatalaksanaan demam tifoid akut setelah munculnya kasus MDR isolat Salmonella typhi ( S. typhi ) dalam lima belas tahun terakhir. Studi kali ini juga meneliti apakah S.typhi masih sensitif terhadap kuinolon dan sefalosporin generasi ketiga. Selain itu, kami juga meneliti apakah MDR demam tifoid masih menjadi masalah kesehatan di Mesir. Pada tahap ke-4 label terbuka, prospektif , studi uji klinis acak dilaksanakan pada periode antara Maret 2007 dan Juni 2009. Lima puluh dua pasien dengan kultur darah positif untuk S. typhi dilibatkan dalam penelitian ini, yaitu 32 laki-laki (62%) dan 20 perempuan (38%) dengan usia 3-47 tahun (rata-rata SD : 22 8.5 tahun). Tes sensitivitas obat yang dilakukan menunjukkan hasil bahwa 4 (8%) dari isolat Salmonella typhi resisten terhadap kloramfenikol, 18 (35%) resisten terhadap ampisilin, dan 21 (40%) isolat resisten terhadap TMP - SMX. Dua (4%) isolat resisten terhadap kloramfenikol, ampisilin maupun TMP - SMX. Tidak ada isolat yang resisten terhadap siprofloksasin maupun ceftriaxone. Dalam penelitian ini, dua puluh tujuh pasien (52%) pasien diobati dengan kloramfenikol dan dua puluh lima (48%) pasien diobati dengan ceftriaxone, dimana semua pasien sembuh dengan kedua pengobatan tersebut. Waktu ratarata (mean SD) yang diperlukan pasien untuk tidak lagi demam setelah pemberian ceftriaxone adalah 3,3 1,2 hari, sedangkan pada pasien dengan pemberian kloramfenikol adalah 5,8 1,2 hari. Pada pasien yang diobati dengan ceftriaxone, membutuhkan waktu yang lebih pendek untuk menghilangkan gejala demamnya, dibandingkan dengan pasien yang diobati dengan kloramfenikol (nilai P = 0,0001 95 % CI = 1,831-3,169). Dari penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa: ceftriaxone secara signifikan terbukti mampu menurunkan demam dalam waktu yang lebih singkat dibanding kloramfenikol, sehingga dapat menjadi

obat pilihan utama dalam penatalaksanaan demam tifoid. Selain itu, hasil penelitian menunjukkan adanya penurunan prevalensi MDR isolat S. Typhi terhadap kloramfenikol, sehingga obat ini dapat menjadi salah satu pilihan dalam penatalaksaan demam tifoid akut. Tidak ditemukan adanya laporan mengenai resistensi terhadap penggunaan ceftriaxone dan ciprofloxacin setalah digunakan selama bertahun-tahun untuk pengobatan demamtifoid akut. Akan tetapi, banyak ditemukan laporan adanya resistensi yang tinggi terhadap penggunaan ampisilin maupun TMP-SMX, sehingga sebaiknya kedua obat tersebut tidak digunakan sebagai terapi lini pertama dalam penatalaksanaan demam tifoid akut. Kata kunci: Demam tifoid, multidrug resistence, kloramfenikol, ceftriaxone.

1. Pendahuluan Terdapat dua puluh juta kasus demam tifoid dengan jumlah kematian berkisar 700.000 kasus, ditemukan setiap tahunnya. Penyakit ini terutama menyerang negaranegara berkembang seperti India dan negara-negara kawasan Asia Tenggara. Sejak dari dahulu, penyakit infeksi ini umumnya diobati dengan kloramfenikol, ampisilin, atau trimetroprim-sulfamethoxazole (TMP-SMX). Akan tetapi, banyak ditemukan kejadian resistensi antibiotik terhadap kuman S.typhi yang semakin meluas dalam dekade terakhir. Di Mesir, kejadian resistensi S.typhi dilaporkan pertama kali pada tahun 1981. Mourad et al melaporkan bahwa 43% isolat S.typhi di Alexandria Fever Hospital ditemukan resisten terhadap beberapa obat antibiotik (multidrug resistence/MDR). Dalam penelitian lain di Mesir, Waspy et al, melaporkan bahwa 71% pasien demam tifoid terbukti MDR untuk kuman S.typhi. Akhir-akhir ini, juga ditemukan beberapa laporan adanya resistensi S.typhi terhadap golongan kuinolon dan sefalosporin generasi tiga. Demam tifoid yang disebabkan oleh S.typhi jenis MDR merupakan masalah kesehatan masyarakat yang harus mendapatkan perhatian, setelah banyak ditemukan kasus demam tifoid MDR pada anak-anak dengan kejadian motalitas dan morbiditas yang tinggi. Tujuan dari penelitian ini adalah membandingkan efektivitas kloramfenikol, yang telah digunakan bertahun-tahun sebagai drug of choice dalam penatalaksanaan demam tifoid akut di Abbassia Fever Hospital (AFH), dibandingkan dengan ceftriaxone yang menjadi obat pilihan utama dalam penatalaksanaan demam tifoid akut setelah munculnya kasus MDR isolat Salmonella typhi ( S. typhi ) dalam lima belas tahun terakhir. Studi kali ini juga meneliti apakah S.typhi masih sensitif terhadap kuinolon dan sefalosporin generasi ketiga. Selain itu, kami juga meneliti apakah MDR demam tifoid masih menjadi masalah kesehatan di Mesir.

2. Metode dan Sampel Pada tahap ke-4 label terbuka, prospektif, studi uji klinis acak dilaksanakan pada periode antara Maret 2007 dan Juni 2009. Setelah melakukan informed consent untuk berpartisipasi dalam penelitian ini, lima puluh pasien dengan demam tifoid akut di Abbasia Fever Hosipital (AFH), Rumah Sakit rujukan utama untuk kasus demam di wilayah Kairo, Mesir diikutkan dalam penelitian ini. Kriteria inklusi dalam penelitian kali ini adalah sampel dengan kultur darah positif S. Typhi dan bersedia menjadi sampel dalam penelitian ini. Kriteria eksklusi adalah pasien dengan keadaan umum yang memburuk, hiperpireksia (40,5 C), hipotensi, melena, perdarahan rektum dan kualitas kesadaran yang terganggu. Semua pasien yang dilibatkan dalam penelitian ini, dilakukan anamnesis dan pemeriksaan secara menyeluruh, dan pemeriksaan gambaran darah lengkap. Pada hari sebelum pasien diberikan antibiotik, sampel darah setiap pasien dikumpulkan dan diinokulasi ke dalam botol kultur darah bifasik, kemudian diikubasi pada suhu 37C. Semua botol diperiksa setiap hari selama 7 hari, kemudian sampel darah dibiakkan dalam media MacConkey dan media agar darah sebagai standard pemeriksaan serologi dan metode biokimia yang ada. Tes Widal dilakukan pada semua pasien. Uji sensitivitas S.typhi terhadap ampissilin (10 ug), kloramfenikol (30 ug), TMPSMX (25 ug), siprofloksasin (5 ug) dan ceftriaxone (30 ug) dilakukan dengan metode Kirby-Bayer. Dua puluh tujuh pasien (52%) dipilih secara acak untuk diterapi dengan kloramfenikol (50 mg/kg/hari per oral atau i.v) diberikan setiap 6 jam sekali sampai demam menurun dan lima hari setelahnya. Waktu yang dibutuhkan obat untuk menurunkan demam dihitung sejak pemberian antimikroba pertama sampai suhu badan pasien mencapai normal. Dua puluh lima pasien (48%) dipilih secara acak untuk diterapi dengan ceftriaxone yang diberikan secara parenteeral (80 mg/kg/hari untuk anak-anak dan 2 g/hari untuk dewasa) sekali dalam sehari selama 7 hari. Pasien yang resisten terhadap obat yang diberikan selama terapi, dialihkan dengan menggunakan obat yang sensitif, dan tidak dimasukkan ke dalam analisis akhir penelitian ini. Pasien dengan komplikasi (perdarahan atau perforasi GIT, miokarditis, hepatitis) dieksklusi dari penelitian ini. Sampel diacak dengan distribusi normal ke dalam dua regimen pengobatan menggunakan block of 6 dan randomization envelop telah dipersiapkan oleh biostatistikan.

Penelitian ini dilakukan secara open label, sehingga tidak diperlukan blinding technique. Pasien dinyatakan sembuh apabila sudah tidak didapatkan demam, abdominal tenderness, tanda-tanda sakit atau hipertimpani abdomen pada akhir pengobatan. 3. Analisis Statistik 4. Diskusi Demam enterik masih menjadi masalah utama kesehatan masyarakat, khususnya di negara-negara berkembang dengan iklim tropis. Pola sensitivitas S.Typi telah berubah dimana terjadi peningkatan sensitivitas S.typhi terhadap kloramfenikol dan peningkatan resistensi S.typhi terhadap siprofloksasin. Pada penelitian ini, 4% strain kuman S.typhi resisten terhadap kloramfenikol, ampisilin, dan TMP-SMX. Penelitian oleh Mourad et al menunjukan isolat S.typhi MDR diteemukan pada 15 kasus (43%) dari 35 pasien dengan kultur S.typhi positif. Penelitian Wasft et al dengan 537 isolat S.typhi yang dikumpulkan antara tahun 1990-1994di Mesir, 71% diantaranya terbukti MDR. Pada periode tersebut adalah puncak kejadian MDR di Mesir. Penelitian lain yang dilakukan di Abbassia Fever Hospital, Waspy et al melaporkan bahwa kasus MDR S.typhi meningkat dari 19% pada tahun 1987 menjadi 100% pada tahun 1993, tetapi menurun secara bertahap menjaadi 5% pada tahun 2000. Di daerah Foyoum (salah satu wilayah bagian di Mesir), MDR S.typhi ditemukan pada 26 kasus (29%) dari 90 pasien. Penurunan kasus MDR S.typhi dilaporkaan pada beberapa penelitian di seluruh dunia dan didapatkan 5,6% oleh Chitnis et al, 5% oleh Pokharel et al, 18,6% oleh Ray et al, dan 22% oleh Cooke et al. Di RS Imbaba, provinsi Giza, Mesir, El-Din et al melaporkan 25% isolat S.typhi resisten terhadap kloramfenikol. Pada penelitian ini, 8% isolat S.typhi resisten terhadap kloramfenikol. Oleh karena perkembangan kejadian terjadinya MDR, terdapat penurunan penggunaan kloramfenikol sebagai terapi demam tifoid di Mesir. Penggunaan antibiotik yang lebih efektif dapat menurunkan prrevalensi kejadian infeksi kronis pada masyarakat karena adanya resirkulasi strain yang resisten. Peningkatan sensitivitas S.typhi terhadap kloramfenikol (meskipun lebih rendah daripada ceftriaxone), akan menjadikannya salah satu pilihan terapi dalam pengobatan demam tifoid di Mesir. Kloramfenikol memiliki harga yang lebih murah dan efektivitas yang lebih baik. Pada penelitian ini, 35% dan 40% dari isolat resistensi terhadap ampisilin dan TMP-SMX. Hal ini sejalan dengan pernyataan Srikantiah et.al. di Foyoum, Mesir. Resistensi terhadap ciprofloxacin dilaporkan oleh Butt et al, Capoor et al, dan Dimitrov et al.

Simptom utama pada 52 pasien dengan demam tifoid akut adalah demam (100%), sakit kepala (77%), mual (44%), abdominal discomfort (77%), batuk (62%) dan epistaksis (52%). Sign utama yang umunya muncul adalah demam (100%), tanda-tanda sakit (83%), distensi abdomen (85%), splenomegali (77%), dan hepatomegali (38%). Simptom dan sign ini, sesuai dengan penelitian Abdel Wahab et al. Pasien kami menunjukkan keadaan anemia (rerata Hb SD 111,8 gms%) dengan hitung jenis sel darah putih (rerata 52,3) dan dengan hitung trombosit (rerata 18587,4). Anemia kemungkinan dapat disebabkan endotoksinemia yang disebabkan oleh Salmonella. Dengan hitung jenis sel darah putih yang sesuai dengan yang dilaporkan oleh Gaffar et al. Sesuai dengan penelitian ini, perubahan pada darah perifer tidak memperngaruhi manifestasi klinis dari penyakit, pada semua pasien yang telah sembuh setelah pengobatan. Pada penelitian ini, pasien dengan titer anti-O 1/160 ditemukan sebanyak 73% dan pasien dengan titer anti-H 1/160 sebanyak 77%. Hasil tersebut signifikan menunjukkan diagnosis demam tifoid di Mesir dan hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hassanein et al dan Frimpiong et al. Hasil dari tes Widal seharusnya menjadi pertimbangan untuk penegakkan diagnosis demam tifoid pada pasien yang menunjukkan gejala klinis tifoid. Aglutinin somatik maupun flagellar diperlukan dan penting untuk mencapai tujuan tersebut. Baik kloramfenikol maupun ceftriaxone terbukti efektif untuk pengobatan 52 pasien dengan demam tifoid akut. Ceftriaxone dapat menurunkan demam lebih cepat dibandingkan dengan kloramfenikol. Hal ini sesuai dengan beberapa penelitian. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ceftriaxone dapat menurunkan demam lebih cepat, sehingga dapat dijadikan sebagai drug of choice dalam pengobatan demam tifoid akut. Selain itu, penurunan prevalensi MDR S.typhi dan peningkatan sensitivitas kloramfenikol terhadap kuman ini menjadikannya salah satu pilihan terapi untuk demam tifoid akut. Tidak ada laporan resistensi kuman terhadap ceftriaxone maupun kloramfenikol dalam pengobatan demam tifoid yang dilakukan selama bertahun-tahun. Akan tetapi, ditemukan resistensi kuman yang tinggi terhadap ampisilin dan TMP-SMX, sehingga penggunaannya sebagai terapi lini pertama demam tifoid akut perlu dihindari.

Anda mungkin juga menyukai