Anda di halaman 1dari 26

BAB I PENDAHULUAN a.

Latar Belakang Dengue hemorrhagic fever (DHF) atau yang disebut demam berdarah dengue (DBD), sejak ditemukan pertama kali pada tahun 1968 sampai sekarang, sering kali menjadi penyebab kematian terutama pada anak, remaja dan dewasa. Berdasarkan hasil data dari Dinas kesehatan di Semarang sendiri pada 2010 mengalami peningkatan. Jika pada 2009 jumlah penderita DBD sebanyak 3.883 orang, pada 2010 kemaren naik menjadi 4.642 kasus. Faktor lingkungan berupa sarang nyamuk, genangan air, semak-semak, sampah dan kaleng besar membawa pengaruh terbesar pada angka kejadian sekitar sejak awal tahun 2010 hingga Desember. Penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) di Semarang sekitar 4.642 kasus, 17 penderita diantaranya meninggal dunia.1 Penyakit demam berdarah merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue yang masuk bersama darah yang dihisapnya. Di dalam tubuh nyamuk itu virus dengue akan berkembang biak dengan cara membelah diri dan menyebar diseluruh bagian tubuh nyamuk. Sebagian besar virus itu berada dalam kelenjar liur nyamuk, selanjutnya pada waktu nyamuk menggigit orang lain maka setelah alat tusuk nyamuk (Probosis) menemukan kapiler darah, setelah darah dihisap terlebih dahulu dikeluarkan air liurnya dari kelenjar air liur agar darah yang dihisapnya tidak membeku.1 b. Epidemiologi Menurut World Health Organization (2005) demam berdarah dengue dapat dilihat berdasarkan karakteristik epidemiologi, antara lain:2 a. Penyebab Penyakit (agent) Virus dengue merupakan bagian famili Flaviviridae. Keempat serotipe virus dengue yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 dapat dibedakan dengan metode serologi. Infeksi pada manusia oleh salah satu serotipe menghasilkan imunitas sepanjang hidup terhadap infeksi ulang oleh serotipe yang sama, tetapi hanya menjadi pelindung sementara dan parsial terhadap serotipe yang lain. Virus-virus dengue dapat menunjukkan banyak karakteristik yang sama dengan flavivirus lain, mempunyai genom RNA rantai tunggal yang dikelilingi oleh nukloekapsid ikosahendral dan terbungkus oleh selaput oleh selaput lipid. Virionnya mempunyai diameter kira-kira 50 nm. Genom flavvirus mempunyai panjang kira-kira 11 kb (kilobases), dan urutan genom lengkap dikenal untuk mengisolasi keempat
1

serotipe, mengkode nukleokapsid atau protein inti (C), protein yang berkaitan dengan membran (M), dan protein pembungkus (E) dan tujuh gen protein (NS). Domaindomain bertanggung jawab untuk netralisasi, fusi, dan interaksi dengan reseptor virus berhubungan denagn protein pembungkus. b. Vektor Aedes aegypti adalah salah satu vektor nyamuk yang paling efisien untuk arbovirus, karena nyamuk ini sangat antropofilik, hidup dekat manusia dan sering hidup di dalam rumah. Wabah dengue juga telah disertai dengan Aedes albopictus, Aedes polynesiensis, dan banyak spesies kompleks Aedes scutellaris. Setiap spesies ini mempunyai distribusi geografisnya masing-masing. Namun, mereka adalah vektor epidemik yang kurang efisien dibanding Aedes aegypti. Sementara penularan vertikal (kemungkinan transovarian) virus dengue telah dibuktikan di laboratorium dan di lapangan, signifikansi penularan ini untuk pemeliharaan virus belum dapat ditegakkan. Faktor penyulit pemusnahan vektor adalah bahwa telur Aedes aegypti dapat bertahan dalam waktu lama terhadap desikasi (pengawetan dan pengeringan), kadang selama lebih dari satu tahun. c. Penjamu (Host) Pada manusia, masing-masing keempat serotipe virus dengue mempunyai hubungan dengan demam berdarah dengue. Studi di Kuba dan Thailand telah menunjukkan bahwa hubungan yang tinggi secara konsisten antara infeksi DEN-2 dan demam berdarah dengue, tetapi epidemik pada tahun 1976-1978 Indonesia, 19801982 Malaysia, 1989-1990 Tahiti, dan dari tahun 1983 seterusnya di Thailand, DEN-3 adalah serotipe predominan yang ditemukan dari pasien dengan penyakit berat. Pada wabah tahun 1984 di meksiko, 1986 Puerto Rico, dan tahun 1989 El Salvador, DEN-4 paling sering diisolasi dari pasien demam berdarah dengue. Menurut Kardinan (2007) seseorang yang pernah terinfeksi oleh salah satu serotypes biasanya kebal terhadap serotypes tersebut dalam jangka waktu tertentu, namun tidak kebal terhadap serotypes lainnya, bahkan menjadi sensitif terhadap serangan demam berdarah Dengue Hemorrhagic Fever. Sindrom syok dengue terjadi dengan frekuensi yang lebih tinggi pada dua kelompok yang mempunyai keterbatasan secara imunologis: anak-anak yang telah mengalami infeksi dengue sebelumnya, dan bayi dengan penyusutan kadar antibodi dengue maternal. Fase akut infeksi, diikuti dengan inkubasi 3-13 hari, berlangsung
2

kira-kira 5-7 hari dan dikuti dengan respon imun. Infeksi pertama menghasilkan imunitas sepanjang hidup terhadap serotipe penginfeksi tetapi merupakan

perlindungan sementara terhadap ketiga serotipe lainnya, dan infeksi sekunder atau sekuensial mungkin terjadi setelah waktu singkat. d. Lingkungan (Environment) Nyamuk Aedes aegypti sangat suka tinggal dan berkembang biak di genangan air bersih yang tidak berkontak langsung dengan tanah. Vector penyakit DHF ini diketahui banyak bertelur di genangan air yang terdapat pada sisa-sisa kaleng bekas, tempat penampungan air, bak mandi, ban bekas, dan sebagainya. Jumlah penderita DHF umumnya meningkat pada awal musim hujan, yaitu antara September hingga Februari, di mana banyak terdapat genangan air bersih di dalam sisa-sisa kaleng bekas, ban bekas, maupun benda-benda lain yang mampu menampung sisa air hujan. Di daerah urban penduduk padat, puncak penderita penyakit DHF adalah bulan Juni atau Juli, bertepatan dengan awal musim kemarau. Karena itu, kesadaran masyarakat untuk membersihkan lingkungan, mengubur sisa-sisa barang bekas serta menutup tempat-tempat penampungan air bersih, menjadi salah satu upaya efektif dalam menekan laju penularan penyakit DHF.

BAB II PEMBAHASAN a. Definisi Penyakit Demam Berdarah Dengue atau yang dalam istilah asing Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit infeksi virus akut yang disebabkan oleh virus Dengue dan terutama menyerang anak- anak dengan ciri- ciri demam tinggi mendadak dengan manifestasi perdarahan dan bertendensi menimbulkan shock dan kematian. Penyakit ini ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan mungkin juga Albopictus. Kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia kecuali ketinggian lebih dari 1000 meter diatas permukaan laut. Masa inkubasi penyakit ini diperkirakan lebih kurang 7 hari. Penyakit Demam Berdarah Dengue dapat menyerang semua golongan umur. Sampai saat ini penyakit Demam Berdarah Dengue lebih banyak menyerang anakanak tetapi dalam dekade terakhir ini terlihat adanya kecenderungan kenaikan proporsi penderita Demam

Berdarab Dengue pada orang dewasa. Indonesia termasuk daerah endemik untuk penyakit Demam Berdarah Dengue. Serangan wabah umumnya muncul sekali dalam 4 - 5 tahun. Faktor lingkungan memainkan peranan bagi terjadinya wabah. Lingkungan dimana terdapat banyak air tergenang dan barang-barang yang memungkinkan air tergenang merupakan tempat ideal bagi penyakit tersebut.3 b. Etiologi Virus dengue termasuk familia Flaviridae, dari genus Flavivirus. Atas dasar ekologinya Flavivirus disebut Arbovirus atau virus athropoda-borne untuk menunjukkan bahwa virus ini ditransmisikan oleh serangga. Semua Flavivirus memiliki kelompok epitop pada selubung protein yang menimbulkan terjadinya cross reaction (reaksi silang) pada uji serologis, hal ini menyebabkan diagnosis pasti uji serologis sulit ditegakkan. Ada 4 serotipe dari virus dengue yaitu Den-1, Den-2, Den-3, Den-4. Infeksi salah satu serotipe virus Den akan menghasilkan antibodi protektif untuk serotipe tersebut pada waktu yang lama, tetapi tidak ada cross protection (perlindungan silang) terhadap serotipe virus Den yang lain.2 c. Patofisiologi Nyamuk Aedes spp yang sudah terinfesi virus dengue, akan tetap infektif sepanjang hidupnya dan terus menularkan kepada individu yang rentan pada saat menggigit dan menghisap darah. Setelah masuk ke dalam tubuh manusia, virus de-ngue akan menuju organ sasaran yaitu sel kuffer hepar, endotel pembuluh darah, nodus limpaticus, sumsum tulang
4

serta paru-paru. Beberapa penelitian menunjukkan, sel monosit dan makrofag mempunyai peran pada infeksi ini, dimulai dengan menempel dan masuknya genom virus ke dalam sel dengan bantuan organel sel dan membentuk komponen perantara dan komponen struktur virus. Setelah komponen struktur dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel. Infeksi ini menimbulkan reaksi immunitas protektif terhadap serotipe virus tersebut tetapi tidak ada cross protective terhadap serotipe virus lainnya.4 Secara invitro, antobodi terhadap virus dengue mempunyai 4 fungsi biologis yaitu netralisasi virus, sitolisis komplemen, antibody dependent cell-mediated cytotoxity (ADCC) dan ADE. Berdasarkan perannya, terdiri dari antobodi netralisasi atau neutralizing antibody yang memiliki serotipe spesifik yang dapat mencegah infeksi virus, dan antibody non netralising serotype yang mempunyai peran reaktif silang dan dapat meningkatkan infeksi yang berperan dalam pathogenesis DBD dan DSS.4 Terdapat dua teori atau hipotesis immunopatogenesis DBD dan DSS yang masih kontroversial yaitu infeksi sekunder (secondary heterologus infection) dan antibody dependent enhancement (ADE). Dalam teori atau hipotesis infeksi sekunder disebutkan, bila seseorang mendapatkan infeksi sekunder oleh satu serotipe virus dengue, akan terjadi proses kekebalan terhadap infeksi serotipe virus dengue tersebut untuk jangka waktu yang lama. Tetapi jika orang tersebut mendapatkan infeksi sekunder oleh serotipe virus dengue lainnya, maka akan terjadi infeksi yang berat. Ini terjadi karena antibody heterologus yang terbentuk pada infeksi primer, akan membentuk kompleks dengan infeksi virus dengue serotipe baru yang berbeda yang tidak dapat dinetralisasi bahkan cenderung membentuk kompleks yang infeksius dan bersifat oponisasi internalisasi, selanjutnya akan teraktifasi dan memproduksi IL-1, IL- 6, tumor necrosis factor-alpha (TNF-A) dan platelet activating factor (PAF); akibatnya akan terjadi peningkatan (enhancement) infeksi virus dengue. TNF alpha akan menyebabkan kebocoran dinding pembuluh darah, merembesnya cairan plasma ke jaringan tubuh yang disebabkan kerusakan endothel pembuluh darah yang mekanismenya sampai saat ini belum diketahui dengan jelas. Pendapat lain menjelaskan, kompleks imun yang terbentuk akan merangsang komplemen yang farmakologisnya cepat dan pendek dan bersifat vasoaktif dan prokoagulan sehingga menimbulkan kebocoran plasma (syock hipolemik) dan perdarahan. Anak di bawah usia 2 tahun yang lahir dari ibu yang terinfeksi virus dengue dan terjadi infeksi dari ibu ke anak, dalam tubuh anak tersebut terjadi non neutralizing antibodies akaibat adanya infeksi yang persisten. Akibatnya, bila terjadi infeksi virus dengue pada anak

tersebut, maka akan langsung terjadi proses enhancing yang akan memacu makrofag mudah terinfeksi dan teraktifasi dan mengeluarkan IL-1, IL-6 dan TNF alpha juga PAF.4 Pada teori ADE disebutkan, jika terdapat antibodi spesifik terhadap jenis virus tertentu, maka dapat mencegah penyakit yang diakibatkan oleh virus tersebut, tetapi sebaliknya apabila antibodinya tidak dapat menetralisasi virus, justru akan menimbulkan penyakit yang berat. Kinetik immunoglobulin spesifik virus dengue di dalam serum penderita DD, DBD dan DSS, didominasi oleh IgM, IgG1 dan IgG3. Selain kedua teori tersebut, masih ada teori-teori lain tentang pathogenesis DBD, di antaranya adalah teori virulensi virus yang mendasarkan pada perbedaan serotipe virus dengue yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4 yang kesemuanya dapat ditemukan pada kasus-kasus fatal tetapi berbeda antara daerah satu dengan lainnya. Selanjutnya ada teori antigen-antibodi yang berdasarkan pada penderita atau kejadian DBD terjadi penurunan aktivitas sistem komplemen yang ditandai penurunan kadar C3, C4 dan C5. Disamping itu, pada 48-72% penderita DBD, terbentuk kompleks imun antara IgG dengan virus dengue yang dapat menempel pada trombosit, sel B dan sel organ tubuh lainnya dan akan mempengaruhi aktivitas komponen sistem imun yang lain. Selain itu ada teori moderator yang menyatakan bahwa makrofag yang terinfeksi virus dengue akan melepas berbagai mediator seperti interferon, IL-1, IL-6, IL-12, TNF dan lain-lain, yang bersama endotoksin bertanggungjawab pada terjadinya sok septik, demam dan peningkatan permeabilitas kapiler.4 Pada infeksi virus dengue, viremia terjadi sangat cepat, hanya dalam beberapa hari dapat terjadi infeksi di beberapa tempat tapi derajat kerusakan jaringan (tissue destruction) yang ditimbulkan tidak cukup untuk menyebabkan kematian karena infeksi virus; kematian yang terjadi lebih disebabkan oleh gangguan metabolic.4 d. Gambaran Klinis Pada dasarnya ada empat sindrom klinis dengue yaitu :5 1. Silent dengue atau Undifferentiated fever 2. Demam dengue klasik 3. Demam berdarah Dengue ( Dengue Hemorrhagic fever)
4.

Dengue Shock Syndrome (DSS).

Gambar 1. Siklus transmisi demam dengue/ demam berdarah dengue Demam Dengue Demam dengue ialah demam akut selama 2-7 hari dengan dua atau lebih manifestasi ; nyeri kepala, nyeri retro-orbital, mialgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan dan leukopenia. Awal penyakit biasanya mendadak dengan adanya trias yaitu demam tinggi, nyeri pada anggota badan dan ruam.5
-

Demam : suhu tubuh biasanya mencapai 39 C sampai 40 C dan demam bersifat bifasik yang berlangsung sekitar 5-7 hari.

Ruam kulit : kemerahan atau bercak bercak meraj yang menyebar dapat terlihat pada wajah, leher dan dada selama separuh pertama periode demam dan kemungkinan makulopapular maupun menyerupai demam skalartina yang muncul pada hari ke 3 atau ke 4. Ruam timbul pada 6-12 jam sebelum suhu naik pertama kali (hari sakit ke 3-5) dan berlangsung 3-4 hari.

Anoreksi dan obstipasi sering dilaporkan. Gejala klinis lainnya meliputi fotofoi, berkeringat, batuk, epistaksis dan disuria. Kelenjar limfa servikal dilaporkan membesar pada 67-77% kasus atau dikenal sebagai Castelanis sign yang patognomonik. Beberapa bentuk perdarahan lain dapat menyertai.5

Gambar 2. Spektrum Klinis DD dan DBD


7

Pada pemeriksaan laboratorium selama DD akut ialah sebagai berikut:5 Hitung sel darah putih biasanya normal saat permulaan demam kemudian leukopeni hingga periode demam berakhir Hitung trombosit normal, demikian pula komponen lain dalam mekanisme pembekuaan darah. Pada beberapa epidemi biasanya terjadi trombositopeni Serum biokimia/enzim biasanya normal,kadar enzim hati mungkin meningkat.

Demam Berdarah Dengue Pada awal perjalanan penyakit, DBD menyerupai kasus DD. Kasus DBD ditandai 4 manifestasi klinis yaitu :5 Demam tinggi Perdarahan terutama perdarahan kulit Hepatomegali Kegagalan peredaran darah (circulatory failure). Pada DBD terdapat perdarahan kulit, uji tornikuet positif, memar dan perdarahan pada tempat pengambilan darah vena. Petekia halus tersebar di anggota gerak, muka, aksila sering kali ditemukan pada masa dini demam. Epistaksis dan perdarahan gusi jarang dijumpai sedangkan perdarahan saluran pencernaan hebat lebih jarang lagi dan biasanya timbul setelah renjatan tidak dapat diatasi. Hati biasanya teraba sejak awal fase demam, bervariasi mulai dari teraba 2-4 cm dibawah tepi rusuk kanan. Pembesaran hati tidak berhubungan dengan keparahan penyakit tetapi hepatomegali sering ditemukan dalam kasus-kasus syok. Nyeri tekan hati terasa tetapi biasanya tidak ikterik.5 Tabel 1. Gejala klinis demam dengue dan demam berdarah dengue
Demam Dengue ++ +++ + ++ ++ ++ + + ++ + 0 0 + ++++ 0 ++ + ++ 0 Gejala Klinis Nyeri Kepala Muntah Mual Nyeri Otot Ruam Kulit Diare Batuk Pilek Limfadenopati Kejang Kesadaran menurun Obstipasi Uji tornikuet positif Petekie Perdarahan saluran cerna Hepatomegali Nyeri perut Trombositopenia Syok Demam Berdarah Dengue + ++ + + + + + + + + ++ + ++ +++ + +++ +++ ++++ +++

Pada pemeriksaan laboratoriun dapat ditemukan adanya trombositopenia sedang hingga berat disertai hemokonsentrasi. Perubahan patofisiologis utama menentukan tingkat keparahan DBD dan membedakannya dengan DD ialah gangguan hemostasis dan kebocoran plasma yang bermanifestasi sebagai trombositopenia dan peningkatan jumlah trombosit.

Gambar 3. Kurva suhu pada demam berdarah dengue, saat suhu reda keadaan klinis pasien memburuk (syok).

Dengue Shock Syndrome


Pada DSS dijumpai adanya manifestasi kegagalan sirkulasi yaitu nadi lemah dan cepat, tekanan nadi menurun (<20mmHg), hipotensi, kulit dingin dan lembab dan pasien tampak gelisah.5

Gambar 4. Kelainan utama pada DBD, gambaran skematis kebocoran plasma pada DBD
9

e. Kriteria Diagnosis Kriteria diagnosis WHO hanya berlaku untuk DBD, tidak untuk spektrum infeksi dengue yang lain. WHO membuat panduan diagnosis DBD karena DBD adalah masalah kesehatan masyarakat dengan angka kematian yang tinggi. Bila kriteria WHO tidak terpenuhi maka yang dihadapi memang bukan DBD, mungkin DD atau infeksi virus lainnya. Kriteria WHO sangat membantu dalam membuat diagnosis pulang (bukan diagnosis masuk rumah sakit), sehingga catatan medis dapat dibuat lebih tepat.6 Kriteria diagnosis DBD ialah dua atau lebih tanda klinis ditambah tanda laboratoris yaitu trombositopeni dan hemokonsentrasi (kedua hasil laboratorium tersebut harus ada) dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan serologi.6 Kriteria diagnosis DBD (Case definition) berdasarkan WHO 1997 ialah :6 Kriteria klinis : Demam tinggi mendadak tanpa sebab jelas terus menerus selama 2-7 hari Terdapat manifestasi perdarahan termasuk uji tornikuet positif, petekie, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan melena Pembesaran hati Syok ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi Trombositopenia (100.000/l atau kurang) Hemokonsentrasi dengan peningkatan hematokrit lebih dari 20%.

Kriteria laboratorium : -

Pembagian derajat DBD menurut WHO 1975 dan 1986 ialah : 6 Derajat I : Demam diikuti gejala tidak spesifik. Satu-satunya manifestasi perdarahan adalah tes torniquet yang positif atau mudah memar. Derajat II : Gejala yang ada pada tingkat I ditambah dengan perdarahan spontan. Perdarahan bisa terjadi di kulit atau di tempat lain. Derajat III: Kegagalan sirkulasi ditandai oleh denyut nadi yang cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (<20mmHg) atau hipotensi, suhu tubuh rendah, kulit lembab dan penderita gelisah. Derajat IV : Syok berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat diperiksa.

10

f. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan laboratorium Setiap penderita dilakukan pemeriksaan laboratorium yaitu pemeriksaan lengkap darah, sangatlah penting karena pemeriksaan ini berfungsi untuk mengikuti perkembangan dan diagnosa penyakit. Darah adalah jaringan cair yang terdiri atas dua bagian. Bagian cairan disebut plasma dan bagian padat disebut sel darah. Volume dari darah secara keseluruhan sekitar 5 liter, yaitu 55 % cairan dan 45 % sisanya terdiri dari sel darah yang dipadatkan yang berkisar 40-47 %.1 Sel darah meliputi sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (lekosit) dan trombosit. Eritrosit bentukya seperti cakram kecil bikonkaf, cekung pada sisinya. Jumlah eritrosit pada darah normalnya 5.000.000/l. Lekosit terdiri dari dua yaitu non granulosit dan granulosit. Sel granulosit terdiri dari neutrofil, eosinofil, basofil. Sel non granulosit terdiri dari limfosit dan monosit. Sel lekosit merupakan sel yang peka terhadap masuknya agen asing dalam tubuh dan berfungsi sebagai sistim pertahanan tubuh. Jumlah normal dalam darah 8.000 l. Sel ini diproduksi di sumsum tulang belakang. Trombosit ukurannya sepertiga ukuran sel darah merah. Jumlahnya sekitar 300.000/l. Perannya penting dalam penggumpalan darah. Adapun pemeriksaan yang dilakukan antara lain :1 1. Pemeriksaan uji Tourniquet/Rumple leed Percobaan ini bermaksud menguji ketahanan kapiler darah pada penderita DHF. Uji rumpel leed merupakan salah satu pemeriksaan penyaring untuk mendeteksi kelainan sistem vaskuler dan trombosit. Dinyatakan positif jika terdapat lebih dari 10 ptechiae dalam diameter 2,8 cm di lengan bawah bagian depan termasuk lipatan siku. Prinsip : Bila dinding kapiler rusak maka dengan pembendungan akan tampak sebagai bercak merah kecil pada permukaan kulit yang disebut Ptechiae. 2. Pemeriksaan Hemoglobin Kasus DHF terjadi peningkatan kadar hemoglobin dikarenakan terjadi kebocoran /perembesan pembuluh darah sehingga cairan plasmanya akan keluar dan menyebabkan terjadinya hemokonsentrasi. Kenaikan kadar hemoglobin >14 gr/100 ml. Pemeriksaan kadar hemaglobin dapat dilakukan dengan metode sahli dan fotoelektrik (cianmeth hemoglobin), metode yang dilakukan adalah metode fotoelektrik. Prinsip : Metode fotoelektrik (cianmeth hemoglobin) Hemoglobin darah diubah menjadi cianmeth hemoglobin dalam larutan yang

11

berisi kalium ferrisianida dan kalium sianida. Absorbansi larutan diukur pada panjang gelombang 540 nm/filter hijau.1 3. Pemeriksaan Hematokrit Peningkatan nilai hematokrit menggambarkan terjadinya hemokonsentrasi, yang merupakan indikator terjadinya perembesan plasma. Nilai peningkatan ini lebih dari 20%. Pemeriksaan kadar hematokrit dapat dilakukan dengan metode makro dan mikro. Prinsip : Mikrometode yaitu menghitung volume semua eritrosit dalam 100 ml darah dan disebut dengan % dari volume darah itu.1 4. Pemeriksaan Trombosit Pemeriksaan jumlah trombosit ini dilakukan pertama kali pada saat pasien didiagnosa sebagai pasien DHF, Pemeriksaan trombosit perlu di lakukan pengulangan sampai terbukti bahwa jumlah trombosit tersebut normal atau menurun. Penurunan jumlah trombosit < 100.000 /l atau kurang dari 1-2 trombosit/ lapang pandang dengan rata-rata pemeriksaan 10 lapang pandang pada pemeriksaan hapusan darah tepi. Prinsip : Darah diencerkan dengan larutan isotonis (larutan yang melisiskan semua sel kecuali sel trombosit) dimaksudkan dalam bilik hitung dan dihitung dengan menggunakan faktor konversi jumlah trombosit per /l darah.1 5. Pemeriksaan Lekosit Kasus DHF ditemukan jumlah bervariasi mulai dari lekositosis ringan sampai lekopenia ringan. Prinsip : Darah diencerkan dengan larutan isotonis (larutan yang melisiskan semua sel kecuali sel lekosit) dimasukkan bilik hitung dengan menggunakan faktor konversi jumlah lekosit per /l darah.1 6. Pemeriksaan Bleding time (BT) Pasien DHF pada masa berdarah, masa perdarahan lebih memanjang menutup kebocoran dinding pembuluh darah tersebut, sehingga jumlah trombosit dalam darah berkurang. Berkurangnya jumlah trombosit dalam darah akan menyebabkan terjadinya gangguan hemostatis sehingga waktu perdarahan dan pembekuan menjadi memanjang. Prinsip : Waktu perdarahan adalah waktu dimana terjadinya perdarahan setelah dilakukan penusukan pada kulit cuping telinga dan berhentinya perdarahan tersebut secara spontan.1 7. Pemeriksaan Clothing time (CT ) Pemeriksaan ini juga memanjang dikarenakan terjadinya gangguan hemostatis. Prinsip : Sejumlah darah tertentu segera setelah diambil diukur waktunya mulai dari keluarnya darah sampai membeku.1 8. Pemeriksaan Limfosit Plasma Biru (LPB)
12

Pada pemeriksaan darah hapus ditemukan limfosit atipik atau limfosit plasma biru 4 % dengan berbagai macam bentuk : monositoid, plasmositoid dan blastoid. Terdapat limfosit Monositoid mempunyai hubungan dengan DHF derajat penyakit II dan IgG positif, dan limfosit non monositoid (plasmositoid dan blastoid) dengan derajat penyakit I dan IgM positif. Prinsip: Menghitung jumlah limfosit plasma biru dalam 100 sel jenis-jenis lekosit.5 Penderita DHF sering muncul limfosit plasma biru, hal ini disebabkan karna limfosit merupakan satu-satunya sel tubuh yang mampu mengenal antigen secara spesifik dan mampu membedakan penentu antigenik, sehingga respon imunnya bersifat spesifik. Respon imun spesifik adalah reaksi tubuh terhadap antigen mencakup rangkain interaksi selluler yang di ekspresikan dengan panyebaran produk-produk sel spesifik. Sel yang berperan dalam respon imun spesifik adalah limfosit, yaitu limfosit B dan limfosit T. Limfosit yang normal berukuran kecil, kira-kira sebesar eritrosit, berbentuk bulat dengan diameter 8-10 . Inti limfosit penuh hampir mengisi sebagian besar dari ukuran sel, kromatin padat dan berwarna biru, sitoplasma tidak mengandung granula. Limfosit yang berstimulasi dengan antigen akan mengalami perubahan struktural dan biokimia. Istilah yang biasa untuk menggambarkan perubahan morfologi tersebut antara lain limfosit plasma biru, limfosit reaktif, limfosit atipik. Limfosit Plasma Biru adalah mononucleus yang besar dengan kromatin nucleus yang homogen dan halus dengan sitoplasma biru tua dan bervakuola, berdiameter 20. Jumlah limfosit plasma biru yang ditemukan pada preparat darah hapus untuk penyakit DHF biasanya 4 % dan apabila dilakukan pemeriksaan lmfosit plasma biru pada buffy coat akan terlihat lebih banyak / meningkat 20% - 50%. (Imam Budiwiyono,2002) Peningkatan jumlah limfosit atipik/limfosit plasma biru 4 % di daerah darah tepi dan dijumpai pada hari sakit 37. Limfosit plasma biru pada preparat darah tepi ada bermacam-macam. Macam-macam limfosit plasma biru yang dapat kita lihat pada preparat darah hapus adalah bentuk monositoid, plasmasitoid, dan bentuk blastoid. Bentuk monositoid cirinya yaitu set oval besar, inti berbentuk oval atau melekuk kromatin inti menggumpal. Irregular pada sitoplasma terdapat vakuolisasi. Bentuk plasmasitoid cirinya yaitu sitoplasma lebar dengan inti seperti pada sel plasma sitoplasma biru muda/biru gelap dan ada daerah perinuklear yang jernih. Bentuk blastoid cirinya yaitu sel bulat inti terdapat nukleoli sitoplasma biru gelap. Terdapat limfosit plasma biru dalam bentuk monositoid dengan IgG positif berhubungan dengan DBD derajat penyakit II, sedangkan bila ditemukan limfosit plasma biru dalam bentuk blastoid dan plasmasitoid IgM positif berhubungan dengan DHF derajat penyakit I. Selain ditemukannya

13

peningkatan jumlah limfosit pada darah tepi juga dapat dilakukan pemeriksaan lain yang juga menunjukkan kespesifikan daripada penyakit DHF (Dengue Hemorrhagic Fever).5

a b c Gambar 5. Macam-macam limfosit plasma biru a. monositoid b. plasmasitoid c. Blastoid 2. Pencitraan 2.1 Pemeriksaan rontgen dada Pencitraan dengan foto paru dapat menunjukan adanya efusi pleura, terutama di sebelah hemitoraks kanan. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan dalam posisi Right Lateral Decubitus (RLD), pasien berbaring dengan posisi miring ke kanan selama 10-15 menit, kemudian dilakukan pengambilan foto dengan arah sinar anteroposterior. Pemeriksaan ini dilakukan pada hari ke-4 sakit.7 Pleural efusion Index (PEI) dapat digunakan sebagai prediktor terjadinya sindrom syok dengue (SSD) pada anak. Anak dengan PEI >9% memiliki resiko 6 kali lebih besar untuk mengalami SSD.7

Gambar 6. Indeks efusi pleura akibat infeksi virus dengue 2.2. Pencitraan Ultrasonografis Pencitraan USG pada anak lebih disukai dengan pertimbangan dan yang penting tidak menggunakan sistim pengion (sinar X) dan dapat diperiksa sekaligus berbagai organ dalam perut. Adanya ascites dan cairan pleura pada pemeriksaan USG sangat membantu dalam penatalaksanaan DBD. Pemeriksaan USG dapat pula dipakai sebagai alat diagnostik bantu untuk meramalkan kemungkinan penyakit yang lebih berat misalnya dengan melihat

14

penebalan dinding kandung empedu dan penebalan pankreas dimana tebalnya dinding kedua organ tersebut berbeda bermakna pada DBD I-II dibanding DBD III-IV.7 3. Pemeriksaan Serologi Ada beberapa uji serologi yang dapat dilakukan yaitu :1 Uji hambatan hemaglitinasi (Haemagglutination Inhibiton = HI test) Perlu diperhatikan adalah uji ini tidak spesifik artinya tidak dapat menunjukkan tipe virus yang menginfeksi, kenaikan titer konvalesens 4x lipat dan titer serum akut atau titer tinggi (>1280) baik pada serum akut atau konvalesens dianggap sebagai presumptif positif, atau diduga keras positif infeksi dengue yang baru terjadi. Uji Netralisasi (NT test) Paling sensitif dan spesifik untuk virus dengue. Biasanya memakai cara yang disebut Plaque Reduction Neutralization Test (PRNT) yaitu berdasrkan reduksi dari plake yang terjadi. Uji ini tidak dapat dipakai secara rutin karena rumit dan memerlukan waktu lama. Uji fiksasi komplemen Uji Elisa Anti Dengue Ig M Tes Dengue Blot. Hasil positif IgG menandakan adanya infeksi sekunder dengue, dan IgM positif menandakan infeksi primer. Tes ini mempunyai kelemahan karena sensitifitas pada infeksi sekunder lebih tinggi, tetapi pada infeksi primer lebih rendah, dan harganya relatif lebih mahal. Prinsip : Antibodi dengue baik IgM atau IgG dalam serum akan diikat oleh anti-human IgM dan IgG yang dilapiskan pada dua garis silang di strip nitrosellulosa. Uji serodiagnostik cepat komersial dapat membantu diagnostik dan dapat pula menimbulkan keraguan. Uji serodiagnostik cepat sering menghasilkan negatif palsu pada hari demam ke 2-3. Kit serodiagnostik yang berisi Ig M, Ig M dan Ig G atau Ig G saja. Infeksi primer, hari sakit 3-4 akan dijumpai peningkatan Ig M lalu meningkat dan mencapai puncaknya dan menurun kembali dan menghilang pada hari sakit ke 3060. Peningkatan Ig M akan diikuti peningkatan Ig G yang mencapai puncak pada hari ke 15 kemudian menurun dalam kadar rendah seumur hidup. Tetapi pada infeksi sekunder akan memacu timbulnya Ig G sehingga kadarnya naik dengan cepat sedangkan Ig M menyusul kemudian. Apabila tidak terdeteksi pada hari demam ke 23 pada klinis mencurigakan maka pemeriksaan harus diulang 4-6 hari lagi.
15

Gambar 7. Respon imun terhadap infeksi dengue Respon imun terhadap infeksi dengue : Antibodi Ig M : Mungkin tidak terbentuk hingga 20 hari setelah onset infeksi Mungkin terbentuk pada kadar yang rendah atau tidak terdeteksi pasca infeksi primer singkat Antibodi Ig G : Terbentuk dengan cepat pasca 1-2 hari onset gejala Meningkat pada infeksi primer Menetap hingga 30-40 hari dan kemudian menurun

Sekitar 20-30% pasien dengan infeksi sekunder dengue tidak menghasilkan Ig M anti dengue pada kadar yang dapat dideteksi hingga hari ke 10 dan harus didiagnosis peningkatan Ig G anti dengue.

Gambar 8. Perjalanan penyakit infeksi virus dengue 4. Isolasi virus Ada beberapa cara isolasi dikembangkan yaitu:1 a. inokulasi intraserebral pada bayi tikus putih albino umur 1-3 hari b. inokulasi pada biakan jaringan mamalia dan nyamuk A. Albopictus
16

c. inokulasi pada nyamuk dewasa secara intratorasik/intraserebral pada larva g. Diagnosis Banding Pada awal perjalanan penyakit, diagnosis banding mencakup infeksi bakteri, virus, atau infeksi parasit seperti demam tifoid, campak, influemza, hepatitis, demam chikunguya, leptospirosis, dan malaria. Adanya trombositopenia membedakan antara DHF dengan penyakit lain.1 Demam berdarah dengue harus ibedakan dengan demam chikungunya. Pada demam chikungunya biasanya seluruh anggota keluarga dapat terserang dan penularan mirip dengan influenza. Bils dibandingkan dengan DHF, chikungunya memperlihatkan demam mendadak, suhu leih tinggi, hampur selalu disertai makulopapular, injeksi konjungtiva, dan lebih sering dijumpai nyeri sendi. Pada chikungunya tidak ditemukan perdarahan git dan syok.1 Iiopatic Trombocytpenic Purpura (ITP) sulit dibedakan dengan DBD derajat II karena demam disertai perdarahan di bawah kulit. Pada hari-hari pertama, diagnosis ITP sulit debedakan dengan penyakit DBD, tetapi pada ITP demam cepat menghilang, tidak dijumpai leukopenia, hemokonsentrasi, pergeseran hitung jenis. Pada fase penyembuhan, DBD jumlah trombosit lebih cepat kembali normal daripada ITP.1 h. Penatalaksanaan Pengobatan DBD bersifat suportif simptomatik dengan tujuan memperbaiki sirkulasi dan mencegah timbulnya renjatan dan timbulnya Koagulasi Intravaskuler Diseminata (KID). Perbedaan patofisiologik utama antara Demam Dengue/Demam Berdarah

Dengue/Demam Syok sindrom dan penyakit lain, ialah adanya peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan perembesan plasma, dan gangguan hemostasis. Penatalaksanaan fase demam pada Demam Berdarah Dengue dan Demam Dengue tidak jauh berbeda, bersifat simptomatik dan suportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Berikan nasihat kepada orang tua agar anak diberikan minum banyak seperti air teh, susu, sirup, oralit, jus buah, dan lain lain. Selain itu diberikan pula obat antipiretik golongan parasetamol. Penggunaan antipiretik golongan salisilat tidak dianjurkan pada penanganan demam. Parasetamol direkomendasikan untuk mempertahankan suhu di bawah 39 0C dengan dosis 10 15 mg/KgBB/kali.8 Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat demam tinggi, anoreksia, dan muntah. Pasien perlu diberikan minum 50 ml/KgBB dalam 4 6 jam pertama. Setelah keadaan dehidrasi dapat teratasi, anak dapat diberikan cairan rumatan 80 100
17

ml/KgBB/hari dalam 24 jam berikutnya. Bayi yang masih minum ASI, tetap diberikan disamping larutan oralit. Bila terjadi kejang demam, disamping diberikan antipiretik, diberikan pula antikonvulsif selama masih demam.8 Masa kritis ialah pada atau setelah hari sakit yang ke 3 5 yang memperlihatkan penurunan tajam hitung trombosit dan peningkatan tajam hematokrit yang menunjukkan adanya kehilangan cairan, Observasi tanda vital, kadar hematokrit, trombosit dan jumlah urin 6 jam sekali (minimal 12 jam sekali) perlu dilakukan. Kunci keberhasilan pengobatan DBD ialah ketepatan volume replacement atau penggantian volume, sehingga dapat mencegah syok.8 Cairan intravena diperlukan apabila : 1. Anak terus muntah, tidak mau minum, demam tinggi sehingga tidak mungkin diberikan minum per oral 2. Nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala Pada pasien DBD derajat II apabila dijumpai demam tinggi, terus menerus selama < 7 hari tanpa sebab yang jelas, disertai tanda perdarahan spontan, disertai penurunan jumlah trombosit, dan peningkatan kadar hematokrit. Pada saat pasien datang, berikan cairan kristaloid 7 ml/KgBB/jam. Monitor tanda vital dan kadar hematokrit serta trombosit tiap 6 jam. Selanjutnya evaluasi 12 24 jam. Apabila selama observasi keadaan umum membaik, yaitu anak tampak tenang, tekanan nadi kuat, tekanan darah stabil, dan kadar PCV cenderung turun minimal dalam 2 kali pemeriksaan berturut turut, maka tetesan dikurangi menjadi 5 ml/KgBB/jam. Apabila dalam observasi selanjutnya tanda vital tetap stabil, tetesan dikurangi menjadi 3 ml/KgBB/jam dan akhirnya cairan dihentikan dalam 24 48 jam. Apabila keadaan klinis pasien tidak ada perbaikan, yaitu : anak tampak gelisah, nafas cepat, frekuensi nadi meningkat, deuresis kurang, tekanan nadi < 20 mmHg memburuk, serta peningkatan PCV, maka tetesan dinaikkan menjadi 10 ml/KgBB/jam. Apabila belum terjadi perbaikan setelah 12 jam, maka tetesan di naikkan menjadi 10 ml/KgBB/jam. Apabila belum terjadi perbaikan klinis setelah 12 jam, cairan dinaikkan menjadi 15 ml/KgBB/jam. Kemudian dievaluasi 12 jam lagi. Apabila tampak distress pernafasan menjadi lebih berat dan ht naik maka berikan koloid 10 20 ml/KgBB/jam, dengan jumlah maksimal 30 ml/KgBB. Namun bila Ht atau Hb turun, berikan tranfusi darah segar 10 ml/KgBB/jam. Bila terdapat asidosis, dari cairan total dikeluarkan dan diganti dengan larutan berisi 0,167 mol/liter Natrium bikarbonat (3/4 bagian berisi larutan NaCl 0,9 % + glukosa ditambah Natrium bikarbonat). Volume dan komposisi cairan yang diperlukan sesuai
18

seperti cairan untuk dehidrasi pada diare ringan sampai sedang, yaitu cairan rumatan ditambah deficit 6 % (5 8 %) seperti tertera pada tabel dibawah ini. Tabel 2. Kebutuhan Cairan pada Dehidrasi Sedang ( Defisit Cairan 5 8 %) Berat Waktu Masuk (Kg) < 7 Kg 7 11 Kg 12 18 Kg > 18 Kg Jumlah Cairan tiap hari 220 ml/KgBB/hari 165 ml/KgBB/hari 132 ml/KgBB/hari 88 ml/KgBB/hari

Sindroma syok dengue adalah DBD dengan gejala gelisah, nafas cepat, nadi teraba kecil, lembut atau tak teraba, tekanan nadi menyempit, bibir biru, tangan dan kaki dingin, dan tidak ada produksi urin. Langkah yang harus dilakukan adalah segera berikan infus kristaloid 20 ml/KgBB secepatnya dalam 30 menit dan oksigen 2 liter/menit. Untuk DSS berat 20 ml/KgBB/jam diberikan bersama koloid 10 20 ml/KgBB/jam. Observasi tensi dan nadi tiap 15 menit, hematokrit dan trombosit tiap 4 6 jam, serta periksa pula elektrolit dan gula darah.8 Apabila dalam waktu 30 menit syok belum teratasi, tetesan kristaloid belum dilanjutkan 20 ml/KgBB, ditambah plasma atau koloid sebanyak 10 20 ml/KgBB maksimal 30 ml/KgBB. Koloid ini diberikan pada jalur infus yang sama dengan kristaloid, diberikan secepatnya. Observasi keadaan umum, tekanan darah, keadaan nadi tiap 15 menit, dan periksa hematokrit tiap 4 6 jam. Lakukan pula koreksi terhadap asidosis, elektrolit, dan gula darah.8 Apabila syok teratasi disertai penurunan kadar Hb/Ht, tekanan nadi > 20 mmHg, nadi kuat, maka tetesan cairan dikurangi menjadi 10 ml/KgBB/jam dan dipertahankan hingga 24 jam atau sampai klinis stabil dan Ht menurun < 40%. Selanjutnya cairan diturunkan menjadi 7 ml/KgBB sampai keadaan klinis dan Ht stabil, kemudian secara bertahap diturunkan menjadi 5 ml/Kg/BB/jam dan seterusnya 3 ml/Kg/BB/jam. Dianjurkan pemberian cairan tidak melebihi 48 jam setelah syok teratasi. Apabila syok belum teratasi, sedangkan Ht menurun tapi masih > 40%, berikan darah dalam volume kecil 10 ml/KgBB. Apabila tampak perdarahan massif, berikan darah segar 20 ml/KgBB dan lanjutkan cairan kristaloid 10
19

ml/Kg/BB/jam. Pemasangan CVP pada syok berat kadang diperlukan, sedangkan pemasangan sonde lambung tidak dianjurkan Bila pada syok DBD tidak berhasil diatasi selama 30 menit dengan resusitasi kristaloid maka cairan koloid harus diberikan sebanyak 10 20 ml/kgBB/jam. Cairan koloid tersebut antara lain :8 1. Dekstan 2. Gelatin 3. Hydroxy Ethyl Starch (HES) 4. Fresh Frozen Plasma (FFP) Pemasangan CVP pada DBD tidak dianjurkan karena prosedur CVP bersifat traumatis untuk anak dengan trombositopenia, gangguan vaskular dan homeostasis sehingga mudah terjadi perdarahan dan infeksi, disamping prosedur pengerjaannya juga tidak mudah dan manfaatnya juga tidak banyak.8 Pemberian suspensi trombosit umumnya diperlukan dengan pertimbangan bila terjadi perdarahan secara klinis dan pada keadaan KID. Bila diperlukan suspensi trombosit maka pemberiannya diikuti dengan pemberian fresh frozen plasma (FFP) yang masih mengandung faktor-faktor pembekuan untuk mencegah agregasi trombosit yang lebih hebat. Bila kadar hemoglobin rendah dapat pula diberikan packed red cell (PRC). Setelah fase krisis terlampau, cairan ekstravaskular akan masuk kembali dalam intravaskular sehingga perlu dihentikan pemberian cairan intravena untuk mencegah terjadinya edem paru. Pada fase penyembuhan (setelah hari ketujuh) bila terdapat penurunan kadar hemoglobin, bukan berarti perdarahan tetapi terjadi hemodilusi sehingga kadar hemoglobin akan kembali ke awal seperti saat anak masih sehat. Pada anak yang awalnya menderita anemia akan tampak kadar hemoglobin rendah, hati-hati tidak perlu diberikan transfusi. Penatalaksanaan DBD disesuaikan dengan derajat terlampir sebagai berikut:1

20

Gambar 8. Tatalaksana infeksi virus Dengue pada kasus tersangka DBD.

Gambar 9. Tatalaksana tersangka DBD (rawat inap) atau demam Dengue.


21

Gambar 10. Tatalaksana kasus DBD derajat I dan II.

Gambar 11. Tatalaksana Kasus DBD derajat III dan IV atau DSS.
22

Kriteria memulangkan pasien antara lain:8 1. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik 2. Nafsu makan membaik 3. Tampak perbaikan secara klinis 4. Hematokrit stabil 5. Tiga hari setelah syok teratasi 6. Jumlah trombosit diatas 50.000/ml dan cenderung meningkat 7. Tidak dijumpai adanya distress pernafasan (akibat efusi pleura atau asidosis). i. Prognosis Bila tidak disertai renjatan dalam 24 36 jam, biasanya prognosis akan menjadi baik. Kalau lebih dari 36 jam belum ada tanda perbaikan, kemungkinan sembuh kecil dan prognosisnya menjadi buruk (Rampengan, 2008). Penyebab kematian Demam Berdarah Dengue cukup tinggi yaitu 41,5 %. (Soegijanto, 2001). Secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan antara jenis kelamin penderita demam berdarah dengue, tetapi kematian lebih banyak ditemukan pada anak perempuan daripada laki laki. Penyebab kematian tersebut antara lain (Rampengan, 2008) :9 1. Syok lama 2. Overhidrasi 3. Perdarahan masif 4. Demam Berdarah Dengue dengan syok yang disertai manifestasi yang tidak syok j. Komplikasi a. Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan maupun tanpa syok. Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan maupun tanpa syok, cenderung terjadi edema otak dan alkalosis, maka bila syok teratasi cairan diganti dengan cairan yang tidak mengandung HCO3-, dan jumlah cairan harus segera dikurangi. Larutan laktar ringer dekstrosa segera ditukar dengan larutan Nacl (0,9%) : glukosa (5%) = 3:1. untuk mengurangi edema otak diberikan kortikosteroid, tetapi bila terdapat perdarahan saluran cerna sebaiknya kortikosteroid tidak diberikan. Bila terdapat disfungsi hati, maka diberikan vitamin K intravena 3-10 mg selama 3 hari, kadar gula darah diusahakan >60 mg/dl, mencegah terjadinya peningkatan tekanan intrakranial dengan mengurangi jumlah cairan (bila perlu diberikan diuretik), koreksi asidosis dan elektrolit. Perawatan jalan nafas dengan pemberiaan oksigen yang adekuat. Untuk
23

mengurangi produksi amoniak dapat diberikan neomisin dan laktulosa. Pada DBD ensefalopati mudah terjadi infeksi bakteri sekunder, makaa untuk mencegah dapat diberikan antibiotik profilaksis (kombinasi ampisilin 100 mg/kgbb/hari + kloramfenikol 75 mg/kgbb/hari). Usahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan (misalnya antasid, anti muntah) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati.1 b. Kelainan Ginjal Kelainan ginjal akibat syok yang berkepanjangan dapat terjadi gagal ginjal akut. Dalam keadaan syok harus yakin benar bahwa penggantian volume intravascular telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum mencukupi 2 ml/kgbb/jam, sedangkan cairan yang diberikan sudah sesuai kebutuhan, maka selanjutnya furosemid 1 mg/kgbb dapat diberikan. Pemantauan tetap dilakukan untuk jumlah diuresis, kadar ureum, dan kreatinin. Tetapi apabila diuresis tetap belum mencukupi, pada umumnya syok juga belum dapat dikoreksi dengan baik, maka pemasangan CVP (central venous pressure) perlu dilakukan untuk pedoman pemberian cairan selanjutnya.1 c. Edema paru Edema paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat pemberian cairan yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari sakit ketiga sampai kelima sesuai panduan yang diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan edema paru oleh karena perembesan plasma masih terjadi. Tetapi pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari ruang ekstravaskular, apabila cairan diberikan berlebih (kesalahan terjadi bila hanya melihat penurunan hemoglobin dan hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit), pasien akan mengalami distress pernafasan, disertai sembab pada kelopak mata, dan ditunjang dengan gambaran edem paru pada foto roentgen dada. Gambaran edem paru harus dibedakan dengan perdarahan paru.1

24

BAB III PENUTUP Kesimpulan Infeksi virus dengue merupakan salah satu penyakit dengan vektor nyamuk (mosquito borne disease) yang paling penting di seluruh dunia terutama di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini mempunyai spektrum klinis dari asimptomatis, undifferentiated febrile illness, demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD), mencakup manifestasi paling berat yaitu sindrom syok dengue (dengue shock syndrome/DSS). Dalam menegakkan diagnosis dan memberikan pengobatan yang tepat, pemahaman mengenai perjalanan infeksi virus dengue harus dikuasai dengan baik. Pemantauan klinis dan laboratoris berkala merupakan kunci tatalaksanan DBD. Akhirnya dalam menegakkan diagnosis dan memberikan pengobatan pada kasus DBD perlu disesuaikan dengan kondisi pasien. Penanganan yang cepat tepat dan akurat akan dapat memberikan prognosis yang lebih baik.

25

DAFTAR PUSTAKA 1. Hadinegoro SRS, Soegijanto S, Wuryadi S, Suroso T. Tatalaksana demam berdarah dengue di Indonesia. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta: Departemen Kesehatan, 2006. h. 1-74. 2. Fadjari TH. Apa yang dokter anda tidak katakana tentang demam berdarah. Bandung: Konsulen spesialis penyakit dalam R.S. Hasan Sadikin FK UNPAD, 2010. h. 5-99. 3. Definisi demam hemorrhagic fever. Diunduh dari www.medscape.com, 20 Agustus 2013. 4. Candra A. Demam berdarah dengue: epidemiologi, pathogenesis dan faktor risiko penularan. Semarang: Staf pengajar FK-UNDIP, 2012. h. 110-19. 5. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Buku ajar infeksi dan pediatri tropis. Ed. 2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. h. 155-81. 6. World Health Organization. Demam berdarah dengue diagnosis, pengobatan, pencegahan, dan pengendalian/WHO; alih bahasa, Palupi Widyastuti; editor edisi bahasa Indonesia, Salmiyatun. Jakarta: EGC, 2004. h. 103-7. 7. Samsi TK. Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue di RS Sumber Waras. Cermin Dunia Kedokteran 2000; 126 : 5-13. 8. Soegijanto S. Penatalaksanaan demam berdarah dengue pada anak. Seminar penatalaksanaan DBD 2011. Tropical Disease Center (TDC). Surabaya: Universitas Airlangga, 2011. 9. Behrman, Kliegemen, Jenson. Nelson Textbook of Pediatrics 17th edition. Saunders. 2004.

26

Anda mungkin juga menyukai