Anda di halaman 1dari 20

DISKUSI KASUS

TENGGELAM (DROWNING) PEMERKOSAAN

Oleh : Kelompok II Lovita Meika Savitri Norma Rahayu Najihah Era Ajar Siswadika Ahmed Ram Firdause Hanis Aminah bt John M (0710710019) (0710710039) (0710710101) (0710714002) (0710714008)

Pembimbing : Dr. Tasmono Heni, SpF

LABORAORIUM ILMU KEDOKTERAN FORENSIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA RUMAH SAKIT Dr. SAIFUL ANWAR MALANG Januari, 2012

KASUS I PERKOSAAN 1.1 Laporan Kasus Inilah Kronologis Pemerkosaan di Dalam Mobil Angkot Bagus Santosa-Okezone.com Rabu, 14 September 2011 18:37 wib JAKARTA- Kasus pemerkosaan di dalam angkutan umum kembali terjadi. Setelah sebelumnya menimpa mahasiswi Binus, Livia Pavita Sulistio, di wilayah Jakarta Barat, kali ini peristiwa serupa dialami RS (28) seorang karyawan swasta. RS yang saat itu baru pulang bekerja diperkosa di dalam angkot D-02 Jurusan CiputatPondok Labu. Wakasat Lantas Polres Jakarta Selatan, Kompol Sungkono mengungkapkan, peristiwa berlangsung pada Kamis 1 September 2011 pukul 00.00 WIB. Korban yang baru turun dari bus Kopaja P-19 jurusan Tanah Abang-Ragunan kemudian diajak naik angkot D02 (Ciputat-Pondok Labu) yang ngetem di Cilandak. Padahal mobil angkot tersebut tidak melewati trayek ke rumah korban, di kawasan Pondok Gede, Jakarta Timur. "Di dalam mobil itu ada tiga penumpang dan satu sopir, mereka pelaku pemerkosanya," kata Sungkono, saat ditemui di kantornya, Rabu (14/9/2011). Korban, lanjut dia, ditawari sopir angkutan kota tersebut dan dijanjikan akan diantar hingga ke Pondok Gede. Namun ternyata saat dijalan, korban malah diperkosa secara bergilir. Seorang pelaku (A) menyuruh Korban membuka baju. "Tapi korban menolak dan akhirnya pelaku lainnya membekap (korban)," katanya. Sang sopir berinisial Y juga turut menjalankan aksi bejat tersebut secara bergantian dengan temannya. Korban diturunkan begitu saja oleh para pelaku di depan Komplek Marinir. "Korban dibawa mutar-mutar di Jalan TB Simatupang, Cilandak, depan Trakindo. Diperkosa dalam keadaan terikat saat mobil berjalan dan menyetel musik dengan suara besar. Saat diperkosa dia diancam dibunuh jika teriak," katanya. Selain diperkosa, barang berharga milik korban juga turut dibawa pelaku. "Blackberry Gemini dan esia milik korban diambil pelaku, dan korban diturunkan di situ," jelasnya. Dua minggu setelah peristiwa itu, korban yang masih mengingat wajah si sopir segera melaporkan kepada petugas lalu lintas terdekat. Penangkapan terhadap salah satu pelaku dilakukan Selasa malam sekira pukul 08.00. Korban saat itu secara tak sengaja melihat sopir angkot D-02 yang pernah memperkosanya. Mobil tersebut sedang ngetem di trafik light Lebak Bulus. Korban lantas mengadu ke polantas tedekat. "Tolong sopir itu ditangkap, dia yang perkosa saya," kata Sungkono menirukan gaya korban. Sang sopir sempat mencoba kabur, namun karena kondisi jalan macet, sopir tersebut berhasil diamankan oleh petugas polantas yang bertugas di lokasi. Sementara ketiga pelaku lainnya sedang dalam

pengejaran polisi. Para pelaku dijerat pasal 285 KUHP tentang tindak kekerasan dan pencabulan terhadap wanita dengan hukuman diatas lima tahun.

Kronologis Pemerkosaan Livia Pavita Soelistio Hingga Tewas di Angkot M24 Dunia Berita, Dunia Kriminal, Riva. Selasa, 30 Agustus 2011 Livia Pavita Soeslitio, mahasiswi Bina Nusantara (Binus) yang ditemukan tak bernyawa di kawasan Tangerang, Banten, diperkirakan tewas setelah diperkosa. Sebelumnya, sarjana jurusan Sastra Mandarin itu dicekik hingga lemas. Seperti dijelaskan Kapolres Jakarta Barat, Komisaris Besar Setija Junianta, pembunuhan itu melibatkan enam sopir angkot tembak M24 jurusan Slipi-Binus-Kebon Jeruk. Livia Pavita Soelistio, mahasiswi cantik Binus menghilang usai ikut ujian kelulusan. Setelah mengikuti sidang skripsi pada Selasa, 16 Agustus 2011, Livia bergegas pulang. Malang tidak dapat ditolak, wanita berambut lurus itu naik angkot yang berisi enam pelaku yang sejak awal sudah berencana melakukan perampokan. Dari pengakuan para tersangka, sejak awal pelaku memang sudah mempersiapkan diri untuk merampok, dan mengincar siapa saja wanita yang naik angkot mereka. Di dalam angkot itu berisi enam orang, dua naik di depan dan empat orang di belakang, ujar Setija Junianta, Jumat, 26 Agustus 2011. Sekitar pukul 13.00 WIB, Livia kebetulan naik angkot mereka. Tapi tidak berlangsung lama, pelaku langsung melakukan aksinya. Karena ada perlawanan, empat orang yang ada di bagian belakang langsung menyekap Livia. Tidak seimbang melawan empat orang. Ada indikasi Livia di cekik, setelah lemas, seluruh barang berhaganya diambil. Ada dua hp, dompet berisi uang tunai, tas dan benda berharga lain, kata Setija lagi. Para pelaku kemudian berputar-putar dan membawa Livia ke sebuah istal kuda di daerah Kemanggisan, Jakarta Barat. Di tempat ini, salah satu pelaku yang masih buron diduga memperkosa Livia hingga tewas. Dari keterangan pelaku ada dugaan Livia meninggal sesaat setelah diperkosa, kata Kapolres lagi. Dalam keadaan tak bernyawa, sekitar pukul 16.30 WIB, mayat Livia kemudian dibuang di kawasan Cisauk, Tangerang, Banten. Baru pada Minggu, 21 Agustus 2011, jenazah Livia ditemukan dalam kondisi yang susah dikenali lagi. Setelah melalui proses penyelidikan, identias Livia diketahui karena orangtua mengenali kalung berliontin Dewi Kwan Im. Polisi kemudian menelusuri dan memeriksa sejumlah saksi yang ada di sekitar tempat kos, kampus, dan tempat mayat Livia ditemukan. Ada saksi yang melihat korban naik angkot, petugas dibagai menjadi kelompok, untuk mencari informasi. Dari hp milik Livia akhirnya diketahui siapa pelakunya. Dalam waktu satu

pekan, empat pelaku ditangkap. Mereka adalah RH, sopir tembak, yang juga residivis, In, sopir tembak, SR, pedagang, dan AB, pedagang. Mereka diancama dengan Pasal 356, ancaman hukuman di atas lima tahun penjara 1.2 Tinjauan Pustaka 2.2.1. Definisi KUHP Pasal 285: "Barangsiapa yang dengan kekerasan atau dengan ancaman memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, karena perkosaan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun." KUHP Pasal 286: "Barangsiapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya, padahal diketahuinya bahwa perempuan itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan tahun." KUHP Pasal 287: "Barangsiapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya, padahal diketahuinya atau patut dapat disangkanya, bahwa umur perempuan itu belum cukup lima belas tahun atau, kalau tidak terang umurnya, bahwa perempuan itu belum pantas untuk dikawini, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan tahun. Berdasarkan kalimat di atas, terdapat unsur-unsur yang dapat mendefinisikan maksud pemerkosaan. Unsur-unsur tersebut ialah : 1) Bersetubuh, 2) Kekerasan/paksaan secara fisik, psikis, ataupun obat-obatan yang dapat membuat tidak berdaya, 3) Menyetubuhi bukan istri, dan 4) Menyetubuhi gadis di bawah umur (usia < 15 tahun dan belum datang haid pertama). Sehingga, yang dimaksud dengan pemerkosaan ialah pelanggaran hukum dalam hal menyetubuhi perempuan bukan istri ataupun perempuan di bawah umur dengan memaksa secara fisik, psikis, ataupun bantuan obat-obatan (Zahrah, 2011). Dalam bidang kedokteran forensik, tindakan pemerkosaan identik dengan persetubuhan yang kriminal, dimana persetubuhan didefinisikan sebagai masuknya alat kelamin laki-laki (penis) ke dalam liang vagina dengan atau tanpa mengeluarkan ejakulat (Melly, 2011). 2.2.2. Perawatan Klinis

Segera setelah terjadi kasus perkosaan, hal utama yang paling penting bagi korban adalah mencari tempat yang aman, di rumah korban, rumah teman atau anggota keluarga, karena keselamatan adalah prioritas. Setelah perasaan aman telah didapatkan, penting bagi korban untuk diberikan perawatan medis, dan sangat dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan forensik (Rainn, 2009).

Hazelwood dan Burgess dalam Kelly mengidentifikasikan lima elemen kunci respon kesehatan / tenaga medis pada kasus perkosaan dan kejahatan seksual:

Terapi dan dokumentasi luka; Pengumpulan bukti mediko-legal dan mempertahankan rangkaian bukti/petunjuk; Terapi dan evaluasi IMS (Infeksi Menular Seksual); Evaluasi dan mencegah resiko kehamilan; Intervensi krisis dan penyusunan jadwal konseling ke depan. Pemeriksaan forensik, hanya berhubungan dengan satu elemen di atas, yakni yang

berhubungan dengan bukti atau petunjuk dalam kasus, namun banyak juga wanita yang mencari ketenangan / jaminan keamanan, dan pada beberapa kasus membutuhkan terapi, penanganan luka, disamping kebutuhan informasi, tes kehamilan dan tes infeksi seksual. Ada empat tujuan dilakukannya pengumpulan bukti di bidang forensik, antara lain (Kelly, 2003):

Untuk mengidentifikasi pemerkosa (darah, air liur, semen, sel kulit untuk dilakukan tes DNA) ;

Untuk mengkonfirmasi kontak hubungan intim yang baru terjadi (luka/rasa sakit disekitar genital; air mani, saliva dan luka di bagian dalam)

Untuk mencari bukti adanya paksaan (dokumentasi dari luka internal dan eksternal, pakaian yang robek atau kotor, tes toksikologi yang positif);

Untuk memperkuat laporan korban (hasil temuan konsisten dengan cerita). (Kelly, 2003)
Tabel 1.

Untuk mendapatkan data sampel uji DNA yang memadai, korban sebaiknya berusaha atau mencegah agar benda-benda yang dimungkinkan mengandung DNA pelaku tetap terjaga. Usaha-usaha tersebut dapat berupa tindakan untuk tidak (Rainn, 2009):

Membersihkan atau menyiram diri sendiri Menggunakan toilet Mengganti pakaian

Menyisir rambut Membersihkan tempat kejadian perkara Memindahkan barang apapun yang mungkin telah disentuh pelaku

Walaupun korban belum memutuskan untuk melaporkan kasus kriminal tersebut, tindakan pemeriksaan forensik dan mengumpulkan bukti sebelum barang bukti rusak akan meningkatkan kesempatan polisi untuk dapat mengakses dan melakukan penyelidikan di kemudian hari, berdasarkan bukti yang tersedia. (Rainn, 2009)
2.2.3. Temuan Otopsi Bukti bahwa telah terjadi persetubuhan antara lain robekan himen/selaput dara (bagi korban yang sebelumnya perawan) dan ejakulat pria pada liang vagina. Pada himen dilihat apakah robekan masih baru atau sudah lama, yang berarti korban sudah beberapa hari datang setelah dugaan perkosaan. Ciri-ciri robekan baru ialah merah (hiperemis) di luar vagina, sedangkan robekan lama tidak merah seperti robekan baru. Dalam keadaan ini, pemeriksaan direkomendasikan kepada spesialis ginekologi. Pemeriksaan ejakulat pria di liang vagina korban dinilai untuk mengetahui apakah benar-benar terdapat sperma dan semen pada liang vagina. Pemeriksaan dilakukan dengan berbagai tes, seperti tes Berberio yang berfungsi untuk mendeteksi cairan semen dan sperma. Dengan cara ini, bahkan semen yang telah lama pun masih bisa dideteksi. Selain tes Berberio, ada sejumlah tes lain untuk mengidentifikasi ejakulat, seperti tes enzim fosfatase, tes florence, dan tes golongan darah. Setelah mengidentifikasi adanya bukti persetubuhan, yang penting untuk dinilai ialah bukti adanya pemaksaan atau kekerasan. Bukti kekerasan dapat berupa kerusakan fisik seperti kerusakan (lesi/lecet) pada vulva vagina. Selanjutnya penggalian informasi dengan anamnesis, adanya bukti psikis yang didapat dari korban seperti ancaman pistol/senjata tajam, serta ekpresi depresif dari korban dugaan perkosaan. Selain itu, keadaan korban saat ia menduga dirinya dipekosa juga harus diketahui dengan anamnesis, apabila korban pingsan, ketahui apa yang mengakibatkan pingsan seperti akibat hipnotis, narkotika, bius, dan sebagainya. Pemeriksaan area vagina, yang dilakukan oleh dokter ginekologi harus didampingi oleh saksi/perawat atau keluarga pasien. Pemeriksaan dilakukan sedini mungkin untuk menghindari hilangnya barang bukti (barang bukti berupa ejakulat dan temuan fisik, misalnya). Hal ini berfungsi agar menjamin validitas pemeriksaan. (Zahrah, 2011) 2.2.4. Sindroma Trauma Pemerkosaan Dari berbagai studi mengenai perkosaan yang telah dilakukan, studi yang dilakukan oleh Burgess dan Holmstrom pada tahun 1974 dipandang penting karena dapat

menjelaskan dengan cukup baik mengenai Rape Trauma Syndrome yaitu efek-efek traumatis yang dialami korban sesudah suatu peristiwa perkosaan. Pada studi ini, Burgess dan Holmstrom mengungkapkan adanya 2 fase dalam RTS yaitu (Widodo, 2006): a. Fase akut: Disorganisasi 1) Simptom psikologis Ada anggapan umum bahwa segera setelah mengalami peristiwa perkosaan, korban akan selalu menangis dan histeris. Sebuah studi di Boston menemukan hal yang berbeda. Sampai beberapa jam sesudah perkosaan korban akan menunjukkan bermacam-macam emosi secara ekstrim. Dalam beberapa wawancara yang kemudian dilakukan, korban menunjukkan 2 tipe emosi: ekspresif dan tertutup ( guarded). Selain karena faktor kepribadian, munculnya 2 tipe emosi ini juga dipengaruhi oleh lingkungan dan orang-orang yang berada di sekitar korban saat dilakukannya wawancara. Tidak seperti anggapan umum bahwa korban perkosaan akan merasakan malu dan bersalah, pada kenyataannya, perasaan utama yang yang dialami adalah takut. Ketakutan yang dirasakan adalah ketakutan akan penganiayaan fisik, mutilasi, dan kematian. Korban merasa sangat dekat dengan kematian dan merasa beruntung masih hidup. Perasaan-perasaan ketakutan inilah yang selanjutnya akan menjadi akar munculnya Rape Trauma Syndrome. Berbagai macam perasaan lain yang muncul antara lain adalah terhina, merasa buruk, bersalah, malu, dan dorongan menyalahkan diri, marah, serta keinginan untuk balas dendam. Seringkali, korban menyadari bahwa perasaan-perasaan negatif ini muncul dalam situasi yang tidak seharusnya. Misalnya marah berlebihan, terlalu mendisiplinkan anak, terlalu sensitif terhadap pembicaraan mengenai perkosaan, dsb. Gangguan psikologis lain tampak dari munculnya gangguan tidur dan munculnya berbagai mimpi buruk yang berkaitan dengan peristiwa perkosaan. Pada proses pikir, berbagai ingatan yang berkaitan dengan perkosaan yang terus mendatangi korban. Biasanya korban akan berusaha melakukan pemblokiran terhadap ingatan tersebut dan membawanya ke bawah sadar. Meskipun demikian, ingatan itu akan terus mendesak untuk menuju pada kesadaran (intrusive imagery). Ada keinginan kuat dari korban untuk berusaha berpikir kemungkinan mereka dapat lolos dari situasi perkosaan yang dialami dan menanganinya dengan cara yang berbeda. Umumnya, hasil dari pemikiran itu adalah bahwa mereka akan dipukul atau dibunuh jika tidak menuruti kehendak pelaku. 2) Simptom fisik Korban seringkali melaporkan simptom fisik pada area-area tubuh yang spesifik yang menjadi fokus serangan. Simptom pada tenggorokan dan leher sering dilaporkan pada

korban yang dipaksa melakukan oral seks. Korban yang dipaksa melakukan vaginal seks melaporkan adanya luka di vagina dan perasaan terbakar saat urinasi dan korban yang dipaksa melakukan anal seks mungkin melaporkan pendarahan dan luka di bagian rectum. b. The Long Process: Reorganization Perkosaan akan merusak kehidupan seseorang, tidak hanya dalam hitungan hari atau minggu namun bahkan bulan atau tahun. Dalam keseharian, setelah peristwa perkosaan berlalu relatif lama, korban mungkin terlihat telah menjalani kehidupan dengan wajar. Akan tetapi, jika kita memperhatikan dan mendengarkan pembicaraannya dengan cermat, akan tampak adanya luka psikologis yang sebelumnya tersembunyi. 1) Simptom fisik Dalam fase reorganisasi, ada berbagai gangguan fisik yang dialami seperti terganggunya fungsi tubuh pada area fisik yang terluka akibat perkosaan (keretakan/patah tulang, luka, trauma organ tubuh, dsb) serta gangguan fungsi ginekologis dan menstruasi (masalah vaginal kronis dan perubahan siklus menstruasi). 2) Simptom psikologis Selain muncul dalam fase disorganisasi, mimpi buruk sebagai suatu tanda adanya gangguan psikologis juga muncul dalam fase reorganisasi. Ada 3 tipe mimpi yang secara umum muncul yaitu: replikasi keadaan sebagai korban dan tidak berdaya (misal: saya memegang tongkat saya namun kemudian jatuh ke air), mimpi simbolis termasuk di dalamnya muncul tema mengenai perkosaan (misal: saya ditangkap dari belakang dan diperkosa), mimpi sebagai penguasa yang menunjukkan bahwa dirinya memiliki kekuatan untuk mengendalikan (misal:saya mengambil pisau dan menusuknya berkali-kali). Selain mimpi, korban juga sering mengalami ketakutan dan phobia. Ketakutan merupakan reaksi wajar untuk mengingatkan seseorang akan adanya suatu bahaya. Phobia merupakan reaksi yang maladaptive. Individu takut pada suatu kondisi yang secara objektif semestinya tidak menakutkan/mengancam. Korban perkosaan memiliki berbagai ketakutan dan phobia berkaitan dengan situasi sekitar ketika terjadi perkosaan. Misalnya saja ketakutan dan phobia berada di dalam ruangan ketika perkosaan terjdi di dalam ruangan atau ketakutan terhadap lift atau gedung tinggi karena perkosaan terjadi di lokasi tersebut. Selain itu, korban juga mungkin mengalami ketakutan atau phobia terhadap hal-hal yang dapat mengingatkannya kembali pada peristiwa pemerkosaan yang dialami misalnya tayangan kekerasan di televisi. Adanya bau napas yang khas dari pemerkosa (misal bau bir), ciri wajah khusus pelaku (misal berkumis) juga dapat memicu timbulnya phobia. Korban juga

sering menjadi paranoid (misalnya saat naik bis merasa bahwa semua orang mengenalnya sebagai korban perkosaan). 3) Simptom sosial Perkosaan berpotensi untuk merusak kehidupan normal korban. Banyak korban yang hanya mampu melakukan fungsi kehidupannya secara minimal meskipun telah melewati fase akut. Mereka kembali bersekolah atau bekerja namun tidak memiliki kemampuan involve dalam aktivitas yang dilakukannya. Seringkali muncul kebutuhan kuat untuk pergi. Korban yang memiliki kesempatan untuk hal ini akan pindah ke tempat lain. Seringkali korban juga melakukan beberapa perubahan dalam kehidupannya misalnya mengubah nomor telepon untuk

menghindari dikontak oleh pelaku. 2.2.5. Ancaman bagi Pelaku KUHP pasal 291 : (1) Kalau salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 286 , 287, 288, dan 290 itu berakibat luka berat, dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun. (2) Kalau salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 286 ,287 ,288 ,dan 290 itu berakibat matinya orang dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya 15 tahun. KUHP pasal 294 : Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya atau anak perliharaannya, anak yang dibawah pengawasannya, anak yang dibawah umur yang diserahkan kepadanya untuk dipelihara, dididiknya atau dijaganya, atau bujangnya atau orang yang dibawah umur, dihukum penjara selama-lamanya 7 tahun. Pelaku dapat dihukum maksimal selama 9 tahun penjara (pasal 286 KUHP) jika persetubuhan dilakukan terhadap wanita yang diketahui atau sepatutnya dapat diduga berusia dibawah 15 tahun atau belum pantas dikawin. (Melly, 2011) 1.3 Pembahasan Dua kasus yang telah dilaporkan pada sub bab 2.1, berdasarkan pengumpulan data yang diperoleh oleh polisi, dikategorikan sebagai tindak kriminal pemerkosaan. Karena kedua korban yang telah disebutkan, bukan merupakan istri dari pelaku, dan dilakukan pemaksaan terhadap salah satu korban, sedangkan yang lainnya dalam keadaan tidak sadarkan diri. Pengertian ini mengacu pada KUHP pasal 285 dan 286, seperti yang telah disebutkan di atas, yakni : KUHP Pasal 285 "Barangsiapa yang dengan kekerasan atau dengan ancaman memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, karena perkosaan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun."

KUHP Pasal 286 "Barangsiapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya, padahal diketahuinya bahwa perempuan itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan tahun." Untuk mendapatkan bukti yang adekuat, setelah terjadinya tindakan, seharusnya korban segera mencari pertolongan, di tempat yang aman, pertolongan medis, dan dilanjutkan pemeriksaan forensik. Korban I, setelah ditinggalkan dan ditolong oleh warga sekitar, tidak diketahui apakah dilakukan tindakan medis, dan pemeriksaan forensik atau tidak. Dengan dilakukannya pemeriksaan forensik, bukti kuat yang diberlakukan bagi pelaku yang baru dijumpai korban dua pekan kemudian akan lebih mudah diproses dan ditindak lanjuti, sesuai dengan pasal 285, dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun. Korban kedua, ditemukan beberapa hari setelah tindakan. Pada kasus ini, pelaku dikenai sanksi pasal 286 dengan ancaman hukuman maksimal 9 tahun. Namun, karena korban ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa, maka sesuai dengan pasal 291 ayat 2, pelaku dapat dihukum maksimal selama 15 tahun. Tidak ada data yang menyebutkan hasil pemeriksaan forensik pada kedua korban. Namun, apabila dilakukan pemeriksaan, maka hasil temuan yang mungkin didapatkan pada korban diantaranya: 1. Bukti terjadinya persetubuhan Pada pemeriksaan forensik, bukti bahwa telah terjadi persetubuhan, diantaranya robekan himen/selaput dara (bagi korban yang sebelumnya perawan) dan ejakulat pria pada liang vagina. Apabila pemeriksaan yang dilakukan pada korban terjadi dua pekan atau beberapa hari setelah terjadi tindakan, maka himen yang robek pada korban kemungkinan tidak lagi ditemukan kemerahan (tanda radang). Cairan ejakulat yang dapat menjadi bukti, juga akan hilang bila tidak segera dilakukan pemeriksaan, baik karena faktor pembersihan (membersihkan diri/mandi), dapat disebabkan faktor lain seperti gravitasi, yang membuat cairan keluar dari vagina. Namun, pada korban II yang ditemukan telah meninggal, masih terdapat kemungkinan ditemukan adanya cairan ejakulat sebagai indikasi yang menguatkan bahwa korban telah melakukan hubungan seksual. 2. Adanya tanda paksaan/kekerasan a. Psikis Beberapa hari hingga dua pekan waktu yang dialami korban, masuk dalam kategori fase akut dari sindroma trauma perkosaan. Emosi yang akan tampak pada korban biasanya ekspresif dan tertutup (guarded), dan rasa takut. Ketakutan yang dirasakan adalah ketakutan akan penganiayaan fisik, mutilasi, dan kematian.

b. Fisik Tanda Tanda kekerasan pada korban didapatkan karena upaya korban melepaskan diri dari pelaku. Tanda kekerasan dapat berupa luka-luka memar pada tangan, leher, kaki. Luka disebabkan pukulan, cekikan, cakaran, hingga dapat menyebabkan patah tulang, luka di daerah kemaluan (lesi/lecet pada vulva vagina) atau anus, penyakit menular seksual, dan kemungkinan kehamilan (Kembaren, 2010).

KASUS II TENGGELAM 2.1 Laporan Kasus

Satu Wisatawan Tewas Tenggelam Di Pantai Baron WONOSARI Awal tahun baru 2012 mencatat kabar duka di Pantai Baron, Gunungkidul. Seorang wisatawan tewas tenggelam di muara sungai kawasan sebelah barat pantai itu. Wisatawan tersebut diidentifikasi sebagai Gatot Suherman, 18, warga Dusun Bejono, Desa Beji, Ngawen, Gunungkidul. Korban ditemukan tim SAR pukul 13.20 WIB, Minggu (1/1/2012) dalam keadaan tidak bernyawa setelah petugas mencari dengan menyelam sekitar satu jam di muara Sungai Baron yang di kedalaman sekitar 3 meter. Setelah sempat disemayamkan di Posko SAR, jenazah korban kemudian dibawa pulang menuju rumah duka oleh keluarganya. Salah satu teman korban, Anton, 18, menceritakan ia bersama korban dengan lima rekan lainnya berangkat dari rumah menuju Pantai Baron untuk merayakan tahun baru. Sekitar pukul 10.00 WIB rombongan tersebut mencebur ke laut untuk mandi bersama. Sedang pukul 12.00 rombongan tersebut kemudian pindah mandi di sekitar muara sungai. Diduga karena tidak mengetahui kondisi sungai Gatot Suherman tenggelam. Menurut Anton, ia bersama seorang rekannya, Musthofa, 19, sempat berusaha menolong dengan mengangkat tubuh korban dari dalam air menuju ke atas. Saat itu korban masih bernyawa. Lantaran Musthofa yang saat itu menggunaka celana jins kesulitan untuk menyelam, ia naik untuk meminta bantuan SAR. Sementara Anton masih berusaha untuk menyelamatkan korban tetapi ia kehabisan nafas di dalam air sehingga kondisinya semakin lemah. Dia terpaksa melepaskan tubuh Gatot sembari menunggu bantuan. Waktu itu saya sudah kehabisan nafas sehingga tidak bisa menolong lagi kemudian saya menunggu bantuan tim SAR. Saat itu airnya dalam kondisi tenang tidak ada hantaman ombak tetapi memang air sedang pasang, terang Anton saat ditemui Harian Jogja di Posko SAR Baron. Korwil II SAR Gunungkidul, Sunyoto menjelaskan pihaknya sudah berulangkali mengimbau kepada para pengunjung melalui pengeras suara agar meningkatkan kewaspadaannya karena dalam beberapa pekan ini kondisi ombak lebih tinggi ketimbang biasanya. Meski demikian membludaknya pengunjung pantai Baron karena ditiadakannya penarikan retribusi oleh Disbudpar Gunungkidul membuatnya kesulitan untuk melakukan kontrol. Pengurus SAR lainnya, Sunardi bahkan memberikan peringatan melalui pengeras suara selama 5 menit sekali setelah ditemukannya korban tewas. Selain itu SAR juga menerima

banyak laporan informasi sejumlah orang hilang atau terpisah dengan anggota keluarga karena pengunjung mencapai puluhan ribu orang. Sementara itu, Kapolsek Tanjungsari, AKP Kaswadi menyatakan berdasarkan hasil identifikasi korban tewas tidak ditemukan tanda-tanda pengeniayaan di dalam tubuh korban sehingga pihaknya memastikan hal itu murni karena kecelakaan laut akibat tenggelam. JIBI/Harian Jogja/Sunartono 2.2 TINJAUAN PUSTAKA Tenggelam adalah penyebab signifikan kecacatan dan kematian. Tenggelam telah didefenisikan sebagai kematian sebelumnya sekunder untuk sesak napas sementara terbenam dalam suatu cairan, biasanya air, atau dalam waktu 24 jam perendaman. Pada Kongres Dunia 2002 yang diadakan di Amsterdam, sekelompok ahli menyarankan sebuah definisi konsensus baru untuk tenggelam dalam rangka mengurangi kebingungan atas jumlah istilah dan definisi (> 20) merujuk kepada proses ini yang telah muncul dalam literatur. Grup yang percaya bahwa definisi yang seragam akan memungkinkan analisa lebih akurat dan perbandingan studi, memungkinkan peneliti untuk menarik kesimpulan lebih bermakna dari mengumpulkan data, dan meningkatkan kemudahan kegiatan surveilans dan pencegahan (Shepherd, 2009). 2.2.1. Definisi Tenggelam Secara definisi tenggelam diartikan sebagai suatu keadaan tercekik dan mati yang disebabkan oleh terisinya paru dengan air atau bahan lain atau cairan sehingga pertukaran gas menjadi tidak mungkin. Sederhananya, tenggelam adalah merupakan akibat dari terbenamnya seluruh atau sebagian tubuh ke dalam cairan (Idries, 1997). 2.2.2. Jenis Tenggelam Tenggelam dibagi menjadi beberapa jenis antara lain (A) wet drowning, (B) dry drowning, (C) secondary drowning, dan (D) the immersion syndrome (cold water drowning) (Modi, 1988). Wet drowning adalah kematian tenggelam akibat terlalu banyaknya air yang terinhalasi. Pada kasus wet drowning ada tiga penyebab kematian yang terjadi, yaitu akibat asfiksia, fibrilasi ventrikel pada kasus tenggelam di air tawar, dan edema paru pada kasus tenggelam di air asin. Dry drowning adalah suatu kematian tenggelam dimana air yang terinhalasi sedikit. Penyebab kematian pada kasus ini sendiri dikarenakan terjadinya spasme laring yang menimbulkan asfiksia dan terjadinya refleks vagal, cardiac arrest, atau kolaps sirkulasi (Modi, 1988). Secondary drowning adalah suatu keadaan dimana terjadi gejala beberapa hari setelah korban tenggelam (dan diangkat dari dalam air) dan korban meninggal akibat komplikasi.

Immersion drowning adalah suatu keadaan dimana korban tiba-tiba meninggal setelah tenggelam dalam air dingin akibat refleks vagal. Pada umumnya alkohol dan makan terlalu banyak merupakan faktor pencetus pada kejadian ini (Modi, 1988). 2.2.3. Pemeriksaan pada Kasus Tenggelam 1. Pemeriksaan luar Penurunan suhu mayat, berlangsung cepat, rata-rata 50F per menit. Suhu tubuh akan sama dengan suhu lingkungan dalam waktu 5 atau 6 jam. Lebam mayat, akan tampak jelas pada dada bagian depan, leher dan kepala. Lebam mayat berwarna merah terang yang perlu dibedakan dengan lebam mayat yang terjadi pada keracunan CO. Pembusukan sering tampak, kulit berwarna kehijauan atau merah gelap. Pada pembusukan lanjut tampak gelembung-gelembung pembusukan, terutama bagian atas tubuh, dan skrotum serta penis pada pria dan labia mayora pada wanita, kulit telapak tangan dan kaki mengelupas. Gambaran kulit angsa (goose-flesh, cutis anserina), sering dijumpai; keadaan ini terjadi selama interval antara kematian somatik dan seluler, atau merupakan perubahan post mortal karena terjadinya rigor mortis. Cutis anserina tidak mempunyai nilai sebagai kriteria diagnostik. Busa halus putih yang berbentuk jamur (mushroom-like mass) tampak pada mulut atau hidung atau keduanya. Terbentuknya busa halus tersebut adalah masuknya cairan ke dalam saluran pernapasan merangsang terbentuknya mukus, substansi ini ketika bercampur dengan air dan surfaktan dari paru-paru dan terkocok oleh karena adanya upaya pernapasan yang hebat. Pembusukan akan merusak busa tersebut dan terbentuknya pseudofoam yang berwarna kemerahan yang berasal dari darah dan gas pembusukan. Perdarahan berbintik (petechial haemmorrhages), dapat ditemukan pada kedua kelopak mata, terutama kelopak mata bagian bawah. Pada pria genitalianya dapat membesar, ereksi atau semi-ereksi. Namun yang paling sering dijumpai adalah semi-ereksi. Pada lidah dapat ditemukan memar atau bekas gigitan, yang merupakan tanda bahwa korban berusaha untuk hidup, atau tanda sedang terjadi epilepsi, sebagai akibat dari masuknya korban ke dalam air. Cadaveric spasme, biasanya jarang dijumpai, dan dapat diartikan bahwa berusaha untuk tidak tenggelam, sebagaimana sering didapatkannya dahan, batu atau rumput yang tergenggam, adanya cadaveric spasme menunjukkan bahwa korban masih dalam keadaan hidup pada saat terbenam.

Luka-luka pada daerah wajah, tangan dan tungkai bagian depan dapat terjadi akibat persentuhan korban dengan dasar sungai, atau terkena benda-benda di sekitarnya; lukaluka tersebut seringkali mengeluarkan darah, sehingga tidak jarang memberi kesan korban dianiaya sebelum ditenggelamkan. Pada kasus bunuh diri dimana korban dari tempat yang tinggi terjun ke sungai, kematian dapat terjadi akibat benturan yang keras sehingga menyebabkan kerusakan pada kepala atau patahnya tulang leher. Bila korban yang tenggelam adalah bayi, maka dapat dipastikan bahwa kasusnya merupakan kasus pembunuhan. Bila seorang dewasa ditemukan mati dalam empang yang dangkal, maka harus dipikirkan kemungkinan adanya unsur tindak pidana, misalnya setelah diberi racun korban dilempar ke tempat tersebut dengan maksud mengacaukan penyidikan (Idries, 1997). 2. Pemeriksaan dalam Untuk sebagian kasus asfiksia merupakan penyebab umum terjadinya kematian ini. Hal tersebut dikarenakan air yang masuk ke paru-paru akan bercampur dengan udara dan lendir sehingga menghasilkan buih-buih halus yang memblok udara di vesikula. Dalam beberapa kasus, kematian dapat terjadi dari asfiksia obstruktif yang juga dikenal sebagai tenggelam kering yang disebabkan oleh kejang laring yang dibentuk oleh sejumlah kecil air yang memasuki laring. Pada beberapa kasus lainnya air tidak masuk ke paru-paru sehingga tanda-tanda klasik tenggelam tidak dapat kita temukan (Modi, 1988) Sebelum kita melakukan pemeriksaan dalam pada korban tenggelam, kita harus memperhatikan apakah mayat korban tersebut sudah dalam keadaan pembusukan lanjut atau belum. Apabila keadaan mayat telah mengalami pembusukan lanjut, maka pemeriksaan dan pengambilan kesimpulan akan menjadi lebih sulit. Pemeriksaan terutama ditujukan pada sistem pernapasan, busa halus putih dapat mengisi trakhea dan cabang-cabangnya, air juga dapat ditemukan, demikian pula halnya dengan benda-benda asing yang ikut terinhalasi bersama air. Benda asing dalam trakhea dapat tampak secara makroskopik misalnya pasir, lumpur, binatang air, tumbuhan air dan sebagainya. Sedangkan yang tampak secara mikroskopik diantaranya telur cacing dan diatome (Idries, 1997). Diatome adalah sejenis ganggang yang mempunyai dinding dari silikat. Silikat ini tahan terhadap pemanasan dan asam keras. Diatome dijumpai di air tawar, air laut, sungai, sumur, dan lain-lain. Pada korban mati tenggelam diatome akan masuk ke dalam saluran pernafasan dan saluran pencernaan, karena ukurannya yang sangat kecil, ia di absorpsi dan mengikuti aliran darah. Diatome ini dapat sampai ke hati, paru, otak, ginjal, dan sumsum tulang. Bila diatome positif berarti korban masih hidup sewaktu tenggelam.

Oleh karena banyak terdapat di alam dan tergantung musim, maka tidak ditemukannya diatome tidak dapat menyingkirkan bahwa korban bukan mati tenggelam. Relevansi diatome terbatas pada tenggelam dengan mekanisme asfiksia. Cara pemeriksaan diatome adalah : 1. Ambil jaringan paru sebanyak 150-200 gram, bersihkan lalu masukkan ke dalam tabung Erlenmeyer, masukkan H2SO4 pekat sampai menutup seluruh jaringan paru dan biarkan selama 24 jam sehingga seluruh jaringan paru hancur dan seperti bubur hitam. 2. Panaskan dengan api yang kecil sampai mendidih sehingga semuanya benar-benar hancur. 3. Tuangkan ke dalamnya beberapa tetes HNO3 pekat, sampai warnanya kuning jernih. 4. Cairan disentrifuge selama 15 menit dengan kecepatan 3000 rpm. 5. Sedimennya dicuci dengan akuades kemudian disentrifuge lagi. Sedimennya dilihat dibawah mikroskop. Periksalah kerangka diatome yang berupa sel-sel yang cerah dengan dinding bergaris-garis bentuk bulat, panjang, dan lain-lain (Modi, 1988).

Pleura juga dapat kita temukan pada pemeriksaan kasus ini. Pleura yang ditemukan dapat berwarna kemerahan dan terdapat bintik-bintik perdarahan, perdarahan ini dapat terjadi karena adanya kompresi terhadap septum inter alveoli atau oleh karena terjadinya fase konvulsi akibat kekurangan oksigen. Bercak perdarahan yang besar (diameter 3-5 cm), terjadi karena robeknya partisi interalveolar dan sering terlihat di bawah pleura. Bercak ini disebut bercak Paltouf yang ditemukan pada tahun 1882 dan diberi nama sesuai dengan nama yang pertama mencatat kelainan tersebut. Bercak paltouf berwarna biru kemerahan dan banyak terlihat pada bagian bawah paru-paru, yaitu pada permukaan anterior dan permukaan antar bagian paru-paru. (Spitz, 1997). Kongesti pada laring merupakan kelainan yang berarti, paru-paru biasanya sangat mengembang, seringkali menutupi perikardium dan pada permukaan tampak adanya jejas dari tulang iga, pada perabaan kenyal. Edema dan kongesti paru-paru dapat sangat hebat sehingga beratnya dapat mencapai 7001000 gram, dimana berat paru-paru normal adalah sekitar 250-300 gram (Williams, 1998). Paru-paru pucat dengan diselingi bercak-bercak merah di antara daerah yang berwarna kelabu. Pada pengirisan tampak banyak cairan merah kehitaman bercampur buih keluar dari penampang tersebut, yang pada keadaan paru-paru normal, keluarnya cairan bercampur busa tersebut baru tampak setelah dipijat dengan dua jari. Gambaran paru-paru seperti tersebut diatas dikenal dengan nama emphysema aquosum atau emphysema hydroaerique.

Obstruksi pada sirkulasi paru-paru akan menyebabkan distensi jantung kanan dan pembuluh vena besar dan keduanya penuh berisi darah yang berwarna merah gelap dan cair, tidak ada bekuan (Idries, 1997). 2.3 PEMBAHASAN Mekanisme kematian pada tenggelam pada umumnya adalah asfiksia, mekanisme kematian yang dapat juga terjadi pada tenggelam adalah karena inhibisi vagal, dan spasme larynx. Adanya mekanisme kematian yang berbeda-beda pada tenggelam, akan memberi warna pada pemeriksaan mayat dan pemeriksaan laboratorium. Dengan kata lain kelainan yang didapatkan pada kasus tenggelam tergantung dari mekanisme kematiannya (Idries dkk., 1997) Kasus ini dapat dikategorikan sebagai wet drowning (typical drowning), yaitu kematian tenggelam akibat terlalu banyaknya air yang terinhalasi. Pada kasus wet drowning ada tiga penyebab kematian yang terjadi, yaitu akibat asfiksia, fibrilasi ventrikel pada kasus tenggelam di air tawar, dan edema paru pada kasus tenggelam di air asin. Gatot Suherman ditemukan tim SAR pukul 13.20 WIB, Minggu (1/1/2012) dalam keadaan tidak bernyawa di Pantai Baron, Gunungkidul. Terdapat empat mekanisme tenggelam di air asin, antara lain terjadi (1) hemokonsentrasi, cairan dari sirkulasi dapat tertarik keluar sampai sekitar 42 persen, dan masuk ke dalam jaringan paru-paru, sehingga terjadi edema pulmonum yang hebat dalam waktu yang relatip singkat, (2) pertukaran elektrolit dari air asin ke dalam darah mengakibatkan meningkatnya hematokrit dan peningkatan kadar natrium plasma, (3) fibrilasi ventrikel tidak terjadi; terjadinya anoksia pada myocardium dan disertai peningkatan viskositas darah, akan menyebabkan terjadinya payah jantung, (4) tidak terjadi hemolisis, melainkan hemokonsentrasi; tekanan sistolik akan menetap dalam beberapa menit (Idries dkk., 1997). Dari pemeriksaan luar pada korban, kemungkinan temuan yang didapatkan pada korban antara lain: 1. Penurunan suhu mayat (algor mortis) yang berlangsung cepat. Dalam waktu 5 atau 6 jam, maka suhu korban ini akan sama dengan suhu lingkungan. 2. Lebam mayat (livor mortis), akan tampak jelas pada dada bagian depan, leher dan kepala; lebam mayat berwarna merah terang. 3. Pembusukan dengan kulit berwana kehijauan atau merah gelap; bila pembusukan sudah terjadi lebih lanjut maka dapat tampak gelembung-gelembung pembusukan, terutama pada bagian atas tubuh dan pada skrotum serta penis korban, dan pengelupasan kulit telapak tangan dan kaki.

4. Gambaran kulit angsa (goose-flesh, cutis anserina) yang terjadi selama interval antara kematian somatik dan seluler, atau merupakan perubahan post-mortal karena terjadinya rigor mortis pada mm. erector pili. 5. Busa halus putih yang berbentuk jamur (mushroom-like mass) pada mulut atau hidung atau keduanya. Busa ini merupakan campuran anatara mukus, air, dan surfaktan dari paru-paru yang terkocok oleh karena adanya upaya pernapasan yang hebat 6. Perdarahan berbintik (petechial haemmorrhages) pada kedua kelopak mata, terutama kelopak mata bagian bawah. 7. Genitalia dapat membesar, ereksi atau semi-ereksi. Namun yang paling sering dijumpai adalah semi-ereksi. 8. Memar atau bekas gigitan pada lidah, yang merupakan tanda bahwa korban berusaha untuk hidup, atau tanda sedang terjadi epilepsi, sebagai akibat dari masuknya korban ke dalam air. Sebelum kita melakukan pemeriksaan dalam pada korban tenggelam, kita harus memperhatikan apakah mayat korban tersebut sudah dalam keadaan pembusukan lanjut atau belum. Apabila keadaan mayat telah mengalami pembusukan lanjut, maka pemeriksaan dan pengambilan kesimpulan akan menjadi lebih sulit. Untuk sebagian kasus asfiksia merupakan penyebab umum terjadinya kematian ini. Hal tersebut dikarenakan air yang masuk ke paru-paru akan bercampur dengan udara dan lendir sehingga menghasilkan buih-buih halus yang memblok udara di vesikula. Dalam beberapa kasus, kematian dapat terjadi dari asfiksia obstruktif yang juga dikenal sebagai tenggelam kering yang disebabkan oleh kejang laring yang dibentuk oleh sejumlah kecil air yang memasuki laring. Pada beberapa kasus lainnya air tidak masuk ke paru-paru sehingga tanda-tanda klasik tenggelam tidak dapat kita temukan. Dari pemeriksaan dalam pada korban, kemungkinan temuan yang didapatkan pada korban antara lain: 1. Busa halus putih dapat mengisi trakhea dan cabang-cabangnya, air juga dapat ditemukan, demikian pula halnya dengan benda-benda asing yang ikut terinhalasi bersama air. 2. Benda asing dalam trakhea yang tampak secara makroskopik misalnya pasir, lumpur, binatang air, tumbuhan air dan sebagainya. Sedangkan yang tampak secara mikroskopik diantaranya telur cacing dan diatome. Diatome adalah sejenis ganggang yang mempunyai dinding dari silikat. Silikat ini tahan terhadap pemanasan dan asam keras. Diatome dijumpai di air tawar, air laut, sungai, sumur, dan lain-lain. Pada korban mati tenggelam diatome akan masuk ke dalam saluran pernafasan dan saluran pencernaan, karena ukurannya yang sangat kecil, ia di absorpsi dan mengikuti aliran darah. Diatome ini dapat sampai ke hati, paru, otak, ginjal, dan sumsum tulang. Bila

diatome positif berarti korban masih hidup sewaktu tenggelam. Pemeriksaan diatome dikatakan positip bila dari sediaan paru-paru dapat ditemukan diatomae sebanyak 5 per LPB; atau bila dari sumsum tulang sebanyak 1 per LPB. Oleh karena banyak terdapat di alam dan tergantung musim, maka tidak ditemukannya diatome tidak dapat menyingkirkan bahwa korban bukan mati tenggelam. Relevansi diatome terbatas pada tenggelam dengan mekanisme asfiksia. 3. Pleura berwarna kemerahan dan terdapat bintik-bintik perdarahan, perdarahan ini dapat terjadi karena adanya kompresi terhadap septum inter alveoli atau oleh karena terjadinya fase konvulsi akibat kekurangan oksigen. 4. Bercak perdarahan yang besar dengan diameter 3-5 cm (bercak Paltouf), terjadi karena robeknya partisi interalveolar dan sering terlihat di bawah pleura. Bercak paltouf berwarna biru kemerahan dan banyak terlihat pada bagian bawah paru-paru, yaitu pada permukaan anterior dan permukaan antar bagian paru-paru. 5. Kongesti pada laring, yang merupakan kelainan berarti, dimana paru-paru biasanya sangat mengembang, seringkali menutupi perikardium dan pada permukaan tampak adanya jejas dari tulang iga, pada perabaan kenyal. 6. Edema dan kongesti paru-paru dapat sangat hebat sehingga beratnya dapat mencapai 700-1000 gram, dimana berat paru-paru normal adalah sekitar 250-300 gram 7. Paru-paru pucat dengan diselingi bercak-bercak merah di antara daerah yang berwarna kelabu. Pada pengirisan tampak banyak cairan merah kehitaman bercampur buih keluar dari penampang tersebut, yang pada keadaan paru-paru normal, keluarnya cairan bercampur busa tersebut baru tampak setelah dipijat dengan dua jari. Gambaran paruparu seperti tersebut diatas dikenal dengan nama emphysema aquosum atau emphysema hydroaerique. 8. Distensi jantung kanan dan pembuluh vena besar dan keduanya penuh berisi darah yang berwarna merah gelap dan cair, namun tidak ada bekuan akibat obstruksi pada sirkulasi paru-paru. Untuk mengembangkan temuan-temuan yang telah ditemukan pada korban, dapat dilakukan beberapa tes kimiawi serta analisis lebih lanjut, antara lain tes Gettler, tes Durlacher, dan tes Polson dan Gee disertai analisis diatome dan isi lambung yang bersifat menunjang.

DAFTAR PUSTAKA

Kelly L, Regan L. 2003. Good Practice in Medical Responses to Recently Reported Rape, Especially Forensic Examinations. London: London Metropolitan University Press

Kembaren L. 2010. Menjadi Korban Pemerkosaan Bukanlah Akhir Segalanya. (online). http://doktersehat.com/menjadi-korban-pemerkosaan-bukanlah-akhir-segalanya/. Diakses pada tanggal 9 Januari 2012

Melly.

2011.

Pendahuluan.

(online).

http://www.scribd.com/doc/76566960/Bab-i-

Pendahuluan. Diakses pada tanggal 9 Januari 2012

Rainn.

2009.

Preserving

and

Collecting

Forensic

Evidence.

(online).

http://www.rainn.org/get-information/aftermath-of-sexual-assault/preserving-andcollecting-forensic-evidence. Diakses pada tanggal 9 Januari 2012.

Spitz W.U.; Fisher, R.S : Medicolegal Investigation Of Death ed.2 Charles Thomas Publ., 1997.

Widodo HY. 2006. Rape Trauma Syndrome Dalam Perspektif Psikologi Dan Hukum. (online). http://www.freewebs.com/heri_rts/. Diakses pada tanggal 9 Januari 2012

Zahrah R. 2011. Segi Pemeriksaan Kasus Pemerkosaan Dalam Bidang Forensik. (online). http://terselubungsekali.blogspot.com/2011/04/segi-pemeriksaan-kasuspemerkosaan.html. Diakses pada tanggal 9 januari 2012

Anda mungkin juga menyukai