Anda di halaman 1dari 4

LARINGITIS TUBERKULOSIS

Oleh: Dimas Satya Hendarta,S.Ked Dokter Muda Angkatan 2003 Fakultas Kedokteran UII Medical Study Club (MiSC) Respiratory fkuii.org Dedicated for dr.Eko Tavip Riyadi,Sp.THT,M.Kes, as my great supervisor in ENT Department of Wonogiri General Hospital Pendahuluan Laringitis tuberkulosis merupakan peradangan laring yang hampir selalu merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis paru aktif (Lee, 2003). Ballenger (1994) memaparkan bahwa dahulu penyakit ini banyak ditemukan pada kelompok usia muda (20-40 tahun), namun dalam 20 tahun terakhir insidensinya meningkat secara nyata pada kelompok umur 60 tahun dan lebih sering terjadi pada laki-laki usia lanjut dengan keadaan ekonomi dan kesehatan yang buruk, serta banyak di antaranya adalah peminum alkohol. Di Indonesia, belum terdapat publikasi data epidemiologi laringitis tuberkulosis yang mencakup skala nasional. Penelitian oleh Purnanta (2005) di RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 5 tahun (Januari 2000-Desember 2004) didapatkan 15 pasien dengan diagnosis laryngitis tuberculosis. Insidensi terbanyak adalah pada kelompok umur 60-69 tahun (30%), sedangkan perbandingan pada jenis kelamin pasien perempuan dan laki-laki adalah 45%:55%.

Etiopatogenesis Laringitis tuberkulosis disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini hampir selalu merupakan komplikasi tuberkulosis paru aktif. Penelitian oleh Bailey menyebutkan bahwa hanya 6% dari 37 pasien laringitis tuberkulosis yang tidak disertai dengan keterlibatan tuberculosis paru (Purnanta, 2005). Hermani dan Abdurrachman (2004) menyebutkan bahwa infeksi Mycobacterium tuberculosis ke laring dapat terjadi melalui udara pernafasan, sputum, ataupun aliran darah dan limfa yang membawa bakteri tersebut. Invasi ke laring oleh Mycobacterium tuberculosis selanjutnya mencetuskan terjadinya laringitis dan menimbulkan gangguan

LARINGITIS TUBERKULOSIS, article by MiSC Respiratory fkuii.org

sirkulasi sehingga dapat terjadi edema pada fosa interaritenoid, korda vokalis, plika ventrikularis, epiglotis, serta subglotis. Menurut Lee (2003), lokasi tuberkulosis laring yang paling sering adalah pada posterior laring, yaitu pada lipatan interaritenoid. Lokasi paling sering berikutnya adalah pada permukaan epiglotis. Sedangkan penelitian oleh Purnanta (2005), menunjukkan lokasi tersering laringitis tuberkulosis adalah pada korda vokalis (30%), tepatnya di bagian posterior korda vokalis.

Stadium Klinis Secara klinis menurut Hermani dan Abdurrachman (2004) laringitis tuberkulosis terbagi dalam 4 stadium, yaitu: 1. Stadium Infiltrasi Awal stadium ini ditandai dengan pembengkakan dan hiperemis pada mukosa laring posterior, pada beberapa kasus korda vokalis juga dapat terkena. Selain itu mukosa laring berwarna pucat. Pada tahap selanjutnya di daerah submukosa terbentuk tuberkel-tuberkel yang menyebabkan mukosa tidak rata dan tampak berbintik-bintik kebiruan. Makin lama tuberkel kian membesar dan beberapa di antaranya yang berdekatan menyatu sehingga mukosa di atasnya meregang. Apabila regangan makin kuat, mukosa dapat robek dan timbul ulkus. 2. Stadium Ulserasi Ulkus yang timbul pada akhir stadium infiltrasi dapat membesar dan memiliki karakter dangkal dengan dasar yang ditutupi perkejuan, selain itu juga dirasakan sangat nyeri oleh pasien. 3. Stadium Perikondritis Pada stadium ini ulkus makin dalam sehingga mengenai kartilago laring (paling sering terkena adalah kartilago aritenoid dan epiglotis). Akibatnya terjadi destruksi kartilago dan terbentuk pus yang berbau. Proses peradangan akan berlanjut dan terbentuk squester. Keadaan umum pasien sudah sangat buruk bahkan dapat meninggal dunia.

LARINGITIS TUBERKULOSIS, article by MiSC Respiratory fkuii.org

4. Stadium Fibrotuberkulosis Pasien yang mampu bertahan dari stadium perikondritis masuk ke stadium terminal: stadium fibrotuberkulosis, di mana terbentuk

fibrotuberkulosis pada dinding posterior, korda vokalis, dan subglotik.

Manifestasi Klinis Manifestasi klinis laringitis tuberkulosis menurut Lee (2003), meliputi: 1. Hoarseness, dapat berlangsung selama berminggu-minggu 2. Hemoptisis 3. Disfagia (sering ditemukan pada pasien) 4. Pada beberapa kasus dapat ditemukan dispnea akibat edema laring dan kontraksi jaringan ataupun destruksi di bawah kartilago. Sedangkan penelitian oleh Purwanta (2005) menunjukkan bahwa hoarseness merupakan manifestasi klinis yang paling sering ditemukan (73%). Durasi munculnya hoarseness umumnya berlangsung selama 3 bulan (53%) dan antara 3-6 bulan (30%)

Penegakan Diagnosis dan Diagnosis Banding Penegakan diagnosis laringitis tuberkulosis selain dari anamnesis, pemeriksaan klinis dengan laringoskopi direct maupun indirect, juga diperlukan pemeriksaan penunjang laboratorium (BTA sputum), foto roentgen thorax (dilakukan sedini mungkin), dan patologi anatomi (Lee, 2003). Secara umum dapat disebutkan bahwa pemeriksaan lab dan radiologi terutama ditujukan untuk menemukan penyakit tuberkulosis paru pada pasien suspek laringitis tuberkulosis, sedangkan temuan spesifik untuk laringitis tuberkulosis sendiri tidak ada. Menurut Ballenger (1994), secara histopatologi dikenal dua macam lesi pada laringitis tuberkulosis, yaitu: lesi eksudatif (ditandai fase inflamasi akut difus dengan infiltrasi rongga subepitel oleh sel-sel eksudat non spesifik) dan lesi produktif (ditandai dengan tuberkel avaskular berisi daerah perkejuan di tengah yang dikelilingi sel epiteloid dengan sel mononukleus pada perifer).

LARINGITIS TUBERKULOSIS, article by MiSC Respiratory fkuii.org

Laringitis tuberkulosis harus dibedakan dengan penyakit granulomatosis kronik laring lainnya dengan gejala yang mirip, yaitu: lupus laring, laringitis luetika, laringitis lepra, dan karsinoma laring.

Penatalaksanaan Terapi laringitis tuberkulosis pada dasarnya ditujukan terhadap penyakit tuberkulosis paru yang diderita, yaitu dengan pemberian obat-obatan anti tuberkulosis. Selain itu bila diperlukan juga dapat ditambahkan analgesik opioid ataupun injeksi nervus laring superior dengan procaine (novocaine) untuk menghilangkan rasa nyeri. Bila terdapat obstruksi jalan nafas perlu dipertimbangkan untuk melakukan trakeostomi. Bedah definitif diperlukan untuk fiksasi sendi krikoaritenoid bilateral yang menimbulkan obstruksi dan disfungsi glotis. Selama pengobatan berlangsung pasien diwajibkan istirahat suara/voice rest (Lee,2003).

Prognosis Menurut Hermani dan Abdurrachman (2004), prognosis laringitis tuberkulosis dipengaruhi oleh keadaan sosial ekonomi, kebiasaan hidup sehat, dan ketekunan pasien dalam berobat. Lee (2003) menyebutkan bahwa prognosis yang baik dapat dicapai bila penyakit didiagnosis dan diobati pada stadium dini, namun bila terdapat manifestasi lokal dan keterlibatan kartilago maka prognosis akan lebih buruk.

Daftar Pustaka 1. Ballenger, J.J., 1993. Diseases of Nose, Throat, Ear, Head and Neck. Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,1994 (Alih Bahasa), Binarupa Aksara, Jakarta 2. Hermani, B., Abdurrachman, H., 2004, Buku Ajar Ilmu Kesehatan TelingaHidung-Tenggorok Kepala Leher (5th edition), Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 3. Lee, K.J., 2003, Essential Otolaryngology: Head and Neck Surgery (8th edition), McGraw-Hill Companies,inc., United States of America 4. Purnanta, M.A., 2005. Laryngitis Tuberculosa in ENT Department Dr.Sardjito Hospital Yogyakarta Year 2000-2004. http://digilib.litbang.depkes.go.id/go.php? id=jkpkbppk-gdl-res-2005-marief-2080-laryngitis&q=sardjito

LARINGITIS TUBERKULOSIS, article by MiSC Respiratory fkuii.org

Anda mungkin juga menyukai