Anda di halaman 1dari 13

PEMBAHASAN

1. Makna Keragaman Makna Keragaman Keragaman berasal dari kata ragam. Dalam kamus besar bahasa indonesia ragam berarti : 1) Tingkah, laku, ulah, 2) Macam, jenis, 3) Lagu, musik langgam, 4) Warna, corak, ragi. Sedangkan keragaman sendiri berarti : 1) Perihal berjenis-jenis atau beragam-ragam, 2) Keadaan beragam-ragam. Ragam juga dapat diartikan bersatu hati, rukun sehingga keragaman berarti kerukunan. 2. UNSUR-UNSUR KERAGAMAN DALAM MASYARAKAT 1. Suku bangsa dan ras Suku bangsa yang menempati wilayah Indonesia dari sabang sampai merauke sangat beragam. Sedangkan perbedaan ras muncul karena adanya pengelompokan besar manusia yang memiliki ciri-ciri biologis lahiriah yang sama seperti rambut, warna kulit, ukuran tubuh, mata, ukuran kepala, dan lain sebagainya. 2. Agama dan keyakinan Agama mengandung arti ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Ikatan yang dimaksud berasal dari suatu kekuatan yang lebih tinggi dari manusia sebagai kekuatan gaib yang tak dapat ditangkap dengan panca indra. Dalam peraktiknya fungsi agama dalam masyarakat antara lain adalah : 1. Berfungsi edukatif : ajaran agama secara hukum berfungsi menyuruh dan melarang 2. Berfungsi penyelamat 3. Berfungsi sebagai perdamaian 4. Berfungsi sebagai Social control 5. Berfungsi sebagai pemupuk rasa solidaritas 6. Berfungsi transformatif
1

7. Berfungsi sublimatif 2. Ideologi dan politik Ideologi adalah suatu istilah umum bagi sebuah gagasan yang berpengaruh kuat terhadap tingkah laku dalam situasi khusus karena merupakan kaitan antara tindakan dan kepercayaan yang fundamental. 4. Tatakrama Tatakrama yang dianggap arti bahasa jawa yang berarti adat sopan santun, basa basi pada dasarnya ialah segala tindakan, perilaku, adat istiadat, tegur sapa, ucap dan cakap sesuai kaidah atau norma tertentu. 5. Kesenjangan ekonomi dan sosial Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk dengan bermacam tingkat, pangkat, dan strata sosial.

3. PENGARUH KERAGAMAN TERHADAP KEHIDUPAN BERAGAMA, BERMASYARAKAT, BERNEGARA, DAN KEHIDUPAN GLOBAL Pengaruh keragaman diantaranya adalah 1. Terjadinya segmentasi kedalam kelompok-kelompok yang seringkali memiliki kebudayaan yang berbeda. 2. Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi kedalam lembaga-lembaga yang bersifat non komplemeter. 3. Kurang mengembangkan konsesus diantara para anggota masyarakat tentang nilai-nilai sosial yang bersifat dasar. 4. Secara relatif sering kali terjadi konflik diantara kelompok yang satu dengan yang lainnya. 5. Secara relatif intergrasi sosial tumbuh diatas paksaan dan saling ketergantungan didalam bidang ekonomi. 6. Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok terhadap kelompok yang lain.

Jika keterbukaan dan kedewasaan sikap dikesampingkan, besar kemungkinan tercipta masalah-masalah yang menggoyahkan persatuan dan kesatuan bangsa seperti : 1. Disharmonisasi, adalah tidak adanya penyesuaian atas keragaman antara manusia dengan dunia lingkungannya. 2. Perilaku diskriminatif terhadap etnis atau kelompok masyarakat tertentu akan memunculkan masalah yang lain, yaitu kesenjangan dalam berbagai bidang yang tentu saja tidak menguntungkan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. 3. Eksklusivisme, rasialis, bersumber dari superioritas diri, alasannya dapat bermacam-macam, antara lain keyakinan bahwa secara kodrati ras/sukunya kelompoknya lebih tinggi dari ras/suku/kelompok lain.

Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk memperkecil masalah yang diakibatkan oleh pengaruh negative dari keragaman, yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. Semangat Religius Semangat Nasionalisme Semangat Fluralisme Dialog antar umat beragama Membangun suatu pola komunikasi untuk interaksi maupun konfigurasi hubungan antar agama, media, masa, dan harmonisasinya.

4. PROBLEMATIKA DISKRIMINASI Diskriminasi adalah setiap tindakan yang melakukan pembedaan terhadap seseorang atau sekelompok orang berdasarkan ras, agama, suku, etnis, kelompok, golongan, status, kelas sosial ekonomi, jenis kelamin, kondisi fisik, usia, orientasi seksual, pandangan ideologi, dan politik serta batas negara dan kebangsaan seseorang. Pasal 281 Ayat 2 UUD NKRI 1945 Telah menegaskan bahwa Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu .
3

Sementara itu Pasal 3 UU No 30 Tahun 1999 tentang HAM Telah menegaskan bahwa Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat yang sama dan sederajat Komunitas Internasional telah mengakui bahwa diskriminasi masih terjadi diberbagai belahan dunia, dan prinsip non diskriminasi harus mengawali kesepakatan antar bangsa untuk dapat hidup dalam kebebasan, keadilan, dan perdamaian. Pada dasarnya diskriminasi tidak terjadi begitu saja, akan tetapi karena adanya beberapa faktor penyebab antara lain adalah 1. Persaingan yang semakin ketat dalam berbagai bidang kehidupan, terutama ekonomi. 2. Adanya tekanan dan intimidasi yang biasanya dilakukan oleh kelompok yang dominan terhadap kelompok atau golongan yang lebih lemah. 3. Ketidak berdayaan golongan miskin akan intimidasi yang mereka dapatkan membuat mereka terus terpuruk dan menjadi korban diskriminasi. Dari kajian yang dilakukan terhadap berbagai kasus disintekrasi bangsa dan hancurnya sebuah negara, dapat disimpulkan adanya enam faktor utama yang sedikit demi sedikit bisa menjadi penyebab utama peruses itu, yaitu 1. 2. 3. 4. 5. 6. Kegagalan kepemimpinan Krisis ekonomi yang akut dan berlangsung lama Krisis politik Krisis sosial Demoralisasi tentara dan polisi Interfensi asing

Terciptanya Tungal Ika dalam masyarakat Bhineka dapat diwujudkan melalui Integrasi Kebudayaan atau Integrasi Nasional . Manusia Beradab dalam keragaman Dalam hal ini maka tedapat teori yang menunjukkan penyebab konflik di tengah masyarakat antara lain:

1. Teori hubungan masyarakat, memiliki pandangan bahwa konflik yang sering muncul ditengah masyarakat disebabkan polarisasi yang terus terjadi, ketidak percayaan dan permusuhan diantara kelompok yang berbeda, perbedaan bisa dilatarbelakangi SARA bahkan pilihan ideologi politiknya. 2. Teori identitas yang melihat bahwa konflik yang mengeras di masyarakat tidak lain disebabkan identitas yang terancam yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan masa lalu yang tidak terselesaikan 3. Teori kesalahfahaman antar budaya, teori ini melihat konflik disebabkan ketidakcocokan dalam cara-cara berkomunikasi diantara budaya yang berbeda. 4. Teori transformasi yang memfokuskan pada penyebab terjadi konflik adalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah sosial budaya dan ekonomi. Masyarakat merupakan suatu tempat terjadinya interaksi sosial antar individu dengan individu. Individu dengan kelompok, kelompok dengan kelompok lainnya yang membentuk suatu masyarakat yang lebih luas dan komplek keberagaman masyarakat tercipta karena adanya perbedaan suku bangsa atau etnik, keanekaragaman ras, keanekaragaman agama, perbedaan jenis kelamin dan keanekaragaman profesi. Keanekaragaman masyarakat adalah merupakan suatu keragaman dalam berbagai aktifitas sosial di masyarakat dalam bidang agama, jenis kelamin, profesi, etnis, suku yang tid ak mempersoalkan tinggi dan rendahnya yang berkuasa dan yang dikuasai, dan lain-lain Bentuk Keanekaragaman Masyarakat Adapun bentuk-bentuk keanekaragaman masyarakat dapat diklasifikasikan antara lain sebagai berikut : 1) Keanekaragaman Suku Bangsa Adanya suku bangsa terutama ditentukan oleh kesadaran kelompok dan pengakuan akan kesatuan kebudayaan dan persamaan asal usul. Sedangkan Antropologi N. Narol menentukan kriteria suku bangsa sebagai suatu kesatuan masyarakat yang dibatasi satu kawasan tertentu, me miliki satu logat bahasa, dibatasi secara politis administratif, batasannya ditentukan oleh rasa identitas penduduknya sendiri ditentukan oleh
5

kesatuan, ekologis, mengalami sejarah yang sama. 2) Keanekaragaman Ras Sebagai kelompok individu yang mempunyai cir i biologis yang berbeda dari kelompok lain, ras-ras banyak macamnya didunia ini. Setiap ras menempati kawasan tertentu. Ada ras kaokasoid, mengoloid, negroid dan lain sebagainya. Kemurnian ras sulit bertahan sebab percampuran antar ras semakin intensif dan tidak ada ras yang mampu mengisolasi diri dari ras lain. 3) Keanekaragaman Agama 5. Keanekaragaman agama dikarenakan adanya perbedaan cara penerimaan wahyu pada manusia satu sama lain. Hampir disemua negara ada lebih dari satu agama yang dipeluk. Antar pemeluk agama mempunyai ciri khas adat dan ritus yang berbeda-beda. Perbedaan ini tidak memicu perpecahan asal saja ada sikap toleran antar pemeluk. 4) Keanekaragaman Jenis Kelamin Perbedaan jenis kelamin ternyata membawa perbedaan nasib, keberuntungan, hak dan kewajiban tertentu, sekalipun digembor- gemborkan persamaan derajat, emansipasi, kemitraan lelaki dan perempuan, sebenarnya hal itu perlu dipertanyakan. Sosiolog Arief Bodiman, mempopulerkan istilah pembagian kerja secara seksual (the sexual divisionof labour). Istilah ini tak sekedar menggambarkan perbedaan jenis pekerjaan, tetapi secara implisit juga menunjukkan bahwa perempuan adalah pihak yang terkalahkan, terkuasai, terdominasi oleh struktur masyarakat yang dikuasai lelaki, selama berabad-abad, sampai-sampai perempuanlah merasa kalau didominasi. Bahkan mereka menerima hal itu sebagai sesuatu hal yang wajar. 5) Keanekaragaman Sosial Profesi Di masyarakat tradisional jenis pekerjaan homogen, kebanyakan petani. Sebaliknya, di masyarakat modern jenis pekerjaan (profesi) masih beragam, sebab tingkat dan jenis kemampuan serta pendidikan individu jauh lebih beragam ketimbang masyarakat tradisional .

Keragaman adalah takdir bagi kita, masyarakat Indonesia. Sehingga, keinginan untuk menyeragamankan masyarakat adalah kesia-siaan. Tragisnya, keragaman, khususnya agama, selalu menjadi lahan paling sensitif untuk melahirkan konflik. Konflik akibat keragaman alami. Menjadi masalah kemudian jika konflik tersebut bermuara pada aksi kekerasan. Perusakan harta benda, penganiayaan , bahkan pembunuhan. Artikel ini ingin mengkaji keragaman dari beberapa perspektif: personal, sosial dan institusional. Dengan cara itu, berharap kita sadar bahwa keragaman tidak sepantasnya menjadi sumber petaka, melah sebaliknya menjadi sumber daya untuk membangun bangsa lebih kuat dan bisa bersaing dengan nagara lain. Indonesia terdiri dari 17.504 pulau. Sekitar 11 ribu pulau dihuni oleh penduduk dengan 359 suku[1] dan 726 bahasa[2]. Mengacu pada PNPS no. 1 tahun 1969yang baru saja dipertahankan Mahkamah KonstitusiIndonesia memiliki lima agama resmi. Pada masa presiden Abdurahman Wahid, pemerintah mengakui Konghucu sebagai agama resmi. Meski hanya enam, di dalam masing-masing agama tersebut terdiri dari berbagai aliran yang berwujud dalam organisasi sosial. Begitu juga ratusan aliran kepercayaan hidup dan berkembang di Indonesia. Namun demikian, pengakuan kita akan keragaman baru nampak di permukaan. Selama 30 tahun, rezim Orde Baru merayakan keragaman dari segi fisik, dan pada saat bersamaan, menekan keragaman substansial dalam rangka menjaga stabilitas negara. Pengetahuan mengenai berbagai jenis suku, adat, budaya dan agama muncul dalam setiap pelajaran sekolah. Namun, keragaman hanya boleh memperkenalkan diri di ruang publik di bawah kuasa dan kendali rezim. Sehingga, harmoni sosial masyarakat kita sangat bergantung pada rezim Orde Baru. Ketika presiden Soeharto mundur, rezim Orde Baru runtuh, keragaman menjadi malapetaka. Keragaman menjadi sumber konflik yang berujung pada aksi kekerasan. Akar Keragaman: Dimensi Eksistensial Keragaman dalam pengertian paling radikal, menyangkut perbedaan antar manusia. Saya dan Anda berbeda. Masing-masing kita berbeda cara memandang dan memahami pemandangan yang ada di hadapan kita. Begitu juga dengan saudara sedarah pasti berbeda. Bahkan dua saudara kembar sekalipun, tak luput dari perbedaan. Manusia pada dasarnya unik. Pada titik tertentu, keunikannya tersebut tak terbandingkan dengan manusia lainya.
7

Perbedaan ini bermula dari keterbatasan pada diri manusia. Keterbatasan ini bukan sekedar berangkat dari keyakinan bahwa manusia adalah makhluk Tuhan yang terbatas. Keterbatasan manusia dapat kita telusuri secara empirik dari perangkat lunak yang menjadi dasar ekspresi manusia. Manusia lahir melalui tiga perangkat ini, panca indra, akal dan bahasa. Interaksi manusia atas dasar perangkat lunak tersebut, yang memiliki keterbatasan, melahirkan perbedaan pada saat menyatakan diri di ruang publik. Keterbatasan panca indera Pertama, panca indera. Panca indera pada masa pencerahan mula-mula dilirik sebagai sumber pengetahuan. David Hume bahkan menilai bahwa tidak ada pengetahuan tanpa pencerapan panca indera atau pengetahuan empirik. Hume meyakini bahwa tidak ada hukum kausalitas atau sebab akibat. Pengetahuan manusia adalah untaian pengalaman inderawi (Hume, 1955). Misalnya, kaca pecah setelah batu menyentuhnya, tidak berarti batu menyebabkan kaca pecah. Tetapi peristiwa batu berurutan dengan peristiwa pecahnya kaca. Namun begitu, pandangan Hume tidak cukup kokoh. Panca indera memiliki keterbatasannya sendiri. Keterbatasan panca indera terletak pada keterbatasan organ fisiknya. Mata hanya bisa memandang ada yang ada di hadapan dan dalam jarak pandangan tertentu. Telinga hanya bisa mendengar dalam jarak dan arah angin tententu. Demikian juga indera perasa, hanya bisa merasakan apa yang tersentuh oleh kulit. Bahkan kombinasi semua panca indera dalam mencerap objek terbatasi ruang dan waktu. Keterbatasan panca indera menyumbangkan banyak perbedaan dalam memahami sesuatu. Contoh paling terkenal adalah analogi tiga orang buta meraba gajah. Masing-masing diminta mendefinisikan gajah tersebut. Orang yang menyentuh badan gajah, dia mengatakan bahwa gajah itu keras dan besar. Orang kedua menyentuh kaki gajah dan menyatakan bahwa gajah itu bulat. Sementara orang ketiga memegang belalai dan menilai bahwa gajah itu panjang. Masing-masing berbeda tentang apa itu gajah lantaran keterbatasan indera rasa saat menyentuh gajah. Begitu juga ketika kita memahami ajaran agama. Kita tak ubahnya tiga orang buta tersebut. Meski kita punya perangkat lunak panca indea yang bisa kita
8

pakai untuk membaca literatur, kita tidak bisa mengelak dari keterbatasan panca indera. Sehingga hasil bacaan atas teks tersebut menghasilkan jawaban yang berbeda-beda. Bahkan analisis atas teks yang terang benderang sekali pun. Di sinilah letak keragaman bersumber: lantaran keterbatasan panca indera. Keterbatasan akal Kedua, akal. Akal lebih luas ketimbang panca indera. Jika indera tidak bisa mengatasi objek yang ia cerap pada ruang dan waktu yang berbeda, maka akal diyakini dapat mengatasi keterbatasan tersebut. Objek yang dicerap panca indera pada masa tertentu tersimpan pada memori. Sekumpulan memori kemudian menjadi dasar akal melakukan inferensi atau kesimpulan-kesimpulan. Melalui akalnya, manusia dapat mengerti prinsip-prinsip umum pola hubungan antar objek. Akal kemudian diyakini sebagai sumber pengatahuan utama. Rene Descartes, filsuf modern yang merumuskan pemikiran ini, melahirkan jargon terkenal: cogeto ergo sum [aku berpikir maka aku ada] (Descartes, 1977). Meski akal dapat melengkapi pencerapan panca indera, bukan berarti akal sempurna. Immanuel Kant, filsuf yang disebut-sebut sebagai puncak abad pencerahan (aufklarung), menunjukan keterbatasannya. Menurut Kant, akal terbatas pada 12 kategori. Akal hanya mampu melakukan inferensi manakala ia menggunakan kategori yang tersedia. Tanpa kategori-kategori, akal tidak berguna. Ia tidak lebih dari gudang data (Kant, 1965). Kelemahan akal melalui 12 kategori yang dimilikinya hanya menyaring objek fisik dalam bingkai ruang dan waktu. Akal tidak mampu memberi jawaban pasti atas persoalan metafisika. Keberadaan Tuhan misalnya. Analisis akal yang mengandalkan kategori tidak dapat menyentuh Tuhan. Sehingga pengetahuan tentang Tuhan yang diturunkan atas dasar inferensi akal bukan jawaban pasti sebagimana pengetahuan yang menolak keberadaanya atas dasar inferensi akal Keterbatasan bahasa Dalam perkembangannya, muncul gagasan bahwa keterbatasan indera dan akal sebagai akar keragaman diperuncing oleh bahasa. Perbedaan dan keragaman pengetahuan atas dasar indera dan akal makin nyata keragamannya ketika dirumuskan dalam bahasa. Bahkan Ferdinand de Saussure meyakini bahwa tidak ada pengetahuan tanpa bahasa (Saussure, 1974). Sehingga, akar perbedaan dan keragaman sesungguhnya pada keterbatasan bahasa.
9

Keterbatasan bermula dari kenyataan bahwa bahasa merupakan sistem tanda. Sementara tanda memiliki keterbatasannya sendiri. Keterbatasan tanda inilah yang kemudian menjadi garis batas bahasa. Tanda terbatas lantaran ia terdiri dari konsep dan bentuk. Hubungan antara konsep dan makna seolah taksir. Kata gajah hanya merujuk pada hewan besar dan memiliki belalai. Kata gajah tidak bisa digunakan untuk menandai hewan kecil dan bersayap. Bagaimana dengan dua kata yang bisa yang sama untuk makna yang berbeda? Misalnya apel dan apel. Yang satu merujuk pada jenis buah, yang kedua fenomena lelaki mengunjungi kekasih. Kedua kata ini juga pada akhirnya terbatas manakala muncul dalam rangkaian kata dalam satu kalimat. Keragaman pemaknaan atas teks berangkat dari debat panjang mengenai objektivitas makna. Pertanyaanya apakah kita, kini, dapat mengungkap makna sebenarnya (makna sebagaimana dimaksud oleh pengarang) suatu teks? Schleiermacher percaya bahwa kita dapat dan harus mengungkap makna sebagaimana dimaksud si pengarang. Caranya? Sistem bahasa, di manapun dan kapanpun mesti memiliki struktur. Dengan menelusuri struktur, penafsir dapat memahami makna bahasanya. Sementara, makna utuh teks dimungkinkan dengan mencari semangat zaman kala teks tersebut ditulis (dalam tradisi umat Islam asbabun nuzul). Makna objektif, Schleiermacher yakin, niscaya dapat direngkuh (Schleiermacher, 1959). Namun demikian, keyakinan Scheleirmacher ini tidak bisa mejelaskan kenyataan bahwa para penafsir bisa melahirkan tafsir yang berbeda-beda, padahal pada ruang dan waktu yang sama. Gadamer mengingatkan bahwa Scheleimacher melupakan peran penafsir. Bagi Gadamer, betapapun usaha penafsir keras untuk mencapai objektivitas makna, penafsir berhadapan dengan kenyataan bahwa ia memiliki latar belakang dan pengalaman yang berbeda. Latar belakang dan pengalaman ini membentuk pola pikir dan perspektif masing-masing penafsir (Gadamer, 1975). Akar Keragaman: Dimensi Sosial Namun begitu, keterbatasan panca indera, akal dan bahasa yang mendasari keragaman tidak berarti memusnahkan persamaan. Sebab keragaman hanya mungkin manakala di sana ada persamaan. Apa yang kita sebut berbeda lantaran ada bagian-bagain tertentu pada kesunyian manusia yang sama. Persamaan dan perbedaan pada diri manusia dengan melihatnya pada dimensi sosial. Interaksi antar manusia di lingkungan sosial melahirkan sejumlah persamaan dan perbedaan.
10

Pandangan bahwa identitas sebagai given tidak bisa menjelaskan mengapa ada orang yang dengan mudah berganti identitas. Lebih dari itu, kadang satu identitas menghilang sementara identitas lainnya muncul. Untuk itulah, pemikir seperti Michel Foucault mengajukan pandangan bahwa identitas pada dasarnya cair dan dapat berubah seiring ruang dan waktu (Foucault, 1970). Sebab identitas merupakan bentukan manusia melalui interaksinya sepanjang sejarah. Saya seorang Sunda, tetapi dengan mudah saya bisa menghilangkan kesundaan saya dan beralih menjadi identitas Indonesia misalnya. Karena itulah, dari sudut dimensi sosial, akar keragaman terletak pada bagaimana identitas tampil di ruang publik yang tidak jarang menimbulkan gesekan. Di sinilah jarak antara pengetahuan akan keragaman artifisial tidak berbanding lurus dengan harmoni di lingkungan sosial kita. Alih-alih harmoni, perbedaan identitas lebih sering tampil dengan berbagai konflik dan bahkan berakhir menjadi aksi kekerasan. Keragaman Berkat atau Musibat? Dimensi Institusional Keragaman eksistensial yang mengambil wujud sosialnya dalam politik identitas, akan menjadi rahmat atau musibat bergantung pada bagaimana institusi negara mengelolanya. Rezim ikut menentukan apakah keragaman identitas bisa dipertahankan sebagai sumber kekuatan atau sumber kelemahan suatu bangsa. Indonesia pada masa rezim Orde Baru pernah diakui sebagai macan asia dalam berbagai bidang. Olah raga, beberapa kali Indonesia merajai sejumlah perlombaan olah raga tingkat Asia. Kemudian, dari segi ekonomi Indonesia adalah negara berkembang di Asia siap bersaing dengan negara maju lainnya di Amerika dan Eropa. Pada masa ini, negara memanfaatkan sumberdaya manusia dari berbagai latarbelakang identitas-identitas yang ada. Harmonisasi Keragaman Jika keragaman identitas mengakar dalam setiap diri kita, maka keharmonisan sosial harus kita ciptakan sendiri. Untuk itu perlu kesadaran masing-masing kita bahwa keragaman tidak bisa kita tolak. Juga kita tidak bisa memaksakan orang lain sama dengan kita. Sebab perbedaan dan keragaman adalah hakikat kemanusiaan akibat panca indera akal dan bahasa kita yang terbatas. Namun apakah kesadaran saja cukup? Tentu saja tidak. Dalam survei LSI bersama Lazuardi Birru tahun 2010 menunjukkan bahwa umumnya masyarakat Indonesia intoleran. Enam dari 10 orang Indonesia tidak bisa menerima
11

disekitarnya dibangun rumah ibadah agama lain. Lalu bagaimana mengatasi intoleransi yang umum seperti ini? Untuk mengatasinya adalah komitmen pemerintah terhadap penegakan hukum. Agenda penegakkan hukum harus menjadi prioritas mempercepat masa transisi menuju konsolidasi demokrasi. Aturan main dan hukum yang dibuat melalui mekanisme demokrasi harus dikawal dengan baik. Siapa saja yang melanggara aturan main dia harus mendapatkan hukuman sebagaimana diatur dalam UU yang berlaku. Siapa saja yang tampil dengan wajah beringas dan melakukan tindakan kriminal, ia akan berhadapan dengan penegak hukum yang tegas. Sehingga, sikap intoleransi buah dari politik identitas yang mengarah pada tindakan dengan kekerasan tidak berani muncul. Penutup Dengan demikian, keragaman memiliki akar terdalam dalam diri kita. Yakni keterbatasan sumber pengetahuan kita, panca indera, akal dan bahasa. Keterbatasan diri ini, dalam interaksi sosialnya, kemudian melahirkan pengelompokan-pengelompokan di masyarakat menjadi identitas. Sayangnya Konstelasi antar identitas tidak hanya melahirkan kerjasama tetapi juga seringkali berbuntut kekerasan dan menelan korban. Konstelasi yang tidak menguntungkan ini umumnya dalam masa transisi, di mana negara masih berkonsentrasi memperbaiki mekanisme menuju sistem demokrasi yang adil, transparan dan terbuka. Oleh karena itu, agar keragaman menjadi kekuatan ketimbang malapetaka, kita memerlukan harmonisasi. Harmonisasi keragaman harus datang pertama-tama dari dalam diri, bukan dari luar. Kesadaran tersebut adalah kesadaran eksistensial. Yakni, perbedaan dan keragaman tidak bisa kita tolak. Sekaligus kita juga tidak bisa memaksakan keragaman menjadi keseragaman. Akan tetapi, adalah wajar jika tidak seluruh umat manusia memiliki kesadaran ini. Mesti ada sebagai pihak yang ingin menghempaskan pihak lainnya demi kekuasaan di ruang publik. Oleh karena itu, kesadaran diri saja tidak cukup. Kita membutuhkan ketegasan pemerintah dalam menegakkan hukum yang berlaku. Sembari pada saat yang bersamaan menciptakan ruang kontestasi yang adil, transparan dan bertanggungjawab

12

Dercartes, Rene, The Philosophical Works of Descartes , Translated Elizabeth Haldane and G. R. T. Ross two vol., London: Cambridge University Press, 1977. Foucault, Michel, The Order of Things, London: Tavistock Publication Limited, 1970. Gadamer, Hans George, Truth and Method, New York: The Seabury Press, 1975. Hume, David, An Inquiry Concerning Human Understanding, ed. Charles W. Hendel,New York: Bobbs-Merri, Liberary of Liberal Art, 1955. Kant, Immanuel, Critique of Pure Reason, New York: Prometheus Books, 1990. Maarif, A. Syafii dkk. Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Indonesia, Jakarta: Paramadina, 2010.

13

Anda mungkin juga menyukai