Anda di halaman 1dari 9

DAFTAR ISI Lembar Pengesahan ............................................................................................................ 2 Kata Pengantar .................................................................................................................... 3 Daftar isi .............................................................................................................................. 4 BAB I Pendahuluan ............................................................................................................

6 BAB II Tuberkulosis 2.1 Definisi ......................................................................................................................... 8 2.2 Epidemiologi ................................................................................................................ 8 2.3 Biomolekuler M. Tuberkulosis ....................................................................... 8 2.4 Patogenesis ...................................................................................................... 10 2.5 Klasifikasi Tuberkulosis .................................................................................. 13 2.6 Diagnosis ......................................................................................................... 15 2.7 Pengobatan Tuberkulosis ................................................................................ 23 2.8 Komplikasi ...................................................................................................... 32 2.9 DOTS .............................................................................................................. 33 BAB III HIV/ AIDS 3.1 Definisi dan Sejarah HIV/ AIDS ..................................................................... 35 3.2 Epidemiologi ................................................................................................... 36 3.3 Etiologi ......................................................................................................... 37 3.4 Cara Penularan ................................................................................................ 38 3.5 Patogenesis dan Patofisiologi .......................................................................... 41 3.6 Manifestasi Klinis ........................................................................................... 46 3.7 Diagnosis ......................................................................................................... 50 3.8 Stadium Klinis ................................................................................................. 54 3.9 Penatalaksanaan 3.10 Prognosis BAB IV Tuberkulosis Paru pada Penderita HIV/ AIDS 4.1 Definisi ............................................................................................................ 63 4.2 Epidemiologi ................................................................................................... 63 6

4.3 Patogenesis Ko Infeksi TB-HIV ..................................................................... 64 4.4 Diagnosis ........................................................................................................ 66 4.5 Penatalaksanaan .............................................................................................. 69 4.6 Komplikasi ...................................................................................................... 77 4.7 Prognosis ......................................................................................................... 77 BAB V Kesimpulan ........................................................................................................... 78 BAB VI Daftar Pustaka ...................................................................................................... 79

2.1.1 Klasifikasi Tuberculosis a. Tuberkulosis Paru Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura. 1. Klasifikasi TB Paru Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura. 1.1 Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA), TB paru dibagi atas: 1. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah: Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologi menunjukkan gambaran

tuberkulosis aktif Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif 2. Tuberkulosis paru BTA (-): Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M. tuberculosis Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis dan kelainan radiologi menunjukkan

tuberkulosis aktif 1.2 Berdasarkan tipe pasien. Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan

sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu : Kasus baru, adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan. Kasus kambuh (relaps), adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian

kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif Kasus defaulted atau drop out, adalah pasien yang telah menjalani pengobatan > 1 bulan dan tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai. Kasus gagal, adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau
kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau akhir pengobatan.

Kasus kronik, adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih


positif setelah selesai pengobatan ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan pengawasan yang baik.

Kasus Bekas TB :
Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung. Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan gambaran radiologi.

b.

TB Ekstrapulmonal Tuberkulosis ekstraparu adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya kelenjar getah bening, selaput otak, tulang, ginjal, saluran kencing dan lain-lain. Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau patologi anatomi dari tempat lesi.4

2.1.2 Patofisiologi Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis

regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai berikut : Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum). Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus) Menyebar dengan cara : Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya. Penyebaran secara bronkogen Penyebaran secara hematogen dan limfogen

E. ALUR DIAGNOSIS
1. Diagnosis TB Paru pada ODHA Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pada alur diagnosis TB pada ODHA, antara lain: Pemberian antibiotik sebagai alat bantu diagnosis tidak direkomendasi lagi Penggunaan antibiotik dengan maksud sebagai alat bantu diagnosis seperti alur diagnosis TB pada orang dewasa dapat menyebabkan diagnosis dan pengobatan TB terlambat sehingga dapat meningkatkan risiko kematian ODHA. Oleh karena itu, pemberian antibiotik sebagai alat bantu diagnosis tidak direkomendasi lagi. Namun antibiotik perlu diberikan pada ODHA dengan IO yang mungkin disebabkan oleh infeksi bakteri lain bersama atau tanpa M.tuberculosis. Jadi, maksud pemberian antibiotik tersebut bukanlah sebagai alat bantu diagnosis TB tetapi sebagai pengobatan infeksi bakteri lain. Hindarilah penggunaan antibiotik golongan fluorokuinolon karena memberikan respons terhadap M.tuberculosis dan dapat menimbulkan resistensi terhadap obat tersebut. Pemeriksaan foto toraks Pemeriksaan foto toraks memegang peranan penting dalam mendiagnosis TB pada ODHA dengan BTA negatif. Namun perlu diperhatikan bahwa gambaran foto toraks pada ODHA umumnya tidak spesifik terutama pada stadium lanjut. Pemeriksaan biakan dahak Jika sarana pemeriksaan biakan dahak tersedia maka ODHA yang BTA negatif, sangat dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan biakan dahak karena hal ini dapat membantu untuk konfirmasi diagnosis TB. Alur diagnosis TB Paru BTA negatif pada ODHA di bawah ini merupakan langkah kegiatan yang harus dilakukan dalam penegakan diagnosis TB di daerah dengan prevalens HIV tinggi dengan sarana terbatas. Alur diagnosis ini hanya untuk ODHA yang dicurigai menderita TB. Perlu diperhatikan, alur diagnosis TB pada ODHA rawat jalan (tanpa tanda bahaya) berbeda dengan pada ODHA rawat inap (dengan tanda bahaya). Alur diagnosis dimaksud dapat dilihat pada gambar 3 dan gambar 4. Gambar

Keterangan: a. Tanda-tanda kegawatan yaitu bila dijumpai salah satu dari tanda-tanda berikut: frekuensi pernapasan > 30 kali/menit, demam > 390C, denyut nadi > 120 kali/menit, tidak dapat berjalan tanpa

bantuan. b. BTA Positif = sekurang-kurangnya 1 sediaan hasilnya positif; BTA Negatif = bila 2 sediaan hasilnya negatif. c. Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol = PPK. d. Termasuk penentuan stadium klinis (clinical staging), pemeriksaan jumlah CD4 (bila tersedia fasilitas) dan rujukan untuk layanan HIV. e. Pemeriksaan-pemeriksaan dalam kotak tersebut harus dikerjakan secara bersamaan (bila memungkinkan) supaya jumlah kunjungan dapat dikurangi sehingga mempercepat penegakan diagnosis. f. Pemberian antibiotik (jangan golongan fluorokuinolon) untuk mengatasi bakteri tipikal dan atipikal. g. Pneumonia Pneumocystis jirovecii = PCP. h. Anjurkan untuk kembali diperiksa bila gejala-gejala timbul lagi. Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada alur diagnosis TB pada ODHA rawat jalan adalah sebagai berikut: Kunjungan pertama: Pemeriksaan mikroskopis dahak harus dikerjakan pada kunjungan pertama. Jika hasil pemeriksaan dahak BTA positif maka pengobatan TB dapat diberikan kepada pasien tersebut. Kunjungan kedua: Jika hasil pemeriksaan dahak BTA negatif maka pada kunjungan kedua perlu dilakukan pemeriksaan lain, misalnya foto toraks, ulangi pemeriksaan mikroskopis dahak, lakukan pemeriksaan biakan dahak dan pemeriksaan klinis oleh dokter. Pemeriksaan pada kunjungan kedua ini sebaiknya dilakukan pada hari kedua dari kunjungan pasien di Fasyankes tersebut. Hasil pemeriksaan dari kunjungan kedua ini sangat penting untuk memutuskan apakah pasien tersebut perlu mendapat pengobatan TB atau tidak. Penentuan stadium klinis HIV harus dikerjakan dan pemberian PPK harus diberikan sesuai pedoman nasional. Kunjungan ketiga: dilakukan secepat mungkin setelah ada hasil pemeriksaan pada kunjungan kedua. Pasien yang hasil pemeriksaannya mendukung TB (misalnya gambaran foto toraks mendukung TB) perlu diberi OAT. Pasien dengan hasil yang tidak mendukung TB perlu mendapat antibiotik spektrum luas (jangan menggunakan golongan fluorokuinolon) untuk mengobati infeksi bakteri lain atau pengobatan untuk PCP. Juga perlu dilakukan penentuan stadium klinis HIV dan PPK harus diberikan sesuai pedoman nasional. Kunjungan keempat: Pada kunjungan ke empat ini haruslah diperhatikan bagaimana respons pasien pada pemberian pengobatan dari kunjungan ketiga. Untuk pasien yang mempunyai respons yang baik (cepat) terhadap pengobatan PCP atau pengobatan dengan antibiotik, lanjutkan pengobatannya untuk menyingkirkan terdapatnya juga TB (superimposed tuberculosis). Bagi pasien yang mempunyai respons yang kurang baik atau tidak baik pada pengobatan PCP atau pengobatan pneumonia karena bakteri lainnya,

perlu dilakukan pemeriksaan ulang untuk TB baik secara klinis maupun pemeriksaan dahak. Keterangan: a. Tanda-tanda kegawatan yaitu bila dijumpai salah satu dari tanda-tanda berikut: frekuensi pernapasan > 30 kali/menit, demam > 390C, denyut nadi > 120 kali/menit, tidak dapat berjalan bila tdk dibantu. b. Pemeriksaan-pemeriksaan dalam kotak tersebut harus dikerjakan secara bersamaan (bila memungkinkan) untuk mengurangi jumlah kunjungan sehingga dapat mempercepat penegakan diagnosis. c. Untuk daerah dengan angka prevalens HIV pada orang dewasa > 1% atau prevalens HIV di antara pasien TB > 5%, pasien suspek TB yang belum diketahui status HIV-nya maka perlu ditawarkan untuk tes HIV. Untuk pasien suspek TB yang telah diketahui status HIV-nya maka tidak lagi dilakukan tes HIV. d. Pemberian antibiotik (jangan golongan fluorokuinolon) untuk mengatasi bakteri tipikal dan atipikal. e. Pneumonia Pneumocystis jirovecii = PCP. f. Bila tidak tersedia test HIV atau status HIV tidak diketahui (misalnya pasien menolak untuk diperiksa) penentuan tingkat klinis HIV tergantung kebijakan nasional. g. BTA Positif = sekurang-kurangnya 1 sediaan hasilnya positif; BTA Negatif = bila 2 sediaan hasilnya negatif. h. Periksa kembali untuk TB termasuk pemeriksaan BTA dan penilaian klinis. Jika di Puskesmas dijumpai ODHA yang menderita sakit berat (mempunyai salah satu dari tanda bahaya) maka pasien tersebut harus segera dirujuk ke Fasyankes yang mempunyai sarana lebih lengkap. Jika rujukan tidak dapat segera dilaksanakan, upaya berikut harus dilakukan: Segera berikan antibiotik spektrum luas suntikan selama 3 5 hari untuk mengatasi infeksi bakteri kemudian lakukan pemeriksaan mikroskopis dahak (BTA). Bila diagnosis TB ditegakkan dengan pemeriksaan mikroskopis dahak (BTA positif ), mulailah pengobatan TB dengan pemberian OAT. Pengobatan dengan antibiotik tetap terus dilanjutkan sampai selesai. Bila hasil pemeriksaan dahak BTA negatif maka harus diperhatikan bagaimana respons pemberian antibiotik suntikan setelah pengobatan 3 5 hari. Jika tidak ada perbaikan maka pengobatan TB dapat dimulai dengan pertimbangan dokter, misalnya kemungkinan terdapatnya TB ekstraparu. Penentuan stadium klinis HIV harus dilakukan dan selanjutnya pasien perlu dirujuk ke Fasyankes yang lebih lengkap untuk penegakan diagnosis TB maupun untuk layanan HIV. Bila tetap tidak memungkinkan untuk dirujuk maka pengobatan TB diteruskan sampai selesai. Bila rujukan ke Fasyankes yang lebih lengkap memungkinkan maka unit penerima rujukan harus

memberikan tatalaksana pasien tersebut sebagai pasien gawat darurat dan semua pemeriksaan harus segera dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan untuk mendiagnosis TB. 2. Diagnosis TB Ekstraparu pada ODHA Diagnosis pasti TB ekstraparu sulit ditegakkan karena harus didasarkan pada hasil pemeriksaan klinis, bakteriologi dan atau histologi spesimen yang didapat dari lesi. Tuberkulosis ekstraparu yang sering ditemukan diantaranya adalah TB Kelenjar limfe, TB Susunan saraf pusat, TB Abdomen, TB Pleura dan TB Perikard. Pemeriksaan spesimen untuk penegakan diagnosis TB ekstraparu dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis langsung, pemeriksaan biakan maupun histopatologi. Hasil biakan spesimen yang diperoleh dari TB ekstraparu jarang memberikan hasil positif. Untuk kasus yang hasil biakannya negatif atau kasus yang tidak dapat dilakukan pengambilan spesimen maka diagnosis TB ekstraparu hanya dilakukan secara presumtif berdasarkan bukti klinis yang kuat atau dengan menyingkirkan kemungkinan penyebab lain. Untuk pasien yang dicurigai TB ekstraparu yang pengobatan TB-nya sudah dimulai tanpa konfirmasi bakteriologi atau histopatologi (diagnosis secara presumtif ), respons klinis dari pengobatan tersebut harus dinilai setelah 1 bulan. Jika tidak terjadi perbaikan maka harus dilakukan penilaian klinis ulang dan harus dipikirkan alternatif diagnosis lainnya.

Anda mungkin juga menyukai