OLEH Maria Teresa Wea Maria Victoria Seran PEMBIMBING dr. Arkipus Pamuttu KONSULEN dr. Berti Julian Nelwan, M.Si, Sp.PA, DFM, Sp.F 0808013579 0808013580
DISUSUN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK PADA BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2013
LEMBAR PENGESAHAN
0808013579 0808013580
Telah menyelesaikan referat dengan judul Teknik Autopsi Forensik dalam rangka menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Makassar,
Januari 2013
Supervisor
Pembimbing
DAFTAR ISI Hal HALAMAN JUDUL............................................................................................................. i LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................................. ii DAFTAR ISI ......................................................................................................................... iii BAB 1. PENDAHULUAN ................................................................................................... 1 BAB 2. ISI............................................................................................................................ 3 2.1 PENGERTIAN AUTOPSI .............................................................................................. 3 2.2 JENIS JENIS AUTOPSI ............................................................................................. 3 2.2.1 Autopsi Klinik .................................................................................................... 3 2.2.2 Autopsi Forensik Medikolegal ........................................................................ 4 2.3 Dasar hukum pelaksanaan Autopsi ................................................................................ 5 2.4 Persiapan Sebelum Tindakan Autopsi ............................................................................ 6 2.5 Perlengkapan Untuk Autopsi .......................................................................................... 7 2.6 Pemeriksaan Luar ............................................................................................................ 8 2.7 Teknik Autopsi ................................................................................................................ 10 2.7.1 Teknik Virchow .................................................................................................. 11 2.7.2 Teknik Rokitansky .............................................................................................. 11 2.7.3 Teknik Letulle ..................................................................................................... 11 2.7.4 Teknik Ghon ....................................................................................................... 12 2.8 Pemeriksaan Dalam ......................................................................................................... 13 2.9 Insisi ................................................................................................................................ 19 2.10 Pemeriksaan Penunjang ................................................................................................ 27 2.11 Perawatan Mayat Setelah Autopsi ................................................................................ 29 BAB 3 PENUTUP ................................................................................................................ 31 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
BAB 1 PENDAHULUAN
Pada zaman dahulu orang Mesir tidak menggunakan tubuh orang mati untuk mempelajari perjalanan suatu penyakit, organ tubuh pada mayat hanya dipakai untuk diawetkan. Orang Yunani dan Indian melakukan kremasi tanpa dilakukan pemeriksaan; bangsa Romawi, Cina, dan Muslim menganggap tabu untuk memotong tubuh manusia. Pada abad pertengahan, pembedahan mayat tidak diijinkan.1 Pembedahan mayat untuk pembelajaran dilakukan pertama kali pada tahun 300 SM oleh Herophilus dan Erasistratus, ilmuwan Alexandria. Namun yang pertama kali menemukan adanya hubungan antara tanda dan gejala pada pasien adalah ilmuwan Yunani, Galen dari Pergamum. Ini merupakan perkembangan yang signifikan yang mengarah ke autopsi dan mematahkan pandangan lama untuk pengembangan ilmu kedokteran.1 Kelahiran kembali anatomi terjadi selama Renaissance, dikerjakan oleh Andreas Vesalius ( De humani corporis fabrica, 1543) yang membuat mungkin untuk menentukan penyakit berdasarkan anatomi normal. Leonardo da Vinci membedah 30 mayat dan menulis kelainan anatomi. Begitu juga Michaelangelo yang melakukan beberapa pembedahan. Pada awal abad ke 13, Frederick II meminta dua tubuh korban eksekusi kriminal setiap dua tahun untuk dikirim ke sekolah kedokteran. Antonio Benivieni, pada abad ke 15 melakukan 15 autopsi
untuk menentukan sebab kematian dan secara signifikan memiliki hubungan antara gejala dan apa yang ditemukan. 1 Autopsi berkembang oleh Giovanni Morgagni, bapak Patologi modern, yang pada tahun 1761 mendeskripsikan apa yang bisa dilihat dengan mata telanjang. Pada penelitiananya yang besar On the Seats and Causes of Diseases as Investigated by Anatomy, ia membandigkan gejala dan observasi pada 700 pasien dengan temuan anatomis pada pemeriksaan tubuh. 1 Oleh Karl van Rokitansky dari Vienna (1804-1878), autopsi dengan mata telanjang mencapai puncaknya. Rokitansky menggunakan mikroskop dan terbatas oleh teori humoralnya. Seorang ahli patologi Jerman, Rudolf Virchow (18211902), yang memperkenalkan doktrin selular, perubahan-perubahan pada sel merupakan dasar untuk memahami suatu penyakit pada patologi dan autopsi. Autopsi modern sudah diperluas termasuk penerapan berbagai ilmu dan semua instrument dari spesialisasi dasar ilmu modern. Pemeriksaan diperluas bahwa struktur sel terlalu kecil untuk dilihat kecuali dengan menggunakan mikroskop elektron.1
BAB 2 ISI 2.1 Pengertian Autopsi Secara etimologis, autopsi berasal kata dari Auto yang artinya sendiri dan Opsis yang artinya melihat.1-3 Yang dimaksudkan dengan autopsi adalah pemeriksaan terhadap tubuh mayat yang terdiri dari pemeriksaan terhadap bagian luar maupun bagian dalam dengan tujuan menemukan proses penyakit dan atau adanya cedera, melakukan interpretasi atas penemuan penemuan tersebut, menerangkan penyebabnya serta mencari hubungan sebab akibat antara kelainan kelainan yang ditemukan dengan penyebab kematian.3
2.2
Jenis jenis Autopsi Berdasarkan tujuannya autopsi digolongkan menjadi 2 jenis, yaitu autopsi
klinik dan autopsi forensik atau autopsi medikolegal.3 2.2.1 Autopsi klinik; dilakukan terhadap mayat seseorang yang menderita penyakit, dirawat di Rumah Sakit tetapi kemudian meninggal. Jenis autopsi ini mutlak diperlukan izin dari keluarga terdekat mayat yang bersangkutan. Adapun tujuan dilakukan autopsi klinik adalah 3,4 : Menentukan sebab kematian yang pasti Menentukan apakah diagnosis klinik yang dibuat selama perawatan sesuai dengan diagnosis post-mortem Mengetahui korelasi proses penyakit yang ditemukan dengan diagnosis klinis dan gejala gejala klinik
6
Menentukan efektifitas pengobatan Mempelajari perjalanan lazim suatu proses penyakit Pendidikan para mahasiswa kedokteran dan para dokter
2.2.2 Autopsi Forensik atau Medikolegal; dilakukan terhadap mayat seseorang berdasarkan peraturan perundang undangan. Untuk melakukan autopsi forensik ini, diperlukan suatu surat permintaan pemeriksaan atau pembuatan Visum et Repertum (VeR) dari pihak yang berwenang, dalam hal ini pihak penyidik. Izin keluarga tidak diperlukan, bahkan apabila ada seseorang yang menghalang halangi dilakukannya autopsi forensik, yang bersangkutan dapat dituntut berdasarkan undang undang yang berlaku.2 Adapun tujuan dilakukannya autopsi forensik adalah : Membantu dalam hal penentuan identitas mayat Menentukan sebab pasti kematian, memperkirakan cara kematian serta memperkirakan saat kematian Mengumpulkan serta mengenali benda benda bukti untuk penentuan identitas benda penyebab serta identitas pelaku kejahatan Membuat laporan tertulis yang obyektif dan berdasarkan fakta dalam bentuk visum et repertum Melindungi orang yang tidak bersalah dan membantu dalam penentuan identitas serta penuntutan terhadap orang yang bersalah
2.3
Dasar Hukum Pelaksanaan Autopsi Aspek hukum yang terkait dengan autopsi antara lain; pihak yang berhak
meminta VeR, dasar hukum autopsi forensik, barang bukti, dan menentukan saat kematian. Pihak yang berhak meminta VeR adalah; penyidik (KUHAP I butir 1, 6, 7, 120, 133, PP RI No 27 Th 1983) yakni pejabat polisi negara RI tertentu sekurangkurangnya berpangkat PELDA (AIPDA) serta berpangkat bintara dibawah PELDA (AIPDA). Selanjutnya penyidik pembantu (KUHAP I Butir 3,10, PP RI No 27 Th 1983) yaitu pejabat polisi Negara RI tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat SERDA polisi ( BRIPDA). Selain itu Provos berdasarkan UU No I Darurat Th 1958, Keputusan Pangab No Kep/04/P/II/1984. Terakhir adalah hakim pidana (KUHAP 180). Dasar hukum autopsi forensik adalah KUHAP 133, KUHAP 134, KUHP 222, Reglemen pencatatan sipil Eropa 72, Reglemen pencatatan sipil Tionghoa, STBL 1871/91, UU RI No 23 Th 1992 Pasal 70. Dasar hukum yang berkaitan dengan barang bukti berdasarkan KUHAP 42, yakni barang bukti harus diperiksa oleh dokter untuk dicatat kemudian dilaporkan dalam VeR; barang bukti setelah diperiksa diserahkan kepada penyidik secepatnya dengan disertai surat tanda penerimaan yang ditanda-tangani oleh penyidik. Untuk menentukan saat kematian berdasarkan PP No 18 th 1981, yakni secara konvensional; seseorang telah meninggal dunia apabila keadaan insane yang diyakini oleh ahli kedokteran yang berwenang bahwa fungsi otak,
pernapasan, dan atau denyut jantung seseorang telah berhenti. Khusus untuk transplantasi; saat kematian ditentukan oleh dua dokter yang tidak ada hubungan dengan dokter yang melakukan transplantasi dan penentuan kematian di RS modern menggunakan EEG, yaitu alat yang mencatat aktivitas otak.
2.4
Persiapan Sebelum Tindakan Autopsi Sebelum memulai autopsi, ada beberapa hal yang penting untuk
dipersiapkan yaitu sebagai berikut : Pertama, kelengkapan surat-surat yang berkaitan dengan autopsi yang akan dilakukan. Dalam hal autopsi forensik, perhatikan apakah surat permintaan atau pembuatan Visum et Repertum telah ditandatangani oleh pihak penyidik yang berwenang untuk autopsi forensik, mutlak dilakukan pemeriksaan lengkap yang meliputi pembukaan seluruh organ tubuh dan pemeriksaan seluruh organ.3 Kedua, pastikan mayat yang akan diautopsi benar-benar adalah mayat yang dimaksudkan dalam surat yang bersangkutan dalam hal ini surat permintaan VeR. Dalam hal autopsi forensik, perhatikan terhadap mayat yang akan diperiksa telah dilakukan identifikasi oleh pihak yang berwenang berupa penyegelan dengan label polisi yang diikatkan pada ibu jari kaki mayat. Hal ini untuk memenuhi ketentuan mengenai penyegelan barang bukti. Label dari polisi ini memuat antara lain nama, alamat, tanggal kematian, dan sebagainya yang harus diteliti apakah sesuai dengan data data yang tertera dalam Surat Permintaan Pemeriksaan.3
Ketiga, kumpulkan keterangan yang berhubungan dengan terjadinya kematian selengkap mungkin. Pada kasus autopsi forensik, informasi mengenai kejadian yang mendahului kematian, keadaan pada TKP dapat memberi petunjuk bagi pemeriksaan serta dapat membantu menentukan jenis pemeriksaan khusus yang mungkin diperlukan. Kurang atau tidak terdapatnya keterangan keterangan tersebut di atas dapat mengakibatkan terlewat atau hilangnya bukti bukti yang penting, misalnya saja tidak diambilnya cairan empedu, padahal korban kemudian ternyata adalah seorang pecandu narkoba.3 Keempat, periksa kelengkapan alat - alat yang diperlukan sepanjang pelaksanaan autopsi. Untuk melakukan autopsi yang baik, tidaklah diperlukan alat alat yang mewah, namun tersedianya beberapa alat tambahan kiranya perlu mendapat perhatian yang cukup.3
2.5
Perlengkapan Untuk Autopsi Untuk melakukan suatu autopsi yang baik, diperlukan alat alat sebagai
berikut3 : Kamar autopsi Meja autopsi Peralatan autopsi Peralatan untuk pemeriksaan tambahan Peralatan tulis menulis dan fotografi
10
2.6
Pemeriksaan Luar Pemeriksaan yang dilakukan pada pemeriksaan luar dimulai dari
pemeriksaan label pada jempol kaki mayat yang berasal dari pihak kepolisian. Gunting pada tali pengikat, simpan bersama berkas pemeriksaan. Catat warna, bahan, dan isi label selengkap mungkin. Sedangkan label rumah sakit, untuk identifikasi di kamar zenazah, harus tetap ada pada tubuh mayat.3 Mencatat jenis/bahan, warna, corak, serta kondisi (ada tidaknya bercak/pengotoran) dari penutup mayat. Mencatat jenis/bahan, warna, corak, serta kondisi (ada tidaknya bercak/pengotoran) dari bungkus mayat. Catat tali pengikatnya bila ada. Mencatat pakaian mayat dengan teliti mulai dari yang dikenakan di atas sampai di bawah, dari yang terluar sampai terdalam. Pencatatan meliputi bahan, warna dasar, warna dan corak tekstil, bentuk/model pakaian, ukuran, merk penjahit, cap binatu, monogram/inisial, dan tambalan/tisikan bila ada. Catat juga letak dan ukuran pakaian bila ada tidaknya bercak/pengotoran atau robekan. Saku diperiksa dan dicatat isinya.3 Mencatat perhiasan mayat, meliputi jenis, bahan, warna, merek, bentuk serta ukiran nama/inisial pada benda perhiasan tersebut. Mencatat benda di samping mayat. Mencatat perubahan tanatologi : Lebam mayat; letak/distribusi, warna, dan intensitas lebam..3 Kaku mayat; distribusi, derajat kekakuan pada beberapa sendi, dan ada tidaknya spasme kadaverik. Suhu tubuh mayat; memakai termometer rektal dam dicatat juga suhu ruangan pada saat tersebut.
11
Pembusukan. Lain-lain; misalnya mumifikasi atau adiposera. Mencatat identitas mayat, seperti jenis kelamin, bangsa/ras, perkiraan
umur, warna kulit, status gizi, tinggi badan, berat badan, disirkumsisi/tidak, striae albicantes pada dinding perut. Mencatat segala sesuatu yang dapat dipakai untuk penentuan identitas khusus, meliputi rajah/tatoo, jaringan parut, kapalan, kelainan kulit, anomali dan cacat pada tubuh.3 Memeriksa distribusi, warna, keadaan tumbuh, dan sifat dari rambut. Rambut kepala harus diperiksa, contoh rambut diperoleh dengan cara memotong dan mencabut sampai ke akarnya, paling sedikit dari 6 lokasi kulit kepala yang berbeda. Potongan rambut ini disimpan dalam kantungan yang telah ditandai sesuai tempat pengambilannya. Memeriksa mata, seperti apakah kelopak terbuka atau tertutup, tanda kekerasan, kelainan. Periksa selaput lendir kelopak mata dan bola mata, warna, cari pembuluh darah yang melebar, bintik perdarahan, atau bercak perdarahan. Kornea jernih/tidak, adanya kelainan fisiologik atau patologik. Catat keadaan dan warna iris serta kelainan lensa mata. Catat ukuran pupil, bandingkan kiri dan kanan. Mencatat bentuk dan kelainan/anomali pada daun telinga dan hidung. Memeriksa bibir, lidah, rongga mulut, dan gigi geligi. Catat gigi geligi dengan lengkap, termasuk jumlah, hilang/patah/tambalan, gigi palsu, kelainan letak, pewarnaan, dan sebagainya. Bagian leher diperiksa jika ada memar, bekas
12
pencekikan atau pelebaran pembuluh darah. Kelenjar tiroid dan getah bening juga diperiksa secara menyeluruh. Pemeriksaan alat kelamin dan lubang pelepasan. Pada pria dicatat kelainan bawaan yang ditemukan, keluarnya cairan, kelainan lainnya. Pada wanita dicatat keadaan selaput darah dan komisura posterior, periksa sekret liang sanggama. Perhatikan bentuk lubang pelepasan, perhatikan adanya luka, benda asing, darah dan lain-lain. Perlu diperhatikan kemungkinan terdapatnya tanda perbendungan, ikterus, sianosis, edema, bekas pengobatan, bercak lumpur atau pengotoran lain pada tubuh.3 Bila terdapat tanda-tanda kekerasan/luka harus dicatat lengkap. Setiap luka pada tubuh harus diperinci dengan lengkap, yaitu perkiraan penyebab luka, lokasi, ukuran, dan lain lain. Dalam luka diukur dan panjang luka diukur setelah kedua tepi ditautkan. Lokalisasi luka dilukis dengan mengambil beberapa patokan, antara lain : garis tengah melalui tulang dada, garis tengah melalui tulang belakang, garis mendatar melalui kedua puting susu, dan garis mendatar melalui pusat. Pemeriksaan ada tidaknya patah tulang, serta jenis/sifatnya.3
2.7
Teknik Autopsi Terdapat empat teknik autopsi dasar yang dikenal dalam pembedahan mayat
namun pada umumnya setiap teknik autopsi hanya memiliki sedikit perbedaan atau merupakan modifikasi dari empat teknik autopsi dasar tersebut. Perbedaan terutama dalam hal pengangkatan keluar organ, baik dalam hal urutan
13
pengangkatan maupun jumlah atau kelompok organ yang dikeluarkan pada satu waktu, serta bidang pengirisan pada organ yang diperiksa. Adapun keempat teknik autopsi dasar tersebut adalah sebagai berikut3-7 : 2.7.1 Teknik Virchow Teknik ini mungkin merupakan teknik autopsi yang tertua. Setelah dilakukan pembukaan rongga tubuh, organ organ dikeluarkan satu persatu dan langsung diperiksa. Dengan demikian kelainan kelainan yang terdapat pada masing masing organ dapat segera dilihat, namun hubungan anatomik antar beberapa organ yang tergolong dalam satu sistim menjadi hilang. Dengan demikian, teknik ini kurang baik bila digunakan pada autopsi forensik, terutama pada kasus penembakan dengan senjata api dan penusukan dengan senjata tajam, yang perlu dilakukan penentuan saluran luka, arah serta dalamnya penetrasi yang terjadi. 2.7.2 Teknik Rokitansky Setelah rongga tubuh dibuka, organ dilihat dan diperiksa dengan melakukan beberapa irisan in situ, baru kemudian seluruh organ organ tersebut dikeluarkan dalam kumpulan kumpulan organ (en bloc). Teknik ini jarang dipakai karena tidak menunjukkan keunggulan yang nyata atas teknik lainnya. Teknik ini pun tidak baik digunakan untuk autopsi forensik. 2.7.3 Teknik Letulle Setelah rongga tubuh dibuka, organ leher, dada, diafragma dan perut dikeluarkan sekaligus (en masse). Kepala diletakkan di atas meja dengan permukaan posterior menghadap ke atas. Plexus coeliacus dan kelenjar para aorta
14
diperiksa, aorta dibuka sampai arcus aortae dan Aa. Renales kanan dan kiridibuka serta diperiksa. Aorta diputus di atas muara arteri renalis. Rectum dipisahkan dari sigmoid. Organ urogenital dipisahkan dari organ lain. Bagian proksimal jejunum diikat pada dua tempat dan kemudian diputus antara dua ikatan tersebut dan usus dapat dilepaskan. Esofagus dilepaskan dari trakea, tetapi hubungannya dengan lambung dipertahankan. Vena cava inferior serta aorta diputus di atas diafragma dan dengan demikian organ leher dan dada dapat dilepas dari organ perut. Dengan pengangkatan organ organ tubuh secara en masse ini, hubungan antar organ tetap dipertahankan setelah seluruh organ dikeluarkan dari tubuh. Kerugian teknik ini adalah sukar dilakukan tanpa pembantu, serta agak sukar dalam penanganan karena panjangnya kumpulan organ organ yang dikeluarkan sekaligus. 2.7.4 Teknik Ghon Setelah rongga tubuh dibuka, organ leher dan dada, organ pencernaan bersama hati dan limpa, organ urogenital diangkat keluar sebagai tiga kumpulan organ (bloc). Saat ini berkembang teknik autopsi yang merupakan modifikasi dari teknik Letulle. Organ tidak dikeluarkan secara en masse, tetapi dalam 2 kumpulan. Organ leher dan dada sebagai satu kumpulan, organ perut serta urogenital sebagai kumpulan yang lain, setelah terlebih dahulu usus diangkat mulai dari perbatasan duodenojejunal sampai perbatasan rectosigmoid.
15
2.8
Pemeriksaan Dalam3-8 Pada pemeriksaan dalam, organ tubuh diambil satu persatu dengan hati-hati
dan dicatat: 1. Ukuran : Pengukuran secara langsung adalah dengan menggunakan pita pengukur. Secara tidak langsung dilihat adanya penumpulan pada batas inferior organ. Organ hati yang mengeras juga menunjukkan adanya pembesaran. 2. 3. Bentuk. Ada deformitas yang terjadi atau tidak. Permukaan : Pada umumnya organ tubuh mempunyai permukaan yang lembut, berkilat dengan kapsul pembungkus yang bening. Carilah jika terdapat penebalan, permukaan yang kasar , penumpulan atau kekeruhan. 4. Konsistensi: Diperkirakan dengan cara menekan jari ke organ tubuh tersebut. 5. Kohesi: Merupakan kekuatan daya regang anatar jaringan pada organ itu. Caranya dengan memperkirakan kekuatan daya regang organ tubuh pada saat
16
ditarik. Jaringan yang mudah teregang (robek) menunjukkan kohesi yang rendah sedangkan jaringan yang susah menunjukkan kohesi yang kuat. 6. Potongan penampang melintang: Disini dicatat warna dan struktur permukaan penampang organ yang dipotong. Pada umumnya warna organ tubuh adalah keabu-abuan, tapi hal ini juga dipengaruhi oleh jumlah darah yang terdapat pada organ tersebut. Warna kekuningan, infiltrasi lemak, lipofisi, hemosiferin atau bahan pigmen bisa merubah warna organ. Warna yang pucat merupakan tanda anemia. Struktur organ juga bisa berubah dengan adanya penyakit. Pemeriksaan khusus juga bisa dilakukan terhadap sistem organ tertentu, tergantung dari dugaan penyebab kematian. Insisi pada masing-masing bagian-bagian tubuh yaitu : 1.
a)
Dada : Seksi Jantung : Jantung dibuka menurut aliran darah : pisau dimasukkan ke vena kava inferior sampai keluar di vena superior dan bagian ini dipotong. Ujung pisau dimasukkan melalui katup trikuspidalis keluar di insisi bilik kanan dan bagian ini dipotong. Ujung pisau lalu dimasukkan arteri pulmonalis dan otot jantung mulai dari apeks dipotong sejajar dengan septum interventrikulorum. Ujung pisau dimasukkan ke vena pulmonalis kanan keluar ke vena pulmonalis kiri dan bagian ini dipotong. Ujung pisau dimasukkan melalui katup mitral keluar di insisi bilik kiri dan bagian ini dipotong. Ujung pisau kemudian dimasukkan melalui katup aorta dan otot jantung dari apeks dipotong sejajar
17
dengan septum inetrventrikulorum. Jantung sekarang sudah terbuka, diperiksa katup, otot kapiler, chorda tendinea, foramen ovale, septum interventrikulorum. Arteri koronaria diiris dengan pisau yang tajam sepanjang 4-5 mm mulai dari lubang dikatup aorta. Otot jantung bilik kiri diiris di pertengahan sejajar dengan epikardium dan endokardium, demikian pula dengan septum interventrikulorum.
b)
Paru-paru : Paru-paru kanan dan kiri dilepaskan dengan memotong bronkhi dan
pembuluh darah di hilus, setelah perkardium diambil. Vena pulmonalis dibuka dengan gunting, kemudian bronkhi dan terakhir arteri pulmonalis. Paru-paru diiris longitudinal dari apeks ke basis. Tulang dada diangkat dengan memotong tulang rawan iga 1 cm dari sambungannya dengan cara pisau dipegang dengan tangan kanan dengan bagian tajam horizontal diarahkan pada tulang rawan iga dan dengan tangan yang lain menekan pada punggung pisau. Pemotongan dimulai dari tulang rawan iga no. 2. Tulang dada diangkat dan dilepaskan dari diafragma kanan dan kiri kemudian dilepaskan mediastinum anterior. Rongga paru-paru diperiksa adanya perlengketan, darah, pus atau cairan lain kemudian diukur. Kemudian pisau dengan tangan kanan dimasukkan dalam rongga paruparu, bagian tajam tegak lurus diarahkan ke tulang rawan no.1 dan tulang rawan dipotong sedikit ke lateral, kemudian bagian tajam pisau diarahkan ke sendi sternoklavikularis dengan menggerak-gerakkan sternum, sendi
18
Mediastinum anterior diperiksa adanya timus persistens. Perikardium dibuka dengan Y terbalik, diperiksa cairan perikardium, normal sebanyak kurang lebih 50 cc dengan warna agak kuning. Apeks jantung diangkat, dibuat insisi di bilik dan serambi kanan diperiksa adanya embolus yang menutup arteri pulmonalis. Kemudian dibuat insisi di bilik dan serambi kiri. Jantung dilepaskan dengan memotong pembuluh besar dekat perikardium. 2.
a)
Perut Esofagus-Lambung-Doudenum-Hati Semua organ tersebut di atas dikeluarkan sebagai satu unit. Esofagus diikat ganda dan dipotong. Diafragma dilepaskan dari hati dan esofagus dan unit tadi dapat diangkat. Sebelum diangkat, anak ginjal kanan yang biasanya melekat pada hati dilepaskan terlebih dahulu. Esofagus dibuka terus ke kurvatura mayor, terus ke duodenum. Perhatikan isi lambung, dapat membantu penentuan saat kematian. Kandung empedu ditekan, bulu empedu akan menonjol kemudian dibuka dengan gunting ke arah papila Vater, kemudian dibuka ke arah hati, lalu kandung empedu dibuka. Perhatikan mukosa dan adanya batu. Buluh kelenjar ludah diperut dibuka dari papila Vater ke pankreas. Pankreas dilepaskan dari duodenum dan dipotong-potong transversal. Hati : perhatikan tepi hati, permukaan hati, perlekatan, kemudian dipotong longitudinal. Usus halus dan usus besar dibuka dengan gunting ujung tumpul, perhatikan mukosa dan isinya, cacing.
b)
19
Organ tersebut di atas dikeluarkan sebagai satu unit. Ginjal dengan suatu insisi lateral dapat diangkat dan dilepaskan dengan memotong pembuluh darah di hilus, kemudian ureter dilepaskan sampai panggul kecil. Kandung urine dan rektum dilepaskan dengan cara memasukkan jari telunjuk lateral dari kandung urine dan dengan cara tumpul membuat jalan sampai ke belakang rektum. Kemudian dilakukan sama pada bagian sebelahnya. Tempat bertemunya kedua jari telunjuk dibesarkan sehingga 4 jari kanan dan kiri dapat bertemu, kemudian jari kelingking dinaikkan ke atas dengan demikian rektum lepas dari sakrum. Rektum dan kandung urine dipotong sejauh dekat diafragma pelvis. Anak ginjal dipotong transversal. Ginjal dibuka dengan irisan longitudinal dari lateral ke hilus. Ureter dibuka dengan gunting sampai kandung urine, kapsul ginjal dilepas dan perhatikan permukaannya. Pada laki-laki rektum dibuka dari belakang dan kandung urine melalui uretra dari muka. Rektum dilepaskan dari prostat dan dengan demikian terlihat vesika seminalis. Prostat dipotong transversal, perhatikan besarnya penampang. Testis dikeluarkan melalui kanalis spermatikus dan diiris longitudinal, perhatikan besarnya, konsistensi, infeksi, normal, tubuli semineferi dapat ditarik seperti benang.
c)
Urogenital Perempuan : Kandung urine dibuka dan dilepaskan dari vagina. Vagina dan uterus
dibuka dengan insisi longitudinal dan dari pertengahan uterus insisi ke kanan dan ke kiri. Ke kornu. Tuba diperiksa dengan mengiris tegak lurus pada jarak 1 - 1,5 cm. Ovarium diinsisi longitudinal.
20
Pada abortus provokatus kriminalis yang dilakukan dengan menusuk ke dalam uterus, seluruhnya : kandung urine, uterus dan vagina, rektum difiksasi dalam formalin 10% selama 7 hari, setelah itu dibuat irisan tegak lurus pada sumbu rektum setebal 1,25 cm, kemudian semuanya direndam dalam alkohol selama 24 jam. Saluran tusuk akan terlihat sebagai noda merah, hiperemis. Dari noda merah ini dibuat sediaan histopatologi. Usus halus dipisahkan dari mesenterium, usus besar dilepaskan, duodenum dan rektum diikat ganda kemudian dipotong. Limpa : dipotong di hilus, diiris longitudinal, perhatikan parenkim, folikel, dan septa. 3. Leher Lidah, laring, trakea, esofagus, palatum molle, faring dan tonsil dikeluarkan sebagai satu unit. Perhatikan obstruksi di saluran nafas, kelenjar gondok dan tonsil. Pada kasus pencekikan tulang lidah harus dibersihkan dan diperiksa adanya patah tulang. 4. Kepala Kulit kepala diiris dari prosesus mastoideus kanan sampai yang kiri dengan mata pisau menghadap keluar supaya tidak memotong rambut terlalu banyak. Kulit kepala kemudian dikelupas ke muka dan ke belakang dan tempurung tengkorak dilepaskan dengan menggergajinya. Pahat dimasukkan dalam bekas mata gergaji dan dengan beberapa ketukan tempurung lepas dan dapat dipisahkan. Durameter diinsisi paralel dengan bekas mata gergaji. Falx serebri digunting dibagian muka. Otak dipisah dengan memotong pembuluh darah dan saraf dari muka ke belakang dan kemudian medula oblongata. Tentorium
21
serebri diinsisi di belakang tulang karang dan sekarang otak dapat diangkat. Selaput tebal otak ditarik lepas dengan cunam. Otak kecil dipisah dan diiris horisontal, terlihat nukleus dentatus. Medula oblongata diiris transversal, demikiaan pula otak besar setebal 2,5 cm. Pada trauma kepala perhatikan adanya edema, kontusio, laserasi serebri. 5. Tengkorak Neonatus : Kulit kepala dibuka seperti biasa, tengkorak dibuka dengan menggunting sutura yang masih terbuka dan tulang ditekan ke luar, sehingga otak dengan mudah dapat diangkat.
2.9
Insisi Insisi dilakukan hingga mencapai kedalamaan setebal kulit saja. Insisi
berbentuk huruf I merupakan insisi yang paling ideal. Insisi I dimulai di bawah tulang rawan krikoid di garis tengah sampai prosesus xifoideus kemudian 2 jari paramedian kiri dari pusat sampai simfisis, dengan demikian tidak perlu melingkari pusat. Atas indikasi kosmetik insisi Y tidak dianjurkan. Insisi melalui lekukan suprastenal menuju simfisis pubis, lalu dari lekukan suprasternal ini dibuat sayatan melingkari bagian leher.3,4
22
Gambar 3. Skin Insisi (diambil dari kepustakaan no.9) Pada beberapa keadaan tertentu, diperlukan berbagai prosedur khusus dalam tindakan otopsi, antara lain : insisi Y, insisi pada kasus dengan kelainan leher, tes emboli udara, tes apung paru, tes pada alphanaphthylamine.4
1.
pneumothorax,
dan
tes
jenazah yang sudah diberi pakaian, tidak memperlihatkan adanya jahitan setelah dilakukan bedah mayat. Ada dua macam insisi Y, yaitu :
23
a)
Insisi yang dilakukan dangkal (shallow incision) yang dilakukan pada tubuh pria.
Buat sayatan yang letaknya tepat di bawah tulang selangka dan sejajar dengan tulang tersebut, kiri dan kanan, sehingga bertemu pada bagian tengah (incisura jugularis).
Lanjutkan sayatan, dimulai dari incisura jugularis ke arah bawah tepat di garis pertengahan sampai ke sympisis os pubis menghindari daerah umbilikus.
Kulit daerah leher dilepaskan secara hati-hati sampai ke rahang bawah; tindakan ini dimulai dari sayatan yang telah dibuat pertama kali.
Dengan kulit daerah leher dan dada bagian atas tetap utuh, alat-alat dalam rongga mulut dan leher dikeluarkan.
Tindakan selanjutnya sama dengan tindakan pada bedah mayat yang biasa.
b)
Insisi yang lebih dalam (deep incision), yang dilakukan untuk kaum wanita.
Buat sayatan yang letaknya tepat di bawah buah dada, dimulai dari bagian lateral menuju bagaian medial (proc. Xiphoideus); bagian lateral disini dapat dimulai dari ketiak, ke arah bawah sesuai dengan arah garis ketiak depan (linea axillaris anterior), hal yang sama juga dilakukan untuk sisi yang lain (kiri dan kanan).
Lanjutkan sayatan ke arah bawah seperti biasa, sampai simphisis os pubis, dengan demikian pengeluaran dan pemeriksaan alat-alat yang
24
berada dalam rongga mulut, leher, dan rongga dada lebih sulit bila dibandingkan dengan insisi Y yang dangkal.
2.
Insisi pada Kasus dengan Kelainan di Daerah Leher Buat insisi I, yang dimulai dari incisura jugularis, ke arah bawah seperti biasa, sampai ke simpisis os pubis. Buka rongga dada, dengan jalan memotong tulang dada dan iga-iga. Keluarkan jantung, dengan menggunting mulai dari v.cava inferior, v.pulmonalis, a.pulmonalis, v.cava superior dan terakhir aorta. Buka rongga tengkorak, dan keluarkan organ otaknya. Dengan adanya bantalan kayu pada daerah punggung, maka daerah leher akan bersih dari darah, oleh karena darah telah mengalir ke atas ke arah tengkorak dan ke bawah, ke arah rongga dada; dengan demikian pemeriksaan dapat dimulai. Insisi ini dimaksudkan agar daerah leher dapat bersih dari darah, sehingga
kelainan yang minimalpun dapat terlihat; misalnya pada kasus pencekikan, penjeratan, dan penggantungan. Prinsip dari teknik ini adalah pemeriksaan daerah dilakukan paling akhir.
3.
Tes emboli udara Buat sayatan I, dimulai dari incisura jugularis, ke arah bawah sampai ke symphisis pubis, Potong rawan iga mulai dari iga ke-3 kiri dan kanan, pisahkan rawan iga dan tulang dada keatas sampai ke perbatasan antara iga ke-2 dan iga ke-3,
25
Potong tulang dada setinggi perbatasan antara tulang iga ke-2 dan ke-3,
Setelah kandung jantung tampak, buat insisi pada bagian depan kandung jantung dengan insisi I, sepanjang kira-kira 5-7 sentimeter; kedua ujung sayatan tersebut dijepit dan diangkat dengan pinset (untuk mencegah air yang keluar) Masukkan air ke dalam kandung jantung, melalui insisi yang telah dibuat tadi, sampai jantung terbenam; akan tetapi bila jantung tetap terapung, maka hal ini merupakan pertanda adanya udara dalam bilik jantung, Tusuk dengan pisau organ yang runcing, tepat di daerah bilik jantung kanan, yang berbatasan dengan pangkal a. Pulmonalis, kemudian putar pisau itu 90 derajat; gelembung-gelembung udara yang keluar menandakan tes emboli hasilnya positif, Bila tidak jelas atau ragu-ragu, lakukan pengurutan pada a. Pulmonalis, ke arah bilik jantung, untuk melihat keluarnya gelembung udara, Bila kasus yang dihadapi adalah kasus abortus, maka pemeriksaan dengan prinsip yang sama, dilakukan mulai dari rahim dan berakhir pada jantung, Semua yang disebut di atas adalah untuk melakukan tes emboli pulmoner, untuk tes emboli sistemik, pada prinsipnya sama, letak perbedaannya adalah pada tes emboli sistemik tidak dilakukan
penusukan ventrikel, tetapi sayatan melintang pada a. Coronaria sinistra ramus desenden, secara serial beberapa tempat, dan diadakan pengurutan atas nadi tersebut, agar tampak gelembung kecil yang keluar,
26
Dosis fatal untuk emboli udara pulmoner 150-130 ml, sedangkan untuk emboli sistemik hanya beberapa ml. Emboli udara, baik yang sistemik maupun emboli udara pulmoner, tidak
jarang terjadi.Pada emboli sistemik udara masuk melalui pembuluh vena yang ada di paru-paru, misalnya pada trauma dada dan trauma daerah mediastinum yang merobek paru-paru dan merobek pembuluh venanya. Emboli pulmoner adalah emboli yang tersering, udara masuk melalui pembuluh-pembuluh vena besar yang terfiksasi, misalnya pada daerah leher bagian bawah, lipat paha atau daerah sekitar rahim (yang sedang hamil); dapat pula pada daerah lain, misalnya pembuluh vena pergelangan tangan sewaktu diinfus, dan udara masuk melalui jarum infus tadi. Fiksasi ini penting, mengingat bahwa tekanan vena lebih kecil dari tekanan udara luar, sehingga jika ada robekan pada vena, vena tersebut akan menguncup, hal ini ditambah lagi dengan pergerakan pernapasan, yang menyedot.
4.
Tes Apung Paru-paru Keluarkan alat-alat dalam rongga mulut, leher dan rongga dada dalam satu kesatuan, pangkal dari esophagus dan trakea boleh diikat. Apungkan seluruh alat-alat tersebut pada bak yang berisi air. Bila terapung lepaskan organ paru-paru, baik yang kiri maupun yang kanan. Apungkan kedua organ paru-paru tadi, bila terapung lanjutkan dengan pemisahan masing-masing lobus, kanan terdapat lima lobus dan kiri dua lobus.
27
Apungkan semua lobus tersebut, catat yang mana yang tenggelam dan mana yang terapung.
Lobus yang terapung diambil sebagian, yaitu tiap-tiap lobus 5 potong dengan ukuran 5 mm x 5 mm, dari tempat yang terpisah dan perifer.
Apungkan ke 25 potongan kecil-kecil tersebut, bila terapung, letakkan potongan tersebu pada dua karton, dan lakukan penginjakan dengan menggunakan berat badan, kemudian dimasukkan kembali ke dalam air.
Bila terapung berarti tes apung paru positif, paru-paru mengandung udara, bayi tersebut pernah dilahirkan hidup.
Bila hanya sebagian yang terapung, kemungkinan terjadi pernafasan partial, bayi tetap pernah dilahirkan hidup.
Tes apung paru-paru dikerjakan untuk mengtahui apakah bayi yang diperiksa itu pernah hidup. Untuk melaksanakan test ini, persyaratannya sama dengan test emboli udara, yakni mayatnya harus segar. Cara melakukan tes apung paru-paru: Tes Pada Pneumothoraks Buka kulit dinding dada pada bagian yang tertinggi dari dada, yaitu sekitar iga ke 4 dan 5 ( udara akan berada pada tempat yang tertinggi ), Buat kantung dari kulit dada tersebut mengelilingi separuhnya dari daerah iga 4 dan 5 ( sekitar 10 x 5 cm ) Pada kantung tersebut kemudian diisi air, dan selanjutnya tusuk dengan pisau, adanya gelembung udara yang keluar berarti ada pneumothorax; dan bila diperiksa paru-parunya, paru-paru tersebut tampak kollaps,
28
Cara lain; setelah dibuat kantung , kantung ditusuk dengan spuit besar dengan jarum besar yang berisi air separuhnya pada spuit tersebut; bila ada pneumothorax, tampak gelembung-gelembung udara pada spuit tadi.
Pada trauma di daerah dada, ada kemungkinan jaringan paru robek, sedemikian rupa sehingga terjadi mekanisme ventil di mana udara yang masuk ke paru-paru akan diteruskan ke dalam rongga dada, dan tidak dapat keluar kembali, sehingga terjadi kumulasi udara, dengan akibat paru-paru akan kolaps dan korban akan mati. Diagnosa pneumothorax yang fatal semata-mata atas dasar test ini, bila test ini tidak dilakukan, diagnosa sifatnya hanya dugaan. Cara melakukan test ini adalah sebagai berikut:
5.
Tes Alpha Naphthylamine Kertas saring Whatman direndam dalam larutan alpha-naphthylamine, dan keringkan dalamoven, hindari jangan sampai terkena sinar matahari, Pakaian yang akan diperiksa, yaitu yang diduga mengandung butir-butir mesiu, dipotong dan di atasnya diletakkan kertas saring yang telah diberi alpha-naphthylamine, Di atas kertas saring yang mengandung alpha-naphthylamine tadi ditaruh lagi kertas saring yang dibasahi oleh aquadest, Keringkan dengan cara menyeterika tumpukan tersebut, yaitu kain yang akan diperiksa, kertas yang mengandung alpha-naphthylamine dan kertas saring yang basah,
29
Test yang positif akan terbentuk warna merah jambu (pink colour), pada kertas saring yang mengandung alpha-naphthylamine; bintik-bintik merah jambu tadi sesuai dengan penyebaran butir-butir mesiu pada pakaian. Test ini dilakukan untuk mengetahui adanya butir-butir mesiu khususnya pada pakaian korban penembakan.
Setelah otopsi selesai, semua organ tubuh dimasukkan kembali ke dalam rongga tubuh. Lidah dikembalikan ke dalam rongga mulut sedangkan jaringan otak dikembalikan ke dalam rongga tengkorak. Jahitkan kembali tulang dada dan iga yang dilepaskan pada saat membuka rongga dada. Jahitkan kulit dengan rapi menggunakan benang yang kuat, mulai dari dagu sampai ke daerah simfisis. Atap tengkorak diletakkan kembali pada tempatnya dan difiksasi dengan menjahit otot temporalis, baru kemudian kulit kepala dijahit dengan rapi. Bersihkan tubuh mayat dari darah sebelum mayat diserahkan kembali pada pihak keluarga. 2.10 Pemeriksaan Penunjang3,10 Pada otopsi juga dilakukan prosedur laboratorium yaitu : 1. Sediaan histopatologi dari masing-masing organ. Dari tiap organ diambil sediaan sebesar 2 x 2 x1 cm kubik dan difiksasi dalam formalin 10%.Organ yang diambil adalah: paru-paru, hati, limpa, pankreas, otot jantung, arteri koronaria, kelenjar gondok, ginjal, prostat, uterus, korteks otak, basal ganglia dan dari bagian lain yang menunjukkan adanya kelainan. 2. Pemeriksaan toksikologi
Seluruh usus dan isinya dengan membuat sekat dengan ikatan-ikatan pada pada usus setiap jarak sekitar 60 cm.
Darah, yang berasal dari sentral (jantung) dan yang berasal dari perifer (v. jugularis; a.femoralis, dan sebagainya), masing-masing 50 ml dan dibagi dua, yang satu diberi bahan pengawet dan yang lain tidak diberi bahan pengawet.
Hati, sebagai tempat detoksifikasi , diambil sebanyak 500 gram. Ginjal, diambil keduanya yaitu pada kasus keracunan logam berat khususnya atau bila urine tidak tersedia.
Otak, diambil 500 gram. Khusus untuk keracunan chloroform dan sianida, dimungkinkan karena otak terdiri dari jaringan lipoid yang mempunyai kemampuan untuk meretensi racun walaupun telah mengalami pembususkan.
Urine, diambil seluruhnya. Karena pada umunya racun akan diekskresikan melalui urine, khususnya pada test penyaring untuk keracunan narkotika, alkohol dan stimulan.
Empedu, diambil karena tempat ekskresi berbagai racun. Pada kasus khusus dapat diambil: jaringan sekitar suntikan, jaringan otot, lemak di bawah kulit dinding perut, rambut, kuku dan cairan otak. Prinsip pengambilan sampel pada kasus keracunan adalah diambil
sebanyak-banyaknya setelah kita sisihkan untuk cadangan dan untuk pemeriksaan histopatologik. Pada pemeriksaan intoksikasi, digunakan alkohol dan larutan garam jenuh pada sampel padat atau organ. NaF 1% dan campuran NaF dan Na
31
sitrat digunakan untuk sampel cair. Sedangkan natrium benzoate dan phenyl mercuric nitrate khusus untuk pengawet urine. 3. Pemeriksaan bakteriologi. Dalam hal ada dugaan sepsis diambil darah dari jantung dan sediaan limpa untuk pembiakan kuman. Permukaan jantung dibakar dengan menempelkan spatel yang dipanaskan sampai merah, kemudiaan darah jantung diambil dengan tabung injeksi yang steril dan dipindah dalam tabung reagen yang steril. Permukaan limpa dibakar dengan cara tersebut di atas dan dengan pinset dan gunting yang steril diambil sepotong limpa dan dimasukkan dalam tabung reagen yang steril dan kedua tabung dikirim ke laboratorium bakteriologi. 4. Sediaan apus bagian korteks otak, limpa dan hati. Mungkin perlu dilakukan untuk melihat parasit malaria. Sediaan hapus lainnya adalah dari tukak sifilis atau cairan mukosa. 5. Darah dan cairan cerebrospinalis diambil untuk pemeriksaan analisa biokimia. 6. 7. 8. Pemeriksaan urine dan feces. Usapan vagina dan anus, utamanya pada kasus kejahatan seksual. Cairan uretra.
2.11 Perawatan Mayat Setelah Autopsi3 Setelah autopsi selesai, semua organ tubuh dimasukkan kembali ke dalam rongga tubuh. Lidah dikembalikan ke dalam rongga mulut sedangkan jaringan otak dikembalikan ke dalam rongga tengkorak.
32
Jahitkan kembali tulang dada dan iga yang dilepaskan pada saat membuka rongga dada. Jahitlah kulit dengan rapi menggunakan benang yang kuat mulai dari bawah dagu sampai ke daerah simfisis. Atap tengkorak diletakkan kembali pada tempatnya dan difiksasi dengan menjahit otot temporalis, baru kemudian kulit kepala dijahit dengan rapi. Bersihkanlah tubuh mayat dan darah sebelum mayat diserahkan kembali kepada pihak keluarga.
33
BAB 3 PENUTUP 3.1 Kesimpulan Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan bahwa : Autopsi merupakan suatu pemeriksaan terhadap tubuh mayat yang terdiri dari pemeriksaan luar maupun pemeriksaan dalam. Tujuan autopsi : menemukan proses penyakit dan atau adanya cedera, melakukan interpretasi atas penemuan penemuan tersebut serta mencari sebab akibat antara kelainan kelainan yang ditemukan dengan penyebab kematian Ada dua jenis autopsi yaitu autopsi klinik dan autopsi forensik. Autopsi forensik atau medikolegal dilakukan atas permintaan penyidik yang tertuang dalam Surat Permintaan Visum et Repertum. Ada empat teknik dasar autopsi / pengeluaran organ yaitu teknik Virchow, teknik Rokitansky, teknik Letulle dan teknik Ghon. Teknik yang sekarang paling sering digunakan adalah teknik modifikasi Letulle. Cara insisi yang dikenal dalam autopsi adalah insisi Y dan insisi I. Selain pemeriksaan luar dan pemeriksaan dalam, pemeriksaan laboratorium juga dibutuhkan jika ada indikasi khusus. Setelah pembedahan selesai, setiap organ dikembalikan ke dalam tubuh sesuai letak anatominya, kemudian tubuh dijahit sesuai garis insisi menggunakan teknik jelujur.
34
DAFTAR PUSTAKA
1. Finkbeiner WE, Ursell PC, Davis RL. The Autopsy Past And Present dalam Autopsy Pathology A Manual And Atlas 2nd Edition. Philadelphia : Saunders;2009.Hal.1-11 2. Sadelman HC. The Autopsy dalam Kobilinsky L: editor : Forensic Medicine. New York : Chelsea House Publisher;2007.Hal. 28 34 3. Tim Pengajar Bagian Kedokteran Forensik FKUI. Teknik Autopsi Forensik. Jakarta : Bagian Kedokteran Forensik FKUI;2010.Hal.1 45 4. Shepherd R. The Autopsy dalam Simpsons Forensic Medicine 12th Edition. London : Arnold Hodder Headline Group;2003.Hal.34 5 5. Sheaff MT, Hopster DJ. General Inspection and Initial Stages of Evisceration dalam Post Mortem Technique Handbook 2nd Edition. London : Springer;2005.Hal.56 81 6. ----------------------------------. Evisceration Technique dalam Post Mortem Technique Handbook 2nd Edition. London : Springer;2005.Hal 82 110 7. Ludwig J. Principles of Autopsy Techniques. Immediate, and Restricted Autopsies, and Other Special Procedures dalam Handbook of Autopsy Practice 3rd Edition. New Jersey : Human Press;2002.Hal.3 8. Finkbeiner WE, Ursell PC, Davis RL. Basic Postmortem Examination dalam Autopsy Pathology A Manual And Atlas 2nd Edition. Philadelphia : Saunders;2009.Hal.34-55 9. Collins KA, Hutchins GM. An Introduction To Autopsy Technique : Step-byStep Diagram. College of American Pathologists : Advancing Excellence;2005.Hal.1-22 10. Mozayani A. Toxicology in The Crime Laboratory. In: Mozayani A,
Noziglia C, editors. The Forensic Laboratory Handbook Procedures and Practice. New Jersey: Humana Press; 2006.p.249-264
35