Anda di halaman 1dari 8

BAB I PENDAHULUAN 1.1.

Latar Belakang Masalah Agama berasal dari bahasa sansekerta yaitu a yang berarti tidak dan gama yang berarti kacau. Diharapkan dengan memeluk suatu agama, manusia dapat menjalani kehidupan dengan baik dan terhindar dari kekacauan hidup. Manusia adalah makhluk yang sangat lemah oleh karena itu manusia akan selalu berusaha mencari perlindungan kepada suatu kekuatan yang melebihi kekuatan insaniah untuk tempat berlindung baik dari segala kesusahan hidup. Agama memberikan pedoman kepada umat manusia bagaimana menjalani hidup dengan baik dan benar. Agama memberikan batasan kepada perilaku manusia agar tercipta kedamaian di muka bumi. Agama menetapkan dasar-dasar moral dan etika, tentang bagaimana manusia saling berinteraksi sesama manusia. Terutama sekali agama mengajarkan bagaimana manusia berinteraksi dengan Sang Maha Pencipta. Agama berkaitan dengan hal-hal yang sifatnya lebih baik dari perilaku moral. Agama menawarkan suatu pandangan dunia dan jawaban atas berbagai persoalan yang membingungkan manusia. Agama mendorong manusia untuk tidak melulu memikirkan kepentingan diri sendiri melainkan juga memikirkan kepentingan sesama (Horton, 1999: 305). Dengan beragama diharapkan manusia terarah tujuan hidupnya. Seperti dalam agama Islam tujuan hidup adalah mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Terlalu mengejar kehidupan dunia bukanlah tujuan yang sebenarnya, karena dunia hanyalah tempat singgah sementara untuk menuju kepada kehidupan yang sesungguhnya yaitu kehidupan akhirat. Namun demikian tidak berarti bahwa seorang muslim hanya mengejar akhirat dan melupakan dunia. Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk menyeimbangkan antara kehidupan dunia dan akhirat. Dengan berorientasi kepada tujuan tersebut diharapkan hidup seorang muslim akan terarah. Agama tidak hanya berisi ritual-ritual wajib seperti dalam Islam sholat lima waktu, puasa di bulan ramadhan, mengerjakan zakat, dan haji bagi yang mampu. Agama juga berisi ritual-ritual sunnah seperti sholat tahajjud, puasa senin-kamis, infak dan lain sebagainya. Lebih jauh lagi agama adalah the way of life, karena ibadah bukan hanya ritual-ritual wajib dan sunnah, melainkan ibadah adalah segenap aktivitas yang dilakukan manusia apakah itu bekerja, belajar, dan segenap aktivitas lainnya yang membawa faedah baik bagi dirinya ataupun bagi masyarakat luas. Betapa pentingnya peran agama pernah diungkapkan oleh pemerintah Singapura dalam koran Associated Press tahun 1982. Pemerintah Singapura mewajibkan semua sekolah mengganti pelajaran tentang kejadian-kejadian mutakhir dengan pelajaran agama agar warganya tidak menjadi bangsa pencuri. Pengajaran agama bagi anak-anak yang berumur 12-13 tahun adalah agama Kristen, Islam, Hindu dan Budha. Adapun siswa yang tidak beragama atau tidak menganut salah satu aliran kepercayaan harus mempelajari secara umum agama-agama dunia atau agama-agama besar. Gong Keng Swee, deputi perdana menteri dan menteri pendidikan, mengatakan gagasan memakai pelajaran agama untuk meningkatkan moral rakyat muncul ketika ia mengepalai angkatan bersenjata Singapura. Menurut pengakuannya, dompet dan arloji akan hilang jika tertinggal di perkampungan tentara lebih dari sepuluh detik saja. Maka pada suatu hari ia mengatakan kepada perdana menteri bahwa sekolah-sekolah di sini

menghasilkan bangsa pencuri dan bahwa untuk mengatasi hal ini sistem pendidikan harus ditekankan pada pelajaran agama (dalam Horton, 1999: 304). Betapa pentingnya peran agama dalam kehidupan kembali didengungkan seraya dengan berkembangnya kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan religiusitas seseorang seperti program ESQ (emotional spiritual question) yang dipelopori oleh Ari Ginanjar. Program ini bertujuan untuk menggali sisi terdalam dari kehidupan spiritual manusia yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pribadi menjadi pribadi yang memiliki kecerdasaran emosional dan spiritual. Selain ESQ ada pula program yang disebut SBT (spiritual building training). Program ini dikembangkan oleh penerbit tiga serangkai. Tujuannya hampir sama dengan ESQ, yaitu meningkatkan kecerdasan spiritual seseorang. Kedua program tersebut telah meneguhkan eksistensi agama sebagai salah satu pilar penting dalam kehidupan manusia. Fenomena ini tentu saja bertolak belakang dengan pendapat Auguste Comte yang dipandang sebagai bapak sosiologi, ia menyatakan bahwa agama merupakan suatu tahap evolusi. Agama pernah dipandang penting, namun sudah menjadi usang lantaran perkembangan masyarakat menuju masyarakat modern. Sistem keyakinan religius sudah sudah digandingan dengan pengetahuan ilmiah. Comte menuliskan tiga tahap pemikiran manusia: teologis (religius), metafisis (filosofis) dan ilmiah (positif). Bagi Comte hanya tahap terakhir yang sah, kalau agama masih tetap bertahan, itupun hanya sebagai agama humanitas berdasarkan ilmu pengatahuan (Horton, 1999: 306).

1.2. Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah di atas dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut. Apakah terdapat hubungan antara religiusitas siswa dengan prestasi belajar? 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui bagaimanakah tingkat religiusitas siswa SMAN 1 Batanghari? 2. Mengetahui hubungan antara tingkat religiusitas siswa dengan prestasi belajar siswa Sedangkan manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Meningkatkan keyakinan siswa terhadap agama yang dianut 2. Meningkatkan ketaatan siswa terhadap ajaran agamnya masing-masing 3. Meningkatkan prestasi belajar siswa 1.4. Hipotesis Penelitian Dari rumusan masalah diatas maka dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berkut: Hipotesis kerja/alternatif (Ha) Terdapat hubungan antara tingkat religiusitas dengan prestasi belajar Hipotesis nol (Ho) Tidak terdapat hubungan antara tingkat religiusitas dengan prestasi belajar 1.5. Penjelasan Istilah Istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah religiusitas dan prestasi belajar. Religiusitas adalah tingkat ketaatan seseorang terhadap ajaran agama yang dianut. Bagi seorang muslim tingkat religiusitas dapat diukur dari frekuensi pelaksanaan ibadah seperti sholat, puasa, dan ibadah lainnya. Sedangkan prestasi belajar dilihat dari kemampuan akademis yang dimiliki oleh seseorang yang diukur dari jumlah nilai rapor yang berhasil diperoleh pada akhir suatu periode pembelajaran. 1.6. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif karena data-data yang dikumpulkan berupa angka-angka yang diolah dengan menggunakan statistik. Landasan teori

BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Uraian Teoritis 2.1.1 Agama Sebagai Kekuatan Pemersatu Masyarakat Emile Durkheim, seorang sosiolog Perancis, bertahun-tahun menyelidiki praktekpraktek religius suku asli Australia. Dalam The Elementary Forms of Religiuous Life (1912) ia menyimpulkan bahwa tujuan utama agama dalam masyarakat primitif adalah untuk membantu orang melakukan kontak bukan dengan Tuhannya, tetapi dengan sesamanya. Ritual-ritual religius membantu orang untuk mengembangkan rasa sepaguyuban (sense of community) misalnya, mereka bersama-sama ambil bagian dalam peristiwa perkawinan, kelahiran dan kematian dan bersama-sama merayakan musim tanam dan panen serta masa titik balik matahari musim dingin. Hal itu mempersatukan kelompok; jadi tidak seorang pun menghadapi kehidupan ini sendirian (Hefri, 2011: 45). Corak utama dari agama apa saja dalam pandangan Durkheim adalah berhubungan dengan suatu dunia yang suci (sacred realm). Dia mendefinisikan agama sebagai suatu sistem yang terpadu mengenai kepercayaan-kepercayaan, praktekpraktek yang berhubungan dengan benda-benda suci, benda-benda khusus atau terlarang, kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek yang menyatu dalam satu komunitas yang disebut umat, semuanya berhubungan dengan itu. Konsep mengenai yang suci itu berhubungan dengan suatu dunia yang dipercayai sebagai terpisah dari dan seluruhnya berbeda dari yang biasa, yakni dunia kehidupan profan sehari-hari (Johnson, 1981: 196) Ide mengenai yang suci muncul dari kehidupan kelompok dan sebenarnya mewakili kenyataan kelompok itu dalam bentuk simbol. Dalam mengembangkan argumennya ini Durkheim mengemukakan bahwa klan-klan totemik primitf mengidentifikasi dirinya sendiri dengan nama-nama totem yang khusus. Apapun nama totemnya itu (kangguru, kerbau dan lain-lain), nama totem adalah nama atau lambang klan itu, dan mereka percaya bahwa benda totem itu mewujudkan prinsip totem yang suci, atau apa yang disebut mana (Johnson, 1981: 197). Durkheim menjelaskan bahwa hubungan kekuasaan ilahi yang bersifat supernatural yang dirasakan orang sama dengan hubungan mereka dengan masyarakat. Individu memiliki suatu hubungan ketergantungan, dan perilaku individu dibimbing dan dikontrol, kadang-kadang berlawanan atau berlainan dengan kepentingan pribadi. Yang paling penting individu mempunyai perasaan berada dalam situasi dimana kekuasaan yang transenden itu hadir lebih besar daripada individu(Johnson, 1981: 197). Kesadaran individu akan suatu kekuasaan seperti itu didasarkan pada suatu bentuk interaksi yang saling merangsang yang dalam hal-hal tertentu dapat dibandingkan dengan dinamika-dinamika psikologi kerumunan. Individu-individu datang berkumpul pada kesempatan-kesempatan upacara atau ritus melalui interaksi yang tinggi di antara mereka sembari memusatkan perhatian pada suatu obyek yang sama, sehingga ada suatu peningkatan emosional secara bertahapyang menjadi kuat dalam setiap orang karena kesadaran bahwa semua orang yang lain sedang ikut dalam pengalaman yang sama. Hasil akhir dari proses saling merangsang secara kolektif ini adalah terciptanya suatu situasi emosional dimana individu-individu kehilangan individualitasnya serta kontrol diri dan terhanyut dalam suatu jenis keadaan yang secara emosional tinggi. Hal ini tidak akan pernah terjadi secara pribadi (Johnson, 1981: 198).

Sementara itu dalam masyarakat modern terjadi perubahan dalam solidaritas yang disebabkan oleh agama. Seperti perasaan gembira emosional yang ditekankan oleh Durkheim pada upacara ritus kolektif sudah jarang ditemukan pada masyarakat modern. Faktanya, banyak pemimpin agama yang bersifat kritis terhadap pelayanan-pelayanan ibadah yang memperlihatkan bentuk ritualistik belaka yang tidak mengandung makna atau membangkingkan emosi yang mereka pikir harus berbuat begitu. Banyak orang yang mungkin beribadah tidak merupakan kebiasaan atau perasaan wajib dan agak rendah tingkat emosionalnya. Mereka mungking diilhami atau mengalami suatu perasaan senang lahir batin atau kepuasaan sebagai hasilnya, tetapi rasa gembira emosional yang mendalam yang Durkheim gambarkan agaknya tidak biasa terjadi dalam banyak pelayanan di gereja (Johnson, 1981 :200) Dalam suatu negara yang didalamnya terdapat beragam keyakinan dan denominasi agama tidak dengan mudah dapat mempersatukan seluruh masyarakat, namun dapat mempersatukan masing-masing kelompok religius dalam suatu sistem yang saling menopang. 2.1.2 Agama sebagai candu rakyat Pandangan Karl Marx didasarkan pada premis dasarnya bahwa: kekuatan yang paling dominan dalam masyarakat adalah kekuatan ekonomi, sedangkan kekuatan yang lainnya adalah sekunder. Agama dilihat sebagai kesadaran yang palsu, karena hanya berkenaan dengan hal-hal yang sepele dan semu atau hal-hal yang tidak ada seperti sungguh-sungguh mencerminkan kepentingan kepentingan ekonomi kelas sosial yang berkuasa. Agama merupakan candu rakyat karena hanya menawarkan cita-cita yang tidak terjangkau, membelokkan rakyat dari perjuangan kelas dan memperpanjang dari eksploitasi mereka. Oleh karena itu, semua pemerintahan komunis adalah musuh agama (Hefri, 2011: 45). 2.1.3 Agama Sebagai Kekuatan Dinamis Salah satu teori yang paling berpengaruh tentang hubungan timbal balik antara agama dan ekonomi dinyatakan oleh Weber dalam bukunya yang berjudul The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism (1904). Weber menyatakan bahwa revolusi industri dan pertumbuhan bisnis berskala besar jauh lebih cepat berkembang di daerah Protestan daripada di daerah Katolik, dan daerah-daerah yang berbau Protestan jauh lebih giat dalam pengembanan bisnis. Keadaan semacam itu dapat menjelaskan depresi ekonomi di Prancis yang menyusul pengusiran orang-orang Huguenot pada akhir abad ke tujuh belas. Ungkapan kaya seperti orang Huguenot menjadi stereotip yang populer, dan pengusiran terhadap orang-orang Protestan memperlambat laju industri Prancis tetapi mempercepat perkembangan bisnis di negara-negara tempat orang-orang Huguenot mencari suaka. Etika protestan menanamkan keutamaan-keutamaan individualisme, hidup sederhana, hemat dan pemuliaan pekerjaan religius praktek yang jelas membantu akumulasi kekayaan. Praktek ini biasanya dikatikan dengan penekanan Agama Protestan pada tanggung jawab individu dan bukan pada gereja, pada interpretasi sukses duniawi sebagai tanda rahmat Tuhan, dan pada reaksi terhadap simbol-simbol kekayaan yang telah ditumpuk oleh gereja tradisional (Hefri, 2011: 45-46). 2.2 Konsep Yang Mendasari Perumusah Hipotesis

BAB III HASIL PENELITIAN 3.1 Jumlah responden berdasarkan usia No Usia 1 14 15 16 17

Jumlah 3 2 20 5

3.2 Religiusitas siswa Tingkat Responden religiusitas (x) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 10 9 8 2 2 2 10 10 10 10 10 10 10 10 2 3 2 3 2 3 2 3 2 3 2 3 2 3 2

Prestasi belajar (y) 5 4 4 1 1 1 5 4 5 4 5 4 5 4 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

x2 100 81 64 4 4 4 100 100 100 100 100 100 100 100 4 9 4 9 4 9 4 9 4 9 4 9 4 9 4

Y2 25 16 16 1 1 1 25 16 25 16 25 16 25 16 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

XY

30

3 153

1 68

9 1161

1 240

3.3 Analisa Data 3.4

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan Dari hasil penelitian ini diperoleh data bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara religiusitas dengan prestasi belajar. Dengan demikian maka religiusitas sangat berpengaruh terhadap prestasi belajar. 4.2 Saran Kepada para siswa diharapkan dapat meningkatkan tingkat religiusitas sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Karena keimanan dan ketakwaan sangat mempengaruhi intelektualitas seseorang.

Anda mungkin juga menyukai