Anda di halaman 1dari 28

Blok Mekanisme Pertahanan Tubuh Skenario 2: Reaksi Alergi

Ketua Sekretaris Anggota

: Aulia Himmah Dzulhijjadyanti : Dila Putri Kristiyanti : Adi Wibowo Amirah Yusnidar Baiq Nadia Syauqi Dmitri Muhammad Rifanda Halima Tusadia Tahari Hanny Dwi Setiowati Jelsa Meida

1102012032 1102012066 1102011006 1102012020 1102012040 1102012071 1102012103 1102012108 1102012137

Kelompok

: A14

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI JAKARTA 2012/2013

SKENARIO 2 REAKSI ALERGI Seorang perempuan berusia 25 tahun,dating ke dokter dengan keluhan demam dan sakit menelan sejak 2 minggu yang lalu. Dokter memberikan antibiotika golongan penisilin. Setelah meminum antibiotika tersebut timbul gatal dan bentol-bentol merah yang hampir merata di seluruh tubuh, timbul bengkak pada kelopak mata dan bibir. Ia memutuskan untuk kembali berobat ke dokter. Pada pemeriksaan fisik didapatkan angioedema di mata dan bibirnya, dan urtikaria di seluruh tubuhnya. Dokter menjelaskan keadaan ini diakibatkan oleh reaksi alergi (hipersensitivitas tipe cepat), sehingga ia mendapatkan pengobatan antihistamin dan kortikosteroid. Dokter memberikan saran agar selalu berhati-hati dalam meminum obat.

Kata-kata Sulit
Angioedema: Reaksi vaskuler pada dermis bagian dalam, ditandai dengan vasodilatasi dan peningkataan permeabilitas kapiler Urtikaria: Reaksi vaskuler lapisan dermis atas ditandai gambaran sementara bercak agak menonjol, merah dan gatal Hipersensitivitas: Peningkatan reaktivitas/sensitivitas terhadap antigen yang pernah dipajankan/dikenal sebelumnya Kortikosteroid: Kelompok hormone steroid yang dihasilkan dikulit kelenjar adrenal Antihistamine: Agen yang melawan kerja histamine, digunakan untuk menyebut agen yang melekat reseptor H

Pertanyaan
1. 2. 3. 4. 5. 6. Apa saja jenis-jenis reaksi alergi? Bagaimana mekanisme terjadinya reaksi alergi? Berapa rentang waktu untuk dikatakan hipersensitivitas tipe cepat? Apa saja yang termasuk golongan penisilin? Apa saja efek samping dari kosrtikosteroid? Apa saja jenis-jenis hipersensitivitas?

Jawaban
1. Menurut waktu timbulnya reaksi terbagi menjadi 3 yaitu reaksi cepat, reaksi intermediet, dan reaksi lambat. 2. Saat antigen memasuki tubuh, secara otomatis seluruh jaringan tubuh akan melakukan suatu proses kompleks untuk mengenali benda asing tersebut. Sel darah putih menghasilkan antibodi spesifik untuk melawan antigen disebut sensitisasi. Antibodi bekerja dengan mendeteksi dan merusak substansi yang menyebabkan penyakit. Antibodi ini memerintah para mediator untuk memproduksi semacam zat yang mampu mengurangi kadar kimia dan hormon yang dimiliki antigen. Mediator mempunyai efek meningkatkan aktivitas sel darah putih. Inilah yang memungkinkan terjadinya gejala yang mengikuti. Jika hadirnya mediator dirasa sudah cukup, reaksi Alergi bisa dikatakan telah berakhir. 3. Reaksi cepat terjadi dalam hitungan detik, menghilang dalam 2 jam 4.
No 1 2 Nama generic Penisilin V Kloksasilin Nama dagang Fenocinospen Ikaclox PenbritinOmnipen 3 Ampicillinum viccilin Pabrik ActavisNovartis Ikapharmindo GSKWyeth Meiji

Amoksisilin (amoxicillinum)

Amoxilospamox

BeechamSandoz GSK kalbe farma

Co-amoxiclav

Augmentinclavamox

5. Komplikasi yang timbul akibat pengobatan lama ialah gangguan cairan dan elektrolit , hiperglikemia dan glikosuria, mudah mendapat infeksi terutama tuberkulosis, pasien tukak peptik mungkin dapat mengalami pendarahan atau perforasi, osteoporosis dll. 6. Menurut Gell dan Coombs terbagi menjadi 4 yaitu reaksi hipersensitivitas tipe I atau reaksi cepat atau reaksi alergi, reaksi hipersensitivitas tipe II atau reaksi sitotoksik, reaksi hipersensitivitas tipe III atau reaksi kompleks imun, dan reaksi hipersensitivitas tipe IV atau reaksi lambat.

Hipotesis Pajanan berupa obat penisilin dapat menimbulkan reaksi hipersensitivitas. Reaksi hipersensivitas terbagi menjadi 4 tipe yaitu hipersensitivitas I, hipersensitivitas II, hipersensitivitas III, dan hipersensitivitas IV. Hipersensitivitas dapat dibedakan menjadi etiologi, mekanisme, manifestasi dan pengobatan.

SASARAN BELAJAR
LI. 1. Memahami dan Mempelajari Hipersensitivitas LO. 1.1. Memahami dan Menjelaskan Definisi Hipersensitivitas LO. 1.2. Memahami dan Menjelaskan Klasifikasi Hipersensitivitas LI. 2. Memahami dan Mempelajari Hipersensitivitas Tipe I LO. 2.1. Memahami dan Menjelaskan Definisi Hipersensitivitas Tipe I LO. 2.2. Memahami dan Menjelaskan Mekanisme Hipersensitivitas Tipe I LO. 2.3. Memahami dan Menjelaskan Manifestasi Hipersensitivitas Tipe I LI. 3. Memahami dan Mempelajari Hipersensitivitas Tipe II LO. 3.1. Memahami dan Menjelaskan Definisi Hipersensitivitas Tipe II LO. 3.2. Memahami dan Menjelaskan Mekanisme Hipersensitivitas Tipe II LO. 3.3. Memahami dan Menjelaskan Manifestasi Hipersensitivitas Tipe II LI. 4. Memahami dan Mempelajari Hipersensitivitas Tipe III LO. 4.1. Memahami dan Menjelaskan Definisi Hipersensitivitas Tipe III LO. 4.2. Memahami dan Menjelaskan Mekanisme Hipersensitivitas Tipe III LO. 4.3. Memahami dan Menjelaskan Manifestasi Hipersensitivitas Tipe III LI. 5. Memahami dan Mempelajari Hipersensitivitas Tipe IV LO. 5.1. Memahami dan Menjelaskan Definisi Hipersensitivitas Tipe IV LO. 5.2. Memahami dan Menjelaskan Mekanisme Hipersensitivitas Tipe IV LO. 5.3. Memahami dan Menjelaskan Manifestasi Hipersensitivitas Tipe IV LI. 6. Memahami dan Mempelajari Peran Antihistamin dan Kortikosteroid LO. 6.1. Memahami dan Menjelaskan Definisi Antihistamin dan Kortikosteroid LO. 6.2. Memahami dan Menjelaskan Farmako Kinetik Antihistamin dan Kortikosteroid LO. 6.3. Memahami dan Menjelaskan Farmako Dinamik Antihistamin dan Kortikosteroid LO. 6.4. Memahami dan Menjelaskan Indikasi Antihistamin dan Kortikosteroid LO. 6.5. Memahami dan Menjelaskan Kontraindikasi Antihistamin dan Kortikosteroid LO. 6.6. Memahami dan Menjelaskan Efek Samping Antihistamin dan Kortikosteroid LI. 7. Memahami dan Mempelajari Alergi dalam Pandangan Islam

LI. 1. Memahami dan Mempelajari Hipersensitivitas LO. 1.1. Memahami dan Menjelaskan Definisi Hipersensitivitas 1. Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya. 2. Atau respon imun yang berlebihan dan yang tidak diinginkan karena dapat menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. 3. Menunjukkan suatu keadaan dengan respons imun yang menyebabkan reaksi berlebihan atau tidak sesuai yang membahayakan pejamu. Pada orang tertentu, reaksi-reaksi tersebut secara khas terjadi setelah kontak kedua dengan antigen spesifik (allergen). Kontak pertama adalah kejadian pendahulu yang dapat menginduksi sensitasi terhadap allergen tersebut. LO. 1.2. Memahami dan Menjelaskan Klasifikasi Hipersensitivitas Menurut waktu timbulnya reaksi a. Reaksi cepat Reaksi cepat terjadi dalam hitungan detik, menghilang dalam 2 jam. Ikatan silang antara alergen dan IgE pada permukaan sel mast menginduksi penglepasan mediator vasoaktif. Manifestasi reaksi cepat berupa anafilaksis sistemik atau anafilaksis berat. b. Reaksi intermediet Reaksi intermediet terjadi setelah beberapa jam dan menghilang dalam 24 jam. Reaksi intermediet diawali oleh IgG dan kerusakan jaringan pejamu yang disebabkan oleh sel neutrofil atau sel NK. M anifestasi reaksi intermediet berupa : i. Reaksi transfusi darah (eritroblastosis, fetalis, dan anemia hemolitik autoimun). ii. Reaksi Arthus lokal dan reaksi sistemik (serum sickness, vaskulitis nekrotis, glomerulonefritis, artritis reumatoid dan LES). c. Reaksi lambat Reaksi lambat terlihat sekitar 48 jam setalah terjadi pajanan dengan antigen yang terjadi oleh aktivasi oleh sel Th. Pada DTH, sitokin yang dilepas sel T mengaktifkan sel efektor makrofag yang menimbulkan kerusakan jaringan. Contoh reaksi lambat adalah dermatitis kontak, reaksi M. Tuberkulosis dan reaksi penolakan tandur. Perbedaan Waktu timbul reaksi Reaksi cepat Hitungan detik Reaksi intermediet Terjadi setelah beberapa jam terpajan Reaksi lambat Terjadi setelah 48 jam terpajan

Menurut Gell dan Coombs a. Reaksi hipersensitivitas tipe I atau reaksi cepat atau reaksi alergi. b. Reaksi hipersensitivitas tipe II atau reaksi sitotoksik. c. Reaksi hipersensitivitas tipe III atau reaksi kompleks imun. d. Reaksi hipersensitivitas tipe IV atau reaksi lambat.

Berdasarkan kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi (Gell dan Coombs):

Tabel 1. Klasifikasi Gell dan Coombs yang telah dimodifikasi Tipe/mekanisme Gejala

I / IgE

Contoh Penisilin dan -laktam Anafilaksis, urtikaria, lainnya, enzim, antiserum, angioedema, mengi, protamin, heparin antibodi hipotensi, nausea, muntah, monoklonal, ekstrak sakit abdomen, diare alergen, insulin Metamizol, fenotiazin Agranulositosis Penisilin, sefalosporin, laktam, kinidin, metildopa Karbamazepin, fenotiazin, tiourasil, sulfonamid, antikonvulsan, kinin, kinidin, parasetol, sulfonamid, propil, tiourasil, preparat emas

II / sitotoksik (IgG dan Anemia hemolitik IgM) Trombositopenia

-laktam, sulfonamid, Panas, urtikaria, atralgia, fenotiazin, streptomisin III / kompleks imun (IgG limfadenopati dan IgM) serum xenogenik, penisilin, Serum sickness globulin anti-timosit Penisilin, anestetik lokal, antihistamin topikal, neomisin, pengawet, Eksim (juga sistemik) eksipien (lanolin, paraben), eritema, lepuh, pruritus desinfekstan IV / hipersensitivitas selular Fotoalergi Fixed drug eruption Lesi makulopapular Salislanilid (halogeneted), asam nalidilik Barbiturat, kinin Penisilin, emas, barbiturat, -blocker Ekstrak alergen, kolagen larut Hidralazin, prokainamid Antibodi terhadap insulin (IgG)

V / reaksi granuloma VI / stimulasi

Granuloma

hipersensitivitas (LE yang diinduksi obat?) Resistensi insulin

LI. 2. Memahami dan Mempelajari Hipersensitivitas Tipe I LO. 2.1. Memahami dan Menjelaskan Definisi Hipersensitivitas Tipe I Reaksi tipe I yang disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis atau reaksi alergi, timbul segera sesudah tubuh terpajan dengan allergen. Pada reaksi Tipe I, allergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan respons imun berupas produksi IgE dan penyakit alergi seperti rhinitis alergi, asma dan dermatitis atopi. LO. 2.2. Memahami dan Menjelaskan Mekanisme Hipersensitivitas Tipe I Pada tipe 1 terdapat beberapa fase, yaitu : a. Fase sensitasi waktu yang dibutuhkan untuk membentuk IgE sampai diikat silang oleh reseptor spesifik pada permukaan sek mast/basofil. b. Fase aktivasi waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang spesifik dan sel mast/basofil melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi. Hal ini terjadi oleh ikatan silang antara antigen dan IgE. c. Fase efektor waktu yang terjadi respon yang kompleks (anafilaksisi) sebagai efek mediator-mediator yang dilepas sel mast/basofil dengan aktivasi farmakologik.

Pajanan dengan mengaktifkan sel Th2 yang merangsang sel B berkembang menjadi sel plasmayang memproduksi IgE. Molekul IgE yang dilepas diikat oleh FceR1 pada sel mast dan basofil(banyak molekul IgE dengan berbagai spesifisitas dapat diikat FceR1). Pajanan kedua denganalergen menimbulkan ikatan silang antara antigen dan IgE yang diikatselmast,memacu penglepasan mediator farmakologis aktif (amin vasoaktif) dari sel mast dan basofil. Mediator-mediator tersebut menimbulkan kontraksi otot polos, meningkatkan permeabilitas vaskular dan vasodilatasi, kerusakan jaringan dan anafilaksis

Mediator Primer Histamin, yang merupakan mediator primer terpenting, menyebabkan meningkatnya permeabilitas vaskular, vasodilatasi, bronkokontriksi, dan meningkatnya sekresi mukus.Mediator lain yang segera dilepaskan meliputi adenosin (menyebabkan bronkokonstriksi danmenghambat agregasi trombosit) serta faktor kemotaksis untuk neutrofil dan eosinofil. Mediator lain ditemukan dalam matriks granula dan meliputi heparin serta protease netral (misalnya,triptase). Protease menghasilkan kinin dan memecah komponen komplemen untuk menghasilkanfaktor kemotaksis dan inflamasi tambahan (misalnya, C3a).

Mediator primer utama pada hipersensitivitas Tipe 1 Efek Peningkatan permeabilitas kapiler, vasodilatasi, kontraksi otot Histamin polos, sekresi mukosa gaster ECF-A Kemotaksis eosinofil NCF-A Kemotaksis neutrofil Sekresi mukus bronkial, degradasi membran basal pembuluh Protease darah, pembentukan produk pemecah komplemen PAF Agregasi dan degranulasi trombosit, kontraksi otot polos paru Hidrolase asam Degradasi matriks ekstraseluler Mediator

Mediator Sekunder 1. Leukotrien C4 dan D4 Merupakan agen vasoaktif dan spasmogenik yangdikenal paling poten; pada dasra molar, agenini beberapa ribu kali lebihaktif daripada histamin dalam meningkatkan permeabilitas vaskular danalam menyebabkan kontraksi otot polos bronkus. Leukotrien B4 sangatkemotaktik untuk neutrofil, eosinofil, dan monosit. 2. Prostaglandin D2 Adalah mediator yang paling banyak dihasilkan oleh jalur siklooksigenasi dalam sel mast. Mediator ini menyebabkan bronkospasmehebat serta meningkatkan sekresi mukus. 3. Faktor pengaktivasi trombosit merupakan mediator sekunder lain,mengakibatkan agregasi trombosit, pelepasan histamin dan bronkospasme.Mediator ini juga bersifat kemotaltik untuk neutrofil dan eosinofil. 4. Sitokin yang diproduksi oleh sel mast (TNF, IL-1, IL-4, IL-5 dan IL-6) dankemokin berperan penting pada reaksi hipersensitivitas tipe I melaluikemampuannya merekrut dan mengaktivasi berbagai macam sel radang.TNF merupakan mediator yang sangat poten dalam adhesi, emigrasi, danaktivasi leukosit. IL-4 juga merupakan faktor pertumbuhan sel mast dandiperlukan untuk mengendalikan sintesis IgE oleh sel B. Mediator sekunder utama pada Hipersensitivitas Tipe 1 Mediator Efek

Sitokin Bradikinin

Aktivasi berbagai sel radang Peningkatan permebilitas kapiler, vasodilatasi, kontraksi otot polos, stimulasi ujung saraf nyeri Kontrakso otot polos paru, vasodilatasi, agregasi trombosit Kontraksi otot polos, peningkatan permeabilitas, kemotaksis

Prostaglandin D2 Leukotrien

LO. 2.3. Memahami dan Menjelaskan Manifestasi Hipersensitivitas Tipe I Manifestasi dari Hipersensitivitas Tipe I ialah a. Reaksi lokal Reaksi hipersensitifitas tipe 1 lokal terbatas pada jaringan atau organ spesifik yang biasanya melibatkan permukaan epitel tempat alergan masuk. Kecenderungan untuk menunjukkan reaksi Tipe 1 adalah diturunkan dan disebut atopi. Sedikitnya 20% populasi menunjukkan penyakit yang terjadi melalui IgE seperti rinitis alergi, asma dan dermatitis atopi. IgE yang biasanya dibentuk dalam jumlah sedikit, segera diikat oleh sel mast/basofil. IgE yang sudah ada pada permukaan sel mast akan menetap untuk beberapa minggu. Sensitasi dapat pula terjadi secara pasif bila serum (darah) orang yang alergi dimasukkan ke dalam kulit/sirkulasi orang normal. Reaksi alergi yang mengenai kulit, mata, hidung dan saluran nafas. b. Reaksi sistemik anafilaksisi Anafilaksisi adalah reaksi Tipe 1 yang dapat fatal dan terjadi dalam beberapa menit saja. Anafilaksis adalah reeaksi hipersensitifitas Gell dan Coombs Tipe 1 atau reaksi alergi yang cepat, ditimbulkan IgE yang dapat mengancam nyawa. Sel mast dan basofil merupakan sel efektor yang melepas berbagai mediator. Reaksi dapat dipacu berbagai alergan seperti makanan (asal laut, kacang-kacangan), obat atau sengatan serangga dan juga lateks, latihan jasmani dan bahan anafilaksis, pemicu spesifiknya tidak dapat diidentifikasi. c. Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid adalah reaksi sistemik umum yang melibatkan pengelepasan mediator oleh sel mast yang terjadi tidak melalui IgE. Mekanisme pseudoalergi merupakan mekanisme jalur efektor nonimun. Secara klinis reaksi ini menyerupai reaksi Tipe I seperti syok, urtikaria, bronkospasme, anafilaksis, pruritis, tetapi tidak berdasarkan atas reaksi imun. Manifestasi klinisnya sering serupa, sehingga kulit dibedakan satu dari lainnya. Reaksi ini tidak memerlukan pajanan terdahulu untuk menimbulkan sensitasi. Reaksi anafilaktoid dapat ditimbulkan antimikroba, protein, kontras dengan yodium, AINS, etilenoksid, taksol, penisilin, dan pelemas otot.

LI. 3. Memahami dan Mempelajari Hipersensitivitas Tipe II LO. 3.1. Memahami dan Menjelaskan Definisi Hipersensitivitas Tipe II Reaksi hipersensitivitas Tipe II atau reaksi sitotaksik terjadi oleh karena terbentuknya IgM/IgG oleh pajanan antigen. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel-sel yang memiliki reseptornya (FcgR). Ikatan antigen-antibodi juga dapat mengaktifkan komplemen melalui reseptor komplemen. LO. 3.2. Memahami dan Menjelaskan Mekanisme Hipersensitivitas Tipe II Hipersensitivitas tipe II diperantarai oleh antibodi yang diarahkan untuk melawan antigen target pada permukaan sel atau komponen jaringan lainnya. Respon hipersensitivitas disebabkanoleh pengikatan antibodi yangdiikuti salah satu dari tiga mekanisme bergantung antibodi, yaitu: 1. Respon yang bergantung komplemen Komplemen dapat memerantarai hipersensitivitas tipe II melalui dua mekanisme: lisislangsung dan opsonisasi. Pada sitotoksisitas yang diperantarai komplemen, antibodi yangterikat pada antigen permukaan sel menyebabkan fiksasi komplemen pada permukaan sel yang selanjutnya diikuti lisis melalui kompleks penyerangan membran. Sel yang diselubungi oleh antibodi dan fragmen komplemen C3b (teropsonisasi) rentan pula terhadap fagositosis.Sel darah dalam sirkulasi adalah yang paling sering dirusak melalui mekanisme ini, meskipun antibodi yang terikat pada jaringan yang tidak dapat difagosit dapat menyebabkan fagositosis gagal dan jejas. Secara klinis, reaksi yang diperantarai oleh antibodi terjadi pada keadaan sebagai berikut: a. Reaksi transfusi, sel darah merah dari seorang donor yang tidak suai dirusak setelah diikat oleh antibodi resipien yang diarahkan untuk melawan antigen darah donor. b. Eritroblastosis fetalis karena inkompaktibnilitas antigen rhesus; antigen materal yang melawan Rh pada seorang ibu Rh-negatif yang telah tersensitisasi akan melewati plasenta dan menyebabkan kerusakan sel darah merahnya sendiri. c. Anemia hemolitik autoimun, agranulositosis, atau trombositopenia yang disebabkan oleh antibodi yang dihasilkan oleh seorang individu yang menghasilkan antibodi terhadap sel darah merahnya sendiri. d. Reaksi obat, antibodi diarahkan untuk melawan obat tertentu (atau metabolitnya)byangsecara nonspesifik diadsorpsi pada permukaan sel (contohnya adalah hemolisis yang dapat terjadi setelah pemberian penisilin). e. Pemfigus vulgaris disebabkan oleh antibody terhadap protein desmosom yang menyebabkan terlepasnya taut antarsel epidermis. 2. Sitotoksisitas Selular Bergantung Antibodi Bentuk jejas yang diperantarai antibodi ini meliputi pembunuhan melalui jenis sel yang membawa reseptor untuk bagian Fc IgG;sasaran yang diselubungi oleh antibodi dilisis tanpa difagositosis ataupun fiksasi komplemen. ADCC dapat diperantarai oleh berbagai macam leukosit, termasuk neutrofil,eosinofil, makrofag, dan sel NK. Meskipn secara khusus ADCC diperantarai oleh antibodi IgG, dalm kasus tertentu (misalnya, pembunuhan parasit yang diperantarai oleheosinofil) yang digunakaan adalah IgE.

3. Disfungsi sel yang diperantarai oleh antibodi Pada beberapa kasus, antibodi yang diarahkanuntuk melawan reseptor permukaan selmerusak atau mengacaukan fungsi tanpa menyebabkan jejas sel atau inflamasi. Oleh karena itu, pada miastenia gravis, antibodi terhadap reseptor asetilkolin dalm motor endplate otot-otot rangka mengganggu transmisi neuromuskular disertai kelemahan otot. Sebaliknya, antibodi dapat merangsang fungsiotot. Pada penyakit Graves, antibodi terhada preseptor hormon perangsang tiroid (TSH)merangsang epitel tiroid dan menyebabkan hipertiroidisme LO. 3.3. Memahami dan Menjelaskan Manifestasi Hipersensitivitas Tipe II Manifestasi khas: reaksi transfuse, eritroblastosis fetalis, anemia hemolitik autoimun. 1) Reaksi Transfusi a. Sejumlah besar protein dan glikoprotein pada membran sel darah merah disandi oleh berbagai gen. b. Bila darah individu golongan darah A mendapat transfusi golongan B terjadi reaksi transfusi, oleh karena anti B isohemaglutinin berikatan dengan sel darah B yang menimbulkan kerusakan darah direk oleh hemolisis masif intravaskular. Reaksi dapat cepat atau lambat. - Reaksi cepat Disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah ABO yang dipacu oleh IgM. Dalam beberapa jam hemoglobin bebas dapat ditemukan dalam plasma dan disaring melalui ginjal dan menimbulkan hemoglobinuria. Beberapa hemoglobin diubah menjadi bilirubin yang pada kadar tinggi bersifat oksik. Gejala khasnya berupa demam, menggigil, nausea, bekuan dalam pembuluh darah, nyeri pinggang bawah dan hemoglobinuria. - Reaksi lambat Terjadi pada mereka yang pernah mendapat transfusi berulang dengan darah yang kompatibel ABO namun inkompatibel dengan golongan darah lainnya. Reaksi terjadi 2 sampai 6 hari setelah transfusi. Darah yang ditransfusikan memacu pembentukan IgG terhadap berbagai antigen membran golongan darah, tersering adalah golongan Rhesus, Kidd, Kell, dan Duffy. 2) Penyakit hemolitik pada bayi baru lahir Ditimbulkan oleh inkompatibilitas Rh dalam kehamilan, yaiutu pada ibu dengan golongan darah rhesis dan janin dengan rhesus + 3) Anemia hemolitik a. Antibiotika tertentu seperti penisilin, sefalosporin, dan streptomisin dapat diabsorpsi nonspesifik pada protein membran SDM yang membentuk kompleks serupa kompleks molekul hapten pembawa. b. Pada beberapa penderita, kompleks membentuk antibodi yang selanjutnya mengikat obat pada SDM dan dengan bantuan komplemen menimbulkan lisis dengan dan anemia progresif.

4) Reaksi obat Obat dapat berfungsi sebagai hapten (molekul kecil yang bila bergabung dengan molekul besar seperti protein serum akan berubah menjadi imunogenik) dan diikat pada permukaan eritrosit yang menimbulkan pembentukan Ig dan kerusakan sitotoksik. Sedormid (sedatif) (obat-obat yang memberikan efek tidur) dapat mengikat trombosit dan Ig yang dibentuk terhadapnya akan menghancurkan trombosit dan menimbulkan purpura. 5) Kerusakan jaringan pada penyakit autoimun. Akibat suatu infeksi. Terjadi pembentukan Ig terhadap sel darah merah sendiri. Melalui fagositosis via reseptor untuk Fc dan C3b, terjadi anemia yang progesif. 6) Hemolytic diseases of the newborn (HDN) / antigen rhesus Terjadi ketidaksesuaian faktor Rhesus (Rhesus incompatibility) dimana anti-D IgG yang berasal dari ibu menembus plasenta dan masuk ke dalam sirkulasi darah janin dan melapisi permukaan eritrosi janin kemudian mencetuskan reaksi hipersensitivitas tipe II. 7) Sindrom Goodpasture Pada sindrom ini serum ditemukan antibodi yang bereaksi dengan membran basal glomerulus dan paru. Antibodi tersebut mengendap di ginjal dan paru yang menunjukkan endapan linier yang terlihat pada imunoflouresen. Jadi, sindrom Goodpasture merupakan penyakit autoimun yang membentukantibodi terhadap membran basal. 8) Myasthenia gravis Penyakit dengan kelemahan otot yang disebabkan oleh gangguan transmisi neuromuskuler, dan disebabkan oleh autoantibodi terhadap reseptor asetilkolin.

LI. 4. Memahami dan Mempelajari Hipersensitivitas Tipe III LO. 4.1. Memahami dan Menjelaskan Definisi Hipersensitivitas Tipe III Reaksi hipersensitivitas tipe III atau yang disebut juga reaksi kompleks imun adalah reaksi imun tubuh yang melibatkan kompleks imun yang kemudian mengaktifkan komplemen sehingga terbentuklah respons inflamasi melalui infiltrasi masif neutrofil. LO. 4.2. Memahami dan Menjelaskan Mekanisme Hipersensitivitas Tipe III Dalam keadaan normal, kompleks imun yang terbentuk akan diikat dan diangkut oleh eritrosit ke hati, limpa dan paru untuk dimusnahkan oleh sel fagosit dan PMN. Kompleks imun yang besar akan mudah untuk di musnahkan oleh makrofag hati. Namun, yang menjadi masalah pada reaksi hipersensitivitas tipe III adalah kompleks imun kecil yang tidak bisa atau sulit dimusnahkan yang kemudian mengendap di pembuluh darah atau jaringan. 1. Komleks Imun Mengendap di Dinding Pembuluh Darah Makrofag yang diaktifkan kadang belum dapat menyingkirkan kompleks imun sehingga makrofag dirangsang terus menerus untuk melepas berbagai bahan yang dapat merusak jaringan. Kompleks yang terjadi dapat menimbulkan: Agregasi trombosit Aktivasi makrofag Perubahan permeabilitas vaskuler Aktivasi sel mast Produksi dan pelepasan mediator inflamasi Pelepasan bahan kemotaksis Influks neutrofil

2. Kompleks Imun Mengendap di Jaringan Hal yang memungkinkan kompleks imun mengendap di jaringan adalah ukuran kompleks imun yang kecil dan permeabilitas vaskuler yang meningkat. Hal tersebut terjadi karena histamin yang dilepas oleh sel mast.

Umumnya kerusakan terjadi karena ada pengendapan kompleks imun yang berlangsung melalui 4 tahap yaitu: a. Ikatan antibodi dengan antigen membentuk kompleks imun Pengenalan antigen protein memicu respon imun yang membuat dilakukannya produksi antibodi, sekitar satu minggu sesudah injeksi protein. Antibodi tersebut disekresikan ke dalam darah, di mana mereka dapat bereaksi dengan antigen yang masih ada di sirkulasi dan membentuk kompleks antigen-antibodi. b. Kompleks imun akan mengendap pada jaringan tertentu seperti endotel, kulit, ginjal dan persendian. Faktor yang menentukan apakah pembentukan kompleks imun akan memicu deposisi jaringan dan penyakit belum begitu dimengerti. Secara umum, kompleks imun yang berukuran medium merupakan yang paling patogenik. Organ yang darahnya tersaring pada tekanan tinggi untuk membentuk cairan lain seperti urin dan cairan sinovial lebih sering terserang sehingga meningkatkan kejadian kompleks imun pada glomerulus dan sendi. c. Faktor humoral seperti komplemen dan enzim fagosit dan faktor seluler akan berkumpul di daerah pengendapan d. Berlangsung kerusakan jaringan oleh faktor humoral dan selular. LO. 4.3. Memahami dan Menjelaskan Manifestasi Hipersensitivitas Tipe III Reaksi-reaksi yang ditimbulkan oleh hipersensitivitas tipe III memiliki dua bentuk reaksi, yaitu lokal dan sistemik. 1. Reaksi Lokal atau Fenomena Arthus Pada mulanya, Arthus menyuntikkan serum kuda ke kelinci secara berulang di tempat yang sama. Dalam waktu 2-4 jam, terdapat eritema ringan dan edem pada kelinci. Lalu setelah sekitar 5-6 suntikan, terdapat perdarahan dan nekrosis di tempat suntikan. Hal tersebut adalah fenomena Arthus yang merupakan bentuk reaksi kompleks imun. Antibodi yang ditemukan adalah presipitin. Reaksi Arthus dalam kilinis dapat berupa vaskulitis dengan nekrosis. Mekanisme pada reaksi arthus adalah sebaga berikut: a. Neutrofil menempel pada endotel vaskular kemudian bermigrasi ke jaringan tempat kompleks imun diendapkan. Reaksi yang timbul yaitu berupa pengumpulan cairan di jaringan (edema) dan sel darah merah (eritema) sampai nekrosis. b. C3a dan C5a yang terbentuk saat aktivasi komplemen menigkatkan permeabilitas pembuluh darah sehingga memperparah edema. C3a dan C5a juga bekerja sebagai factor kemotaktik sehingga menarik neutrophil dan trombosit ke tempat reaksi. Neutrophil dan trombosit menimbulkan statis dan obstruksi total aliran darah.

c. Neutrofil akan memakan kompleks imun kemudian akan melepas bahan-bahan seperti protease, kolagenase dan bahan-bahan vasoaktif bersama trombosit sehingga akan menyebabkan perdarahan yang disertai nekrosis jaringan setempat.

2. Reaksi Sistemik atau Serum Sickness Antibodi yang berperan dalam reaksi ini adalah IgG atau IgM dengan mekanisme sebagai berikut: a. Komplemen yang telah teraktivasi melepaskan anafilatoksin (C3a dan C5a) yang memacu sel mast dan basofil melepas histamin. b. Kompleks imun lebih mudah diendapkan di daerah dengan tekanan darah yang tinggi dengan putaran arus (contoh: kapiler glomerulus, bifurkasi pembuluh darah, plexus koroid, dan korpus silier mata) c. Komplemen juga menimbulkan agregasi trombosit yang membentuk mkrotrombi kemudian melepas amin vasoaktif. Bahan-bahan vasoaktiv tersebut mengakibatkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan inflamasi. d. Neutrofil deikerahkan untuk menghancurkan kompleks imun. Neutrofil yang terperangkap di jaringan akan sulit untuk memakan kompleks tetapi akan tetap melepaskan granulnya (angry cell) sehingga menyebabkan lebih banyak kerusakan jaringan. e. Makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut juga meleaskan mediator-mediator antara lain enzim-enzim yang dapat merusak jaringan Dari mekanisme diatas, beberapa hari minggu setelah pemberian serum asing akan mulai terlihat manifestasi panas, gatal, bengkak-bengkak, kemerahan dan rasa sakit di beberapa bagian tubuh sendi dan kelenjar getah bening yang dapat berupa vaskulitis sistemik (arteritis), glomerulonefritis, dan artiritis. Reaksi tersebut dinamakan reaksi Pirquet dan Schick.

LI. 5. Memahami dan Mempelajari Hipersensitivitas Tipe IV LO. 5.1. Memahami dan Menjelaskan Definisi Hipersensitivitas Tipe IV Merupakan hipersensitivitas tipe lambat yang dikontrol sebagian besar oleh reaktivitas sel T terhadap antigen. Reaksi hipersensitivitas tipe IV telah dibagi menjadi : a. Delayed Type Hypersensitivity Tipe IV Merupakan hipersensitivitas granulomatosis, terjadi pada bahan yang tidak dapat disingkirkan dari rongga tubuh seperti talkum dalam rongga peritoneum dan kolagen sapi dari bawah kulit. b. T Cell Mediated Cytolysis Kerusakan jaringan terjadi melalui sel CD8+/CTL/Tc yang langsung membunuh sel sasaran. LO. 5.2. Memahami dan Menjelaskan Mekanisme Hipersensitivitas Tipe IV Delayed Type Hypersensitivity Tipe IV : a. Fase sensitasi Membutuhkan waktu 1-2 minggu setelah kontak primer dengan antigen. Th diaktifkan oleh APC melalui MHC-II. Berbagai APC (sel Langerhans/SD pada kulit dan makrofag) menangkap antigen dan membawanya ke kelenjar limfoid regional untuk dipresentasikan ke sel T sehingga terjadi proliferasi sel Th1 (umumnya). b. Fase efektor Pajanan ulang dapat menginduksi sel efektor sehingga mengaktifkan sel Th1 dan melepas sitokin yang menyebabkan : - Aktifnya sistem kemotaksis dengan adanya zat kemokin (makrofag dan sel inflamasi). Gejala biasanya muncul nampak 24 jam setelah kontak kedua. - Menginduksi monosit menempel pada endotel vaskular, bermigrasi ke jaringan sekitar. - Mengaktifkan makrofag yang berperan sebagai APC, sel efektor, dan menginduksi sel Th1 untuk reaksi inflamasi dan menekan sel Th2. Mekanisme kedua reaksi adalah sama, perbedaannya terletak pada sel T yang teraktivasi. Pada Delayed Type Hypersensitivity Tipe IV, sel Th1 yang teraktivasi dan pada T Cell Mediated Cytolysis, sel Tc/CTL/ CD8+ yang teraktivasi. Contoh mekanisme reaksi hipersensitivitas tipe IV : Reaksi pada infeksi parasit dan bakteri intrasel a. DTH mengaktifkan influks makrofag pada infeksi yang tidak dapat ditemukan oleh antibodi. b. Makrofag melepaskan enzim litik yang menyebabkan kerusakan jaringan. c. Bila enzim litik terus diproduksi dapat mengakibatkan reaksi granulomatosis yang akan menyebabkan nekrosis pada jaringan yang dapat mengenai jaringan pembuluh darah. Respon pada infeksi M. tuberkulosis

a. Bakteri mengaktifkan respon DTH yang selanjutnya mengaktifkan makrofag yang merangsang isolasi kuman dalam lesi granuloma (tuberkulin) b. Tuberkulin akan melepaskan enzim litik yang akan merusak jaringan paru-paru dan menimbulkan nekrosis jaringan. Granuloma terbentuk pada : a. TB b. Lepra c. Skistosomiasis d. Lesmaniasis e. Sarkoidasis

http://www.medicinesia.com

LO. 5.3. Memahami dan Menjelaskan Manifestasi Hipersensitivitas Tipe IV Hipersensitivitas Tipe IV a. Dermatitis kontak Adalah penyakit CD4 yang dapat terjadi akibat kontak dengan bahan tidak berbahaya. Kontak dengan bahan seperti formaldehid, nikel, dan berbagai bahan aktif dalam cat rambut yang menimbulkan dermatitis kontak terjadi melalui sel Th1. b. Hipersensitivitas tuberlukuin Adalah bentuk alergi bacterial spesifik terhadap produk filtrate biakan M. tuberculosis yang bila disuntikkan ke kulit, akan menimbulkan reaksi hipersensitivitas lamabat tipe IV. Yang berperan dalam reaksi ini adalah sel limfosit CD4. c. Reaksi Jones mote Adalah reaksi hipersensitivitas yipe IV terhadap antigen protein yang berhubungan dengan infiltrasi basophil mencolok di kulit di bawah dermis. Reaksi ini disebut hipersensitivitas basophil kuman. Tidak terjadi nekrosis dan reaksi dapat diinduksi dengan suntikan antigen larut seperti ovalbumin dengan ajuvan freund. d. T cell mediated cytolysis (penyakit CD8) Kerusakan terjadi melalui sel CD8/CTL/Tc yang langsung membunuh sel sasaran. Sel CD8 yang spesifik untuk antigen atau sel autologous dapat membunuh sel dengan langsung.

LI. 6. Memahami dan Mempelajari Peran Antihistamin dan Kortikosteroid LO. 6.1. Memahami dan Menjelaskan Definisi Antihistamin dan Kortikosteroid Antihistamin atau antagonis histamin adalah zat yang mampu mencegah pelepasan atau kerjahistamin. Ada banyak golongan obat yang termasuk dalam antihistamin, yaitu antergan, neontergan, difenhidramin, dan tripelenamin yang efektif untuk mengobati edema, eritem, dan pruritus, dan yang baru ini ditemukan adalah burinamid, metiamid, dan simetidin untuk men ghambat sekresi asam lambung akibat histamin. JENIS-JENIS HISTAMIN Antihistamin digolongkan menjadi antihistamin penghambat reseptor H1(AH1), penghambat reseptor H2 (AH2) dan pemghambat reseptor H3 (AH3). 1. Antagonis Reseptor Histamin 1(AH1) AH1 kerjanya menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus, dan bermacam macam otot polos. Selain itu AH1 bermanfaat untuk mengobati reaksihipersensitivitas atau keadaan lain yang disertai pengelepasan histamin endogen berlebihan. AH1 dapat pula di kelompokkan menjadi : a. AH1sedatif (klasik),mempunyai efek sedatif kuat dan bersifat antikolinergik yang merupakan obat pertama untuk obat alergi akut di kulit danurtikaria kronik. Bekerja secara inhibitor kompetitif dengan histamin padasel target, misalnya pada reaksi hipersensitivitas tipe 1 yang fase lambatpada dermatitis atopik. Pada umumnya AH1 mempunyai efek sedatif kuat yang diharapkan dapat mengurangi rasa gatal. Contohnya terdiri daribeberapa golongan, yaitu: 1. Etanolamin : Difenhidramin, doksilamin, karbinoksamin 2. Etilendiamin : Tripelanamin, pirilamin, antazolin. 3. Alkilamin : Klorfeniramin, dekslorfeniramin, dimetidine 4. Fenotiazin : Prometasin 5. Piperazin : Setrizin, homoklorsiklizin, hidroksizin, oksatomid 6. Piperidin : Siproheptadin b. AH1 Non Sedatif (Non klasik), tidak mempunyai efek sedatif, tidak atausangat sedikit menembus sawar otak sehingga umumnya efek sampingterhadap susunan saraf pusat minimal. Mempunyai waktu paruh yang berbedadengan dosis efektif dan efek sampingnya bervariasi. Contoh obatnyaasetemizol, terfenadin, akrivastin, loratadin, mekuitazin, dan setrizin. 2. Antagonis Reseptor Histamin 2 (AH2) Reseptor histamin 2 ditemukan disel-sel parietal, kinerjanya adalah meningkatkan sekresi asam lambung. Dengan demikian AH2 dapat digunakan untuk mengurangi sekresi asam lambung, serta dapat pula dimanfaatkan untuk menangani peptic ulcer, penyakit refluks gastroesofagus. Pada beberapa keadaan AH2 jugadapat digunakan dalam

bidang dermatologi . Dimana Pemakaian AH2 dikombinasikandengan AH1. Contoh obatnya simetidine, famotidina, ranitidine, nizatidina,roxatidina, dan lafutidina.

3. Antagonis Reseptor Histamin 3 (AH3) AH3 merupakan derivate dari AH2, berupa metabolit (desloratadine danfexofenadine) dan enansiomer (levocetirizine). Pencarian AH3 ini dimaksudkan untuk memperoleh profil antihistamin yang lebih baik dengan efikasi tinggi serta efek samping yang minimal. Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di kulit kelenjar adrenal.Hormon ini berperan pada banyak sistem fisiologis pada tubuh, misalnya tanggapan terhadapstres, tanggapan sistem kekebalan tubuh, dan pengaturan inflamasi, metabolisme karbohidrat, pemecahan protein, kadar elektrolit darah, serta tingkah laku. Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul hormon memasuki sel melewati membran plasma secara difusi pasif. LO. 6.2. Memahami dan Menjelaskan Farmako Kinetik Antihistamin dan Kortikosteroid Antihistamin Ada 2 jenis antihistamin, yaitu Antagonis reseptor H1 (AH1) dan Antagonis reseptor H2 (AH2). 1). Antagonis reseptor H1 (AH1) Efek yang ditimbulkan dari antihistamin 15-30 menit setelah pemberian oral dan maksimalsetelah 1-2 jam. Lama kerja AH1 umumnya 4-6 jam. Kadar tertinggi terdapat pada paru-parusedangkan pada limpa, ginjal, otak, otot, dan kulit kadarnya lebih rendah. Tempat utama biotransformasi AH1 ialah hati. AH1 disekresi melalui urin setelah 24 jam, terutama dala m bentuk metabolitnya. 2). Antagonis reseptor H2 (AH2) Antagonis reseptor H2 bekerja menghambat sekresi asam lambung. Antagonis reseptor H2 yangada dewasa ini adalah simetidin, ranitidin, famotidine, dan nizatidin. a. Simetidin dan Ranitidin Absorpsi simetidin diperlambat oleh makan, sehingga simetidin diberikan bersama atau segerasetelah makan dengan maksud untuk memperanjang efek pada periode pasca makan. Ranitidin mengalami metabolisme lintas pertama di hati dalam jumlah cukup besar setelah pemberianoral. Ranitidin dan metabolitnya diekskresi terutama melalui ginjal, sisanya melalui tinja. b. Famotidin Mencapai kadarpuncak di plasma kira kira dalam 2 jam setelah penggunaan secaraoral, masa paruh eliminasi 3-8 jam. Metabolit utama adalah famotidin-S-oksida. Pada pasiengagal ginjal berat masa paruh eliminasi dapat melibihi 20 jam. c. Nizatidina Kadar puncak dalam serum setelah pemberian oral dicapai dalam 1 jam, masa paruh plasmasekitar 1,5 jam dan lama kerja sampai dengn 10 jam, disekresi melalui ginjal. Kortikosteroid Perubahan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan absorpsi, mulai kerja dan lama kerjakarena juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor dan ikatan protein.Glukokortikoid

dapat di absorpsi melalui kulit, sakus konjungtiva dan ruang sinovial.Penggunaan jangka panjang atau pada daerah kulit yang luas dapat menyebabkan efek sistematik, antara lain supresi korteks adrenal. LO. 6.3. Memahami dan Menjelaskan Farmako Dinamik Antihistamin dan Kortikosteroid Antihistamin 1). Antagonis reseptor H1 (AH1) AH1 menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus, bermacam otot polos, selainitu AH1 bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensitivitas atau keadaan lain yang disertai penglepasan histamin endogen berlebihan. 2). Antagonis reseptor H2 (AH2) a. Simetidin dan Ranitidina. Simetadin dan ranitidin menghambat reseptor H2 secara selektif dan reversible. Kerjanya menghambat sekresi asam lambung. Simetadin dan ranitidin juga mengganggu volume dan kadar pepsin cairan lambung. b. Famotodina Famotidin merupakan AH2sehingga dapat menghambat sekresi asam lambung pada keadaan basal, malam, dan akibat distimulasi oleh pentagastrin. Famotidin 3 kali lebih poten dari padaramitidin dan 20 kali lebih poten daripada simetidin. c. Nizatidina Potensi nizatin daam menghambat sekresi asam lambung. Kortikosteroid Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak.selain itu juga mempengaruhi fungsi sistem kardiovaskular, ginjal, otot lurik, sistem saraf dan organ lain. -Dalam klinik umumnya kortikosteroid dibedakan menjadi dua golongan besar yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid. 1. Efek utama glukokortikoid ialah pada penyimpanan glikogen hepar dan efek antiinflamasi, sedangkan pengaruhnya pada keseimbangan air dan elektrolit kecil. 2. Efek pada mineralokortikoid ialah terhadap keseimbangan air dan elektrolit, sedangkan pengaruhnya pada penyimpanan glikogen hepar sangat kecil. -Sediaan kortikosteroid dapat dibedakan menjadi 3 golongan berdasarkan massa kerjanya. 1. Sediaan kerja singkat mempunyai masa paruh biologis kurang dari 12 jam. 2. Sediaan kerja sedang mempunyai masa paruh biologis antara 12-36 jam. 3. Sediaan kerja lama mempunyai masa paruh biologis lebih dari 36 jam. LO. 6.4. Memahami dan Menjelaskan Indikasi Antihistamin dan Kortikosteroid Antihistamin 1). Antagonis reseptor H1 (AH1) AH1 berguna untuk pengobatan simtomatik berbagai penyakit alergi dan mencegah ataumengobati mabuk perjalanan. 2). Antagonis reseptor H2 (AH2) a. Simetidin dan Ranitidina.

Efektif untuk mengtasi gejala akut tukak duodenum dan mempercepat penyembuhannya. Selain itu, juga efektif untuk mengatasi gejala dan mempercepat penyembuhan tukak lambung. Dapat pula untuk gangguan refluks lambung-esofagus. b. Famotodina Efektifitas pbat ini untuk tukak duodenum dan tukak lambung, refluks esofagitis, dan untuk pasiendengan sindrom Zollinger-Ellison.
c. Nizatidina

Efektifitas untuk tukak duodenum diberikan satu atau dua kali sehari selama 8 minggu, tukak lambung, refluks esofagitis, sindrom Zollinger-Ellion. Kortikosteroid Dari pengalaman klinis diajukan 6 prinsip yang harus diperhatikan sebelum obat ini digunakan: -Untuk tiap penyakit pada tiap pasien, dosis efektif harus ditetapkan dengan trial dan error danharus di evaluasi dari waktu ke waktu sesuai dengan perubahan penyakit. -Suatu dosis tunggal besar kortikosteroid umumnya tidak berbahaya. -Penggunaan kortikosteroid untuk beberapa hari tanpa adanya kontraindikasi spesifik, tidak membahayakan kecuali dengan dosis sangat besar. -Bila pengobatan diperpanjang sampai 2 minggu atau lebih dari hingga dosis melebihi dosissubstisusi, insidens efek samping dan efek letal potensial akan bertambah. -Kecuali untuk insufisiensi adrenal, penggunaan kortikosteroid bukan merupakan terapikausal ataupun kuratif tetapi hanya bersifat paliatif karena efek anti-inflamasinya.Penghentian pengobatan tiba-tiba pada terapi jangka panjang dengan dosis besar,mempunyai risiko insufisiensi adrenal yang hebat dan dapat mengancam jiwa pasien. LO. 6.5. Memahami dan Menjelaskan Kontraindikasi Antihistamin dan Kortikosteroid 1. ANTAGONIS RESEPTOR H1 (AH1) Antihistamin generasi pertama: hipersensitif terhadap antihistamin khusus atau terkait secara struktural, bayi baru lahir atau premature, ibu menyusui, narrow-angle glaucoma, stenosing peptic ulcer, hipertropi prostat simptomatik, bladder neck obstruction, penyumbatan pyloroduodenal, gejala saluran napas atas (termasuk asma), pasien yang menggunakan monoamine oxidase inhibitor (MAOI), dan pasien tua. Antihistamin generasi kedua dan ketiga : hipersensitif terhadap antihistamin khusus atau terkait secara struktural. 2. KORTIKOSTEROID Sebagai kontraindikasi yang absolut ialah ulkus peptikum, yang relatif ialah tuberkulosis paru, diabetes melitus, graviditas (trimester I/II), hipertensi, psikosis dan dekompensasio kordis. Sebenarnya sampai sekarang tdk ada kontraindikasiabsolut kortikosteroid. Seperti diuraikan dlmpembahasan mengenai indikasi, pemberian dosistunggal besar dapat dibenarkan. dlm hal ini keadaan yg mungkin dapat merpkan kontraindikasi retatif dapat dilupakan, terutama pd keadaan yg mengancam jiwapasien. Tetapi bila obat akan diberikan utk beberapa hari atau beberapa

minggu, keadaan seperti : diabetes melitus, tukak peptik, infeksi berat, hipertensi atau gangguan sistem kardiovaskular lain patut diperhatikan.dlm hal yg terakhir ini dibutuhkan pertimbangan matang antara risiko dan keuntungan sebelum obat diberikan.

LO. 6.6. Memahami dan Menjelaskan Efek Samping Antihistamin dan Kortikosteroid Antihistamin 1). Antagonis reseptor H1 (AH1) Efek samping yang paling sering adalah sedasi. Efek samping yang berhubungan dengan AH1adalah vertigo, tinitus, lelah, penat, inkoordinasi, penglihatan kabur, diplopia, euforia, gelisah,insomnia, tremor, nafsu makan berkurang, mual, muntah, keluhan pada epigastrium, konstipasiatau diare,mulut kering, disuria, palpitasi, hipotensi, sakit kepala, rasa berat, dan lemah padatangan. 2). Antagonis reseptor H2 (AH2) a. Simetidin dan Ranitidina. Efek sampingnya rendah, yaitu penghambatan terhadap resptor H2, seperti nyeri kepala, pusing, malaise, mialgia, mual, diare, konstipasi, ruam, kulit, pruritus, kehilangan libido dan impoten b. Famotidina Biasanya yang terjadi adalah akit kepala, pusing, konstipasi, dan diare. c. Nizatidine Efek samping ringan saluran cerna dapat terjadi, dan tidak memiliki efek antiandrogenik Kortikosteroid Efek samping dapat timbul karena peenghentian pemberian secara tiba-tiba atau pemberianterus-menerus terutama dengan dosis besar. -Pemberian kortikosteroid jangka lama yang dihentikan tiba-tiba dapat menimbulkaninsifisiensi adrenalm akut dengan gejala demam, malgia, artralgia dan malaise. -Komplikasi yang timbul akibat pengobatan lama ialah gangguan cairan dan elektrolit , hiperglikemia dan glikosuria, mudah mendapat infeksi terutama tuberkulosis, pasien tukak peptik mungkin dapat mengalami pendarahan atau perforasi, osteoporosis dll. -Alkalosis hipokalemik jarang terjadi pada pasien dengan pengobatan derivat kortikosteroidsintetik. -Tukak peptik ialah komplikasi yang kadang-kadang terjadi pada pengobatan dengankortikosteroid. Sebab itu bila bila ada kecurigaan dianjurkan untuk melaakukan pemeriksaan radiologik terhadap saluran cerna bagian atas sebelum obat diberikan.

LI. 7. Memahami dan Mempelajari Alergi dalam Pandangan Islam Setiap penyakit itu ada obatnya, jika tepat obatnya maka penyakit akan sembuh dengan izin Allah Azza wa Jalla.(HR.Muslim). Allah tidak akan menurunkan suatu penyakit melainkan Allah juga menurunkan obatnya.(HR.Abu Hurairah). Shuhaib Ar-Rumi RA berkata : Rasulullah SAW bersabda : Sungguh mengagumkan perkara seorang muslim, sehingga seluruh perkaranya adalah kebaikan. Yang demikian itu tidaklah dimiliki oleh seorangpun kecuali seorang mukmin. Jika ia mendapat kelapangan, ia bersyukur maka yang demikian itu baik baginya, dan jika ia ditimpa kesusahan, ia bersabar. Maka yang demikian itu baik baginya. (HR.Muslim no.2999). Termasuk keutamaan Allah SWT yang diberikan kepada kaum mukminin. Dia menjadikan sakit yang menimpa seorang mukmin sebagai penghapus dosa dan kesalahan mereka. Sebagaimana tersebut dalam hadist : Abdullah bin Masud RA berkata : Rasulullah SAW bersabda : Tidaklah seorang muslim ditimpa gangguan berupa sakit atau lainnya, melainkan Allah menggugurkan kesalahan-kesalahannya sebagaimana pohon menggugurkan daun-daunnya.(HR.Bukhari no.5661 dan Muslim no.5678). Ketika memungkinkan mengkonsumsi obat yang sederhana maka jangan beralih memakai obat yang kompleks. Setiap penyakit yang bisa ditolak dengan makanan-makanan tertentu dan pencegahan, janganlah mencoba menolaknya dengan obat-obatan. Ibnul Qayyim berkata : berpalingnya manusia dari pengobatan nubuwwah seperti halnya berpalingnya mereka dari pengobatan dengan Al-Quran, yang merupakan obat bermanfaat.(Ath-thibbun Nabawi hal.6, 29). Dari firman Allah disini dapat dipahami: bahwasanya agama islam di bagun untuk kemaslahatan artinya : semua syariat dalam perintah dan larangannya serta hukum-hukumnya adalah untuk mashoolihi (manfaat-manfaat) dan makna masholihi adalah : jamak dari maslahat artinya : manfaat dan kebaikan. )751 : ( Dan dia menghalalkan yang baik bagi mereka serta mengharamankan bagi mereka segala sesuatu yang buruk ( al araf : 157 ) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu 'anhu: "Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Dia turunkan untuk penyakit itu obatnya." (HR. Al-Bukhari no. 5678)

DAFTAR PUSTAKA Alwi I.,Aru W.S., Bambang S., dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Interna Publishing. Baratawidjaja, Karnen Garna, Iris Rengganis. 2012. Imunologi Dasar. Ed. 10. FKUI:Jakarta. Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth. (2009). Farmakologi dan Terapi. Edisi V, Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. http://ners.unair.ac.id/materikuliah/IMUNOPATOLOGI.pdf http://www.scribd.com/doc/58962557/Patofisiologi-Hipersensitivitas http://www.medicinesia.com/kedokteran-dasar/imunologi/hipersensitivitas-tipe-2-sitotoksik/ http://www.scribd.com/doc/22281380/Hipersensitivitas-Makalah

Anda mungkin juga menyukai