Anda di halaman 1dari 10

Pengaruh Ukuran, Pertumbuhan dan Resiko Perusahaan Terhadap Akumulasi Return Tidak Normal Pada Perusahaan Pertambangan Yang

Go Publics di Bursa Efek Indonesia


1. Latar Belakang Masalah Saham sektor pertambangan batubara dalam bulan April, Mei, Juni 2008 menjadi fokus perhatian investor karena mendominasi pasar melalui tingginya volume dan nilai transaksi, serta menjadi penggerak pasar di tengah-tengah melemahnya saham-saham unggulan sektor perbankan dan telekomunikasi. (Hendri Effendi, 2008) Bahkan, kapitalisasi pasar PT Bumi Resources Tbk (BUMI) berhasil menggantikan saham PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) di urutan teratas. Kinerja saham sektor pertambangan batubara tersebut terutama disebabkan faktor meningkatnya harga komoditas batubara di pasar internasional, dipicu tingginya permintaan dari Cina dan India. (Hendri Effendi, 2008) Menguatnya harga minyak mentah dunia dari USD100 per barrel hingga mendekati USD150 per barrel bulan Januari sampai dengan Juni 2008 juga mengangkat harga batubara sebagai bahan bakar substitusi secara signifikan, dari sekitar USD55 per ton menjadi hampir dua kali lipatnya dalam periode yang sama. (Hendri Effendi, 2008) Penguatan harga batubara dunia dan meningkatnya volume penjualan kuartal pertama tahun 2008 karena tingginya permintaan dalam dan luar negeri telah memberikan berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaanperusahaan tambang batubara, sebut saja PT Tambang Batubara Bukit Asam Tbk (PTBA), BUMI, dan PT Indo Tambang Raya Megah Tbk (ITMG), yang mencatatkan peningkatan laba. (Hendri Effendi, 2008) Pergerakan harga saham-saham emiten pertambangan batubara sempat mengalami kenaikan yang signifikan, terlihat dari pergerakan saham BUMI yang mengalami penguatan 80 persen pada periode April-Juni 2008, PTBA mengalami penguatan 91 persen, dan ITGM mengalami penguatan 107 persen, pada periode yang sama. (Hendri Effendi, 2008) Penguatan harga saham-saham batubara tersebut juga berhasil menahan penurunan indeks lebih dalam akibat sentimen negatif dari tingginya tingkat inflasi dalam negeri, serta faktor ekonomi global yang cenderung negatif karena ancaman tingkat inflasi dan krisis di sektor keuangan. Arah pergerakan harga saham sektor tambang batubara masih sangat dipengaruhi fluktuasi harga minyak mentah dunia. (Hendri Effendi, 2008) Relatif tingginya harga minyak mentah dunia telah meningkatkan kekhawatiran investor terhadap tingginya tingkat inflasi global yang dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi global, sehingga akan mempengaruhi permintaan terhadap minyak mentah dunia. Harga minyak mentah dunia yang tetap cenderung naik terus meningkatkan kekhawatiran terhadap ancaman tingginya inflasi global dan memberikan sentimen negatif terhadap harga batubara di pasar berjangka, sehingga cenderung melemah akhir-akhir ini.

Kondisi inilah yang menyebabkan turunnya saham-saham sektor pertambangan dalam seminggu terakhir. Meski demikian, prospek saham-saham sektor pertambangan batubara diperkirakan masih cukup baik, terkait faktor harga minyak mentah dunia yang relatif masih tinggi. Kondisi itu menyebabkan batubara masih akan menjadi primadona energi alternatif dan menyebabkan permintaan masih cenderung tinggi. Harga minyak mentah dunia pun diperkirakan tetap tinggi karena berbagai faktor. Melemahnya nilai tukar dolar AS yang mendorong spekulan masuk ke pasar komoditas, lalu ketegangan militer di kawasan Timur Tengah antara Iran dan AS-Israel, turunnya supply minyak mentah dunia, serta produksi jangka panjang yang juga diperkirakan turun, serta masih tingginya permintaan minyak oleh beberapa negara berkembang di Asia yang tengah tumbuh. Analis memperkirakan harga minyak mentah berpeluang menuju level USD170 hinga USD200 per barel hingga akhir tahun ini. Di dalam negeri, momentum penguatan harga batubara dan masih cenderung menguatnya harga saham emiten di sektor ini tetap mendorong perusahaan sejenis melakukan penawaran saham perdana ( initial public offering/IPO), antara lain PT Indika Energy, PT Bayan Resources dan PT Adaro Energy. Tingginya minat beli investor atas saham perdana Indika Energy dan Adaro Energy terefleksi dari kelebihan permintaan pada saham kedua emiten itu yang masing-masing 17 kali dan 5 kali. Bahkan, IPO Adaro Energy sebesar USD1,3 miliar merupakan yang terbesar sepanjang 2008 dan diperkirakan semakin menambah dominasi saham sektor pertambangan batubara sebagai penentu arah pergerakan indeks. Kendati demikian, perlu pula dicermati rencana pemerintah untuk membatasi ekspor batubara untuk mengamankan pasokan dalam negeri, serta kebijakan pembayaran royalti sebesar 13,5 persen dari produksi dalam bentuk batubara. Dua kebijakan itu diperkirakan menjadi sentimen negatif terhadap pergerakan harga saham batubara dalam jangka pendek. Namun, dengan prospek yang masih baik, penurunan harga saham akibat sentimen negatif perubahan bentuk royalti maupun relatif melemahnya harga batubara di pasar future tersebut justru dapat dimanfaatkan investor untuk melakukan akumulasi beli. Sebab, jika sentimen pasar kembali membaik, saham-saham sektor batubara diperkirakan kembali menjadi penggerak menguatnya indeks. (Hendri Effendi, 2008) Harga Minyak dunia yang turun ke level 114 dollar AS dari 116 dollar AS per barrel selama 2 hari (11-12 Agustus 2008) disambut bursa regional dan global sebagai angin segar. Namun Bursa Efek Indonesia (BEI), justru menekan Indeks harga saham gabungan (IHSG) hingga menyentuh level terendah sepanjang tahun 2008 (Reinhard Nainggolan, 2008) Pada perdagangan Senin (11/8), IHSG ditutup pada level 2.133,92, turun 62 poin atau 2,82 persen dibandingkan pada penutupan Jumat (8/8). IHSG kembali turun 76,34 poin atau 4,24 persen pada perdagangan selasa (12/8) menjadi 2.057,57. (Reinhard Nainggolan, 2008) Dengan harga minyak yang rendah, pembangunan di sebuah Negara dapat dipacu ke tingkat yang lebih tinggi karena biaya produksi akan relatif rendah. Harga minyak yang tinggi dinilai hanya menguntungkan negara-negara

produsen minyak, tetapi malapetaka bagi negara lain karena akan membuat harga-harga melambung sehingga pembangunan tersendat. Teori yang didukung sejumlah studi empiris itu agaknya tidak berlaku bagi BEI. Harga Minyak yang turun justru direspon investor pasar modal Indonesia dengan melakukan aksi jual saham besar-besaran. (Reinhard Nainggolan, 2008) Indeks Harga Saham Gabungan sektor Pertambangan cukup memiliki kontribusi pada Indeks Harga Saham Gabungan. Indeks kembali anjlok diakibatkan teknikal cenderung turun. Faktor eksternal yang didukung oleh 22 persen market capital dikuasai oleh sektor minning dan agribisnis dunia serta harga minyak yang bergerak melorot di bawah USD108 per barel dan Wall Street yang makin nggak karuan, ujar Direktur PT Bhakti Capital Securities Budi Ruseno. (Candra Setya Santoso, 2008) Keputusan untuk melakukan penjualan atau pembelian saham adalah dengan menggunakan 3 pendekatan besar yaitu : 1. 2. 3. Pendekatan analisis Teknikal. Pendekatan analisis Psikologis. Pendekatan analisis Fundamental. Investor menginvestasikan dana bertujuan memaksimumkan kekayaannya yang didapat dari dividen ataupun capital gain dalam pendekatan teknikal. Dalam pendekatan Fundamental Investor berangapan bahwa dividen yang diterima saat ini lebih berharga dibandingkan capital gain yang diperoleh dikemudian hari. Kondisi ekonomi di atas menunjukkan bahwa keputusan investor sangat bergantung pada isu ekonomi nasional dan internasional disebut dengan psikologikal analisis. (Yuniningsih, 2002) Informasi sangat penting dalam menentukan investasi bagi investor, maka dibutuhkan informasi yang efisien dalam pasar modal. Bentuk efisiensi pasar dapat ditinjau tidak hanya dari ketersediaan informasi, tapi juga kecangggihan perilaku pasar dalam pengambilan keputusan berdasarkan informasi yang tersedia .(Hartono Jogiyanto, 2005) Fluktuasi harga saham dari bulanan tahun 2004 sampai dengan 2007 pada perusahaan pertambangan dapat dilihat dalam Indeks Harga Saham Pertambangan (Stock Price Index Mining) sebagai berikut : Tabel 1. Monthly Stock Price Index Mining

Year Mining 2004 Januari Month Februari Maret 310,147 372,524 359,015 2005 562,379 579,528 549,703 2006 680,274 694,033 746,746 2007 1.182,434 1.195,183 1.221,733

April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Mean

307,322 286,437 329,523 334,708 345,857 414,961 436,844 494,943 491,155 373,620

536,147 584,153 622,154 608,296 602,433 647,021 606,761 567,261 604,508 589,195

852,451 762,614 729,645 770,235 758,140 760,044 819,097 846,039 933,213 779,378

1.661,521 1.772,364 1.680,120 1.834,960 1.686,611 1.843,717 2.266,303 2.620,872 2.754,758 1.810,048

Sumber : IDX Statistics, data kumulatif 2004-2007. Rata-rata indeks harga saham Pertambangan mengalami kenaikan diatas 200 point dimana pada tahun 2004 sebesar 373,623; pada tahun 2005 sebesar 589, 195; pada tahun 2006 sebesar 779,375. Bahkan pada tahun 2007 kenaikan rata-rata sampai diatas 1.100 point dengan harga saham rata-rata tahun 2007 sebesar 1.810,048. Hal ini menunjukkan bahwa pada tahun 2007 saham pertambangan merupakan saham primadona di kalangan investor. Dimana terlihat lonjakan harga yang begitu tajam dari tahun-tahun sebelumnya. Untuk lebih jelasnya fluktuasi harga saham pertambangan dapat dilihat pada grafik berikut ini : Gambar 1. Sumber : IDX Statistics, data kumulatif 2004-2007. Pada tahun 2004, 2005, 2006 harga saham pertambangan naik namun terlihat dengan fluktuasi yang stabil, atau kenaikan merangkak. Namun pada tahun 2007 kenaikan begitu tajam dan sangat tinggi, hal ini memungkinkan keuntungan (gain) yang cukup besar, namun kenaikan yang tidak wajar ini akan memunculkan sebuah kehati-hatian bagi investor yang menginginkan investasi mereka tetap aman. Fluktuasi yang tinggi tersebut menunjukkan nilai abnormal return saham yang cukup tinggi pada tahun 2007 dibanding 2004, 2005, dan 2006. Memang baik untuk ambil untung jangka pendek, namun jangka panjang perlu diwaspadai. Penentuan investasi saham di pasar modal memiliki berbagai motif yaitu motif sebagai investor dan motif untuk berspekulasi. Meskipun investor melakukan spekulasi, sebenarnya untuk menjaga keamanan investasi maka investor perlu menempatkan dananya dengan tepat melalui manajemen portopolio sebagai manajer investasi. Manajer investasi perlu melihat seberapa besar pendapatan tidak normal yang dapat diperoleh dengan memperhatikan resiko-resiko yang dihadapi. Kesehatan perusahaan sebagai tujuan investasi juga perlu dipahami, sehingga perlu melihat pula besarnya asset yang dimiliki perusahaan yang go public (emiten)dan juga pertumbuhan secara bertahap dari tahun ke tahun perkembangan perusahaan tersebut.

Return Tidak Normal (abnormal return) sekuritas yang mungkin terjadi di sekitar pengumuman suatu peristiwa. Abnormal return merupakan kelebihan dari return yang sesungguhnya terjadi terhadap return normal. Return normal merupakanreturn ekspektasi dan merupakan return yang terjadi pada keadaan normal dimana tidak terjadi suatu peristiwa. Return tidak normal adalah selisih antara returnsesungguhnya dan return ekspektasi. (Hartono Jogiyanto, 2005) Beberapa studi juga ingin melihat apakah variabel-variabel spesifik seperti ukuran perusahaan (size), pertumbuhan perusahaan (growth) dan resiko perusahaan (risk)dapat menjelaskan abnormal return yang terjadi. Dengan menggunakan persamaan regresi maka akan diperoleh analisis Pengaruh Ukuran Perusahaan, Pertumbuhan dan Resiko Terhadap Akumulasi Return Tidak Normal Pada Perusahaan Pertambangan Yang Go Publics di Bursa Efek Indonesia dari tahun 2004 2007. 2. Rumusan Masalah Mengacu pada latar belakang masalah diatas maka diambilah beberpa rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu : 1. Apakah Ukuran Perusahaan (Size) memiliki pengaruh terhadap Akumulasi Pendapatan Tidak Normal Pada Perusahaan Pertambangan Yang Go Publicsdi Bursa Efek Indonesia?. 2. Apakah Pertumbuhan Perusahaan (Growth) memiliki pengaruh terhadap Akumulasi Pendapatan Tidak Normal Pada Perusahaan Pertambangan YangGo Publics di Bursa Efek Indonesia? 3. Apakah Resiko Perusahaan (Risk) memiliki pengaruh terhadap Akumulasi Pendapatan Tidak Normal Pada Perusahaan Pertambangan Yang Go Publicsdi Bursa Efek Indonesia? 4. Apakah Ukuran Perusahaan (Size), Pertumbuhan (Growth) dan Resiko Perusahaan (Risk) secara bersamasama memiliki pengaruh terhadap Akumulasi Pendapatan Tidak Normal Pada Perusahaan Pertambangan YangGo Publics di Bursa Efek Indonesia? Rumusan masalah diatas akan diuji empiris secara statistik dengan menggunakan model OLS (Ordinary Least Square) dengan model data panel yaitu data series dan cross sections. Model diats untuk melakukan analisis dari 20 perusahaan pertambangan yang go public di BEI pada tahun 2006-2007. 3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 3.1 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Menganalisis pengaruh Ukuran Perusahaan (Size) terhadap Akumulasi Pendapatan Tidak Normal Pada Perusahaan Pertambangan Yang Go Publicsdi Bursa Efek Indonesia. 2. Menganalisis pengaruh Pertumbuhan Perusahaan (Growth) terhadap Akumulasi Pendapatan Tidak Normal Pada Perusahaan Pertambangan YangGo Publics di Bursa Efek Indonesia. 3. Menganalisis pengaruh Resiko Perusahaan (Risk) terhadap Akumulasi Pendapatan Tidak Normal Pada Perusahaan Pertambangan Yang Go Publicsdi Bursa Efek Indonesia.

4.

Menganalisis pengaruh Ukuran Perusahaan (Size), Pertumbuhan (Growth)dan Resiko Perusahaan (Risk) secara bersama-sama terhadap Akumulasi Pendapatan Tidak Normal Pada Perusahaan Pert.mbangan Yang Go Publicsdi Bursa Efek Indonesia?

3.2 Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat untuk : 1. Bagi penulis, bermanfaat sebagai media untuk menerapkan dan mengaplikasikan teori-teori yang diperoleh selama kuliah dan juga untuk menambah pengalaman di bidang penelitian. 2. Bagi perusahaan, sebagai pertimbangan dan sumbangan penelitian bagi perusahaan dalam merumuskan strategi perusahaan dan sebagai bahan perbandingan terhadap langkah-langkah yang telah diambil. 3. Bagi pihak lain, sebagai sumbangan informasi pada semua pihak yang terkait dengan topik penelitian ini sekaligus sebagai bahan perbandingan untuk peneliti-peneliti lain. 4. Landasan Teori 4.1 Return Tidak Normal Studi peristiwa menganalisis return tidak normal sekuritas yang mungkin terjadi di sekitar pengumuman suatu peristiwa. Return tidak normal merupakan kelebihan dari return merupakan kelebihan dari return yang sesungguhnya terjadi terhadap return normal. Return normal merupakan return yang diharapkan oleh investor dan merupakan return yang terjadi pada keadaan normal dimana tidak terjadi suatu peristiwa. Dengan sdanya peristiwa dimana return normal akan naik atau akan turun Hasil keseluruhan adalah return sesungguhnya yang terjadi dan return normal : .. (1) RTNi,t = return tidak normal sekuritas ke-I pada periode peristiwa ke-t. Ri,t = return realisasi yang terjadi untuk sekuritas ke-i pada periode peristiwa ke-t. E[Ri,t] = return normal sekuritas ke-i untuk suatu periode peristiwa ke-t Return sesungguhnya merupakan return yang terjadi pada waktu ke-t yang merupakan selisih harga sekarang relatif terhadap harga sebelumnya atau dapat dihitung dengan rumus (Pi,t-Pi,t-1)/ Pi,t-1. Sedangkan return normal merupakan return yang harus diestimasi. Brown and Warner (1985) menggunakan model estimasi mean-adjusted model, market model, danmarket adjusted model. 4.1.1 Mean-adjusted Model. Model disesuaiakan rata-rata (mean-adjusted model) ini menganggap return normal yang bernilai konstan sama dengan rata-rata return realisasi sebelumnya selama periode estimasi: ..(2) Notasi : E[Ri,t] = return normal sekuritas ke-i pada periode peristiwa ke-t. Ri,j = return realisasi sekuritas ke-i pada periode estimasi ke-j. T = lamanya periode estimasi, yaitu dari t1 sampai t2.

Periode estimasi umumnya merupakan periode sebelum periode peristiwa. Periode peristiwa disebut juga periode pengamatan atau jendela peristiwa. (Hartono Jogiyanto, 2005) Umumnya periode jendela juga melibatkan hari sebelum tanggal peristiwa untuk mengetahui apakah terjadi kebocoran informasi, yaitu apakah pasar sudah mendengar informasinya sebelum informasi itu sendiri diumumkan. Periode jendela sebagai periode pengamatan merupakan periode yang akan dihitung nilai return tidak normalnya. 4.1.2 Market Model Perhitungan return normal dengan model pasar(market model) ini menurut Hartono Jogiyanto (2005) dilakukan dengan dua tahap, yaitu : 1. 2. Membentuk model ekspektasi dengan menggunakan data realisasi selama periode estimasi. Menggunakan model ekspektasi ini untuk mengestimasi ini untuk mengestimasi return normal di periode jendela. Model ekspektasi dapat dibentuk menggunkan teknik regresi OLS (Ordinary Least Square) dengan persamaan : .(3) Notasi : Ri,j = return realisasi sekuritas ke-i pada periode estimasi ke-j. i = intercept untuk sekuritas ke-i i = koefisien kemiringan yang merupakan beta dari sekuritas ke-i. RMj = return indeks pasar pada periode estimasi ke-j yang dapat dihitung dengan rumus RMj = (IHSGj IHSGj-1)/ IHSGj-1 e = kesalahan residu sekuritas ke-i pada periode estimasi ke-j. Return tidak normal adalah selisih antara return realisasi dengan return normal . 4.1.3 Market Adjusted Model. Model disesuikan pasar (Market Adjusted Model) menganggap bahwa penduga yang terbaik untuk mengestimasi return suatu sekuritas adalah return indeks pasar pada saat tersebut. Dengan menggunakan model ini, menggunakan periode estimasi untuk membentuk model estimasi karenareturn sekuritas yang diestimasi adalah sama dengan return indeks pasar. Return tidak normal masing-masing sekuritas yang menggunakan model disesuaikan pasar dapat dihitung dengan mengurangkan return yang terjadi untuk masing-masing sekuritas dengan return indeks pasar pada hari yang sama. 4.2 Akumulasi Return Tidak Normal. Akumulasi Return Tidak Normal atau Cummulative abnormal return(CAR merupakan akumulasi abnormal return selama perioda peristiwa untuk masing-masing saham. .(4) Notasi :

ARTNi,t = akumulasi return tidak normal sekuritas ke-i. RTNi,a = return tidak normal untuk sekuritas ke-i pada hari ke-a 4.3 Devinisi Resiko Perusahaan, Perusahaan yang mempunyai risiko tinggi karena harus membayar biaya bunga yang tinggi atas hutang sedang disisi lain terdapat ketidakpastian dalam pengembalian asset. Untuk menghindari kebangkrutan perusahaan maka sebaiknya penggunaan hutang dikurangi. Penjelasan tersebut didukung oleh pendapat Ravit ( 1988), yang menyatakan bahwa risiko berhubungan negatif dengan hutang Struktur asset berhubungan dengan jumlah asset yang dapat dijadikan agunan. Semakin besar struktur asset terutama yang bersifat tangible assetyang dimiliki perusahaan semakin besar peluang perusahaan untuk menggunakan hutang.. Mohd, et al, (1995) dan Adedeji (1998) menemukan struktur asset mempunyai pengaruh positif dengan financial leverage. Investor juga perlu mempertimbangkan tingkat resiko suatu investasi sebagai dasar pembuatan investasi. Resiko merupakan kemungkinan perbedaan antara return aktual yang diterima dan return normal(ekspektasi). Semakin besar kemungkinan perbedaannya, berarti semakin besar resiko investasi tersebut. (Tandelilin, 2001) Dalam konsep resiko dan return, return dianggap mempunyai searah dengan yang dihadapi oleh sebuah investasi. Makin tinggi resiko yang ditanggung investor, makin tinggi pula return yang diharapkan oleh investor dari investasi tersebut. Apabila investasi tersebut dianggap tidak mengandung resiko, maka investor mengharapkan tingkat keuntungan bebas resiko. Investasi dalam saham dianggap investasi yang mengandung resiko. Resiko tersebut berasal dari adanya ketidakpastian return yang akan diterima oleh investor, sehingga dari saham yang dimiliki investor diharapkan akan diperoleh suatu keuntungan yang lebih tinggi dari keuntungan bebas resiko. Oleh karena itu, seorang investor tidak boleh hanya memperhatikan besarnya return dalam suatu asset, tetapi juga harus mempertimbangkan resiko yang harus ditangguhkan karena adanya investasi tersebut. Apabila investor mengharapkan untuk memperoleh tingkat keuntungan yang tinggi, maka ia harus bersedia menanggung resiko yang lebih tinggi pula. (Husnan, 1998) 4.4 Ukuran perusahaan (size) Ukuran perusahaan (size) didefinisikan sebagai hasil perkalian antara harga saham per lembar dengan jumlah saham yang beredar pada periode tertentu. Banz (1981) menyatakan bahwa terdapat kecenderungan saham-saham perusahaan kecil mempunyai return yang lebih tinggi dibanding saham-saham perusahaan besar. Investasi pada saham perusahaan kecil menghasilkan return yang lebih besar secara signifikan dibandingkan dengan return investasi pada perusahaan besar. Dengan kata lain, return perusahaan kecil cenderung relatif besar dibandingkan return perusahaan besar. Artinya Ukuran perusahaan semakin besar return perusahaan makin kecil. Ukuran perusahaan (size). Perusahaan besar dapat lebih mudah untuk mengakses pasar modal dibandingkan dengan perusahaan kecil. Semakin besar ukuran perusahaan semakin mudah untuk

mendapatkan modal eksternal dalam jumlah yang lebih besar terutama dari hutang. Baskin, ( 1989), dan Adedeji (1998) menemukan ukuran perusahaan ( size) berhubungan positif dengan financial leverage. 4.5 Pertumbuhan Perusahaan (Growth) Pertumbuhan perusahaan ( growth). Pertumbuhan perusahaan menggambarkan tolok ukur keberhasilan perusahaan. Menurut Florentina(2002) bahwa keberhasilan tersebut juga menjadi tolok ukur investasi untuk pertumbuhan pada masa yang akan datang. Fama( 1974), menemukan hubungan yang positif dengan investasi. 4.6 Model Empiris Pengaruh Ukuran, Pertumbuhan dan Resiko Terhadap Return Tidak Normal Beberapa studi juga ingin melihat apakah variabel-variabel spesifik perusahaan yang lainnya, seperti ukuran perusahaan (size), pertumbuhan perusahaan (growth), dan risiko perusahaan (risk) juga menjelaskan besarnya Pendapatan Tidak Normal (abnormal return) yang terjadi. Persamaan regresi yang digunakan adalah sebagai berikut : . (5) Pengukuran SIZE yang umumnya digunakan adalah nilai total aktiva, atau penjualan bersih, atau nilai ekuitas. Pengukuran GROWTH yang banyak digunakan adalah pertumbuhan laba dan pertumbuhan penjualan atau diwakili dengan nilai pasar dibagi nilai buku. Pengukuran resiko perusahaan ( RISK) yang banyak digunakan adalah leverage (total ekuitas dibagi dengan total Utang) 4.9 Penelitian Terdahulu Penelitian yang dilakukan oleh Ardi Murdoko Sudarmadji dan Lana Sularto, yang meneliti tentang Pengaruh Ukuran Perusahaan, Profitabilitas, Leverage, dan Tipe Kepemilikan Perusahaan Terhadap Luas Voluntary Disclosure laporan Keuangan Tahunan. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu terdiri dari 8 perusahaan yang bergerak dalam manufaktur. Pengolahan dan analisis data menggunakan analisis regresi linier berganda dengan bantuan program spss. Pengujian data yang digunakan untuk regresi linear berganda yaitu uji asumsi klasik. hasil penelitian ini didapat bahwa variabel ukuran perusahaan, leverage, profitabilitas dan tipe kepemilikan perusahaan tidak berpengaruh terhadap luas voluntary disclosure laporan tahunan. Susi dan Rudi Setiawan, menganalisis Pengaruh Rasio Profitabilitas terhadap Harga Saham Industri Barang Konsumsi Yang Tergabung Dalam Indeks LQ 45 Yang Go Public Di Bursa Efek Jakarta (BEJ). Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah rasio-rasio profitabilitas berpengaruh terhadap harga saham. Populasi yang digunakan adalah perusahaan industri barang konsumsi yang termasuk ke dalam Indeks LQ 45 di Bursa Efek Jakarta. Sebelumnya terlebih dahulu dilakukan pengujian publikasi laporan keuangan terhadap harga saham dengan uji statistik non parametrik yaitu Sign Test. Hasil analisis menunjukkan bahwa publikasi laporan keuangan berpengaruh secara signifikan terhadap harga saham. Selanjutnya untuk melihat pengaruh masing-masing rasio profitabilitas terhadap harga saham digunakan analisis regresi linier sederhana. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa masing-masing rasio profitabilitas yakni Return On Asset (ROA), Return On Equity (ROE), Net Profit Margin(NPM), dan Earning

Per Share (EPS) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap perubahan harga saham. Demikian juga dengan kontribusi masing-masing rasio profitabilitas yang rendah terhadap perubahan harga saham dengan melihat nilai koefisien determinasi. Agustina M.V Norpratiwi, menganalisis Korelasi Investment Opportunity Set (IOS) terhadap Return Saham (Pada Saat Pelaporan Keuangan Perusahaan), dengan kesimpulan berdasarkan hasil pengujian keempat variabel proksi IOS diatas secara umum dapat ditunjukkan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara rasio IOS dengan return saham. Hipotesis alternatif satu yaitu untuk korelasi antara market to book value of asset ratio (M/BVA) dengan CAR dapat dibuktikan konsisten dengan teori. Hal ini berarti bahwa nilai korelasi diantara kedua variabel berkorelasi positif dan secara statistik signifikan pada = 0,05 sehingga rasio IOS M/BVA dapat dikatakan mampu memberi infomasi dan dapat ditanggapi oleh pasar. Hipotesis alternatif dua yaitu untuk korelasi antara market to book value of equity ratio (M/BEQ) dengan CAR dapat dibuktikan konsisten dengan teori, karena nilai korelasi antara rasio proksi IOS M/BEQ dengancummulative abnormal return (CAR). Hal ini juga dapat dijelaskan bahwa nilai korelasi di antara kedua variabel berkorelasi positif dan secara statistis signifikan marjinal pada = 0,10. Sehingga rasio IOS M/BEQ dapat dikatakan mampu memberi infomasi dan ditanggapi oleh pasar. Hipotesis alternatif tiga yaitu untuk korelasi antara ratio of capital expenditures to book value of asset (C/BVA) dengan CAR dapat dibuktikan konsisten dengan teori, karena nilai korelasi antara rasio proksi IOS C/BVA dengan cummulative abnormal return (CAR) sebesar 0,15 dan secara statisitik signifikan pada = 0,10. Artinya bahwa nilai korelasi diantara kedua variabel berkorelasi positif dan secara statistik signifikan pada = 0,1 0. Sehingga rasio IOS C/BVA dapat dikatakan mampu memberi infomasi dan ditanggapi oleh pasar. Hipotesis alternatif keempat yaitu untuk korelasi antara Earnings Price ratio (E/P) dengan CAR tidak dapat dibuktikan konsisten dengan teori, karena nilai korelasi antara rasio proksi IOS EP dengan cummulative abnormal return (CAR) dapat dikatakan bahwa secara statistis korelasi antara EP rasio dengan CAR tidak signifikan secara statistis dan tidak ditanggapi oleh pasar. Margareta Jati Palupi, Analisis Faktor-Faktor yang mempengaruhi Koefisien Respon Laba : Bukti Empiris pada Bursa Efek Jakarta, berdasarkan hasil Analisis pada bagian sebelumnya, maka penelitian ini menyimpulkan bahwa, secara signifikan, koefisien respon laba dipengaruhi oleh Risiko Sistematik dan Presistensi Laba, dan Pengaruh yang diberikan adalah positif. Sedangkan faktor prediktabilitas laba , pertumbuhan, ukuran perusahaan, dan risiko kegagalan memberikan pengaruh negatif atas koefisien respon laba, sekalipun pengaruh tersebut tidak signifikan.. Temuan dalam studi ini tidak seluruhnya konsisten dengan studi sebelumnya karena adanya perbedaan kurun waktu amatan dan perbedaaan sampel perusahaan.

Anda mungkin juga menyukai