BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkataan “konstitusi” berasal dari bahasa Perancis Constituer dan Constitution, kata pertama
berarti membentuk, mendirikan atau menyusun, dan kata kedua berarti susunan atau pranata
(masyarakat)[1]. Dengan demikian konstitusi memiliki arti; permulaan dari segala peraturan
mengenai suatu Negara. Pada umumnya langkah awal untuk mempelajari hukum tata negara
dari suatu negara dimulai dari konstitusi negara bersangkutan. Mempelajari konstitusi berarti
juga mempelajari hukum tata negara dari suatu negara, sehingga hukum tata negara disebut
juga dengan constitutional law. Istilah Constitutional Law di Inggris menunjukkan arti yang
sama dengan hukum tata negara. Penggunaan istilah Constitutional Law didasarkan atas
alasan bahwa dalam hukum tata Negara unsur konstitusi lebih menonjol.[2]
Dengan demikian suatu konstitusi memuat aturan atau sendi-sendi pokok yang bersifat
fundamental untuk menegakkan bangunan besar yang bernama “Negara”. Karena sifatnya yang
fundamental ini maka aturan ini harus kuat dan tidak boleh mudah berubah-ubah. Dengan kata
lain aturan fundamental itu harus tahan uji terhadap kemungkinan untuk diubah-ubah
berdasarkan kepentingan jangka pendek yang bersifat sesaat.
B. Pendekatan
BAB II
A. Sejarah Konstitusi
Secara umum terdapat dua macam konstitusi yaitu : 1) konstitusi tertulis dan 2) konstitusi tak
tertulis. Dalam hal yang kedua ini, hampir semua negara di dunia memiliki konstitusi tertulis
atau undang-undang dasar (UUD) yang pada umumnya mengatur mengenai pembentukan,
pembagian wewenang dan cara bekerja berbagai lembaga kenegaraan serta perlindungan hak
azasi manusia.[3]
Negara yang dikategorikan sebagai negara yang tidak memiliki konstitusi tertulis adalah
Inggris dan Kanada. Di kedua negara ini, aturan dasar terhadap semua lembaga-lembaga
kenegaraan dan semua hak azasi manusia terdapat pada adat kebiasaan dan juga tersebar di
berbagai dokumen, baik dokumen yang relatif baru maupun yang sudah sangat tua seperti
Magna Charta yang berasal dari tahun 1215 yang memuat jaminan hak-hak azasi manusia
rakyat Inggris.[4]Karena ketentuan mengenai kenegaraan itu tersebar dalam berbagai dokumen
atau hanya hidup dalam adat kebiasaan masyarakat itulah maka Inggris masuk dalam kategori
negara yang memiliki konstitusi tidak tertulis.
Pada hampir semua konstitusi tertulis diatur mengenai pembagian kekuasaan berdasarkan jenis-
jenis kekuasaan, dan kemudian berdasarkan jenis kekuasaan itu dibentuklah lembaga-lembaga
negara. Dengan demikian, jenis kekuasaan itu perlu ditentukan terlebih dahulu, baru kemudian
dibentuk lembaga negara yang bertanggung jawab untuk melaksanakan jenis kekuasaan
tertentu itu.
Beberapa sarjana mengemukakan pandangannya mengenai jenis tugas atau kewenangan itu,
salah satu yang paling terkemuka adalah pandangan Montesquieu bahwa kekuasaan negara itu
terbagi dalam tiga jenis kekuasaan yang harus dipisahkan secara ketat. Ketiga jenis kekuasaan
itu adalah : 1) kekuasaan membuat peraturan perundangan (legislatif); 2) kekuasaan
melaksanakan peraturan perundangan (eksekutif) dan kekuasaan kehakiman (judikatif).
Pandangan lain mengenai jenis kekuasaan yang perlu dibagi atau dipisahkan di dalam
konstitusi dikemukakan oleh van Vollenhoven dalam buku karangannya Staatsrecht over Zee.
[5] Ia membagi kekuasaan menjadi empat macam yaitu :1) pemerintahan (bestuur); 2)
perundang-undangan; 3) kepolisian dan 4)pengadilan. Van Vollenhoven kemungkinan menilai
kekuasaan eksekutif itu terlalu luas dan karenanya perlu dipecah menjadi dua jenis kekuasaan
lagi yaitu kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan kepolisian. Menurutnya kepolisian
memegang jenis kekuasaan untuk mengawasi hal berlakunya hukum dan kalau perlu memaksa
untuk melaksanakan hukum.
Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Azas-azas Hukum Tata Negara di Indonesia mendukung
gagasan Van Vollenhoven ini, bahkan ia mengusulkan untuk menambah dua lagi jenis
kekuasaan negara yaitu kekuasaan Kejaksaan dan Kekuasaan untuk memeriksa keuangan
negara untuk menjadi jenis kekuasaan ke-lima dan ke-enam.[6]
Berdasarkan teori hukum ketatanegaraan yang dijelaskan diatas maka dapat disimpulkan bahwa
jenis kekuasaan negara yang diatur dalam suatu konstitusi itu umumnya terbagi atas enam dan
masing-masing kekuasaan itu diurus oleh suatu badan atau lemabaga tersendiri yaitu:
kekuasaan membuat undang-undang (legislatif)
kekuasaan melaksanakan undang-undang (eksekutif)
kekuasaan kehakiman (judikatif)
kekuasaan kepolisian
kekuasaan kejaksaan
kekuasaan memeriksa keuangan negara
Adakalanya keinginan rakyat untuk mengadakan perubahan konstitusi merupakan suatu hal
yang tidak dapat dihindari. Hal ini terjadi apabila mekanisme penyelenggaraan negara yang
diatur dalam konstitusi yang berlaku dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan aspirasi rakyat.
Oleh karena itu, konstitusi biasanya juga mengandung ketentuan mengenai perubahan
konstitusi itu sendiri, yang kemudian prosedurnya dibuat sedemikian rupa sehingga perubahan
yang terjadi adalah benar-benar aspirasi rakyat dan bukan berdasarkan keinginan semena-mena
dan bersifat sementara atau pun keinginan dari sekelompok orang belaka.
Pada dasarnya ada dua macam sistem yang lazim digunakan dalam praktek ketatanegaraan di
dunia dalam hal perubahan konstitusi. Sistem yang pertama adalah bahwa apabila suatu
konstitusi diubah, maka yang akan berlaku adalah konstitusi yang berlaku secara keseluruhan
(penggantian konstitusi). Sistem ini dianut oleh hampir semua negara di dunia. Sistem yang
kedua ialah bahwa apabila suatu konstitusi diubah, maka konstitusi yang asli tetap berlaku.
Perubahan terhadap konstitusi tersebut merupakan amandemen dari konstitusi yang asli tadi.
Dengan perkataan lain, amandemen tersebut merupakan atau menjadi bagian dari
konstitusinya. Sistem ini dianut oleh Amerika Serikat.
Hans Kelsen mengatakan bahwa kosntitusi asli dari suatu negara adalah karya pendiri negara
tersebut. Dan ada beberapa cara perubahan konstitusi menurut Kelsen yaitu :[8]
1. Perubahan yang dilakukan diluar kompetensi organ legislatif biasa yang dilembagakan
oleh konstitusi tersebut, dan dilimpahkan kepada sebuah konstituante, yaitu suatu organ khusus
yang hanya kompeten untuk mengadakan perubahan-perubahan konstitusi
2. Dalam sebuah negara federal, suatu perubahan konstitusi bisa jadi harus disetujui oleh
dewan perwakilan rakyat dari sejumlah negara anggota tertentu.
Miriam Budiarjo mengemukakan adanya empat macam prosedur perubahan konstitusi, yaitu :
[9]
1. Sidang badan legislatif ditambah beberapa syarat misalnya ketentuan kuorum dan jumlah
minimum anggota badan legislatif untuk menerima perubahan.
3. negara-negara bagian dalam suatu negara federal harus menyetujui, Contoh : Amerika
Serikat
Dengan demikian apa yang dikemukakan Miriam Budiarjo pada dasarnya sama dengan yang
dikemukakan oleh Hans Kelsen.
Di Indonesia, perubahan konstitusi telah terjadi beberapa kali dalam sejarah ketatanegaraan
Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Sejak Proklamasi hingga sekarang
telah berlaku tiga macam Undang-undang Dasar dalam delapan periode yaitu :
Periode 18 Agustus 1945 – 27 desember 1949
Periode 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950
Periode 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959
Periode 5 Juli 1959 – 19 Oktober
Periode 19 Oktober 1999 – 18 Agustus 2000
Periode 18 Agustus 2000 – 9 November 2001
Periode 9 November 2001 – 10 Agustus 2002
Periode 10 Agustus 2002 – sampai sekarang
Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) ditetapkan dan disahkan Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945. UUD 1945 terdiri dari :
Pembukaan (4 alinea) yang pada alinea ke-4tercantum dasar negara yaitu Pancasila;
Batang Tubuh (isi) yang meliputi :
16 Bab;
37 Pasal
4 aturan peralihan;
2 Aturan Tambahan.
3. Penjelasan
UUD 1945 digantikan oleh Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS) pada 27
Desember 1949, pada 17 Agustus 1950 Konstitusi RIS digantikan oleh Undang-undang Dasar
Sementara 1950 (UUDS 1950).
Dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, UUD 1945 dinyatakan berlaku kembali di Indonesia
hingga saat ini.
Hingga tanggal 10 Agustus 2002, UUD 1945 telah empat kali diamandemen oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Pada amandemen ini, pasal-pasal UUD 1945 yang diubah ialah 9 pasal yaitu: Pasal 5 ayat (1),
7, 9 ayat (1) dan (2), 13 ayat (2) dan (3),14 ayat (1) dan (2), 15, 17 ayat (2) dan (3), 20 ayat (1),
(2), (3) dan (4), 21 ayat (1).
Diubah menjadi : Preseiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan
sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
Diubah menjadi :
(1) Presiden memberi grasi dan rehabili dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah
Agung;
(2) Presiden memberi Amnesti dan Abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR.
Pada amandemen II ini, pasal-pasal UUD 1945 yang diubah ialah 24 pasal yaitu: Pasal 18 ayat
(1) s/d (7), 18A ayar (1) dan (2), 18B ayat (1) dan (2), 19 ayat (1) s/d (3), 20 ayat (5), 20A ayat
(1) s/d (4), 22A, SSB, 25A, 26 ayat (2) dan (3), 27 ayat (3), 28A, 28B ayat (1) dan (2), 28D
ayat (1) s/d (4), 28E ayat (1) s/d (3), 28F, 28G ayat (1) dan (2), 28H ayat (1) s/d (4), 28I ayat
(1) s/d (5), 28J ayat (1) dan (2), 30 ayat (1) s/d (5), 36A, 36B, 36C.
Diubah menjadi : Pasal 20A; DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi
pengawasan.
Diubah menjadi : Penduduk ialah warga Negara Indonesia dan orang asing yang bertempat
tinggal di Indonesia
g. Pasal 28 memuat 3 hak asasi manusia diperluas menjadi 13 hak asasi manusia.
g. Pasal 1 ayat (2) berbunyi : Kedaulatan adalah ditanag rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh
MPR
Diubah menjadi : Kedaulatan berada di tanagn rakyat dan dilaksanakan menurut UUD
h. Ditambah Pasal 6A : Presiden dan wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara
langsung oleh rakyat
Diubah menjadi : Calon Presiden dan wakil Presiden harus warga negara Indonesia sejak
kelahirannya
1. Pasal 24B: Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan
hakim agung
2. Pasal 24C : mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD (dan
menurut amandemen IV) UUD 1945, Komisi dan Konstitusi ditetapkan dengan ketentuan MPR
bertugas mengkaji ulang keempat amandemen UUD 1945 pada tahun 2003
Pada amandemen IV ini, pasal-pasal UUD 1945 yang diubah ialah 17 pasal yaitu: pasal-pasal :
2 ayat (1), 6A ayat (4), 8 ayat (3), 11 ayat (1), 16 23B, 23D, 24 ayat (3), 31 ayat (1) s/d (5), 32
ayat (1) dan (2), 33 ayat (4) dan (5), 34 ayat (1) s/d (4), 37 ayat (1) s/d (5), Aturan Peralihan
Pasal I s/d III, aturan Tambahan pasal I dan II.
k. Pasal 2 ayat (1) berbunyi : MPR terdiri atas anggota-anggota dan golongan-golongan
menurut aturan yang ditetapkan dengan Undang-undang;
Diubah menjadi : MPR terdiri atas anggota DPR dan DPD yang dipilih melalui Pemilihan
Umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.
Diubah menjadi : Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan
nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam Undang-undang
m. Pasal 29 ayat (1) berbunyi : Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pasal ini tetap tidak berubah (walaupun pernah diusulkan penambahan 7 kata : dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya)
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa amandemen I,II,III dan IV terhadap UUD 1945,
maka sejak 10 Agustus 2002 Ketatanegaraan Republik Indonesia telah mengalami perubahan
sebagai berikut :
MPR bukan lagi pemegang kedaulatan (kekuasaan tertinggi) di Indonesia, melainkan rakyat
Indonesia yang memegang kedaulatan, MPR bukan Lembaga tertinggi Negara lagi.
MPR, DPR, dan Presiden yang bertanggung jawab kepada rakyat melalui Pemilihan Umum.
Presiden dan Wakil Presiden yang melangar hukum tidak akan terpilih dalam pemilihan umum
yang akan datang.
MPR merupakan lembaga yang memiliki dua badan (Bicameral) seperti di Amerika Serikat;
Anggota DPR dipilih dalam pemilihan umum oleh seluruh rakyat, sedangkan DPD dipilih oleh
rakyat di daerah (Provinsi) masing-masing. Dengan ditetapkannya DPR dan DPD sebagai
anggota MPR, maka utusan golongan termasuk TNI/POLRI dihapuskan dari MPR.
bukan lagi pemegang kedaulatan (kekuasaan tertinggi) di Indonesia, melainkan rakat Indonesia
yang memegang kedaulatan, MPR bukan Lembaga
c. Pasal 5 ayat (1):
Presiden bukan lagi pembentuk undang-undang, tetapi berkedudukan sebagai Kepala Negara
dan Kepala Pemerintahan (Lembaga Eksekutif, Pemerintahan/Pelaksana Undang-undang)
Presiden Indonesia tidak harus orang Indonesia asli, tetapi calon Presiden dan Wakil Presiden
harus warga Negara Indonesia sejak kelahirannya. Presdien dan Wakil Presiden dipilih secara
langsung oleh rakyat (bukan secara tidak langsung oleh MPR, sedangkan DPR dipilih rakyat)
e. Pasal 7:
Presiden dan Wakil Presiden hanya dapat memegang jabatan selama paling lama 2 x 5 tahun :
10 tahun (dahulu Presiden memegang jabatan selama lebih dari 30 tahun, bahkan seumur
hidup).
f. Pasal 14:
Presiden memberi :