Anda di halaman 1dari 295

KEANDALAN DAN

PERAWATAN
Oleh
Ir. Dwi Priyanta, MSE
Tentang Modul Ajar
MODUL 1 Konsep Dasar
MODUL 2 Metode PengkajianKeandalan Bagian 1
MODUL 3 Metode PengkajianKeandalan Bagian 2
MODUL 4 Metode PengkajianKeandalan Bagian 3
MODUL 5 Strategi Untuk Kebijaksanaan Perawatan
Tentang Penulis
JURUSAN TEKNIK SISTEM PERKAPALAN
FAKULTAS TEKNOLOGI KELAUTAN
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMEBER
SURABAYA
Copyr i ght ada pada penul i s
Last Updat ed Mar c h 2000
TENTANG MODUL AJAR
Modul ajar ini merupakan kumpulan dan rangkuman dari materi
kuliah keandalan dan perawatan di Jurusan Teknik Sistem
Perkapalan, Fakultas Teknologi Kelautan ITS, Surabaya. Materi
kuliah ini dirangkum dari berbagai textbook dan jurnal.
Melalui program Teaching Grant yang merupakan salah satu
implementasi program DUE-Like, penulis berkesempatan untuk
mengumpulkan dan menulis kembali semua materi kuliah yang
diajarkan dalam bentuk elektronik file. Semua materi disimpan
dalam bentuk portable document format (pdf) file yang hanya bisa
dibaca (read only).
Untuk info lebih lanjut mengenai modul ajar ini, pembaca dapat
menghubungi
Ir. Dwi Priyanta, MSE
Jurusan teknik Sistem Perkapalan
Fakultas Teknologi Kelautan
Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)
Kampus ITS Keputih Sukolilo
SURABAYA 60111
Telp. (031) 599 4251 ext. 1102
Fax. (031) 599 4754
KEMBALI KE MENU UTAMA
KEMBALI KE MENU UTAMA
T
TTE
EEN
NNT
TTA
AAN
NNG
GG P
PPE
EEN
NNU
UUL
LLI
IIS
SS
Dwi Priyanta, lahir di kediri pada 1968.
Menamatkan pendidikan menengah atas
di SMA Negeri 1 Kediri pada 1987 dan
melanjutkan ke Jurusan Teknik
Permesinan Kapal - Fakultas Teknologi
Kelautan Institut Teknologi Sepuluh
Nopember (ITS) Surabaya melalui jalur
PMDK. Setelah menamatkan pendidikan
program S1 pada 1992, penulis menjadi
staf pengajar di jurusan yang sama di
ITS. Melalui program beasiswa Asian
Development Bank (ADB), penulis
melanjutkan pendidikan Master di School
of Naval Architecture and Marine
Engineering University of New Orleans, Louisiana USA pada Agustus
1995 dan menamatkan pendidikan master dengan meraih gelar Master of
Science in Engineering (MSE) pada April 1997 dengan bidang keahlian
Engineering System Reliability. Setelah menyelesaikan program master,
selama tiga bulan penulis menjadi salah satu staff di Freeport Sulphur
Company, New Orleans USA sebuah penambangan belerang milik
Freeport yang beroperasi di Gulf of Mexico - dengan tugas untuk
melakukan studi implementasi Reliability Centered Maintenance untuk
salah satu sistem. Penulis sekarang menjadi dosen tetap dan kepala
laboratorium System Reliability and Safety di Jurusan Teknik Sistem
Perkapalan Fakultas Teknologi Kelautan ITS.
KEMBALI KE MENU UTAMA
KEANDALAN DAN PERAWATAN
Konsep Dasar
Oleh
Ir. Dwi Priyanta, MSE
JURUSAN TEKNIK SISTEM PERKAPALAN
FAKULTAS TEKNOLOGI KELAUTAN
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMEBER
SURABAYA
Copyr i ght ada pada penul i s
MODUL
1
DAFTAR ISI MODUL 1
BAB 1 Pengenalan Disiplin Ilmu Keandalan dan Aplikasinya
1.1 Pendahuluan
1.2 Definisi
1.3 Indeks Keandalan
1.4 Kajian Keandalan
1.5 Aplikasi Keandalan
1.6 Referensi dan Bibliografi
BAB 2 Probabilitas
2.1 Pendahuluan
2.2 Permutasi
2.3 Kombinasi
2.4 Pemakaian Permutasi dan Kombinasi untuk Perhitungan
Probabilitas
2.5 Hukum untuk Menggabungkan Probabilitas
2.6 Teorema Binomial
2.7 Referensi dan Bibliografi
BAB 3 Pemodelan Jaringan dan Evaluasi Sistem
3.1 Pendahuluan
3.2 Sistem Dengan Susunan Seri
3.3 Sistem Dengan Susuna Paralel
3.4 Sistem Dengan Susunan Gabungan Seri Paralel
3.5 Sistem Dengan Susunan Berlebihan Secara Parsial (Partially
Redundant System)
3.6 Pertimbangan Desain Antara Susunan Seri dan Paralel
FOR INTERNAL USE ONLY
3.7 Standby Redundant System
3.8 Pemodelan Jaringan yang Kompleks
3.9 Conditional Probability Approach
3.10 Metode Cut Set
3.11 Metode Tie Set
3.12 Referensi dan Bibliografi
KEMBALI KE MENU UTAMA
FOR INTERNAL USE ONLY
1
Pengenalan Disiplin Ilmu
Keandalan dan Aplikasinya
1.1 Pendahuluan
Didalam masyarakat modern, para insiyur profesional dan
manajer teknik bertanggung jawab terhadap perencanaan, desain,
manufaktur dan pengoperasian dari produk yang sederhana sampai
sistem yang komplek. Kerusakan dari produk daan sistem ini sering
dapat memberi dampak yang bervariasi mulai dari sesuatu yang tidak
menyenangkan dan mengganggu sampai dampak yang
membahayakan terhadap masyarakat dan terhadap lingkungan
sekitarnya. Para pemakai, konsumen, dan masyarakat umumya
mengharapkan produk dan sistem yang handal. Pertanyaan yang
muncul adalah seberapa handal atau seberapa aman suatu sistem
akan beroperasi selama masa pengoperasiannya dimasa yang akan
datang? Pertanyaan ini sebagian dapat dijawaaab dengan
mengunakan evaluasi keandala secara kuantitatif. Konsekuensinya
sebuah teknik untuk mendesain dan mengoperasikan dari suatu
sistem yang sederhana dan komplek bersamaan dengan penambahan
jumlah aturan-aturan resmi, termasuk aspek kesetimbangan produk
2
dan agen-agen resmi. Buku ini terutama berkaitan dengan
penggambaran teknik pengevaluasian keandalan yang sangat luas
dan aplikasinya. Bagaimanapun, adalah suatu yang berguna untuk
mendiskusikan beberapa isu dan filosofi yang berkaitan dengan
keandalan untuk meletakkan teknik pengevalusian ini kedalam suatu
perspektif dan mengidentifikasi latar belakang dari berbagai teknik
pengevaluasian dan pengukuran yang telah dikembangkan dan juga
untuk menunjukan mengapa teknik ini dikembangkan.
Pengembangan teknik pengevaluasian keandalan pada awalnya
berhubungan dengan industri ruang angkasa dan aplikasi militer.
Pengembangan teknik inii diikuti dengan cepat oleh aplikasi di reaktor
nuklir, yang pada saat ini dibawah tekanan yang sangat kuat untuk
memastikan reaktor nuklir yang aman dan handal: dibidang
penyuplaian listrik, yang diharapkan dapat menyuplai kebutuhan
energi tanpa kerusakan lokal atau kerusakan dalam skala yang
besar: dan di pengolahan pengolahan yang memiliki proses yang
kontinu seperti pengolahan baja dan pengolahan bahan kimia, yang
dapat mengalami penundaan dan kerugian yang besay jika terjadi
kegagalan pada sistem maupun yang menyebabkan kematian dan
polusi lingkungan. Semua area yang telah disebutkan telah
mengalami beberapa masalah akhir-akhir ini. Masalah-masalah ini
termasuk kecelakaan dibidang ruang angkasa (Pesawat ruang
angkasa Chalelenger, 1986: beberapa kecelakaan pesawat terbang
komersial), kecelakaan dibidang nuklir (Three Mile Island, 1979;
Chernobyl, 1986), kecelakaan dibidang penyuplaian tenaga listrik
(New York Blackout, 1977), kecelakaan diprose pengolahan
(Flixborough, 1974; Seveso 1976; Bhopal, 1984), dan berbagai
masalah lain dimana kecelakaan yang terjadi dapat mengakibatkan
gangguan terhadap masyarakat dan lingkungann dan mungkin
mengakibatkan kematian.
Kejadian kejadian ini telah meningkatkan tekanan untuk
melakukan penilaian keandalan, keselamatan dan semua
kemungkinan resiko secara obyektif. Celakanya resiko yang dipahami
3
oleh publik umum seringkali berdasarkan emosi, utamanya dampak
yang diakibatkan dari sektor nuklir. Masyarakat umumnya mengalami
kesulitan dalam membedakan antara bahaya (hazard), yang
dikaitkan dengan gangguan tetapi tidak memperhitungkan
kemungkinan terjadinya kejadian-kejadian yang membahayakan
tetapi juga peluang terjdinya kejadian yang membahayakan tersebut.
Teknik pengevaluasian keandalan dapat membantu dalam melakukan
penilaian secara obyektif terhadap kemungkinan resiko dan
membantu untuk menghitung bukan hanya bahaya yang akan terjadi
tetapi juga kemungkinannya.
Teknik pengevaluasian keandalan yang moderen juga dipakai
didalam aplikasi yang lebih luas termasuk aplikasi domestik, otomobil
dan berbagai produk lain yang secara individu memiliki dampak sosio
ekonomik yang kecil. Jika mengalami kegagalan. Kecenderungan
terbaru baik dimasyarakat Amerika utara dan Eropa adalah
meningkatnya kebutuhan untuk melakukan penilaian resiko dan
keandalan. Kecenderungan-kecenderungan ini berpusat kepada
perubahan hukum-hukum yang berkaitan dengan jaminan produk
dimana penyuplai, desainer dan pemroduksi akan dikenai tanggung
jawab atas cedera dan kematian konsumen akibat produk yang cacat.
Petunjuk-petunjuk juga akan diterbitkan oleh pemerintah dan badan-
badan pengatur yang berkaitan dengan kelayakan, keselamatan dan
resiko, dan yang berkaitan dengan kebutuhan yang penting untuk
melakukan penilaian keandalan dan resiko kemungkinan secara
obyektif.
Dari diskusi ini jelas bahwa semua insiyur harus memiliki
kepedulian terhadap konsep dasar yang berkaitan dengan aplikasi
teknik-teknik pengevaluasian keandalan.
4
1.2 Definisi
Secara umum teori keandalan dapat dikelompokan menjadi
empat keompok utama, yaitu :
Keandalan komponen dan sistem (Component and system
reliability)
Keandalan struktur (Structural reliability)
Keandalan manusia (Human reliability)
Keandalan perangkat lunak (Software reliability)
Sesuai dengan judul diktat ini, maka didalam diktat ini hanya
akan membahas mengenai keandalan sistem dan komponen.
Sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya bila pembaca
mengetahui beberapa definisi dasar yang berkaitan dengan
keandalan sistem dan komponen. Adapun beberapa terminologi dan
definisi yang akan ditampilkan pada seksi ini adalah, keandalan
(reliability), ketersediaan (availability), dan kemampurawatan
(maintainability).
Keandalan
Didefinisikan sebagai probabilitas dari suatu item untuk dapat
melaksanakan fungsi yang telah ditetapkan, pada kondisi
pengoperasian dan lingkungan tertentu untuk periode waktu yang
telah ditentukan.
Terminologi item yang dipakai didalam definisi keandalan diatas
dapat mewakili sembarang komponen, subsistem, atau sistem yang
dapat dianggap sebagai satu kesatuan.
Definisi di atas dapat disarikan menjadi empat komponen pokok
yaitu :
probabilitas
kinerja (performance) yang memadai
waktu
5
kondisi pengoperasian
Probabiltas, yang merupakan komponen pokok pertama,
merupakan input numerik bagi pengkajian keandalan sutau sistem
yang juga merupakan indeks kuantitatif untuk menilai kelayakan
suatu sistem. Pada beberapa kajian yang melibatkan disiplin ilmu
keandalan, probabilitas bukan merupakan satu-satunya indeks, ada
beberapa indeks lain yang dapat dipakai untuk menilai keandalan
suatu sistem yang sedang dikaji.
Tiga komponen lain - yaitu kinerja, waktu dan kondisi
pengoperasian semuanya merupakan parameter-parameter
engineering dan teori probabilitas tidak banyak membantu untuk
kajian engineering ini. Seringkali insinyur yang bertanggungjawab
langsung terhadap satu sistem tertentu yang cukup akurat untuk
memberikan informasi yang cukup memuaskan berkaitan dengan
kajian sistem yang sedang dilakukan. Waktu yang telah ditetapkan
untuk pengoperasian sistem bisa saja kontinyu atau secara sporadis,
sedangkan kondisi pengoperasian bisa kondisi pengoperasian yang
uniform atau bervariabel, seperti pada fase pengoperasaian propulsi
roket dan pada pengoperasian pesawat terbang komersial pada saat
take-off, cruising dan landing.
Kriteria tentang kinerja yang memadai dari sebuah sistem
merupakan masalah yang melibatkan permasalahana manajerial.
Kegagalan pengoperasian sistem dapat didefiniskan secara beragam
mulai dari kegagalan katastropik atau gangguan terhadap fungsi
sistem, seperti pada pompa yang menyuplai bahan bakar untuk
motor penggerak kapal yang mungkin tidak mampu menyuplai
kebutuhan minimum bahan bakar meskipun pada kenyataannya
pompa bahan bakar tersebut masih bisa beroperasi.
Ketersediaan
Didefinisikan sebagai probabilitas untuk dapat menemukan suatu
sistem (dengan berbagai kombinasi aspek-aspek keandalannya,
6
kemampu-rawatan dan dukungan perawatan) untuk melakukan
fungsi yang diperlukan pada suatu periode waktu tertentu.
Ketersediaan dari sebuah sistem dapat diekspresikan kedalam
sebuah persamaan matematis yang menyatakan relasi anatara
periode dimana sistem dapat beroperasi (T
OP
) dengan penjumlahan
antara periode waktu ini dengan waktu dimana sistem dalam keadaan
tidak dapat beroperasi (T
DOWN
). Persamaan di bawah ini menunjukkan
hubungan antara T
OP
, T
DOWN
, dan ketersediaan, A, sedangkan gambar
1.1 menunjukkan ilustrasi dari ketersediaan.
DOWN OP
OP
T T
T
A
+
= (1.1)
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi ketersediaan suatu
sistem. Gambar 1.2 menunjukkan beberapa faktor yang mempe-
ngaruhi ketersediaan suatu sistem, beberapa diantaranya dapat
diperbaiki pada saat fase desain dan beberapa yang lainnya dapat
diperbaiki pada saat fase operasional. Dari gambar 1.2 terlihat bahwa
pada dasarnya perawatan akan berfungsi untuk menjaga
ketersediaan sistem melalui pengontrolan yang optimal pada
perawatan korektif dan perawatan preventif serta didukung oleh
administrasi dan penggunaan semua sumber daya secara efisien.
7
Gambar 1.1
Ilustrasi ketersediaan
Ketersediaan
Laju
Kegagalan
Down time
Desain
Perawatan
Preventif
Kulaitas
Perawatan
Waktu
Perawatan
Korektif
Waktu
Perawatan
Preventif
Keterlam-
batan
Sumber
daya
Kontrol dan
Informasi
Peralatan
dan metode
Kontrol dan
efisiensi
Kemampu-
rawatan
Gambar 1.2
Faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan
8
Kemampurawatan
Didefinisikan sebagai kemampuan suatu item dalam kondisi pemakian
tertentu, untuk dirawat, atau dikembalikan ke keadaan semula
dimana item itu dapat menjalankan fungsi yang diperlukan, jika
perawatan dilakukan dalam kondisi tertentu dan dengan
menggunakan prosedur dan sumber daya yang sudah ditentukan.
Kemampuarawatan adalah faktor yang penting dalam
menentukan ketersediaan dari suatu item. RAM sering kali dipakai
sebagai suatu singkatan yang mewakili reliabiliy, availability, dan
maintainability.
1.3 Indeks Keandalan
Indeks keaandalan yang paling klasik adalah probabilitas
seperti yang didefinisikan di seksi 1.2 Bagaimanapun, indeks yang
lain juga dihitung dan dikembangkan secara teratur. Indeks
keandalan yang paling cocok sangat tergantung dari sistem dan
kebutuhan dari sistem tersebut. Contoh-contoh tipikal berikut ini
merupakan contoh tipikal dari indeks keandalan selain indeks klasik
probabilitas.
Jumlah kegagalan yang diharapkan akan terjadi dalam periode
waktu tertentu
Waktu rata-rata diantara dua kegagalan
Laju kegagalan dari suatu proses
Durasi rata-rata downtime dari suatu sistem atau peralatan
Nilai harapan keuntungan yang hilang karena kegagalan
Nilai harapan yang hilang dari output suatu proses karena
kegagalan
9
Indeks-indeks ini dapat dievaluasi dengan menggunakan teori
keandalan yang relevan setelah beberapa kriteria tertentu yang
berhubungan dengan kondisi operasional dari suatu item dipenuhi.
1.4 Kajian Keandalan
Secara umum ada dua metode yang secara luas dipakai untuk
melakukan kajian keandalan terhadap suatu sistem rekayasa. Kedua
metode analisa ini adalah analisa kualitatif yang berbasis pada
pengalaman dari personel yang terlibat dalam analisa kualitatif dan
analisa kuantitatif dimana perhitungan dan metode yang dipakai
sangat memainkan peranan yang sangat penting. Meskipun analisa
kualittaif dan kuantitatif jelas berbeda, tetapi ada batas yang samar
antara kedua analisis tersebut. Sebagai contoh, sebuah intangible
decision matrix dibuat berdasarkan perhitungan, oleh karena itu
dapat diklasifikasikan ke dalam metode kuantitatif. Tetapi, figur-figur
yang dipakai matriks di atas dibuat berdasarakan penilaian kualitatif
dan oleh karena itu matrik ini dikategorikan ke dalam kelompok
analisa kualitatif. Gambar 1.3 dan 1.4 masing masing menunjukkan
organisasi untuk analisa keandalan dan prosedur kerja secara umum
bidang rekayasa keandalan (reliability engineering).
Selain berbagai metode analisa keandalan yang sudah
ditampilkan pada gambara 1.2 dan 1.3, berikut ini beberapa metode
analisa keandalan lain. Bentuk dari analisa keandalan secara kualitatif
ini bisa berupa
analisa mode dan dampak kegagalan (failure mode and effects
analysis - FMEA)
analisa pohon kegagalan (fault tree analysis - FTA).
10
ANALISA
KUALITATIF
(PENGALAMAN)
I NTANGI BLE
DECI SI ON MATRI X
CRI TI CALI TY
ANALYSI S
FAI LURE MODE-
EFFECT ANALYSI S
ANALISA
KUANTITATIF
(PERHITUNGAN)
COMPONENT LEVEL SYSTEM LEVEL
PHYSI CS OF
FAI LURE
STATI STI CS
FAULT TREE
ANALYSI S
MARKOV
ANALYSI S
Etc.
Gambar 1.3
Organisasi analisa keandalan (rbeck 1992)
Sedang bentuk dari analisa keandalan secara kuantitatif bisa
dikelompokkan lagi menjadi dua kelompok besar, yaitu analisa
keandalan secara analitis dan analisa keandalan dengan
menggunakan simulasi. Teknik simulasi yang paling sering dipakai
untuk mengevaluasi keandalan dari sistem adalah teknik simulasi
montecarlo.
11
RELI ABI LI TY TASK
FUNCTI ONAL
DI AGRAM
BLOCK DI AGRAM
FMEA
PROPOSAL
SYSTEM
ANALYSIS
MAINTENANCE
ANALYSIS
COMPONENT
ANALYSIS
FTA
MARKOV
Etc.
STATISTICAL
STRENGTH
ANALYSIS
SPARE PART
ANALYSIS
MARKOV
System
Design
Component
Design
Environment
Improvement
Monitoring
Quality
Control
Spare Parts
ANALYSIS METHODS
Gambar 1.4
prosedur kerja secara umum untuk
bidang rekayasa keandalan (Stefenson, 1990)
Metode evaluasi keandalan secara kuantitatif yang sering
dipakai diantaranya
perhitungan langsung (direct calculation) untuk sistem-sistem
yang sederhana
pendekatan dengan probabilitas kondisional (conditional
probability approach)
metode cut set
metode tie set
pohon kejadian (event trees)
pohon kegagalan (fault trees)
12
rantai markov (markov chain)
proses markov (markov process)
1.5 Aplikasi Keandalan
Tujuan utama dari studi keandalan adalah untuk memberikan
informasi sebagai basis untuk mengambil keputusan. Berkaitan
dengan itu, teknologi keandalan mempunyai potensi untuk dipakai
dalam ruang yang sangat luas. Adapun area yang memanfaatkan
teknologi keandalan diantaranya adalah sebagai berikut.
Analisa resiko/keselamatan (Safety/risk analyses)
Analisa keandalan adalah merupakan bagian yang sudah sangat
mantap dari hampir sebagian besar untuk studi-studi resiko dan
keselamatan. Bagian dari analisa resiko (risk analysis) umumnya
dilakukan dengan menerapkan teknik keandalan seperti analisa
modus dan dampak kegagalan (Failure Mode and Effects Analysis-
FMEA) dan analisa pohon kegagalan (Fault tree analysis). Sedangkan
metode lain yang juga digunakan untuk menganalisa resiko antara
lain Criticality Analysis, Hazards and Operability (HAZOP) Studies,
dan Cause-Consequence Analysis. Gambar 1.5 menunjukkan
diagaram analisa resiko secara umum.
13
HAZOP FMEA
etc.
Recommendations
What can go
wrong and
consequences
Ot her sources
research
acci dent
reports etc.
IDENTIFICATION
RECOMMENDATIONS
Cost ef f ect i ve desi gn
and oper at i on
i mpr ovement s
Quanti tati ve anal ysi s
requi red
Event tree Faul t tree
Human Rel i abi l i t y
Anal ysi s
ANALYSIS IMPLEMENTATION
INPUT
Manageri al Fi nanci al
Soci etal Pol i ti cal
Regul atory
Implentation
Desi gn and pr ocedur al
i mpr ovement s and
trai ni ng
Gambar 1.5
Prosedur Analisa Resiko (Ruxton 1997)
Proteksi Lingkungan (Environmental Protection)
Studi keandalan bisa juga dipakai untuk memperbaiki desain
dan keteraturan poperasional dari sistem antipolusi seperti sistem
pembersih gas/air.
Kualitas (Quality)
Manajemen dan jaminan kualitas mendapatkan perhatian
yangg lebih meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Hal ini terjadi
karena adanya dorongan untuk mengaplikasikan rangkaian standar
internationall ISO 9000.
Konsep tentang kualitas (quality) dan keandalan (reliability)
terkait sangat erat. Keandalan dalam beberapa hal dianggap sebagai
karakteristik dari kualitas. Oleh karena itu sistem-sistem yang saling
14
melengkapi dari suatu sistem yang besar yang akan dilengkapi
dengan manajemenkeandalan dan jaminan kualitas merupakan
bagian dari manajemen kualitas secara total (Total Quality
Management-TQM)
Optimasi operasi dan perawatan (Optimization of maintenance
and operation)
Perawatan dilakukan untuk mencegah kegagalan sistem
maupun untuk mengembalikan fungsi sistem jika kegagalan telah
terjadi. Jadi tujuan utama dari perawatan adalah untuk menjaga dan
memperbaiki keandalan dari sistem dan kelancaran produksi/operasi.
Beberapa industri telah menyadari betapa pentingnya
hubungan antara keandalan dan perawatan dan telah
mengimplementasikan perawatan yang berbasiskan pada keandalan
atau yang lebih dikenal dengan RCM (Reliability-Centered
Maintenance). Metodologi RCM bertujuan untuk memperbaiki cost-
effectiveness dan mengontrol perawatan pada berbagai jenis industri,
oleh karena itu RCM akan dapat memperbaiki ketersediaan dan
keselamatan. Kajian keandalan juga merupakan elemen penting pada
berbagai aplikasi berikut ini : Life Cycle Cost (LCC) analisis, Life Cycle
Profit (LCP) analysis, pengalokasi dukungan logistik, pengalokasian
suku cadang dan analisa untuk menentukan level operator.
Desain rekayasa (Engineering design)
Keandalan merupakan salah satu karakteristik kualitas dari
suatu produk teknik. Oleh karena itu jaminan keandalan merupakan
salah satu topik yang paling penting selama proses pendesaian suatu
produk
15
1.6 Referensi dan Bibliografi
1. Billinton, R. and Ronald N. Allan [1992], Reliability Evaluation of
Engineering Systems: Concepts and Techniques, 2
nd
edition,
Plenum Press, New York and London
2. Hyland, Arnljot and Marvin Rausand [1994], System Reliability
Theory Models And Statistical Methods, John Willey & Sons, Inc.
3. rbeck, F. [1992], Implementation of Reliability Methodology to
Ships Machinery, Transaction IMarE, Vol 103
4. Ruxton, T. [1997], Formal Safety Assessment, Transaction
IMarE, Part 4.
5. Stefenson, Prof. J.[1990], Design Procedures for The Reliability of
Integrated Marine Systems, paper 5 ICMES
6. .[1994], Training Course in Reliability-Centered Maintenance,
MARINTEK-SINTEF Group.
KEMBALI KE DAFTAR ISI MODUL 1
16
Probabilitas
2.1 Pendahuluan
Kata probabiliitas sering dipakai jika kehilangan sentuhan
dalam mengimplikasikan bahwa suatu kejadian yang mempunyai
peluang yang bagus akan terjadi. Dalam hal ini penilaian yang
dilakukan ini adalah ukuran yang bersifat subyektif atau kualitatif.
Adalah penting untuk menyadari bahwa probabilitas mempunyai arti
secara teknis karena secara ilmiah probabilitas dapat ditafsirkan
sebagai ukuran dari kemungkinan, yaitu mendefinisikan secara
kuantatif kemungkinan dari suatu event atau kejadian secara
matematis. Probabilitas merupakan suatu indeks numerik yang
nilainya antara 0 dan 1. Indeks numerik 0 akan mendefinisikan
suaatu kejadian yang pasti tidak akan terjadi, sedang indeks numerik
1 akan mendefinisikan suatu kejadian yang pasti terjadi.
Dari pengertian tentang konsep probabilitas diatas jelas terlihat
bahwa sangat sedikit sekali kejadian yang mempunyai nilai
probabilitas 0 atau 1. Yang ada adalah hampir semua kejadian
mempunyai nilai probabilitas antara 0 dan 1. Untuk keperluan teori
keandalan, nilai probabilitas secara garis besar dapat dikelompokan
17
menjadi dua keluaran yaitu keluaran yang mewaakiliii kejadian yang
didefinisikan sebagai kejadian yang sukses, sedang keluaran yang
lainnya mewakilii kejadian yang didefinisikan sebagai kejadian yang
gagal. Bila ada lebih dari dua keluaran yang mungkin dari suatuu
event atau kejadian, maka keluaran itu dapat dikelompokan menjadi
kelompok keluaran yang mewaakili kejadian yang sukses sedang
sisanya bisa dikelompokan sebagai kejadian yang gagal.
Bila suatu eksperimen akan menghasilkan berbagai
kemungkinan keluaran maka semua keluaran yang mungkinn dari
eksperimen tersebut disebut sebagai ruang sampel (sample space).
Jika semua keluaran dari eksperimen ini bisa dikelompokan menjadi
dua yaituu kelompok keluaran atau kejadian yang didefinisikan
sebagai kejadian sukses, sedanng kelompok lainnya adalah
kelompok yang didefinisikan sebagai kelompok kejadian gagal maka
secara umum probilitas sukses dan gagal dari kejadian diatas dapat
didefinisikan sebagai.
f s
s
p sukses P
+
= = ) ( (2.1)
f s
f
q gagal P
+
= = ) ( (2.2)
Dimana :
P = banyaknya cara kejadian sukses yang dapat terjadi
q = banyaknya cara kejadian kegagalan yang dapat terjadi
contoh 2.1
Pada eksperimen pelemparan tiga buah mata uang logam sebanyak
tiga kali maka ruang sampel dari eksperimen itu adalah
18
S = { KKK, KKE, KEK, EKK, KEE, EKE, EEK, EEE }
Dengan K adalah bagian atas dan E adalah bagian belakang dari mata
uang logam tersebut. Jika didefinisikan kejadian yang menghasilkan
ketiga bagian atas dari mata uang logam itu sebagaii kejadian sukses
maka probabilitas sukses dari eksperimen itu adalah
8
1
) ( = sukses P q
2.2 Permutasi
Sebuah susunan dari n buah obyek dalam urutan tertentu
disebut permutasi dari obyek. Susunan dari sembarang r dari n obyek
dengan r n disebut permutasi r atau permutasi r obyek dari n obyek
dan dinotasikan sebagai P(n,r) atau nPr. Secara umum permutasi r
obyek dari n obyek dan dirumuskan oleh
)! (
!
r n
n
r
P
n

= (2.3)
Dengan
n! = n.(n -1).(n -2)..1
0! = 1
Contoh 2.2
Dari 10 buah persediaan pompa yang ada di gudang, 4 diantaranya
akan diistal pada empat buah subsistem yang berbeda. Ada beberapa
cara untuk memilih 4 buah pompa ini dari 10 bbuah pompa yang ada.
19
Solusi
Permasalahan ini dapat diselesaikan dengan menggunkan konsep
permutasi, mengingat penempatan pompa pada subsistem tertentu
identik dengan memberikan urutan tertentu pada pompa yang akan
dipasang.
cara 5040
)! 4 10 (
610
4 10
=

= P q
Dari n obyek yang mengalami permutai mungkin ada r obyek
diantaranya yang sama, sehingga r
1
+ r
2
+ + r
k
= n. Untuk
menghitung banyaknya permutasi dari kasus ini, rumus yang
dituliskan pada persamaan 2.3 akan berubah menjadi
! !....
2
!
1
!
k
r r r
n
r
P
n
= (2.4)
Contoh 2.3
Beberapa patern yang berbeda yang dapat dibuat dalam sebuah baris
bila ada 10 buah lampu berwarna yang 4 diantaranya berwarna
merah, 3 diantaranya berwaarna kuning dan 3 diantaranya berwarna
hijau.
Jawab
4200
! 3 ! 3 ! 4
! 10
= = P patern q
20
2.3 Kombinasi
Jumlah kombinasi dari n obyek yang berbeda adalah jumlah
pilihan yang berlainan dari r obyek, masing-masing tanpa
memandang urutan dari susunan dari obyek didalam kelompok
tersebut. Hal inilah yang membedakan antara permutasi dan
kombinasi. Jumlah kombinasi r obyek dari n obyek dinotasikan oleh
r n
C atau ( )
n
r
. Secara umum kombinasi r obyek dari n obyek dapat
diekspresikan ke dalam formula
( )
! )! (
!
r r n
n
r
C
n
n
r

= = (2.5)
Contoh 2.4
Sebuah sub sistem mempunyai dua buah modul yang identik. Kedua
modul ini didesain untuk bekerja secara bergiiran atau standby. Bila
ada 4 buah modul yang tersedia, ada beberapa cara untuk memilih
kedua modul untuk diinstal kedalam sub sistem tersebut.
Solusi
Untuk menginstal kedua modul ini, bisa dipilih dua modul diantara
empat buah modul yang tersedia tanpa memperhatikan urutan
penempatan modul itu didalam sub sistem karena modul yang
diinstal adalah identik. Banyaknya cara untuk memilih modul bisa
dipecahkan dengan menggunakan formula kombinasi yaitu
( ) 6
! 2 )! 2 4 (
! 4
4
2
=

= cara q
21
2.4 Pemakaian Permutasi dan Kombinasi Untuk Perhitungan
Probabilitas
Dalam aplikasi teori keandalan secara praktis, konsep
kombinasi umumnya lebih penting dari permutasi, karena umumnya
perlu untuk mengetahui event-event apa yang bila dikombinasikan
akan menyebabkan kegagalan dari suatu sistem, dan urutan
bagaimana kegagalan itu terjadi jarang yang peduli.
Berikut ini akan diberikan beberapa contoh pemakaian
permutasi dan kombinasi dalam perhitungan probabilitas
Contoh 2.5
Empat buah bola lampu dipilih secara random dari 10 buah lampu
yang ada dimana 3 diantaranya adalah bola lampu yang rusak.
Hitung probabilitas dari pengambilan keempat bola lampu itu juga.
a) Keempat bola lampu yang diambil tidak ada yang cacat
b) Ada satu bola lampu yang cacat
c) Paling sedikit ada satu buah bola lampu yang cacat.
Solusi
Banyaknya cara untuk memilih 4 bola lampu dari 10 buah lampu ada
210
! 4 )! 4 10 (
! 10
10
4
=

cara
a) Ada 7 buah lampu yang tidak mengalami kerusakan. Jadi
banyaknya cara untukk memilih 4 buah lampu tanpa ada rusak
ada
35
! 4 )! 4 7 (
! 7
7
4
=

cara
22
P(4 bola lampu baik) =
6
1
210
35
= q
b) Dari data, ada 3 buah bola lampu yang cacat dan
( ) 35
! 3 )! 3 7 (
! 7
7
3
=

= cara untuk memilih 3 buah lampu yang tidak


cacat dari 7 buah bola lampu yang tidak cacat, sehingga
banyaknya cara untuk memilih empat buah bola lampu dimana
satu diantaranya adalah bola lampu yang cacat adalah 3x35 = 105
cara.
P(1 bola lampu cacat dan 3 bola lampu baik) =
2
1
210
105
= q
c) Kejadian yang mewakili pengambilan empat buah lampu paling
sedikit ada satu buah lampu yang cacat merupakan komplemen
dari kejadian yang mewakili pengambilan empat buah bola lampu
tanpa cacat, sehingga probabilitas kejadian ini adalah
P(minimal 1 bola lampu cacat) = 1 -
6
5
6
1
= q
Contoh 2.6
Jika tiga buah kartu diambi secara acak dari saatu set kartu yang
lengkap, hitung probabilitas
a) Ketiga kartu itu adalah kartu yang bergambar hati
b) Dua kartu bergambar hati dan satu bergambar diamond
23
Solusi
Banyaknya cara untuk memilih 3 buah kartu dari 52 buah kartu ada
22100
! 3 )! 3 52 (
! 52
3
52
=

cara
a) Banyaknya cara untuk mengambil 3 buah kartu yang bergambar
hati dari 13 buah kartu yang bergambar hati ada
286
! 3 )! 3 13 (
! 13
13
3
=

cara
P( 3 kartu bergambar hati ) =
850
11
22100
286
= q
b) Banyaknya cara untuk mengambil satu kartu yang bergambar
diamond ada 13 cara sedang banyaknya cara untuk mengambil 2
kartu yang bergambar hati ada 78
)! 2 13 (
! 13
13
2
=

cara.
Sehingga banyaknya cara untuk mengambil tiga buah kartu
dimana satu kartu bergambar diamond dan dua lainnya
bergambar hati ada 13 x 78 = 1014 cara.
P(1 kartu diamond dan 2 kartu hati) =
850
39
22100
1014
= q
2.5.Hukum untuk Menggabungkan Probabilitas
Kejadian bebas (I ndependent events)
Dua buah kejadian dikatakan bebas jika hasil dari satu event
tidak mempengaruhi hasil dari event yang lain.
Contoh dari kejadian bebas ini adalah bila kita melemparkan
sebuah dadu dan dan sebuah koin secara bersama-sama. Apapun
24
hasil keluaran yang dihasilkan oleh dadu tidak akan mempengaruhi
hasil keluaran koin.
Kejadian gabungan eksklusif (Mutually exclusive events)
Dua keadian dikatakan tergabung secara eksklusif bila dua
kejadian tersebut tidak dapat terjadi secara bersama-sama.
Contoh dari kejadian gabungan ekslusif ini adalah bila kita
melempar sebuah koin, keluaran yang mungkin adalah bagian atas
atau bagian bawah dari uang logam itu, tetapi keduanya tidak
mungkin terjadi secara bersama-sama. Contoh lainnya adalah bila
kita melempar sebuah dadu, maka mata dadu yang keluar mungkin
mata 1, 2, 3, 4, 5, atau 6, tetapi keenam mata dadu ini tidak
mungkin keluar secara bersamaan.
Kejadian komplementer (Complementary events)
Dua kejadian dikatakan saling berkomplemen bila salah satu
dari kejadian itu tidak terjadi maka kejadian yang lainnya pasti
terjadi. Kejadian ini bisa dilukiskan dalam bentuk diagram venn
seperti yang terlihat pada gambar 2.1. Dari gambar 2.1, bila P(A)
mewakili probabilitas dari kejadian A dan P(B) mewakili probabilitas
dari kejadian B maka hubungan antara P(A) dan P(B) dapat
diekspresikan dalam sebuah formula yaitu
1 ) ( ) ( = + B P A P (2.6)
25
Gambar 2.1
Kejadian komplementer
Contoh dari kejadian komplementer ini adalah bila kita
melempar sebuah mata uang logam, hanya ada dua kemungkinan
keluaran yaitu bagian depan dan bagian belakang dari mata uang
tersebut.
Kejadian kondisional (Conditional events)
Kejadian kondisional adalah kejadian yang kondisi terjadinya
tergantung dari kejadian lain.
Misalkan ada dua kejadian A dan B. Probabilitas dari kejadian A
adalah diekspresikan dengan P(A) dan probabilitas dari kejadian B
diekspresikan dengan P(B), selain itu misalkan pula ada kejadian dari
A setelah kondisi B terjadi. Probabilitas dari kejadian ini dapat
dinotasikan dengan ekspresi P(AB). Ekspresi P(AB) dapat dibaca
sebagai probabilitas kondisional kejadian A akan terjadi pada saat
kejadian B telah terjadi. Secara matematis probabilitas kondisional ini
dapat diekspresikan sebagai
) (
) (
) (
B P
B A P
B A P

= (2.7)
26
persamaan 2.7 dapat pula diubah menjadi
) (
) (
) (
A P
B A P
A B P

= (2.8)
Contoh 2.7
Dari data perawatan peralatan-peralatan yang berada di dalam suatu
sistem pembangkit tenaga listrik, 25% kerusakan yang terjadi
disebabkan karena kerusakan mekanik, 15% kerusakan yang terjadi
disebabkan oleh kerusakan elektrik, dan 10% kerusakan yang terjadi
disebabkan karena kerusakan mekanik dan elektrik. Bila sebuah
peralatan dipilih secara random tentukan
a. probabilitas kerusakan peralatan itu disebabkan oleh kerusakan
elektrik setelah sebelumnya terjadi kerusakan mekanik.
b. probabilitas kerusakan peralatan itu disebabkan oleh kerusakan
mekanik setelah sebelumnya terjadi kerusakan elektrik.
Solusi
Misalkan,
M = kejadian yang mewakili kerusakan peralatan yang
disebabkan oleh kerusakan mekanik.
P(M) = 0,25
E = kejadian yang mewakili kerusakan peralatan yang
disebabkan oleh kerusakan elektrik.
P(E) = 0,15, dan P(M E) = 0,10.
a. 4 , 0
25 , 0
10 , 0
) (
) (
) ( = =

=
M P
M E P
M E P
27
b. 667 , 0
15 , 0
10 , 0
) (
) (
) ( = =

=
E P
M E P
E M P q
Kejadian yang terjadi secara serentak
(Simultaneous occurrence of events)
Kejadian secara serentak dari dua kejadian A dan B adalah
kejadian untuk kedua A DAN B.
Secara matematis kejadian ini dapat dituliskan sebagai (A B)
atau (A DAN B) atau (AB). Ada dua kasus untuk kejadian yang terjadi
secara serentak ini yaitu bila kedua kejadian ini saling bebas
(independent events) dan bila kedua kejadian ini tidak saling bebas
(dependent events).
I ndependent events
Untuk independent events probabilitas dari masing-
masing kejadian tidak saling mempengaruhi sehingga untuk
kasus ini akan berlaku P(A B) = P(A) dan P(B A) = P(B).
Secara matematis probabilitas kejadian secara serentak untuk
dua kejadian yang saling bebas dapat diekspresikan sebagai
) ( ). ( ) ( B P A P B A P = (2.9)
Sedangkan bila ada n buah kejadian yang independent,
probabilitas kejadian dari n buah kejadian yang independent
yang terjdai secara serentak dapat diekspresikan sebagai
) ( ... ) ( ) ( ) ... (
2 1 2 1 n n
A P A P A P A A A P = (2.10)
28
Contoh 2.8
Seorang insinyur akan memilih dua buah modul sistem kontrol.
Probabilitas modul A tidak cacat adalah 0,95 dan probabilitas modul B
tidak cacat adalah 0,87. Probabilitas dari kedua modul itu untuk tidak
cacat dapat dihitung sebagai
P( A tidak cacat B tidak cacat)
= P(A tidak cacat) x P(B tidak cacat)
= 0,95 x 0,87 = 0,8265 q
Dependent events
Jika dua kejadian tidak saling bebas, maka probabilitas
dari kejadian satu event akan dipengaruhi oleh kejadian
lainnya. Dalam kasus ini, persamaan 2.9 akan berubah menjadi
) ( ). ( ) ( ). ( ) ( A P A B P B P B A P B A P = = (2.11)
Minimal satu kejadian dari dua kejadian
Kejadian paling sedikit satu dari dua kejadian A dan B adalah
kejadian dari A atau kejadian dari B atau kedua-duanya.
Secara matematis kejadian ini dapat dituliskan sebagai (A B)
atau (A ATAU B) atau (A + B). Ada tiga kasus untuk kejadian seperti
ini yaitu pertama bila kedua kejadian ini saling bebas (independent
events) tetapi tidak tergabung secara eksklusif (not mutually
exclusive), kedua bila kedua kejadian ini saling bebas (independent
events) dan tergabung secara eksklusif (mutually exclusive) dan yang
ketiga bila kedua kejadian ini tidak saling bebas (dependent events).
Secara umum ekspresi probabilitas untuk minimal satu kejadian
dari dua kejadian adalah
29
) ( ) ( ) ( ) ( B A P B P A P B A P + = (2.12)
Kej adian independent tetapi tidak mutually exclusive
Untuk kejadian independent tetapi tidak mutually
exclusive nilai dari P(A B) dapat diekspresikan dalam P(A
B) = P(A).P(B), sehingga persamaan 2.12 dapat diubah
menjadi
) ( ) ( ) ( ) ( ) ( B P A P B P A P B A P + = (2.13)
Kej adian independent dan mutually exclusive
Untuk kejadian independent dan mutually exclusive nilai
dari P(A B) dapat diekspresikan dalam P(A B) = 0,
sehingga persamaan 2.12 dapat diubah menjadi
) ( ) ( ) ( B P A P B A P + = (2.14)
Kejadian tidak saling bebas
Untuk kejadaian tidak saling bebas nilai dari P(A B) dapat
diekspresikan dalam P(A B) = P(B|A).P(A) = P(A|B).P(B), sehingga
persamaan 2.12 dapat diubah menjadi
) ( ) ( ) ( ) ( ) ( B P B A P B P A P B A P + = (2.15a)
) ( ) ( ) ( ) ( ) ( A P A B P B P A P B A P + =
(2.15b)
30
Aplikasi dari probabilitas kondisional
Konsep probabilitas kondisional yang diekspresikan dalam
persamaan 2.7 dan 2.8 dapat diperluas dengan memperluas salah
satu event, misal event A, menjadi tergantung dari beberapa event
mutually exclusive B
i
. Perluasan dari konsep ini dapat dilihat pada
gambar 2.2.
Gambar 2.2
Probabilitas Kondisional
Persamaan 2.7 dapat diubah menjadi
) ( ). ( ) ( B P B A P B A P = (2.16)
Dengan mengaplikaskan persamaan (2.16) untuk mengekspresikan
persamaan matematis dari diagaram venn di atas maka akan
diperoleh persamaan baru yaitu :
P(A B
1
) = P(A | B
1
).P(B
1
)
P(A B
2
) = P(A | B
2
).P(B
2
)
P(A B
3
) = P(A | B
3
).P(B
3
)
.
.
31
.
P(A B
i
) = P(A | B
i
).P(B
i
)
.
.
.
P(A Bn) = P(A | Bn).P(Bn)
Dan jika digabungkan bersama-sama akan diperoleh persamaan baru
) ( ) ( ) (
1 1
i i
n
i
i
n
i
B P B A P B A P

= =
= (2.17)
Ruas kiri dari persamaan 2.17 dapat disederhanakan menjadi P(A),
dan persamaan 2.17 dapat disederhanakan lagi menjadi
) ( ) ( ) (
1 1
i i
n
i
n
i
B P B A P A P

= =
= (2.18)
Contoh 2.9
Tiga buah mesin A,B, dan C masing-masing menghasilkan produk
40%, 35%, dan 25% dari total produk yang dihasilkan oleh pabrik
tersebut. Persentase dari barang-barang yang cacat yang dihasilkan
oleh masing-masing mesin ini adalah 2%, 3% dan 4%. Jika sebuah
produk diambil secara random, tetntukan probabilitas bahwa produk
yang diambil itu adalah produk yang cacat.
Solusi
Jika
32
Y = Kejadian yang mewakili sebuah item yang cacat
A = Kejadian yang mewakili sebuah item diproduksi oleh
mesin A
B = Kejadian yang mewakili sebuah item diproduksi oleh
mesin B
C = Kejadian yang mewakili sebuah item diproduksi oleh
mesin C
maka
P(Y) = P(A)P(Y|A) + P(B)P(Y|B) + P(C)P(Y|C)
= (0,4)(0,02) + (0,35)(0,03) + (0,25)(0,04)
= 0,008 + 0,0105 + 0,0100
= 0,0285
Contoh 2.10
Sebuah produk diproduksi dari dua plant. Plant pertama
menghasilkan 60% dari seluruh produk sedang sisanya yang 40%
diproduksi oleh plant 2. Dari plant 1, 95% produk diantaranya
memenuhi standard yang disyaratkan sedang dari plant 2, 90%
produk yang dihasilkan memenuhi standard yang ditentukan.
Tentukan :
a. Dari 100 produk yang dibeli oleh konsumen berapa buah
yang akan memenuhi standard.
b. Jika diberikan sebuah produk yang standar, berapa
probabilitas bahwa produk itu di hasilkan oleh plant 2.
Solusi
Jika
A = Kejadian yang mewakili produk yang standar
B
1
= Kejadian yang mewakili produk yang dihasilkan oleh plant 1
33
B
2
= Kejadian yang mewakili produk yang dihasilkan oleh plant 2
maka
P(A|B
1
) = 0,95, P(A|B
2
) = 0,90, P(B
1
) = 0,6, dan P(B
2
) = 0,4.
a. P(A) = P(A|B
1
)P(B
1
) + P(A|B
2
)P(B
2
)
= (0,95)(0,6) + (0,90)(0,4) = 0,93
Dari 100 item yang dibeli oleh konsumen, 0,93 x 100 = 93
diantaranya akan memenuhi standar.
b. Pertanyaan ini dapat diselesaikan dengan persamaan
) (
) (
) (
2
2
A P
B A P
A B P

= , dimana q
P(A B
2
) = P(B
2
).P(A|B
2
) = (0,4)(0,90) = 0,36 dan P(A) = 0,93
sehingga,
387 , 0
93 , 0
36 , 0
) (
2
= = A B P q
Persamaan 2.18 dapat dipakai untuk evaluasi keandalan dari
suatu sistem yang mempunyai blok diagram yang sangat komplek.
Untuk keperluan ini, misalkan sebuah kejadian A hanya bergantung
dari kejadian B yang memiliki dua kejadian yang mutually exclusive
yaitu B
s
dab B
f
yang masing-masing mewakili kejadian dari komponen
B dalam keadaan baik dan dalam keadaan buruk. Persamaan 2.18
dapat ditulis menjadi
) ( ) ( ) ( ) ( ) (
f f S S
B P B A P B P B A P A P + = (2.19)
34
Khusus untuk keperluan pengevaluasian keandalan dari suatu
sistem, tujuan dari pengevaluasian adalah untuk mengevaluasi
probabilitas kesuksesan atau probabilitas kegagalan dari suatu
sistem, sehingga untuk keperluan ini, persamaan (2.19 ) dapat
dimodifikasi menjadi
) jelek)P(B kondisi Bdalam jika sukses P(sistem
) baik)P(B kondisi Bdalam jika sukses P(sistem sukses) P(sistem
f
S
+ =
(2.20)
Sedangkan probabilitas dari kejadian komplemennya adalah
) ( ) jelek kondisi Bdalam jika gagal sistem (
) ( ) baik kondisi Bdalam jika gagal sistem ( ) gagal sistem (
f
S
B P P
B P P P + =
(2.21)
Contoh 2.11
Sebuah subsistem terdiri dari dua komponen yaitu komponen A dan
komponen B. Agar subsistem ini sukses menjalankan misinya, kedua
komponen ini harus bekerja dengan baik. Dengan menggunakan
persamaan 2.20, dapatkan probabilitas untuk sukses dari subsistem
tersebut.
Solusi
Misalkan,
R
A
= Probabilitas kesuksesan dari komponen A untuk dapat
menjalankan misinya.
Q
A
= Probabilitas kegagalan dari komponen A untuk dapat
menjalankan misinya.
35
dan R
A
+ Q
A
= 1
R
B
= Probabilitas kesuksesan dari komponen B untuk dapat
menjalankan misinya.
Q
B
= Probabilitas kegagalan dari komponen B untuk dapat
menjalankan misinya.
dan R
B
+ Q
B
= 1
Maka,
P(sistem sukses) = P(Sistem sukses | komponen B bagus).P(B
bagus) + P(sistem gagal | komponen B
jelek).P(B jelek)
= (R
A
x R
B
) + (0 x Q
B
) = R
A
x R
B
Contoh di atas merupakan sebuah contoh untuk sistem yang
mempunyai susunan seri, dimana kedua komponen harus bekerja
dengan baik agar sistem dengan susunan seri dapat sukses dalam
menjalankan misinya.
q
Contoh 2.12
Dari data perawatan peralatan-peralatan yang berada didalam suau
sistem pembangkit tenaga listrik, 25 % kerusakan yang terjadi
disebabkan karena mekanik, 15 % kerusakan yang terjadi
disebabkan karena elektrik, dan 10% kerusakan yang terjadi
disebabkan karena kerusakan mekanik dan elektrik. Bila sebuah
peralatan dipilih random tentukan
a. Probabilitas kerusakan peralatan itu disebabkan oleh kerusakan
elektrik setelah sebelum nya terjadi kerusakan mekanik.
b. Probabilitas kerusakan peralatan itu disebabkan oleh kerusakan
mekanik setelah sebelumnya terjadi kerusakan elektrik
36
Solusi
Misalkan
M = Kejadian yang mewakili kerusakan peralatan yang
disebabkan oleh kerusakan mekanik.
P(M) = 0,25
E = kejadian yang mewakili kerusakan peralatan yang
disebabkan oleh kerusakan elektrik.
P(E) = 0,15 dan . 10 , 0 ) ( = E M P
a. 4 , 0
25 , 0
10 , 0
) (
) (
) | ( = =

=
M P
M E P
M E P q
b. 667 , 0
15 , 0
10 , 0
) (
) (
) ( = =

=
E P
M E P
E M P q
2.6 Teorema Binomial
Pangkat n dari bentuk (p+q) dapat diekspresikan dalam suku-
suku koefisien binomial seperti pada persamaan di bawah ini


= + +

+ +

+ + = +
n
r
r r n
r n
r r n n n n n
q p C
q p
r n r
n
q p
n n
q np p q p
0
n
2 2 1
q ...
)! !(
!
...
! 2
) 1 (
) (
(2.22)
Jika p dan q masing masing menyatakan probabilitas dari suatu
event, maka persamaan (2.22) akan menyatakan persamaan
37
distribusi binomial bila beberapa syarat berikut ini dapat dipenuhi.
Syarat syarat yang harus dipenuhi adalah :
Jumlah trial harus tetap, atau n harus diketahui.
Masing-masing trial harus menghasilkan event sukses atau
event gagal, atau dengan kata lain hanya ada dua keluaran
yang mungkin dan p + q = 1.
Semua trial harus memiliki probabilitas sukses yang identik,
dengan demikian trial harus memiliki probabilitas kegagalan
yang identik pula, atau nilai dari p dan q tetap konstan.
Semua trial harus independen.
38
2.7 Referensi dan Bibliografi
1. Billinton, R. and Ronald N. Allan [1992], Reliability Evaluation of
Engineering Systems: Concepts and Techniques, 2
nd
edition,
Plenum Press, New York and London
2. Frankel, Ernst G., [1988], Systems Reliability and Risk Analysis,
2
nd
edition, Kluwer Academic Publishers, PO BOX 17, 3300 AA
Dordrecht, The Netherlands.
3. Ramakumar, R [1993]., Engineering Reliability : Fundamentals
and Applications, Prentice Hall, Inc. Englewood Cliffs, New Jersey
07632.
KEMBALI KE DAFTAR ISI MODUL 1
39
Pemodelan Jaringan
Dan Evaluasi Sistem
3.1 Pendahuluan
Untuk meegevaluasi keandalan dari suatu komponen atau
sistem yang pertama kali harus dilakukan adalah dengan
memodelkan komponen atau sistem tersebut kedalam diagram blok
keandalan (reliabiliy block diagram). Dari diagram blok keandalan ini
kemudian dihitung keandalan dari komponen atau sistem yang
bersangkutan. Hal ini sangat mungkin dilakukan untuk sistem yang
sederhana. Untuk sistem yang lebih kompleks, evalusi keandalan
dapat dilakukan dengan memakai teknik lain seperti pendekatan
probabilitas kondisional (conditiional probabilistic approach),
himpunan pemotong (cut set), himpunan pengumpul (tie set) dan
pendekatan-pendekatan probabilistik lain.
Dalam mengevaluasi keandalan dari sistem, indeks keandalan
dari masing-masing komponen yang ada didalam sistem yang akan
dievaluasi dapat diekspresikan dengan nilai yang konstan untuk
didurasi waktu tertentu. Cara mengevaluasi keandalan sistem seperti
ini dikategorikan sebagai evaluasi model keandalan statis.
40
Evaluasi keandalan dari suatu sistem dengan memakai model
statis biasanya dilakukan pada analisa pendahuluan untuk mendesain
suatu sistem. Model stastis dipakai untuk mengeveluasi berbagai
kemungkinan desain dan dipakai untuk menentukan level keandalan
yang diperlukan baik untuk subsistem dan komponen yang ada
didalam sistem.
Untuk membuat blok diagram keandalan dari suatu sistem,
antara bentuk fisik sistem dan model blok diagram keandalan dari
sistem tidak harus selalu sama. Blok diagram keandalan dari sistem
akan sangat tergantung dari kepiawaian sang analisis dalam
memahami cara kerja suatu sistem dan menerjemahkannya kedalam
blok diagram keandalan. Susunan diagram blok keandalan ini untuk
sistem yang sederhana pada dasarnya terdiri dari susunan seri dan
paralel atau kombinasi susunan seri dan paralel.
Sebagai contoh yang sederhana akan dipakai sebuah subsistem
yang terdiri dari dua buah filteer. Jika didefinisikan agar sistem itu
dapat berfungsi diperlukan dua buah filter yang bekerja bersama-
sama, maka diagram bllok keandalan dengan susunan seri adalah
yang paling tepat untuk dipakai sebagai model. Sedang bila sistem
itu akan berfungsi dengan baik bila hanya membutuhkan satu buah
filter yang bekerja, maka diagram blok keandalan dengan susunan
paralel adalah yang paling tepat untuk dipakai sebagai model.
Gambar . menunjukan blok diagram keandalan dengan susunan seri
dan paralel dari dua buah filter yang dipakai sebagai contoh
penjelasan.
41
1 2
a. Susunan Seri
1
2
b. Susunan Paralel
Gambar 3.1
Susunan seri dan paralel
3.2 Sistem Dengan Susunan Seri
Suatu sistem dapat dimodelkan dengan susunan seri jika
kompponen-komponen yang ada didalam sistem itu harus bekerja
atau berfungsi seluruhnya agar sistem tersebut sukses dalam
menjalankan misinya. Atau dengan kata lain bila ada satu komponen
saja yang tidak bekerja, maka akan mengakibatkan sistem itu gagal
menjalankan fungsinya. Sistem yang mempunyai susunan seri dapat
dikategorikan sebagai sistem yang tidak berlebihan (non-redundant
system). Blok diagram keandalan untuk sistem yang terdiri dari dua
komponen dengan susunan seri dapat dilihat pada gambar 3.1 a.
Misal keandalan untuk komponen 1 pada gambar 3.1 a, adalah
R
1
dan keandalan untuk komponen 2 adalah R
2
. Jika keandalan ini
mewakili probabilitas suatu komponen untuk tidak mengalami
kegagalan atau probabilitas sukses dari komponen pada periode
waktu yang telah ditentukan, maka keandalan dari sistem tersebut
diatas dapat diekspesikan sebagai perkalian indeks keandalan kedua
42
komponen. Secara matematis, jika Rs menyatakan keandalan dari
sistem diatas maka
2 1
R R Rs = (3.1)
Dari sistem selain diekspresikan dalam keandalan, sistem itu
juga bisa diekspresikan dalam bentuk ketakandalan (unreliability).
Indeks ketakandalan ini mewakili probabilitas dari suatu komponen
yang akan mengalami kegagalan pada periode waktu tertentu.
Ketakandalan dari sebuah komponen i dinotasikan dengan notasi Qi.
Hubungan antara indeks keandalan dan indeks ketandalan dari suatu
komponen dapat diekspresikan kedalam rumusan sebagai berikut.
1 = + Qi Ri (3.2)
1 n 2 . . .
Gambar 3.2
Diagram blok keandalan dari n buah komponen dalam susunan seri
Jika ada n buah komponen dalam susunan seri dan masing-
masing memiliki indeks keandalan R1, R2,Rn, seperti terlihat pada
gambar 3.2, maka ekspresi keandalan dari sistem itu adalah
43
i
R
n
i
n
R R R
s
R
1
.....
2 1
=
= = (3.3)
Sedang ekspresi ketakandalan dari sistem dengan susunan seri dari n
buah komponen adalah
i
R
n
i
s
R
s
Q
1
1 1
=
= = (3.4)
Contoh 3.1
Sebuah sistem kontrol terdiri dari lima buah unit dimana semua unit
pendukungnya ini bekerja seluruhnya agar sistem kontrol tersebut
dapat berfungsi. Jika indeks keandalan dari kelima unit itu masing-
masing adalah 0,9; 0,95; 0,87; dan 0,9, tentukan indeks keandalan
dari sistem kontrol tersebut.
Solusi
Blok diagram keandalan yang paling mewakili dari sistem kontrol
tersebut adalah blok diagram keandalan dengan susunan seri. Jika
keandalan dari masing-masing unit diekspresikan dalam Ri maka
keandalan dari sistem kontrol ituu adalah
622602 , 0 ) 9 , 0 )( 93 , 0 )( 87 , 0 )( 95 , 0 )( 9 , 0 (
5
1
= =
=
= Ri
i
Rs q
Contoh 3.2
a. Dari contoh 1, jika masing-masing komponen mempunyai
keandalan 0,9, tentukan keandalan dari sistem kontrol diatas.
44
b. Jika seorang desainer sanggup menyederhanakan sistem kontrol
tersebut diatas hanya menjadi tiga unit, dengan nilai keandalan
untuk masing-masing unit tetap 0,9, hitung keandalan dari sistem
kontrol yang baru.
c. Beri komentar tentang nilai keandalan dari dua sistem tersebut
diatas
Solusi
a. Untuk sistem kontrol dengan susunan seri dari lima unit yang
memiliki keandalan yang sama R1 = R2 = R3 = R4 = R5 = R =
0,9
59049 , 0
5
) 9 , 0 (
5
5
1
= = =
=
= R Ri
i
Rs q
b. Untuk sistem kontrol dengan susunan seri dari tiga unit yang
memiliki keandalan yang sama R1 = R2 = R3 = R = 0,9
729 , 0
3
) 9 , 0 (
3
3
1
= = =
=
= R Ri
i
Rs q
c. Dari hasil perhitungan diatas jelas terlihat bahwa komponen yang
identik dengan keandalan yang sama bila disusun secara seri,
maka semakin banyak komponen yang disusun dalam susunan
seri semakin banyak komponen yang disusun dalam susunan seri
semakin turun keandalan dari sistem itu. Ini adalah karakteristik
utama dari sistem dengan susunan seri. q
45
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
1,2
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Jumlah Komponen
K
e
a
n
d
a
l
a
n

S
i
s
t
e
m
Gambar 3.3
Keandalan dari komponen-komponen dengan susunan seri.
Angka di dekat kurva menunjukkan keandalan untuk masing-masing komponen
Hubungan antara jumlah komponen dalam susunan seri dengan
nilai keandalannya untuk tiap-tiap komponen dengan keandalan 0,9;
0,95; 0,97;0,98; 0,99; 0,999; dan 0,9999 dapat dilihat pada gambar
3.3.
Contoh 3.3
Sebuah sistem terdiri dari 10 buah komponen yang identik. Agar
sistem ini dapat bekerja kesepuluh komponen ini harus bekerj
0,9999
0,999
0,99
0,98
0,97
0,95
0,9
46
seluruhnya. Jika sistem ini didesain agar memiliki keandalan 0,95,
tentukan nilai minimum dari masing-masing komponen
Solusi
Jika keandalan masing-masing kompponen adalah R, keandalan
untuk sistem itu adalah
Rs = R
10
Keandalan yang disyaratkan adalah 0,95, sehingga keandalan dari
masing-masing komponen dapat dicari dengan menyelesaikan
persamaan
R
10
= 0,95
R = 0,994884 q
Keandalan dari sistem dengan n komponen yang identik dalam
susunan seri dapat pula didapatkan dengan cara pendekatan. Cara
pendekatan ini diturunkan dari persamaan 3.3 dann persamaan 3.2.
Secara umum keandalan dari sistem dengan n komponen yang
identik dengan keandalan untuk masing-masing komponen adalah R
dan ketakandalan untuk masing-masing komponen adalah Q dapat
diekspresikan kedalam persamaan
n
R Rs = (3.5)
Persamaan 3.5 diatas dapat juga ditulis dalam bentuk
ketakandalan sebagai
n
Q Rs ) 1 ( = (3.6)
47
Dengan menerapkan teorema binomial, persamaan diatas
dapat diselesaikan menjadi
n
Q Q
n n
Q n Rs ) ( ....
2
) (
2
) 1 (
) ( 1 + +

+ + = (3.7)
Jika nilai dari Q adalah sangat kecil, maka keandalan dari sistem
dengan n komponen yang identik dalam susunan seri adalah
nQ Rs 1 (3.8)
Persamaan (3.8) dapat pula dipakai untuk menyelesaikan contoh soal
3.3
0,95 = 1 10Q
Q = 5 x 10
-3
R = 1 Q = 1 5 x 10
-3
= 0,995
Hasil perhitungan ini 0,012% lebih tinggi dari hasil perhitungan
eksak. Untuk perhitungan dengan metode pendekatan, hasil yang
diperoleh inii tidak terlalu jelek
3.3 Sistem Dengan Susunan Paralel
Suatu sistem dapat dimodelkan dengan susunan paralel jika
seluruh komponen-komponen yang ada didalam sistem itu gagal
berfungsi maka akan mengakibatkan sistem itu gagal menjalankan
fungsinya. Sistem yang memiliki konfigurasi paralel dapat
48
dikategorikan sebagai sistem yang sangat berlebihan (fully redundant
system). Blok diagram keandalan untuk sistem yang terdiri dari dua
komponen dengan susunan paralel dapat dilihat pada gambar 3.1 b.
Misal ketakandalan untuk komponen 1 pada gambar 3.1 b
adalah Q
1
dan ketakandalan untuk komponen 2 adalah Q
2
. Jika
ketakandalan ini mewakili probabilitas suatu komponen untuk
mengalami kegagalan dari komponen pada periode waktu yang telah
ditentukan, maka ketakandalan dari sistem tersebut diatas dapat
diekspresikan sebagai perkalian ketakandalan dari sistem tersebut
diatas dapat diekspresikan sebagai perkalian ketakandalan kedua
komponen. Secara matematis, jika Qp menyatakan ketakandalan dari
sistem diatas maka
2 1
Q Q
p
Q = (3.9)
Sedangkan ekspresi keandalan dari sistem dengan susunan
paralel untuk gambar 3.1 b adalah
2 1
1 1 Q Q Qp Rp = = (3.10)
atau
2 1 2 1 ) 2 1 )( 1 1 ( 1 R R R R R R Rp + = = (3.11)
Sedang untuk n komponen yang tersusun dalam susunan
paralel dengan ketakandalan untuk masing-masing komponen adalah
Qi maka ekspresi ketakandalan dari sistem ituu adalah
i
Q
n
i
n
Q Q Q
p
Q
1
....
2 1
=
= = (3.12)
49
1
2
.

.

.
n
Gambar 3.4
Blok diagram keandalan n buah komponen dalam susunan paralel
Sedang ekspresi keandalan dari n buah komponen yang
tersusunan secara paralel adalah
i
n
i
p
Q R
1
1
=
= (3.13)
Contoh 3.4
Sebuah sistem yang terdiri dari tiga buah komponen dengan
keandalan untuk masing-masing komponen adalah R1 = 0,9, R2 =
0,95, dan R3 = 0,97. Ketiga kompponen inii akan disusun secara
paralel. Hitung keandalan dari sistem ini.
50
Solusi
Ketakandalan dari sistem ini adalah
Qp = Q1Q2Q3 = 0,1 x 0,05 x 0,03 = 1,5 x 10
-4
Keandalan dari sistem inii adalah
Rp = 1 Q p = 1 1,5 x 10
-4
= 0,99985
Contoh 3.5
Seorang system engineer akan mendesain sebuah subsistem yang
merupakan bagian dari sebuah sistem pengolahan minyak. Subsistem
ini hanya memerlukan satu buah komponen agar dapat menunjang
proses pengolahan minyak. Untuk meningkatkan keandalan dari
subsistem ini insiyur tadi merencanakan akan memasang komponen
yang identik dalam subsistem ini secara paralel. Karena keterbatasan
dana hanya ada tiga buah alternatif subsistem yang akan ia desain,
masing-masing desain terdiri dari 2,3, dan 4 komponen. Keandalan
dari masing-masing komponen ini adalah 0,98. Jika sasaran dari
pemilihan desain ini adalah untuk mendapatkan tingkat keandalan
yang tinggi, susunan mana kira-kira yang akan dipilih oleh insyiyur
tadi.
51
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
1,2
0 2 4 6 8 10
Jumlah Komponen
K
e
a
n
d
a
l
a
n

S
i
s
t
e
m
Gambar 3.5
Keandalan dari komponen-komponen dengan susunan seri.
Angka di dekat kurva menunjukkan keandalan untuk masing-masing komponen
Solusi
Untuk subsistem dengan dua komponen keandalan dari subsistem itu
adalah :
Rp = 1 Q
2
= 1 0,02
2
= 0,9996
0,75
0,8
0,85
0,95
52
Untuk subsistem dengan tiga komponen keandalan dari subsistem itu
adalah
Rp = 1 Q
3
= 1 0,02
3
= 0,999992
Untuk subsistem dengan empat komponen keandalan dari subsistem
itu adalah :
Rp = 1 Q
4
= 1 0,02
4
= 0,99999984
Dari hasil perhitungan diatas jelas insiyur tadi akan memilih desain
ketiga yaitu buah komponen dalam susunan paralel.
Dari contoh desain diatas, jelas terlihat bahwa keandalan dari
sistem dengan susunan paralel akan bertambah seiring dengan
bertambahnya jumalh komponen. Hal inii merupakan seiring dengan
bertambahnya jumlah komponen. Hal ini merupakan sifat utama dari
suatu sistem dengan susunan paralel. Reprensentasi grafis dari sifat
utama ini dapat dilihat pada gambar 3.5.
3.4 Sistem Dengan Susunan Gabungan Seri - Paralel
Untuk menganalisa suatu sistem sederhana dengan susunan
seri atau paralel sudah didiskusikan pada seksi terdahulu. Susunan
seri atau paralel merupakan susunan dasar yang akan dipakai untuk
menganalisa sistem yang mempunayai susunan yang lebih kompleks.
Blok diagram keandalan yang lebih kompleks akan mempunyai
struktur gabungan antara susunan seri dan paralel.
Prinsip dasar yang dipakai untuk menyelesaikan konfigurasi
yang komplek ini adalah dengan mereduksi konfigurasi yang komplek
iin secara berurutan dengan jalan menyederhanakan blok yang
53
mempunayi struktur seri atau paralel terlebih dahulu menjadi blok
diagram yang ekuivalen. Blok diagram yang ekuivalen ini akan
mewakilii konfigurasi asli sebelum konfigurasi ini disederhanakan.
Untuk jelasnya akan diberikan beberapa contoh berikut ini.
Contoh 3.6
Gambar dibawah inii menunjukan blok diagram keandalan dari suatu
sistem. Keandalan untuk masing-masing kompponen adalah R
1
= R
2
= 0,97 ; R
3
= 0,99 ; R
4
= 0,94 ; R
5
= 0,98 ; R
6
= 0,93. Hitung
keandalan dari sistem tersebut.
1 n 2
4 6 5
Gambar 3.6
Diagram blok keandalan untuk contoh soal nomor 6
Solusi
Untuk menyelessaikan konfigurasi seperti ini, terlebih dahulu
komponen 1,2, dan 3 disederhanakan menjadi sebuah komponen
yang ekuivalen yaitu komponen 7. Demikian juga dengan komponen
4,5 dan 6. Ketiga kompponen ini disederhanakan menjadi sebuah
komponen yang ekuivalen yaitu komponen 8
54
7
8
9
Gambar 3.7
Penyerdehanaan blok diagram keandalan contoh soal 6
912285 , 0 99 , 0 97 , 0 95 , 0
3 2 1 7
= =
=
x x
R R R R
93 , 0 98 , 0 94 , 0
6 5 4 8
x x
R R R R
=
=
Pada akhirnya kedua komponen yang ekuivalen ini, yaitu
komponen 7 dan 8 disederhanakann menjadi komponen 9 yang
mewakili sistem secara keseluruhan.
8 7 9
Q Q Q
p
Q = =
atau
987431843 , 0
) 143284 , 0 )( 087715 , 0 ( 1
9 7
1
9
=
=
= Q Q R
55
Contoh 3.7
Dapatkan ekspresi umum untuk sistem yang diwakili oleh blok
diagram keandalan seperti pada gambar 3.8 berikut ini, jika semua
komponen memilki keandalan R dan Ketakandalan Q
1
2
3
4
5
6
Gambar 3.8
Diagram blok keandalan contoh soal 3.7
Solusi
Komponen 1 dan 2 disederhanakan menjadi sebuah komponen yang
ekuivalen, yaaitu komponen 7. Demikian juga komponen 4 dan 5
disederhanakan menjadi sebuah ko
ponen yang ekuivalen, yaitu komponen 8
56
7
6 8
3
10
9
11
Gambar 3.9
Penyederhanaan diagram blok keandalan contoh soal 3.7
2 1 2 1 2 1
1
7
R R R R Q Q R + = =
semua komponen mempunyai keandalan R, sehingga
2
2
7
R R R =
Untuk komponen 8, yang memiliki konfigurasi dan keandalan masing-
masing komponen yang sama dengan komponen 7, keandalannya
adalah
2
2
8
R R R =
Komponen 7 dan 3 disederhanakan menjadi sebuah komponen yang
ekuivalen yitu komponen 9 dengan keandalannya.
3 2
2
)
2
2 (
3 7 9
R R
R R R
R R R
=
=
=
57
Untuk komponen 10, yang memiiki konfigurasi dan keandalan
masing-masing komponen yang sama dengan komponen 9,
keandalannya adalah
3 2
2
)
2
2 (
6 8 10
R R
R R R
R R R
=
=
=
Keandalannya untuk seluruh sistem adalah
2
)
3 2
2 (
10 9 11
R R
R R R
=
=
3.5 Sistem dengan Susunan Berlebihan Secara Parsial
(Partially Redundant System)
Jika sistem dengan susunan seri dikategorikan sebagai sistem
yang tidak berlebihan (non-redundant system) dan sistem dengan
susunan paralel dikategorikan sebagai sistem dengan susunan yang
sangat berlebihan (fully redundant system), maka ada sebuah sistem
yang bisa dikategorikan sebagai sistem dengan susunan berlebihan
secara parsial (partially redundant system).
Untuk mengevaluasi keandalan dari sistem yang memiliki
konfigurasi berlebihan secara parsial, konsep susunan seri dan
susunan paralel yang telah dibahas di seksi terdahulu tidak dapat
langsung diterapkan. Untuk menyelesaikan perhitungan keandalan
sistem ini, perlu diterapkan konsep distribusi binomial. Contoh berikut
58
akan memperjelas pembahasan mengenai sistem dengan struktur
berlebihan secara parsial.
Contoh 3.8
Sebuah sistem yang terdiri dari tiga buah susbsistem dengan
keadalan untuk masing-masing subsistem adalah R
1
, R
2
, dan R
3
. Agar
sistem itu dapat berfungsi, minimal harus ada dua sistem yang
berfungsi. Diagram blok keandalan untuk sistem ini diilustrasikan
pada gambar 3.10. Dapatkan ekspresi umum yang mewakili
keandalan sistem tersebut.
Gambar 3.10
Diagram blok keandalan contoh soal 8
Solusi
Dengan mengaplikasikan konsep distribusi binomial, keandalan
dari sistem itu dapat diekspresikan sebagai
3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1
R R Q R Q R Q R R R R R R
Sistem
+ + + =
59
Jika masing-masing subsistem memiliki keandalan yang sama yaitu
R, maka ekspresi keandalan dari sistem itu adalah
Q R R R
Sistem
2 3
3 + =
q
3.6 Pertimbangan Desain Antara Susunan Seri dan Paralel
Misalkan ada sebuah sistem yang terdiri dari n buah komponen
dalam susunan seri. Untuk meningkatkan keandalan dari sistem ini
ada dua cara dasar yang umum dipakai yaitu dengan membuat
masing-masing komponen yang ada di sistem berlebihan
(component-level redundancy) atau membuat sistemya yang
berlebihan (system-level redundancy). Diagram blok untuk kedua
alternatif desain ini dapt dilihat pada gambar 3.11.
60
Gambar 3.11
Konfigurasi component-level redundancy dan system-level redundancy
Untuk konfigurasi pada gambar 3.11 a, jika keandalan untuk
masing-masing komponen adalah R, maka keandalan dari sitem itu
adalah
n m
a Sistem
R R ) ) 1 ( 1 ( = (3.14)
61
Sedang untuk konfigurasi pada gambar 3.11 b, jika keandalan untuk
masing-masing komponen adalah R, maka keandalan dari sitem itu
adalah
m n
b Sistem
R R ) 1 ( 1 = (3.15)
Plot kurva dari persamaan 3.14 dan 3.15 dapat dilihat pada gambar
3.12 dan 3.13.
0.7
0.75
0.8
0.85
0.9
0.95
1
1.05
1 2 3 4 5
Jumlah komponen (n)
K
e
a
n
d
a
l
a
n

s
i
s
t
e
m
m=2, R=0,8
m=3, R=0,8
m=4, R=0,8
m=2, R=0,9
m=3, R=0,9
m=4, R=0,9
Gambar 3.12
Plot kurva untuk persamaan 3.14
62
0.5
0.7
0.9
1.1
1 2 3 4 5
Jumlah Komponen (n)
K
e
a
n
d
a
l
a
n

S
i
s
t
e
m
m=2, R=0,8
m=3, R=0,8
m=4, R=0,8
m=2, R=0,9
m=3, R=0,9
m=4, R=0,9
Gambar 3.13
Plot kurva untuk persamaan 3.15
Dengan membandingkan kurva 3.12 dan 3.13 jelas terlihat
bahwa component-level redundancy akan memberikan keandalan
sistem yang lebih tinggi untuk berbagai harga m dan n yang dicoba.
Dari kedua kurva yangsudah diplot, dapat pula disimpulkan bahwa
dengan memberikan cadangan pada tiap komponen akan
memberikan keandalan yang lebih tinggi secara keseluruhan
dibandingkan dengan memberi cadangan pada tiap sistem.
63
3.7 Standby Redundant System
Pada sistem paralel redundancy, seluruh komponen
dioperasikan secara simultan, sedangkan pada sistem standby
redundant, unit standby akan dioperasikan hanya ketika dalam
keadaan normal unit operasi dalam keadaan gagal. Perbedaan antara
dua hal itu digambarkan dalam gambar 3.14 dibawah ini.
Secara umum ada dua buah kasus dasar yang berhubungan
dengan switching. Pertama, kita bisa menganggap switch yang
dipakai adalah switch yang sempurna sehingga bisa dikategorikan
sebagai kasus pengalihan yang sempurna (perfect switching) serta
yang kedua, kita bisa menganggap switch yang dipakai adalah switch
yang tidak sempurna sehingga bisa dikategorikan sebagai kasus
pengalihan yang tidak sempurna (Imperfect switching)
2
1
2
1
(a) (b)
Gambar 3.14
Sistem dengan susunan paralel dan sistem dengan susunan standby
Perfect switching
Pada kasus ini, switch diamsusikan tidak pernah gagal pada
saat pengoperasian dan juga tidak akan mengalami kegagalan pada
64
saat melakukan pengalihan dari pengoperasian normal ke posisi
standby. Gambar 3.14 merupakan contoh tipikal dari sebuah sistem
yang memiliki susunan standby.
Jika diasumsikan bahwa komponen 2 tidak mengalami
kegagalan pada saat sedang dalam kondisi standby, maka sistem
hanya akan mengalami kegagalan bila komponen 1 satu telah gagal
sebelumnya dan setelah pengoperasiannya dialihkan ke komponen 2,
komponen 2 juga gagal beroperasi.
Karena itu probabilitas kegagalan sistem dapat dinyatakan ke
dalam persamaan berikut ini.
) 1 2 ( ) 1 ( Q Q Q =
(3.16)
Jika diasumsikan komponen 1 dan komponen 2 saling bebas
(independent), maka persamaan (3.160 dapat disederhanakan
menjadi
2 1
) 2 ( ) 1 ( Q Q Q Q Q = (3.17)
Persamaan (3.17) memberikan kesan seolah olah sama
dengan persamaan ketakandalan sistem yang memiliki dua
komponen dengan susunan paralel. Hal ini tidaklah benar karena nilai
numerik dari ketakandalan untuk komponen 2 tidak sama, karena
komponen 2, yang merupakan komponen standby, hanya dipakai
dalam waktu yang sangat singkat, sehingga indeks ketakandalan
komponen 2 bila difungsikan sebagai komponen aktif dan standby
akan memiliki indeks yang berbeda.
65
I mperfect Switching
Untuk kasus ini, kemungkinan switch mengalami kegagalan
dalam mengalihkan tugas dari komponen aktif ke komponen standby
akan dimasukkan dalam perhitungan. Jika P
s
menyatakan probabilitas
dari sukses dari switch untuk mengalihkan tugas, maka probabilitas
kegagalan dari switch untuk melakukan pengalihan tugas dapat
dinyatakan oleh s P = 1 P
s
.
Dengan menggunakan persamaan (2.21), maka untuk kasus
imperfect switching dapat diformulasikan ke dalam persamaan
berikut ini.
P( sistem gagal) = P ( sistem gagal dengan kondisi switch berhasil
melakukan pengalihan) x P ( Proses pengalihan
berjalan sukses) + P ( sistem gagal dengan
kondisi switch gagal melakukan pengalihan) x
P(Proses pengalihan gagal)
Atau secara matematis dapat ditulis sebagai
) 1 (
) 1 (
2 1 1
1 2 1
Q P Q Q
P Q P Q Q Q
s
s s
=
+ =
(3.18)
2
1
S S
P
S
R
S
66
Gambar 3.15
Blok diagram untuk kasus standby redundancy dengan switch tak sempurna
Persamaan (3.18) untuk imperfect switching yang telah
diturunkan, dapat diperluas lagi dengan menambahkan blok diagram
lagi pada gambar 3.14 b, sehingga blok diagram keandalan untuk
kasus imperfect switching berubah menjadi seperti pada gambar
3.15. Blok diagram S yang pertama mewakili switch dalam
melakukan proses pengalihan dari komponen aktif 1 ke komponen
standby 2 dengan probabilitas kesuksesan P
s
, sedangkan blok
diagram kedua mewakili mode pengoperasian normal dari switch
dengan indeks keandalan R
s
dan indeks ketakandalan Q
s
. Dari
gambar 3.15 terlihat bahwa tambahan komponen kedua disusun
secar seri dengan susunan komponen yang sudah ada, sehingga
persamaan keandalan dari sistem di atas dapat ditulis sebagai
s s
R Q P Q Q R )]} 1 ( [ 1 {
2 1 1
= (3.19)
3.8 Pemodelan Jaringan yang Kompleks
Pada seksi terdahulu telah dibahas bagaimana memodelkan dan
mengevaluasi keandalan dari suatu sistem yang memiliki susunan
yang sangat sederhana. Pemodelan yang dimaksud adalah
pemodelan sistem dengan susunan seri atau paralel. Ada beberapa
susunan model yang pengevaluasian keandalannya tidak bisa
diselesaikan hanya dengan mengandalkan teknik pengevaluasian
susunan seri atau paralel saja. Contoh yang sering dipakai untuk
susunan yang kompleks adalah susunan jembatan seperti yang
terlihat pada gambar 3.16.
67
Secara visual, model sistem yang ditunukkan pada gambar
3.16 tidak bisa disederhanakan menjadi sistem dengan susunan seri
dan paralel seperti yang telah dijelaskan pada bab 3. Ada berbagai
teknik standard yang bisa dipakai untuk mengevaluasi keandalan dai
sistem yang memiliki diagram blok keandadalan yang kompleks. Ada
beberapa teknik yang bisa dipakai untuk menyelesaikan evaluasi
sistem yang memiliki susunan yang kompleks. Teknik teknik itu
antara lain teknik pengevaluasian dengan memakai pendekatan
proabilitas kondisonal/bersyarat (conditional probability approach),
metode cut set (cut set method) dan analisa pohon kegagalan (event
tree analysis).
1
4 2
5
3
Gambar 3.16
Sistem dengan susunan jembatan
3.9 Conditional Probability Approach
Teknik pengevaluasian untuk sistem yang kompleks dengan
memanfaatkan pendekatan probabilitas bersyarat (conditional
probability approach) sebagian telah diulas pada bab 2. Persamaan
68
2.20 dan 2.21 akan dipakai untuk mengevaluasi keandalan sistem.
Kedua persamaan itu adalah
) jelek)P(B kondisi Bdalam jika sukses P(sistem
) baik)P(B kondisi Bdalam jika sukses P(sistem sukses) P(sistem
f
S
+ =
(3.20)
Sedangkan probabilitas dari kejadian komplemennya adalah
) ( ) jelek kondisi Bdalam jika gagal sistem (
) ( ) baik kondisi Bdalam jika gagal sistem ( ) gagal sistem (
f
S
B P P
B P P P + =
(3.21)
Contoh 3.9
Untuk sistem yang diwakili oleh gambar 3.16, sistem itu akan
berfungsi jika salah satu jalur 13, 24, 154, atau 253 dalam kondisi
yang bagus. Tentukan ekspresi keandalan dari sistem yang memiliki
blok diagram keandalan seperti pada gambar 3.16.
Solusi
Untuk menerapkan pendekatan probabilitas bersyarat, yang
pertama harus dilakukan adalah memilih komponen yang akan
dipertimbangkan sebagai komponen yang baik dan komponen yang
buruk. Semua komponen yang ada yaitu komponen 1 sampai
komponen 5 dapat dipilih sebagai komponen yang akan
dipertimbangkan sebagai komponen yang baik dan buruk. Pemilihan
komponen ini sangat penting, karena pemilihan komponen yang tepat
akan sangat membantu untuk mempercepat penyelesaian evaluasi
keandalan dari sistem.
69
Untuk soal diatas, komponen nomor 5 dipilih sebagai komponen
yang akan dipertimbangkan. Akibat dari pemilihan komponen ini,
maka akan ada dua buah blok diagram keandalan yang masing-
masing mewakili kondisi komponen 5 dalam keadaan baik dan buruk.
Gambar 3.17 menunjukkan pembagian blok diagram ini.
1
4 2
5
3
1
4 2
3 1
4 2
3
Komponen 5 baik Komponen 5 jelek
Gambar 3.17
Blok diagram untuk komponen no. 5 dalam kondisi baik dan jelek
Jika R
i
menyatakan keandalan dari komponen i dan Q
i
menyatakan
ketakandalan dari komponen i, maka secara umum persamaan
70
keandalan untuk blok diagram dengan susunan jembatan seperti
terlihat pada gambar 3.17 adalah
5 5
jelek) 5 no. komp. jika ( baik) 5 no. komp. jika ( Q R R R R
S S S
+ = (3.22)
Untuk blok yang pertama, dimana komponen nomor 5 dianggap
dalam kondisi yang bagus, persamaan keandalan dari blok di atas
adalah
) Q - (1 ) Q - (1 = baik) 5 no. komp. jika (
4 3 2 1
Q Q R
S
(3.23)
Untuk blok yang kedua, dimana komponen nomor 5 dianggap dalam
kondisi yang jelek, persamaan keandalan dari blok di atas adalah
) - (1 ) - (1 - 1 = jelek) 5 no. komp. jika (
4 2 3 1
R R R R R
S
(3.24)
Dengan mensubstitusikan persamaan (3.23) dan (3.24) ke dalam
persamaan (3.22), maka akan diperoleh persamaan keandalan dari
sistem yang dimaksud. Persamaan keandalan dari sistem itu adalah
5 4 2 3 1 5 4 3 2 1
)) 1 )( 1 ( 1 ( ) 1 )( 1 ( Q R R R R R Q Q Q Q R
S
+ = (3.25)
Jika masing-masing komponen memiliki nilai keandalan R = 0,95,
maka keandalan dari sistem itu adalah
05 , 0 ) ) 95 , 0 1 ( 1 ( 95 , 0 ) 05 , 0 1 ( ) ) 1 ( 1 ( ) 1 (
2 2 2 2 2 2 2 2
+ = + = Q R R Q R
S
994781 , 0 =
S
R o
71
4
5 3
2
1
Gambar 3.18
Blok diagram keandalan untuk contoh soal 3.10
Contoh 3.10
Gambar 3.18 menunjukkan sebuah blok diagram keandalan dari
suatu sistem. Diketahui R
1
= 0,80, R
2
= 0,85, R
3
= 0,90, R
4
= 0,95,
dan R
5
= 0,97. Dengan menggunakan pendekatan probabilitas
bersyarat, tentukan keandalan dari sistem tersebut.
Solusi
Seperti pada contoh soal terdahulu, langkah pertama yang
harus dilakukan adalah memilih komponen yang akan dipakai sebagai
acuan sebagai komponen bersyarat. Untuk soal di atas komponen
nomor 2 adalah komponen yang paling cocok untuk dipilih sebagai
komponen yang akan dipakai sebagai acuan sebagai komponen
bersyarat. Jika komponen 2 dalam keadaan baik, maka blok
diagaram keandalan yang ditunjukkan pada gambar 3.18 akan
berubah menjadi seperti yang ditunjukkan pada gambar 3.19 sedang
jika komponen 2 dalam keadaan jelek, maka blok diagaram
keandalan yang ditunjukkan pada gambar 3.18 akan berubah
menjadi seperti yang ditunjukkan pada gambar 3.20.
72
5
4
Gambar 3.19
Blok diagram keandalan contoh soal no. 3.10
untuk kondisi komponen no. 2 dalam kondisi baik
4
3 5
1
Gambar 3.20
Blok diagram keandalan contoh soal no. 3.10
untuk kondisi komponen no. 2 dalam kondisi jelek
Persamaan keandalan untuk sistem yang ditunjukkan pada gambar
3.18 adalah :
2 2
jelek) 2 no. komp. jika ( baik) 2 no. komp. jika ( Q R R R R
S S S
+ = (3.26)
73
Untuk kondisi jika komponen 2 dalam keadaan baik, maka keandalan
dari sistemnya bisa diturunkan dari blok diagram pada gambar 3.19,
yaitu
9985 , 0 ) 03 , 0 05 , 0 ( 1
Q - 1 = baik) 2 no. komp. jika (
5 4
= =
Q R
S
(3.27)
Untuk kondisi jika komponen 2 dalam keadaan jelek, maka keandalan
dari sistemnya bisa diturunkan dari blok diagram pada gambar 3.20,
yaitu
96952 , 0
) 97 , 0 90 , 0 1 )( 95 , 0 80 , 0 1 ( 1
) R - )(1 R R - (1 - 1 = jelek) 2 no. komp. jika (
5 3 4 1
=
=
R R
S
(3.28)
Dengan memasukkan nilai-nilai yang diperoleh pada persamaan
(3.27) dan (3.28) ke dalam persamaan (3.26), maka akan diperoleh
keandalan dari sistem. Nilai keandalan dari sistem itu adalah :
2 2
jelek) 2 no. komp. jika ( baik) 2 no. komp. jika ( Q R R R R
S S S
+ =
994153 , 0 15 , 0 96952 , 0 85 , 0 9985 , 0 = + =
S
R o
3.10 Metode Cut Set
Untuk memahami konsep cut set, perhatikan gambar blok
diagram keandalan dari suatu sistem seperti yang terlukis pada
gambar 3.21. Pada gambar 3.21, sebuah komponen di hubungkan
secara seri dengan dua komponen lain yang telah dihubungkan
secara paralel terlebih dahulu. Bila komponen 1 rusak maka akan
74
mengakibatkan sistem tidak berfungsi. Sistem tersebut juga tidak
akan berfungsi jika komponen 2 dan 3 dalam keadaan rusak,
komponen 1 dan 2 dalam keadaan rusak, komponen 1 dan 3 dalam
keadaan rusak, dan bila ketiga komponen dalam keadaan rusak. Bila
komponen-komponen yang sudah disebutkan di atas dikumpulkan
dalam sebuah himpunan (set) maka terbentuk himpunan yang
beranggotakan komponen-komponen yang bila komponen-komponen
itu dalam keadaan rusak akan menyebabkan sistem tidak berfungsi.
Ini merupakan konsep dari cut set. Jadi cut set dapat didefinisikan
sebagai berikut.
Sebuah cut set adalah sekumpulan dari komponen yang bila
komponen-komponen itu mengalami kegagalan, maka akan
menyebabkan seluruh sistem akan mengalami kegagalan pula.
Sebuah cut set dikatakan sebagai minimal cut set bila salah satu
komponen yang terdapat di dalam minimal cut set itu mengalami
kegagalan, maka akan menyebabkan seluruh sistem akan mengalami
kegagalan pula, tetapi bila salah satu komponen yang terdapat di
dalam mininimal cut set bekerja, maka tidak mengakibatkan sistem
menjadi gagal.
Cut set dari blok diagram keandalan pada gambar 3.21 adalah :
{1}, {2,3}, {1,2}, {1,3}, dan {1,2,3}. Sedang minimal cut set dari
blok diagram keandalan pada gambar 3.21 adalah : {1}, {2,3}.
75
3
2
1
Gambar 3.21
Blok diagram keandalan
Metode cut set adalah metode yang sangat berguna untuk
mengevaluasi keandalan dari suatu sistem karena dua alasan utama,
yaitu
Metode ini dapat dengan mudah di kerjakan dengan menggunakan
program komputer untuk mendapatkan penyelesaian yang cepat
dan akurat.
Cut set langsung berkaitan dengan modus-modus kegagalan
sistem.
Untuk dapat memahami perhitungan keandalan sistem dengan
menggunakan metode cut set, perhatikan kembali gambar 3.16.
Minimal cut set dari blok diagram keandalannya adalah {1,2},
{3,4},{1,4,5}, dan {2,3,5}. Mengingat semua komponen yang
terdapat di dalam minimal cut set ini harus gagal semuanya maka
probabilitas kegagalan untuk semua komponen yang ada di dalam
minimal cut set dapat diekspresikan dalam bentuk blok diagram
keandalan dengan susunan paralel. Suatu sistem akan mengalami
kegagalan jika tiap-tiap cut set mengalami kegagalan, maka semua
cut set akan dihubungkan dalam susunan seri dalam blok diagram
keandalan untuk mengekspresikannya.
76
1 3
2
5 5
3
1
4
4 2
Gambar 3.22
Minimal cut set dari contoh 3.22
Blok diagram keandalan yang ditunjukkan pada gambar 3.22
yang merupakan susunan seri dari beberapa minimal cut set lainnya
tidak bisa dipakai untuk mengevaluasi keandalan sistem. Ini terjadi
karena ada beberapa komponen yang muncul lebih dari satu kali di
dalam satu kelompok minimal cut set. Selanjutnya untuk
mengevaluasi keandalan dari sistem, maka konsep gabungan dari
dua himpunan atau lebih akan dipakai. Jika C
i
menyatakan minimal
cut set ke-i, maka untuk kasus di atas kita akan memiliki :
C
1
= {1,2}, C
2
= {3,4}, C
3
= {1,4,5}, dan C
4
= {2,3,5}.
Dan jika P(C
i
) mewakili probabilitas untuk event C
i
maka
ketakandalan dari sistem secara umum dapat diekspresikan sebagai
77
( )

= =

=
+ + +
= =
n
i
i
j
j
k
n
n
k j i
n
i
n
i
i
j
j i i n i S
C C C P C C C P
C C P C P C C C C P Q
3
1
2
1
1
2 1
1
1 2
1
1
2 1
) ... ( ) 1 ( ... ) (
) ( ) ( ... ...
(3.29)
Contoh 3.11
Gunakan formula 3.29 untuk menghitung ketakandalan dari sistem
yang memiliki diagram blok keandalan seperti pada gambar 3.16.
Solusi
Minimal cut set untuk kasus struktur jembatan seperti pada
gambar 3.16 adalah
C
1
= {1,2}, C
2
= {3,4}, C
3
= {1,4,5}, dan C
4
= {2,3,5}
Sedangkan ekspresi ketakandalan sistemnya adalah
Q P C C C C P C P C P C P C P C C
P C C P C C P C C P C C P C C
P C C C P C C C P C C C P C C C
P
S
= = + + +
+
+ + +
( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( )
( ) ( ) ( ) ( ) ( )
( ) ( ) ( ) ( )
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2
1 3 1 4 2 3 2 4 3 4
1 2 3 1 2 4 1 3 4 2 3 4


( ) C C C C
1 2 3 4

(3.30)
dimana
P C Q Q ( )
1 1 2
= P C Q Q Q ( )
3 1 4 5
=
P C Q Q ( )
2 3 4
= P C Q Q Q ( )
4 2 3 5
=
P C C P C P C Q Q Q Q ( ) ( ) ( )
1 2 1 2 1 2 3 4
= =
78
P C C P C P C Q Q Q Q ( ) ( ) ( )
1 3 1 3 1 2 4 5
= =
P C C P C P C Q Q Q Q ( ) ( ) ( )
1 4 1 4 1 2 3 5
= =
P C C P C P C Q Q Q Q ( ) ( ) ( )
2 3 2 3 1 3 4 5
= =
P C C P C P C Q Q Q Q ( ) ( ) ( )
2 4 2 4 2 3 4 5
= =
P C C P C P C Q Q Q Q Q ( ) ( ) ( )
3 4 3 4 1 2 3 4 5
= =
P C C C P C C C P C C C
P C C C P C C C C
Q Q Q Q Q
( ) ( ) ( )
( ) ( )
1 2 3 1 2 4 1 3 4
2 3 4 1 2 3 4
1 2 3 4 5
= =
= =
=


Jadi, ketakandalan dari sistem adalah
Q Q Q Q Q Q Q Q Q Q Q Q Q Q Q Q Q Q Q Q Q Q Q
Q Q Q Q Q Q Q Q Q
S
= + + +
+
1 2 3 4 1 4 5 2 3 5 1 2 3 4 1 2 4 5 1 3 4 5
2 3 4 5 1 2 3 4 5
2
(3.31)
Dengan mengambil nilai keandalan untuk masing-masing komponen
dari contoh soal nomor 1 yaitu R R R R R R
1 2 3 4 5
0 95 = = = = = = , , maka
kita akan memeperoleh nilai-nilai ketakandalan dari masing-masing
komponen adalah
Q Q Q Q Q Q
1 2 3 4 5
0 05 = = = = = = , .
Ketakandalan dari sistem akan menjadi
005219 , 0
05 , 0 2 05 , 0 5 05 , 0 2 05 , 0 2
2 5 2 2
5 4 3 2
5 4 3 2
=
+ + =
+ + = Q Q Q Q Q
S
Sedang keandalan dari sistem
79
994781 , 0 1 = =
S S
Q R
Sama dengan hasil yang diperoleh pada contoh soal pertama. o
Perhitungan keandalan dan ketakandalan dari sistem baik
dengan memakai pendekatan probabilitas bersyarat dan metode cut
set sama-sama menghasilkan hasil yang presisi. Untuk sistem yang
memiliki struktur yang lebih komplek dan jumlah komponen yang
lebih banyak, kedua metode perhitungan keandalan yang sudah
diuraikan secar teoritis dapat dipakai untuk melakukan perhitungan.
Kendala yang dihadapi hanya waktu yang diperlukan untuk
menyelesaikan perhitungan itu sangat lama dan melelahkan.
Perhitungan keandalan dengan pendekatan akan mempercepat
penyelesaian meski dengan tingkat presisi yang lebih rendah. Tingkat
kesalahan (error) yang dibuat dengan metode pendekatan ini masih
dalam batas-batas yang masih dapat di terima.
Untuk melakukan perhitungan keandalan dengan metode
pendekatan ada dua harga yang akan diperoleh. Harga-harga itu
adalah batas atas (upper bound) dan batas bawah (lower bound) dari
ketakandalan sistem yang dievaluasi. Upper bound dari ketakandalan
suatu sistem dapat dihitung dengan mengambil kelompok pertama
dari persamaan (3.29) dan lower bound dari ketakandalan suatu
sistem dapat dihitung dengan mengambil kelompok pertama dan
kedua dari persamaan (3.29).
Formula upper bound dari ketakandalan sistem adalah

=
=
n
i
i S
C P Q
1
bound Upper
) ( (3.32)
Sedang formula untuk lower bound dari ketakandalan sistem adalah
80

= =

=
=
n
i
n
i
i
j
j i i S
C C P C P Q
1 2
1
1
) ( ) ( (3.33)
Contoh 3.12
Dengan menggunakan persamaan (3.32) dan (3.34), hitung
keandalan dari sistem yang memiliki blok diagram keandalan seperti
yang ditunjukkan pada gambar 3.16. Bandingkan nilai keandalan
yang diperoleh dengan memakai metode pendekatan ini dan nilai
keandalan yang telah dihitung pada contoh 3.11.
Solusi
Dengan mengambil nilai keandalan untuk masing-masing komponen
dari contoh soal 3.10 yaitu R R R R R R
1 2 3 4 5
0 95 = = = = = = , , maka kita
akan memeperoleh nilai-nilai ketakandalan dari masing-masing
komponen adalah
Q Q Q Q Q Q
1 2 3 4 5
0 05 = = = = = = , .
Dengan demikian
P C Q Q Q ( )
1 1 2
2
= = P C Q Q Q Q ( )
3 1 4 5
3
= =
P C Q Q Q ( )
2 3 4
2
= = P C Q Q Q Q ( )
4 2 3 5
3
= =
P C C P C P C Q Q Q Q Q ( ) ( ) ( )
1 2 1 2 1 2 3 4
4
= = =
P C C P C P C Q Q Q Q Q ( ) ( ) ( )
1 3 1 3 1 2 4 5
4
= = =
P C C P C P C Q Q Q Q Q ( ) ( ) ( )
1 4 1 4 1 2 3 5
4
= = =
P C C P C P C Q Q Q Q Q ( ) ( ) ( )
2 3 2 3 1 3 4 5
4
= = =
P C C P C P C Q Q Q Q Q ( ) ( ) ( )
2 4 2 4 2 3 4 5
4
= = =
P C C P C P C Q Q Q Q Q Q ( ) ( ) ( )
3 4 3 4 1 2 3 4 5
5
= = =
81
Sehingga upper bound ketakandalan dari sistem adalah
00525 , 0 05 , 0 2 05 , 0 2 2 2
3 2 3 2
bound Upper
= + = + = Q Q Q
S
dan nilai keandalan dari sistem adalah = 1 - 0,00525 = 0,99475.
Nilai ketakandalan dari sistem dengan menggunakan pendekatan
upper bound adalah 0,59% lebih tinggi dari nilai ketakandalan sistem
yang sebenarnya yaitu 0,005219. Sedangkan keandalan sistemnya
adalah 0,003% lebih rendah dari nilai keandalan sistem yang
sebenarnya.
Lower bound ketakandalan dari sistem adalah
005218 , 0
05 , 0 05 , 0 5 05 , 0 2 05 , 0 2 5 2 2
5 4 3 2 5 4 3 2
bound Lower
=
+ = + = Q Q Q Q Q
S
dan nilai keandalan dari sistem itu adalah = 1 - 0,005218 =
0,994782.
Nilai ketakandalan dari sistem dengan menggunakan pendekatan
lower bound adalah 0,02% lebih rendah dari nilai ketakandalan
sistem yang sebenarnya yaitu 0,005219. Sedangkan keandalan
sistemnya adalah 0,0001% lebih tinggi dari nilai keandalan sistem
yang sebenarnya. q
Dari uraian di atas jelas terlihat bahwa tingkat kesalahan relatif hasil
perhitungan keandalan dan ketakandalan sistem dengan memakai
metode perhitungan masih dalam batas-batas yang wajar.
82
Contoh 3.13
Dengan menggunakan blok diagram keandalan pada gambar 3.18,
hitung ketakandalan dari sistem dengan menggunakan formula
(3.32) untuk upper bound ketakandalan sistem dan formula (3.33)
untuk lower bound ketakandalan sistem.
Solusi
Dari soal contoh soal nomor 2 diketahui R
1
= 0,80, R
2
= 0,85, R
3
=
0,90, R
4
= 0,95, dan R
5
= 0,97. Berikut ini adalah diagram blok
keandalan yang dipakai.
4
5 3
2
1
Minimal cut set dari blok diagram keandalan di atas adalah :
C
1
= {4,5} C
2
= {1,2,3}
C
3
= {1,2,5} C
4
= {2,3,4}
P(C
1
) = Q
4
Q
5
= 0,05 x 0,03 = 0,0015
P(C
2
) = Q
1
Q
2
Q
3
= 0,20 x 0,15 x 0,10 = 0,003
P(C
3
) = Q
1
Q
2
Q
5
= 0,20 x 0,15 x 0,03 = 0,0009
P(C
4
) = Q
2
Q
3
Q
4
= 0,15 x 0,10 x 0,05 = 0,00075
P(C
1
C
2
) = Q
1
Q
2
Q
3
Q
4
Q
5
= 0,20 x 0,15 x 0,10 x 0,05 x 0,03
= 4,5 x 10
-7
P(C
1
C
3
) = Q
1
Q
2
Q
4
Q
5
= 0,20 x 0,15 x 0,05 x 0,03 =4,5 x 10
-5
83
P(C
1
C
4
) = Q
2
Q
3
Q
4
Q
5
= 0,15 x 0,10 x 0,05 x 0,03 = 2,25 x 10
-7
P(C
2
C
3
) = Q
1
Q
2
Q
3
Q
5
= 0,20 x 0,15 x 0,10 x 0,03 = 9 x 10
-5
P(C
2
C
4
) = Q
1
Q
2
Q
3
Q
4
= 0,20 x 0,15 x 0,10 x 0,05 = 1,5 x 10
-4
P(C
3
C
4
) = Q
1
Q
2
Q
3
Q
4
Q
5
= 0,20 x 0,15 x 0,10 x 0,05 x 0,03
= 4,5 x 10
-7
Upper bound ketakandalan sistem adalah
Q
S
= P(C
1
) + P(C
2
) + P(C
3
) + P(C
4
) = 6,15 x 10
-3
Lower bound ketakandalan sistem adalah
Q
S
= P(C
1
) + P(C
2
) + P(C
3
) + P(C
4
) - P(C
1
C
2
) - P(C
1
C
3
)
P(C
1
C
4
) - P(C
2
C
3
) - P(C
2
C
4
) - P(C
3
C
4
) = 5,86 x 10
-3
o
3.11 Metode Tie set
Metode tie set adalah merupakan komplemen dari metode cut
set. Metode ini digunakan dengan frekuensi yang lebih sedikit, karena
secara praktis metode ini tidak secara langsung mengarah ke mode
kegagalan dari sistem. Metode ini mempunyai aplikasi yang khusus
dan sehingga metode ini tidak didiskusikan didiskusikan dengan rinci.
Tie set adalah jalur minimal dari sistem dan oleh karena itu tie
set merupakan sekumpulan komponen yang ada pada sistem yang
dihubungkan secara seri. Akibatnya, sebuah tie set dikatakan gagal
jika salah satu komponen didalamnya gagal dan probabilitas ini dapat
dihitung mengunakan prinsip dari sistem seri. Oleh karena itu agar
sistem mengalami kegagalan, seluruh tie set harus gagal dan oleh
karena itu seluruh tie set secara efektif akan dihubugkan secara
paralel. Dengan menggunakan konsep ini diagram tie set untuk
model gambar 3.16 ditunjukan dalam gambar 3.23.
84
1
2
2
5
5 3
1 4
4
3
T
1
T
2
T
4
T
3
Gambar 3.23
Tie set dari gambar 3.16
Yang perlu dicatat adalah, meskipun tie set dihubungkan secara
paralel, konsep sistem paralel tidak dapat digunakan karena
komponen sama dapat muncul dalam dua atau lebih tie set. Konsep
gabungan (union) akan berlaku seperti yang diaplikasikan pada
minimal cut set.
Dari konsep sebelumnya tie set dan gambar 3.16, reliabilitas
dari sistem ditunjukan dalam gambar 3.23 memiliki persamaan
( )
4 3 2 1
T T T T P R
s
= (3.34)
dimana T
i
adalah tie set ke i dan probabilitas dari kejadian P(T
i
).
Persamaan (3.34) dapat dikembangkan dalam cara yang sama
dengan persamaaan (3.29).
85
) (
) ( ) (
) ( ) ( ) (
) ( ) ( ) ( ) (
) ( ) ( ) ( ) ( ) (
4 3 2 1
4 3 2 4 3 1
4 2 1 3 2 1 4 3
4 2 3 2 4 1 3 1
2 1 4 3 2 1
T T T T P
T T T P T T T P
T T T P T T T P T T P
T T P T T P T T P T T P
T T P T P T P T P T P Rs

+ +
+ +

+ + + =
(3.35)
dimana
5 4 3 2 1 4 3 2 1
4 3 2
4 3 1
4 2 1 3 2 1
4 3 2 1 2 1 2 1
5 4 3 2 1 4 3 4 3
5 4 3 2 4 2 4 2
5 4 2 1 3 2 3 2
5 3 2 1 4 1 4 1
5 4 3 1 3 1 3 1
4 3 2 1 2 1 2 1
3 5 2 4
4 5 1 3
4 2 2
3 1 1
) (
) (
) (
) ( ) (
) ( ) ( ) (
) ( ) ( ) (
) ( ) ( ) (
) ( ) ( ) (
) ( ) ( ) (
) ( ) ( ) (
) ( ) ( ) (
) (
) (
) (
) (
R R R R R T T T T P
T T T P
T T T P
T T T P T T T P
R R R R T P T P T T P
R R R R R T P T P T T P
R R R R T P T P T T P
R R R R T P T P T T P
R R R R T P T P T T P
R R R R T P T P T T P
R R R R T P T P T T P
R R R T P
R R R T P
R R T P
R R T P
= =
=
=
=
= =
= =
= =
= =
= =
= =
= =
=
=
=
=
86
Persamaan (3.35) memberikan indeks keandalan dari sistem. Jika R
1
= R
2
=R
3
=R
4
=R
5
=R, persamaan (3.35) akan berubah menjadi
5 4 3 2
2 5 2 2 R R R R Rs + + =
Satu kekurangan dari tie set adalah persamaan (3.35) tidak
dapat dipakai untuk menurunkan persamaan pendekatan untuk
mengevaluasi indeks keandalan sistem. Hal ini disebabkan, karena
secara umum nilai dari R adalah sangat tinggi sehingga hasil
pendekatan yang dilakukan akan memiliki tingkat kesalahan yang
cukup besar.
87
3.12 Referensi dan Bibliografi
1. Billinton, R. and Ronald N. Allan [1992], Reliability Evaluation of
Engineering Systems: Concepts and Techniques, 2
nd
edition,
Plenum Press, New York and London
2. Henley, E.J. and Hiromitsu Kumamoto [1992], Probabilistic Risk
Assessment : reliability Engineering, Design, and Analysis, IEEE
Press, New York.
3. Hyland, Arnljot and Marvin Rausand [1994], System Reliability
Theory Models And Statistical Methods, John Willey & Sons, Inc.
4. Kececioglu, D. [1991], Reliability Engineering Handbooks Volume
2, Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey.
5. Ramakumar, R [1993]., Engineering Reliability : Fundamentals
and Applications, Prentice Hall, Inc. Englewood Cliffs, New Jersey
07632.
KEMBALI KE DAFTAR ISI MODUL 1
KEANDALAN DAN PERAWATAN
Metode PengkajianKeandalan
Bagian 1
Oleh
Ir. Dwi Priyanta, MSE
JURUSAN TEKNIK SISTEM PERKAPALAN
FAKULTAS TEKNOLOGI KELAUTAN
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMEBER
SURABAYA
Copyr i ght ada pada penul i s
MODUL
2
DAFTAR ISI MODUL 2
BAB 4 Pengantar Analisa Resiko
4.1 Pendahuluan
4.2 Studi Resiko Fase I : Pendefinisian Sistem dan Preliminary Hazard
Analysis
4.2.1 Preliminary Hazard Analysis (PHA)
4.3 Studi Resiko Fase II : Identifikasi Urutan Kecelakaan
4.4 Studi Resiko Fase III : Consequence Analysis
4.5 Referensi dan Bibliografi
BAB 5 Fault Tree Analysis (FTA) dan Failure Modes and
Effects Analysis (FMEA)
5.1 Pendahuluan
5.2 Kegagalan (Failure)
5.3 Fault Tree Analysis
5.3.1 Definisi Problem dan Kondisi Batas
5.3.2 Pengkonstruksian Fault Tree
5.3.3 Pengidentifikasian Minimal Cut Set
5.3.4 Evaluasi Kualitatif Fault Tree
5.3.5 Evaluasi Kuantitatif Fault Tree
5.4 Failure Modes and Effects Analysis (FMEA)
5.5 Referensi dan Bibliografi
KEMBALI KE MENU UTAMA
FOR INTERNAL USE ONLY
1
Pengantar Analisa Resiko
4.1 Pendahuluan
Terminologi dan pengertian keandalan (reliability), kese-
lamatan (safety), bahaya (hazard) dan resiko (risk) seringkali
tumpang tindih. Terminologi keselamatan atau analisa resiko (risk
analysis) memiliki makna yang sama sehingga kedua terminologi ini
dapat digunakan saling bertukaran satu dengan yang lain. Kedua
terminologi ini, seperti halnya analisa keandalan (reliability analysis)
merujuk pada studi pada proses kerja atau kegagalan peralatan serta
pengoperasiannya. Jika tujuan dari studi adalah untuk menentukan
parameter keselamatan (safety parameter), perlu kiranya untuk
mempertimbangkan kemungkinan kerusakan yang terjadi pada atau
yang disebabkan oleh sistem. Jika fase dari studi menyarankan
bahwa ada kemungkinan sistem mengalami kegagalan maka studi
resiko (risk study) akan dilakukkan untuk menentukan dampak
kegagalan dalam kerangka kemungkinan kerusakan terhadap properti
atau terhadap manusia.
2
Menyebabkan
Kecelakaan Tragis Pada
Berbagai Fasilitas
Demand untuk
Memperbaiki Tingkat
Keselamatan
Membutuhkan
ANALISA RESIKO
Peningkatan dalam
Human Reliability
Peningkatan
Reliability Fasilitas
Membutuhkan Membutuhkan
Rekomendasi Rekomendasi
Pengembangan Sistem
Informasi
Membutuhkan
Pemanfaatan Teknologi
Informasi
Model untuk Memprediksi
Keselamatan
Pengoperasian Fasilitas
Kritis secara AMAN
EFISIEN dan EKONOMIS
Menghasilkan
Untuk Menjamin
Gambar 4.1
Demand terhadap keselamatan
3
Sebuah contoh dari analisa keandalan adalah tentang analisa
seberapa sering sebuah reaktor kimia mengalami panas yang
berlebihan (overheat) karena pompa, heat exchanger, operator,
sistem kontrol, dan berbagai perlengkapan dan peralatan lain
mengalami malfungsi. Jika studi ini diperluas dengan melibatkan
kajian seberapa sering terjadinya penyimpangan temperatur yang
dapat menyebabkan terjadinya ledakan, maka kita akan melihat
masalah keselamatan atau bahaya. Untuk menyimpulkan studi
keselamatan yang dilakukan untuk permasalahan di atas, kita harus
melakukan verivikasi bahwa reaktor kimia tidak akan mengalami
panas yang berlebihan, tidak ada perlengkapan dan peralatan yang
mengalami kegagalan karena faktor-faktor diluar design envelope.
Jika analisa ledakan reaktor diperluas dengan melibatkan
sejumlah dampak dampak berikut frekuensi terjadinya dampak
dampak tersebut, maka anlisa resiko telah rampung. Karena Salah
satu tujuan dari analisa resiko adalah untuk menentukan probabilitas
seberapa sering resiko ini terjadi dan berbagai kemungkinan dampak
dari kegagalan sistem. Sebagai contoh, dampak dari ledakan yang
merupakan akibat dari penyimpangan temperatur reaktor mungkin
dapat berupa cedera ringan yang disebabkan oleh pecahan pecahan
bagian reaktor atau berupa bencana mayor karena terjadinya
kebakaran.
Dengan semakin banyaknya kecelakaan dan musibah yang
menimpa mulai dari meledaknya pesawat Challanger (1986),
kecelakaan pesawat penerbangan komersial, kecelakaan reaktor
nuklir (Three Mile Island 1979, Chernobyl 1986), kecelakaan pada
proses pengolahan (Bhopal 1984), serta berbagai kecelakaan lain
yang menimpa industri maritim beserta damapak dari kecelakaan dan
musibah tersebut terhadap lingkungan, telah mendorong berbagai
pihak untuk meningkatkan tingkat keselamatan serta mengurangi
resiko yang mungkin terjadi akibat terjadinya satu kecelakaan pada
berbagai fasilitas yang kritis. Gambar 4.1 menunjukkan diagram yang
melatar belakangi perlunya meningkatkan keselamatan berbagai
4
fasilitas yang kritis yang mungkin memberikan dampak yang sangat
buruk baik secara ekonomis, keselamatan maupun dampak
terhadapa lingkungan bila sampai terjadi kecelakaan pada fasilitas
kritis tersebut.
Pada seksi berikutnya akan dibahas berbagai metode metode
untuk analisa resiko secara garis besar. Bagi para pembaca yang
tertarik untuk mendalami analisa resiko lebih jauh, pembaca
disarankan untuk merujuk pada beberapa literatur yang dipakai pada
modul ini atau beberapa literatur lain.
4.2 Studi Resiko Fase I : Pendefinisian Sistem dan Preliminary
Hazard Analysis
Resiko timbul karena terlepasnya energi atau material beracun
lain yang tidak terkontrol. Pada umumnya bagian bagian tertentu
dari sebuah plant lebih berbahaya bila dibandingkan dengan bagian
lainnya, oleh karena itu, tahap awal dalam analisa adalah memecah
plant menjadi subsistem untuk menetukan seksi seksi atau
komponen komponen yang kemungkinan besar merupakan sumber
sumber pelepasan yang tidak terkontrol. Berikut ini dua langkah
pertama yang harus dilakukan:
Langkah 1 Identifikasi berbagai bahaya (Hazard)
yangtimbul.
( Apakah itu berupa sebuah kebicirangas beracun,
sebuah ledakan, kebakaran atau hal lainnya)
Langkah 2 Identifikasi bagian bagian dari sistem yang
dapat meningkatkan keadaan bahaya.
5
( Apakah itu melibatkan reaktor kimia, tangki
penyimpanan, power plat atau hal lainnya)
Dalam mengidentifikasi subsistem dari sebuah plant yang dapat
meningkatkan keadaan bahaya, adalah sangat berguna untuk
memakai daftar kata penunjuk (guide words) yang dapat
menstimulasi pikiran pikiran yang lebih kreatif. Beberapa kata
penunjuk yang dapat dipakai untuk mengetahui deviasi dari sebuah
proses dapat dilihat pada tabel 4.1.
Tabel 4.1
Kata penunjuk (guide words)
No. Kata Penunjuk No. Kata Penunjuk
1 Lebih dari (more of) 6 Baik maupun ..(As well as)
2 Kurang dari (Less of) 7 Terbalik (Reverse)
3 Tdak ada (None of) 8 Lebih lambat dari (Later than)
4 Bagian dari (Part of) 9 Lebih cepat dari (Sooner than)
5 Selain dari (Other than)
Satu satunya petunjuk dalam memahami bahaya dari sistem
adalah penilaian engineering dan pemahaman detail terhdap
lingkungannya, serta peralatan peralatan yang ada pada sistem.
Pengetahuan tentang toxic, peraturan keselamatan, kondisi eksplosif,
reaktivitas, corrosiveness, dan flamability merupakan hal yang
fundamental. Checklist, seperti yang dikembangkan oleh perusahaan
pesawat terbang Boeing seperti yang terlihat pada tabel 4.2,
merupakan alat dasar dalam mengidentifikasi bahaya.
6
Tabel 4.2
Contoh checklist berbagai sumber bahaya
HAZARDOUS ENERGY SOURCES
Fuels Pressure Containers Falling Objects
Propellants Spring-loaded Devices Catapulted Objects
Initiators Suspension Systems Heating Devices
Explosive charges Gas Generators Pumps, Blowers, Fans
Charged Electrical Capacitors Electrical Generators Rotating Machinery
Storage Batteries RF Energy Sources Actuating devices
Static Electrical Charges Radioactive Energy Sources Nuclear Devices
Langkah 3 Pembatasan Studi.
( Apakah akan dilakukan studi secara detail
terhadap resiko sabotase, perang, gempa, dan lain
- lain)
4.2.1 Preliminary Hazard Analysis ( PHA)
Seringkali, studi pada fase I akan melibatkan lebih dari sebuah
identifikasi awal dari elemen elemen sistem atau event event
yang yang mengarah pada suatu bahaya. Jika analisa diperluas
dengan cara formal (secara kualitatif) dengan mempertimbangkan
baik urut urutan event yang mengubah sebuah bahaya menjadi
sebuah kecelakaan maupun ukuran ukuran korektif lain serta
konsekuensi dari sebuah kecelakaan, maka studi ini dinamakan
preliminary hazard analysis (PHA).
Berbagai bahaya yang sudah diidentifikasi kemudian dikelom-
pokkan berdasarkan dampak dampak yang ditimbulkan. Skema
perangkingan yang umum dipakai dapat dilihat pada tabel 4.3.
7
Tabel 4.3
Pengelompokan bahay berdasarkan dampaknya
Class Effects
Class I Hazards Negligible Effects
Class II Hazards Marginal Effects
Class III Hazards Critical Effects
Class IV Hazards Catastrophic Effects
Langkah berikutnya adalah menentukan Kelompok untuk
pencegahan kecelakaan , jika ada Class IV Hazards, maka kelompok
bahaya ini harus dihilangkan demikian juga bila ada kemungkinan
dari Class III Hazards dan Class II Hazards. Keputusan yang akan
diambil ditunjukkan dalam bentuk decision tree seperti yang
ditunjukkan pada gambar 4.2. Sedangkan format yang dipakai Boein
untuk PHA ditunjukkan pada gambar 4.4.
Performs
Hazards Analysis
Hazards found
and identified
No hazards
found
Decide to correct
hazards
Decide to accept
hazards
Provide corrective
action
Provide contingency
action
Do both
Gambar 4.2
Decision tree intik hazards analysis
8
10A1
Hardware
10A2
Procedures
10A3
Personel
1. Hardwareor functional element beinganalyzed. will not produceequipment damageor personnel injury. Class II- Marginal -
2. Applicablesystemphasesor modesof operation condition(s) suchthat personnel error, deficiency/inadequancyof design, or
3. Elementsinthehardwareor functionbeinganalyzedthat areinherentlyhazardous malfunctionwill degradeperformance. Canbecounteractedor controlledwithout
4. Conditions, undesiredevents, or faultsthat couldcausethehazardouselement tobecome major damageor anyinjurytopersonnel. Class III - Critical -Condition(s) suchthat
theidentifiedhazardouscondition personnel error, deficiency/inadequancyof design, or malfunctionwill degrade
5. Hazardousconditionsthat couldresult fromtheinteractionof thesystemandeach performance, damageequipment or result inahazardrequiringimmediatecorrective
hazardouselement inthesystem actionfor personnel or equipment survival. Class IV- Catastrophic -condition(s)
6. Undesiredeventsor faultsthat couldcausethehazardousconditiontobecomethe suchthat personnel error, deficiency/inadequancyof design, or malfunctionwill
identifiedpotential accident severelydegradeperformanceandcausesubsequent equipment lossand/ or death
7. Anypotential accidentsthat couldresult fromtheidentifiedhazardousconditions or multipleinjuriestopersonnel.
8. Possibleeffectsof thepotential accident, shouldit occur. 10. Recommendedpreventivemeasurestoeliminateor control identifiedhazardous
9. Qualitativemeasureof significancefor thepotential effect oneachidentifiedhazardous, conditionsand/or potential accidents. Preventivemeasurestoberecommended
accordingtothefollowingcriteria: Class I- Safe- condition(s) suchthat personnel error, shouldbehardwaredesignrequirements, incorporationof safetydevices,
deficiency/inadequancyof design, or malfunctionwill not result inmajor degradationand hardwaredesignchanges, special procedures, personnel requirements.
11. Recordvalidatedpreventivemeasuresandkeepawareof thestatusof the
remainingrecommendedpreventivemeasures. Completebyanswering
(1) hastherecommendedsolutionbeenincorporated?
(2) isthesolutioneffective?
1. Subsystem
or function
10. Accident preventionmeasure
11. Validation
BoeingCompanyFormat
5. Hazardous
condition
4. Event causing
hazardouselement
3. Hazardous
element
2. Mode
9. Hazard
Class
8. Effect
7. Potential
accident
6. Evant causing
hazardous
condidtion
Gambar 4.3
Format PHA yang disarankan : Format milik Boeing Company
4.3 Studi Resiko Fase II : Identifikasi Urutan Kecelakaan
Fase II dari studi biasanya dimulai setelah pemilihan hardware
dan setelah konfigurasi sistem dibuat. Teknik analitik yang umum
dipakai adalah event tree , fault tree analysis(FTA), failure modes and
effects analysis (FMEA) dan criticality analysis. FTA dan FMEA akan
dibahas lebih detail pada seksi 5.3 dan 5.4.
Sebagai contoh, akan diulas studi keselamatan sebuah sistem
yang memiliki susunan seri dimana sistem ini terdiri dari sebua
9
pompa dan sebuah katup yang masing masing memiliki probabilitas
sukses dalam menjalankan fungsinya masing masing 0,98 dan
0,95. Gambar dari sistem ini ditunjukkan pada gambar 4.4. Analisa
event tree untuk sistem ini ditunjukkan oleh gambar 4.5.
Start
Sukses
Gambar 4.4
Diagram pompa - katup
Pump Valve
RP=0,98
QP = 0,02
RV = 0,95
QV = 0,02
System
failure
System
success
P(success) =
0,931
P(fail) = 0,98x0,05 +
0,02 = 0,069
Gambar 4.5
Diagram event tree untuk sistem pompa - katup
10
4.4 Studi Resiko Fase III : Consequence Analysis
Consequence analysis merupakan tahap akhir dari studi / analisa
resiko. Salah satu metode yang dipakai adalah cause and
consequence analysis (CCA). Teknologi CCA CCA merupakan sebuah
perkawinan fault tree (untuk menunjukkan penyebab) dan event tree
(untuk menunjukkan akibat / consequence).
Prosedur untuk pengkonstruksian diagram CCA berawal dari
pemilihan sebuah inital event, yang kemudian event ini
dikembangkan lebih jauh dengan menjawab beberapa pertanyaan
berikut ini.
Pada kondisi bagaimana event event ini mengarah ke event
event lain yang lebih jauh ?
Apa kondisi alternatif plant yang dapat mengarah ke event
event yang berbeda ?
Komponen komponen lain apa yang mempengaruhi event
ini ? apakah event ini mempengaruhi lebih dari satu
komponen ?
Event lain apa yang menyebabkan event ini ?
Gambar 4.6 menunjukkan tipikal dari sebuah diagram cause and
consequence analysis.
11
Gambar 4.6
Contoh tipikal dari cause and consequence analysis
12
4.5 Referensi dan Bibliografi
1. Henley, E.J. and Hiromitsu Kumamoto [1992], Probabilistic Risk
Assessment : reliability Engineering, Design, and Analysis, IEEE
Press, New York.
2. Ruxton, T. [1997], Formal Safety Assessment, Transaction
IMarE, Part 4.
KEMBALI KE DAFTAR ISI MODUL 2
13
Fault Tree Analysis (FTA)
dan Failure Modes and
Effects Analysis (FMEA)
5.1 Pendahuluan
Dalam situasi tertentu data untuk menganalisa keandalan
secara kuantitatif tidak cukup atau mungkin tidak ada. Alternatifnya,
kita masih bisa melakukan penilaian keandalan berdasarkan data
yang ada secara kualitatif dan berdasarkan pengalaman. Dengan
analisa kualitatif ini tidak berarti kesimpulan yang dihasilkan akan
tidak berharga. Jika analisa yang dilakukan berdasarkan analisa yang
terstruktur, dapat ditelusuri sehingga dasar dari penilaian dengan
menggunakan analisa yang terstruktur, dapat ditelusuri sehingga
dasar dari penilaian secara kualitatif dapat pula dipakai. Bahkan, jika
data yang tersedia cukup untuk melakukan penilaian secara kualitatif.
Analisa kualitatif yang sering dipakai untuk mengevaluasi keandalan
dari suatu sistem adalah analisa kegagalan.
Suatu sistem secara normal akan terdiri dari sejumlah blok-blok
fungsional yang terkait sedemikian rupa sehingga sistem tersebut
dapat menjalankan fungsinya. Terminologi blok fungsional dapat
14
berupa sebuah komponen sampai sebuah subsistem tergantung dari
jenis sistem dan kondisi batas yang dipakai dalam menganalisa suatu
kasus. Hubungan struktural antara sistem dengan komponen
mungkin bisa dilukiskan dengan berbagai cara. Semua pendekatan
yang dipakai untuk melakukan pendekatan untuk mengevalusi
kegagalan dari suatu sistem adalah untuk mengilustrasikan
bagaimana suatu sistem tertentu akan mengalami atau tidak akan
mengalami kegagalan.
Ada berbagai teknik untuk mengevaluasi dan mengkaji
kegagalan sistem, baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif.
Pendekatan dan metodologi terbaik untuk mengecaluasi kegagalan
sistem tergantung dari beberapa faktor antara lain :
Tujuan dari studi yang akan dilakukan.
Karakteristik sistem dan tata letak sistem
Mode mode kegagalan (failure modes) yang relevan
Prosedur pengoperasian dan perawatan sistem
Berikut ini akan diulas dua metode yang banyak digunakan
untuk menganalisa kegagalan sistem. Kedua metode itu adalah Fault
Tree Analysis (FTA) dan Failure Modes and Effects Analysis (FMEA).
FMEA dapat dikategorikan sebagai metode anlisa kualitatif,
sedangkan FTA selain dapat digunakan untuk keperluan analisa
kegagalan kualitatif juga dapat digunakan untuk analisa kegagalan
secara kuantitatif.
5.2 Kegagalan (Failure)
Kegagalan dapat didefinisikan sebagai terhentinya kemampuan
suatu item dapat berupa komponen sampai berupa satu sistem
15
yang kompleks untuk menjalankan fungsinya. Kegagalan dari suatu
komponen dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu :
Kegagalan primer (primary failure)
Kegagalan sekunder (secondary failure)
Kesalahan perintah (command faults)
Kegagalan primer dapat didefinisikan sebagai suatu komponen
berada dalam keadaan rusak (non-working state) dimana komponen
tersebut memang diperhitungkan akan mengalami kegagalan,
sehingga perlu diadakan aksi perbaikan agar komponen tersebut
dapat kembali berada pada keadaan siap bekerja (working state).
Kegagalan primer pada komponen akan terjadi pada design envelope
dari komponen, dan penyebab dari kegagalan ini adalah umur dari
komponen. Sebagai contoh kerusakan pada tangki karena kelelahan
material merupakan contoh dari kegagalan primer.
Kegagalan sekunder dapat dikatakan sama dengan kegagalan
primer kecuali kegagalan komponen terjadi diluar perhitungan. Stres
yang berlebihan yang diterima komponen baik pada masa lalu
maupun pada saat sekarang merupakan penyebab kegagalan
sekunder. Stres ini melibatkan amplitudo dari kondisi yang tidak
dapat ditolrir, frekuensi, durasi, atau polaritas, dan input sumber
sumber energi termal, mekanikal elektrikal, kimia, magnetik, atau
radioaktif. Stres ini disebabkan oleh komponen komponen yang ada
disekitar atau lingkungan disekitar komponen yang mengalami
kegagalan, yang melibatkan kondisi meteorologi atau geologi, dan
sistem engineering yang lain. Personel, seperti operator dan
inspektor juga mungkin menybabkan terjadinya kegagalan sekunder,
jika mereka merusakkan komponen. Perlu dicatat bahwa stres yang
berlebihan pada komponen tidak akan menjamin komponen akan
kembali pada working-state seperti semula, karena stres yang
dialami komponen akan meninggalkan kerusakan (memori) pada
komponen yang direparasi.
16
Kesalahan perintah didefinisikan sebagai komponen berada
dalam keadaan rusak (non-working state ) karena kesalahan sinyal
pengontrol atau noise , seringkali aksi perbaikan tidak diperlukan
untuk mengembalikan komponen pada keadaan semula.
COMPONENT
FAILURE
(1) Primary
Failure
(2)
Secondary
Failure
(3)Command
Fault
E
x
c
e
s
s
i
v
e
S
t
r
e
s
s
e
s
C
o
m
p
o
n
e
n
t

W
i
t
h
i
n
D
e
s
i
g
n

e
n
v
e
l
o
p
e
Inadvertent Control
Signals and Noise
(3-1) Neighboring
Components
(3-2)
Environment
(3-3) Plant
Personnel
(1-1)
Natural
Aging
(2-1) Neighboring
Components
(
2
-
2
)
E
n
v
i
r
o
n
m
e
n
t
(
2
-
3
)

P
l
a
n
t
P
e
r
s
o
n
n
e
l
Gambar 5.1
Karakteristik kegagalan komponen
17
Gambar 5.1 menunjukkan karakteristik kegagalan dari sebuah
komponen. Lingkaran pertama yang mengelilingi lingkaran yang
bertuliskan component failure menunjukkan bahwa kegagalan
komponen diebabkan oleh (1) primary failure, (2) secondary failure
atau (3) command faults. Berbagai penyebab yang mungkin dari
ketiga kategori kegagalan ini ditunjukkan oleh lingkaran terluar.
5.3 Fault Tree Analysis
Teknik untuk mengidentifikasikan kegagalan (failure) dari suatu
sistem dengan memakai FT (fault tree) diperkenalkan pertama kali
pada tahun 1962 oleh Bell Telephone Laboratories dalam kaitannya
dengan studi tentang evaluasi keselamatan sistem peluncuran
minuteman misile antar benua. Boeing company memperbaiki teknik
yang dipakai oleh Bell Telephone Laboratories dan memperkenalkan
progam komputer untuk melakukan analisa dengan memanfaatkan
FT baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif.
FTA (Fault Tree Analysis) berorientasi pada fungsi (function-
oriented) atau yang lebih dikenal dengan top down approach
karena analisa ini berawal dari system level (top) dan meneruskan
nya kebawah. Titik awal dari analisa ini adalah pengidentifikasikan
mode kegagalan fungsional pada top level dari suatu sistem atau
subsistem.
FTA adalah teknik yang banyak dipakai untuk studi yang
berkaitan dengan resiko dan keandalan dari suatu sistem
engineering. Event potensial yang menyebabkan kegagalan dari
suatu sistem engineering dan probabilitas terjadinya event tersebut
dapat ditentukan dengan FTA. Sebuah TOP event yang merupakan
definisi dari kegagalan suatu sistem (system failure), harus
ditentukan terlebih dahulu dalam mengkonstrusikan FTA. Sistem
kemudian dianalisa untuk menemukan semua kemungkinan yang
18
didefinesikan pada TOP event. FT adalah sebuah model grafis yang
terdiri dari beberapa kombinasi kesalahan (fault) secara pararel dan
secara berurutan yang mungkin menyebabkan awal dari failure event
yang sudah ditetapkan.
Setelah mengidentifikasi TOP event, event-event yang memberi
kontribusi secara langsung terjadinya top event diidentifikasi dan
dihubungkan ke TOP event dengan memakai hubungan logika (logical
link). Gerbang AND (AND gate) dan sampai dicapai event dasar yang
idependent dan seragam (mutually independent basic event). Analisa
deduktif ini menunjukan analisa kualitatif dan kuantitatif dari sistem
engineering yang dianalisa.
Sebuah fault tree mengilustrasikan keadaan dari komponen-
komponen sistem (basic event ) dan hubungan antara basic event
dan TOP event. Simbol grafis yang dipakai untuk menyatakan
hubungan disebut gerbang logika (logika gate). Output dari sebuah
gerbang logika ditentukan oleh event yang masuk kegerbang
tersebut. Sebuah FTA secara umum dilakukan dalam 5 tahapan, yaitu
Mendefinisikan problem dan kondisi batas (boundary
condition) dari sistem
Pengkontruksian fault tree
Mengidentifikasi minimal cut set atau minimal path set
Analisa kualitatif dari fault tree
Analisa kuantitatif fault tree
5.3.1 Definisi Problem dan Kondisi Batas
Aktivitas pertama dari fault tree analysis terdiri dari dua step,
yaitu :
Mendefinisikan critical event yang akan dianalisa
Mendefinisikan boundary condition untuk analisa
19
Critical event yang akan dianalisa secara normal disebut dengan TOP
event. Penting kiranya untuk bahwa TOP event harus didefinisikan
secara jelas dan tidak kabur (unambiguous). Diskripsi dari TOP event
seharusnya selalu memberikan jawban terhadap pertanyaan apa
(what), dimana (where), dan kapan (when).
What
Mendiskripsikan tipe dari critical event yang sedang terjadi, sebagai
contoh kebakaran (fire).
Where
Mendiskripsikan dimana critical event terjadi, sebagai contoh critical
event terjadi di process oxidation reactor.
When
Mendiskripsikan dimana critical event terjadi, sebagai contoh critical
event terjadi pada saat pengoperasian normal.
Sebagai contoh TOP event yang melibatkan ketiga kriteria di
atas adalah : Kebakaran yang terjadi di process oxidation reactor
pada saat pengoperasian normal.
Agar analisis dapat dilakukan secara konsisten, adalah hal yang
penting bahwa kondisi batas bagi analisa didefinisikan secara hati
hati. Dari kondisi batas, kita akan memilliki beberpa pemahaman
sebagai berikut :
Batas fisik sistem.
Bagian mana dari sistem yang akan dimasukkan dalam
analisa dan bagian mana yang tidak ?
Kondisi awal.
Kondisi pengoperasian sistem yang bagaimana pada saat
TOP event terjadi ? Apakah sistem bekerja pada kapasitas
yang penuh / sebagaian ?
Kondisi batas yang berhubungan dengnan stres eksternal.
20
Apa tipe stres eksternal yang seharusnya disertakan dalam
analisa?
Level dari resolusi.
Seberapa detail kita akan mengidentifikasi berbagai alasan
potential yang menyebabkan kegagalan ?
System Failure or
Accident (TOP EVENT)
The fault tree consists of
sequences of events that lead to
the system failure or accident
The sequences of events are
built by AND, OR, or other logic
gate
The events above the gates and all
events that have a more basic cause
are denoted by rectangles with
the event described in the rectangle
The sequence finally lead to a basic
cause for which there is failure rate
data available. The basic causes are
denoted by circles and represent
the limit of resolution of the fault tree
Gambar 5.2
Struktur fundamental fault tree
21
5.3.2 Pengkonstruksian Fault Tree
Pengkonstruksian fault tree selalu bermula dari TOP event. Oleh
karena itu, berbagai fault event yang secara langsung, penting, dan
berbagai penyebab terjadinya TOP event harus secara teliti
diidentifikasi. Berbagai penyebab ini dikoneksikan ke TOP event oleh
sebuah gerbang logika. Penting kiranya bahwa penyebab level
pertama dibawah TOP event harus disusun secara terstruktur. Level
pertama ini sering disebut dengan TOP structure dari sebuah fault
tree. TOP structure ini sering diambil dari kegagalan modul modul
utama sistem, atau fungsi utama dari sistem. Analisa dilanjutkan
level demi level samapai semua fault event telah dikembangkan
sampai pada resolusi yang ditentukan. Analisa ini merupakan analisa
deduktif dan dilakukan dengan mengulang pertanyaan Apa alasan
terjadinya event ini ?. Gambar 5.2 menunjukkan struktur
fundamental dari sebuah fault tree, sedangkan tabel 5.1
menunjukkan berbagai simbol yang dipakai untuk mengkostruksi
sebuah fault tree.
Ada beberapa aturan yang harus dipenuhi dalam
mengkonstruksi sebuah fault tree. Berikut ini beberapa aturan yang
dipakai untuk mengkonstruksi sebuah fault tree.
1. Diskripsikan fault event.
Masing masing basic event harus didefiniskan secara teliti (apa,
dimana, kapan) dalam sebuah kotak.
2 Evaluasi fault event.
Seperti yang telah diuraikan pada seksi 5.2, kegagalan komponen
dikelompokkan dalam tiga kelompok yaitu, primary failures,
secondary failures, dan command faults.
22
Tabel 5.1
Simbol fault tree
NAMA SIMBOL DISKRIPSI
OR Gate
A
E1 E2
OR-Gate menunjukkan output
dari event A terjadi jika
sembarang input event Ei terjadi.
Logic gates
AND Gate
A
E1 E2
AND Gate menunjukkan output
dari event A akan terjadi jika
semua input event Ei terjadi
secara serentak.
Basic event Basic event menyatakan
kegagalan sebuah basic
equipment yang tidak
memerlukan penelitian lebih
lanjut dari penyebab kegagalan
I nput events Undeveloped event Undeveloped event menyatakan
sebuah event yang tidak diteliti
lebih lanjut karena tidak
tersedianya/cukupnya informasi
atau karena konsekuensi dari
event ini tidak terlalu penting
Description
of state
Comment rectangle
Comment rectangle
dimanfaatkan untuk informasi
tambahan
Transfer
symbols
Transfer -
out
Transfer -
in
Simbol transfer-out menun-
jukkan bahwa fault tree
dikembangkan lebih jauh dan
berkaitan dengan simbol transfer-
in
23
Sebuah normal basic event di dalam sebuah fault tree
merupakan sebuah primary failures yang menunjukkan bahwa
komponen merupakan penyebab dari dari kegagalan. Secondary
failures dan command faults merupakan intermediate event yang
membutuhkan investigasi lebih mendalam untuk mengi-dentifikasi
alasan utama.
Pada saat mengevaluasi sebuah fault event, seorang analis
akan bertanya, Dapatkah fault ini dikategorikan dalam primary
failure ? Jika jawabannya adalah YA, maka analis tersebut dapat
mengkalsifikasikan fault event sebagai normal basic event. Jika
jawabannya adalah TIDAK, maka analis tersebut dapat
mengkalsifikasikan fault event sebagai intermediate event, yang
harus didevelop lebih jauh, atau sebagai secondary basic event.
Secondary basic event sering disebut dengan undeveloped event
dan menunjukkan sebuah fault event yang tidak dikaji lebih jauh
karena informasinya tidak tersedia atau karena dampak yang
ditimbulkan tidak signifikan.
3. Lengkapi semua gerbang logika.
Semua input ke gate tertentu harus didefiniskan dengan
lengkap dan didiskripsikan sebelum memproses gate lainnya. Fault
tree harus diselesaikan pada masing masing level sebelum
memulai level berikutnya.
Contoh 5.1
Gambar 5.3 menunjukkan sebuah coolant supply system yang terdiri
dari sebuah constant speed pump, heat exchnager, control valve,
resservoir, perpipaan. Fungsi utama dari sistem ini adalah untuk
memberikan suplai pendingainan yang cukup terhadap peralatan
utama. Konstruksi sebuah fault tree untuk sistem ini dengan TOP
event hilangnya aliran (coolant) minimum ke heat exchanger.
24
PRIMARY
EQUIPMENT
RESERVOIR
HEAT
EXCHANGER
Primary
coolant line
Control Valve
Constant
speed
pump
Bypass
line
Gambar 5.3
Coolant supply system
Solusi
Hilangnya aliran (coolant) minimum mungkin terjadi karena
pecahnya primary coolant line atau hilangnya aliaran dari coolant
valve, sehingga event event ini dikaitkan dengan OR Gate.
Pecahnya / bocornya pipa merupakan primary failure, oleh karena itu
event ini tidak dikembangkan lebih jauh. Tiga event yang lain yang
secara langsung dapat menyebabkan hilangnya aliran dari control
valve juga dihubungkan dengan OR gate. Diagarm FTA dari coolant
supplay system dapat dilihat pada gambar 5.4.
25
Loss of minimum flow to
heat exchanger
Rupture of primary
coolant line
No axial flow from
control valve
Rupture (loss of
containment) of
control valve
Flow blockage within
control valve
No flow into control
valve inlet
Foreign objects in
cooling fluid collect in
valve body
Pieces of failed
pump enter valve
Pump fails with
internal break up
Control valve closed
beyond minimum
flow position
Valve closed to full
position when valve stop
fails
Rupture (loss of
containment) of
control valve
No flow into control
valve inlet
Rupture of inlet line
Primary pump failure
Loss of pump inlet
supply
Pump prime mover
failure
Gambar 5.4
FTA dari coolant supply system
5.3.3 Pengidentifikasian Minimal Cut Set
Sebuah fault tree memberikan informasi yang berharga tentang
berbagai kombinasi dari fault event yang mengarah pada critical
failure sistem. Kombinasi dari berbagai fault event disebut dengan cut
set. Pada terminologi fault tree, sebuah cut set didefiniskan sebagai
basic event yang bila terjadi (secara simultan) akan mengakibatkan
terjadinya TOP event. Sebuah cut set dikatakan sebagai minimal cut
set jika cut set tersebut tidak dapat direduksi tanpa menghilangkan
statusnya sebagai cut set.
26
Jumlah basic event yang berbeda di dalam sebuah minimal cut
set disebut dengan orde cut set. Untuk fault tree yang sederhana
adalah mungkin untuk mendapatkan minimal cut set dengan tanpa
menggunakan prosedur formal / algoritma. Untuk fault tree yang
lebih besar, maka diperlukan sebuah algoritma untuk mendapatkan
minimal cut set pada fault tree. MOCUS (method for obtaining cut
sets) merupakan sebuah algoritma yang dapat dipakai untuk
mendapatkan minimal cut set dalam sebuah fault tree. Algoritma ini
akan dijelaskan dengan menggunakan contoh.
TOP Event
G
1
1
G
2
TOP Event
G
3
2
3 4 5 6
G
6
7 8
G
4
G
4
Gambar 5.5
Fault tree contoh soal 5.2
Contoh 5.2
Gambar 5.5 menunjukkan sebuah Fault Tree. Dengan menggunakan
algoritma MOCUS, tentukan minimal cut set dari fault tree tersebut.
27
Solusi
Tabel 5.2
Algoritma MOCUS untuk contoh soal 5.2
STEP
1 2 3
1 1 1
2 2
G2
G4 3,4
G5 5,6
G3 G6 7
8
Tabel 5.2 menunjukkan algoritma MOCUS untuk mendapatkan
minimal cut set dari fault tree pada gambar 5.5. Berikut ini
penjelasan dari algoritma di atas.
Step 1
List semua basic event yang menjadi input dari G1. Karena G1
merupakan OR gate maka semua input disusun secara vertikal.
Step 2
Event 1 merupakan basic event, sehingga event ini tidak
dikembangkan, sedangkan G2 dan G4 masing masing merupakan
OR Gate, sehingga kita harus me-list semua input yang memasuki
gate ini. Gate 2 merupakan OR gate, sehingga semua event yang
memasuki gate ini yaitu event 2 dan G4 - di-list secara vertikal.
Demikian juga dengan gate 3 yang merupakan OR gate, maka semua
event yang memasuki gate yaitu G5 dan G6 - ini juga di-list secara
vertikal.
28
Step 3
Gate 4 merupakan AND gate, sehingga semua event yang memasuki
gate ini basic event 3 dan basic event 4 - harus ditulis secara
horisontal. Gate 5 juga merupakan AND gate, sehingga merupakan
AND gate, sehingga semua event yang memasuki gate ini harus
ditulis secara horisontal. horisontal. Gate 6 merupakan OR gate,
sehingga semua event yang memasuki gate ini basic event 7 dan
basic event 8 - harus ditulis secara vertikal.
Semua event yang diperoleh dengan algoritma MOCUS pada
step 3 semuanya merupakan basic event, sehingga kita mendapatkan
cut set dari fault tree ini adalah {1}, {2}, {3,4},{5,6}, {7}, dan {8}
yang semuanya merupakan minimal cut set.
5.3.4 Evaluasi Kualitatif Fault Tree
Evaluasi kualitatif dari sebuah fault tree dapat dilakukan
berdasarkan minimal cut set. Kekritisan dari sebuah cut set jelas
tergantung pad jumlah basic event di dalam cut set (orde dari
cutset). Sebuah cut set dengan orde satu umumnya lebih kritis
daripada sebuah cut set dengan orde dua atau lebih. Jika sebuah
fault tree memiliki cut set dengan orde satu, maka TOP event akan
terjadi sesaat setelah basic event yang bersangkutan terjadi. Jika
sebuah cut set memiliki dua basic event, kedua event ini harus
terjadi secara serentak agar TOP event dapat terjadi.
Faktor lain yang penting adalah jenis basic event dari sebuah
minimal cut set. Kekritisan dari berbagai cut set dapat dirangking
berdasarkan dari basic event berikut ini :
Human error
Kegagalan komponen / peralatan yang aktif (active
equipment failure)
29
Kegagalan komponen / peralatan yang pasif (passive
equipment failure)
Peringkat ini disusun berdasarkan asumsi bahwa human error lebih
sering terjadi dari pada komponen / peralatan yang aktif dan
komponen / peralatan yang aktif lebih rentan terhadapa kegagalan
bila dibandingkan komponen / peralatan yang pasif.
5.3.5 Evaluasi Kuantitaif Fault Tree
Secara umum ada dua buah metode untuk mengevaluasi
sebuah fault tree secara kuantitatif. Kedua metode ini adalah metode
dengan menggunakan pendekatan aljabar boolean (boolean algebra
approach) serta metode perhitung langsung (direct numerical
approach).
Boolean algebra approach
Tabel 5.3 menunjukkan hukum hukum aljabar boolean yang
dipakai untuk melakukan evaluasi fault tree secara kuantitatif.
Pendekatan aljabar boolean berawal dari TOP event dan
mendiskripsikannya secara logis dalam basic event, incomplete event
dan intermediate event. Semua intermediate event akan digantikan
oleh event event pada hirarki yang lebih rendah. Hal ini terus
dilakukan sampai pernyataan logika yang menyatakan TOP event
semuanya dalam bentuk basic event dan incomplete event. Contoh
5.3 akan mengilustrasikan pemakain metode ini dalam mengevaluasi
sebuah fault tree.
30
Tabel 5.3
Hukum hukum aljabar boolean
Jenis Formula Jenis Formula
AA = A A(B+C)=AB + AC
A + A = A
Hukum
distributif A+BC = (A+B)(A+C)
A(A+B) = A 0A = 0
AA = 0
1A = A
Hukum
dasar
A +A = 1
0 + A = A
AB = BA
Hukum
yang
melibatkan
1 dan 0
1 + A = 1 Hukum
komutatif A + B = B + A
A(BC) = (AB)C
B A AB + =
Hukum
Asosiatif A+(B+C)=(A+B)+C
Hukum De
Morgan
B A B A = +
T
G
1
G
2
E1
E3
E2
Gambar 5.6
Fault tree untuk contoh soal 5.3
31
Contoh 5.3
Gambar 5.6 menunjukkan sebuah fault tree. TOP event dari fault tree
ini menyatakan hilangya suplai daya listrik. TOP event ini memiliki
dua input event yaitu Intermediate event (I) dan incomplete event
yang mewakili hilangnya power dc (E3). Intermediate event (I)
memiliki dua incomplete evemt E1 dan E2 yang masing masing
mewakili hilangnya offsite power dan hilangnya onsite power. Data
keandalan yang tersedia untuk E1, E2, dan E3 masing masing
adalah 0,933 ; 0,925 ; dan 0,995. Dengan menggunakan pendekatan
alajabar boolean dapatkan probabilitas terjadinya kegagalan TOP
event.
Solusi
Ekspresi alajabar boolean untuk level pertama adalah
T = I + E3
Intermediate evant dapat diganti dengan
I = E1.E2
Oleh karena itu
T = E1.E2
Persamaan di atas merupakan ekspresi akhir aljabar boolean dari
fault tree yang sedang dianalisa. Probabilitas terjadinya TOP event T
dapat dievaluasi dengan menggunakan aljabar boolean.
P(T) = P(E1.E2 + E3)
32
= [P(E1)P(E2)] + P(E3) [ P(E1)P(E2)P(E3) ]
dimana
P(E1) = 1 0,933 = 0,067
P(E2) = 1 0,925 = 0,075
P(E3) = 1 0,995 = 0,005
Sehingga
P(T) = 0,01 q
Direct numerical approach
Kerugian dari boolean algebra approach adalah ekspresi yang
kompleks jika sistem yang besar dan fault tree yang berhubungan
dengan sistem tersebut akan dikaji. Pendekatan alternatif untuk
menghitung nilai numerik probabilitas dapat dilakukan dengan
menggunakan direct numerical approach. Berbeda dengan boolean
algebra approach yang memiliki sifat top-down approach maka
pendekatan numerik ini bersifat bottom-up approach. Pendekatan
numerik ini berawal dari level hirarki yang paling rendah dan
mengkombinasikan semua probabilitas dari event yang ada pada
level ini dengnan menggunakan logic gate yang tepat dimana event
event ini dikaitkan. Kombinasi probabilitas ini akan memberikan nilai
probabilitas dari intermediate event pada level hirarki diatasnya.
Proses ini berlangsung terus ke atas sampai TOP event dicapai.
Contoh 5.4
Tinjau kembali contoh soal 5.3. dengan menggunakan pendekatan
numerik hitung probabilitas terjadinya TOP event.
33
Solusi
P(I) = P(E1)P(E2)
= (1-0,933)(1-0,925) = 0,005025
P(T) = P(I U E3) = P(I) + P(E3) - P(I)P(E3)
=o,005025 + (1 0,995) 0,005025 (1 0,995)
= 0,01 q
Untuk fault tree yang cukup kompleks, selain menggunakan
dua metode evaluasi yang sudah didiskusikan di atas, evaluasi
kuantitatif dari dapat juga dievaluasi dengan menggunakan formula
pendekatan seperti yang sudah didiskusikan pada seksi 3.10. data
yang diperlukan adalah minimal cut set dari fault tree.
Jika C
i
menyatakan minimal cut set ke-i dari suatu fult tree, dan
jika P(C
i
) mewakili probabilitas untuk event C
i
maka dengan
menggunakan aljabar boolean unreliability dari sistem secara umum
dapat diekspresikan sebagai
( )

= =

=
+ + +
= =
n
i
i
j
j
k
n
n
k j i
n
i
n
i
i
j
j i i n i S
C C C P C C C P
C C P C P C C C C P Q
3
1
2
1
1
2 1
1
1 2
1
1
2 1
) ... ( ) 1 ( ... ) (
) ( ) ( ... ...
(5.1)
Henley dan Kumamoto [1992] memberikan suatu metode
evaluasi secara aproksimasi untuk sistem yang memiliki konstruksi
fault tree yang sangat kompleks dengan menyederhanaan persamaan
(5.1). Aproksimasi ketakandalan dari sistem dapat diperoleh dengan
menghitung upperbound dan lowerbound dari unreliability sistem
dengan formula sebagai berikut.
34

=
=
n
i
i S
C P Q
1
bound Upper
) ( (5.2)
Sedang formula untuk lower bound dari unreliability sistem adalah

= =

=
=
n
i
n
i
i
j
j i i S
C C P C P Q
1 2
1
1
) ( ) ( (5.3)
Tabel 5.4
Hubungan antara blok diagram reliability dengan fault tree
Blok Diagram Reliability Fault Tree
1 3 2
TOP
1 3 2
1
3
2
TOP
1 3 2
35
Sebuah fault tree dapat diterjemahkan ke dalam blok diagram
keandalan dengan menerjemahkan basic event ke dalam sebuah blok
dan menerjemahkan gerbang logika ke dalam susunan tertentu -
seri, paralel atau susunan lainnya - yang menghubungkan berbagai
blok. Hubungan antara fault tree dan blok diagram reliability untuk
konfigurasi yang sederhana diperlihatkan pada tabel 5.4.
5.4 Failure Modes and Effects Analysis (FMEA)
Failure modes and effects analysis (FMEA) merupakan salah
satu teknik yang sistematis untuk menganalisa kegagalan. Teknik ini
dikembangkan pertama kali sekitar tahun 1950-an oleh para
reliability engineers yang sedang mempelajari masalah yang
ditimbulkan oleh peralatan militer yang mengalami malfungsi.
Teknik analisa ini lebih menekankan pada hardware-oriented
approach atau bottom-up approach. Dikatakan demikian karena
analisa yang dilakukan dimulai dari peralatan dan meneruskannya ke
sistem yang merupakan tingkat yang lebih tinggi. Proses ini mencoba
menjawab pertanyaan Apa dampak yang akan terjadi jika terjadi
kegagalan pada .?.
FMEA sering menjadi langkah awal dalam mempelajari
keandalan sistem. Kegiatan FMEA melibatkan banyak hal - seperti
me-review berbagai komponen, rakitan, dan subsistem - untuk
mengidentifikasi mode mode kegagalannya, penyebab
kegagalannya, serta dampak kegagalan yang ditimbulkan. Untuk
masing masing komponen, berbagai mode kegagalan berikut
dampaknya pada sistem ditulis pada sebuah FMEA worksheet. Ada
berbagai bentuk dari worksheet untuk FMEA, salah satu diantanya
seperti yang ditunjukkan pada gambar 5.7.
36
gambar 5.7
Tipikal FMEA worksheet
37
Sebuah FMEA akan berubah menjadi FMECA (failure mode,
effects, and criticallity analysis) jika kekritisan atau prioritas akan
dikaitan dengan dampak dari mode kegagalan yang ditimbulkan oleh
sebuah komponen.
Secara umum tujuan dari penyusunan FMEA (IEEE Std. 352)
adalah sebagai berikut.
1. Membatu dalam pemilihan desain alternatif yang memiliki
keandalan dan keselamatan potensial yang tinggi selama fase
desain.
2. Untuk menjamin bahwa semua bentuk mode kegagalan yang
dapat diperkirakan berikut dampak yang ditimbulkannya
terhadap kesuksesan operasional sistem telah
dipertimbangkan.
3. Membuat list kegagalan potensial , serta mengidentifikasi
seberapa besar dampak yang ditimbulkannya.
4. Men-develop kriteria awal untuk rencana dan desain pengujian
serta untuk membuat daftar pemeriksaaan sistem.
5. Sebagai basis analisa kualitatif keandalan dan ketersediaan.
6. Sebagai dokumentasi untuk referensi pada masa yang akan
datang untuk membantu menganalisa kegagalan yang terjadi
di lapangan serta membantu bila sewaktu waktu terjadi
perubahan desain.
7. Sebagai data input untuk studi banding.
8. Sebagai basis untuk menentukan prioritas perawatan korektif.
FMEA merupakan salah satu bentuk analisa kualitatif, dan FMEA
harus dilakukan oleh seorang desainer pada tahap desain sistem.
Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi desain di area mana yang
masih memerlukan perbaikan agar persyaratan keandalan dapat
dipenuhi.
38
5.4.1 Prosedur Penyusunan FMEA
FMEA sangat sederhana untuk dilakukan. FMEA tidak
membutuhkan ketrampilan yang canggih bagi seorang personel untuk
melakukan analisa. Hal yang diperlukan dalam menganalisa adalah
untuk mengetahui dan memahami fungsi dari sistem dan beberapa
constrain dimana sistem itu harus dapat beroperasi. Berikut ini
beberapa pertanyaan dasar yang yang harus dijawab oleh seorang
analis dalam melakukan analisa FMEA (IEEE Std. No. 352).
1. Bagaimana masing masing komponen mengalami
kegagalan ?
2. Mekanisme apa yang mungkin menghasilkan suatu mode
kegagalan tertentu ?
3. Apa dampak dari kegagalan yang terjadi ?
4. Apakah kegagalan yang terjadi ada kaitannya dengan
keselamatan atau tidak ?
5. Bagaiman kegagalan itu dapat dideteksi ?
6. Apa yang harus disediakan desain untuk mengkompensasi
kegagalan ?
Pertanyaan pertanyaan tersebut di atas akan ditabelkan dalm
sebuah spread sheet. Gambar 5.7 menunjukkan contoh tipikal dari
sebuah FMEA. Berikut ini penjelasan dari masing masing kolom
yang ada di FMEA worksheet.
Reference (kolom 1)
Menunjukkan nam unit atau gambar.
Function (kolom 2)
Mendiskripsikan fungsi dari komponen yang sedang di analisa.
39
Tabel 5.5
Mode Kegagalan (Failure mode)
FAILURE MODE EXPLANATION
MECHANICAL
Clogging Clogging of filter
Cracking A crack develop in the material, resulting in a crack-up
of the component or equipment
External leakage The component or equipment has deteriorated, resulting
in an external leakage
Internal leakage The component or equipment has deteriorated, resulting
in an internal leakage
Loose part Loose component or part(s) in component
Stuck The component or equipment is stuck (not possible to
move), resulting in it no longer performing its specified
function
Stuck closed The component or equipment is stuck in closed position
due to particle in fluid, resulting in it no longer
performing its specified
Stuck open The component or equipment is stuck in open position
due to particle in fluid, resulting in it no longer
performing its specified
Worn out The component is worn due to wear
Failed Mechanical component failure (not covered by other
failure mode)
ELECTRICAL / INSTRUMENT
Earth fault Earth leakage from electrical components, resulting in
failure of the component or equipment
Open circuit Broken wires, electronic components or loose
connections, resulting in failure of the component or
equipment
Out of range The component is still in operation, but is not
performing within its specified functional range
Short circuit Electrical short circuit, resulting in failure of the
component or equipment
Failed Electrical or instrument component failure (not covered
by other failure modes)
40
Operational mode (kolom 3)
Menunjukkan mode pengoperasian dari komponen. Sebagai contoh,
sebuah komponen mungkin memiliki lebih dari satu mode
pengoperasian seperti pengoperasian normal atau standby.
Failure mode (kolom 4)
Untuk masing masing fungsi komponen dan mode
pengoperasiannya, semua mode kegagalan diidentifikasi dan direcord
pada kolom ini. Sebuah mode kegagalan dapat didefinisikan sebagai
kegagalan komponen untuk memenuhi salah satu fungsi dari
komponen tersebut.
Cara praktis untuk mendapatkan mode kegagalan yang
signifikan adalah dari pengalaman pengoperasian komponen dan
menanyakan kepada personel yang menangani perawatan komponen.
Tabel 5.5 menunjukkan beberpa tipikal mode kegagalan yang dialami
oleh peralatan mekanik dan elektrik.
Failure mechanism (kolom 5)
Semua mekanisme kegagalan yang mungkin yang dihasilkan oleh
mode kegagalan yang sudah diidentifkasi direcord dalam kolom ini.
Tabel 5.6 menunjukkan beberpa tipikal mode kegagalan yang dialami
oleh peralatan.
Detection of failure (kolom 6)
Berbagai kemungkinan pendeteksian dari berbagai mode kegagalan
direcord pada kolom ini. Tabel 5.7 menunjukkan beberpa tipikal
metode pendeteksian mode kegagalan yang mungkin dialami oleh
peralatan.
41
Tabel 5.6
Mekanisme kegagalan (Failure mechanism)
CAUSE EXPLANATION
Abrasive fluid Abrasive fluid resulting in deterioration of component causing a failure
Accelerated
wear
Accelerated wear resulting in deterioration of component causing a failure
Age Age resulting in deterioration of component causing a failure
Ambient air Ambient air affecting the component causing a failure
Cavitation Formation of transient voids or vacuum bubbles in a liquid stream passing over a
surface is called cavitation
Clogging Clogging of component causing a failure
Corrosion The material is gradually worn due to chemical reaction resulting in failure of the
component
Dust Dust affecting the component causing failure
Erosion Fluid contains abrasive substance that cause erosion, resulting in failure of the
component
Fatigue Cyclic or repeated stresses resulting in component failure when the ability of metal to
withstand is lost
Friction Friction between two materials resulting in deterioration of component causing a
failure
Flow rate Flow rate in pipes or through equipment resulting deterioration or build up of coat in
component causing a failure
Fouling Fouling is the formation of deposits other than salt and scale and may be due to
corrosion, solid matter entering the feed, or deposits. Fouling of the surface results in
reduced performance or failure of the component
Medium Medium stored or flowing through the equipment resulting in deterioration or build up
of coat in equipment causing a failure (H2S content, sea water, alga growth, etc.)
Moisture Moisture affecting the component causing a failure
Normal wear Normal wear resulting in deterioration of component causing a failure
Operation Operation resulting in deterioration or build up of coat in equipment causing a failure
Particles Fluid contains particles that cause the component to jam
Plugging Plugged pipe or equipment causing a failure
Pressure High or low pressure resulting deterioration or build up of coat in equipment causing
a failure
Protection Poor protection of equipment resulting in deterioration of equipment causing a failure
Sea water Sea water affecting component outside (casing) causing a failure
Stress Stress on component causing material deterioration and crack up
Temperature High or low temperature resulting in deterioration or build-up of coat in component
causing a failure
Vibration,
external
Vibration, not from the equipment itself, affecting the component and causing a failure
Vibration,
internal
Vibration, from the equipment itself, affecting the component and causing a failure
42
Tabel 5.7
Metode pendeteksian kegagalan
DETECTION
METHOD
EXPLANATION
Casual
observation
Casual observation of potential failure during daily routine
Alarm function Alarm function installed to detect potential failure in equipment
Functional test Functional test of the component to detect potential failure
Corrosion
monitoring
Corrosion monitoring equipment installed to measure corrosion rate
Oil sampling Sampling of lube oil and hydraulic oil to detect potential failure
Thermography Thermographical test of component to detect abnormal temperature
Non-destructive
test
NDT including X-ray and other methods to detect potential failure of
component
Internal
inspection
Internal inspection of component to detect potential failure
Performance
monitoring
Measurements of relevant parameters such as temperature, flow,
pressure, energy consumption etc. in comparison with reference data
and trend development
Visual inspection Visual inspection of component to detect potential failure
Vibration
analysis
Vibration data collection analysis
Effects on other components in the same
subsystem (kolom 7)
Semua dampak dari mode kegagalan yang telah teridentifikasi pada
komponen lain pada subsistem direcord pada kolom ini.
Effects on the primary function of the system (kolom 8)
Semua dampak utama yang dari semua mode kegagalan yang telah
teridentifikasi terhadap fungsi utama sistem direcord pada kolom ini.
43
Failure rate (kolom 9)
Laju kegagalan dari masing masing mode kegagalan direcord pada
kolom ini. Untuk kasus yang tidak memiliki data kuantitatif, maka
klasifikasi pada tabel 5.8 dapat digunakan untuk mengisi kolom ini.
Tabel 5.8
Data kualitatif failure rate
Failure Rate Keterangan
Very unlikely Terjadi sekali setiap 1000 tahun
Remote Terjadi sekali setiap 100 tahun
Occasional Terjadi sekali setiap 10 tahun
Probable Terjadi sekali setahun
Frequent Terjadi sekali sebulan atau lebih sering
Severity ranking (kolom 10)
Kolom ini berisikan penjelasan dampak potensial yang terburuk yang
diakibatkan oleh suatu kegagalan, dampak ini ditentukan
berdasarkan tingkat cedera yang dialami oleh personel, tingkat
kerusakan properti, atau tingkat kerusakan sistem yang terjadi. Tabel
5.9 menunjukkan tingkat kerusakan yang sering dipakai.
Risk Reducing Measures (kolom 11)
Kolom ini berisikan berbagai kemungkinan kegiatan yang dilakukan
untuk mengembalikan atau mencegah akibat serius dari sebuah
kegagalan.
Comments (kolom 12)
Kolom ini dapat dipakai untuk merecord informasi informasi lain
yang tidak terekam pada kolom kolom yang lain.
44
Tabel 5.9
Pengelompokan tingkat kerusakan
Kategori Keterangan
Catastropic Kegagalan suatu komponen dapat menyebabkan kematian
atau cedera atau menghentikan performance sistem yang
telah ditetapkan
Critical Kegagalan suatu komponen dapat menyebabkan penurunan
kinerja diluar batas yang dapat diterima dan dapat
membahayakan keselamatan ( dapat menyebabkan kematian
atau cedera jika aksi korektif tidak segera dilakukan)
Major Kegagalan suatu komponen dapat menyebabkan penurunan
kinerja diluar batas yang dapat diterima tetapi masih dapat
dikontrol dengan cara dan prosedur lain yang sudah
ditetapkan
Minor Kegagalan suatu komponen tidak menyebabkan penurunan
kinerja diluar batas yang dapat diterima
Dengan mengombinasikan failure rate (kolom 9) dan severity
(kolom 10), kita bisa mendapatkan rangking kekritisan dari failure
mode yang berbeda. Tabel 5.10 menunjukkan apa yang disebut
dengan criticallity matrix. Pada contoh ini, failure rate dikelompokkan
dalam lima kelas seperti yang sudah dijelaskan pada kolom 9.
Demikian juga dengan pengelompokkan severity yang dikelompokkan
menjadi empat kelas seperti yang dijelaskan pada kolom 10. Mode
kegagalan yang paling kritis ditunjukkan dengan tanda (x) pada
pojok kanan atas dari matrix sedangkan yang paling tidak kritis
ditunjukkan dengan tanda (x) pada pojok kiri bawah matrix.
45
Tabel 5.10
Pengelompokan tingkat kerusakan
Severity Group
Failure Rate
Minor Major Critical Catastrophic
Frequent
Probable
Occational (x)
Remote (x)
Very unlikely (x) (x)
46
5.5 Referensi dan Bibliografi
1. Frankel, Ernst G., [1988], Systems Reliability and Risk Analysis,
2
nd
edition, Kluwer Academic Publishers, PO BOX 17, 3300 AA
Dordrecht, The Netherlands.
2. Henley, E.J. and Hiromitsu Kumamoto [1992], Probabilistic Risk
Assessment : reliability Engineering, Design, and Analysis, IEEE
Press, New York.
3. Hyland, Arnljot and Marvin Rausand [1994], System Reliability
Theory Models And Statistical Methods, John Willey & Sons, Inc.
4. McCormick, N.J.[1981], Reliability and Risk Analysis : Methods and
Nuclear Power Applications, Academic Press, Inc.
5. Ruxton, T. [1997], Formal Safety Assessment, Transaction
IMarE, Part 4.
6. Sandtorv, H., J. Eldby, M. Rasmussen [1990], Reliability-Centered
Maintenance Hanbook for Offshore Application, Sintef Report.
7. .[1994], Training Course in Reliability-Centered Maintenance
(RCM), MARINTEK Sintef Group.
8.
9. Kececioglu, D. [1991], Reliability Engineering Handbooks Volume
2, Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey.
10. Ramakumar, R [1993]., Engineering Reliability : Fundamentals
and Applications, Prentice Hall, Inc. Englewood Cliffs, New Jersey
07632.
KEMBALI KE DAFTAR ISI MODUL 2
KEANDALAN DAN PERAWATAN
Metode PengkajianKeandalan
Bagian 2
Oleh
Ir. Dwi Priyanta, MSE
JURUSAN TEKNIK SISTEM PERKAPALAN
FAKULTAS TEKNOLOGI KELAUTAN
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMEBER
SURABAYA
Copyr i ght ada pada penul i s
MODUL
3
FOR INTERNAL USE ONLY
DAFTAR ISI MODUL 3
BAB 6 Distribusi Probabilitas dan Terminologi Keandalan
6.1 Pendahuluan
6.2 Variabel Random
6.3 Variabel Random Kontinyu
6.4 Variabel random Diskrit
6.5 Fungsi Distribusi Kumulatif
6.6 Terminologi Keandalan
6.7 Kurva Laju Kegagalan
6.8 Distribusi Binomial
6.9 Distribusi Poisson
6.10 Distribusi Normal
6.11 Distribusi Lognormal
6.12 Distribusi Eksponensial
6.13 Distribusi Weibull
6.14 Goodnes-of-fit Tests
6.15 Referensi dan Bibliografi
BAB 7 Model Keandalan Dinamis
7.1 Pendahuluan
7.2 Sistem Dengan Susunan Seri
7.3 Sistem Dengan Susunan Paralel
7.4 Sistem Dengan Susunan Gabungan Seri Paralel
7.5 Sistem Dengan Susunan Berlebihan Secara Parsial (Partially
Redundant System)
7.6 Sistem Standby (Standby System)
7.6.1 Perfect Switching
7.6.2 Imperfect Switching
7.7 Referensi dan Bibliografi
FOR INTERNAL USE ONLY
BAB 8 Component Importance
8.1 Pendahuluan
8.2 Birnbaums Measure
8.3 Criticallity Importance
8.4 Vesely Fussells Measure
8.5 Improvement Potential
8.6 Referensi dan Bibliografi
KEMBALI KE MENU UTAMA
1
Distribusi Probabilitas
dan Terminologi Keandalan
6.1 Pendahuluan
Bab yang terdahulu hanya mengevaluasi keandalan suatu
sistem rekayasa (engineering) denngan tidak menggunakan distribusi
probabilitas dari masing-masing komponen yang ada di dalam sistem
tersebut. Dalam hal ini nilai keandalan dari masing-masing komponen
yang ada di dalam sistem berupa angka yang tetap, artinya tidak
bergantung pada waktu. Untuk tahap awal dalam mempelajari teori
keandalan sistem hal ini akan sangat membantu untuk memahami
dasar-dasar perhitungan keandalan dari suatu sistem.
Nilai keandalan suatu komponen atau sistem merupakan nilai
kemungkinan/probabilitas dari suatu komponen atau sistem untuk
dapat memenuhi fungsinya dalam kurun waktu dan kondisi tertentu
yang sudah ditetapkan. Dan kenyataannya, untuk mengevaluasi
keandalan suatu sistem rekayasa yang sebenarnya, nilai keandalan
dari suatu komponen tidak lagi merupakan harga yang tetap
melainkan akan bergantung terhadap waktu. Untuk itu
2
pengevaluasian keandalan akan banyak berhubungan distribusi
probabilitas dengan waktu sebagai variabel random.
Ada dua kelompok utama dari distribusi probabilitas, yaitu
distribusi diskrit (discrete distribution) dan distribusi kontinyu
(continuous distribution). Distribusi diskrit yang sering dipakai adalah
distribusi binomial dan distibusi Poisson. Sedang distribusi kontinyu
yang sering banyak dipakai adalah distribusi eksponensial, distribusi
normal, distribusi lognormal, distribusi weibull, distribusi Rayleigh,
dan distribusi gama.
Konsep yang berkaitan dengan distribusi probabilitas yang akan
di bahas pada seksi ini adalah variabel random, fungsi probabilitas
massa (probability mass function), fungsi probabilitas densitas
(probability density function), fungsi distribusi kumulatif
(cummulative distribution function), nilai harapan (expected value),
varian dan deviasi standar. Konsep tersebut di atas sangat diperlukan
dalam mengevaluasi keandalan dari suatu sistem rekayasa yang
berbasis pada waktu.
6.2. Variabel Random
Di dalam mengolah data, ada suatu nilai atau parameter yang
akan diukur. Agar teori probabilitas dapat diterapkan maka kejadian
dari nilai-nilai ini haruslah random terhadapa waktu (time) atau
ruang (space) atau kedua-duanya. Parameter dari kejadian yang
akan diukur, misal laju kegagalan dari komponen, lama waktu untuk
mereparasi, kekuatan mekanis dari komponen, adalah variabel yang
bervariasi secara random terhadap waktu dan/atau ruang. Variabel
random ini dapat didefinisikan secara diskrit maupun secara kontinyu.
Sebua variabel random diskrit adalah variabel random yang
hanya mempunyai bilangan diskrit pada suatu interval tertentu.
Sedang variabel random kontinyu adalah variabel yang mempunyai
3
nilai secara kontinyu pada suatu interval tertentu. Contoh dari
variabel random diskrit adalah pada eksperimen pelemparan dadu,
dimana variabel randomnya didefinisikan sebagai hasil yang keluar
dari pelemparan sebuah dadu. Sedangkan contoh untuk random
variabel yang kontinyu misalnya adalah pada eksperimen pengujian
kegagalan komponen dengan waktu sebagai variabel randomnya.
Perilaku dari variabel random didiskripsikan dalam hukum-
hukum probabilitas. Cara yang paling umum dalam mengekspresikan
probabilitas dari suatu variabel random adalah dengan memakai
distribusi proabilitas.
Untuk analisa keandalan sistem, variabel random yang sering
dipakai adalah variabel random waktu kegagalan (time to failure
TTF) dan sering dinotasikan dengan T. Gambar 6.1 menunjukkan
ilustrasi dari sebuah TTF. Absis pada pada gambar 6.1 menunjukkan
waktu sedang orninat menunjukkan keadaan dari komponen / sistem,
jika komponen / sistem dalam keadaan up / tidak rusak maka
komponen / sistem ditunjukkan dengan angka 1 sebaliknya jika
komponen / sistem dalam keadaan down / rusak maka komponen /
sistem ditunjukkan oleh angka 0.
Gambar 6.1
Ilustrasi TTF dari sebuah komponen / sistem
4
6.3. Variabel Random Kontinyu
Misalkan T adalah random variabel yang kontinyu dan f(t)
mewakili suatu fungsi probabilitas untuk random variabel T. Jika P(a
T b) menyatakan probabilitas dari variabel random t pada interval a
dan b maka
( )


b
a
dt t f b T a P ) ( (6.1)
Fungsi f(t) yang mewakili fungsi probabilitas untuk variabel random T
yang yang kontinyu disebut fungsi probabilitas densitas (probability
density function). Untuk selanjutnya istilah fungsi probabilitas
densitas akan disingkat dengan fpd. Secara umum fungsi probabilitas
densitas memenuhi sifat :
< < t , f(t) 0 (6.2)


1 dt t f ) ( (6.3)
Contoh 6.1
Untuk memberi gambaran mengenai sifat-sifat dari fpd, perhatikan
fungsi berikut ini.
f t
at t
( )

'

0 5
0 untuk t yang lain
Tentukan nilai a agar fungsi di atas dapat dikategorikan sebagai fpd.
5
Solusi
Agar fungsi di atas dapat dikategorikan sebagai fpd maka
f t dt ( )

1
at dt

1
0
5
a
2
25
0 08 ,
Jadi persamaan fpd untuk fungsi di atas adalah
f t
t t
( )
,

'

0 08 0 5
0 untuk t yang lain
Syarat yang lain, yaitu f t ( ) 0 sudah dipenuhi, karena nilai dari f(t)
untuk nilai t dengan interval 0 sampai 5 selalu positif. Sketsa dari fpd
untuk fungsi di atas dapat dilihat pada gambar 6.2. q
Gambar 6.2
fpd untuk contoh soal 6.1
6
Nilai harapan (expectation) dari variabel random T dengan fpd
f(t) didefiniskan oleh
( )


dt t tf t E ) ( (6.4)
Sedang varians (variance) dari f(t) didefinisikan oleh
{ } ( ) { }
2
t E t E t Var ) ( (6.5)
Persamaan (6.5) dapat disederhanakan menjadi
2 2
)} ( { ) ( ) ( t E t E t Var (6.6)
Sedang deviasi standar (deviation standard) didefinisikan oleh
) (t Var (6.7)
6.4. Variabel Random Diskrit
Jika T adalah random variabel yang diskrit dan f(t) mewakili
suatu fungsi probabilitas untuk random variabel T dan P(T = a)
menyatakan probabilitas dari variabel random T pada saat T = a,
maka
) ( ) ( a f a T P (6.8)
Fungsi f(t) yang mewakili fungsi probabilitas untuk variabel
random T yang yang diskrit disebut fungsi probabilitas massa
7
(probability mass function). Untuk selanjutnya istilah fungsi
probabilitas densitas akan disingkat dengan pmf. Secara umum
fungsi probabilitas densitas memenuhi sifat :
t semua untuk , ) ( 0 t f (6.9)


t semua
1 f(t) (6.10)
Contoh 6.2
Pada sebuah percobaan pelemparan sebuah mata dadu, jika T
merupakan variabel random yang mewakili mata dadu dan f(t)
mewakili probabilitas dari variabel random T, maka hubungan antara
variabel random T dengan probabilitas dapat ditabelkan sebagai
berikut.
T 1 2 3 4 5 6
f(t) 1/6 1/6 1/6 1/6 1/6 1/6
Jika hubungan antara variabel random T dan fungsi probabilitas f(t)
diplot pada sebuah kurva, akan terlihat bahwa fungsi probabilitas di
atas memenuhi sifat-sifat fpm. Sketsa dari fpm untuk fungsi di atas
dapat dilihat pada gambar 6.3. q
8
Gambar 6.3
fpm untuk soal no 6.2
Nilai harapan (expectation) dari variabel random T dengan fpm
f(t) didefiniskan oleh
( )

1 i
i i
t f t t E ) ( (6.11)
Sedang varians (variance), dan deviasi standar dari f(t) dapat
dihitung degan menggunakan persamaan seperti yang didefinisikan
pada persamaan (6.6) dan (6.7).
6.5 Fungsi Distribusi Kumulatif
Jika T adalah variabel random, baik variabel random yang
kontinyu ataupun variabel random yang diskrit, maka fungsi distribusi
kumulatif (cumulative distribution function) dari variabel random T
didefinisikan oleh
) ( ) ( t T P t F (6.12)
9
Jika T merupakan variabel random yang kontinyu dengan fpd
f(t), maka fungsi distribusi kumulatifnya adalah



t
du u f t T P t F ) ( ) ( ) ( (6.13)
Sedang jika T merupakan variabel random yang diskrit dengan
fpm f(t), maka fungsi distribusi kumulatifnya adalah

t t
i
i
t f t F ) ( ) ( (6.14)
Contoh 6.3
Pada contoh 6.1, fpd dari variabel random T didefinisikan oleh
f t
t t
( )
,

'

0 08 0 5
0 untuk t yang lain
Dapatkan fungsi distribusi kumulatif dari fungsi di atas.
10
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
0 1 2 3 4 5
t
F
(
t
)
Gambar 6.4
Fungsi distribusi kumulatif contoh soal 6.3
Solusi
maka fungsi distribusi kumulatif dari fungsi di atas adalah
F t u du t
t
( ) , ,

0 08 0 04
2
0
0 t 5
Gambar 6.4 menunjukkan sketsa dari fungsi distribusi kumulatif
dari contoh soal 6.3. q
Hubungan antara fungsi distribusi kumulatif dan fpd adalah
) ( ) ( t F
dt
d
t f (6.15)
11
6.6. Terminologi Keandalan
Fungsi distribusi kumulatif nilainya akan naik mulai dari nol
sampai satu seiring dengan naiknya nilai variabel random dari yang
terkecil sampai yang terbesar. Fungsi distribusi ini bertambah seperti
anak tangga untuk variabel random diskrit dan bertambah seperti
kurva yang kontinyu untuk random variabel yang kontinyu.
Dalam mengevaluasi keandalan suatu sistem, variabel random
yang dipakai umumnya adalah waktu. Pada saat t = 0 komponen
atau sistem berada dalam kondisi akan beroperasi, sehingga
probabilitas komponen atau sistem itu untuk mengalami kegagalan
pada saat t = 0 adalah 0. Pada saat t probabilitas untuk
mengalami kegagalan dari suatu komponen atau sistem yang
dioperasikan akan cenderung mendekati 1. Karakteristik ini sama
dengan fungsi distribusi kumulatif. Fungsi distribusi kumulatif ini akan
mengukur probabilitas kegagalan dari suatu sistem atau komponen
sebagai fungsi dari waktu. Dalam terminologi keandalan fungsi
distribusi kumulatif ini dikenal sebagai fungsi distribusi kegagalan
kumulatif (cumulative failure distribution function) atau disingkat
distribusi kegagalan kumulatif (cumulative failure distribution).
Distribusi kegagalan kumulatif ini biasanya dilambangkan dengan
Q(t).
Jika R(t) menyatakan fungsi keandalan dari suatu komponen
atau suatu sistem sebagai fungsi waktu maka hubungan antara fungsi
keandalan R(t) dan distribusi kegagalan kumulatif atau fungsi
ketakandalan Q(t) dihubungkan oleh sebuah formula di bawah ini.
) ( ) ( t Q t R 1 (6.16)
Persamaan (6.15) menunjukkan bahwa fungsi distribusi probabilitas
merupakan turunan dari distribusi probabilitas kumulatif. Dalam
12
terminologi keandalan fungsi distribusi probabilitas ini disebut dengan
fungsi densitas kegagalan (failure density function). Fungsi densitas
kegagalan ini, yang dinotasikan dengan f(t), dapat diturunkan baik
dari fungsi ketakandalan maupun fungsi keandalan seperti pada
formula di bawah ini.
dt
t dR
dt
t dQ
t f
) ( ) (
) ( (6.17)
Sebaliknya fungsi ketakandalan maupun fungsi keandalan
dapat diperoleh dari fungsi densitas kegagalan seperti yang dituliskan
dalam formulasi di bawah ini.

t
dt t f t Q
0
) ( ) ( (6.18)
dan


t
t
dt t f dt t f t R ) ( ) ( ) (
0
1 (6.19)
Gambar 6.5 menunjukkan sebuah tipikal kurva fungsi densitas
kegagalan. Sesuai dengan formulasi fungsi ketakandalan dan
keandalan yang ditunjukkan pada rumus (6.18) dan (6.19) maka
luasan daearah di bawah kurva untuk interval mulai dari 0 sampai t
mewakili fungsi ketakandalan sedang luasan daerah di bawah kurva
untuk interval mulai dari t sampai tak hingga.
13
Gambar 6.5
Tipikal fungsi densitas kegagalan
Satu konsep lagi yang sering dipakai adalah laju perubahan
(transition rate). Salah satu aplikasi dari konsep laju perubahan yang
sering dipakai dalam mengevaluasi komponen atau sistem adalaha
laju kegagalan (failure rate) dan laju pembenahan (repair rate).
Penjelasan berikut ini akan menjelaskan bagaimana laju kegagalan
dari suatu komponen atau siatem yang memiliki fungsi densitas
kegagalan f(t).
Misalkan pada saat t sebuah komponen sedang bekerja.
Probabilitas dari komponen itu untuk mengalami kegagalan pada
interval waktu antara t dan t+t jika komponen itu diketahui
berfungsi pada saat t dapat diekspresikan oleh
) (
) (
) (
t T P
t t T t P
t T t t T t P
>
+ < <
> + < (6.20)
Bagian pembilang dari persaamaan (6.20) dapat diekspresikan dalam
bentuk fungsi distribusi kumulatif sebagai F(t+t) - F(t), sedang
penyebut dari persamaan (6.20) dapat diekspresikan sebagai R(t).
Persamaan (6.20) dapat ditulis menjadi
14
) (
) ( ) (
) (
t R
t F t t F
t T t t T t P
+
> + < (6.21)
Dengan membagi ekspresi probabilitas pada persamaan (6.20) atau
(6.21) dengan interval waktu t dan membuat t 0, maka akan
diperoleh laju kegagalan dari suatu komponen dan diekspresikan
dengan notasi z(t).
) (
) ( ) ( lim
) (
t R t
t F t t F
t
t z
1
0

+

(6.22)
Ekspresi
t
t F t t F
t
+

) ( ) ( lim
0
pada persamaan (6.22) adalah sama
identik dengan persamaan (6.15), sehingga persamaan (6.22) dapat
disederhanakan menjadi
) (
) (
) (
t R
t f
t z (6.23)
Dengan mensubstitusikan persamaan (6.17) ke persamaan (6.23),
maka akan diperoleh
dt
t dR
t R
t z
) (
) (
) (
1
(6.24)
Dengan mengintegralkan kedua ruas dari 0 sampai t, dan
mensubstitusikan nilai R(0) = 1, maka persamaan (6.24) akan
menjadi
15


t
t R dt t z
0
) ( ln ) ( (6.25)
atau

t
du u z
e t R
0
) (
) ( (6.26)
Untuk kasus yang khusus dimana laju kegagalan suatu
komponen adalah konstan, z(t) = ,maka persamaan (6.26) akan
berubah menjadi
t
e t R

) ( (6.27)
yang merupakan ekspresi fungsi keandalan dari suatu komponen
atau sistem yang mengikuti distribusi eksponensial.
Waktu rata-rata kegagalan (mean time to failure = MTTF) dari
suatu komponen yang memiliki fungsi densitas kegagalan (failure
density function) f(t) didefinisikan oleh nilai harapan dari komponen
itu. Secara matematis waktu rata-rata kegagalan dapat diekspresikan
sebagai


0
dt t tf T E MTTF ) ( ) ( (6.28)
Dengan mensubstitusikan persamaan (6.17) ke dalam persamaan
(6.28), maka akan diperoleh
16


0
dt t tR MTTF ) ( ' (6.29)
Persamaan (6.29) dapat diselesaikan dengan memakai integral
parsial
[ ] MTTF tR t R t dt +

( ) ( )
0
0
Jika MTTF < , maka nilai dari [ ] tR t ( )
0
0

, sehingga persamaan di
atas menjadi

0
dt t R MTTF ) ( (6.30)
Persamaan (6.30) lebih banyak dipakai untuk mendapatkan MTTF
suatu komponen. Untuk kasus komponen yang memiliki fungsi
keandalan R t e
t
( )

, maka MTTF dari komponen itu adalah


0
1

dt e MTTF
t
(6.31)
6.7 Kurva Laju Kegagalan
Laju kegagalan dari suatu komponen atau sistem dapat di plot
pada suatu kurva dengan variabel random waktu sebagai absis dan
laju kegagalan dari komponen atau sistem sebagai ordinat. Kurva laju
kegagalan klasik yang sering dipakai untuk menjelaskan perilaku dari
17
komponen atau sistem adalah kurva bak mandi (bath-up curve).
Kurva ini terdiri dari tiga buah bagian utama, yaitu masa awal (burn-
in period), masa yang berguna (useful life period), dan masa aus
(wear out period). Gambar 6.6 menunjukkan kurva bak mandi
dengan ketiga bagian utamanya.
Gambar 6.6
Kurva laju kegagalan bak mandi
Bagian pertama dari kurva ini, yaitu masa awal dari suatu
sistem atau komponen, ditandai dengan tingginya kegagalan pada
fase awal dan berangsur-angsur turun seiring bertambahnya waktu.
Bagian kedua dari kurva ini ditandai dengan laju kegagalan yang
konstan dari komponen atau sistem. Sedang bagian ketiga dari
kurva ini ditandai dengan naiknya laju kegagalan dari komponen atau
sistem seiring dengan bertambahnya waktu.
18
6.8 Distribusi Binomial
Misalkan R menyatakan probabilitas sukses dari suatu kejadian
dan Q menyatakan proabilitas gagal dari suatu even, sehingga R + Q
= 1 dan probabilitas dari R dan Q adalah tetap. Jika ada n kali trial
yang diulang maka proabilitas k kali sukses dari n kali trial dengan T
sebagai variabel random dapat dituliskan dalam distribusi binomial
sebagai
k n k
Q R
k
n
k T P

,
_

) ( (6.32)
Sedangkan rata-rata (mean), varian (variance), dan standar deviasi
dari distribusi binomial dapat diekspresikan oleh persamaan-
persamaan berikut.
nR (6.33)
nRQ
2
(6.34)
nRQ (6.35)
Contoh 6.4
Sebuah subsistem terdiri dari dari tiga buah komponen yang
masing-masing memiliki probabilitas kesusksesan untuk menjalankan
fungsinya 0,95. Agar subsiistem ini dapat berfungsi dengan normal,
diperlukan minimal dua komponen yang berfungsi dengan baik.
Tentukan probabilitas dari subsistem itu untuk suskes menjalankan
fungsinya.
19
Solusi
Probabilitas sukses untuk tiap komponen, R = 0,95 sehingga Q =
0,05. Agar subsistem itu sukses menjalankan fungsinya, harus ada
minimal 2 buah komponen yang berfungsi.
Ada 3 buah komponen yang identik, ini sama halnya kita
melakukan tiga kali trial untuk sebuah komponen, jadi probabilitas
subsistem itu untuk sukses menjalankan fungsinya adalah
P R R Q ( ) ( , ) ( , ) ( , ) , sukes

_
,
+

_
,
+
3
3
3
2
0 95 3 0 95 0 05 0 99275
3 2 3 2
q
6.9 Distribusi Poisson
Distribusi Poisson mewakili probabilitas dari sebuah kejadian
yang diisolasi pada suatu interval waktu kontinyu tertentu untuk laju
kegagalan yang konstan. Karakteristik khusus dari distribusi Poisson
adalah distribusi hanya memperhitungkan kejadian dari satu event
tertentu sedangkan evant lain yang tidak termasuk dalam kejadian
tidak diperhitungkan. Ini yang membedakan antara distribusi Poisson
dan distribusi binomial. Jika distribusi binomial memperhitungkan
baik probabilitas untuk suskes dan gagal dari suatu event maka
distribusi Poisson hanya memperhitungkan probabilitas kegagalan
atau kesuksesan dari suatu event.
Distribusi Poisson termasuk salah satu distribusi yang diskrit.
Fungsi probabilitas massa dari distribusi Poisson dengan T sebagai
variabel random didefinisikan oleh
!
) (
) (
k
e t
k T P
t k


(6.36)
20
dengan k bilangan bulat positif.
Sedangkan rata-rata (mean), varian (variance), dan standar
deviasi dari distribusi Poisson dapat diekspresikan oleh persamaan-
persamaan berikut.
t (6.37)
t
2
(6.38)
t (6.39)
Contoh 6.5
Pada sebuah sistem instalasi pipa, jumlah kegagalan pipa per tahun
per 1000 meter adalah 0,3. Jika diambil pipa sepanjang 100 meter
sebagai sample, hitung probabilitas pipa itu untuk mengalami
kegagalan sebanyak 3 kali untuk periode (a) 5 tahun dan (b) 10
tahun.
Solusi
Laju kegagalan dari pipa adalah

( ,
,
0 03 100
1000
0 003
kegagalan / tahun) m
m
kegagalan / tahun
a. Untuk periode 5 tahun
t 0 003 5 0 015 , ,
21
P T
e
( )
( , )
!
,
,

3
0 015
3
5 54 10
3 0 015
7
q
b. Untuk periode 10 tahun
t 0 003 10 0 03 , ,
P T
e
( )
( , )
!
,
,

3
0 03
3
4 37 10
3 0 03
6
q
6.10 Distribusi Normal
Distribusi normal, yang seringkali direfer sebagai distribusi
Gaussian, merupakan distribusi probabilitas yang paling banyak dan
sering dipakai. Dalam kaitannya dengan keandalan, distribusi ini
banyak dipakai pada cabang keandalan struktur (structural
reliability).
Kurva fungsi probabilitas densitas dari ditribusi normal memiliki
bentuk simetris yang sempurna terhadap nilai rata ratanya (mean
value) dan dispersi terhadap mean diukur dengan deviasi standarnya.
Bentuk yang presisi dan posisi dari fungsi densitas dapat ditentukan
hanya dengan term mean dan standar deviasi saja. Sifat ini
menghasilkan kemungkinan bagi distribusi normal untuk disalah-
pakaikan (misused) karena semua distribusi dapat dikarakterisasi
oleh mean dan standar deviasi. Dengan hanya menentukan mean dan
standar deviasi, amat mungkin bahwa distribusi yang bukan normal
akan diasumsikan memiliki distribusi normal, karena tidak informasi
tambahan lain yang tersedia selain mean dan standar deviasi. Satu
22
teorema yang sering dirujuk, dan sekali lagi besar kemungkinan juga
disalh-pakaikan adalah Central Limit Theorem (CLT).
Jika time to failure dari suatu komponen adalah T mengikuti
distribusi normal, maka pdf nya dapat diekspresikan sebagai
2
2
1
2
1
) (

,
_

t
t
e
t
t f


(6.40)
dengan
= deviasi standar
= rata-rata/ mean
Fungsi keandalan dari sebuah komponen yang memiliki distribusi
normal dapat ditulis sebagai

,
_

,
_

t
t
t
dt
t
t
e
t
t R


1
2
2
1
2
1
) ( (6.50)
sedangkan fungsi unreliability-nya adalah

,
_



t
t
t Q

) ( (6.51)
Mean time to failure dari distribusi normal ini adalah
MTTF = (6.52)
23
6.11 Distribusi Lognormal
Distribusi lognormal berhubungan dengan distribusi normal.
Time to failure, dari suatu komponen dikatakan memiliki distribusi
lognormal bola y = ln T mengikuti distribusi normal dengan rata-rata

T dan varians

T
. Probability density function dari distribusi
lognormal adalah
dt
T
T t
e
T
t
t f
2
2
1
2
1

,
_

'
' ln
'
) (


(6.53)
Fungsi keandalan dari komponen yang mengikuti distribusi
lognormal adalah

,
_

0
2
2
1
2
1
dt
T
T t
e
T
t
t R
'
' ln
'
) (


(6.54)
sedang fungsi ketakandalannya adalah
24
t d
T
T t
e
t
T
t
t Q
2
'
' ln
2
1
2
'
1
1 ) (

,
_


(6.55)
6.12 Distribusi Eksponensial
Distribusi eksponensial merupakan distribusi yang paling
banyak dipakai di dalam mengevaluasi keandalan sistem. Ciri utama
dari distibusi ini adalah laju kegagalannya yang konstan.
Jika waktu untuk galal (time to failure) dari suatu komponen
adalah T terdistribusi secara eksponensial dengan parameter , maka
fungsi densitas probabilitas dapat diekspresikan sebagai
t
e t f


) ( (6.56)
Sedangkan fungsi keandalannya adalah


t
t
e du u f t R

) ( ) ( (6.57)
Dengan demikian fungsi ketakandalannya dapat ditulis sebagai
t
e t R t Q

1 1 ) ( ) ( (6.58)
25
Waktu rata-rata kegagalan dari komponen itu adalah


0
1

dt t R MTTF ) ( (6.59)
Yang menarik dari distribusi ini adalah jika komponen yang memiliki
distribusi eksponen ini dioperasikan sampai MTTF-nya, atau t
1

,
maka keandalan dari komponen itu dapat diprediksi dengan memakai
persamaan (6.59), yaitu
( )
R e e ( ) ,37
1
1
1
0

Jadi bila sebuah komponen yang memiliki fungsi densitas


kegagalan yang mengikuti distribusi eksponensial bila dioperasikan
dengan durasi sampai pada MTTF-nya, maka keandalan dari
komponen itu hanya tinggal 37%.
26
0
0.00002
0.00004
0.00006
0.00008
0.0001
0.00012
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000 10000
Waktu (Jam)
f
(
t
)
f t e ( ) ,
,



1 14 10
4 1 14 10
4
Gambar 6.7
Tipikal fungsi densitas probabilitas eksponensial
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000 10000
Waktu (Jam)
R
(
t
)

a
t
a
u

Q
(
t
)
R t e ( )
,



1 14 10
4
Q t e ( )
,



1
114 10
4
Gambar 6.8
Fungsi keandalan dan ketakandalan eksponensial
27
Laju kegagalan dari komponen yang memiliki fungsi densitas
kegagalan yang mengikuti distribusi eksponensial dapat diturunkan
dengan menerapkan persamaan (6.23).

t
t
e
e
t R
t f
t z
) (
) (
) ( (6.60)
Tipikal kurva dari distribusi eksponensial untuk = 1.14x10
-4
kegagalan/jam dapat dilihat pada gambar 6.7. Sedang fungsi
keandalan dan ketakandalannya dapat dilihat pada gambar 6.8.
Misalkan komponen yang memiliki fungsi densitas kegagalan
yang mengikuti distribusi eksponensial telah berioperasi selama t.
Untuk mengevaluasi probabilitas kegagalan dari komponen itu pada
interval waktu , probabilitas kegagalan dari komponen itu tidak bisa
dihitung secara a priori atau independen dari waktu pengoperasian
sebelumnya sampai waktu t. Alasannya adalah, jika pada interval
(0,t) maka komponen itu tidak bisa gagal pada interval (t,t+). Oleh
karena itu untuk mengevaluasi probabilitas kegagalan dari komponen
itu selama periode waktu adalah penting untuk mempertimbangkan
probabilitas kegagalan selama periode waktu (0,t). Probabilitas
kegagalan selama waktu dikenal sebagai probabilitas a posteriori,
yaitu harga dari probabilitas kegagalannya tergantung dari sejarah
komponen yang terdahulu.
Misalkan T adalah waktu kegagalan (time to failure) dari suatu
komponen yang mengikuti distribusi eksponensial, maka akan
berlaku probabilitas kondisional di bawah ini

>
+ >
> + > e
e
e
t T P
t T P
t T t T P
t
t ) (
=
) (
) (
) ( (6.61)
28
Persamaan (6.61) menunjukkan probabilitas dari suatu
komponen yang akan berfungsi pada interval t+ jika diketahui
bahwa komponen itu berfungsi pada saat t tidak tergantung dari
waktu operasional sebelumnya, dalam hal ini waktu operasional
komponen itu adalah t. Sifat ini disebut sebagai sifat tak bermemori
(memory less property) dari distribusi eksponensial.
Kembali kepada probabilitas a priori dan probabilitas a
posteriori, jelas bahwa probabilitas kegagalan dari komponen yang
mengikuti distribusi eksponensial tidak tergantung dari sejarah
komponen yang terdahulu. Atau dengan kata lain untuk distribusi
eksponensial, probabilitas a priori dan probabilitas a posteriori adalah
sama. Hal ini tidak berlaku untuk komponen-komponen lain yang
mengikuti distribusi probabilitas selain distribusi eksponensial.
6.13 Distribusi Weibull
Selain distribusi eksponensial yang sering dipakai di dalam
mengevaluasi keandalan sistem, distribusi weibull banyak dipakai
karena distribusi ini memiliki shape parameter sehingga distribusi
mampu untuk memodelkan barbagai data.
Jika time to failure dari suatu komponen adalah T mengikuti
distribusi Weibull dengan tiga parameter ,, dan , maka pdf nya
dapat diekspresikan sebagai

,
_


,
_

t
e
t
t f
1
) ( (6.62)
dengan
29
= shape parameter, > 0
= scale parameter, > 0
= shape parameter, < first time to failure
jika nilai dari = 0, maka akan diperoleh distribusi Weibull dengan
dua parameter. Beberapa karakteristik dari distribusi Weibull
berdasarkan adalah
Untuk 0 < < 1, laju kegagalan ( failure rate ) akan berkurang
seiring bertambahnya waktu.
Untuk = 1, maka failure rate-nya adalah konstan.
Untuk > 1, laju kegagalan (failure rate) akan bertambah seiring
bertambahnya waktu.
Sedangkan fungsi reliability-nya adalah

,
_

t
e t R ) ( (6.63)
dan fungsi unreliability-nya dapat ditulis sebagai

,
_


t
e t Q 1 ) ( (6.64)
Mean time to failure dari distribusi Weibull itu adalah

,
_

+ + 1
1

MTTF (6.65)
30
dimana ( ) menyatakan fungsi gamma
6.14 Goodness- of- fit test
Jika ada sekumpulan data waktu kegagalan (TTF) dari sebuah
komponen, kita tidak bisa langsung menyimpulkan bahwa data
tersebut memiliki distribusi normal untuk memodelkan kegagalan
sistem, kecuali ada bukti bukti fisik yang menunjang. Pertanyaan
yang timbul adalah seberapa tepat data yang ada memiliki
kesesuaian dengan distribusi probabilitas tertentu untuk memodelkan
kegagalan komponen. Pertanyaan ini dapat dilakukan dengan
melakukan uji kesesuaian (goodness-of-fit test).
Ada berbagai metode untuk mlakukan pengujian ini, seperti
maximum likelihood estimate (MLE), chi-square test (
2
), dan
Kolmorov Smirnov (K-S) tets. Bagi pembaca yang menginginkan
mempulajari metode ini lebih detail, dianjurkan untuk merefer
referensi 2 dan 3. Sedangkan bagi para pembaca yang menginginkan
memakai bantuan software dalam mengolah dan menganalisa data,
ada beberapa software komersial yang yang bisa dipakai dan
menyediakan fasilitas untuk analisa data seperti yang telah
disebutkan di atas, diantaranya SPSS dan Weibull ++.
31
6.15 Referensi dan Bibliografi
1. Billinton, R. and Ronald N. Allan [1992], Reliability Evaluation of
Engineering Systems: Concepts and Techniques, 2
nd
edition,
Plenum Press, New York and London
2. Hyland, Arnljot and Marvin Rausand [1994], System Reliability
Theory Models And Statistical Methods, John Willey & Sons, Inc.
3. Lawless, J.F. [1982], Statistical Models and Methods for Lifetime
Data, John Willey and Sons< New York.
KEMBALI KE DAFTAR ISI MODUL 3
32
Model Keandalan Dinamis
7.1 Pendahuluan
Prosedur standar untuk mengevaluasi keandalan dari suatu
sistem adalah dengan memecah sistem itu menjadi beberapa
komponen. Langkah berikutnya adalah mengestimasi keandalan dari
masing-masing komponen. Nilai keandalan dari masing-masing
komponen ini bisa diperoleh dengan jalan memperkirakan keandalan
untuk masing-masing komponen berdasarkan pengalaman,
mengambil dari database keandalan yang sudah ada, atau dengan
mengumpulkan data pengoperasian dari tiap-tiap komponen yang
bersangkutan kemudian mengolahnya menjadi data keandalan yang
siap pakai. Setelah masing-masing angka keandalan dari masing-
masing komponen diketahui, baru keandalan dari sistem tersebut
dapat dievaluasi dengan memakai prosedur standar untuk
mengevaluasi keandalan.
Untuk mengevaluasi keandalan dari suatu sitem dengan
memakai pemodelan keandalan statis adalah mudah. Hal ini
dikarenanakan angka keandalan dari masing-masing komponen yang
ada adalah konstan. Artinya angka keandalan ini tidak tergantung
33
dari waktu. Teknik evaluasi dengan menerapkan pemodelan
keandalan statis seperti ini sangat berguna pada desain permulaan
suatu sistem, dimana berbagai konfigurasi sistem dicoba untuk
dievaluasi keandalannya.
Kenyataan yang ada di lapangan adalah keandalan dari suatu
sistem atau komponen akan tergantung terhadap waktu. Untuk itu
keandalan dari masing-masing komponen, subsitem atau sistem akan
juga tergantung terhadap waktu. Untuk itu keandalan dari masing-
masing komponen, subsistem atau sistem ini akan diwakili oleh suatu
fungsi densitas probabilitas tertentu yang merupakan fungsi dari
waktu. Beberapa distribusi probabilitas yang banyak dipakai dalam
mengevaluasi keandalan sudah disinggung pada bab 6.
Lain halnya dengan bab terdahulu yang membahas pemodelan
keandalan statis dari suatu sistem, dimana keandalan dari masing-
masing komponen dianggap konstan dan tidak tergantung pada
waktu, maka pada bab ini akan membahas model keandalan dinamis
dari suatu sistem. Model keandalan dinamis ini akan melibatkan
waktu artinya keandalan dari masing-masing komponen atau sistem
akan tergantung dari waktu. Oleh karenan itu, pemodelan keandalan
yang tergantung waktu lebih sulit bila dibandingkan dengan
pemodelan keandalan statis.
Beberapa model keandalan yang sudah dibahas pada bab 3
akan dibahas lagi pada bab ini tetapi dengan melibatkan distribusi
probabilitas eksponensial untuk masing-masing komponen yang ada
di dalam sistem.
7.2 Sistem dengan Susunan Seri
Misalkan dua buah komponen yang disusun secara seri memiliki
fungsi keandalan masing-masing R
1
(t) dan R
2
(t). Probabilitas dari
34
sistem itu untuk tetap beroperasi untuk suatu periode waktu t dapat
diekspresikan sebagai
) ( ) ( ) ( t R t R t R
S 2 1
(7.1)
Dengan memanfaatkan persamaan 5.26 untuk mengekspresikan
keandalan dari masing-masing komponen maka persamaan 6.2 dapat
ditulis sebagai


t t
d z d z
S
e e t R
0
2
0
1
) ( ) (
) ( (7.2)
Sedang untuk sistem dengan n buah komponen dalam susunan seri,
keandalan dari sistemnya dapat diekspresikan dengan persamaan
berikut ini

t
i
d z
n
i
S
e t R
0
1
) (
) ( (7.3)
Untuk kasus khusus, dimana masing-masing komponen
mengikuti distribusi eksponensial maka persamaan (7.2) menjadi
t t t
S
e e e t R
) (
) (
2 1 2 1
+
(7.4)
sedang persamaan 6(7.3) akan berubah menjadi

n
i
i
i
t
t
n
i
S
e e t R
1
1

) ( (7.5)
35
Fungsi densitas kegagalan untuk n buah komponen dalam
susunan seri yang masing-masing komponennya mengikuti distribusi
eksponensial dapat diperoleh dengan memanfaatkan persamaan
5.17. Fungsi densitas kegagalannya adalah

n
i
i
t
n
i
i S
e t f
1
1

) ( (7.6)
Sedang laju kegagalannya adalah


n
i
i
S
S
S S
t R
t f
t z
1

) (
) (
) ( (7.7)
yang merupakan penjumlahan laju kegagalan dari masing-masing
komponen.
Waktu rata-rata kegagalan dari konfigurasi seri ini dapat
dihitung dengan memakai persamaan (6.19).



n
i
i
t
S
dt e dt t R MTTF
n
i
i
1
0 0
1
1

) (

(7.8)
Contoh 7.1
Sebuah subsistem kontrol terdiri dari dua buah modul yang
mempunyai konfigurasi seri. Masing-masing modul ini mempunyai
laju kegagalan yang konstan yaitu 3 kegagalan per satu juta jam
untuk modul pertama dan 5 kegagalan per satu jam.
a. Hitung laju kegagalan dari subsistem kontrol tersebut.
b. Hitung keandalan dari subsistem itu bila dioperasikan 200 jam.
36
c. Setelah subsistem itu dioperasikan 200 jam (soal b), subsistem itu
dioperasikan lagi selama 50 jam, hitung keandalan dari sistem itu.
d. Waktu rata-rata kegagalan dari subsistem kontrol tersebut.
Solusi
Laju kegagalan dari masing-masing modul adalah konstan, jadi
modul-modul ini mengikuti distribusi eksponensial.
Laju kegagalan dari modul1 adalah

1 6
1 6
3
10
3 10

jam jam
-1
Laju kegagalan dari modul 2 adalah

2 6
1 6
5
10
5 10

jam jam
-1
a. Dengan menggunakan persamaan (7.7), laju kegagalan dari
subsistem kontrol tersebut di atas adalah

S
+

1 2
6
8 10 jam
-1
q
b. Fungsi keandalan dari sistem itu adalah

S
+

1 2
6
8 10 jam
-1
Untuk misi pengoperasian selama 200 jam maka keandalan dari
subsistem kontrol itu adalah
R e
S
( ) ,
( )( )
200 0 9984
8 10 200
6



q
c. Untuk misi pengoperasian dengan durasi 50 jam setelah
sebelumnya dioperasikan 200 jam, keandalan dari subsistem itu
37
dapat dihitung dengan memakai teori probabilitas kondisional.
Misalkan T adalah waktu kegagalan (time to failure) dari susbsitem
kontrol, maka ekspresi probabilitas kondisional untuk masalah di
atas adalah
R P T T
P T
P T
( , ) ( )
( )
( )
200 50 200 50 200
250
200
> + >
>
>
R
R
R
e
e
e ( , )
( )
( )
( )( )
( )( )
( )( )
200 50
250
200
8 10 250
8 10 200
8 10 50
6
6
6



R( , ) , 200 50 0 9996 q
Contoh di atas merupakan contoh dari sifat tak bermemori
(memory less property) dari distribusi eksponensial.
d. Waktu rata-rata kegagalan dari subsistem kontrol itu adalah
MTTF R t dt
S
S

( ) . jam
1 1
8 10
125 000
6
0

q
7.3 Sistem dengan Susunan Paralel
Jika dua buah komponen yang disusun secara paralel memiliki
fungsi ketakandalan masing-masing Q
1
(t) dan Q
2
(t), maka
probabilitas dari sistem itu untuk mengalami kegagalan untuk suatu
periode waktu t dapat diekspresikan sebagai
) ( ) ( ) ( t Q t Q t Q
P 2 1
(7.9)
Sedangkan ekspresi keandalan untuk kedua komponen itu adalah
38
) ( ) ( ) ( ) ( ) ( t R t R t R t R t R
P 2 1 2 1
+ (7.10)
atau


t t t t
d z d z d z d z
P
e e e e t R
0
2
0
1
0
2
0
1
) ( ) ( ) ( ) (
) ( (7.11)
Sedang untuk n buah komponen yang mempunyai susunan paralel,
fungsi ketakandalannya adalah
) ( ) ( ) (
) (


t
d z
n
i
i
n
i
P
e t Q t Q
0
1
1 1

(7.12)
sedang keandalannya adalah
) ( ) (
) (

t
d z
n
i
P
e t R
0
1 1
1

(7.13)
Untuk komponen-komponen yang mengikuti distribusi
eksponensial, maka persamaan (7.11) berubah menjadi
t t t
P
e e e t R
) (
) (
2 1 2 1
+
+ (7.14)
Sedang persamaan (7.12) dan (7.13) akan masing-masing
akan berubah menjadi
) ( ) ( ) (
t
n
i
i
n
i
P
i
e t Q t Q


1
1 1
(7.15)
dan
39
) ( ) ( ) (
t
n
i
i
n
i
P
i
e t Q t R


1 1 1
1 1
(7.16)
Dari persamaan (7.16) dapat disimpulkan bahwa meskipun
masing-masing komponen dari sistem yang memiliki konfigurasi
paralel mengikuti distribusi eksponensial, fungsi keandalannya bukan
merupakan fungsi keandalan yang mengikuti distribusi eksponensial.
Dengan demikian laju kegagalan dari sistem yang memiliki
konfigurasi paralel bukan merupakan laju kegagalan yang konstan,
tetapi merupakan fungsi dari waktu.
Waktu rata-rata kegagalan untuk dua buah komponen yang
mengikuti distribusi eksponensial dengan konfigurasi paralel adalah
dt e e e dt t R MTTF
t t t
P

+
0 0
2 1 2 1
) ( ) (
) (
(7.17a)
2 1 2 1
1 1 1
+
+ MTTF (7.17b)
Contoh 7.2
Jika sub-sistem kontrol pada contoh soal 7.1 disusun secara paralel,
tentukan :
a. Indeks keandalan dari subsistem itu bila dioperasikan 200 jam.
b. Waktu rata-rata kegagalan (MTTF) dari subsistem kontrol tersebut.
Solusi
Laju kegagalan dari masing-masing modul adalah konstan, jadi
modul-modul ini mengikuti distribusi eksponensial.
40
Laju kegagalan dari modul1 adalah

1 6
1 6
3
10
3 10

jam jam
-1
Laju kegagalan dari modul 2 adalah

2 6
1 6
5
10
5 10

jam jam
-1
a. Fungsi keandalan dari subsistem itu adalah
t x t x t x t t t
P
e e e e e e t R
6 6 6
2 1 2 1
10 8 10 5 10 3

+
+ +
) (
) (

Untuk misi pengoperasian selama 200 jam maka keandalan dari
subsistem kontrol itu adalah
999947 0 200
200 10 8 200 10 5 200 10 3
6 6 6
, ) ( +

x x x x x x
P
e e e R q
b. MTTF dari sub sistem itu adalah
6 6 6
2 1 2 1
10 8
1
10 5
1
10 3
1 1 1 1

+
+
+
x x x
MTTF

MTTF = 408333,3333 jam q
7.4 Sistem Dengan Susunan Gabungan Seri - Paralel
Untuk menganalisa suatu sistem sederhana dengan susunan
seri atau paralel sudah didiskusikan pada seksi terdahulu. Susunan
seri atau paralel merupakan susunan dasar yang akan dipakai untuk
menganalisa sistem yang mempunayai susunan yang lebih kompleks.
41
Blok diagram keandalan yang lebih kompleks akan mempunyai
struktur gabungan antara susunan seri dan paralel.
Prinsip dasar yang dipakai untuk menyelesaikan konfigurasi
yang komplek ini adalah dengan mereduksi konfigurasi yang komplek
iin secara berurutan dengan jalan menyederhanakan blok yang
mempunayi struktur seri atau paralel terlebih dahulu menjadi blok
diagram yang ekuivalen. Blok diagram yang ekuivalen ini akan
mewakilii konfigurasi asli sebelum konfigurasi ini disederhanakan.
Untuk jelasnya akan diberikan beberapa contoh berikut ini.
Contoh 7.3
Untuk menambah ketabilan sistem kontrol, sub sistem kontrol pada
contoh 7.2 dihubungkan dengan satu sub sistem kontrol lain secara
seri. Diagarm blok keandalan untuk sistem ini ditunjukkan pada
gambar 7.1. Data kegagalan dari masing masing subsistem adalah

1
= 2 x 10
-6
kegagalan per jam,
2
= 3 x 10
-6
kegagalan per jam, dan

3
= 5 x 10
-6
kegagalan per jam. Tentukan :
a. ekspresi keandalan subsistem tersebut sebagai fungsi waktu
b. indeks keandalan dari subsistem itu bila dioperasikan 1000 jam.
c. Waktu rata-rata kegagalan (MTTF) dari subsistem kontrol tersebut.
1
2
3
Gambar 7.1
Blok diagram keandalan contoh 7.3
42
Solusi
a. Blok diagram keandalan sistem pada gambar 7.1 dapat
disederhanakan menjadi dua blok saja seperti yang ditunjukkan
oleh gambar 7.2.
1 4
Gambar 7.2
Penyederhanaan blok diagram keandalan
Ekspresi fungsi keandalan untuk blok 4 adalah sama dengan
ekspresi fungsi keandalan pada contoh 7.2, yaitu
t x t x t x t t t
e e e e e e t R
6 6 6
3 2 3 2
10 8 10 5 10 3
4

+
+ +
) (
) (

Sedangkan ekspresi fungsi keandalan sistem adalah
( )
t x t x t x
t x t x t x t x
sys
e e e
e e e e
t R t R t R
6 6 6
6 6 6 6
10 10 10 7 10 5
10 8 10 5 10 3 10 2
4 1




+
+



) ( ) ( ) (
q
b. Indeks keandalan sistem setelah menjalankan misi selama 1000
jam adalah
1000 10 10 1000 10 7 1000 10 5
6 6 6
x x x x x x
sys
e e e t R


+ ) (
R
sys
(t) = 0,999998 q
43
c. MTTF dari subsistem tersebut dapat dihitung sebagai berikut.
( )
jam 9 242857,142

) (
+
+


6 6 6
0
10 8 10 5 10 3 10 2
0
10 10
1
10 7
1
10 5
1
6 6 6 6
x x x
dt e e e e
dt t R MTTF
t x t x t x t x
q
7.5 Sistem dengan Susunan Berlebihan Secara Parsial
(Partially Redundant System)
Jika sistem dengan susunan seri dikategorikan sebagai sistem
yang tidak berlebihan (non-redundant system) dan sistem dengan
susunan paralel dikategorikan sebagai sistem dengan susunan yang
sangat berlebihan (fully redundant system), maka ada sebuah sistem
yang bisa dikategorikan sebagai sistem dengan susunan berlebihan
secara parsial (partially redundant system).
Teknik yang dipakai untuk mengevaluasi sistem yang memiliki
susunan seperti ini kurang lebih sama dengan apa yang telah dibahas
pada bab 3. Aplikasi distribusi probabilitas untuk partially redundant
system dapat diilustrasikan dengnan sistem yang memiliki n
komponen yang identik. Probabilitas masing-masing keadaan sistem
ini - dalam hal ini komponen yang yang sedang beroperasi adalah
komponen 0,1,2, n - dapat ditentukan dari ekspansi binomial (R +
Q)
n
. Pada bab terdaulu, nilai dari R dan Q ini diasumsikan konstan.
Untuk kasus probabilitas yang tergantung dari waktu (time-
dependent probability), nilai dari R dan Q adalah fungsi dari waktu
44
dan ekspresi binomial dimodifikasi menjadi [ ]
n
t Q t R ) ( ) ( + , dimana nilai
dari R(t) dan Q(t) masing masing dapat ditentukan dari fungsi
probabilitas yang menjadi model kegagalan suatu komponen /
sistem.
Untuk pemodelan kegagalan komponen dengan menggunakan
distribusi eksponensial, maka
t
e t R

) ( (7.18)
dan
t
e t Q

1 ) ( (7.19)
oleh karena itu ekspresi binomial menjadi ( )
n t t
e e ] [

+ 1 .
Contoh 7.4
Sebuah sistem memiliki empat buah unit identik yang masing
masing memiliki laju kegagalan (failure rate) 0,1 kegagalan / tahun.
Evaluasi probabilitas dari sistem tersebut untuk tetap dapat
beroperasi setelah 0,5 tahun dan 5 tahun jika minimal dua unit harus
dapat beroperasi agar sistem sukses menjalankan misinya.
Solusi
Dengan menggunakan ekspresi binomial untuk n = 4
45
[R(t)+Q(t)]
4
= R
4
(t)+4R
3
(t)Q(t)+6R
2
(t)Q
2
(t)+4R(t)Q
3
(t)+Q
4
(t)
Dimana R(t) dan Q(t) masing masing dinyatakan oleh persamaan
(7.18) dan (7.19). Tabel 7.1 menunjukkan probabilitas kesuksessan
dari sistem untuk berbagai kondisi komponen.
Tabel 7.1
Probabilitas kesuksesan sistem untuk berbagai kondisi komponen
Jumlah unit
yang
diperlukan
agar sistem
sukses
Probabilitas kesuksesan sistem
4
t
e
4
3 ) (
t t t
e e e

+ 1 4
3 4
2
2 2 3 4
1 6 1 4 ) ( ) (
t t t t t
e e e e e

+ +
1
3 2 2 3 4
1 4 1 6 1 4 ) ( ) ( ) (
t t t t t t t
e e e e e e e

+ + +
Oleh karena itu, untuk contoh soal ini
2 2 3 4
1 6 1 4 ) ( ) ( ) (
t t t t t
e e e e e t R

+ +
Untuk t = 0,5 dan = 0,1 maka
R(0,5) = 0,9996 q
Sedang untuk t = 5, maka
R(5) = 0,8282 q
46
Untuk kasus yang lebih umum dari unit yang non identik,
maka probabilitas dari masing masing sistem dapat dievaluasi
dengan
[R
1
(t)+Q
1
(t)] [R
2
(t)+Q
2
(t)] [R
n
(t)+Q
n
(t)]
dimana nilai dari R
i
(t)dan Q
i
(t) dapat dideksi dari distribusi
probabilitas dari komponen ke-i dan periode waktu yang menjadi
interes dalam analisa. Untuk kasus distribusi eksponensial maka
t
i
i
e t R

) ( untuk i = 1,2, , n
t
i
i
e t Q

1 ) ( untuk i = 1,2, , n
7.6 Sistem Standby (Standby System)
Seperti yang telah diulas pada beberapa contoh soal terdahulu,
konfigurasi paralel dan partially redundant system mengakibatkan
keandalan sistem meningkat secara keseluruhan. Semua atau
sebagian komponen yang memiliki konfogurasi ini mungkin akan
berada pada mode pengoperasian. Hal ini tentunya tidak selalu
feasible atau tidak praktis, sehingga konfigurasi standby mungkin
akan dipakai. Pada konfigurasi standby, satu atau lebih komponen
berada dalam keadaan standby dan siap akan mengambil alih ketika
komponen normal atau kompone utama mengalami kegagalan.
Secara umum ada dua buah kasus dasar yang berhubungan
dengan switching. Pertama, kita bisa menganggap switch yang
dipakai adalah switch yang sempurna sehingga bisa dikategorikan
sebagai kasus pengalihan yang sempurna (perfect switching) serta
yang kedua, kita bisa menganggap switch yang dipakai adalah switch
47
yang tidak sempurna sehingga bisa dikategorikan sebagai kasus
pengalihan yang tidak sempurna (Imperfect switching)
1
2
Gambar 7.3
Sistem dengan susunan standby
7.6.1 Perfect Switching
Pada kasus ini, switch diamsusikan tidak pernah gagal pada
saat pengoperasian dan juga tidak akan mengalami kegagalan pada
saat melakukan pengalihan dari pengoperasian normal ke posisi
standby.
a. Sistem dengan 2 Komponen
Misalkan sebuah sistem memiliki dua komponen yang identik,
dimana komponen pertama berfungsi sebagai komponenutama
sedangkan komponen lainnya bertindak sebagai komponen stanby.
Susunan ini dapat dipandang sebagai susunan yang ekuivalen
dengan unit tunggal yang hanya diijinkan untuk mengalami satu kali
kegagalan. Setelah kegagalan pertama dari unit yang ekuivalen
(kegagalan komponen 1), maka komponen (2) akan mengambil alih
48
untuk kelangsungan operasi dan oleh karena itu sistem tidak
mengalami kegagalan.
Jika ada kegagalan kedua dari unit yang equivalen (kegagalan
komponen 2), sistem akan mengalami kegagalan. Logika
pengoperasian pada sistem ini mengimplikasikan bahwa distribusi
poison dapat digunakan untuk menghitung probabilitas dari sistem
failure karena distribusi ini memberikan probabilitas dari berbagai
komponen yang sedang beroperasi pada masa bergunanya. Untuk
kasus ini, perlu kiranya untuk mendapatkan probabilitas kegagalan
yang tidak melebihi satu kegagalan. Dengan menggunakan distribusi
Poisson
!
) (
) (
x
e t
t P
t x
x


(7.20)
dimana P
x
(t) menyatakan probabilitas dari komponen x yang gagal
dalam waktu t. Dengan menggunakan persamaan (7.20)
t
e t P

) ( gagal] yang komponen ada P[Tidak
0
t
te t P P


) ( ] gagal komponen Satu [
1
Oleh karena itu keandalan sistem adalah
) ( ) ( ) ( ) ( t e t P t P t R
t

+ +

1
1 0
(7.21)
b. Sistem dengan 2 komponen standby
Dengan menggunakan logika di atas, untuk satu komponen
utama dan dua komponen stanby maka, jumlah kegagalan yang
dapat ditoleransi dalam unit yang equivalen adalah dua sebelum
49
sistem mengalami gagal. Sehingga keandalan sistem dapat
ditentukan dengan
1
]
1

+ + + +

!
) (
) ( ) ( ) ( ) (
2
1
2
2 1 0
t
t e t P t P t P t R
t

(7.22)
c. Sistem dengan n komponen standby
Secara umum prinsip yang digunakan untuk mendapatkan
persamaan (7.21) dan (7.22) dapat diperluas untuk sembarang
jumlah komponen standby, karena jumlah kegagalan yang dapat
ditoleransi sama dengan jumlah komponen standby.
Oleh karena itu, secara umum keandalan sistem dengan n
komponen standby yang identik adalah

1
]
1

+ + + + +
n
x
t x n
t
x
e t
n
t t t
t e t R
0
3 2
3 2
1
!
) (
!
) (
...
!
) (
!
) (
) (


(7.23)
d. Mean time to failure (MTTF)
Harga dari MTTF untuk sistem dengan satu komponen standby
dapat dihitung sebagai berikut

2 1 1
1
0
+ +

dt t e MTTF
t
) ( (7.24)
Dan untuk sistem dengan n komponen standby, MTTF nya dapat
dihitung sebagai berikut


1
0
0
+

n
x
e t
MTTF
n
x
t x
!
) (
(7.25)
50
7.6.2. Imperfect Switching
Untuk kasus ini, kemungkinan switch mengalami kegagalan
dalam mengalihkan tugas dari komponen aktif ke komponen standby
akan dimasukkan dalam perhitungan, dengan demikian perlu
didefinisikan probabilitas sukses pengoperasian switch. Probabilitas
sukses ini dinotasikan dengan Ps dan dapat ditentukan nilainya
dengan mengumpulkan data kesuksesan dan kegagalan operasional
switch dengan menggunakan persamaan berikut ini.
switch l operasiona jumlah
switch l operasiona kesuksesan jumlah

s
P (7.26)
Kembali pada kasus 2 komponen yang memiliki susunan
standby, dimana proses pengalihan dan perlatan pengalih memiliki
nilai keandalan yang kurang dari 100%, maka agar sistem sukses
dalam menjalankan misinya maka salah satu kondisi berikut ini harus
dipenuhi, yaitu jika tidak ada satupun komponen yang gagal atau
satu komponen (utama) mengalami kegagalan dan peralatan
pengalih (switch) sukses beroperasi. Dengan demikian keandalan
sistem dapat diturunkan sebagai berikut.
P [tidak ada komponen yang gagal] = P
0
(t)
= e
- t
P [satu komponen gagal dan proses pengalihan
dan switch beroperasi] = P
1
(t).P
s
= P
s
te
- t
Yang akan memberikan persamaan keandalan sistem
) ( ) ( t P e t R
s
t

+

1 (7.27)
51
Konsep ini dapat diperluas untuk kasus dengan dua atau lebih
komponen standby, dengan memasukkan term Ps pada persamaan
(7.22) dan (7.23).
MTTF dari sistem standby dapat diperoleh dengan
mengintegralkan persamaan keandalan sistem dengan batas integrasi
mulai dari o sampai , yaitu

s
s
t
P
t P e MTTF
+
+

1
1
0
) ( (7.28)
52
7.7 Referensi dan Bibliografi
1. Billinton, R. and Ronald N. Allan [1992], Reliability Evaluation of
Engineering Systems: Concepts and Techniques, 2
nd
edition,
Plenum Press, New York and London
2. Hyland, Arnljot and Marvin Rausand [1994], System Reliability
Theory Models And Statistical Methods, John Willey & Sons, Inc.
3. Ramakumar, R [1993]., Engineering Reliability : Fundamentals
and Applications, Prentice Hall, Inc. Englewood Cliffs, New Jersey
07632.
KEMBALI KE DAFTAR ISI MODUL 3
53
Component Importance
Analysis
8.1 Pendahuluan
Secara umum reliability importance dari sebuah komponen
dalam sebuah sistem tergantung dari dua faktor yaitu :
letak komponen di dalam sebuah sistem
reliability dari komponen yang sedang di analisa
Analisa importance (importance analysis) dapat dikatakan sama
dengan sensitivity analysis dan oleh karena itu sangat bermanfaat
untuk mendesain sistem, mendiagnosis sistem, serta
mengoptimalkan sistem. Dengan menggunakan ukuran importance
diharapakan dapat memberikan prioritas untuk melakukan
pengecekan terhadap komponen-komponen yang dapat
menyebabkan kegagalan sistem. Secara umum, semakin besar nilai
dari component importance semakin penting komponen tersebut
untuk mendapat perhatian.
Ada beberapa cara untuk melakukan analisa/mengukur
reliability importance dari sebuah komponen yang sudah
didefinisikan. Berikut ini teknik analisa reliability importance yang
54
sudah dipublikasikan oleh Heley dan Kumamoto (1992) serta oleh
Hyland dan Rausand (1994). Teknik itu adalah :
Birnbaums measure
Criticality Importance
Vesely Fussells measure
Improvement Potential
8.2 Birnbaums Measure
Birnbaum (1969) mengusulkan ukuran reliability importance
dari sebuah komponen yang ada di dalam sistem sebagai berikut.
) (
) (
) (
t R
t R
t i I
i
S B

(8.1)
dengan
) ( t i I
B
= ukuran reliability importance birnbaum
R
S
(t) = nilai reliability dari sistem pada saat t
Ri(t) = nilai reliability dari komponen i yang ada di dalam
sistem pada saat t,
i = 1,2, , n
Jika nilai ) ( t i I
B
besar, perubahan reliability dari komponen i
yang kecil akan menghasilkan perubahan komparatif yang besar pada
reliability sistem pada saat t.
Selain ukuran tersebut di atas, Birnbaum juga mengusulkan
apa yang disebut dengan Birnbaum structural importance. Untuk
mengetahui indeks ini, berikut ini fungsi struktur (structural function)
dari sebuah sistem yang merupakan fungsi biner dari sebuah sistem
dan diekspresikan oleh persamaan berikut ini.
55
) ,..., , ( ) (
2 1 n
x x x x (8.2)
dengan

'

gagal keadaan dalam sistem jika ,


berfungsi sistem jika ,
) (
0
1
x
x
i
= variabel biner dari komponen i

'

gagal keadaan dalam komponen jika ,


berfungsi komponen jika ,
0
1
i
x
x = state vector
x = (x
1
, x
2
, , x
n
)
Sedangkan birnbaum structural importance didefinisikan oleh

2
) (
1

n
i
(i) B

(8.3)
dengan
) (i

= jumlah total dari critical path set dari komponen i


[ ]

) , 0 ( ) , 1 ( ) ( x x i
i i

n = jumlah komponen yang ada di dalam sistem


56
1
2
3
2/3
Gambar 8.1
Blok diagram keandalan susunan 2 dari 3
Contoh 8.1
Gambar 8.1 menunjukkan blok diagarm keandalan yang terdiri dari
tiga komponen, dimana agar sistem ini sukses minimal diperlukan 2
komponen yang beroperasi dari tiga komponen yang ada. Susunan ini
dapat dikategorikan sebagai susunan partially redundant system.
Indeks keandalan masing masing komponen pada saat t dinyatakan
oleh R
1
= 0,98, R
2
= 0,96, dan R
3
= 0,94. Tentukan Birnbaums
measure dari masing masing komponen.
Solusi
Persamaan keandalan sistem tersebut bila ditulis dalam term R
1
, R
2,
dan R
3
adalah
9957 0 2
3 2 1 3 2 3 1 2 1
, + + R R R R R R R R R R (8.4)
Birnbaums measure dari masing masing komponen adalah
57
0952 0 2 1
3 2 3 2
1
, ) ( +

R R R R
R
R
t I
B
q
0776 0 2 2
3 1 3 1
2
, ) ( +

R R R R
R
R
t I
B
q
0584 0 2 3
2 1 2 1
3
, ) ( +

R R R R
R
R
t I
B
q
Sehingga
) ( ) ( ) ( t I t I t I
B B B
3 2 1 > >
8.3 Criticality Importance
Criticality importance didefinisikan sebagai probabilitas dari
komponen i yang menyebabkan kegagalan sistem dimana sistem
telah mengalami kegagalan pada saat t. Secara matematis criticality
importance didefinisikan oleh
) ( 1
)) ( 1 )( (
) (
t R
t R t i I
t i I
S
i
B
CR

(8.5)
atau dapat juga ditulis sebagai
) (
) ( ) (
) (
t Q
t Q t i I
t i I
S
i
B
CR
(8.6)
dengan,
Q
i
(t) = nilai ketakandalan dari komponen i pada saat t.
58
Q
S
(t) = nilai ketakandalan dari sistem pada saat t.
Contoh 8.2
Dengan merujuk pada contoh soal 8.1, tentukan criticallity
importance dari masing masing komponen.
Solusi
Dengan memanfaatkan hasil dari contoh soal 8.1 dan persamaan
(8.6) maka criticallity importance dari masing masing komponen
adalah
4428 0
2 1
1 1
1
3 2 1 3 2 3 1 2 1
1
,
) )( (
) (
+

R R R R R R R R R
R t I
t I
B
CR
q
7219 0
2 1
1 2
2
3 2 1 3 2 3 1 2 1
2
,
) )( (
) (
+

R R R R R R R R R
R t I
t I
B
CR
q
8149 0
2 1
1 3
3
3 2 1 3 2 3 1 2 1
3
,
) )( (
) (
+

R R R R R R R R R
R t I
t I
B
CR
q
Sehingga
) ( ) ( ) ( t I t I t I
CR CR CR
3 2 1 < <
59
8.4 Vesely Fussells Measure
Vesely Fussells measure menyatakan probabilitas bahwa
minimal satu cut set yang mengandung komponen i mengalami
kegagalan pada saat t dimana sistem juga telah mengalami
kegagalan pada saat t. Secara matematis Vesely Fussells
didefiniskan oleh persamaan berikut ini.
)) ( (
)) ( ) ( (
)) ( ) ( ( ) (
t C P
t C t D P
t C t D P t i I
i
i
VF

(8.7)
dimana
D
i
(t) = minimal cut set yang mengandung komponen i yang
megalami kegagalan pada saat t.
C(t) = kegagalan sistem pada saat t.
Persamaan (8.7) dapat disederhanakan menjadi
)) ( (
)) ( (
) (
t C P
t D P
t i I
i VF
(8.8)
Hal ini dapat terjadi karena jika D
i
(t) terjadi maka C(t) pasti terjadi,
atau secara matematis D
i
(t) merupakan himpunan bagian dari C(t).
Persamaan (8.8) dapat juga ditulis menjadi
) ( 1
)) ( ( 1 ( 1
) (
1
t R
t E P
t i I
S
mi
j
i
j
VF

(8.9)
dengan,
60
) (t E
i
j
= minimal cut set j diantara beberapa minimal cut set
yang mengandung komponen i yang mengalami
kegagalan pada saat t untuk i = 1,2, , n dan j = 1,2,
, m
i
.
m
i
= jumlah minimal cut set yang mengandung kompnen i.
Dengan melakukan aproksimasi pada bagian pembilang
persamaan (8.9), persamaan (8.9) dapat ditulis kembali menjadi
persamaan di bawah ini
) (
) (
) (
)) ( (
) (
t Q
t
i
j
Q
t R
t E P
t i I
S
mi
j
S
mi
j
i
j
VF

1 1
1
(
(8.10)
Untuk sistem yang kompleks, persamaan (8.10) sangat disarankan
untuk diaplikasikan.
Contoh 8.3
Dengan merujuk pada contoh soal 8.1, tentukan Vesely Fussells
measure dari masing masing komponen.
Solusi
Cut set dari blok diagram keandalan sistem adalah {1,2}, {1,3}, dan
{2,3}, sehingga
0020 0
3 2 1 3 1 2 1
1
2
1
1
1
2
1
1
1
2
1
1 1
, ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) (
)) ( ) ( ( )) ( ( )) ( ( )) ( ) ( ( )) ( (
+
+
t Q t Q t Q t Q t Q t Q t Q
t E t E P t E P t E P t E t E P t D P
61
0032 0
3 2 1 3 2 2 1
2
2
2
1
2
2
2
1
2
2
2
1 2
, ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) (
)) ( ) ( ( )) ( ( )) ( ( )) ( ) ( ( )) ( (
+
+
t Q t Q t Q t Q t Q t Q t Q
t E t E P t E P t E P t E t E P t D P
0036 0
3 2 1 3 2 3 1
3
2
3
1
3
2
3
1
3
2
3
1 3
, ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) (
)) ( ) ( ( )) ( ( )) ( ( )) ( ) ( ( )) ( (
+
+
t Q t Q t Q t Q t Q t Q t Q
t E t E P t E P t E P t E t E P t D P
Dari contoh 8.1, kita mempunyai 0043 0 9957 0 1 1 , , )) ( ( R t C P .
Sehingga Vesely Fussells measure dari masing masing komponen
adalah
4651 0
0043 0
0020 0
1
1
,
,
,
)) ( (
)) ( (
) (
t C P
t D P
t I
VF
q
7442 0
0043 0
0032 0
2
1
,
,
,
)) ( (
)) ( (
) (
t C P
t D P
t I
VF
q
8372 0
0043 0
0036 0
3
1
,
,
,
)) ( (
)) ( (
) (
t C P
t D P
t I
VF
q
Vesely Fussells measure dapat pula didihitung dengan
menggunakan rumus pendekatan (8.10), yaitu
4651 0 1
3 1 2 1
1
2
1
1
, ) (
+

S S
VF
Q
Q Q Q Q
Q
Q Q
t I
( (
q
7442 0 2
3 2 2 1
2
2
2
1
, ) (
+

S S
VF
Q
Q Q Q Q
Q
Q Q
t I
( (
q
62
8372 0 3
3 2 3 1
3
2
3
1
, ) (
+

S S
VF
Q
Q Q Q Q
Q
Q Q
t I
( (
q
sehingga
) ( ) ( ) ( t I t I t I
VF VF VF
3 2 1 < <
8.5 Improvement Potential
Pada kasus-kasus tertentu, mungkin menjadi hal yang perlu
diketahui seberapa besar reliability dari sistem bertambah jika
komponen i (i = 1, 2, , n) diganti dengan sebuah komponen yang
sempurna. Jika h(R
S
(t)) menyatakan reliability dari sistem pada saat
t, maka perbedaan antara h(1
i
, R
S
(t)) dan h(R
S
(t)) disebut dengan
improvement potential. Secara matematis improvement potential
ditulis sebagai
)) ( ( )) ( , 1 ( ) ( t R h t R h t i I
S S i
IP
(8.11)
Persamaan (8.11) dapat ditulis sebagai fungsi dari birnbaum measure
) ( t i I
B
sebagai
)) ( 1 )( ( ) ( t R t i I t i I
i
B IP
(8.12)
Persamaan (8.12) dapat juga ditulis sebagai fungsi dari criticality
importance ) ( t i I
CR
sebagai
) ( ) ( ) ( t Q t i I t i I
S
CR IP
(8.13)
63
Contoh 8.4
Dengan merujuk pada contoh soal 8.1, tentukan improvement
potential dari masing masing komponen.
Solusi
Dengan menggunakan persamaan (8.12)
0019 0 1 1 1
1
, ) )( ( ) ( R t I t I
B I P
q
0031 0 1 2 2
2
, ) )( ( ) ( R t I t I
B I P
q
0035 0 1 3 3
3
, ) )( ( ) ( R t I t I
B I P
q
Sehingga
) ( ) ( ) ( t I t I t I
I P I P I P
3 2 1 < <
Tabel 8.1 menunjukkan perbandingan hasil dari berbagai
metode untuk menyelesaikan masalah partially redundant system.
Tabel tersebut menunjukkan rangking yang berbeda untuk tiap tiap
komponen. Ini merupakan hal yang wajar karena masing metode
memiliki definisi yanag berlainan, sehingga apabila kita menganalisa
sistem harus disesuaikan dengan keperluannya.
Untuk mengidentifikasi komponen yang harus diperbaiki untuk
meningkatkan keandalan sistem, birnbaums measure dan
improvement potential merupakan metode yang tepat untuk dipakai.
Sedangkan untuk mengidentifikasi komponen mana yang memiliki
probabilitas yang dapat menyebabkan kegagalan sistem, maka
critical importance measure dan Vesely Fussels measure
merupakan metode yang paling tepat untuk dipakai.
64
Tabel 8.1
Perbandingan hasil component importance analysis dari berbagai metode
Komponen Birnbaum
Criticallity
Importance
Vesely-
Fussell
Improveme
nt Potential
1 0,0952 (1) 0,4428 (3) 0,4651 (3) 0,0019 (3)
2 0,0776 (2) 0,7219 (2) 0,7442 (2) 0,0031 (2)
3 0,0584 (3) 0,8149 (1) 0,8372 (1) 0,0035 (1)
65
8.6 Referensi dan Bibliografi
1. Billinton, R. and Ronald N. Allan [1992], Reliability Evaluation of
Engineering Systems: Concepts and Techniques, 2
nd
edition,
Plenum Press, New York and London
2. Hyland, Arnljot and Marvin Rausand [1994], System Reliability
Theory Models And Statistical Methods, John Willey & Sons, Inc.
3. Ramakumar, R [1993]., Engineering Reliability : Fundamentals
and Applications, Prentice Hall, Inc. Englewood Cliffs, New Jersey
07632.
KEMBALI KE DAFTAR ISI MODUL 3
KEANDALAN DAN PERAWATAN
Metode PengkajianKeandalan
Bagian 3
Oleh
Ir. Dwi Priyanta, MSE
JURUSAN TEKNIK SISTEM PERKAPALAN
FAKULTAS TEKNOLOGI KELAUTAN
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMEBER
SURABAYA
Copyr i ght ada pada penul i s
MODUL
4
FOR INTERNAL USE ONLY
DAFTAR ISI MODUL 4
BAB 9 Rantai Markov Diskrit (Discrete Markov Chain)
9.1 Pendahuluan
9.2 Konsep Pemodelan
9.3 Stochastic Transitional Probability (STP) Matrix
9.4 Evaluasi Probabilitas yang Tergantung Waktu (time Dependent
Probability Evaluation)
9.5 Evaluasi Probabilitas Untuk Kondisi Mantap
9.6 Absorbing State
9.7 Referensi dan Bibliografi
BAB 10Proses Markov Kontinyu (Continuous Markov Process)
10.1 Pendahuluan
10.2 Konsep Umum Pemodelan
10.3 Pengevaluasian yang Tergantung Waktu
10.4 StochasticTransitional Probability (STP) Matrix
10.5 Pengevaluasian Probabilitas untuk Kondisi Batas
10.5.1 Komponen Tunggal yang Mampu-Rawat
10.5.2 Dua Komponen yang Mampu-rawat
10.6 Pengevaluasian dengan Menggunakan Persamaan Diferensial
10.7 Mean Time to Failure (MTTF)
10.8 Referensi dan Bibliografi
FOR INTERNAL USE ONLY
BAB 11Simulasi Monte Carlo
11.1 Konsep Simulasi
11.2 Random Number Generator
11.3 Konversi Uniform random Number
11.4 Algoritma Simulasi
11.4.1 Algoritma Konfigurasi Seri Untuk Sistem Non-Repairable
11.4.2 Algoritma Konfigurasi Paralel Untuk Sistem Non-Repairable
11.4.3 Algoritma Konfigurasi Paralel Repairable System
11.4.4 Algoritma Konfigurasi Standby System
11.5 Referensi dan Bibliografi
KEMBALI KE MENU UTAMA
1
Rantai Markov Diskrit
(Discrete Markov Chain)
9.1 Pendahuluan
Berbagai teknik analitis untuk mengevaluasi reliability dari
suatu sistem telah diuraikan pada bab terdahulu. Teknik analitis ini
mengasumsikan bahwa sistem adalah tidak repairable, kalaupun
sistem itu repairable maka selalu diasumsikan bahwa waktu untuk
mereparasi sistem / komponen yang ada di dalam sistem adalah
sangat singkat bila dibandingkan dengan waktu pengoperasian
sistem. Teknik pemodelan dengan menggunakan pendekatan Markov
(Markov Approach) menawarkan suatu pemodelan untuk
memperhitungkan waktu reparasi atau repairable system.
Pendekatan Markov dapat diaplikasikan pada perilaku
(behavior) random dari suatu sistem yang bervariasi secara diskrit
maupun kontinyu terhadap ruang dan waktu. Variasi random baik
secara diskrit maupun secara random ini disebut dengan proses
stokastik (stochastic process). Tidak semua proses stokastik dapat
dimodelkan dengan memakai pendekatan Markov dasar (basic
2
Markov approach). Syarat yang harus dipenuhi agar suatu sistem
dapat dimodelkan dengan menggunakan pedekatan Markov dasar
adalah
a. sistem harus memiliki sifat lack of memory
b. proses dari sistem harus stasioner atau homogen
Sifat pertama, lack of memory, berarti bahwa keadaan sistem
pada masa yang akan datang tidak tergantung dari keadaan masa
lalu kecuali keadaan yang langsung mendahuluinya. Dengan kata lain
keadaan dari suatu sistem pada masa yang akan datang hanya
tergantung dari keadaan saat ini, dan bukan tergantung dari keadaan
masa lalu dan tidak juga tergantung dari bagaimana suatu sistem
dapat mencapai suatu keadaan pada saat ini. Sifat kedua, sistem
yang stasioner atau homogen, berarti bahwa perilaku sistem adalah
sama pada semua titik-titik waktu yang akan dipertimbangkan,
artinya probabilitas untuk berpindah dari satu keadaan ke keadaan
lain adalah sama (stasioner) pada sembarang waktu baik waktu
lampau dan waktu yang akan datang. Jika probabilitas ini merupakan
fungsi dari waktu atau merupakan berupa angka diskrit yang
berjenjang, maka proses ini dikategorikan sebagai non stasioner atau
juga bisa disebut dengan non-Markovian.
Kedua sifat yang harus dimiliki oleh suatu sistem agar sistem
ini bisa dimodelkan dengan menggunakan pendekatan Markov adalah
bila sistem atau komponen yang ada di dalam sistem memiliki
probability distribution dengan laju kegagalan (failure rate) yang
konstan. Probability distribution function yang memiliki laju
kegagalan yang konstan misalnya adalah distribusi eksponensial atau
distribusi Poisson.
Secara umum pemodelan dengan menggunakan pendekatan
Markov dapat diapakai untuk memodelkan ruang dan waktu (space
and time) sistem baik yang diskrit maupun yang kontinyu. Umumnya,
space dari sistem adalah diskrit, karena space ini hanya
3
menunjukkan keadaan suatu sistem. Sebagai contoh, suatu sistem
mungkin dalam keadaan up atau down. Sedangkan untuk waktu
mungkin bisa diskrit atau kontinyu. Pemodelan sistem yang
melibatkan pendekatan Markov secara diskrit disebut dengan rantai
Markov diskrit (discrete Markov chain) sedang pemodelan sistem
yang melibatkan pendekatan Markov secara kontinyu disebut dengan
proses Markov (Markov process).
Gambar 9.1
State space diagram untuk sistem dengan 2 keadaan
9.2 Konsep Pemodelan
Untuk mengilustrasikan mengenai konsep pemodelan Markov,
misalkan ada sebuah sistem yang memiliki dua keadaan yaitu
keadaan up (beroperasi) dan keadaan down (rusak). Kondisi ini dapat
digambarkan dalam sebuah state space diagram (diagram keadaan -
ruang). Gambar 9.1 menunjukkan state space diagram dari contoh
sistem yang dibahas.
Pada gambar 9.1, state 1 mewakili keadaan untuk sistem
dalam keadaan up,sedang untuk state 2 mewakili keadaan sistem
4
dalam keadaan down. Probabilitas dari sistem itu untuk tetap pada
state 1 adalah 2/3 atau sistem itu dapat berpindah dari state 1 ke
state 2 dengan probabilitas 1/3. Yang perlu diperhatikan dalam
pemodelan ini adalah bahwa jumlah dari proabilitas ini adalah 1. Dari
gambar 1 juga terlihat bahwa probabilitas sistem itu untuk tetap
berada pada state 2 adalah 4/5 sedang probabilitas sistem itu
berpindah dari state 2 ke state 1 adalah 1/5.
Contoh di atas merupakan contoh dari rantai Markov diskrit,
karena sistemnya adalah stasioner dan perpindahan antara satu state
ke state yang lain terjadi dalam jenjang diskrit.
Sistem di atas diasumsikan berawal pada state 1 dan perilaku
transien (transient behavior) dievaluasi sesuai dengan pertambahan
waktu. Keadaan sistem pada saat t = 0 disebut dengan kondisi awal
(initial condition). Untuk berbagai kasus pengevaluasian reliability
dari sistem kondisi awal ini biasanya sudah diketahui. Perilaku
transien dari sistem ini sangat tergantung dari kondisi awal sistem,
sedangkan nilai probabilitas dari kondisi mantap (limiting state /
steady state) tidak tergantung dari kondisi awal. Sebuah sistem atau
suatu sistem dimana nilai probabilitasnya tidak tergantung pada
kondisi awal dikenal dengan sistem ergodik (ergodic system). Agar
suatu sistem bisa disebut sebagai sistem yang ergodik, maka semua
state dari suatu sistem dapat dicapai dari berbagai state yang lain
baik secara langsung maupun tidak langsung melalui state antara
(intermediate state). Jika kondisi ini tidak mungkin terjadi dan ada
satu atau beberapa state yang bila sekali sistem berada pada state ini
sistem tidak bisa bertransisi ke state yang lain, maka state ini disebut
dengan absorbing state. State 3 pada gambar 9.2 merupakan suatu
contoh absorbing state.
5
Gambar 9.2
State-space diagram dengan state 3 sebagai absorbing state
9.3 Stochastic Transitional Probability (STP) Matrix
State space diagram pada gambar 9.1 dapat diekspresikan
dalam bentuk matrik. Matrik ini merepresentasikan probabilitas
transisi dari satu state ke state lain dalam satu jenjang atau interval
waktu. Matrik ini disebut dengan matrik probabilitas transisional
stokastik (Stochastic Transitional Probability Matrix STP Matrix).
Matrik STP dari gambar 9.1 dapat ditulis sebagai

=
5
4
5
1
3
1
3
2
22 21
12 11
P P
P P
P (9.1)
dimana
P
ij
= probabilitas untuk melakukan transisi ke state j setelah satu
interval waktu tertentu dimana state i merupakan awal dari
satu interval waktu.
6
Sedang matrik STP untuk state space diagram pada gambar 9.2
adalah

=
1 0 0
0
5
1
5
3
5
1
3
1
3
2
33 32 31
23 22 21
13 12 11
P P P
P P P
P P P
P (9.2)
Secara umum bila suatu sistem yang dimodelkan dengan
menggunakan pemodelan Markov secara diskrit memiliki n buah
state, maka secara umum matrik STP nya dapat dituliskan sebagai
berikut.

=
nn n n
n
n
P P P
P P P
P P P
P
... ...
. ... ... . .
. ... ... . .
... ...
... ...
2 1
2 22 21
1 12 11
(9.3)
dengan
P
ij
= probabilitas untuk melakukan transisi ke state j setelah satu
interval waktu tertentu dimana state i merupakan awal dari
satu interval waktu.
Yang perlu diperhatikan dari matrik STP ini adalah jumlah probabilitas
untuk masing-masing baris harus sama dengan satu.
7
Contoh 9.1
Gambar 9.3 menunjukkan sebuah state space diagram yang
merupakan model dari sebuah sistem. Laju perubahan dari satu state
ke state lain juga ditunjukkan pada gambarTentukan matrik STP dari
dari state space diagram tersebut.
1
3 2
4
0,001
0,005
0,009 0,008
0,04 0,02
Gambar 9.3
State space diagram untuk contoh 9.1
Solusi
STP matrik untuk permasalah an di atas
8

=
1 0 0 0
009 0 951 0 0 04 0
008 0 0 972 0 02 0
0 005 0 001 0 994 0
44 43 42 41
34 33 32 31
24 23 22 21
14 13 12 11
, , ,
, , ,
, , ,
P P P P
P P P P
P P P P
P P P P
P q
9.4 Evaluasi Probabilitas yang Tergantung Waktu (Time
Dependent Probability Evaluation)
Pada contoh sistem yang diekspresikan pada gambar 9.1,
setelah dua interval waktu maka perilaku dari sistem yang diwakili
oleh nilai probabilitas yang terdapat di dalam matrik STP akan
berubah menjadi

=
75
53
75
22
45
22
45
23
5
4
5
1
3
1
3
2
5
4
5
1
3
1
3
2
2
P (9.4)
Elemen pada baris pertama kolom pertama dari matrik di atas
dapat diartikan sebagai probabilitas sistem itu berada pada state 1
jika pada awalnya sistem itu berada pada state 1 adalah 23/45.
Sedang elemen pada baris pertama kolom kedua dari matrik di atas
dapat diartikan sebagai probabilitas sistem itu berada pada state 2
jika pada awalnya sistem itu berada pada state 1 adalah 22/45.
Elemen pada baris kedua kolom pertama dari matrik di atas
dapat diartikan sebagai probabilitas sistem itu berada pada state 1
jika pada awalnya sistem itu berada pada state 2 adalah 22/75.
Sedang elemen pada baris kedua kolom kedua dari matrik di atas
dapat diartikan sebagai probabilitas sistem itu berada pada state 2
jika pada awalnya sistem itu berada pada state 2 adalah 53/75. Jadi
9
matrik P
2
menyatakan semua proabailitas dari sistem setelah dua
interval waktu, baik sistem itu berawal dari state 1 maupun berawal
dari state 2. Secara umum elemen-elemn yang terdapat di dalam
matrik P
n
menyatakan probabilitas dari suatu sistem yang berawal
dari keadaan i dan berakhir pada state j setelah n interval waktu.
Jika keadaan awal dari sistem diwakili oleh suatu matrik
probabilitas P(0) yang menyatakan probabilitas dari masing-masing
state pada saat awal dari misi sistem, maka setelah n interval
probabilitas dari sistem itu dapat dituliskan ke dalam sebuah
persamaan
n
P P n P ) ( ) ( 0 = (9.5)
dengan
P(n) = matrik proababilitas yang menyatakan probabilitas dari
masing-masing state setelah n interval waktu
P(0) =matrik probabilitas yang menyatakan probabilitas dari
masing-masing state pada saat awal dari misi sistem
P =matrik STP yang mewakili sistem
Bila sistem yang digambarkan pada gambar 9.1 mengawali misinya
pada state 1, maka kondisi awal dapat dituliskan dalam matrik
probabilitas
[ ] 0 1 0 = ) ( P (9.6)
Elemen 1 pada matrik probabilitas pada persamaan (9.6)
menyatakan bahwa probabilitas dari sistem itu untuk berada pada
10
state 1 adalah 1, sedang elemen 0 pada matrik probabilitas pada
persamaan (9.6) menyatakan bahwa probabilitas dari sistem itu
untuk berada pada state 2 adalah 0.
Contoh 9.2
Dengan menggunakan state space diagram pada gambar 9.1,
tentukan probabilitas masing-masing state setelah dua interval
waktu, jika misi dari sistem tersebut diawali dari state 1.
Solusi
Setelah dua interval waktu maka perilaku dari sistem yang diwakili
oleh nilai probabilitas yang terdapat di dalam matrik STP akan
berubah menjadi

=
75
53
75
22
45
22
45
23
5
4
5
1
3
1
3
2
5
4
5
1
3
1
3
2
2
P
Setelah dua interval waktu, probabilitas masing-masing state dapat
dihitung dengan menggunakan persamaan (9.5).
[ ] [ ]
45
22
45
23
75
53
75
22
45
22
45
23
2
0 1 0 2 =

= = ) ( ) ( P P P (9.7)
yang berarti bahwa setelah dua interval waktu, probabilitas dari
sistem itu untuk tetap berada pada state 1 adalah 23/45 sedang
11
probabilitas dari sistem itu untuk berada pada state 2 adalah 22/45.
q
9.5 Evaluasi Probabilitas Untuk Kondisi Mantap
Seksi 9.4 telah membahas bagaimana cara menghitung
probabilitas dari suatu sistem yang telah dimodelkan dengan
menggunakan rantai Markov diskrit untuk kondisi transien. Cara
tersebut dapat juga dipakai untuk menghitung probabilitas dari
sistem ergodik. Satu kelemahan dari cara ini adalah, perkalian matrik
harus dialakukan secara berulang-ulang dan membutuhkan waktu
yang sangat lama.
Berikut ini akan diuraikan suatu teknik perhitungan untuk
mendapatkan nilai probabilitas dari suatu sistem ergodik untuk
kondisi mantap. Prinsip dari perhitungan ini adalah sekali suatu
sistem memasuki kondisi mantap, perkalian matrik STP lebih lanjut
tidak akan merubah nilai probabilitas dari keadaan sistem yang sudah
mantap. Secara matematis prinsip ini dapat ditulis dalam bentuk
perkalian matrik. Jika A menyatakan vektor probabilitas untuk
keadaan mantap sistem dan P adalah matrik STP, maka untuk kondisi
mantap dari sistem aka berlaku
A AP = (9.8)
Sistem yang dimodelkan pada gambar 9.1 kembali akan dipakai
sebagai contoh. Misalkan A = [ P
1
P
2
], dengan P
1
mewakili
probabilitas keadaan mantap dari sistem itu untuk berada pada state
1 dan P
2
mewakili probabilitas keadaan mantap dari sistem itu untuk
12
berada pada state 2. Dengan memakai persamaan (9.8), probabilitas
masing-masing state untuk kondisi mantap dapat dihitung sebagai
berikut.
[ ] [ ]
2 1
5
4
5
1
3
1
3
2
2 1
P P P P =

(9.9)
atau
2 2 5
4
1 3
1
1 2 5
1
1 3
2
P P P
P P P
= +
= +
(9.10)
yang bisa disederhanakan menjadi
0
0
2 5
1
1 3
1
2 5
1
1 3
1
=
= +
P P
P P
(9.11)
Kedua persamaan di atas adalah identik, sehingga untuk
menyelesaikan kedua persamaan di atas diperlukan sebuah
persamaan lagi yaitu
1
2 1
= + P P (9.12)
13
Dengan mengambil salah satu persamaan dari dua persamaan
yang ada pada persamaan (9.11) dan persamaan (9.12), maka akan
terbentuk dua buah persamaan simultan. Kedua persamaan simultan
ini dapat ditulis menjadi sebuah persamaan matrik yaitu


1
0
1 1
2
1 5
1
3
1
P
P
(9.13)
Persamaan matrik di atas dapat diselesaikan dengan
menggunakan teknik penyelesaian standar seperti metode Cramer,
eliminasi Gauss dan berbagai teknik penyelesaian lain. Solusi dari
persamaan (9.13) adalah P
1
= 3/5 dan P
2
= 5/8.
Untuk sistem yang memiliki matrik STP dengan ordo lebih dari
2x2, maka salah satu persamaan yang dihasilkan oleh persamaan
(9.8) harus diganti dengan persamaan yang memiliki bentuk seperti
persamaan (9.12). Sebagai contoh, bila matrik STP suatu sistem
berordo 3x3, maka persamaan (9.12) akan berubah menjadi P
1
+ P
2
+ P
3
= 1.
9.6 Absorbing State
Pada seksi terdahulu telah dijelaskan definisi dari absorbing
state, yaitu sekali suatu sistem memasuki state ini maka sistem itu
tidak akan bisa keluar dari state ini kecuali sistem ini memulai misi
yang baru. Sistem yang memiliki sifat seperti ini bisa dikategorikan
sebagai sistem yang berorientasi pada misi (mission oriented
14
system). Pada kasus tertentu, satu persyaratan dari analisa
keandalan adalah untuk mengevaluasi jumlah rata rata dari interval
waktu dimana sistem berada pada salah satu non-absorbing state,
atau dengan kata lain berapa kali interval sistem beroperasi sebelum
sistem tersebut memasuki absorbing state.
Prinsip ini juga dapat diterapkan pada repairable system, yaitu
untuk mengevaluasi jumlah rata rata interval waktu sistem yang
akan beroperasi secara memuaskan sebelum memasuki keadaan
yang tidak diinginkan. Pada kasus ini state yang dimaksud bukanlah
merupakan absorbing state yang nyata karena keadaan ini dapat
ditinggalkan setelah aksi reparasi dilakukan. Berikut ini akan
diuraikan metode perhitungan yang dipakai untuk menghitung berapa
interval waktu rata rata dari suatu sistem sebelum absorbing state
tercapai.
Jika P merupakan matrik STP dari sistem, sebuah truncated
matrix Q dapat dibuat dengan menghapus kolom dan baris matrik
yang berkaitan dengan absorbing state. Untuk persamaan (9.1) yang
mewakili sebuah matrik STP sistem, jika state 2 didefinisikan sebagai
absorbing state, maka matrik Q hanya akan memiliki satu elemen,
yaitu [P
11
]. Ini terjadi karena kolom kedua dan baris kedua dari
matrik STP tersebut telah dihilangkan.
Secara umum, nilai harapan dari sebuah variabel random
didefinisikan oleh

=
=
1 i
i i
P x x E ) ( (9.14)
Persamaan ini tidak hanya berlaku untuk elemen probabilitas tunggal
P
i
tetapi juga untuk elemen probabilitas multi yang dinyatakan oleh
matrik Q. Oleh karena itu jika N menyatakan jumlah interval waktu
yang diharapkan, maka
15
1 2
1 1 1 1

+ + + + =
n
Q Q Q I N ... . (9.15)
dimana I merupakan matrik identitas.
Angka 1 pada tiap tiap suku dapat dijelaskan sebagai berikut.
Untuk suku pertama, 1 mewakili kontribusi terhadap nilai harapan
dari sistem yang mulai beroperasi pada state 1, sedangkan angka 1
yang berada pada suku kedua mewakili kontribusi terhadap nilai
harapan dari sistem yang mulai beroperasi pada state 2, begitu
seterusnya. Sedangkan matrik satuan I pada suku pertama mewakili
probabilitas terjadinya interval waktu pertama, probabilitas terjadinya
interval waktu kedua dinyatakan dengan Q, sedangkan sedangkan
probabilitas terjadinya interval waktu ketiga dinyatakan dengan Q
3
begitu seterusnya.
Persamaan (9.15) bukan merupakan persamaan yang siap
untuk dievaluasi. Dengan mempertimbnagkan persamaan berikut ini
N N
Q I Q Q Q I Q I = + + + +

] ... ][ [
1 2
(9.16)
Karena nilai nilai elemen matrik Q adalah kurang dari 1, maka akan
berlaku 0 =

n
Q
n
lim
, sehingga I Q I
n
, dan persamaan (9.16)
berubah menjadi
I Q Q Q I Q I
N
= + + + +

] ... ][ [
1 2
16
atau
1 1 2
= + + + + ] [ ] ... [ Q I Q Q Q I
N
Oleh karena itu, dari persamaan(9.15) dan (9.16) akan diperoleh
1
= ] [ Q I N (9.17)
Contoh 9.3
Dengan menggunakan state space diagram pada gambar 9.1, jika
didefinisikan state 2 merupakan absorbing state, tentukan untuk
berapa kali interval sistem itu rata rata akan beroperasi sebelum
mencapai absorbing state.
Solusi
Jika state 2 didefinisikan sebagai absorbing state, maka truncated
matrix Q dapat ditentukan sebagai berikut.
Q = P
11
=
Sehingga
N = [ 1-1/2]
-1
= 2
Jadi rata rata sistem itu akan beroperasi selama 2 interval waktu
sebelum state 2 dimasuki. q
17
9.7 Referensi dan Bibliografi
1. Billinton, R. and Ronald N. Allan [1992], Reliability Evaluation of
Engineering Systems: Concepts and Techniques, 2
nd
edition,
Plenum Press, New York and London
2. Henley, E.J. and Hiromitsu Kumamoto [1992], Probabilistic Risk
Assessment : reliability Engineering, Design, and Analysis, IEEE
Press, New York.
3. Hyland, Arnljot and Marvin Rausand [1994], System Reliability
Theory Models And Statistical Methods, John Willey & Sons, Inc.
4. Ramakumar, R [1993]., Engineering Reliability : Fundamentals
and Applications, Prentice Hall, Inc. Englewood Cliffs, New Jersey
07632.
KEMBALI KE DAFTAR ISI MODUL 4
18
Proses Markov Kontinyu
(Continuous Markov
Processes)
10.1 Pendahuluan
Masalah keandalan yang berhubungan dengan sistem secara
normal adalah space memiliki sifat diskrit - yaitu sistem tersebut
dapat eksis pada salah satu keadaan diskrit dengan state yang dapat
diidentifikasi dan sistem tersebut eksis secara kontinyu pada salah
satu state sampai terjadi sebuah transisi yang membawa sistem
tersebut secara diskrit dari satu state ke state yang lain. Teknik
evaluasi yang ditulis pada seksi ini akan menyinggung sistem yang
dapat didiskripsikan sebagai stationary Markov proces, yaitu
probabilitas kegagalan kondisional atau reparasi selama interval
waktu yang tertentu adalah konstan. Hal ini mengimplikasikan bahwa
karakteristik kegagalan dan reparasi dari komponen berhubungan
dengan distribusi eksponensial.
Jika kondisi yang disyaratkan seperti di atas terpenuhi, maka
pendekatan Markov dapat dipakai untuk berbagai permasalahan
reliabiity, termasuk sistem yang repairaple atau non-repairable, juga
termasuk sistem yang terhubung secara seri, paralel atau standby.
19
10.2 Konsep Umum Pemodelan
10.2.1 Konsep Laju Perpindahan (Transition Rate)
sebagai contoh awal pemodelan, pertimbangkan sebuah
komponen tunggal yang mampu-reparasi (repairable) dimana failure
rate dan repair rate nya adalah konstan, yaitu keduanya
dikarakteristikkan oleh distribusi eksponensial. Gambar 10. 1
menunjukkan state-space diagram dari sebuah komponen tunggal.
Gambar 10.1
State-space diagram untuk komponen tunggal
Definisi definisi berikut ini juga akan dipergunakan untuk
menjelaskan diagram state-space pada gambar 10.1.
P
0
(t) = Probabilitas komponen dapat beroperasi pada saat t
P
1
(t) = Probabilitas komponen tidak dapat beroperasi pada
saat t
= laju kegagalan (failure rate)
= laju perbaikan (repair rate)
Failure density function bagi sebuah komponen yang memiliki
laju kegagalan yang kontan, , dapat ditulis sebagai
t
e t f


= ) ( (10.1)
State 0
Komponen dapat
dioperasikan
State 1
Komponen mengalami
kegagalan

20
Dengan memanfaatkan persamaan (10.1), maka density
function diagram state-space pada gambar 10.1, density function
yang mewakili keadaan sistem pada saat beroperasi dan pada saat
dalam keadaan gagal masing masing dapat dituliskan sebagai
t
e t f


= ) (
0
(10.2)
dan
t
e t f


= ) (
1
(10.3)
Parameter parameter dan menunjukkan laju transisi (transition
rate) karena masing masing menyatakan dimana sistem berpindah
dari satu keadaan ke keadaan yang lain.
10.2.2 Pengevaluasian Probabilitas yang Tergantung Waktu
State space diagram untuk komponen tunggal telah
ditunjukkan pada gambar 10.1. Pada discrete Markov chain,
perpindahan dari satu keadaan ke keadaan lain ditunjukkan oleh
probabilitas transitional. Untuk kasus continuous Markov process
perpindahan dari satu keadaan ke keadaan lain dinyatakan oleh laju
perpindahan (transition rate), yaitu dengan parameter dan yang
masing masing mewakili laju perubahan dari keadaan beroperasi
dan perubahan dari keadaan gagal.
Misalkan sebuah pertambahan interval waktu dt yang sangat
kecil yang mewakili interval waktu pindah dari satu keadaan ke
keadaan lain sehingga tidak memungkinkan terjadinya lebih dari satu
kegagalan pada interval waktu tersebut. Probabilitas bahwa
21
komponen tersebut tetap berada dalam keadaan beroperasi (state 0)
pada saat (t + dt) dapat dinyatakan sebagai
[Probabilitas untuk tetap beroperasi pada saat t DAN tidak
mengalami kegagalan pada saat dt] + [Probabilitas untuk
mengalami kegagalan pada saat t DAN akan dapat direparasi
pada saat dt]
Secara matematis, uraian di atas dapat ditulis sebagai berikut
) )( ( ) )( ( ) ( dt t P dt t P dt t P
1 0 0
1 + = + (10.4)
atau
) ( ) (
) ( ) (
t P t P
dt
t P dt t P
1 0
0 0
+ =
+
(10.5)
untuk dt 0, maka
) ( '
) ( ) ( ) ( lim
t P
dt
t dP
dt
t P dt t P
dt
0
0 0 0
0
= =
+

(10.6)
sehingga persamaan (10.5) akan berubah menjadi
) ( ) ( ) ( ' t P t P t P
1 0 0
+ = (10.7)
Dengan pendekatan yang sama, probabilitas bahwa komponen
tersebut tetap berada dalam keadaan gagal (state 1) pada saat (t +
dt) dapat dinyatakan sebagai
22
) )( ( ) )( ( ) ( dt t P dt t P dt t P
0 1 1
1 + = + (10.8)
dimana untuk dt 0 persamaan (10.8) dapat ditulis sebagai
) ( ) ( ) ( ' t P t P t P
1 0 1
= (10.9)
Persamaan (10.7) dan (10.9) dapat ditulis dalam sebuah
bentuk persamaan matrik di bawah ini.

=


)] ( ) ( [ )] ( ' ) ( ' [ t P t P t P t P
1 0 1 0
(10.10)
Matrik koefisien pada persamaan (10.10) bukan merupakan matrik
STP karena penjumlahan semua koefisien pada satu baris
menghasilkan nilai 0, sedangkan pada matrik STP akan menghasilkan
1.
Persamaan (10.7) dan (10.9) merupakan persamaan diferensial
linier dengan koefisien koefisen yang konstan. Kedua persamaan di
atas dapat diselesaikan dengan berbagai cara. Salah satu cara yang
paling mudah dan banyak digunakan adalah dengan menggunakan
transformasi La Place. Secara umum transformasi La Place
didefinisikan oleh

=
0
dt t f e s F
st
) ( ) ( (10.11)
sedangkan tabel 10.1 menunjukkan beberapa transformasi La Place
untuk beberapa fungsi.
23
Tabel 10.1
Transformasi La Place
f(t) F(s)
1
s
1
T
2
1
s
kt
e

) ( k s +
1
kt sin
) (
2 2
k s
k
+
kt cos
) (
2 2
k s
s
+
kt n
e t
n

1
1
1
)! (
n
k s ) ( +
1
dt
dy
) ( ) ( 0 y s sF
Transformasi La Place dari persamaan (10.7)
) ( ) ( ) ( ) ( s P s P P s sP
1 0 0 0
0 + = (10.12)
dengan
P
i
(s) = transformasi La Place daro P
i
(t)
P
0
(0) = nilai awal dari P
0
(t)
Persamaan (10.12) dapat ditulis kembali menjadi
24
) ( ) ( ) ( 0
1
0 1 0
P
s
s P
s
s P

+
+
+
= (10.13)
demikian juga untuk persamaan (10.9), transformasi La Place dari
persamaan ini dapat disederhanakan menjadi
) ( ) ( ) ( 0
1
1 0 1
P
s
s P
s
s P

+
+
+
= (10.14)
dengan
P
1
(0) = nilai awal dari P
1
(t)
Persamaan (10.13) dan (10.14) dapat digunakan secara
serentak untuk mendapatkan nilai dari P
0
(s) dan P
1
(s), dengan
menggunakan metode substitusi kita akan memperoleh
[ ] ) ( ) (
) ( ) (
) ( 0 0
1 1 0 0
1 0
1 0
0
P P
s s
P P
s P

+ +

+
+

+
+
= (10.15)
[ ] ) ( ) (
) ( ) (
) ( 0 0
1 1 0 0
0 1
1 0
1
P P
s s
P P
s P

+ +

+
+

+
+
= (10.16)
Persamaan (10.15) dan (10.16) harus ditransformasi kembali ke
fungsi waktu. Untuk itu, persamaan persamaan di atas harus
ditransformasi kembali dengan menggunakan inverse transformasi La
Place. Inverse transformasi La Place untuk persamaan (10.15) dan
(10.16) masing masing ditunjukkan oleh persamaan
25
[ ] [ ] ) ( ) ( ) ( ) ( ) (
) (
0 0 0 0
1 0 1 0 0
P P
e
P P t P
t

+
+ +
+
=
+
(10.17)
[ ] [ ] ) ( ) ( ) ( ) ( ) (
) (
0 0 0 0
0 1 1 0 1
P P
e
P P t P
t

+
+ +
+
=
+
(10.18)
Untuk semua kondisi akan berlaku P
0
(0) + P
1
(0) = 1, oleh karena itu
persamaan (10.17) dan (10.18) akan berubah menjadi
[ ] ) ( ) ( ) (
) (
0 0
1 0 0
P P
e
t P
t

+
+
+
=
+
(10.19)
[ ] ) ( ) ( ) (
) (
0 0
0 1 1
P P
e
t P
t

+
+
+
=
+
(10.20)
Secara praktekpada umumnya sistem berawal dari state 0,
yaitu sistem berada pada kondisi yang dapat dioperasikan pada saat t
= 0. Untuk kasu ini P
0
(0) = 1 dan P
1
(0) = 0, dan persamaan (10.19)
dan (10.20) dapat ditulis menjadi


+
+
+
=
+ t
e
t P
) (
) (
0
(10.21)

+
=
+ t
e
t P
) (
) (
1
(10.22)
Persamaan (10.21) dan (10.22) masing masing menyatakan
probabilitas dari sistem untuk berada pada keadaan beroperasi dan
26
gagal sebagai fungsi dari waktu dimana sistem mulai beroperasi pada
saat t = 0 pada saat sistem dalam keadaan beroperasi.
10.2.3 Pengevaluasian Probabilitas Untuk Kondisi Batas
Probabilitas batas keadaan (Limiting state probability) atau
probabilitas untuk kondisi mantap (steady-state probability) tidak
akan sama dengan nol untuk sebuah continuous Markov process
dimana sistemnya adalah ergodic. Untuk kasus komponen tunggal
yang repairable seperti yang ditunjukkan pada gambar 10.1,
probabilitas batas keadaan dapat dihitung dari persamaan (10.21)
dan (10.22) dengan membiarkan t . Jika nilai dari probabilitas
kondisi batas didefinisikan oleh P
0
dan P
1
masing masing untuk
keadaan beroperasi dan keadaan gagal, maka persamaan (10.21)
dan (10.22) dapat ditulis menjadi

+
=
0
P (10.23)

+
=
1
P (10.24)
Ekspresi probabilitas batas keadaan dapat diterapkan tanpa
memandang apakah sistem berawal dari keadaan beroperasi atau
berawal dari keadaan gagal.
Salah satu karakteristik distribusi eksponensial adalah MTTF
dari distribusi ini dapat diitung langsung dari

1
= MTTF , dengan
demikian

1
= MTTR . Dengan mensubstitusikan kedua persamaan ini
ke dalam persamaan (10.23) dan (10.24), maka akan diperoleh
27
MTTR MTTF
MTTF
P
+
=
0
(10.25)
MTTR MTTF
MTTR
P
+
=
1
(10.26)
Nilai dari P0 dan P1 umumnya masing masing dirujuk sebagai
ketersediaan sistem pada keadaan mantap (steady state availability)
A, dan ketaktersediaan sistem pada keadaan mantap (steady state
availability) U. Sedangkan ketersediaan sistem yang tergantung
waktu (time dependent availability) diberikan oleh persamaan
(10.21). Persamaan ini menyatakan probabilitas untuk mendapatkan
sistem dalam keadaan beroperasi pada saat t dimana sistem berada
dalam keadaan beroperasi pada saat t = 0. Hal ini tentunnya sangat
berbeda dengan keandalan R(t) yang diberikan oleh persamaan
t
e t R

= ) (
Keandalan ini menyatakan probabilitas dari suatu sistem untuk tetap
berada pada keadaan beroperasi sebagai fungsi dari waktu dimana
sistem juga berada dalam keadaan beroperasi pada saat t = 0.
Gambar 10.2 menunjukkan hubungan antara A(t) dan R(t).
28
Gambar 10.2
Hubungan antara A(t) dan R(t)
Probabilitas keadaan batas dapat dievaluasi secara langsung
dari persamaan diferensial yang ditunjukkan pada persamaan (10.8)
dan (10.9) tanpa secara aktual menyelesaikan persamaan
persamaan tersebut. Pendekatan yang dipakai adalah dengan
mengevaluasi probabilitas keadaan untuk t . Untuk kondisi
seperti ini, P
0
(t) dan P
1
(t) keduanya akan cenderung bernilai 0, dan
persamaan (10.8) dan (10.9) masing masing dapat direduksi
menjadi
0
1 0
= + P P (10.27)
0
1 0
= P P (10.28)
Kedua persamaan ini merupakan persamaan yang identik, sehingga
diperlukan satu persamaan lain agar nilai dari P
0
dan P
1
dapat
diselesaikan. Persamaan lain yang dipakai adalah
A(t)
R(t)
29
P
0
+ P
1
= 1
Dengan menggunakan kedua persamaan ini maka akan diperoleh

+
=
0
P

+
=
1
P
10.3 State Space Diagram (Diagram Ruang Keadaan)
Untuk memfasilitasi penyelesaian continuous Markov process
dan discrete Markov chain, perlu kiranya untuk mengkonstruksi state
space diagram yang layak dan memasukkan berbagai laju perubahan
(transition rate) yang relevan. Semua state yang relevan dimana
sistem dapat berada harus disertakan pada diagram dan semua cara
yang diketahui dimana perubahan dari satu state ke state yang lain
juga harusl disertakan.
Pengkostruksian state space diagram merupakan salah satu
bagian terpenting dari seluruh rangkaian penyelesaian masalah
dengan menggunakan metode Markov. Pengkonstruksian diagram ini
merupakan perwujudan dari pengetahuan seorang analis terhadap
pengoperasian sistem dalam bentuk pemodelan matematis yang
nantinya akan diselesaikan dengan menggunakan teknik Markov.
30
0
Beroperasi
Penuh
1
Beroperasi
Secara
Parsial
2
Gagal
2
1 3
1
2
3
Gambar 10.3
State space diagram untuk komponen tunggal yang mampu-rawat
10.3.1 Pemodelan Komponen Tunggal yang Mampu-Rawat
Sebuah komponen yang mampu rawat dapat memiliki lebih dari
satu state space diagram yang menggambarkan pemodelan keadaan
komponen tersebut beroperasi. Sebagai contoh, sebuah komponen
dapat dimodelkan ke dalam sebuah state space diagram hanya
dengan dua keadaan saja yaitu keadaan beroperasi dan keadaan
gagal. Sebuah komponen mungkin juga dapat dimodelkan ke dalam
sebuah state space diagram dengan tiga keadaan yaitu keadaan
beroperasi penuh, beroperasi secara parsial dan keadaan gagal.
Gambar 10.3 menunjukkan sebuah state space diagram untuk
sebuah komponen yang mampu rawat (repairable component).
Contoh aktual dari komponen ini dapat berupa pompa, diesel engine,
dan lain lain. Pada contoh ini komponen didefinisikan memiliki tiga
state yang berlainan yaitu state 0, state 1, dan state 2 yang masing
masing mewakili keadaan beroperasi penuh, beroperasi secara parsial
31
dan keadaan gagal berikut semua kemungkinan laju perpindahannya
dari satu keadaan ke keadaan lain.
10.3.2 Pemodelan Dua Komponen yang Mampu-Rawat
Sebuah sistem yang terdiri dari dua buah komponen berbeda
yang mampu-rawat akan memiliki minimal empat buah kemungkinan
keadaan. Keempat keadaan yang mungkin itu adalah
kedua komponen dapat beroperasi
komponen 1 beroperasi dan komponen 2 gagal
komponen 1 gagal dan komponen 2 beroperasi
kedua komponen mengalami kegagalan.
1
Komp. 1 beroperasi
Komp. 2 beroperasi
3
Komp. 1 beroperasi
Komp. 2 gagal
4
Komp. 1 gagal
Komp. 2 gagal
2
Komp. 1 gagal
Komp. 2 beroperasi
1
2
1
2
1
1
2
2
Gambar 10.4
State space diagram untuk dua komponen berbeda yang mampu-rawat
Gambar 10.4 mengilustrasikan state space diagram dari sebuah
sistem yang terdiri dari dua komponen yang berbeda dengan laju
32
kegagalan dan laju perbaikan untuk masing masing komponen
dinyatakan oleh
1
dan
1
serta
2
dan
2
.
State space diagram yang ditunjukkan pada gambar 10.4
merupakan state diagram universal yang mewakili sebuah sistem
yang memiliki dua buah komponen tanpa memandang apakah
konfigurasi sistem tersebut seri, paralel, atau standby. Tabel 10.2
menunjukkan ketersediaan (availability) dan ketaktersediaan
(unavailability) dari sebuah sistem yang terdiri dari dua komponen
dengan berbagai konfigurasi. Notasi P
i
yang digunakan pada tabel
10.2 menunjukkan probabilitas dari sistem tersebut untuk berada
pada state i.
Tabel 10.2
Ketersediaan dan ketaktersediaan dari sistem
yang terdiri dari dua komponen mampu rawat yang berbeda
Konfigurasi Availability (A) Unavailability (U)
Seri A = P
1
U = P
2
+ P
3
+ P
4
Paralel A = P
1
+ P
2
+ P
3
U = P
4
Untuk konfigurasi seri, dua komponen harus dalam keadaan
beroperasi agar sistem dapat menjalankan misinya. Satu saja
komponen mengalami kegagalan maka sistem akan mengalami
kegagalan. Oleh karena itu ketersediaan dari sistem, A, diwakili oleh
state 1, atau secara matematis ditulis sebagai A(t) = P
1
. Sedangkan
ketaktersediaan sistem diwakili oleh state 2, 3, dan 4, atau secar
matematis ditulis sebai U = P
2
+ P
3
+ P
4
.
Seperti telah diulas pada seksi 10.3.1, mungkin saja sebuah
komponen dapat beroperasi secara parsial selain beroperasi secara
penuh. Apabila hal ini dikehendaki dalam analisa, maka keadaan ini
dapat ditambahkan dalam pengkonstruksian diagram state space.
33
Perlu dicatat pula bahwa untuk transisi tertentu di dalam model state
space mungkin secara fisik tidak mungkin dan harus dihilangkan dan
transisi lain mungkin harus ditambahkan. Sebagai contoh jika kedua
komponen di dalam sistem mengalami kegagalan, perbaikan
komponen 2 mungkin tidak akan dilakukan sebelum komponen 1
selesai diperbaiki sehingga transisi dari state
2
dari state 4 ke state
2 tidak ada. Selain itu, mungkin saja kedua komponen akan
mengalami kegagalan secara serentak sehingga transisi dari state 1
ke state 4 menjadi ada.
Untuk situasi praktis tertentu, state space diagram pada
gambar 10.4 dapat disederhanakan dan direduksi. Sebagai contoh,
jika salah satu komponen mengalami kegagalan untuk sistem dengan
konfigurasi seri, maka komponen lain tidak lagi beroperasi dan laju
perubahannya untuk situasi ini menjadi nol. Sehingga untuk kasus ini
state 4 menjadi tidak ada.
Jika kedua komponen adalah identik, maka state 2 dan state 3
juga akan identik sehingga kedua state ini dapt dikombinasikan yang
pada akhirnya akan mengurangi jumlah model state space dari 4
state menjadi 3 state seperti yang ditunjukkan pada gambar 10.5.
Laju kegagalan 2 dan 2 pada gambar 10.4 menunjukkan bahwa
masing masing ada dua komponen yang tersedia untuk mengalami
kegagalan atau untuk diperbaiki pada pertambahan waktu berikutnya
dan hanya ada satu dari dua komponen yang dapat mengalami
kegagalan atau direparasi, tetapi tidak kedua-duanya pada interval
waktu tersebut.
34
1
Kedua
komponen
beroperasi
3
Kedua
komponen
gagal
2
satu
komponen
beroperasi
2
2
Gambar 10.5
State space diagram untuk dua komponen identik yang mampu-rawat
10.3.3 Pemodelan Tiga Komponen yang Mampu-Rawat
Jika sebuah komponen memiliki dua kemungkinan keadaan,
yaitu keadan beroperasi dan gagal, maka untuk sistem yang memiliki
tiga komponen ada 2
3
atau 8 state yang ada dalam sebuah model
state space. Gambar 10.6 melukiskan sebuah diagram state space
dari sebuah sistem yang terdiri dari 3 komponen. Laju kegagalan dan
laju perbaikan untuk masing masing komponen ditunjukkan oleh
i
dan
i
.
35
1
1 Beroperasi
2 Beroperasi
3 Beroperasi
2
1 Gagal
2 Beroperasi
3 Beroperasi
3
1 Beroperasi
2 Gagal
3 Beroperasi
4
1 Beroperasi
2 Beroperasi
3 Gagal
5
1 Gagal
2 Gagal
3 Beroperasi
6
1 Beroperasi
2 Gagal
3 Gagal
7
1 Gagal
2 Beroperasi
3 Gagal
8
1 Gagal
2 Gagal
3 Gagal
1 3
2
1
1
1
2
2
2
3
3
3
1
2
3
1
1
1
2
2
2
3
3
3
Gambar 10.6
State space diagram untuk tiga komponen
Tabel 10.3 menunjukkan ketersediaan (availability) dan
ketaktersediaan (unavailability) dari sebuah sistem yang terdiri dari
tiga komponen dengan berbagai konfigurasi. Notasi P
i
yang
digunakan pada tabel 10.3 menunjukkan probabilitas dari sistem
tersebut untuk berada pada state i.
36
Tabel 10.3
Ketersediaan dan ketaktersediaan dari
sistem yang terdiri dari tiga komponen
Konfigurasi Availability (A) Unavailability (U)
Seri A = P
1
U = P
2
+ P
3
+ P
4
+ P
5
+
P
6
+ P
7
+P
8
Paralel
A = P
1
+ P
2
+ P
3
+ P
4
+ P
5
+ P
6
+ P
7
U = P
8
2 dari 3 A = P
1
+ P
2
+ P
3
+ P
4
U = P
5
+ P
6
+ P
7
+ P
8
10.4 Stochastic Transitional Probability (STP) Matrix
Untuk kasus discrete Markov chain, sebuah matrik didefinisikan
sebagai matrik STP telah diulas (lihat seksi 9.3) yang menyatakan
probabilitas untuk melakukan perpindahan dari satu state sistem ke
state yang lain. Hal ini relatif lebih mudah untuk kasus discrete
Markov chain, karena masing masing step pada rantai (chain)
menyatakan interval waktu yang sama dan probabilitas perpindahan
masing masing interval adalah konstan. Sebuah matrik STP yang
serupa dapat juga diturunkan untuk continuous Markov process.
Perbedaan dasar pada kasus ini adalah, pada continuous Markov
process interval waktu yang diskrit bukan merupakan bagian
spesifikasi permasalahan, sebagai gantinya maka akan dipakai
pertamabahan waktu t, yang intervalnya cukup pendek sehingga
probabilitas untuk terjadinya lebih dari satu kegagalan pada interval
waktu itu dapat dihindarkan.Matrik STP bagi continuous process
dapat diturunkan dengan menggunakan terminologi yang sudah
didiskritkan karena probabilitas terjadinya dari sebuah transisi pada
interval waktu ini sama dengan laju perpindahan dikali dengan
interval waktu. Jika laju kegagalan dari ebuah komponen adalah
37
maka probabilitas dari sebuah kegagalan pada waktu t adalah t
dan probabilitas untuk tidak mengalami kegagalan pada interval t ini
adalah 1 t.
Untuk kasus sebuah komponen yang mampu rawat seperti
yang ditunjukkan pada gambar 10.1, maka matrik STP-nya adalah



=
t t
t t
P


1
1
(10.29)
10.5 Pengevaluasian Probabilitas Untuk Kondisi Batas
10.5.1 Komponen Tunggal yang Mampu-Rawat
Pada seksi 9.5 telah ditunjukkan bahwa matrik STP memang
secara ideal diperuntukkan untuk mengevaluasi probabilitas kondisi
batas (limiting state probability). Pendekatan yang dilakukan adlaah
dengan mendefinisikan matrik A sebagai vektor probabilitas kondisi
batas yang tidak akan berubah jika dikalikan dengna matrik STP,
yaitu
A AP = (10.30)
Jika A adalah [ ]
1 0
P P untuk komponen tunggal yang mampu rawat,
maka dari persamaan (10.29) dan persamaan (10.30)
[ ] [ ]
1 0 1 0
1
1
P P
t t
t t
P P =





(10.31)
38
yang dapat ditulis dalam bentuk eksplisit
0 1 0
1 P tP P t = + ) ( (10.32)
1 1 0
1 P tP tP = + ) ( (10.33)
dan dapat disederhanakan menjadi
0
1 0
= + tP tP (10.34)
0
1 0
= tP tP (10.35)
Pada persamaan (10.34) dan (10.35) nilai dari t adalah tidak nol,
sehingga kedua persamaan di atas dapat disederhanakan menjadi
0
1 0
= + P P (10.36)
0
1 0
= P P (10.37)
yang identik dengan persamaan (10.27) dan (10.28) yang juga
memiliki solusi

+
=
0
P dan

+
=
1
P .
Suku t yang muncul pada persamaan (10.34) dan (10.35)
dapat dihilangkan, oleh karena itu akan lebih mudah bila
menghapuskan seluruh t pada saat memformulasikan matrik awal
dan mengekspresikan probabilitas perubahan dalam bentuk laju
perubahan. Untuk kasus ini matrik STP yang diberikan pada
persamaan (10.29) akan berubah menjadi

=


1
1
P (10.38)
39
Perlu ditekannkan bahwa persamaan (10.38) merupakan bentuk tak
lengkap dari matrik STP karena dan bukanlah secara khusus
menyatakan probabilitas.
10.5.2 Dua Komponen yang Mampu-Rawat
Untuk kasus ini, state space diagram dari dua komponen
ditunjukkan oleh gambar 10.5. Matrik STP untuk state space diagram
ini adalah

=



2 1 2 0
1
0 2 2 1
P (10.39)
Oleh karena itu, jika vektor probabilitas kondisi batasnya
adalah [ ]
3 2 1
P P P , maka persamaan (10.30) dapat ditulis menjadi
[ ] [ ] P P
1 1 3 2 3 2
2 1 2 0
1
0 2 2 1
P P P P =




(10.40)
yang dapat ditulis dalam bentuk eksplisit
1 2 1
2 1 P P P = + ) ( (10.41)
2 3 2 1
2 1 2 P P P P = + + ) ( (10.42)
40
3 3 2
2 1 P P P = + ) ( (10.43)
Dengan menyusun ulang ketiga persamaan di atas menjadi
0 2
2 1
= + P P (10.44)
0 2 2
3 2 1
= + + P P P ) ( (10.45)
0 2
3 2
= P P (10.46)
Probabilitas keadaan batas untuk masing masing keadaan dapat
dihitung secara langsung dengan menyelesaikan tiga buah
persamaan serentak, dimana dua diantaranya dipilih dari persamaan
(10.44) sampai (10.46) sedangkan satu persamaan lainnya adalah
persamaan 1
3 2 1
= + + P P P . Solusi dari ketiga persamaan serentak itu
adalah
( ) ( ) ( )
2
2
3 2 2 2
2
1
2

+
=
+
=
+
= P P P (10.47)
Tabel 10.4 menunjukkan ketersediaan (availability) dan
ketaktersediaan (unavailability) dari sebuah sistem yang terdiri dari
dua komponen dengan berbagai konfigurasi. Notasi P
i
yang
digunakan pada tabel 10.4 menunjukkan probabilitas dari sistem
tersebut untuk berada pada state i.
41
Tabel 10.4
Ketersediaan dan ketaktersediaan dari sistem
yang terdiri dari dua komponen mampu rawat yang berbeda
Konfigurasi Availability (A) Unavailability (U)
Seri
A = P
1
( )

2
2

+
= A
U = P
2
+ P
3
( ) ( )
2
2
2
2

+
+
+
= U
Paralel
A = P
1
+ P
2
( ) ( )
2 2
2
2

+
+
+
= A
U = P
3
( )
2
2

+
= U
10.6 Pengevaluasian Dengan Menggunakan Persamaan
Diferensial
Konsep dasar pengevaluasian probabilitas yang tergantung
waktu dari Markov process dengan menggunakan persamaan
diferensial didiskripsikan pada seksi 10.2.2 yang mengilustrasikan
evaluasi untuk komponen tunggal. Untuk sistem yang kompleks,
adalah sangat sulit untuk mendapatkan ekspresi probabilitas general
yang tergantung waktu. Untuk kasus ini adalah lebih baik untuk
menggunakan teknik numerik yang konvensional untuk
menyelesaikan persamaan diferensial yang berhubungan dengan
sistem daripada menurunkan ekspresi general.
Berikut ini akan diberikan ilustrasi tentang aplikasi persamaan
diferensial untuk mendapatkan ekspresi umum probabilitas yang
tergantung waktu dari sistem yang terdiri dari dua komponen. State
space diagram untuk sistem ini ditunjukkan oleh gambar 10.5. Proses
penurunan ekspresi ini diserahkan kepada para pembaca sebagai
latihan.
42
Misalkan
P
1
(t) = probabilitas kedua komponen dalam keadaan beroperasi
pada saat t
P
2
(t) = probabilitas satu komponen dalam keadaan beroperasi dan
satu komponen gagal pada saat t
P
3
(t) = probabilitas kedua komponen gagal pada saat t
Dengan menggunakan prinsip yang sama untuk menurunkan
persamaan (10.7), (10.9), dan (10.10), persamaan diferensial untuk
sistem ini adalah
[ ] [ ]
3 2 1 3 2 1
2 2 0
0 2 2
P P P P P P ) (
' ' '

=



(10.48)
Dengan mengasumsikan sistem berawal dari state 1, maka P1(0) =
1, P2(0) = 0, dan P3(0) = 0. Solusi dari persamaan (10.48) adalah
t t
t t
t t
e e t P
e e t P
e e t P
) ( ) (
) ( ) (
) ( ) (
) ( ) ( ) (
) (
) ( ) (
) (
) (
) (
) ( ) ( ) (
) (



+ +
+ +
+ +
+
+
+

+
=
+

+
+
=
+
+
+
+
+
=
2
2
2
2 2
2
3
2
2
2
2 2
2
2
2
2
2 2
2
1
2
2 2 2
2
(10.49)
43
10.7 Mean Time to Failure (MTTF)
Secara umum MTTF dari sistem dapat dihitung dengan
mengintegralkan langsung fungsi reliability seperti yang ditunjukkan
pada persamaan (6.28). Untuk sistem yang kompleks akan sangat
sulit untuk mendapatkan persamaan keandalan sebagai fungsi dari
waktu. Metode alternatif untuk mendapatkan MTTF dari sistem dapat
dilakukan dengan menggunakan metode truncated probability matrix
seperti yang dijelaskan pada seksi 9.6 dimana baris dan kolom dari
matrik STP yang berhubungan dengan absorbing state akan dihapus.
Sebagai ilustrasi pemakaian metode ini, akan ditentukan MTTF
dari sebuah sistem yang terdiri dari dua komponen. Matrik STP dari
sistem ini dapat dilihat pada persamaan (10.39). Jika kedua
komponen kita asumsikan bekerja secara paralel, maka state 3 akan
menjadi absorbing state, sehingga truncated matrix Q untuk sistem
ini adalah

=


1
2 2 1
Q (10.50)
Pada bab 9, matrik Q dipakai untuk deduksi rata rata jumlah
langkah yang harus dilalui sebelum sistem memasuki absorbing
state. Pada kasus Markov process, teknik yang sama juga dapat
digunakan untuk deduksi waktu rata rata, dalam hal ini MTTF, yang
akan dilalui sebelum sistem memasuki absorbing state. Interval
waktu rata rata dapat untuk tiap state dapat dideuksi dari
[ ]

+
=

=
=





2
2
2
1
1
2 2 1
1 0
0 1
2
1
1

Q I N
(10.51)
44
dimana komponen n
ij
pada N adalah waktu rata rata yang
dihabiskan pada state j dengan catatan bahwa process berawal dari
state i sebelum sistem tersebut memasuki absorbing state.
Jika sistem memulai proses dari state 1, maka MTTF dari sistem
adalah
2 2 12 11
2
3
2
2

+
=
+ +
= + =
) (
n n MTTF (10.52)
45
10.8 Referensi dan Bibliografi
1. Billinton, R. and Ronald N. Allan [1992], Reliability Evaluation of
Engineering Systems: Concepts and Techniques, 2
nd
edition,
Plenum Press, New York and London
2. Henley, E.J. and Hiromitsu Kumamoto [1992], Probabilistic Risk
Assessment : reliability Engineering, Design, and Analysis, IEEE
Press, New York.
3. Hyland, Arnljot and Marvin Rausand [1994], System Reliability
Theory Models And Statistical Methods, John Willey & Sons, Inc.
4. Ramakumar, R [1993]., Engineering Reliability : Fundamentals
and Applications, Prentice Hall, Inc. Englewood Cliffs, New Jersey
07632.
KEMBALI KE DAFTAR ISI MODUL 4
46
Simulasi Monte Carlo
11.1 Konsep Simulasi
Metode evaluasi secara analitis sangat dimungkinkan untuk
sistem dengan konfigurasi yang sederhana. Untuk sistem yang
kompleks, Bridges [1974] menyarankan untuk menggunakan teknik
simulasi yang dikenal dengan simulasi Monte Carlo. Simulasi Monte
Carlo terdiri dari sebuah model matematis yang di set di dalam
program komputer dan dengan menggunakan random sampling dari
distribusi kegagalan dan distribusi reparasi dari masing-masing
komponen yang ada di dalam sistem, reliability dan availability dari
sistem dapat diprediksi. Random sampling merupakan hasil dari
random number generator. Random sampling ini kemudian
dimanfaatkan untuk melakukan penilaian reliability dan availability
atau parameter lain yang dikehendaki.
Keuntungan dan kekurangan teknik simulasi bila dibandingkan
dengan teknik analitis adalah sebagai berikut.
47
Waktu yang diperlukan untuk solusi secara analitis umumnya
relatif lebih singkat sedangkan untuk simulasi relatif lebih lama.
Hal ini tidak menjadi masalah untuk simulasi yang dilakukan
dengan komputer yang mempunyai kecepatan dan memori yang
lebih besar.
Pemodelan secara analitis akan selalu memberikan hasil numerik
yang sama untuk sistem, model, dan satu set data yang sama,
sedangkan hasil dari simulasi tergantung dari random number
generator yang dipakai dan jumlah simulasi yang dilakukan. Hasil
dari pendekatan secara analitis yang konsisten membangkitkan
keyakinan bagi user tetapi mungkin juga menjadi tidak realistik.
Model yang dipergunakan untuk pendekatan secara analitis
biasanya merupakan penyederhanaan dari sebuah sistem, dan
terkadang terlalu disederhanakan sehingga menjadi tidak realistik.
Sedangkan teknik simulasi dapat melibatkan dan menyimulasikan
semua karakteristik sistem yang diketahui.
Teknik simulasi dapat memberikan output parameter dengan
range yang sangat luas termasuk semua momen dan probability
density function yang lengkap, sedangkan output dari metode
analitis biasanya terbatas hanya pada expected value.
11.2 Random Number Generator
Random number merupakan hal terpenting untuk semua teknik
simulasi. Sebuah random number yang uniform mempunyai nilai
yang terdistribusi secara uniform pada interval (0,1), yaitu variabel
dapat berniali sembarang antara 0 dan 1 dengan kemungkinan yang
sama. Random number dapat diciptakan dengan sebuah komputer
digital dengan menggunakan algotima deterministik yang dikenal
dengan random number generator. Karena random number
48
dihasilkan mengikuti algoritma matematis tertentu, maka random
number tersebut tidaklah benar-benar berupa random number dan
oleh karena itu disebut dengan pseudo-random number. Random
number generator harus memnuhi persyaratan minimal untuk dapat
dipakai untuk menghasilkan random number. Berikut ini beberapa
karakteristik yang harus dimiliki oleh random number generator.
Random number yang dihasilkan harus terdistribusi secara
uniform dan acak.
Harus memiliki periode yang panjang sebelum urutan random
number yang dihasilkan terulang kembali.
Harus memiliki kemampuan reproduksi sehingga sequence
yang sama dapat diulangi.
Harus memiliki efisiensi dalam metode perhitungannya.
Algoritma populer yang sering dipakai untuk menghasilkan
random number adalah congruential generator dimana random
number yang baru X
i+1
dalam satu urutan dihitung dari random
number yang terdahulu Xi dengan menggunakan persamaan
) )(mod (
1
B C AX X
i i
+ =
+
(11.1)
dengan,
A = pengali (multiplier)
B = modulus
C = pertambahan
49
Beberapa subroutine random number generator dengan
menggunakan algoritma congruential generator yang ditulis dalam
bahasa FORTRAN dapat dilihat pada [5].
11.3 Konversi Uniform Random Number
Serangkaian random number yang dihasilkan dari random
number generator merupakan basis untuk data input yang diperlukan
untuk simulasi Monte Carlo. Random number yang uniform terkadang
dapat langsung dipakai untuk beberpa jenis simulasi. Untuk kasus
simulasi evaluasi relibility, random number ini harus dikonversi ke
distribusi non-uniform yang lain sebelum proses simulasi dapat
dilakukan.
Metode transformasi invers (inverse transformation method)
merupakan salah satu metode yang dapat dipakai untuk
mengkonversi uniform random number ke distribusi yang lain.
Sedangkan distribusi dari fungsi invers yang diperoleh dari
pengkonversian suatu distribusi tertentu, dapat ditentukan sebagai
berikut.
Misalkan T menyatakan variabel random dengan cummulative
distribution function F
T
(t) , yang nilainya terus naik untuk semua t,
sedemikian rupa sehingga ) (
1
y F
T

secara unik ditentukan oleh semua


nilai y (0,1), dan lebih jauh Y = F
T
(T). Maka cummulative
distribution function F
Y
(y) dari Y dapat diperoleh dengan
1 0 untuk )) ( ( )) ( (
) ) ( ( ) ( ) (
1 1
< < = = =
= =

y y y F F y F T P
y T F P y Y P y F
T T T
T Y
(11.2)
50
Dari sini terlihat bahwa Y = F
T
(T) memiliki distribusi uniform antara
(0,1). Ini menyatakan bahwa jika variabel Y memiliki distribusi
uniform antara (0,1) maka ) (
1
Y F T
T

= memiliki distribusi yang sama


dengan fungsi distribusi F
T
(t).
11.4 Algoritma Simulasi
Untuk memberi ilustrasi bagaiman simulasi monte carlo dipakai
utnuk menganalisa dan mendapatkan indeks keandalan sistem,
berikut ini akan diberikan sebuah contoh sederhana tentang
perbandingan bagaimana mengevaluasi indeks keandalan sebuah
komponen dengan metode analitis dan simulasi.
Berikut ini beberapa buah contoh permasalahan simulasi
keandalan sistem, berikut algoritma untuk menyimulasikan sistem
yang terdiri dari dua komponen dengan konfigurasi seri, paralel dan
standby. Sedangkan untuk sistem yang lebih kompleks, algoritma
simulasi dapat dikembangkan dari algoritma yang akan dibahas
berikut ini.
11.4.1 Algoritma Konfigurasi Seri Untuk Sistem Non-
Repairable system
Langkah 1: Generate dua buah random number, yang pertama untuk
komponen 1 dan yang kedua unutk komponen kedua.
Langkah 2: Konversi random number menjadi variabel random
waktu, T, untuk masing-masing komponen.
Langkah3: Jika salah satu waktu ini kurang dari waktu yang
diperlukan untuk menyelesaikan satu misi, hitung event
51
ini sebagai event kegagalan. Sebaliknya, jika kedua
waktu ini sama atau lebih besar dari waktu yang
diperlukan untuk menyelesaikan satu misi, hitung event
ini sebagai event sukses.
Langkah 4: Ulangi lagkah 1 3, jumlahkan semua kegagalan dan
kesuksesan , dan lanjutkan untuk jumlah simulasi yang
dikehendaki.
Langkah 5: Evaluasi reliability sistem sebagai jumlah kesuksesan
dibagi dengan jumlah simulasi.
11.4.2 Algoritma Konfigurasi Paralel Untuk Sistem Non-
Repairable system
Langkah 1: Generate dua buah random number, yang pertama untuk
komponen 1 dan yang kedua unutk komponen kedua.
Langkah 2: Konversi random number menjadi variabel random
waktu, T, untuk masing-masing komponen.
Langkah3: Jika salah satu waktu ini lebih dari waktu yang diperlukan
untuk menyelesaikan satu misi, hitung event ini sebagai
event sukses. Jika kedua waktu ini kurang dari waktu
yang diperlukan untuk menyelesaikan satu misi, hitung
event ini sebagai event kegagalan.
Langkah 4: Ulangi lagkah 1 3, jumlahkan semua kegagalan dan
kesuksesan , dan lanjutkan untuk jumlah simulasi yang
dikehendaki.
Langkah 5: Evaluasi reliability sistem sebagai jumlah kesuksesan
dibagi dengan jumlah simulasi.
52
11.4.3 Algoritma Konfigurasi Paralel Repairable System
Langkah 1: Generate sebuah random number
Langkah 2: Konversi random number menjadi variabel random
waktu, T, yang merupakan waktu pengoperasian
komponen
Langkah 3: Generate sebuah random number yang baru
Langkah 4: Konversi random number menjadi variabel random
waktu, T, yang merupakan waktu yang diperlukan untuk
mereparasi komponen
Langkah5: Ulangi langkah 1 4 untuk satu periode yang sama atau
lebih besar dari waktu yang diperlukan untuk
menyelesaikan satu misi
Langkah 6: Ulangi lagkah 1 5
Langkah 7: Bandingkan urutan dari masing-masing komponen. Jika
selama misinya tidak terjadi reparasi yang overlap, misi
dari sistem dapat dianggap sebagai sukses. Sebaliknya,
jika terjaadi reparasi yang overlap, misi dari sistem dapat
dianggap gagal.
Langkah 8: Ulangi langkah 1 7 untuk jumlah simulasi yang
diinginkan.
11.4.4 Algoritma Konfigurasi Standby System
Langkah 1: Buat urutan pengoperasian, dalam hal ini time to failure
(TTF) dari komponen dipakai sebagai acuan, untuk
komponen A. Komponen B akan langsung dioperasikan
bila komponen A mengalami kegagalan.
Langkah 2: Buat urutan kedua yang berhubungan dengan waktu
reparasi (TTR time to repair) yang dimulai pad saat
53
komponen A mengalami kegagalan. Masing-masing
elemen berikutnya dari urutan ini dimulai jika komponen
yang sedang beroperasi mengalami kegagalan.
Langkah 3: Jika waktu reparasi TTR dari sebuah komponen lebih
besar dari waktu pengoperasian TTF untuk komponen
yang sedang disimulasikan, maaka sistem akan
mengalami kegagalan.
Langkah 4: Ulangi lagkah 1 3 sampai waktu simulasi total sama
dengan atau lebih besar dari waktu yang diperlukan
untuk satu misi.
Langkah 5: Ulangi langkah 1 4 untuk jumlah simulasi yang
diinginkan.
Untuk sistem yang kompleks algoritma di atas dapat dipakai
sebagai referensi untuk taylor-made program.
54
11.5 Referensi dan Bibliografi
1. Billinton, R. and Ronald N. Allan [1992], Reliability Evaluation of
Engineering Systems: Concepts and Techniques, 2
nd
edition,
Plenum Press, New York and London
2. Bridgees, D.C. [1974], The Application of Reliability to the Design
of Ships Machinery, Transaction IMarE, Vol. 86.
3. Henley, E.J. and Hiromitsu Kumamoto [1992], Probabilistic Risk
Assessment : reliability Engineering, Design, and Analysis, IEEE
Press, New York.
4. Hyland, Arnljot and Marvin Rausand [1994], System Reliability
Theory Models And Statistical Methods, John Willey & Sons, Inc.
5. Press , W.H., Saul A. Teukolsky, William T. Vetterling, and Brian P.
Flannery [1992], Numerical Recipes in FORTRAN : The Art of
Scientific Computing, 2
nd
edition, Cambridge University Press, New
York.
KEMBALI KE DAFTAR ISI MODUL 4
KEANDALAN DAN PERAWATAN
Strategi Untuk
Kebijaksanaan Perawatan
Oleh
Ir. Dwi Priyanta, MSE
JURUSAN TEKNIK SISTEM PERKAPALAN
FAKULTAS TEKNOLOGI KELAUTAN
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMEBER
SURABAYA
Copyr i ght ada pada penul i s
MODUL
5
DAFTAR ISI MODUL 5
BAB 12Strategi Untuk Kebijaksanaan Perawatan
12.1 Pendahuluan
12.2 Jenis Perawatan
12.3 Pemodelan Perawatan Terjadwal Ideal (Ideal Scheduled
Maintenance)
12.4 Perbaikan Ideal
12.4.1 Kasus Kusus Waktu Antar Kegagalan yang Terdistribusi Secara
Eksponensial
12.5 Perbaikan Ideal dan Perawatan Preventif
12.6 Ekonomi dari reparasi dan Perawatan
12.7 Analisa Ketersediaan
12.8 Referensi dan Bibliografi
KEMBALI KE MENU UTAMA
FOR INTERNAL USE ONLY
1
Strategi Untuk
Kebijaksanaan Perawatan
12.1 Pendahuluan
Saat ini peralatan dan plant yang dioperasikan cenderung
semakin kompleks dan membutuhkan modal yang sangat besar baik
untuk investasi awal maupun untuk biaya operasional. Untuk itu,
strategi dan kebijaksanaan perawatan sangat diperlukan agar semua
peralatan yang beroperasi di dalam sistem tidak sering mengalami
kegagalan dalam pengoperasiannya. Secara tradisional, perawatan
dipandang sebagai sesuatu yang hanya dipertimbangkan jika telah
terjadi sesuatu yang salah pada suatu sistem atau sesuatu yang
salah akan segera terjadi, bila hal ini terjadi maka biasanya fungsi
perawatan yang ada tidak terorganisasi dan tidak sistematis.
Berbagai upaya untuk mengoptimalkan perawatan, baik bentuk
maupun beaya perawatan telah banyak dilakukan yang kesemuanya
bertujuan untuk menjaga ketersediaan (availability) sistem. Oleh
karena itu, untuk saat ini teknik perawatan lebih banyak
dikonsentrasikan pada perawatan pencegahan / preventif untuk
menghindari kerusakan yang lebih serius, dan strategi perawatan
pencegahan ini juga difokuskan untuk mempertahankan efisiensi dari
2
sistem sedekat mungkin dengan efisiensi maksimum yang sudah
didesain.
Umumnya, regulasi dan policy baik internal maupun eksternal
akan menentukan kebijakan perawtan yang berkaitan dengan
keselamatan. Sedangkan perawatan yang berkaitan dengan
ketersediaan dan konsumsi energi, optimasi harus dijadikan sebagai
basis penentuan kebijaksanaan perawatan, karena penambahan
tugas perawatan tidak hanya akan menambah ketersediaan sistem
tetapi juga akan menambah beaya perawatan nya. Sehingga tujuan
dari implementasi perawatan itu hendaknya diharapkan juga
mempertimbagkan optimalisasi berbagai faktor yang saling berkaitan.
Perawatan merupakan hal yang sangat mahal dan merupakan
suatu godaan yang kuat untuk menundanya sampai esok hari dan
menghemat dana untuk hari ini. Ekspresi minimal maintenance
approach menunjukkan tindakan perawatan terhadap suatu plant
yang dilakukan hanya untuk memenuhi persyaratan dan hukum yang
telah ditentukan oleh badan pembuat peraturan. Jika tindakan ini
dikombinasikan dengan manajemen perawatan yang terabaikan ,
maka hal ini akan memperpendek masa berguna (useful life) dari
plant dan juga meungkin juga akan menambah beaya lainnya seperti
beaya kerusakan (downtime cost) dan berbagai denda yang timbul
akibat dampak yang mungkin ditimbulkan oleh kerusakan sistem.
12.2 Jenis Perawatan
Ada berbagai jenis perawatan yang banyak dilakukan secara
praktis. Jenis jenis perawatan ini secara skematis dapat dilihat pada
gambar 12.1 di bawah ini, yang secara umum dibagi menjadi planned
maintenance (perawatan terencana) dan unplanned maintenance
(perawatan tak terencana).
3
Perawatan terencana adalah perawatan yang diorganisir dan
dilakukan dengan perencanaan dan pengonntrolan yang sudah
ditentukan terlebih dahulu. Sedangkan perawatan tak terencana
adalah satu jenis perawatan yang dilakukan tanpa perencanaan
terlebih dahulu.
Perawatan preventif adalah perawatan yang dilakukan pada
interval waktu yang sudah ditentukan contoh dari strategi ini
adalah scheduled maintenance - atau berhubungan dengan kriteria
yang sudah ditentukan - contoh dari strategi ini adalah condition
maintenance .Dengan melakukan perawatan preventif, mengandung
maksud untuk mengurangi probabilitas kegagalan atau penurunan
performance dari suatu sistem.
Perawatan korektif adalah perawatan yang dilakukan setelah
peralatan mengalami kegagalan dan perawatan ini dimaksudkan
untuk mengembalikan sistem ke keadaan dimana sistem tersebut
dapat melakukan fungsinya kembali. Emergency maintenance adalah
salah satu jenis dari corrective maintenance yang diperlukan untuk
memfungsikan kembali peralatan secepatnya agar dampak yang lebih
buruk dapat dihindari.
Perawatan preventif dapat dibagi lagi menjadi scheduled
maintenance (perawatan terjadwal) dan condition based maintenance
(Perawatan yang berbasis pada kondisi sistem). Perawatan terjadwal
dilakukan pada interval waktu tertentu, baik itu banyaknya jam kerja,
jumlah siklus yang ytelah dilalui, dan lain lain. Pemilihan interval
waktu perawatan untuk satu komponen tertentu terbukti sangat sulit.
Bentuk dari perawatan preventif biasanya berupa pengecekan
(inspection) terhadap berbagai komponen secara periodik untuk
menentukan apakah pengaturan (adjustment) dan penggantian
(replacement) sudah diperlukan. Jika interval ini terlalu sering, maka
pengecekan ini akan mengurangi ketersediaan sistem dan menambah
resiko kesalahan re-assembly. Sedangkan pengecekan yang jarang
mungkin akan menimbulkan kerusakan sistem yang tidak diinginkan.
4
MAINTENANCE
PLANNED
MAINTENANCE
UNPLANNED
MAINTENANCE
PREVENTIVE
MAINTENANCE
CORRECTIVE
MAINTENANCE
SCHEDULED
CONDITION
BASED
RUNNING
HOURS
CALENDAR
BASED
CONDITION
MONITORING
INSPECTION
LUBRICATION
ADJUSTMENT
REPLACEMENT
ONLINE
MEASUREMENT
PERIODIC
MEASUREMENT/
INSPECTION/TESTING
Gambar 12.1
Jenis jenis perawatan
Condition based maintenance (perawatan yang berbasis pada
kondisi sistem) adalah perawatan terhadap suatu yang dilakukan
sebagai hasil dari suatu kondisi yang sudah diketahui dari hasil
pemantauan secara kontinyu atau secara periodik. Kegiatan
perawatan dilakkukan hanya jika kondisin dari peralatan
menunjukkan bahwa peralatan tersebut membutuhkan perawatan.
5
Dengan pendekatan ini perawatan hanya dilakkukan bila hal itu
diperlukan.
Condition monitoring (pemantauan kondisi) adalah pengukuran
secara periodik dan kontinyu dan menginterpretasikan data yang
menunjukkan kondisi dari peralatan dan menentukan apakah
peralatan tersebut perlu membutuhkan perawatan atau tidak.
Pemanatauan kondisi secara normal dilakukan pada saat peralatan
sedang beroperasi dan tidak sedang dalam keadaan rusak berat.
Aplikasi dari pengukuran secara kontinyu mungkin bisa
dibandingkan dengan pemakaian proses sistem alarm. Pada sistem
alarm ini parameter operasional yang kritis dimonitor secara terus
menerus dan alarm akan berbunyi bila kondisi tertentu dilampaui.
Tujuan dari pemantauan kondisi adalah untuk mengkuantifikasikan
kondisi suatu peralatan dan tidak begitu saja memberikan peringatan
bila batas operasi yang ditentukan telah dicapai.
Pengukuran secara periodik umumnya mempunyai tujuan untuk
memberikan proteksi yang cukup dari suatu peralatan terhadap
kondisi yang buruk atau kondisi yang perlahan-lahan mengarah ke
terjadinya suatu kegagalan. Suatu pengukuran mungkin dapat
dilakukan pada interval yang lebih pendek bila running hours
peralatan semakin bertambah.
12.3 Pemodelan Perawatan Terjadwal Ideal (Ideal Schedule
Maintenance)
Misalkan sebuah komponen yang tidak mampu rawat tetapi
komponen tersebut menjalani perawatan preventive/terjadwal.
Perwatan seperti ini dikatakan ideal jika perawatan ini membutuhkan
waktu yang singkat (interval waktu perawatan diamsusikan
mendekati /sama dengan nol) untuk menyelesaikannya dan jika
komponen tersebut dikembalikan ke kondisi seperti baru lagi setelah
6
perawatan usai. Meskipun komponen tidak mampu rawat dan
dibuang pada saat mengalami kegagalan, alasan untuk perawatan
terjadwal agar tetap untuk memperpanjang usia komponen dan
menunda kegagalannya.
Jika komponen memiliki laju kegagalan konstan maka waktu
kegagalan komponen (time to failure) memiliki distribusi
eksponensial. Dengan kata lain probabilitas kegagalan selama
pertambahan waktu t berikutnya agar tetap tidak berubah selama
usia komponen, hal ini menunjukan bahwa komponen ini tetap
sebagus kondisi barunya tanpa tanpa memandang berapa lama
komponen tersebut telah dioperasikan. Pada kasusu seperti ini
perawatan preventive menjadi tidak relevan .
Jika komponen memiliki laju kegagalan yang menurun, yang
berarti laju kegaglannya semakin membaik seiring bertambahnya
waktu, perawatan yang bertujuan untuk menggembalikan komponen
ke kondisi seperti baru adalah tidak menguntungkan dan tidak
disarankan.
Perawatan terjadwal akan berharga hanya jika komponen
memiliki laju kegagaln yang semakin meningkat. Sebagian besar
didiskusikan pada seksi ini mengamsusikan bahwa komponen
memiliki laju kegagalan yang meningkat dan perawatan dilakukan
hanya pada komponen komponen yang bekerja.
Jika
) (t
T
f Failure density function
M
T = interval waktu yang tetap diantara 2 perawatan
) ( ) (
1
t f t f
T

M
T t < 0
) (t R fungsi keandalan komponen
maka density function ) (
*
t f
T
untuk komponen setelah mengalami
perawatan dapat ditulis sebagai
7


0
1
k
M
K
M T
T R KT t f t f ) ( ) ( ) (
*
(12.1)
dengan
K = 0 hanya dipakai untuk interval waktu t = 0 dan t = T
M
K = 1 hanya dipakai untuk interval waktu t = T
M
dan t = 2 T
M
dan seterusnya.
Gambar 12.1 menunjukan tipikal fungsi ) (
*
t f
T
. Skala waktu
dibagi kedalam segmen durasi waktu T
M
yang sama . Fungsi ) (
*
t f
T
pada masing-masing segmen skalanya diturunkan dari fungsi pada
segmen sebelumnya dengan faktor skala R(T
M
). Faktor skala juga
sama dengan pecahan dari komponen yang memasuki sebuah
segmen yang akan survive pada segmen berikutnya.
Pengamatan lebih detail pada gambar 12.1 menunjukan bahwa
density function dari komponen yang menjalani perawatan preventive
menunjukan kecenderungan eksponensial
Gambar 12.1
Density function dengan perawatan terjadwal ideal
8
Dampak terpenting dari perawatan preventive secara periodik adalah
density fuction dari bentuk aslinya. Perubahan ini merupakan salah
satu dari berbagai justifikasi mengapa distribusi eksponensial
digunakan untuk memodelkan umur hidup komponen
Contoh 12.1
Asumsikan sebuah komponen yang umur hidupnya secara uniform
didefinisikan oleh
25 , 0 ) ( t f 4 0 < t tahun
komponen ini menjalani perawatan secara teratur (asumsikan
sebagai perawatan ideal) sekali setahun. Tentukan modifikasi density
function jika perawatan dilaksanakan.
Solusi
Cumulative distribution function


t
t dt t f t F
0
25 0, ) ( ) ( untuk 4 0 < t
Fungsi keandalan
t t R
t F dt t f t R
25 , 0 1 ) (
) ( 1 ) ( ) (
0

untuk 4 0 < t
laju kegagalan
t t R
t f
t
25 0 1
025 0
,
,
) (
) (
) (


MTTF komponen tanpa perawatan
9
MTTF =


4
0
2 ) ( dt t R Tahun
Jika perawatan terjadwal T
M
, adalah 1 th, maka
R(T
M
) = R(1) = 0,75
Dengan menggunakan persamaan 12.1

0
75 0 25 0
K
K
T
t f ) , )( , ( ) (
*
Rata rata laju kegagalan ( ) (
*
t )
2877 0
3 4
4
4
25 0 1
25 0
4
4
1
1
0
1
0
1
0
1
0
,
ln ln
) ln(
,
,
) ( ) (
*


t
t
dt
dt
t
dt t t
Perawatan periodik telah menggantikan density function f(t)
dengan density function yang memiliki tendensi eksponensial.
Berdasarkan aproksimasi eksponensial, MTTF dari komponen
adalah
MTTF = 476 . 3
2877 , 0
1
tahun
Sedangkan nilai eksak dari MTTF dengan memasukan faktor
perawatan adalah
10

tahun
K
dt t tf MTTF
K
K
T
5 , 3
) 1 2 ( ) 75 , 0 (
8
1
) (
0
0
* *

12.4 Perbaikan Ideal


Perbaikan ideal (ideal repair) memiliki 2 kondisi yang harus
dipenuhi :
1. Durasi perbaikan setelah masing-masing kegagalan adalah sangat
pendek dibandingkan dengan waktu diantara dua kegagalan
sehingga dapat diasumsikan sama dengan nol.
2. Setelah diperbaiki, komponen dikembalikan pada kondisi seperti
baru.
Contoh yang bagus dari perbaikan ideal adalah penggantian
komponen yang gagal dengan proses penggantiannya memerlukan
waktu yang sangat singkat. Ada perbedaan fundamental antara
perbikan ideal dan perawatan terjadwal. Perawatan terjadwal ideal
dilakukan pada interval waktu yang sudah ditentukan dimana
komponen masih dalam kondisi tidak rusak (bekerja) sedangkan
perbaikan ideal selalu dilakukan setelah terjadi kegagalan, dan waktu
kegagalannya tidak ditentukan (random).
Mengamsusikan umur hidup komponen T merupakan variabel
random yang kontinu dengan density function
11
[ ] t t T t P
t
t f
t
T
+ <


( lim ) (
1
0
(12.2)
jelas terlihat bahwa density function f
1
(t) untuk random variabel yang
mewakili kegagalan pertama adalah ) (t f
T
. Pertanyaan yang harus
dijawab adalah, apakah bentuk density function ) (t f
2
untuk random
variabel kontinyu untuk kegagalan kedua ?
Asumsikan bahwa kegagalan pertama terjadi disekitar waktu .
Maka probabilitas untuk kegagalan kedua dalam interval waktu
(t,t+t), t>, untuk tertentu adalah
[ ] [ ] t t f t t f ) ( f ) ( ) (
1

1 2
(12.3)
karena durasi dari umur hidup (lifetime) kedua adalah t .
Dengan mempertimbangkan semua nilai nilai yang mungkin
dari yang kurang t, kita akan memperoleh
2 1 1
0
( ) ( ) ( )
t
f t f f t d

(12.4)
Argumen yang sama mengarahkan kita ke density function untuk
variabel random kontinyu yag menunjukkan kegagalan ke-k, yaitu
1 1
0
( ) ( ) ( ) untuk 2
t
k k
f t f f t d k

(12.5)
pada saat mempertimbangkan semua kegagalan kegagalan
pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya probabilitas dari
sembarang kegagalan yang terjadi pada interval (t,t+t) merupakan
penjumlahan probabilitas dari kegagalan pertama, kedua, ketiga, dan
seterusnya yang terjadi pada interval waktu yang telah
12
dipertimbangkan. Jika L(t) menyatakan density function dari
sembarang kegagalan yang terjadi pada perbaikan ideal, maka
L(t) t = probabilitas beberapa kegagalan yang terjadi pada
interval (t,t+t)
1
1
( ) [sembarang kegagalan pada (t,t+ t)]
0
= ( )
k
k
lim
L t P
t t
f t

(12.5)
atau

+
2
0
1 1 1
k
t
k
d t f f t f t L ) ( ) ( ) ( ) ( (12.6)
12.4.1 Kasus Kusus Waktu Antar Kegagalan yang
Terdistribusi Secara Eksponensial
Jika waktu antar kegagalan terdistribusi secara eksponensial,
maka f
k
(t) menjadi distribusi khusus Erlangian, yang merupakan
distribusi Gamma dengan nilai yang bulat. Penurunan distribusi itu
adalah sebagai berikut
t
T
e t f t f


) ( ) (
1
(12.7)
t
t
t
te d e t f





2
0
2
) (
( ) ( (12.8)
13

t
t t
e
t
d e e t f
0
2
3 2
3
2


) (
) ( ) ( (12.9)
Pattern dari persamaan persamaan ini dapat ditulis dalam bentuk
umum, yaitu
t
k
k
k
e
k
t
t f

)! (
) (
1
1
(12.10)
Fungsi densitas probabilitas L(t) bagi sembarang kegagalan yang
terjadi pada perbaikan ideal untuk kasus ini dapat ditulis sebagai

1 1
1
1
k k
t t
k
t
k
e e
k
t
e t f t L
)! (
) (
) ( ) ( ) ( (12.11)
Contoh 12.2
Kembali pada contoh 12.1, jika perbaikan ideal pada komponen
masing masing dilakukan pada masing masing kegagalan,
tentukan fungsi densitas kegagalan komopnen tersebut.
Solusi
Fungsi densitas untuk masing masing kegagalan adalah
25 0
1
, ) ( ) ( t f t f
T
t d t f
t
2
4
1
0
2
25 0 25 0 ) ( ) , )( , ( ) (


14


t
t
d t f
0
2
3
4
1
4
1
2
4
1
3
2
) ( ) ( ) ( ) ( ) (
Bentuk umum dari f
k
(t) dapat disimpulkan dari pattern persamaan
persamaan di atas yaitu
1
]
1

,
_

)! (
) (
1 4
1
1
k
t
t f
k
k
k
Oleh karena itu

,
_

,
_



4
1
1
4
1
25 0
1 4
1
t
k
k
t
k
k
e
k
t f t L ,
)! (
) (
) ( ) (
12.5 Perbaikan Ideal dan Perawatan Preventif
Dari berbagai uraian sebelumnya terlihat bahwa, bagi sebuah
komponen yang memiliki fungsi laju kegagalan yang semakin
meningkat, perawatan preventif secara periodik akan meningkatkan
MTTF dan sebagai hasilnya fungsi densitas kegagalan (failure density
function) dari komponen tersebut akan memilimi kecenderungan
eksponensial. Jika kemungkinan perawatan ideal dimasukkan dalam
analisa, maka hasil yang diperoleh adalah berkurangnya frekuensi
perawatan. Dengan mengasumsikan perawatan ideal pada interval
periodik T
M
, frekuensi perbaikan f
R
akan sama dengan rata rata
densitas kegagalan pada durasi waktu T
M
, yaitu
15

M
T
M
R
dt t L
T
f
0
1
) ( (4.12)
Dimana L(t) diberikan oleh persamaan (12.6). Jika frekuensi
perawatan bertambah panjang maka T
M
dan f
R
akan berkurang.
Dengan kata lain, MTTF efektif yang merupakan kebalikan dari f
R
akan bertambah.
Contoh 12.3
Jika komponen pada contoh 12.1 dan 12.2 menjalani perawatan
preventif tiap interval waktu TM dan juga dikenakan perbaikan ideal,
tentukan frekuensi perbaikan dai komponen tersebut.
Solusi
Frekuensi perawatan
1
1
]
1



1
1
25 0
1 1
4
0
4
0
M M M
T
M
T t
M
T
M
R
e
T
dt e
T
dt t L
T
f , ) (
Jika T
M
= 1 tahun , maka
tahun per ,284 0 1
4
1
e f
R
16
12.6 Ekonomi Dari Reparasi Dan Perawatan
Kita lihat pada pemebahasan terdahulu, bahwa perawatan
preventif secara periodik akan menambah MTTF dari komponen yang
memiliki fungsi laju kegagalan yang semakin meningkat. Perawatan
preventif juga mengurangi frekuensi reparasi baki komponen yang
mampu-rawat (repairable). Penambahan frekuensi perawatan (
sebagai dampaknya, akan mengurangi waktu antara dua perawatan )
lebih lanjut akan mengurangi frekuensi reparasi. Yang menjadi
permasalahan sekarang adalah, berapa waktu optimum diantara dua
perawatan ? Jawabannya tergantung pada beaya relatif dari reparasi
dan pemeliharaan.
Umpamakan
C
R
= Nilai reparasi
C
M
= Nilai satu perawatan.
Jika C
R
dan

C
M
nilainya kira-kira hampir sama, maka pelaksanaan
perawatan akan menjadi tidak ekonomis. Untungnya, dalam banyak
hal C
M
<< C
R
, dan pelaksanaan perawatan dapat ditentukan bagi
komponen dengan fungsi laju kegagalan yang semakin meningkat.
Harga total perunit waktu untu perbaikan dan perawatan adalah
M
f
M
C
R
f
R
C K + (12.13)
dimana

R
f frekuensi reparasi
dan

M
f frekuensi perawatan =1/T
M
Untuk mendapatkan harga yang optimum dari T
M,
definisikan
Ko = K/C
R
sebagai fungsi dari T
M
dan dapatkan harga T
M
yang
meminimumkan Ko. Jadi
17
M
f
R
C
M
C
R
f
R
C
K
K +
0
(12.14)
Dengan menggunakan persamaan (4.12), maka persamaan (12.14)
akan berubah menjadi
1
1
]
1

M
T
M
R
M
M
f
C
C
dt t L
T
K
0
0
1
) ( (12.15)
atay
1
1
]
1

M
T
M
R
M
M
f
C
C
dt t L K T
0
0
) ( (12.16)
Dengan mendiferensialkan persamaan (12.16) terhadap T
M
, maka
) (
M
M
M
T L
dT
dK
T K +
0
0
(12.17)
dimana
Ko
M
T
M
T L
M
T
M
dT
dKo 1 1
) ( (12.18)
Dengan menyamakan
M
dT dKo / sama dengan nol dan
mensubsitusikan Ko dari persamaan (12.15)., kita akan peroleh
18
persamaan yang perlu untuk dimecahkan dari untuk mendapatkan
harga optimum T
M
, yaitu

+
M
T
R
C
M
C
dt t L
M
T L
M
T
0
) ( ) ( (12.18)
Gambar 12.2 menunjukan variasi dari Ko dengan T
M.
Gambar 12.2
Variasi dari Ko dengan T
M
Contoh 12.4
Perhatikan kembali contoh 12.1 sampai 12.3. Andaikan C
M
/ C
R
=
0,15. Tentukan interval waktu perawatan yang optimum.
19
Solusi
Dengan menggunakan persamaan (12.15) dan (12.18) untuk
0<TM4, maka akan kita peroleh
[ ] 85 0 25 0 1
4
, ,
M
T
T e
M
dengan menyelesaikan persamaan ini, interval waktu optimum akan
diperoleh interval waktu optimum untuk berbagai kondisi yang sudah
ditetapkan yaitu selama 1,869 tahun. Jadi bila perawatan dilakukan
pada interval waktu 1,869 tahun akan meminimalkan beaya
perawatan total dan prebaikan. Secara praktis, anhka ini akan
dibulatkan menjadi dua tahun.
12.7 Analisa Ketersediaan
Produktivitas dari sebuah plant diukur oleh kombinasi bebagai
indeks yang dipengaruhi oleh besarnya, frekuensi dan durasi dari
waktu out of service, maupun beayanya. Analisa rekayasa
ketersediaan (availability engineering analysis) adalah sebuah
metodologi yang dapat membantu para insiyur dalam memperbaiki
produktivitas dari sebuah plant. Jenis analisa ini selalu memasukan
perbandingan harga ketersediaan dan harga keuntungan penjualan.
Penyelesaian untuk optimasi produktivitas plant direkomendasikan
berdasarkan pada hasil analisis ketersediaan
MTTR dari komponen adalah ukuran kemampu-rawatan dari
sebuah komponen, dan MTTF adalah ukuran dari keandalan
komponen. Sering kita menghadapi masalah perbandingan antara
keandalan dan kemampurawatanan untuk meminimalkan beaya
secara keseluruhan. Analisa ketersediaan menawarkan sebuah
20
metodologi untuk meminimkan harga ini, sebagai tambahan dari
pemenuhan seluruh spesifikasi yang telah ditetapkan.
Misalkan sebuah komponen yang mampu-rawat dengan laju
kegagalan dan laju perbaikan masing masing dan . Dari
pembahasan sebelumnya kita mempunyai

1
MTTF (12.19)

1
MTTR (12.20)
dan

+

MTTR MTTF
MTTF
A ty Availabili (12.21)
Denngan mengekspresikan MTTR sebagai fungsi dari MTTF dan A,
kita akan mempunyai
MTTF
A
A
MTTR
,
_

1
(12.22)
Untuk masing- masing harga dari A, plot dari MTTR lawan MTTF akan
berupa garis lurus dengan kemiringan (1 A)/A, seperti yang
diilustrasikan dalam gambar 12.3.
Berikut ini faktor faktor tipikal yang akan ditentukan :
1. Level minimum ketersediaan yang diperlukan
2. MTTF minimum yang diperlukan
3. MTTR maksimum yang diijinkan
21
Gambar 12.3
Variasi dari MTTR dengan MTTF untuk harga A yang tetap
Daerah arsiran yang ditunjukan pada gambar 12.4 adalah
wilayah dimana seluruh spesifikasi akan dipenuhi. Desainer bebas
untuk memilih titik titik desain yang ada pada daerah ini yang akan
menghasilkan terendah.
Contoh 12.5
Akan didesain sebuah sistem pompa untuk sebuah. Tujuan dari
desain sistem ini adalah untuk meminimumkan PWRR (Present-worth
Revenue Requirements) total. Tiga alternatif disediakan, detailnya
sebagai berikut :
22
Gambar 12.4
Wilayah perbandingan (trade-off) ekonomi untuk analisa ketersediaan
Jumlah
Pompa
Kapasitas
dalam
Persen
Harga
Pemasangan
Total
Beaya Rata
Rata Reparasi
Per Reparasi
1 100% x 1 $ 500,000 $ 1,000
2 50% x 2 $ 650,000 $ 900
3 50% x 3 $ 900,000 $ 800
Masing-masing pompa, dengan mengabaikan kapasitas, mempunyai
laju kegagalan 0,25 per tahun dan waktu reparasi rata-rata 24 jam.
Akan ada penalti sebesar $15,000 perjam (pada kapasitas penuh)
jika pompa tidak dapat beroperasi. Lifetime dari plant diperkirakan 35
tahun. Interest rate pada saat meminjamm adalah 10%, dan ada
23
pembayaran tahunan tambahan sebesar 15% untuk pengembalian
modal yang telah dipinjam, biaya operasi dan perawatan. Tentukan
PWRR bagi masing masing skenario desain sistem.
Solusi
Untuk masing-masing pompa
4
25 0
1 1

,
MTTF tahun
24 MMTR jam =
760 8
24
,
tahun
dan
Availability =
064 35
040 35
760 8
24
4
4
,
,
,

+
Oleh karena itu
A = 0,9993155
dan
U = 0,0006845
Dengan mencicil pembayaran n tahun, EPWF (Effective Present-Worth
Factor) untuk tarif r per unit adalah
n
r r
n
r
EPWF
) (
) (
+
+

1
11 1
24
Untuk r = 0,1 dan n = 35, maka
EPWF = 9.644
Alternatif 1
Jumlah jam yang tidak berfungsi per tahun adalah
= (0.00068445)(8.760) = 6 jam
Jika pompa tidak beroperasi / berfungsi maka sistem 100% tidak
berfungsi maka kapasitas plant juga akan berkurang 100%.
Beaya tahunan yang harus dikeluarkan tiap tahunnya akibat plant
tidak berfungsi adalah
= 6 x $ 15,000 = $90,000.
Oleh karena itu
671 593 1
000 1 25 0 000 90 000 500 15 0 644 9
. . $
) . )( , ( . ) . )( , )[( , $(
cos cos cos
arg ) (

+ +
1
1
1
]
1

,
_

,
_

,
_

,
_

t
repair
annual
t
outage
annual
t
installed
total
rate
e ch
annual
EPWF PWRR
Alternatif 2
Dengan dua pompa yang identik, ada tiga kemungkinan yang
dipertimbangkan :
i. Kedua pompa bekerja. Maka tidak ada pengurangan dalam
kapasitas dan tidak ada penalti.
25
ii. Satu pompa up dan satu down. Maka pengurangan 50% dalam
menghasilkan kapasitas dan probability dari bagian ini adalah
= 2AU = 0.00136806
iii. Kedua pompa down. Maka ada pengurangan 100% dalam
kapasitas, dan probabilitas pada bagian ini adalah
= U
2
= 469 x 10
-9
Beaya tahunan yang harus dikeluarkan tiap tahunnya akibat plant
tidak berfungsi adalah
[ ] 943 89 760 8 10 469 0 10 03 684 000 15
760 8 1 10 469
2
00136806 0
000 15
6 6
9
, $ ) , ( . . ) , $(
) , (
.
) , $(
+
1
]
1

x x
x x
PWRR = (9.644)[(0.15)(650,000) + 89,943 + 2(0.25)(900)]
= $ 1,812,040
Alternatif 3
Dengan tiga pompa yang identik, ada empat kemungkinan yang
dipertimbangkan :
i. Ketiga pompa bekerja seluruhnya. Maka tidak ada pengurangan
kapasitas
ii. Hanya dua pompa bekerja. Maka, tetap tidak pengurangan
kapasitas
iii. Hanya satu pompa yang bekerja. Maka ada pengurangan 50%
kapasitas, dan probabilitas untuk keadaan ini adalah
= 3AU
2
= 1.405 x 10
-6
iv. Seluruh pompa down. Maka ada pengurangan 100% kapasitas
dan probabilitas pada keadaan ini adaalh
= U
3
= 0.3207158 x 10
-9
26
Beaya tahunan yang harus dikeluarkan tiap tahunnya akibat plant
tidak berfungsi adalah
=
1
]
1

9
6
10 3207158 0
2
10 405 1
x
x
,
,
8.760)x x $(15.000
= $92,35
PWRR = (9,644)(0,15)(900.000) + 92,35 + 3(0,25)(800)
= $ 1.308.617
Berbagai beaya dan rasio worth-to-cost ditabelkan pada tabel berikut
ini.
Design
Total PWRR
$
Annual
Fixed Cost
$
Annual
Other Cost
$
Increase in
Annual
Fixed Cost
$
Improvement
In Worth of
Availability$
Worth-to-
Cost Ratio
1 1.593.672 75.000 90.250 (base case) .
2 2.812.040 97.500 90.393 22.500 -143 -0,006
3 1.308.617 135.000 692 60.000 89.558 1,492
Jelas terlihat bahwa alternatif 3 mempunyai total PWRR paling rendah
dan rasio worth-to-cost paling baik.
27
12.8 Referensi dan Bibliografi
1. Billinton, R. and Ronald N. Allan [1992], Reliability Evaluation of
Engineering Systems: Concepts and Techniques, 2
nd
edition,
Plenum Press, New York and London
2. Henley, E.J. and Hiromitsu Kumamoto [1992], Probabilistic Risk
Assessment : reliability Engineering, Design, and Analysis, IEEE
Press, New York.
3. Hyland, Arnljot and Marvin Rausand [1994], System Reliability
Theory Models And Statistical Methods, John Willey & Sons, Inc.
4. Ramakumar, R [1993]., Engineering Reliability : Fundamentals
and Applications, Prentice Hall, Inc. Englewood Cliffs, New Jersey
07632.
KEMBALI KE DAFTAR ISI MODUL 5

Anda mungkin juga menyukai