1. Mengapa manusia itu beragama? Kelebihan manusia terletak pada unsur ruhani (mencakup hati dan akal, keduanya bukan materi). Dengan akalnya, manusia yang lemah secara fisik dapat menguasai dunia dan mengatur segala yang ada di atasnya. Unsur akal pada manusia, awalnya masih berupa potensi (bilquwwah) yang perlu difaktualkan (bilfili) dan ditampakkan. Oleh karena itu, jika sebagian manusia lebih utama dari sebagian lainnya, maka hal itu semata-mata karena hasil usahanya sendirinya. Karenanya, dia berhak bangga atas yang lainnya. Sebagian mereka ada pula yang tidak berusaha memfaktualkan dan menampakkan potensinya itu, atau memfaktualkannya hanya untuk memuaskan tuntutan hewaninya, maka orang itu sama dengan binatang, bahkan lebih hina dari binatang (QS Al-Araf, 7 : 170; AlFurqan : 42). Termasuk ke dalam unsur ruhan adalah fitrah. Manusia memiliki fitrah yang merupakan modal terbesar manusia untuk maju dan sempurna. Din adalah bagian dari fitrah manusia. Dalam kitab Fitrat (edisi bahasa Parsi), Syahid Muthahhari menyebutkan adanya lima macam fitrah (kecenderungan) dalam diri manusia yaitu mencari kebenaran (hakikat), condong kepada kebaikan, condong kepada keindahan, berkarya (berkreasi), dan cinta (isyq) atau menyembah (beragama). Sedangkan menurut Syeikh Jafar Subhani, terdapat empat macam kecenderungan pada manusia, dengan tanpa memasukkan kecenderungan berkarya seperti pendapat Syahid Muthahhari (kitab Al-Ilahiyyat, juz 1). Kecenderungan beragama merupakan bagian dari fitrah manusia. Manusia diciptakan oleh Allah dalam bentuk cenderung beragama , dalam arti manusia mencintai kesempurnaan yang mutlak dan hakiki serta ingin menyembah Pemilik kesempurnaan tersebut. Syeik Taqi Mishbah Yazdi, dalam kitab Maarif al-Quran juz 1 hal. 37, menyebutkan adanya dua ciri fitrah, bik fitrah beragama maupun lainnya, yang terdapat pada manusia, yaitu pertama kecenderungan-kecenderungan (fitrah) tersebut diperoleh tanpa usaha atau ada dengan sendirinya, dan kedua fitrah tersebut ada pada semua manusia walaupun keberadaannya pada setiap orang berbeda, ada yang kuat dan ada pula yang lemah. Dengan demikian, manusia tidak harus dipaksa beragama, namun cukup kembali pada dirinya untuk menyebut suara dan panggilan hatinya, bahwa ada Sesuatu yang menciptakan dirinya dan alam sekitarnya. Meskipun kecenderungan beragama adalah suatu yang fitri, namun untuk menentukan siapa atua apa yang pantas dicintai dan disembah bukan merupakan bagian dari fitrah, melainkan tugas akal yang dapat menentukannya. Jadi jawaban dari pertanyaan mengapa manusia harus beragama, adalah bahwa beragama merupakan fitrah manusia. Allah Taala berfirman, "Maka hadapkanlah wajahmu
kepada din dengan lurus, sebagai fitrah Allah yang atasnya manusia diciptakan." (QS. Rum: 30)
2. Apa saja aspek-aspek dalam islam yang anda pahami? Di dalam Agama Islam ada tiga aspek atau tiga bagian terpenting, yang terkait antara satu sama lain. Baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Secara tersurat maupun yang tersirat. Secara sadar maupun tidak sadar. Yaitu ajaran akidah, syariat dan akhlak. Siapa yang ingin beragama Islam atau siapa saja yang ingin melaksanakan ajaran Islam di dalam kehidupan, wajib mempelajari ketiga-tiga aspek atau bagian yang ada di dalam ajaran Islam ini. Wajib dipelajari ilmunya, diyakini, dihayati dan juga diamalkan. Kalau satu aspek saja kita terima dan pelajari tetapi meninggalkan aspek-aspek yang lain, ia sangat cacat dan timpang. Katakanlah kita pelajari akidahnya saja serta diyakini dengan meninggalkan aspek-aspek yang lain, seolah-olah Islam itu agama ketuhanan dan Tuhan tidak mempunyai peraturan dan peranan. Kalau syariatnya saja yang kita terima dan menolak pula aspek-aspek yang lain, Islam itu sudah seolah-olah Islam seperti ajaran ideologi. Manakala kalau akhlaknya saja diterima dengan meninggalkan aspek-aspek yang dua lagi, seolah-olah Islam itu hanya ajaran etika di dalam pergaulan atau etika kerja. 2. Bagaimana beraga dan berislam dengan melibatkan rasa, sehingga menemukan kenikmatan dalam rasa? Beragama secara intrinsik adalah beragama yang tumbuh dari diri sendiri. Ketaatan melakukan apa-apa yang dilarang dan yang diperintahkan muncul dari keikhlasan dan rasa cinta kepada Alloh SWT. Banyak sekali ayat al-Quran dan hadits yang menyatakan cinta sebagai fondasi keberagamaan kita. Jadi, ber-isIam dengan dasar syariat penting dilakukan. Namun sampai sini belumlah cukup. Ber-Islam haruslah disertai dengan kepasrahan dan kecintaan kepada Allah SWT. Masih perlu mengembangkan iman yang hakikat atau substansial. Iman yang tumbuh dalam hati dengan penuh kepasrahan. Dalam tahap ini, sholat akan dimaknai sebagai suatu kenikmatan komunikasi antara seorang hamba yang mencintai kholik, bukan sebagai beban. Begitu pula, ia akan memiliki kesungguhan melaksanakan islam secara komprehensif dalam seluruh aspek kehidupan, bukan hanya ritual di masjid semata. Dan dalam dirinya akan timbul furqon (pembeda) antara haq dan batin.