Anda di halaman 1dari 14

KAJIAN KONDISI TAMBAK TRADISIONAL UDANG WINDU (Penaeus monodon) DI PULAU NUNUKAN Heppi Iromo1), Azis1), Ishaq Saleh2)

1) 2)

Staf Pengajar FPIK Universitas Borneo Tarakan Mahasiswa FPIK Universitas Borneo Tarakan ABSTRACT

The research at shrimp ponds in Nunukan for two months, during the period from June to July 2009. The methods of this research were : Survey, interview and observation. The data collected in formed primary and secondary data. The purposed of this reseach that is to learning about management system of traditional shrimp ponds in Nunukan Island. The result of this reseach indicated that the area wide of traditional ponds in this Island has differences. Subdistrict of Binusan has area wide about 2,05 ha, subdistrict of south Nunukanhas area wide 1,5 Meanwhile, The total wide all of traditional ponds in this island is 152,5 ha. Management system of traditional fishpond in Nunukan Island that is part of farmer using natural factor, so the production is low relative and there are also the other farmer of fishpond using special treatment such as : setting, fertilization, feeding or a kind of prawn food. Usually, the seed which used by farmer is the local seed production (Nunukan Island) and also any seed from out Tarakan city. Keyword : Research, Traditional Ponds, Srimp Ponds, Nunukan Island.

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu produk perikanan yang merupakan komoditas ekspor hingga saat ini adalah udang laut. Dari sekian banyak jenis udang laut yang terdapat di indonesia, udang windu adalah yang paling banyak dibudidayakan dalam tambak. Hal ini disebabkan udang windu dapat tumbuh dengan cepat melalui pemberian pakan tambahan dan mempunyai toleransi yang luas terhadap salinitas dan temperatur, juga dapat mencapai ukuran yang relatif besar, serta harganya di pasaran relatif mahal (Adiwijaya, dkk. 1998). Kegiatan budidaya udang windu merupakan jenis usaha perikanan yang hampir semua proses produksinya dapat ditargetkan sesuai dengan keinginan, sejauh manusia dapat memenuhi persyaratan pokok dan pendukung kehidupan serta pertumbuhan udang yang optimal. Usaha ini pernah menunjukkan hasil yang memuaskan hingga Indonesia pernah menjadi produsen papan atas di dunia pada tahun 1994 mampu mencapai angka produksi 300.000 ton/tahun (Produksi dari tambak intensif sekitar 60 %, tambak sederhana mencapai 20 % dan tambak semi-intensif sekitar 10 %), sedangkan mulai tahun1997 hingga sekarang produksi udang Indonesia mengalami penurunan yang tidak sedikit, yaitu kira-kira produksi pertahun berkisar antara 160.000 200.000 ton (Anonim, 2003) Kabupaten Nunukan memiliki luas daratan 14.263,68 Km dengan luas lautan sekitar 14.875,825 km2. Nunukan mempunyai potensi sumberdaya perikanan yang cukup besar, salah satu jenis perikanannya adalah kegiatan budidaya tambak dengan spesies utama udang windu (Penaeus monodon). Berdasarkan data Analisis GIS (Geografic Information System), BAPPEDA Kabupaten Nunukan (2004), luas tambak di Kabupaten Nunukan 12.748 Ha, dan hanya terdapat dua kecamatan yang memiliki
43

Borneo University Library

areal tambak yaitu Kecamatan Sembakung 8.465 Ha dan Kecamatan Nunukan 4.283 Ha. Laporan statistik DKP Kabupaten Nunukan tahun 2007 menunujukkan turunnya jumlah tambak dan RT/PP yang secara otomatis berpengaruh terhadap hasil perikanan khususya udang windu. Pada tahun 2006 jumlah RT/PP 426 dan luas areal tambak 17.237 Ha dan volume produksi 359,45 sedangkan pada tahun 2007 jumlah RT/PP menjadi 369 dan luas areal tambak 17.139 Ha dan volume produksi 283,59 Penurunan produksi tambak udang windu bisa disebabkan oleh berbagai macam faktor diantaranya adalah, penurunan daya dukung lingkungan, penyakit dan manajemen budidaya. Sehubungan dengan kondisi tersebut maka perlu adanya pengkajian mengenai masalahmasalah yang dihadapi oleh para pembudidaya tambak udang yang ada di Pulau Nunukan sehingga didapatkan informasi mengenai sistem pengelolaannya. B. Tujuan Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji kondisi tambak tradisional udang windu (Penaous monodon) di Pulau Nunukan C. Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumber informasi tentang kondisi tambak tradisional di Pulau Nunukan bagi masyarakat, akademisi yang membutuhkan dan dapat dijadikan acuan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dibidang budidaya udang windu. METODELOGI A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama 2 bulan yaitu pada bulan Juni sampai Juli 2008. Penelitian ini dilaksanakan di tambak-tambak tradisional udang windu (Penaeus monodon) di Pulau Nunukan. B. Alat dan Bahan Adapun alat alat yang di gunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Alat Pengukur Kualitas Air Tabel 3. Alat Pengukur Kualitas Air
No 1 2 3 4 5 Alat /Bahan Hand Refraktometer pH Meter Thermometer DO Meter Secchi Disk Fungsi Pengukur salinitas Pengukur pH Pengukur suhu Pengukur oksigen terlarut Pengukur kecerahan

2. Lembar kuisioner C. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode survei, wawancara, dan pengamatan langsung dilapangan. Data yang akan dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. 1. Data Primer Data primer merupakan data yang diperoleh langsung oleh responden atau sumber data. Metode pengumpulan data primer dapat melalui observasi, dan wawancara. Dalam penelitian ini observasi mengunakan metode survei dilakukan terhadap beberapa petambak tentang berbagai kegiatan yang menunjang teknik budidaya udang windu pada tambak tradisional mulai dari persiapan tambak, pengeringan, pengapuran, pemberian pakan, pengendalian hama, pengendalian penyakit dan teknik pemanenan.

Borneo University Library

44

2. Data Sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh dari orang atau badan lain yang telah dikumpulkan atau belum diolah mengenai data yang diperlukan. Data skunder di peroleh dari laporan-laporan, pustaka serta data lembaga penelitian, swasta atau masyarakat yang ada hubungannya dengan usaha teknik budidaya udang windu dan petambak di daerah/ lokasi penelitian. D. Analisis Data Dalam penelitian ini analisis data yang digunakan adalah sebagai berikut : 1. Analisis data secara Diskripsi kuantitatif adalah analisis data yang digunakan terhadap data yang berbentuk angka-angka. Analisis kuantitatif tersebut menitikberatkan pada penyajian data dalam bentuk tabel, dan perhitungan yakni berupa padat tebar, tingkat kelangsungan hidup (SR), parameter kualitas air pada tambak budidaya udang windu (Penaeus Monodon) di Pulau Nunukan. 2. Analisis data secara diskripsi kualitatif adalah suatu analisis yang bersifat menerangkan hasil analisis diskripsi kuantitatif terhadap masalah berdasarkan teori yang ada. Analisis kualitatif tersebut meliputi : - Tahun pembuatan lahan tambak - Cara pembuatan lahan tambak - Luasan tambak - Manajemen selama budidaya HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Tambak Penggunaan tambak untuk memelihara udang sudah sejak lama dilakukan oleh masyarakat petani di Pulau Nunukan yaitu 1970. Areal atau asal lahan yang digunakan didominasi jenis hutan bakau dan nipah. Pembuatan tambak di Pulau Nunukan Pada umumnya menggunakan tenaga manusia dibantu dengan peralatan ringan seperti gergaji, parang dan sandak atau cangkul. Secara umum kondisi disekitar tambak baik didaerah Kelurahan Binusan atau di kelurahan Nunukan Selatan masih dalam kondisi baik, ini diketahui dengan masih banyaknya pohon bakau di sekitar tambak. Setelah melakukan wawancara dengan mendatangi secara langsung pembudidaya udang, didapatkan informasi-informasi mengenai keadaan dan kondisi tambak yang ada di Pulau Nunukan, yang disajikan pada lampiran 1 dan 2. Berdasarkan hasil penelitian terhadap keberadaan tambak dan kondisi tambak yang ada di Pulau Nunukan, terdapat 49 orang petambak dengan luas lahan rata-rata 3,2 Ha dengan total tambak yang ada yaitu 152,5 ha. Tambak di Pulau Nunukan terdapat di dua kelurahan yaitu, Kelurahan Binusan terdapat 31 orang petambak dengan luas lahan rata-rata 3,7 ha dan luas petak rata-rata 2,05 ha dengan total tambak yang ada yaitu 115
ha. Kelurahan Nunukan Selatan terdapat 16 orang petambak dengan luas lahan setiap petambak rata-rata 2,3 ha dan luas petak rata-rata 1,5 ha dengan total tambak yang ada yaitu 36,8 ha. Tambak tradisional di Pulau Nunukan disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Tambak Tradisional di Pulau Nunukan

Borneo University Library

45

Berdasarkan pada lampiran 1 dan 2, didapatkan informasi mengenai tahun pembukaan lahan, ukuran pematang, ukuran pintu dan ketinggian air, dapat dilihat sebagai berikut : 1. Tahun Pembukaan Lahan Berdasarkan pada lampiran 1 diketahui bahwa umur tambak di Kelurahan Binusan tergolong cukup lama, tambak tertua yaitu pada tambak milik bapak Haji Manda yang membuka lahan sejak tahun 1970 sedangkan tambak terbaru adalah tambak milik Ibu Nursia yang membuka lahan sejak tahun 2004, rata-rata tahun pembuatan tambak di yaitu tahun 1989. Berdasarkan lampiran 2, Jika dibandingkan dengan Kelurahan Binusan tambak di Kelurahan Nunukan Selatan masih tergolong baru dimana rata-rata tahun buka lahan 1997. Tambak paling lama adalah tambak milik Andi Azis yang dibuka pada tahu 1984 dan temak terbaru adalah tambak milik Haji Amri yang dibuka tahun 1997. Asal lahan kedua kelurahan tambak yang terdapat di Pulau Nunukan di dominasi jenis hutan bakau dan nipah. 2. Ukuran Pematang atau Tanggul Secara umum rata-rata ukuran pematang pada tambak yang ada di Pulau Nunukan, yaitu tambak yang ada di Kelurahan Binusan lebar atas rata-rata 118,9 cm, sedangkan lebar bawah 196,6 cm, dengan tinggi rata-rata yaitu 170 cm, Kelurahan Nunukan Selatan lebar atas rata-rata 119 cm, lebar bawah yaitu 191 cm, tinggi pematang rata-rata 150 cm. Ukuran pematang tambak untuk budidaya udang windu yaitu, tinggi 0,5 m di atas permukaan air pasang tertinggi. Lebar bagian atasnya sekitar 2 m. Sisi luar dibuat miring dengan kemiringan 1:1,5. Sedangkan untuk sisi pematang bagian dalam kemiringannya 1:1 (Anonim, 2002) Berdasarkan data yang telah diperoleh diketahui bahwa secara umum ukuran tambak masih kurang memenuhi syarat karena rata-rata lebar atas kurang dari 200 cm, kondisi ini ini tentunya masih disesuaikan dengan kondisi di daerah tersebut, tetapi berdasarkan informasi dari petambak didaerah Kelurahan Nunukan Selatan beberapa petambak mengalami tanggul jebol saat terjadi gelombang besar atau pasang tertinggi. Pematang tradisional tambak tradisional di Pulau Nunukan disajikan pada gambar 2.

Gambar 2. Pematang Tambak Tradisional di Pulau Nunukan

3. Kedalaman Air Berdasarkan pada lampiran 1 dan 2, kedalaman air tambak yang terdapat di Kelurahan Binusan rata-rata, yaitu caren 123,5 cm, pelataran 9,7 cm, di wilayah Kelurahan Nunukan Selatan kedalaman air tambaknya rata-rata, yaitu caren 116 cm, pelataran 11 cm. Pada bagian tengah dari petak pembesaran terdapat pelataran yang dikelilingi parit atau yang disebut dengan caren. Dalam budidaya udang windu kedalaman air di

Borneo University Library

46

tambak juga dipengaruhi oleh fungsi tambak itu sendiri. Menurut Amri (2003), tinggi air bagian pelataran disesuaikan dengan kebutuhan pertumbuhan kelekap, yaitu sekitar 70 cm. Sedangkan pada bagian parit atau caren dapat mencapai kedalaman lebih dari 200 cm. Berdasarkan data yang telah diperoleh dapat diketahui bahwa secara umum kedalaman air baik dipelataran maupun dicaren tambak masih kurang, kondisi ini tentunya sangat berpengaruh terhadap kualitas air didalam tambak, dengan kondisi air yang rendah dapat menyebabkan perbedaan suhu yang cukup tinggi, dipagi hari suhu bisa sangat rendah dan sebaliknya suhu disore hari sangat tinggi, ini sesuai dengan fakta yang diperoleh dilapangan bahwa suhu tambak di pagi hari mencapai 25,1 0C sedangkan suhu disore hari mencapai 34,3 0C. 4. Pintu Tambak Ukuran pintu tambak secara umum sudah bagus, namun disayangkan pada tambak-tambak tersebut hanya tersedia satu pintu yang memiliki satu fungsi, yaitu sebagai pintu pemasuk air sekaligus pintu pengeluaran. Menurut pandapat (Afrianto dan liviawati,1991), sebaiknya pintu pada tambak dibuat dengan fungsinya masing-masing sehingga air baru yang masuk bisa di minimalisir terkontaminasi dengan air pembuangan, Berdasarkan hasil penelitian diketahui pintu tambak yang terdapat di Pulau Nunukan ada dua jenis yaitu : a. Pintu Kayu Jenis pintu ini semua bagiannya terbuat dari kayu yang tahan dengan air laut, umumnya bahan yang sering dipakai oleh para pembudidaya tambak di Pulau Nunukan adalah jenis kayu ulin, desain pintu kayu di Pulau Nunukan umumnya dibuat dengan lebar bukaan antara 100-150 cm. Tinggi pintu disesuaikan dengan tinggi pematang dan dasar tambak. Menurut salah satu petani tambak di Pulau Nunukan pintu yang terbuat dari bahan kayu, ketahanannya atau lama pemakaiannya bisa 2 3 tahun. Beberapa kelebihan pintu kayu menurut petambak adalah, Biaya yang digunakan lebih murah dibandingkan pintu beton, Pintu bisa dibuat atau diperbaiki tanpa menunggu air kering, cara pembuatan lebih mudah. Pintu yang terbuat dari kayu disajikan pada gambar 4.

Gambar 3. Pintu Yang Terbuat dari Kayu

b. Pintu Beton Jenis pintu ini terbuat dari batu kerikil dan kawat yang disemen. Pondasi jenis pintu air ini perlu diperhatikan, karena bahan-bahan yang dipakai cukup berat. Untuk itu, perlu diberi penyangga yang kuat sebagai penahan. Pintu dari jenis beton ini ketahanannya atau pemakaiannya cukup lama di bandingkan pintu yang terbuat dari jenis kayu,. Menurut petambak untuk pintu beton terdapat juga beberapa kekurangan antara lain, harga pembuatan pintu beton cukup

Borneo University Library

47

mahal dibandingkan pintu yang terbuat dari kayu, Diperlukan keahlian khusus dalam pembuatannya, pembuatan harus pada saat air kering. B. Tingkat Kelangsungan Hidup (SR) Hasil survei selama penelitian, dari kedua kelurahan. Yaitu Kelurahan Binusan dan Kelurahan Nunukan Selatan memiliki nilai tingkat kelangsungan hidup (SR) udang windu yang bervariasi. 1. Tingkat Kelangsungan Hidup (SR) Kelurahan Binusan Berdasarkan hasil penelitian terhadap tingkat kelangsungan hidup (SR) udang windu ditambak tradisional yang terdapat di Kelurahan Binusan, terlihat bahwa dari 31 orang pemilik tambak tersebut, memiliki nilai tingkat kelangsungan hidup (SR) udang yang berbeda, data tersebut tersaji pada lampiran 3. Dari lampiran 3 diketahui bahwa tingkat kelangsungan hidup (SR) udang yang ada di wilayah Kelurahan Binusan kisarannya yaitu rata-rata 7,26 %. Tingkat kelangsungan hidup yang tertinggi di temukan pada tambak bapak Abidin yang mencapai 9,25 %. Tingginya kisaran SR dari udang windu yang ada ditambak Bapak Abidin diduga karena adanya manajemen pengelolaan tambak yang lebih baik dibandingkan petambak yang ada di didaerah Kelurahan Binusan. Sistem pengelolaan yang dilakukan sebelum melakukan penebaran benur, terlebih dahulu tambak di keringkan selama 3 hari. Maksud dari pengeringan untuk melakukan proses pemberantasan hama. Pemberantasan hama juga dilakukan dengan menggunakan racun Thiodan atau Saponen, dengan dosis yang biasa digunakan 1 liter Thiodan untuk 9 ha tambak Atau Sapponen 4 Karung untuk 9 ha, pemberantasan hama menggunakan Thiodan dilakukan pada saat sore hari dengan ketinggian air caren 50 cm sedangkan untuk pemberantasan hama menggunakan Saponen dilakukan pada saat tengah hari dengan ketinggian air caren 50 cm, setelah itu di susul dengan pengapuran. Tetapi pengapuran dilakukan tidak rutin diseauaikan dengan kondisi keuangan petambak itu sendiri, selanjutnya proses pemupukan dengan pupuk urea sebanyak 250 Kilogram untuk 9 ha, setelah proses pemupukan selesai di susul dengan pemasukan air dan kemudian air ditampung selama 3 hari setelah itu benur di masukan. Tingkat kelangsungan hidup yang terendah terdapat pada tambak bapak Manda/Sudirman yaitu 4,13 %. Hal ini diduga karena bapak Manda terlalu sering melakukan pemberantasan hama menggunakan racun (Thiodan) sejak awal buka lahan yaitu sejak tahun 1983 sehingga berpengaruh terhadap kesuburan tanah. Penggunaan bahan-bahan kimia dan residu akibat penggunan anti biotik dapat berakibat rusaknya lahan pembudidayaan. Secara umum tingkat kelangsungan hidup atau SR di Kelurahan Binusan masih rendah dimana tingkat kelangsungan hidup terendah 4,13 % dan tertinggi mencapai 9,25 %. 2. Tingkat Kelangsungan Hidup (SR) Kelurahan Nunukan Selatan Berdasarkan hasil penelitian terhadap tingkat kelangsungan hidup (SR) udang windu ditambak tradisional yang terdapat di Kelurahan Nunukan Selatan, terlihat bahwa dari 16 orang pemilik tambak tersebut, memiliki nilai tingkat kelangsungan hidup (SR) udang windu yang berbeda, data tersebut tersaji pada Tabel 7 lampiran 4. Dari lampiran 4 di ketahui bahwa tingkat kelangsungan hidup (SR) udang yang ada di wilayah Kelurahan Nunukan Selatan rata-rata mencapai 9,29 %. Tingkat kelangsungan hidup yan tertinggi di temukan pada tambak bapak H. Amri yaitu dengan SR 19,29 %. Tingginya kisaran tingkat kelangsungan hidup (SR) udang windu ditambak bapak H. Amri diduga karena adanya manajemen pengelolaan tambak yang baik.

Borneo University Library

48

Sistem pengelolaan yang di lakukan oleh bapak H. Amri, yaitu sebelum tambak mulai di operasikan terlebih dahulu tambak di keringkan, maksud dari pengeringan adalah untuk memulai proses pemberantasan hama, adapun bahan yang di gunakan untuk memberantas hama yaitu jenis saponin, dosis yang biasanya digunakan adalah 50 kg untuk sekali tebar dalam luas lahan 4 ha, pemberantasan hama menggunakan saponen dilakukan pada tengah hari dengan ketinggian air 50 cm, pemberantasan hama dilakukan pada saat tengah hari agar Toksisitas saponen lebih tinggi. Setelah proses meracun selesai kemudian tambak di cuci dengan cara memasukan air kemudian mengeluarkannya, hal ini di lakukan selama 2 hari agar hama yang telah mati dapat dibersihkan oleh air tersebut, setelah benar-benar bersih kemudian air di masukan lagi lalu di tahan selama 1 hari. kemudian benur siap untuk ditebarkan. Pada tambak H Amri tidak dilakukan pemupukan karena merasa tambak masih subur karena lahan baru di buka yaitu di tahun 2007 lalu. Tingkat kelangsungan hidup yang terendah terdapat pada tambak bapak Muhammad Alwi yaitu dengan SR 5,94 %. Hal ini diduga karena bapak Ammah tidak melakukan apapun hanya pemberantasan hama. Walaupun ada petambak yang tingkat kelangsungan hidupnya mencapai 19,29 % tetapi secara umum tingkat kelangsungan hidup udang windu di Kelurahan Nunukan Selatan masih rendah yang mencapai 9,29 %. C. Parameter Kualitas Air Tambak di Pulau Nunukan Pengukuran kualitas air dilakukan dengan cara insitu, yaitu mengukur secara langsung di lapangan. Berdasarkan hasil pengukuran tersebut didapatkan data-data yang disajikan pada lampiran 5. 1. Kualitas Air Pada Tambak di Kelurahan Binusan Dari hasil pengukuran selama penelitian didapatkan, parameter kualitas air yang terdapat di Kelurahan Binusan, tersaji pada lampiran 5. a. Suhu Di lihat pada tabel di atas kisaran suhu yang diperoleh di wilayah Kelurahan Binusan yaitu 25,1 34,3 0C. Kisaran tersebut masih cocok untuk standar budidaya udang windu karena, menurut (Soetomo, 2002), kisaran suhu yang baik adalah berkisar 28 0C 32 0C. Bila suhu terus meningkat, udang akan mengalami stress dan akan mengeluarkan lendir yang berlebihan, sebaliknya bila suhu terlalu rendah menyebabkan udang kurang aktif makan dan bergerak, sehingga pertumbuhannya akan semakin lambat. b. Salinitas Dari lampiran 5 terlihat bahwa salinitas yang di peroleh di wilayah Kelurahan Binusan yaitu berkisar antara 10 25 ppt. Kisaran salinitas tersebut, untuk pembesaran udang windu berada dalam kondisi yang optimal, karena menurut Khairul, (2003) salinitas untuk pertumbuhan udang windu yang baik diperoleh pada kisaran 10 35 ppt. Penurunan salinitas air tambak dibaawah 10 sebaiknya dihindari karena kondisi udang menjadi lemah, warnah tubuhnya lebih biru, dan lebih peka terhadap serangan penyakit. c. Oksigen Terlarut Dari lampiran 5 terlihat bahwa oksigen terlarut yang di peroleh di wilayah Kelurahan Binusan yaitu berkisar antara 3,03 8,89 ppm, oksigen memegang peranan penting dalam kehidupan seluruh makhluk hidup, dari hasil penelitian didapatkan bahwa, oksigen terlarut di Kelurahan Binusan masih dalam kisaran yang kurang optimal untuk standar budidaya karena dipagi hari suhu sangat rendah tetapi untuk siang hari kisaran suhu optimal, hal ini diperkuat dengan pendapat (Susanto, 1992) bahwa kisaran

Borneo University Library

49

oksigen yang dibutuhkan oleh jenis-jenis suatu organisme kadang berbeda, namun perbedaan itu tidak jauh berbeda. Oksigen terlarut sebanyak 4 8 ppm dianggap ideal. d. Derajat Keasaman (pH) pH berpengaruh terhadap pertumbuhan dan tingkat produksi udang. Fluktuasi pH air sangat mengganggu aktivitas udang. Fluktuasi pH air juga sangat menentukan berhasil tidaknya pemeliharaan udang (Ghufron, 1997). Data pada lampiran 5 menunjukkan bahwa pH yang di peroleh di wilayah Kelurahan Nunukan Selatan yaitu berkisar antara 6,71 7,67 . Secara fisik pH yang tedapat di wilayah Kelurahan Binusan masih dalam kisaran yang optimal, pendapat ini diperkuat dengan hasil penelitian Rakhmatun, dkk (2003) tingkat pH terbaik bagi kehidupan dan pertumbuhan udang windu adalah antara 6,8 8,7 dan akan mematikan bila pH mencapai angka terendah di bawah 6 dan tertinggi 9. f. Kecerahan Pada lampiran 5 terlihat bahwa kisaran kecerahan tambak di wilayah Kelurahan Binusan yaitu 23 61 cm, kisaran tersebut secara fisik sangat optimal diperlukan oleh udang dan plankton yang terdapat didalam air, hal ini diperkuat dengan dengan pendapat (Amri, 2003) bahwa kisaran kecerahan untuk budidaya udang windu yaitu 25 45 cm. Artinya, daya tembus maksimum sinar matahari kedalam air hanya 45 cm. Daya tembus sinar matahari yang tidak terlalu dalam tersebut disebabkan oleh banyaknya plankton yang menghuni perairan sehingga kesediaan makanan alami udang cukup tersedia. 2. Kualitas Air Pada Tambak di Kelurahan Nunukan Selatan Dari hasil pengukuran selama penelitian didapatkan, parameter kualitas air yang terdapat di Kecamatan Tarakan Timur, tersaji pada lampiran 6. a. Suhu Berdasarkan data pada lampiran 6 di ketahui bahwa kisaran suhu yang diperoleh di wilayah Kelurahan Nunukan Selatan yaitu 24,6 33,5 0C. Kisaran tersebut masih kurang cocok untuk standar budidaya udang windu karena terjadi fluktuasi yang terlalu tinggi, menurut (Soetomo, 2002), kisaran suhu yang baik adalah berkisar 28 0C 32 0C. Bila suhu terus meningkat, udang akan mengalami stress dan akan mengeluarkan lendir yang berlebihan, sebaliknya bila suhu terlalu rendah akan kurang aktif makan dan bergerak, sehingga pertumbuhannya akan semakin lambat. Kisaran suhu yang terlalu rendah dipagi hari yang mencapai 24,6 membuat pertumbuhan lambat sehingga hasil yang dipeoleh tidak maksimal. b. Salinitas Berdasarkan data pada lampiran 6 diketahui bahwa salinitas yang di peroleh di wilayah Kelurahan Nunukan Selatan yaitu berkisar antara 10 20 ppt. Kisaran salinitas tersebut, untuk pembesaran udang windu berada dalam kondisi yang optimal, karena menurut Khairul, (2003) salinitas untuk pertumbuhan udang windu yang baik diperoleh pada kisaran 10 35 ppt. Penurunan salinitas air tambak dibawah 10 sebaiknya dihindari karena kondisi udang menjadi lemah, warnah tubuhnya lebih biru, dan lebih peka terhadap serangan penyakit. Kisaran salinitas bebrapa petambak di daerah Kelurahan Nunukan Selatan masi optimal disebabkan karena jarak tambak dengan sumber air atau lautan relatif dekat. c. Oksigen Terlarut Berdasarkan data pada lampiran 6 diketahui bahwa oksigen terlarut yang di peroleh di wilayah Kelurahan Nunukan Selatan yaitu berkisar antara 1,56 8,99 ppm,

Borneo University Library

50

oksigen memegang peranan penting dalam kehidupan seluruh makhluk hidup, dari hasil penelitian didapatkan bahwa, oksigen terlarut di Kelurahan Nunukan Selatan masih dalam kisaran yang kurang optimal untuk standar budidaya karena dipagi hari oksigen sanagat rendah yang mencapai 1,56 ppm untuk sore hari kisaran oksigen optimal yaitu kurang dari 8 ppm, hal ini diperkuat dengan pendapat (Susanto, 1992) bahwa kisaran oksigen yang dibutuhkan oleh jenis-jenis suatu organisme kadang berbeda, namun perbedaan itu tidak jauh berbeda. Oksigen terlarut sebanyak 4 8 ppm dianggap ideal. Kisaran oksigen yang sangat rendah di pagi hari disebabkan karena penggunaan oksigen oleh biota diperairan yang sangat tinggi, karena berdasarkan informasi dari petambak selain udang yang dipelihara didalam tambak terdapat pula bandeng yang jumlahnya cukup tinggi misalnya pada tambak 1 yang mencapai 40.000 untuk 8 ha, dan pada tambak 1 20.000 untuk 4 ha. d. Derajat Keasaman (pH) pH juga berpengaruh terhadap pertumbuhan dan tingkat produksi udang. Fluktuasi pH air sangat mengganggu aktivitas udang. Fluktuasi pH air juga sangat menentukan berhasil tidaknya pemeliharaan udang,(Ghufron H.K, 1997). Berdasarkan data pada lampiran 6diketahui bahwa pH yang di peroleh di wilayah Kelurahan Nunukan Selatan yaitu berkisar antara 6,99 7,76 . kisaran pH terendah 6,99 yang berarti masih diatas 6,8 dan kisaran pH tertinggi 7,76 yang berarti tidak lebih dari 8,7. Secara fisik bahwa pH yang tedapat di wilayah Kelurahan Nunukan Selatan masih dalam kisaran yang optimal, pendapat ini diperkuat dengan hasil penelitian Rakhmatun, dkk (2003) tingkat pH terbaik bagi kehidupan dan pertumbuhan udang windu adalah antara 6,8 8,7 dan akan mematikan bila pH mencapai angka terendah di bawah 6 dan tertinggi 9. f. Kecerahan Berdasarkan data pada lampiran 6 diketahui bahwa kisaran kecerahan tambak di wilayah Kelurahan Nunukan Selatan yaitu 23 61 cm, kisaran tersebut secara fisik kurang optimal kisarannya yang terlalu tinggi yang mencapai 61 yang artinya lebih dari 33 cm. hal ini diperkuat dengan dengan pendapat (Amri. K, 2003) bahwa kisaran kecerahan untuk budidaya udang windu yaitu 22 33 cm. Artinya, daya tembus maksimum sinar matahari kedalam air hanya 33 cm. Daya tembus sinar matahari yang tidak terlalu dalam tersebut disebabkan oleh banyaknya plankton yang menghuni perairan sehingga kesediaan makanan alami udang cukup tersedia. Untuk lebih jelasnya pengukuran kualitas air disajikan pada gambar 5.

Gambar 4. Pengukuran Kualitas Air

D. Hama dan Penyakit Berdasarkan pemantaun dilapangan dan informasi dari petani tambak hama yang sampai skarang meresahkan petambak adalah banyaknya siput kecil sebagai penyaing atau competitor, bermacam macam cara telah dilakukan untuk memberantas hama

Borneo University Library

51

tersebut termasuk menggunakan pestisida, sampai saat ini pemberantasan hama menngunakan pestisida masih menjadi pilihan petambak, tetapi keadaan ini tentunya sangat merugikan karena akibat penggunaan pestisida tersebut bisa menggangu kesuburan tanah selain itu harga pestisida yang mahal. Berikut beberapa pestisida yang sering dipakai petambak untuk membasmi hama siput adalah, Pegasus, Debestan, Bristam, Betan. Pada umumnya tambak di Pulau Nunukan terserang penyakit pada umur pemeliharaan 1 sampai 2 bulan, berdasarkan informasi dari petambak cirri-ciri udang yang terserang penyakit yaitu : 1. Udang kepermukaan caren pada siang hari dan cendrung diam. 2. Warna udang kemerah-merahan 3. Terdapat bercak-bercak putih dibadan udang 4. Kulit udang keropos 5. Badan berlumut 6. Pertumbuhan lambat Untuk menentukan jenis penyakit yang menyerang udang dibutuhkan uji laboratorium untuk mengetahui secara tepat, tetapi berdasarkan cirri-ciri tersebut di atas dapat diindikasikan bahwa tambak udang di Pulau Nunukan terserang. 1. Penyakit Bercak Putih Viral (White Spots Syndrome Virus, WSSV) Penyakit yang paling sering ditemukan terkait dengan kematian adalah penyakit bercak putih viral. Udang yang terserang penyakit ini menunjukkan tanda adanya bercak putih di seluruh tubuhnya, dari karapas hingga pangkal ekor. Penyebab penyakit bercak putih viral adalah White Spots Syndrome Virus (WSSV), yang termasuk keluarga Nimaviridae, udang yang terserang virus bercak putih biasanya terlihat lemah, berenang ke tepi dan mati. Kematian masal umumnya terjadi dalam jangka waktu 3 hari sejak gejala pertama ditemukan. Apabila selain bercak putih udang juga berlumut, maka udang harus segera dipanen sebelum terjadi kematian lebih banyak. (Murjani, 2007). Udang yang terserang bercak putih viral seperti pada gambar 5.

Gambar 5. Udang yang terserang bercak putih viral, terlihat bercak keputihan pada seluruh tubuh, dan karapas udang 2. Infeksi Monodon Baculo Virus (MBV) Jenis virus MBV merupakan jenis virus yang umum ditemukan dalam budidaya udang pada sekitar tahun 1990, dan dikenal sebagai penyebab penyakit kematian udang umur 1 bulan (one month dead syndrome). Akibat serangan virus, banyak tambak yang gagal panen dan mengalami kematian premature, Monodon Baculo Virus (MBV) merupakan virus keluarga baculovirus , yaitu virus bentuk batang berbahan genetik DNA untai ganda (dsDNA, double strand deoxyribonucleic acid). Virus ini dalam inti sel inang yang terinfeksi membentuk occlusion body. Koloni virion dengan matriks

Borneo University Library

52

berupa protein sebagai perekat membentuk kristal seperti bola dalam inti sel hepatopankreas udang yang terinfeksi. Kristal virus seperti ini disebut sebagai occlusion body. Inti sel yang terinfeksi virus umumnya membesar (hypertrophied), berisi beberapa kristal virus yang berbentuk bulat. Jaringan yang terinfeksi virus selanjutnya akan segera mengalami kerusakan (Murjani, 2007). Udang yang terserang penyakit Monodon Baculo Virus seperti terlihat pada gambar 6.

Gambar 6. Selain bercak putih, udang juga berlumut

3. Infectious hematopoietic and hypodermal necrotic virus (IHHNV) Jenis virus lain yang menginfeksi udang dan mengakibatkan kerugian adalah IHHNV (Infectious Hypodermal and Hematopoietic Necrosis Virus). Udang yang terinfeksi virus ini tumbuh kerdil. Dalam satu tambak dengan ukuran udang kerdil dengan porsi lebih dari 30% kemungkinan disebabkan oleh IHHNV. Multiinfeksi virus juga dapat terjadi pada satu tubuh udang, misalnya kombinasi dengan WSSV dan MBV (Monodon Baculo Virus). Virus IHHNV merupakan virus dengan bahan asam nukleat untai tunggal (ssDNA) dari kelas parvovirus, yang dicirikan dengan adanya benda inklusi, inclussion body yaitu merupakan koloni virus dengan tanpa adanya matrik. Inti sel yang terinfeksi virus biasanya membesar dibandingkan dengan normal (Murjani, 2007). Udang yang terserang IHHNV seperti pada gambar 7.

Gambar 7 . Penyakit udang kerdil, karena infeksi IHHNV

Sampai saat ini belum ada cara khusus yang dilakukan untuk membasmi penyakit, bahkan beberapa petambak pada saat melihat ciri-ciri tersebut membiarkan saja, tetapi pada umumnya petambak melakukan pergantian air 10-50 % pada saat air pasang jika keadaan belum parah, tetapi jika kondisinya sudah terlalu parah dilakukan panen total. E. Panen dan Pascapanen 1. Panen Berdasarkan pemantauan di lapangan dan data kuisioner, sistem panen budidaya tambak tradisional yang ada di Pulau Nunukan berfariasi, ada pemanenan dilakukan setelah umur pemeliharaan 60 90 hari ada pula yang mencapai180 hari tergnatung dari kondisi udang di tambak, pemanenan umumnya dilakukan pada saat air puncak (air
53

Borneo University Library

jadi) sebelum peroses panen dimulai, terlebih dahulu mempersiapkan jaring untuk proses persiapan panen, jaring tersebut dipasang tepat dibelakang pintu pembuangan, jaring merupakan salah satu alat panen yang digunakan untuk mempermudah proses pemanenan, panjang jaring yang digunakan ukurannya bermacam-macam tergantung kesukaan para petani tambak. Menurut salah satu petani tambak, ukuran panjang jaring juga memiliki perbedaan jika ukurannya terlalu pendek biasanya sangat berat bila ditarik, begitupun sebaliknya jika ukuranya panjang tidak seberapa berat bila ditarik. Setelah jaring disiapkan kemudian dilakukanya proses pergantian air, air yang ada di tambak di keluarkan 20 30, setelah pasang tertinggi kemudian air yang diluar tambak dimasukan, volume air yang dimasukan sesuai dengan banyaknya volume air yang dikeluarkan, udang yang habitatnya hidup di dasar lumpur apabila merasa air yang baru masuk, biasanya udang akan segera mendekati tempat dimana arah masuk air tersebut, maksud dari pemasukan air untuk memancing udang agar segera mendekati pintu pembuangan dan mempermudah peroses pemanenan. Teknik panen yang dilakukan adalah dengan cara menurunkan volume air secara bertahap melalui pintu pembuangan dan akhirnya dilakukan penangkapan secara manual apabila konstruksi tambak tidak tuntas keringnya. Pemanenan dilakukan malam hingga pagi hari. 2. Pascapanen Pascapanen udang merupakan serangkaian kegiatan penanganan udang hasil panen dengan tujuan menekan penurunan mutu sampai tingkat sekecil mungkin sehingga kondisi udang ketika sampai kepembelian masih segar, seperti baru saja ditangkap atau baru saja dipanen. Berdasarkan informasi dari petambak maka secara umum penanganan pascapanen tambak tradisional yang ada di Pulau Nunukan melalui beberapa tahapan sebagai berikut : a. Pencucian Pencucian dilakukan ketika hasil panen dikumpulkan dalam keranjang berlubang, didalam keranjang itu, udang disiram dengan air ynag bersih. Tujuannya agar seluruh kotoran terlepas dari kulit udang. b. Pemberian Es Pemberian es dilakukan didalam peti, tempat biasanya untuk menyimpan udang. Cara pemberian es, bagian dasar peti diberi es yang suda dihancurkan, kemudian udang disusun didalam peti tersebut bagian atasnya ditutup lagi dengan es. c. Pemotongan Kepala Setelah proses panen selesai, kemudian kepala udang dipotong, pemotongan dilakukan dengan tangan. Sambil memotong kepala udang, para petani tambak melakukan sortasi untuk memisahkan udang berdasarkan ukuran dan mutunya (cacat atau tidak cacat). Tetapi beberapa petambak tidak melakukan pemotongan kepala pada saat menjual hasil panennya terutama yang menjual ke Tawau Malaysia. d. Transportasi Udang yang sudah diberi es dapat dikirim ketempat dimana para petambak biasa menjual hasil panennya, biasanya selama perjalanan udang dimasukan dalam peti yang kedap udara atau udang ditutup dengan mengunakan terpal. Berdasarkan informasi petambak diketahui bahwa petambak di Pulau Nunukan menjual hasil panen di tiga tempat yaitu, di Pulau Nunukan sendiri, Tarakan, dan Tawau Malaysia.

Borneo University Library

54

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan selama 2 bulan ditambak Pulau Nunukan maka peneliti dapat menarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Sistem pengelolaan tambak tradisional di Pulau Nunukan pada umumnya para petani tambak mengandalkan faktor alam sehingga produksinya relatif rendah. 2. Luas lahan tambak Pulau Nunukan bervariasi. Di Kelurahan Binusan luas petakan lahan rata-rata 2,05 ha,dan di wilayah Kelurahan Nunukan Selatan luas petakan lahan rata-rata 1,5 ha, dan luas lahan keseluruhan tambak tardisional yang ada di Pulau Nunukan yaitu 152,5 ha. 3. Hama dan penyakit yang pada umumnya menyerang pertambakan di Indonesia juga dialami oleh tambak di Pulau Nunukan, hama yang sampai saat ini masih menjadi kendala bagi usaha budidaya udang ditambak adalah siput kecil (biri-biri). Beberapa penyakit yang di indikasi pernah menyerang adalah : a. Penyakit Bercak Putih Viral (White Spots Syndrome Virus, WSSV) b. Infeksi Monodon Baculo Virus (MBV) c. Infectious hematopoietic and hypodermal necrotic virus (IHHNV) B. Saran 1. Perlu adanya pendampingan secara berkelanjutan baik oleh dinas terkait dan perguruan tinggi kepada petambak tentang pengelolaan tambak yang baik dan pengendalian hama dan penyakit yg ramah lingkungan. 2. Perlu adanya gudang khusus yang menyediakan segala perlengkapan petambak disetiap daerah pertambakan baik yang dikelola oleh swasta atau pemerintah untuk meningkatkan hasil produksi petani. 3. Sebaiknya pemerintah setempat memperbaiki akses jalan menuju tambak terutama didaerah Tanjung Cantik Kelurahan Binusan untuk mempermudah petani dalam pengangkutan baik bibit maupun hasil panen.

DAFTAR PUSTAKA Adiwijaya, D., Herman dan Puji, R, 1998. Laporan pelatihan Budidaya Udang Windu Bebas Virus.
Dirjenkan. Jakarta. BBPBAP. Jepara. Afrianto. E dan Liviawaty E. 1991. Teknik Pembuatan Tambak Udang. Penerbit Kanisius (Anggota IKAPI). Yogyakarta Amri. K, 2003. Budidaya Udang Windu Secara Intensif. Cetakan pertama, Penerbit PT Agro Media Pustaka. Jakarta. Anonim. 2003. Kunci Sukses Melakukan Budidaya Udang Windu . Departemen Kelautan dan Perikanan . Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau. Jepara Anonim 2007. Laporan Statistik. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Nunukan Buwono. D. 2001. Tambak Udang Windu Sistem Pengelolaan berpola intensif . Ghufron H. K. 1997. Budidaya Air Payau. Penerbit Dahara Prize. Semarang.

Borneo University Library

55

Ibnu, D. B. 1993. Tambak Udang Windu (System Pengelolaan Berpola Intensif). Cetakan pertama, Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Idris. A, 2007. Distribusi dan penanganan benur (Penaeus monodon) Yang Masuk di Kota Taraka . Universitas Borneo, Tarakan (tidak dipublikasikan) Jumani, 2008. Kajian Tambak Tradisional di Kota Tarakan. Universitas Borneo, Tarakan (tidak dipublikasikan) Manik, dkk. 1980. Kriteria Kualitas Air Untuk Keperluan Perikanan. Penerbit Institut Pertanian Bogor. Bogor. Marte, 1980. Pakan Udang Windu (Penaeus monodon). Cetakan pertama, penerbit Kanisius. Yogyakarta. Murjani. M, 2007. Penerapan Best Management Practices (BMP) Pada Budidaya Udang Windu (Penaeus monodon Fabricius) Intensif, Dirjenkan. Jakarta. BBPBAP. Jepara. Rakhmatun. S dan Mudjiman, A (2003) Budidaya Udang Windu. Penebar Jakarta. 2003. Swadaya,

Soetomo, 2002. Teknik Budidaya Udang Windu. Penerbit Sinar Baru Algensindo Bandung. Anggota IKAPI. Bandung. Susanto, 1992. Kriteria Kualitas Air Untuk Keperluan Perikanan. Penerbit Insitut Pertanian Bogor. Bogor Sutaman, 1993. Petunjuk Praktis Pembenihan Skala Rumah Tangga . Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Borneo University Library

56

Anda mungkin juga menyukai