Anda di halaman 1dari 6

Answers Sheet Home Exam Nursing Ethics Nama : Benny Chandra P.

NIM : 1201200009

Kelas : IA

1.Jawaban : Sebenarnya apakah tindakan restrain itu? Restrain adalah terapi dengan

menggunakan alat-alat mekanik atau manual untuk membatasi mobilitas fisik klien. Alat tersebut meliputi penggunaan manset untuk pergelangan tangan atau kaki dan kain pengikat. Restrain harus dilakukan pada kondisi khusus, hal ini merupakan intervensi yang terakhir jika perilaku klien sudah tidak dapat diatasi atau dikontrol dengan strategi perilaku maupun modifikasi lingkungan. Pasien dengan gangguan kesadaran atau jiwa masuk pada indikasi restrain dengan maksud ketika pasien sadar atau serta merta mengalami tindakan tidak terkontrol maka pasien tersebut tidak sampai melakukan hal yang mengakibatkan cedera pada diri sendiri, perawat dan pasien lain. Menurut PerMenKes RI No. HK.02.02/MenKes/148/I/2010 pasal 11 diterangkan bahwa perawat berhak memperoleh jaminan perlindungan terhadap resiko kerja yang berkaitan dengan tugasnya selain itu pada pasal 12 berkaitan dengan kewajiban perawat dalam melakukan asuhan keperawatan (dalam kasus ini restrain) sesuai dengan standar pelayanan dan profesi oleh karena itu merujuk pada UU No. 36 tahun 2009 pasal 27, perawat tersebut berhak memperoleh jaminan perlindungan hukum dan dibenarkan melakukan tindakan restrain karena telah memenuhi indikasi dan sesuai dengan standar prosedur pelayanan. Tindakan yang dilakukan perawat justru merupakan tindakan yang benar karena mampu menyelamatkan nyawa pasien sendiri maupun pasien lain sehingga kasus ini juga bukan merupakan malpraktek dan tidak melanggar pasal 359,360,361 KUHP dan UU No. 36 tahun 2009 pasal 24 dan 190 terlepas dari UU No. 26 tahun 2000 tentang HAM.

2.Jawaban : Siapa yang bertanggung jawab untuk memberikan informed consent pada pasien? Hukum telah menempatkan tugas ini pada dokter yang didatangi pasien pada waktu ada pertanyaan atau sebelum melakukan tindakan invasif seperti pre-operasi. Hukum umumnya mengenali bahwa dokter, bukan perawat atau paramedis lainnya, berkemampuan untuk mendiskusikan tatalaksana dan penanganannya. Perawat atau paramedis lainnya mungkin

hanya penambah atau pelengkap informasi spesifik dari dokter dengan informasi umum tergantung situasi pasien. Dokter, selain dari dokter pertama pasien, memiliki kewajiban yang independen untuk memberi informasi mengenai risiko, keuntungan, dan alternatif pilihan yang ditujukan pada pasien. Tanggung jawab untuk memberikan informed consent dan mendapatkan jawaban dari pasien adalah dengan dokter dan tidak dapat didelegasikan. Dokter dapat mendelegasikan otoritasnya (wewenangnya) untuk memberikan informed consent kepada dokter lain yang berkompeten namun tidak dapat mendelegasikan tanggung jawabnya atas informed consent tersebut. Kesimpulan, adalah benar apabila perawat tersebut menolak perintah dokter untuk memberikan informed consent pada tindakan thiroidiktomi yang notabene adalah tindakan invasif sesuai dengan SK PB IDI no 319/P./BA/88 yang ditegaskan kembali dan direvisi dalam PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan UU no 29 th 2004 Pasal 45 serta Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI tahun 2008 dan seharusnya dokter tersebut juga harus memahami isi dari peraturan-peraturan diatas.

3. Jawaban : A. Keluarga Berencana Keluarga Berencana ialah meode pemerintah RI untuk membatasi angka kelahiran melalui cara-cara tertentu. Dalam UU RI No. 36 tahun 2009 dikatakan bahwa Pasal 72 Setiap orang berhak: a. menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman, serta bebas dari paksaan dan/atau kekerasan dengan pasangan yang sah. b. menentukan kehidupan reproduksinya dan bebas dari diskriminasi, paksaan, dan/atau kekerasan yang menghormati nilai-nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia sesuai dengan norma agama. c. menentukan sendiri kapan dan berapa sering ingin bereproduksi sehat secara medis serta tidak bertentangan dengan norma agama. d. memperoleh informasi, edukasi, dan konseling mengenai kesehatan reproduksi yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan.

Pasal 73 Pemerintah wajib menjamin ketersediaan sarana informasi dan sarana pelayanan kesehatan reproduksi yang aman, bermutu, dan terjangkau masyarakat, termasuk keluarga berencana Darisini, peran perawat hanyalah sebatas pasal 72 ayat d dan pasal 73, sebagai advokat klien dan mengarahkan dan pada akhirnya prinsip otonomi pasien yang menjadi kunci. B. Bayi Tabung Teknologi bayi tabung merupakan upaya kehamilan di luar cara alamiah. Dalam hukum Indonesia, upaya kehamilan di luar cara alamiah diatur dalam pasal 127 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam pasal ini dinyatakan bahwa upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan: a) Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal. b) dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu; c) pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu. Jadi, yang diperbolehkan oleh hukum Indonesia adalah metode pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang sah yang ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal. Metode ini dikenal dengan metode bayi tabung. Adapun metode atau upaya kehamilan di luar cara alamiah selain yang diatur dalam pasal 127 UU Kesehatan, termasuk ibu pengganti atau sewa menyewa/penitipan rahim, secara hukum tidak dapat dilakukan di Indonesia. Peran Perawat hanyalah sebagai konseling kesehatan dan advokat klien sehingga perawat hanya mampu menyarankan bukan memutuskan. 4.Jawaban : a. Identifikasi Masalah Tn. G adalah pasien pria yang berusia 68 tahun masuk ruang 17 RSSA Malang (ruang bedah kelas II) dengan riwayat nyeri abdomen selama 1 bulan dengan riwayat terakhir muntah, mual dan darah dalam fesesnya selama 48 jam terakhir. Tn. G adalah seorang kaya ,religius dengan keyakinan agama yang kuat dan menyayangi istrinya.Tn. G memiliki trauma. Dia takut menjalani operasi akibat trauma tersebut dimana kakaknya, dua tahun lalu, juga mengalami hal yang hampir serupa dan berakhir dengan kematian di meja operasi.Selain trauma, kecemasan Tn. G diakibatkankan dia tidak mau melihat istrinya hidup sendiri namun dia enggan mengungkapkan kecemasan tersebut kepada istrinya dengan alasan emosional.

Selesai operasi Tn. G mengalami kondisi kritis. Tim operasi menyatakan agar tidak dilakukan resusitasi dengan alasan kecil harapan hidup setelah dilakukan kolostomi transversal dan diketahui bahwa Tn. G menderita karsinoma stadium metastase. Terdapat dilema etis sebagai seorang caregiver ,lifesaver, dan client personal rights advokat, perawat yang mengetahui bahwa Tn. G mengalami henti napas di ruang pemulihan harus segala mengambil tindakan yang diperlukan secepat mungkin dengan berdasar pada aspekaspek tertentu antara menyelamatkan nyawa semaksimal mungkin (nilai avoiding killing) atau menghentikan terapi dengan alasan mercy killing (nilai doing good). Orang yang terlibat : perawat, klien, tim operasi. b. Mengumpulkan Data Tambahan Karsinoma atau kanker atau tumor ganas kolon adalah kanker yang menyerang usus besar dan rektum. Penyakit ini adalah kanker peringkat 2 yang mematikan. Kanker adalah penyakit pertumbuhan sel yang bersifat ganas. Bisa mengenai organ apa saja di tubuh manusia. Bila menyerang di kolon, maka disebut kanker kolon. Kanker kolon yang sudah mencapai stadium metastase sebagaimana sifat kanker lainnya, memiliki sifat dapat tumbuh dengan relatif cepat, dapat menyusup atau mengakar (infiltrasi) ke jaringan di sekitarnya serta merusaknya, dapat menyebar jauh melalui kelenjar getah bening maupun pembuluh darah ke organ yang jauh dari tempat asalnya tumbuh, seperti ke lever, paru-paru, yang pada akhirnya dapat menyebabkan kematian bila tidak ditangani dengan baik. Satu-satunya pengobatan adalah dengan melakukan kolostomi yang beresiko terjadinya shock hemorraghe yang mengarah ke sepsis. Gagal nafas adalah ketidakmampuan alat pernafasan untuk mempertahankan oksigenasi didalam darah, dengan atau tanpa penumpukan CO2.Terdapat 6 sistem sistem kegawatan salah satunya adalah gagal nafas, dan dari 6 sistem tersebut Gagal nafas menempati urutan pertama. Hal ini dapat dimengerti karena bila terjadi gagal nafas, butuh waktu kurang dari 3 menit (optimal) untuk melakukan pertolongan awal untuk melakukan RJP, waktu yang tersedia terbatas sehingga diperlukan ketepatan dan kecepatan untuk bertindak. Tn. G adalah seorang yang menghabiskan waktu dengan hal-hal religius, sehingga dapat dikatakan bahwa Tn. G sudah ikhlas namun apabila ditinjau dari trauma dan kecemasan akan istrinya mungkin acara religius adalah bentuk koping dan tersirat keinginan hidup pasien masih tinggi walaupun pasien tidak sadar. Sebagai perawat yang terkena dilema etik harus mampu menyelamatkan dan meningkatkan status kesehatan klien sehubungan dengan tanggung jawab dasar seorang perawat namun dalam kasus ini perawat juga masuk tim perawatan paliatif yang juga dapat membuat keputusan untuk diam apabila memang tidak ada kemungkinan selamat. Tim operasi mempasrahkan keadaan ini kepada perawat namun menyarankan untuk tidak melakukan resusitasi apabila memang harapan hidup kecil karena justru tidak akan mengubah penderitaan pasien.

c. Mengidentifikasi Opsi yang Tersedia 1. Melakukan Resusitasi Alasan : Sudah menjadi kewajiban dan tanggung jawab dasar seorang perawat sesuai standar profesi dan kode etik bahwa perawat harus mampu memulihkan dan meningkatkan status kesehatan seperti yang tersirat dalam PerMenKes RI No. HK.02.02/MenKes/148/I/2010. Tn. G adalah seorang warga negara dan manusia yang berdasar UU No. 26 tahun 2000 memiliki hak untuk hidup, mempertahankan kehidupan dan meningkatkan taraf kehidupan. Dalam kondisi kegawatdaruratan dan tidak ada dokter di sekitar, perawat mampu mengambil tindakan diluar kewenangannya untuk penyelamatan nyawa pasien. (PerMenKes RI No. HK.02.02/MenKes/148/I/2010 pasal 10.) Dalam SK MenKes No. 812/Menkes/SK/VII/2007 Romawi II menjelaskan bahwa perawatan paliatif bertujuan memperbaiki kualitas hidup pasien ,sedangkan body image pasien menganggap bahwa kualitas hidupnya akan lebih baik apabila tidak mengalami sesuatu seperti kakaknya dan kembali menemani istrinya ,dengan kata lain Resusitasi harus dilakukan

Prinsip Etis : Disini otonomi perawat benar-benar dipertaruhkan, perawat dianggap sebagai individu yang kompeten dan memiliki kekuatan untuk membuat keputusan sendiri ,apabila memang perawat tersebut ingin mewujudkan body image yang ideal menurut Tn. G dan benar-benar ingin memulihkan status kesehatannya, maka resusitasi perlu dilakukan Apabila ternyata tindakan resusitasi mampu meningkatkan kualitas kesehatan pasien ,maka prinsip Non-Malefisien dapat dipertimbangkan kaitannya dengan melakukan sesuatu yang tidak mencederai psikologis keluarga klien berhubungan dengan berduka jika pasien mati. Fidelity hal ini berkaitan dengan tanggung jawab dasar seorang perawat untuk memenuhi harapan pasien sebagai bagian dari meningkatkan kualitas dan status kesehatan pasien Akuntabilitas prinsip ini berhubungan erat dengan fidelity yang berarti tanggung jawab itu pasti dan dapat digunakan sebagai bahan penilaian 2. Tidak Melakukan Resusitasi Alasan : SK MenKes No. 812/Menkes/SK/VII/2007 Romawi IV ayat 2 poin (b) menyatakan bahwa perawat sebagai tim paliatif dapat membuat keputusan untuk tidak melakukan resusitasi sesuaidengan pedoman klinis di bidang ini, yaitu apabila pasien berada

dalam tahap terminal dantindakan resusitasi diketahui tidak akan menyembuhkan atau memperbaiki kualitas hidupnya berdasarkan bukti ilmiah pada saat tersebut. Keluarga mungkin akan terbebani kaitannya dengan perawatan rumah apabila pasien dapat sembuh namun dengan kecacatan.

Prinsip Etis : Benefisiensi berarti hanya mengerjakan sesuatu yang baik. Kebaikan juga memerlukan pencegahan dari kesalahan atau kejahatan, penghapusan kesalahan atau kejahatan dan peningkatan kebaikan oleh diri dan orang lain. Kadang-kadang dalam situasi pelayanan kesehatan kebaikan menjadi konflik dengan otonomi. Dalam kasus ini, mungkin hal yang terbaik bagi pasien dan keluarganya adalah kematian Tn. G. Disini sering dikaitkan dengan mercy killing dan upaya untuk meringankan penderitaan walaupun konsepnya berbeda dengan tidak mencederai prinsip nonmalefisiensi Tanggung jawab pasti ada pada setiap tindakan dan dapat digunakan untuk menilai orang lain. Akuntabilitas merupakan standar yang pasti yang mana tindakan seorang professional dapat dinilai dalam situasi yang tidak jelas atau tanpa terkecuali. Sebagai seorang perawat yang profesional nantinya mampu mempertanggungjawabkan kegiatannya apabila dituntut oleh keluarga klien.

d. Menentukan Pilihan Sebagai perawat yang bertugas saya akan memilih opsi yang pertama e. Melakukan Tindakan Sebagai perawat,saya akan segera melakukan resusitasi kurang dari 5 menit setelah pasien kehilangan napasnya dan terus membujuknya agar mampu mewujudkan harapan untuk kembali ke kehidupannya. f. Evaluasi Apabila tindakan tersebut menimbulkan efek dengan normalnya TTV pasien ,dalam hal ini napas, serta hilangnya kekhawatiran pasien akan trauma dan meninggalkan istrinya, maka apa yang saya lakukan dapat dikatakan sebagai langkah yang terbaik untuk saya maupun pasien.

Anda mungkin juga menyukai