Anda di halaman 1dari 65

2004

http. www.kalbe.co.id/cdk
International Standard Serial Number: 0125 – 913X

Daftar isi :
2. Editorial
142. Alergi
4. English Summary
Artikel
5. Alergi Merupakan Penyakit Sistemik – Iris Rengganis
8. Alergi dan Imunologi pada Penyakit Akibat Kerja – Karnen Baratawidjaja
11. Alergi Lateks pada Pekerja Kesehatan – Teguh Harjono Karjadi
15. Perbaikan Kualitas Hidup pada Karyawan Penderita Alergi – Samsuridjal
Djauzi, Teguh Harjono Karjadi
19. Peranan Antihistamin pada Inflamasi Alergi – Iris Rengganis
22. United Airway Diseases – apakah itu ? – Heru Sundaru
27. Penatalaksanaan LES pada Berbagai Target Organ – Nanang Sukmana
31. Keterlibatan Paru dan Pleura pada SLE – Zuljasri Albar

35. Populasi Mesocyclops aspericornis pada Pengendalian Jentik Aedes


aegypti Menggunakan Metode Simulasi Kandang Nyamuk – RA Yuniarti,
Umi Widyastuti
38. Uji Efikasi Formulasi Cair (Liquid) Bacillus thuringiensis H-14 Galur
Lokal pada Berbagai Fermentasi terhadap Jentik Nyamuk Vektor di
Laboratorium – Blondine Ch.P, Damar Tri Boewono
42. Uji Efikasi Insektisida Abate 500 EC secara Pengabutan terhadap Nyamuk
Aedes aegypti– Hasan Boesri, Damar Tri Boewono, Hadi Suwasono

Keterangan Gambar Sampul : 46. Tingkat Aktivitas Kholinesterase, Pengetahuan dan Cara Pengelolaan
Sel mast mengeluarkan faktor kemotaktik dan Pestisida pada Petani/Buruh Penyemprot Apel di Desa Gubuk Klakah,
spasmogenik; spasmogen langsung menyebab- Jawa Timur – Sri Sugihati Slamet, Ni’mah Bawahab
kan bronkokonstriksi dan mengakibatkan pe-
ningkatan permeabilitas pembuluh darah kecil, 49. Status Kesehatan Petani Perkebunan Rakyat Pengguna Paraquat
edema dan migrasi sel, sedangkan faktor kemo- Dibandingkan dengan Petani bukan Pengguna Paraquat di Lampung
taktik menyebabkan akumulasi granulosit, eosin- Selatan – Janahar Murad, D. Mutiatikum, SR. Muktiningsih
ofil, basofil, makrofag dan trombosit; sel-sel ini 53. Risiko Pemajanan Benzen terhadap Pekerja dan Cara Pemantauan Biologis
memproduksi molekul-molekul inflamasi yang
selanjutnya menghasilkan respons lambat dan – Satmoko Wisaksono
reaksi inflamasi kronik seperti terlihat pada
asma. 56. Produk Baru
Faktor lain yang berkontribusi antara lain hiper-
sekresi bronkus (M), hipertrofi otot polos (SM) 57. Kegiatan Ilmiah
dan infiltrasi seluler (CI). 60. Internet untuk Dokter
61. Kapsul
62. Abstrak
64. RPPIK
EDITORIAL
Alergi – semua orang, bahkan awampun pasti pernah mendengar
istilah ini – tetapi meskipun demikian, masalah sebenarnya cukup
kompleks karena berhubungan dengan reaksi tubuh terhadap zat/benda
yang dianggap asing; dan gejalanya dapat bermanifestasi di berbagai
organ/sistem tubuh; oleh karena itu ada yang menganggap alergi
merupakan penyakit sistemik – seperti pada artikel pembuka Cermin
Dunia Kedokteran edisi ini.
Artikel lain membahas alergi dari berbagai sudut, dan juga mengenai
pengobatannya.
Artikel tambahan berkaitan dengan masalah keracunan, terutama
insektisida, ditampilkan bersama beberapa makalah mengenai upaya
pemberantasan vektor penyakit malaria dan demam berdarah.
Semoga rangkaian artikel ini dapat menambah wawasan Sejawat
sekalian,
Selamat Tahun Baru 2004

Redaksi

2 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004


2004

International Standard Serial Number: 0125 – 913X

KETUA PENGARAH
Prof. Dr Oen L.H. MSc REDAKSI KEHORMATAN
PEMIMPIN UMUM
Dr. Erik Tapan – Prof. DR. Sumarmo Poorwo Soedarmo – Prof. Dr. R. Budhi Darmojo
Staf Ahli Menteri Kesehatan, Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam
KETUA PENYUNTING Departemen Kesehatan RI, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro,
Dr. Budi Riyanto W. Jakarta. Semarang.

PELAKSANA – Prof. Drg. Siti Wuryan A. Prayitno – Prof. DR. Hendro Kusnoto Drg.,Sp.Ort
Sriwidodo WS. SKM, MScD, PhD. Laboratorium Ortodonti
Bagian Periodontologi, Fakultas Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti,
TATA USAHA Universitas Indonesia, Jakarta Jakarta
Dodi Sumarna
ALAMAT REDAKSI
Majalah Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval, – DR. Arini Setiawati
Jl. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta Bagian Farmakologi
10510, P.O. Box 3117 Jkt. Telp. (021)4208171 Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
E-mail : cdk@kalbe.co.id Jakarta
Website : http://www.kalbe.co.id/cdk

NOMOR IJIN DEWAN REDAKSI


151/SK/DITJEN PPG/STT/1976
Tanggal 3 Juli 1976
PENERBIT
– Dr. B. Setiawan Ph.D – Prof. Dr. Sjahbanar Soebianto
Grup PT Kalbe Farma
Zahir MSc.
PENCETAK
PT Temprint http://www.kalbe.co.id/cdk

PETUNJUK UNTUK PENULIS

Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila
aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidang- terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk menghindari ke-
bidang tersebut. mungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pe-
Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus munculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated
untuk diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila pernah dibahas atau Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuscripts Submitted to
dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan me- Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9).
ngenai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut. Contoh:
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan 1. Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore.
bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang London: William and Wilkins, 1984; Hal 174-9.
berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia 2. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading micro-
yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak organisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic phy-
mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus siology: Mechanisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974;457-72.
disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para 3. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin
pembaca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan Dunia Kedokt. l990; 64: 7-10.
abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau
abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut. lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.
Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran, Gedung
folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih Enseval, JI. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510 P.O.
disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto disertai/atau dalam Box 3117 Jakarta. Tlp. (021) 4208171. E-mail : redaksiCDK@yahoo.com
bentuk disket program MS Word. Nama (para) pe-ngarang ditulis lengkap, Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu
disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/ secara tertulis.
skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas-jelasnya dengan Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai
tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor sesuai dengan dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis


dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan Cermin
instansi/lembaga/bagian
Dunia Kedokteran No. 142, 2004 3
tempat kerja si penulis.
English Summary
POPULATION DENSITIES OF THE EFFICACY OF LIQUID FORMULA- hours, 22 hours, 24 hours and 25
MESOCYCLOPS ASPERICORNIS IN TION LOCAL STRAIN OF BACILLUS hours fermentation were 0,016
RELA-TION TO AEDES AEGYPTI THURINGIENSIS H-14 AT VARIOUS ml/l (LC50), 0,082 ml/1 (LC90);
LARVAL CONTROL; CAGE SIMU- CONCENTRATION AGAINST MOS- 0,009 ml/1 (LC50), 0,058 ml/1
LATION STU-DIES QUITOES LARVAE VECTOR IN (LC90); 0,008 ml/1 (LC50), 0,021
LABORATORIUM ml/1 (LC90);0,002 ml/1 (LC50), 0,008
RA Yuniarti, Umi Widyastuti ml/1 (LC90) and 0,005 ml/1 (LC50),
Blondine ChP, Damar Tri Boewono 0,021 ml/1 (LC90) after exposure
Vector Reservoir Control Research for 24 hours respectively. At 48
Vector Reservoir Control Research
Unit, National Institute of Health hours of exposure these were
Unit, National Institute of Health
Research and Development, Depart-
Research and Development, Depart- 0,012 ml/1 (LC50), 0,078 ml/1
ment of Health Republic of Indonesia,
Salatiga, Indonesia ment of Health Republic of Indonesia, (LC90); 0,001 ml/1 (LC50), 0,011
Salatiga, Indonesia ml/1 (LC90); 0,005 ml/1 (LC50),
A study was conducted to 0,016 ml/1 (LC90);0,001 ml/1 (LC50),
Bacillus thuringiensis H-14
determine the increase of popula- 0,004 ml/1 (LC90); and 0,001 ml/1
which is also called Bt H-14 is a
tion densit¡es of Mesocyclops (LC50), 0,012 ml/1 (LC90) respec-
specific target bioinsecticide
aspericornis in relation to Aedes tively. The efficacy test of liquid
against insects. It is safe to
aegypti growth, during larval con- formulation local strain of B.
mammals and doesn’t cause
trol. The study was conducted thuringiensis H-14 against the third
environmental pollution. An effi-
using a cage simulation ap- instar Cx. quinquefasciatus larvae
cacy test of the liquid formula-
proach. To stimulate possible field of 50% and 90% at 18 hours, 20
tion local strain of Bacillus
interactions between M. asperi- hours, 22 hours, 24 hours and 25
thuringiensis H-14 fermented at 18
cornis and Ae. aegypti, two Ae. hours fermentation were 0,002
hours, 20 hours, 22 hours, 24 hours
aegypti breeding colonies (one ml/l (LC50), 0,008 mm (LC90);
and 25 hours was conducted.
of which was inoculated with M. 0,002 ml/1 (LC50), 0,009 ml/1
The aim of this study was to
aspericornis) were set up for a 12- (LC90); 0,002 ml/1 (LC50), 0,013
investigate the efficacy of
week observation period. The ml/1 (LC90); 0,001 ml/1 (LC50),
liquid formulation local strain of
following were recorded weekly : 0,002 ml/1 (LC90); and 0,001 ml/1
B. thuringiensis H-14 at various
immature, adult mosquito num- (LC50), 0,002 ml/1 (LC90) respec-
fermentation against the third
bers and adult copepods. In the tively. The smaller concentration
instar larvae of Anopheles
treated plastic jars the M. asperi- of liquid formulation local strain
aconitus and Culex quinque-
cornis population increased ex- of B. thuringiensis H-14 con-
fasciatus. The results showed,
ponentially in response to the trolled 50% and 90% third instar
Total Viable Cell (TVC) and Total
abundant Ae. aegypti larvae, An. aconitus and Cx. quinque-
Viable Spore Count (TVSC) liquid
within 3 weeks. Alter that period the fasciatus larvae at 24 hours
formulation local strain of B.
population density of Ae. aegypti fermentation respectively. The
thuringiensis H-14 at 18 hours, 20
larvae in the treated jar decreased liquid formulation local strain of B.
hours, 22 hours, 24 hours and 25
to zero within 7 weeks. In the ab- thuringiensis H-14 is effective for
hours were 4,5x 07 cells/ml and
sence of newly emerging Ae. controlling mosquitoes larvae.
10,9x10 7 spores/ml; 5,5x10 8
aegypti adults, the adult popula-
cells/ml and 8,6x108 spores/ml;
tion in the treated cage decreas- Cermin Dunia Kedokt. 2004; 142: 38-41
10,2x108 cells/ml and 9,0x108
ed to zero within 12 weeks. Survival bcp, dtb
spores/ml; 10,0x108 cells/ml and
rate of M. asper¡cornis was 2,5-3 Bersambung ke halaman 7.
12,8x108 spores/ml; 9,2x108
months in the plastic jars contain-
cells/ml and 11,2x108 spores/ml
ing 2 liters of water with food
respectively. The concentration of
source.
liquid formulation local strain of B.
Cermin Dunia Kedokt. 2004; 142: 35-7 thuringiensis H-14 for controlling
ray, uwi 50% and 90% the third instar An.
aconitus larvae at 18 hours, 20

4 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004


Artikel
OPINI

Alergi Merupakan Penyakit Sistemik


Iris Rengganis
Subbagian Alergi-Imunologi Klinik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN INFLAMASI ALERGI MERUPAKAN PENYAKIT SIS-


Alergi dapat merupakan gangguan hipersensitivitas lokal TEMIK
atau sistemik. Kulit dan saluran napas adalah organ yang paling Studi epidemiologi secara konsisten menunjukkan bahwa
sering terpajan alergen dan terlibat dalam penyakit alergi. asma dan rinitis alergi sering ditemukan bersamaan pada satu
Reaksi alergi dapat juga terjadi di jaringan vaskular, traktus penderita, sehingga dianggap merupakan satu penyakit saluran
gastrointestinal, atau organ lain. Anafilaksis merupakan bentuk napas. Inflamasi mukosa nasal dan bronkus berperan dalam
reaksi alergi sistemik yang paling berbahaya. patogenesis asma dan rinitis. Baik saluran napas atas maupun
Reaksi alergi yang kompleks dapat digambarkan sebagai bawah menunjukkan gambaran infiltrasi sel inflamasi yang
berikut: reaksi diawali dengan pajanan terhadap alergen yang sama, melibatkan sel Th2, sel mast, basofil, eosinofil, IgE,
ditangkap oleh Antigen Presenting Cell (APC), dipecah men- mediator kimia seperti histamin, leukotrien dan molekul adhesi,
jadi peptida-peptida kecil, diikat molekul HLA (MHC II), sitokin seperti IL-4, -5, -13, RANTES, GM-CSF. Antara gen
bergerak ke permukaan sel dan dipresentasikan ke sel Th-2 (gb. dan lingkungan terjadi sinergi dan lingkungan menentukan
1). Sel Th-2 diaktifkan dan memproduksi sitokin-sitokin antara ekspresi penyakit alergi.4-7
lain IL-4 dan IL-13 yang memacu switching produksi IgG ke Studi patofisiologi menyokong adanya hubungan erat
IgE oleh sel B, terjadi sensitisasi sel mast dan basofil, sedang- antara rinitis dan asma, meskipun ada perbedaannya. Saluran
kan IL-5 mengaktifkan eosinofil yang merupakan sel inflamasi napas atas dan bawah diduga dipengaruhi oleh suatu proses
utama dalam reaksi alergi. Selain itu sel residen juga melepas inflamasi yang serupa, yang mungkin dapat menetap dan diper-
mediator dan sitokin yang juga menimbulkan gejala alergi.1-3 berat oleh mekanisme yang saling berhubungan ini. Penyakit
alergi dapat bersifat sistemik. Provokasi bronkial menyebabkan
inflamasi nasal dan provokasi nasal menyebabkan inflamasi
bronkial. Saat menentukan diagnosis rinitis atau asma, baik
saluran napas bawah dan atas sebaiknya dievaluasi.4
Inflamasi alergi melibatkan sumsum tulang dan proses
sistemik yang berperan dalam mempertahankan gejala dan
penyakit. Peran potensial signal saluran napas - sumsum tulang
diinduksi oleh alergen. Sumsum tulang merupakan sumber
inflamasi kronis yang memberikan persediaan sel-sel efektor
matang.8 Meskipun alergi makanan hanya berawal dari pajanan
mukosa saluran cerna terhadap makanan, manifestasi alergi
biasanya terjadi di luar saluran cerna dengan gejala yang dapat
mengenai berbagai organ.9
Dermatitis alergi terlihat pada anak di bawah usia 5 tahun
dan sekitar 80% anak-anak tersebut akan menderita rinitis
Gambar 1. Reaksi alergi tipe 1 alergi atau asma. Sensitisasi kulit terhadap alergen dapat me-
macu sel Th2 untuk memproduksi IL-4, IL-5, aktivasi sel mast,
Dikutip dari Holgate ST. Allergy. Mosby, Times Mirror International Publ.
Ltd. 1995:1.1. eosinofil dan sel B untuk memproduksi IgE. Derajat berat

Dibacakan pada Simposium PIN II PERALMUNI, 21-22 Juni 2003, Hotel


Sahid Jaya, Jakarta Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 5
dermatitis alergi dapat mempengaruhi perjalanan alergi saluran subyek yang terpajan alergen walaupun tanpa gejala. Dengan
napas.10,11 kata lain, senantiasa harus disadari adanya inflamasi kronis
Patofisiologi penyakit alergi melibatkan pengerahan ber- pada asma dan rinitis, walaupun pada fase klinis laten. Konsep
bagai sel efektor dari sirkulasi, rangsangan sumsum tulang/ ini merupakan hal yang paling penting, sehinga proses infla-
sistemik. Reaksi alergi yang sistemik menunjukkan respons di masi harus tetap diterapi walaupun tidak disertai gejala. ICAM-
berbagai organ seperti saluran napas atas dan bawah, kulit dan 1 yang merupakan petanda inflamasi diekspresikan di epitel /
saluran cerna. Oleh karena itu terapi harus diarahkan terhadap endotel konjungtiva subyek yang sensitif terhadap tepung sari,
manifestasi lokal dan sistemik.12 baik pada musim semi ataupun bukan dan pada subyek yang
sensitif terhadap tungau debu rumah. Suatu penelitian menemu-
HISTAMIN kan adanya hubungan antara ICAM-1 dan inflamasi persisten
Efek histamin adalah pada organ sasaran, direk atau minimal, dan ICAM-1 secara konsisten terdeteksi pada pen-
indirek terhadap aktivasi berbagai sel inflamasi dan sel efektor derita tanpa gejala yang secara kontinyu terpajan tungau debu
yang berperan pada penyakit alergi. Reseptor histamin ditemu- rumah dan alergen alamiah lainnya. 15
kan pada sel basofil, sel mast, neutrofil, eosinofil, limfosit,
makrofag, sel epitel dan endotel. Oleh karena itu histamin di-
duga berperan dalam modulasi sel-sel tersebut.13
Sel-sel yang berperan pada patofisiologi alergi seperti
sudah diketahui adalah sel APC, sel T, sel B, sel mast dan
basofil. Oleh karena itu sasaran terapi dapat ditujukan terhadap
sel-sel tersebut atau mengubah molekul adhesi dan kemo-
atraktan serta mencegah terjadinya ikatan histamin yang di-
lepas pada inflamasi dan reseptornya di organ sasaran.14

Antihistamin sebagai Antiinflamasi


Histamin disimpan dalam granul sitoplasma basofil dan sel
mast. Histamin berperan dalam fase cepat yang memodulasi
respons vaskular dan saluran napas melalui reseptornya yang
juga ditemukan pada sel-sel inflamasi/ jaringan. Jadi peran
histamin tidak hanya terbatas pada fase dini saja, tetapi juga
pada fase kronis. Antihistamin inhibitor berkompetisi pada
reseptor histamin. Penghambat reseptor H1 digunakan pada Gambar 2. Eosinofil dan ICAM-1
terapi alergi yang diperantai IgE. Obat-obat tersebut telah ter-
sedia, tetapi penggunaan generasi antihistamin pertama (klor- Dikutip dari Holgate ST. Allergy 2nd ed. Elsevier Science Ltd. 2002:291.
feniramin, bromfeniramin, difenhidramin, klemastin, hidroksi-
KESIMPULAN
zin) terbatas, karena adanya efek samping sedasi primer dan
Alergi merupakan reaksi sistemik yang melibatkan ber-
menyebabkan keringnya membran mukosa. Kontroversi peng-
bagai komponen sistem imun seperti sel-sel inflamasi, media-
gunaan antihistamin (AH) pada asma di waktu yang lalu di-
tor, sitokin, sel endotel, epitel dan molekul adhesi. Inflamasi
sebabkan karena AH lama mempunyai efek sedasi, anti-
melibatkan pengerahan berbagai sel inflamasi dari sirkulasi ke
kolinergik dan antiserotonergik. Dengan adanya AH generasi
jaringan yang dimungkinkan oleh peningkatan ekspresi mole-
kedua dan ketiga, banyak peneliti yang menelaah ulang efek
kul adhesi seperti ICAM-1.Berbagai antihistamin generasi ke-
AH terhadap asma. Antihistamin generasi kedua (loratadin,
dua dan ketiga dapat menghambat ekspresi ICAM-1 yang
cetirizin) dan ketiga (feksofenadin, desloratadin) bekerja meng-
merupakan petanda inflamasi sehingga dapat mencegah influks
hambat reseptor histamin H1, di samping efek antiinflamasi.
eosinofil ke jaringan dan terjadinya inflamasi.
Azelastin merupakan preparat antihistamin topikal yang di-
gunakan secara intranasal yang tidak menunjukkan efek
samping sistemik. Terapi antihistamin generasi kedua dan
KEPUSTAKAAN
ketiga berguna pada penderita rinitis alergi yang juga menderita
asma. Hal tersebut diduga oleh karena ekspresi ICAM-1 yang 1. Kishiyama JL, Adelman DC. Gangguan Alergi dan Imunologi.
dicegah antihistamin sehingga infiltrasi eosinofil ke jaringan Dalam: Diagnosis dan Terapi Kedokteran Penyakit Dalam, Buku 2..
juga dicegah (gambar 2). Pemberian antihistamin intra- Penerbit Salemba Medika 2003. Hal. 165-174
2. Fireman P. The mechanisms of allergic inflammation. The Allergy
muskular atau intravena dalam pengobatan anafilaksis sistemik and Asthma Report. AAAAI Meeting, March 1999.
hanya efektif terhadap gejala kulit dan gastrointestinal, tetapi 3. Schleimer RP. Introduction: Systemic Aspects of Allergic Disease.
tidak efektif pada vaskular yang kolaps atau obstruksi jalan JACI 2000; 106: A191.
napas.1, 14 4. Bousquet J., Cauwenberge P. Allergy Rhinitis and Its Impact on
Asthma Initiative. 2001; 3-8.
5. Leynaett B, Neukirch F, Damoly P. Epidemiological evidence for
Inflamasi Persisten Minimal asthma and rhinitis comorbodity. JACI 2000; 106: S201-5.
Inflamasi Persisten Minimal (IPM) dapat didefinisikan se- 6. Barnas KC. Evidence for common genetic elements in allergic
bagai suatu proses inflamasi yang selalu terjadi pada setiap disease. JACI 2000; 106: S192-S200.

6 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004


7. United Airways Disease. Resources for Health Professionals. 12. Bachert C. The role of histamine in allergic diseases: re-appraisal of
http://www.worldallergy.org/professional/allergy. its inflammatory potential. Allergy 2002; 57: 287-296.
8. Inman MD. Bone marrow events in animal models of allergic 13. Marshall GD. Therapeutic options in allergic diseases:
inflamma-tion and hypersensitiveness. JACI 2000; 106: S235-S241. Antihistamines as anti allergic agents. JACI 2000; 106: S302-9.
9. Sicherer S. Determinants of systemic manifestations of food allergy. 14. Marone G. New Insights into the Inflammatory Responses. ACAAI
JACI 2000; 106: S251-7 Meeting November 16-20, 2001, Orlando, USA.
10. Beck LA, Leung DYM. Allergen sensitization through the skin 15. Canonica PW. Ciprandi G, Pesce GP, Buscaglia S, Paoliere F,
induces systemic allergic responses. JACI 2000; 106: S258-63. Bagnasco M. ICAM-1 on epithelial cells in allergic subjects: a
11. Bochner BS. Systemic activation of basophils and eosinophils : hallmark of allergic inflammation. Int Arch Allerg Immunol 1995;
Markers and consequences. JACI 2000; 106: A292-S302. 107: 99-102.

English Summary
Sambungan dari halaman 4

EFFICACY TEST OF ABATE 500EC FOGGING ON AEDES AEGYPTI LARVAE

Hasan Boesri, Damar Tri Boewono, Hadi Soewasono

Vector Reservoir Control Research Unit, National Institute of Health Research and
Development, Department of Health, Republic of Indonesia, Salatiga, Indonesia

A trial of Abate 500 EC was conducted in the morning using thermal


residual fogging in Salatiga municipality in 1998. The Air Bioassay test for
all insecticides tested showed that on observation in the laboratory,
spraying dis-tance of 2 meter result in 100 % mortality of Aedes aegypti,
after 24 doses of 60 ml/ha, 100 ml/ha, 120 ml/ha, 240 ml/ha and Icon 25
EC dose of 75 ml/ha.

Cermin Dunia Kedokt. 2004; 142: 42-5


hbi, dtb, hso

Better alone than in bad company

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 7


IKHTISAR

Alergi dan Imunologi


pada Penyakit Akibat Kerja
Karnen Baratawidjaja
Subbagian Alergi-Imunologi Klinik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakulas Kedokteran Universitas Indonesia/
Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN Asma Akibat Kerja


Kemajuan dalam bidang industri sampai sekarang telah Asma Akibat Kerja (AAK) ditandai dengan obstruksi
menghasilkan sekitar 70.000 jenis bahan berupa logam, kimia, saluran napas yang variabel dan bronkus hiperesponsif yang
pelarut, plastik, karet, pestisida, gas, dan sebagainya yang di- disebabkan oleh inflamasi bronkial akut dan kronis. Hal ter-
gunakan secara umum dalam kehidupan sehari-hari dan mem- sebut bermula dari inhalasi debu, uap, gas yang diproduksi atau
berikan kenyaman dan kemudahan bagi penduduk di seluruh digunakan karyawan atau secara tidak sengaja ditemukan
dunia. Namun di lain pihak, bahan-bahan tersebut menimbul- dalam lingkungan kerja. Ciri dari semua asma kronis adalah
kan berbagai dampak seperti cedera dan penyakit. Cedera iritabilitas berlebihan terhadap berbagai rangsangan/faktor
akibat kerja dapat bersifat ergonomik, ortopedik, fisik, me- dalam lingkungan kerja.2,6
ngenai mata, telinga dan lainnya. Penyakit-penyakit akibat Asma yang timbul dalam lingkungan kerja dibedakan
pajanan di lingkungan kerja dapat berupa toksik, infeksi, dalam dua kategori. Pertama adalah asma yang disebabkan
kanker, gangguan hati, saraf, alat reproduksi, kardiovaskular, bahan/faktor dalam lingkungan kerja dan kedua asma yang
kulit dan saluran napas.1-6 sudah ada sebelum bekerja dan dipicu (eksaserbasi) oleh bahan/
Biological dan chemical terrorism yang mulai banyak faktor dalam lingkungan kerja.5 Pada karyawan yang sudah
dikhawatirkan ditujukan untuk menimbulkan kematian atau menderita asma sebelum bekerja, 15% akan memburuk akibat
penyakit pada manusia, hewan dan tanaman dengan mengguna- pajanan terhadap bahan/ faktor dalam lingkungan kerja.6
kan bahan seperti anthrax, cacar, virus ensefalitis yang di-
keringkan dan dijadikan bubuk sehingga mudah disebarkan.4 Reactive Airways Dysfunction Syndrome
Reactive Airways Dysfunction Syndrome (RADS) atau
irritant induced asthma adalah reaksi non-imunologik serupa
PENYAKIT AKIBAT KERJA asma yang terjadi setelah satu kali pajanan terhadap kadar
Penyakit pertama yang diduga merupakan Penyakit Akibat iritan (Toluen Diisosianat/TDI, klorin, fosgen) yang tinggi.
Kerja (PAK) adalah silikosis yang sudah terjadi pada masa Hipereaktivitas bronkus dapat menetap sedikitnya satu tahun
manusia membuat peralatan dari batu api.1 pasca pajanan tersebut. Pajanan terhadap iritan kadar rendah
Pengetahuan mengenai PAK masih terbatas karena sulit- untuk jangka waktu yang lama dapat juga menimbulkan reaksi
nya melakukan studi epidemiologi; hal ini disebabkan berbagai serupa.7,8
hal seperti definisi PAK yang belum jelas, praktek higiene Dewasa ini, sekitar 250 bahan dalam lingkungan kerja
industri dan cara-cara laporan yang berbeda, tidak ada studi sudah diketahui dapat menimbulkan asma. Bahan-bahan de-
kontrol, tidak mungkin menentukan gejala minimal, banyak ngan berat molekul tinggi (HMW seperti bahan asal hewan,
karyawan tidak melapor dan sudah meninggalkan tempat kerja tanaman seperti tepung, kopi, soya) biasanya menginduksi
sewaktu penelitian dilakukan sehingga hanya ditemukan sintesis IgE dan memicu reaksi asma alergi tipe I. Bahan
survivor population. Hal tersebut terlihat dari sedikitnya lapor- dengan berat molekul rendah (LMW) seperti TDI, Trimellitic
an PAK di Indonesia. PAK tersering adalah yang mengenai Anhydride/TMA, platina, nickel merupakan hapten yang ber-
saluran napas yaitu asma dan rinitis. PAK imunologik lain ikatan dengan protein pembawa asal tubuh yang dapat memacu
yaitu pneumonitis hipersensitif yang mengenai paru dan PAK sintesis IgE. Bahan HMW berhubungan, sedang bahan LMW
yang mengenai kulit.6 tidak berhubungan dengan atopi. HMW biasanya menimbulkan
Dibacakan pada Simposium Occupational Diseases, Allergy Clinical Immuno-
logy, Millennium Sirih Hotel, Jakarta, 22-23 Februari 2003

8 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004


reaksi dini dan lambat, sedangkan LMW reaksi lambat ter- Dermatitis kontak alergi dapat terjadi bila bahan LMW
isolasi. 1,5,8 seperti lateks dan nickel, sebagai hapten berikatan dengan
protein pembawa di kulit dan menimbulkan dermatitis kontak
Bisinosis alergi Tipe IV. Urtikaria dapat terjadi akibat kontak dengan
Bisinosis adalah gejala saluran napas serupa asma dalam bahan dalam lingkungan kerja yang menimbulkan urtikaria
berbagai derajat yang disebabkan oleh pajanan terhadap serat alergi Tipe I (lateks) atau urtikaria nonalergi. Faktor fisik ling-
kapas. Oleh karena gejala awal bisinosis terjadi pada hari kerja kungan kerja seperti tekanan, panas, dingin dan lainnya dapat
pertama yang biasanya hari Senin, bisinosis disebut juga juga menimbulkan urtikaria nonalergi (urtikaria fisik).16
Monday morning fever atau Monday moning chest tightness
atau Monday morning asthma. Bisinosis lebih sering ditemu- Penanganan PAK
kan pada karyawan pemintalan yang terpajan debu kapas kadar Penanganan PAK harus dilakukan secara obyektif dan
tinggi dibanding karyawan pertenunan.9 ditekankan pada lingkungan kerja. Menghindari pajanan bahan
penyebab merupakan cara terbaik, namun tidak selalu mudah.
DIAGNOSIS ASMA AKIBAT KERJA Keluar dari tempat kerja tidak selalu menghasilkan remisi ge-
Untuk menegakkan diagnosis AAK, perlu diketahui riwa- jala. Penggunaan alat proteksi harus dilembagakan. Di samping
yat atopi, penilaian pajanan, imunologi (molekular dan selu- itu penanganan farmakologik dapat merupakan cara yang
lar), foto paru dan fisiologi seperti hipereaktivitas bronkus, sangat efektif.2,7,10
fungsi paru serial, uji inhalasi spesifik yang merupakan gold
standard.2, 7,10 Pre-employment testing
Pemeriksaan alergi sebelum bekerja tidak dianjurkan pada
Pneumonitis hipersensitif karyawan tanpa asma karena hasil tes kulit positif terhadap
Pneumonitis hipersensitif (PH) adalah penyakit parenkim bahan HMW dalam masyarakat cukup tinggi. Jalan keluarnya
paru akibat pajanan dan sensitisasi terhadap berbagai debu ialah menasehatkan bahwa bila kelak terjadi sensitisasi ter-
organik, misalnya produk bakteri, jamur dan protein asal ta- hadap bahan lingkungan kerja, akan dapat menjadi alasan
naman. Diisosianat yang digunakan dalam produksi poliuretan, untuk dipindahkan dari tempat pekerjaannya.8
busa, plastik dapat pula menimbulkan PH. Reaksi yang terjadi
pada PH dewasa ini dianggap sebagai campuran reaksi Tipe III KESIMPULAN
dan Tipe IV.5 Berbagai bahan/faktor dalam lingkungan kerja dapat me-
nimbulkan dampak berupa cedera dan PAK. PAK alergi yang
Rinitis akibat kerja ditemukan terbanyak mengenai saluran napas (AAK dan
Dapat berupa alergi atau non-alergi. Pada umumnya, RAAK). Bahan/faktor lingkungan kerja dapat memicu terjadi-
bahan-bahan yang menimbulkan AAK juga dapat menimbul- nya asma/rinitis atau menimbulkan eksaserbasi asma/rinitis
kan Rinitis Alergi Akibat Kerja (RAAK).2 Seperti halnya yang sudah ada. AAK dan RAAK dapat pula terjadi melalui
dengan asma, rinitis dapat sudah diderita karyawan sebelum mekanisme nonalergi-imunologi atau iritan. Pada umumnya
bekerja dan eksaserbasinya dipacu oleh bahan di lingkungan bahan HMW menimbulkan reaksi Tipe I dan hanya beberapa
kerja.11 Pada orang atopi, lateks dapat menimbulkan reaksi Tipe bahan jenis LMW sebagai hapten mengikat protein pembawa
I seperti AAK dan atau RAAK dan urtikaria, atau reaksi Tipe asal tubuh yang dapat menginduksi produksi IgE. Penyakit
IV (mercaptobenzotiazol, thiuram), berupa dermatitis kon- alergi-imun tersering kedua adalah PAK yang mengenai kulit
tak.10,12,13,14 berupa dermatitis kontak dan urtikaria kontak yang dapat di-
Berbagai iritan di lingkungan kerja dapat merangsang timbulkan baik oleh faktor alergi, maupun nonalergi.
membran mukosa nasal dan menimbulkan rinitis iritan non- Penelitian mengenai PAK di Indonesia masih perlu di-
alergi dengan gejala iritasi yang predominan. Adanya perbaik- tingkatkan.
an waktu malam, akhir minggu, dan libur menunjang diagnosis
rinitis oleh iritan. Lingkungan kerja dengan perubahan suhu KEPUSTAKAAN
yang cepat atau gerakan udara berlebihan dapat merupakan
1. LaDou J. The practice in occupational disease. Dalam: LaDou (ed).
faktor fisik yang relevan dalam timbulnya rinitis vasomotor.11 Occupational and Environmental Medicine. Lange Medical Books/
Di samping itu, bau-bauan seperti wewangian, asap rokok, McGraw-Hill. NY 1997: 1-5
pewangi ruangan dan lainnya dapat pula menimbulkan eksa- 2. Shames RS, Adelman DC. Clinical Immunology. Dalam: LaDou
serbasi rinitis. Bahan korosif dapat merusak sistem olfaktorius (ed). Occupational and Environmental Medicine. Lange Medical
Books/ McGraw-Hill. NY 1997: 180-203.
dan menimbulkan obstruksi dan post-nasal drip yang per- 3. Rempell DM, Janowitz IL. Ergonomics & the prevention of
manen.10 occupational injuries. Dalam: LaDou (ed). Occupational and
Environmental Medicine. Lange Medical Books/McGraw-Hill. NY
Dermatitis dan urtikaria akibat kerja 1997: 41-63.
4. Franz DR. Biologic and Chemical Terrorism. Dalam: Bowler RM,
Penyakit kulit akibat kerja dapat berupa dermatitis dan Cone JE (eds). Occupational Medicine Secrets. Hanley & Belfus,
urtikaria. Dermatitis kontak merupakan 50% dari semua PAK, Inc. Philadelphia. 1999:147-150.
terbanyak bersifat nonalergi atau iritan. Sekitar 90.000 jenis 5. Balmes JR, Scanell CH. Occupational Lung Diseases. Dalam:
bahan sudah diketahui dapat menimbulkan dermatitis.15 LaDou (ed). Occupational and Environmental Medicine. Lange
Medical Books/ McGraw-Hill. NY 1997: 305-27

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 9


6. Bardana EJ. Occupational Asthma. Dalam: Slavin RG, Reisman RE 12. Orfan N, Reed R, Dykkewicz M et al. Occupational asthma in a
(eds). Asthma. ACP, Philadelphia 2002:173-90. latex doll manufacturing plant. JACI 1994; 94:826-30.
7. Quirce S. Evaluation of workers with suspected occupational 13. Carillo T, Blanco C, Quiralte J et al. Prevalence of latex allergy
allergy. AAAAI Meeting, March, NY 2002. among greenhouse workers. JACI 1995 ; 96: 699-701.
8. Beckett WS. Occupational Asthma. Dalam: Bowler RM, Cone JE 14. Baratawidjaja KG, Sukmana N, Baratawidjaja IR, Darwis A, Jusuf
(eds). Occupational Medicine Secrets. Hanley & Belfus, Inc. L, Hendrata AP. A study of latex hypersensitivity among latex
Philadelphia. 1999: 189-92. glove workers, 5th West-Pacific Allergy Symposium-7th Korea-
9. Baratawidjaja KG. Bisinosis dan hubungannya dengan obstruksi Japan Joint Allergy Symposium, Monduzzi (ed.). International
kronis. Tesis, 1989. Proceedings Division, June 1997.
10. Puchner TC, Fink JN. Occupational Allergy. Dalam: Lasley MV, 15. Adams MR. Occupational Skin Disorders. Dalam: LaDou (ed).
Altman LC (eds). Immunol. Allerg. Clin. N. Am. Rhinitis. May Occupa-tional and Environmental Medicine. Lange Medical
2000: 303-22. Books/McGraw-Hill. NY 1997: 272-90.
11. Shusterman D. Upper respiratory tract disorders. Dalam: LaDou 16. Hein R. Chronic urticaria: impact of allergic inflammation. Allergy
(ed). Occupational and Environmental Medicine. Lange Medical 2002; 57 (S 75): 19-24.
Books/ McGraw-Hill. NY 1997: 291-304.

KALENDER KEGIATAN ILMIAH PERIODE FEBRUARI – MEI 2004


Bulan Tanggal Kegiatan Ilmiah Tempat dan Sekretariat
21st Century Challenge to Improve Professionalism Hotel Gran Melia, Jakarta
& Quality of Anesthesia Services in Indonesia Telp : 021-391 2526, 31907069
6-8
Fax : 021-31907069
Email : idsai@centrin.net.id
International Course on Metabolic and Clinical Hotel Acacia, Jakarta
Nutrition 2004 Telp : 021-3106737
16-19
Fax : 021-3106443
Februari Email: cme_fkui@yahoo.com
The 13th ASMIHA : Advances in Cardiovascular Discovery Kartika Plaza Hotel, Bali
Medicine : From Bench to Bedside and Beyond Telp : 021-568 4093 ext. 3508, 0361- 223 190
24-28
ext. 15, 0361-257 518
Fax : 021-560 8239, 0361-257 518
PIT Feto-Maternal Hotel Gran Melia, Jakarta
25-26 Telp : 021-392 8721
Fax : 021-391 5041
Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran Hotel Borobudur Jakarta
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (KPPIK Telp : 021-3106737
5-7
FKUI 2004) Fax : 021-3106443
Email: cme_fkui@yahoo.com
Maret Simposium 'Controversies in Internal Medicine' Hotel Sahid Jaya, Jakarta
Telp : 021-31903775
6-7 Fax : 021-31903776
Email: pipinfo@indosat.net.id
Website: www.interna.fk.ui.ac.id
5th Jakarta Antimicrobial Update (JADE) 2004 Hotel Borobudur, Jakarta
Telp : 021-3908157, 3925491
1-2
Fax : 021-3929106
E-mail: tropik@indosat.net.id
The Fourth Congress of Asian Pacific Society of Bali International Convention Centre
Atherosclerosis and Vascular Diseases Telp : 62-21-570 5800 ext. 423/ 421
6-9 Fax : 62-21-570 5798
Mei
E-mail : secretariat@apsavd2004.org
Situs : http://www.apsavd2004.org
4th Jakarta Nephrology Hypertension (JNHC) Hotel Borobudur, Jakarta
Telp : 021-314 9208
28-30 Fax : 021-315 5551
Email : inasn@link.net.id, pernefri@cbn.net.id,
jnhc@cbn.net.id
Informasi terkini, detail dan lengkap (jadwal acara/pembicara) bisa diakses di http://www.kalbe.co.id/calendar>>Complete

10 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004


PRAKTIS

Alergi Lateks
pada Pekerja Kesehatan
Teguh Harjono Karjadi
Subbagian Alergi-Imunologi Klinik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN sitisasi 14,6%.1,14


Lateks adalah produk yang dibuat dari bahan karet. Karet Atopi merupakan faktor predisposisi terpenting terjadinya
didapat dari getah pohon Hevea brasiliensis yang berasal dari sensitisasi lateks; pada suatu penelitian, 61% petugas kesehatan
hutan Amazon di negara Brazil. Lateks merupakan bahan yang positif terhadap sensitisasi lateks merupakan individu
utama beberapa produk seperti sarung tangan, kateter urin, atopi; demikian pula pada pasien spina bifida terlihat gambaran
tensimeter, karet spuit, peralatan gigi, kondom, berbagai alat yang hampir sama.1,9,15
rumah tangga,dan lain-lain. Penelitian oleh Sub Bagian Alergi-Imunologi Klinik
Alergi terhadap bahan lateks dilaporkan pertama kali pada RSCM-FKUI pada 6 rumah sakit di Jakarta dengan metode
tahun 1927 di Jerman berupa urtikaria akibat pemakaian dental potong lintang (cross sectional), menggunakan kuesioner dan
prosthesis. Pada tahun 1980 seiring dengan ditemukannya tes prick atas 600 perawat dan 277 petugas administrasi men-
AIDS dan penyakit infeksi virus lainnya, maka diperkenalkan dapatkan :
universal precaution, yang menyebabkan penggunaan sarung 1. Sensitisasi pada 34 orang perawat (5,8%) dan 4 orang
tangan lateks meningkat pesat, dan disertai pula dengan pe- petugas administrasi (1,4%).
ningkatan prevalensi alergi terhadap lateks.1,2,3,4 2. Klinis yang dihubungkan dengan paparan lateks pada
Sebagai gambaran, kebutuhan sarung tangan lateks di perawat :
Amerika mencapai 20 miliar pasang selama 1999. Kebutuhan a. Rinitis 81 orang (14%)
yang demikian banyak dapat meningkatkan kemungkinan b. Dermatitis kontak 21 orang (3,6%)
sensitisasi/alergi lateks pada masyarakat terutama yang bekerja c. Urtikaria 47 orang (8,1%)
di bidang kesehatan. Selama ini yang tersering adalah d. Batuk-batuk 21 orang (3,6%)
dermatitis kontak; tetapi antara 1988-1992 di Amerika Serikat e. Konjungtivitis 27 orang (4,6%)
tercatat ±1000 kasus reaksi sistemik (reaksi hipersensitivitas f. Sesak 15 orang (2,5%)
tipe I / IgE) yang berhubungan dengan alergi lateks, 15 kasus di 3. Atopi :
antaranya fatal.4,5 a. 196 (34%) perawat atopi, 21 orang (3,6%) di antaranya
dengan tes prick positif (+).
PREVALENSI b. 381 (66%) perawat non atopi, 14 orang (2,3%) di antara-
Telah banyak penelitian mengenai alergi lateks di luar nya dengan tes prick positif (+).
negeri, prevalensi sensitisasi lateks pada petugas/pekerja ke- c. Bila kedua kelompok tersebut dibandingkan maka terdapat
sehatan 6,9%-30%.6-11 Di Indonesia telah dilakukan beberapa perbedaan bermakna (p=0,008).
penelitian sensitisasi pada pekerja produk lateks dengan pre-
valensi 3,13 – 6,3%.12,13 Antigen lateks
Prevalensi sensitisasi pada masyarakat umum 0,8-6,4%, Getah karet alam (natural rubber latex) merupakan ga-
tertinggi pada masyarakat yang sering kontak dengan lateks bungan partikel yang mengandung 35% cis 1,4 polysoprene
seperti donor darah. Pada pasien yang sering mengalami ope- (karet), 55-60% air, 5-10% bahan lain (protein, karbohidrat,
rasi prevalensi sensitisasi 11,5%, pasien spina bifida prevalensi resin, dan lain-lain) berasal dari pohon Hevea brasiliensis.
mencapai 35-64,5%; pada pasien hemodialisis prevalensi sen- Protein yang terdapat dalam getah karet antara 1-1,8% ter-
gantung dari tempat tumbuh, spesies, tempat penyemaian, saat

Dibacakan pada acara Simposium Occupational Diseases & Allergy-Clinical


Immunology, Hotel Millennium Sirih, 22-23 Februari 2003. Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 11
ini telah terdeteksi sebanyak ± 200 jenis; telah diketahui be- Alergen/lateks masuk ke dalam tubuh akan ditangkap oleh
berapa protein yang menyebabkan reaksi alergi (tabel 1).1,16,17 makrofag yang bertindak sebagai APC, setelah diproses maka
Selain protein, getah karet mengandung lipid, karbohidrat, antigen akan dipresentasikan ke sel limfosit Th2 melalui ikatan
kalium, magnesium, seng, mangan, tembaga, besi. MHC klas II, selanjutnya sel T akan merangsang sel B untuk
Sebagian besar protein alergen yang terdeteksi di dalam membentuk IgE dan akan terikat pada sel mast, basofil,
karet alam juga terdeteksi pada produk barang jadi lateks, eosinofil. Apabila terdapat paparan ulang maka antigen akan
kadang-kadang dalam keadaan terurai atau bergabung dengan diikat oleh IgE sehingga sel mast/basofil/eosinofil pecah me-
protein lain sewaktu pengolahan. Selain menambah alergen, ngeluarkan mediator yang menyebabkan timbulnya keluhan
pemrosesan (klorinisasi, enzim pencernaan, pemanasan) juga asma, rinokonjungtivitis, urtikaria, reaksi anafilaksis.
dapat mengurai protein alergen menjadi nonalergenik. Dalam
sarung tangan non-ammoniated didapat ± 240 polipeptida, Tipe IV
hanya 25% dari peptida tersebut yang bereaksi dengan IgE Alergen lateks setelah kontak dengan kulit akan merusak
pasien yang alergi terhadap lateks.3,16 sel langerhans yang menyebabkan sel tersebut matang serta
berubah fungsi sebagai APC, akan membawa antigen lateks ke
Table 1. Latex allergens and their characteristics kelenjar limfe untuk dipresentasikan ke sel ThI melalui ikatan
MHC klas II. Ikatan ini akan mengeluarkan berbagai sitokin
Allergen Subcellular localization antara lain IL-2, IFNγ, MAF/MIF yang menyebabkan :
Hev. b1 Large rubber particles 1) Sel T akan berproliferasi dan teraktivasi.
Hev. b2 Lutoids
Hev. b3 Small rubber particles 2) Makrofag akan teraktivasi.
Hev. b4 Lutoids 3) Sel keratinosit dirangsang untuk mengekspresikan MHC II
Hev. b5 Cytoplasm dan ICAM -1.
Hev. b01 Lutoids Hal tersebut di atas menyebabkan terjadinya inflamasi di
Hev. b02 Lutoids kulit.21,22
Hev. b03 Lutoids
Hev. b7 Cytoplasm
Hev. b8 Cytoplasm Sensitisasi dan jalan masuk alergen
Hev. b9 Cytoplasm Dari awal kontak dengan alergen lateks sampai timbulnya
Hev. b10 Mitochondria gejala klinis diperkirakan membutuhkan waktu 3 bulan - 20
tahun. Kontak dengan alergen terjadi di mukosa (mulut, vagina,
Antigen lateks pada sarung tangan dapat menyebabkan uretra, rektum), dermis, parenteral yang kemudian menye-
reaksi alergi sistemik melalui paparan langsung pada kulit mau- babkan gejala klinis. Masuknya alergen melalui dermis dan
pun penyebaran melalui udara yang diperkirakan terbawa oleh saluran napas, menyebabkan reaksi sistemik yang lebih ringan
bedak/talk yang ada pada sarung tangan, menyebabkan rinitis, daripada masuknya alergen melalui mukosa dan parenteral;
asma bronkial, reaksi anafilaktik.18,19,20 kematian akibat reaksi alergi sistemik yang disebabkan lateks
Getah karet diolah menjadi bahan baku lateks melalui yang tercatat oleh FDA sebagian besar karena balon pada
proses: pemeriksaan barium enema. Hubungan antara sensitisasi dan
1) Pengawetan di lapangan. Getah karet yang terkumpul HLA didapat pada HLAOR4 dan DQ8.3,23,24,25
di-beri amoniak (proses ini menentukan kekuatan lateks).
2) Penampungan di tangki, bertujuan untuk mendapatkan GEJALA KLINIS
lateks yang homogen. Respon klinis alergi tipe I (cepat) terjadi setelah 15 menit
3) Pengendapan. Lateks diendapkan 24 jam agar terjadi sampai 2 jam pasca paparan alergen, berbeda dengan alergi
gumpalan (endapan) kompleks fosfor, amoniak dan magne- obat yang memerlukan waktu beberapa menit setelah terpapar.
sium. Proses ini bertujuan untuk meminimalkan magnesium Klinis yang terjadi :
sehingga pada proses sentrifugasi tercapai stabilitas. 1. Kutaneus : pruritus, eritema, rash tak spesifik, urtika-
4) Sentrifugasi. Untuk mendapatkan endapan karet ria
dengan kadar 61-63%. 2. Mata : konjungtivitis, angioedema
5) Homogenisasi. Cream karet yang didapat dari 3. Hidung : rinitis
sentrifugasi dicampur dalam tangki besar, terjadi 4. Bronkus : edema faring, bronkospasme, takipnoe
homogenisasi. 5. Gastrointestinal : kram perut, mual, muntah, edema usus
6) Pengecekan ulang stabilizer dan penyimpanan. (bowel).
Setelah proses ini bahan lateks akan diproses lebih lanjut men- 6. Kardiovaskular : takikardi, hipotensi, shock, kematian
jadi barang jadi lateks.1,16 Respon klinis alergi tipe IV (dermatitis kontak) terjadi 48 -
72 jam setelah alergen kontak dengan kulit. Kelainan kulit/
PATOFISIOLOGI dermatitis akan menjadi kronis bila paparan kontak alergen
Klinis alergi lateks terbanyak adalah reaksi hiper- berlangsung lama dan berangsur-angsur hilang bila kontak
sensitivitas tipe I dan sebagian lagi tipe IV (disebabkan oleh zat dihentikan. Reaksi hipersensitif ini disebabkan oleh bahan
penambah dalam pemrosesan lateks menjadi bahan jadi). kimia aditif dan akselerator (thiuram, karbamat, amines dan
benzotiazol) pada proses pembuatan sarung tangan.
Tipe I Yang tersering menyebabkan reaksi alergi pada petugas

12 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004


kesehatan adalah pemakaian sarung tangan dan barang karet pada individu yang mempunyai riwayat alergi terhadap barang
(seperti kateter, dll) saat melakukan tindakan dan pemeriksaan lateks (balon, karet gelang, kondom, dan lain-lain) atau mem-
kesehatan.1,2,4,26 punyai riwayat alergi terhadap buah-buahan.
Reaksi silang
Table 2. Hevea proteins sharing epitopes with structural homologies
Alergi lateks mempunyai reaksi silang secara serologis dan
similar to protein from other sources
klinis dengan buah-buahan seperti advokat, pisang, kiwi,
pepaya, kentang, tomat. Allergen Protein from Other Sources
Epitop antigen di karet yang bereaksi silang dengan buah- Hev b 1 Papain (5 identical trimers and 2 identical tetramers)
Hev b 2 Endo-1,3 β-glucanases (N. tabacum, tomato, potato)
buahan dapat dilihat dalam tabel 2. 1,16,27 Hev b 3 47% sequence homology with P.ev b 1
Hev b 5 Kiwi, bulkwheat and potato acidic proteins (e.g.
DIAGNOSIS kiwi fruit pKIWI501 protein and potato stolon tip
Dimulai dengan anamnesis tentang paparan dan hubungan- protein)
nya dengan klinis, lama kerja, frekuensi pemaparan, riwayat Hev b 6.02 Wheat germ agglutinin, ragweed, lectins (barley,
rice), class I endochitinases (avocado, banana,
pembedahan (riwayat reaksi alergi pada operasi sebelumnya), chestnut…) (PRP3 family)
riwayat alergi buah-buahan, riwayat penyakit alergi, keluarga Hev b 6.03 Pathogenesis-related proteins (win I, win 2 in
atopi. potato, CPB20 and PRP4 in tobacco; Gly m in
Pemeriksaan fisik sesuai dengan klinis yang timbul. soybean, DRP Zea mays), metalloproteinase from
Bacillus subtilis
Pemeriksaan tambahan patch test, skin test (prick test, Hev b 7 Patatin (Solanaceae: potato (Sol t 1), tomato,
intradermal test), tes provokasi (menggunakan sarung tangan, tobacco
jari atau paparan inhalasi) atau IgE spesifik (RAST) 1,4,16 Hev b (profilin) Tree, grass and weed pollen, banana, etc.
Hev b 9 Enolase of Ricinus communis (Euphorbiaceae) and
(Enolase) Cladosporium herbarum (Cla h 6), tomato
Hev b 10 MnSOD in Aspergillus fumigatus (Asp f 6)
KESIMPULAN (Mn-superoxide
1) Alergi lateks akan lebih sering dijumpai di kalangan dismutase)
pekerja kesehatan. Hevamine Chitinases/lysozymes (fig, papaya, avocado, banana,
2) Diagnosis alergi lateks ditegakkan dengan anamnesis, (class III chitinase) cucumber)
Lysozyme Fig, papaya
pemeriksaan jasmani dan pemeriksaan tambahan (tes prick, tes Triosephosphate Triosephosphate isomerase in spinach, tomato, rice
patch, IgE, dan lain-lain). isomerase and Arabidosis thaliana
3) Atopi, lama kerja, frekuensi kontak, merupakan faktor
predisposisi terjadinya alergi lateks.
4) Pencegahan berupa penghindaran kontak dengan lateks

Diagram diagnosis tersangka alergi terhadap lateks:

Riwayat dan kriteria standar untuk lateks

Positif Negatif

SPT/IgE spesifik (+) SPT/IgE spesifik (-) SPT/IgE spesifik (+)


Simtomatik SPT /IgE spesifik (-)
Dermatitis Klinis (-)
alergi lateks

Hindari lateks Patch test Tes provokasi Penggunaan


(menggunakan sarung lateks aman
tangan, dll)

Positif : identifikasi kontak alergi


Positif : hindari lateks
Negatif : terapi sebagai iritan
Negatif : pencegahan primer
dermatitis

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 13


KEPUSTAKAAN
15. Liss GM, Sussman GL, Deal K, Brown S, Cividino M, et al. Latex
1. Didier E. IgE-mediated allergy from natural rubber latex. Belgium: The allergy: Epidemiological study of 1351 hospital workers. Occup Environ
UCB Institute of Allergy, 2000. Med 1997; 54(S): 335-42.
2. Slater JE.Allergy reactions to natural rubber. Ann Allerg 1992;68:203-11. 16. Kurup VP, Fink JN. The Spectrum of immunologic sensitization in latex
3. Slater JE. Latex allergy. J Allerg Clin Immunol 1994;94: 139-49. allergy. In: Johansson SGO ed. Eur J Allerg and Clin Immunol 2001; 56:
4. Sussman GL, Beezhold DH. Allergy to latex rubber. Ann Intern Med. 1-12.
1995; 122:43-6. 17. Jaeger D, Kleinhans D, Czuppon AB, Baur X. Latex-specific protein
5. Charous BL, Blanco C, Tarlo S et al. Natural rubber latex allergy after 12 causing immediate-type cutaneus, nasal, bronchial, and systemic
years: Recommendations and perspectives. J Allerg Clin Immunol 2002; reactions. J Allerg Clin Immunol 1992;89:759-68.
109: 31-4. 18. Tomazic VJ, Shampaine EL, Lamanna A, Withrow TJ, Adkinson NF,
6. Garabrant DH, Schweitzer S. Epidemiology of latex sensitization and Hamilton RG. Cornstarch powder on latex products is an allergen carrier.
allergies in health care workers. J Allerg Clin Immunol 2002;110:S82-95. J Allerg Clin Immunol 1994; 93: 751-8.
7. Kibby T, Akl M. Prevalence of latex sensitization in a hospital employee 19. Tarlo SM, Sussman G, Contala
population. An Allerg Asthma & Immunol 1997; 78: 41-4. 20. A, Swanson MC. Control of airborne latex by use of powder-free latex
8. Tarlo SM, Sussman GL, Holness DL. Latex sensitivity in dental students glove. J Allerg Clin Immunol 1994; 93: 985-9.
and staff: a cross-sectional study. J Allerg Clin Immunol 1997; 99: 396- 21. Beezhold D, Beck WC. Surgical glove powder bind latex antigens. Arch
401. Surg. 1992; 127: 1354-7.
9. Douglas R, Czarny D, Morton J, O’Hehir RE. Prevalence of IgE- 22. Roitt I, Brostoff I, Male D. Hypersensitivity type IV. In: Roitt (ed).
mediated allergy to latex in hospital nursing staff. Aust NZ J Med Immunology. 4th ed. London: Mosby; 1996. pp.25.1-25.12.
1997;27:165-9. 23. Baratawidjaja KG. Bab VII:Reaksi hipersensitivitas. Dalam: Imunologi
10. Vandenplas O, Delwiche JP, Evrard G et al. Prevalence of occupational Dasar. ed 3. Jakarta: Penerbit FKUI 1996, 76-97.
asthma due to latex among hospital personnel. Am J Respir Crit Care 24. Poley GE, Slater JE. Latex allergy. J Allerg Clin Immunol 2000; 105:
Med 1995;151:54-60. 1054-62.
11. Yassin MS, Lierl MB, Fischer TJ, O’Brien K, Cross J, Steinmetz C. 25. Nguyen DH, Burns MW, Shapiro GG, Mayo ME, Murrey M, Mitchell
Latex allergy in hospital employees. Ann Allerg 1994; 72: 245-9. ME. Intra operative cardiovascular collapse secondary to latex allergy. J
12. Ariestina HRA. Reaksi sensitisasi alergen lateks pada Kelompok Urol 1991; 146: 571-4.
Terpajan dan Tidak Terpajan serta Faktor-Faktor yang Berhubungan 26. Ownby DR, Tomlanovich M, Sammons N, McCullough J. Anaphylaxis
(Disertasi). FKUI, Jakarta 2002. associated with latex allergy during barium enema examinations. AJR
13. Baratawidjaja KG, Sukmana N, Baratawidjaja IR, Darwis A, Jusuf L, 1991; 156: 903-8.
Hendrata AP. A Study of latex hypersensitivity among latex glove factory 27. Hesse A, Hintzerstern JV, Peters KP, Koch HU, Hornstein OP. Allergic
workers. 5th West-Pacific Allergy Symposium. 7th Korea Japan Joint and irritant reactions to rubber gloves in medical health services. J Am
Allergy Symposium 1997. June 11-14;215-20. Acad Dermatol 1991; 25: 831-9.
14. Bernardini R, November E, Lombardi E, Mezzetti P, Cianferoni A, Danti 28. Blanco C, Carrillo T, Castillo R, Quiralte J, Cuevas M. Latex allergy :
AD et al. Prevalence of and risk factors for latex sensitization in patients clinical features and crossreactivity with fruits.
with spina bifida. J. Urol. 1998; 160: 1775-8.

14 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004


TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Perbaikan Kualitas Hidup


pada Karyawan Penderita Alergi
Samsuridjal Djauzi, Teguh H. Karjadi
Subbagian Alergi-Imunologi Klinik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN dan psikologis pada umumnya tanpa memperhatikan penyakit


Penyakit alergi sering dijumpai di masyarakat. Kekerapan yang diderita. Sedangkan kuesioner lain dikaitkan dengan
penyakit ini meningkat seiring dengan perubahan gaya hidup penyakit yang diderita (disease specific questionnaire). Di
menuju pola hidup masyarakat maju. Perubahan pembangunan samping itu tersedia kuesioner yang lebih rinci yang mengukur
dari sektor pertanian ke sektor gaya hidup masyarakat termasuk kualitas hidup kelompok tertentu misalnya Adolescent Rhino-
penggunaan selimut, karpet di rumah serta polusi udara me- conjunctivitis Quality of Life Questionnaire untuk kelompok
rupakan faktor yang dapat meningkatkan kekerapan penyakit umur 12 sampai 17 tahun.2
alergi terutama penyakit alergi pernapasan. Tolak ukur menilai kualitas hidup penderita penyakit alergi
Seperti juga anggota masyarakat lain maka para karyawan saluran napas, antara lain :
berisiko untuk menderita penyakit alergi dan risiko ini dapat 1. Kuesioner skor gejala kualitas hidup rinokonjunktivitis
bertambah jika lingkungan di tempat kerja memudahkan papar- menyeluruh (Overall Rhinoconjunctivitis Quality of Life
an terhadap berbagai alergen dan iritan. Questionnaire System Score).
Di lain pihak penyakit alergi menurunkan produktivitas 2. Kuesioner gangguan aktivitas dan produktivitas kerja
kerja. Di Amerika Serikat rinitis alergik misalnya mengakibat- spesifik alergi.
kan kehilangan 811.000 hari kerja setiap tahun. Karyawan Bousquet menunjukkan pada beberapa keadaan kualitas hidup
penderita alergi yang masuk kerja produktivitasnya menurun penderita rinitis alergi lebih buruk daripada penderita asma
akibat gejala penyakit maupun pengaruh efek samping terapi. (tabel 1).
Mereka mengeluh mudah lelah, sulit berkonsentrasi dan sakit
kepala.1 Di lain pihak penderita alergi sudah sewajarnya tetap Tabel 1. Kualitas Hidup Penderita Rinitis Alergi dan Asma.3
diberi kesempatan bekerja. Dokter perusahaan dapat meng-
Asma Rinitis
upayakan meningkatkan kualitas hidup pekerja yang menderita
alergi melalui penyuluhan, penatalaksanaan penyakit alergi Fungsi fisik 80 89
yang baik serta menghindari paparan terhadap bahan yang me- Fungsi sosial 84 73
nimbulkan alergi. Peran (fisik) 66 61
Peran (sosial) 70 64
Kejiwaan 66 65
PEMAHAMAN KUALITAS HIDUP Lelah 59 55
Dewasa ini penatalaksanaan penyakit sudah memper- Nyeri 74 77
timbangkan peningkatan kualitas hidup penderita. Kualitas Persepsi umum 57 62
hidup merupakan konsep mengenai karakter fisik maupun
psikologis dalam konteks sosial. Rinitis alergik misalnya tidak
hanya dianggap merupakan penyakit yang menimbulkan ber- Pengukuran kualitas hidup dapat digunakan untuk menilai
bagai gejala seperti bersin, rinorea, hidung tersumbat tetapi manfaat terapi dalam uji klinik.
juga mempertimbangkan pengaruh penyakit ini terhadap ke-
hidupan sosial penderita. Penderita juga mengalami gangguan DIAGNOSIS DAN PILIHAN TERAPI
tidur, masalah emosional, penurunan aktivitas dan fungsi sosial Untuk meningkatkan kepedulian karyawan terhadap pe-
penderita. nyakit alergi perlu dilakukan penyuluhan kesehatan. Cukup
Untuk mengukur kualitas hidup telah dikembangkan ber- banyak karyawan penderita rinitis alergi menyangka terkena
bagai kuesioner. Kuesioner generik yang mengukur fungsi fisik influenza atau infeksi saluran napas. Begitu pula penyakit asma
Dibacakan pada Simposium Occupational Diseases, Allergy Clinical Immunology,
Millennium Sirih Hotel, Jakarta, 22-23 Februari 2003
Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 15
0
sehingga sering diabaikan dan cukup banyak kasus yang tak

Mean Change from Baseline


dapat didiagnosis dengan baik. Kemampuan dokter perusahaan
-2
dalam mendiagnosis penyakit alergi juga perlu ditingkatkan.
Pilihan terapi dalam penyakit alergi dewasa ini dimudah-
kan dengan terbitnya berbagai panduan seperti panduan GINA -4
dan Canada.4,5 Antihistamin non sedatif dapat mengurangi
gangguan aktivitas kerja.6 -6

-8
**
A. Activity Impairment
50
-10
**
*
45 **
-12 Work Impairment Activity Impairment Classroom
Impairment
40
Plasebo 120 mg 180 mg
P
e

35

Gambar 2. Change from baseline at end study in overall work, activity,


30 and classroom impairment.* P≤004 versus placebo and**
P≤001 versus placebo
25 Namun panduan tersebut tidak dapat sepenuhnya diterap-
kan pada perusahaan yang mempunyai sumber dana terbatas.
20 Sebagian besar o
Baseline Week 1 Week 2 bat yang dianjurkan masih merupakan obat yang mahal
Placebo + 60 mg fexofenadine bid dan tak terjangkau oleh dana perusahaan. Dalam menilai cost
effectiveness suatu terapi perlu dikembangkan pemahaman
mengenai biaya langsung dan tidak langsung.7
Table 2. SF-36 scores : Median (Quartile 1 – Quartile 3).8

Baseline Week I Week 6


Physical functioning (PF)
Cetirizine 87,5 (72,5–97,5) 95,0 (85,0–100,0) 95,0 (90,0–100,0)
Placebo 87,5 (72,5–97,5) 92,5 (75,0–100,0) 90,0 (72,5–97,6)
p Value NS NS 0,0007
Role physical (RP)
Cetirizine 50,0 (25,0–75,0) 100,0 (75,0–100,0) 100,0 (75,0–100,0)
Placebo 50,0 ( 0,0–75,0) 50,0 (25,0–100,0) 50,0 (25,0–100,0)
p Value NS 0,0001 0,0001
Bodily pain (BP)
Cetirizine 62,0 (41,0–100,0) 77,0 (62,0–100,0) 84,0 (74,0–100,0)
Placebo 62,0 (41,0– 92,0) 64,0 (25,0–100,0) 62,0 (51,0–100,0)
p Value NS 0,0001 0,0001
General health (GH)
Cetirizine 47,0 (32,0–62,0) 57,0 (47,0–72,0) 67,0 (52,0–77,0)
Placebo 52,0 (35,0–67,0) 52,0 (35,0–72,0) 52,0 (37,0–67,0)
p Value NS NS 0,0001
Vitality (VT)
Cetirizine 50,0 (40,0–65,0) 65,0 (50,0–75,0) 70,0 (55,0–80,0)
Placebo 50,0 (40,0–65,0) 50,0 (40,0–70,0) 50,0 (33,3–70,0)
p Value NS 0,0001 0,0001
Social functioning (SF)
Cetirizine 62,5 (50,0–75,0) 75,0 (62,5–100,0) 87,5 (75,0–100,0)
Placebo 62,6 (50,0–75,0) 75,0 (50,0– 87,5) 62,5 (37,5–87,5)
p Value NS 0,0014 0,0001
Role emotional (RE)
Cetirizine 66,67 (33,33–100,0) 100,0 (66,67–100,0) 100,0 (100,0–100,0)
Placebo 66,67 (33,33–100,0) 66,67(33,33–100,0) 66,67(33,33–100,0)
p Value NS 0,0014 0,001
Mental health (MH)
Cetirizine 60,0 (44,0–76,0) 68,0 (60,0–80,0) 76,0 (64,0–88,0)
Placebo 60,0 (52,0–72,0) 60,0 (52,0–76,0) 60,0 (48,0–72,0)
p Value NS 0,0015 0,001

16 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004


30
Cetirizine : week1-baseline

Improvement (in units of score)


Placebo : week 1-baseline
Cetirizine : week 6-baseline
20 Placebo : week 6-baseline

10

-10

Physical functioning Bodily pain Vitality Role emotional


Role physical General health Social functioning Mental health
Gambar 3. Perbaikan kualitas hidup pada penggunaan antihistamin generasi baru.

Manfaat perbaikan kualitas hidup antihistamin baru meng-


gunakan instrumen skor SF-36 dapat dilihat pada tabel 2.8
Penggunaan antihistamin generasi baru ternyata selain 1. Tungau debu rumah (mites) : Dermatophagoides pteronyssinus ( Der p)
memperbaiki gangguan kerja, juga aktivitas sehari-hari dan Dermatophagoides farinae.(Der f)
sekolah seperti terlihat pada gambar 2. Dengan demikian Lepidoglyphus maynei (Lep d)
program pelatihan karyawan dapat memberikan hasil yang di- Blomia tropicalis ( Blo t)
Tungau debu rumah ini dapat merupakan faktor pencetus serangan
inginkan.9 rinitis dan Asma.
Secara keseluruhan perbaikan kualitas hidup penggunaan anti-
histamin generasi baru dapat dilihat pada gambar 3.8 2. Bulu Binatang : kucing
Terlihat adanya perbaikan kualitas hidup dari semua pasien anjing,
kuda,
yang diobati dengan cetirizin dibandingkan dengan plasebo. sapi
kelinci

PERAN LINGKUNGAN KERJA 3. Jamur : Candida albicans


Saccharomyces cerevisiae
Di lingkungan kerja dapat dijumpai berbagai alergen dan Pityrosporum
faktor pencetus penyakit alergi. Alergen hirup misalnya dapat
dilihat pada tabel 3. 4. Serangga : kecoa
Menghindari alergen merupakan dasar pencegahan pe- diptera
nyakit alergi namun sulit dilakukan sehingga perannya dalam 5. Inhalan lain : Ficus benjamina (Java willow).
terapi menjadi kurang berarti.1 Langkah-langkah meningkatkan
kualitas hidup karyawan penderita alergi dapat disusun sebagai 6. Alergen Makanan
berikut :
7. Alergen Okupasional
1) Membuat desain ruangan kerja dengan risiko paparan
terhadap alergen dan polutan kurang 8. Lateks
2) Menyeleksi calon karyawan dan menempatkannya dalam
lingkungan kerja yang paparan alergen dan polutannya kurang 9. Polutan : polutan udara di luar rumah
polutan di dalam rumah
3) Penyuluhan kesehatan pada karyawan polutan kendaraan
4) Diagnosis penyakit alergi asap rokok.
5) Pilihan terapi yang mempertimbangkan kualitas hidup 10. Obat
karyawan
6) Melakukan modifikasi lingkungan kerja, jika perlu memin-
dahkan karyawan.
Tabel 3. Berbagai macam alergen dan polutan1 Dengan demikian dokter perusahaan dapat meningkatkan

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 17


kualitas hidup karyawan penderita alergi sehingga sumber daya 4. Global Strategy for Asthma Management and Prevention, National
manusia di perusahaan dapat dimanfaatkan dengan baik. Untuk Institute of Health, National Lung Heart and Blood Institute, Bethesda
melaksanakan hal tersebut perlu dipertimbangkan keadaan 2002 (Revised).
setempat. 5. Boulet LP. Canadian Asthma Consensus Report. CMAJ, 1999;161(11
suppl): S1-61.
6. Tanner LA, Reilly M, Meltzer EO, Bradford JE, Mason J. Effect of
fexofenadine HCl on quality of life and work, classroom, and daily
KEPUSTAKAAN activity impairment in patients with seasonal allergic rhinitis. Am. J.
Managed Care 1999; 5(4): S235-47.
1. Bousquet J, Cauwenberge P, Khaltaev N. Allergic Rhinitis and Its Impact 7. Lim TK., Asthma Management : Evidence Based Studies and Their
on Asthma. J Allerg Clin Immunol 2001;108: S147-336. Implication for Cost-Efficacy. Asia Pacific J. Allerg. and Immunol. 1999;
2. Meltzer EO, Casale TB, Nathan RA, Thompson AK. Once-daily 17: 195-202.
fexofenadine HCL improves quality of life and reduces work and activity 8. Bousquet J, Duchateu J, Pignat JC et al. Improvement of quality of life
impairment in patients with seasonal allergic rhinitis. Ann Allerg Asthma by treatment with cetirizine in patients with perennial allergic rhinitis as
Immunol 1999; 83:311-7. determined by a French version of the SF-36 questionnaire. J Allerg. Clin
3. Passalacqua G, Bousquet J, Bachert C, et al. The clinical safety of H1 Immunol 1996; 98: 309-16.
receptor antagonists. An EAACI position paper. Allergy 1996; 51:666-75. 9. Hindmarch, Shamsi Z. Antihistamines: models to assess sedative
properties, assessment of sedation, safety and other side-effects. Clin. and
Experimental Allerg. 1999; 29(Suppl.3): 133-42.

18 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004


TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Peranan Antihistamin
pada Inflamasi Alergi
Iris Rengganis
Subbagian Alergi-Imunologi Klinik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN dirangsang dengan alergen, dalam beberapa menit akan terjadi


Inflamasi merupakan proses yang vital untuk semua fase cepat reaksi hipersensitivitas tipe I Gell dan Coombs
organisme dan berperan baik dalam mempertahankan kesehat- berupa kemerahan dan bentol di kulit, gejala bersin, hidung
an maupun dalam terjadinya berbagai penyakit. Biasanya infla- berair dan atau mengi. Respons inflamasi alergi kulit, di mu-
masi berupa respons protektif tubuh terhadap trauma atau kosa saluran napas atas dan bawah adalah sama, meskipun
invasi mikroba yang berbahaya melalui jalan klasik dengan respons organ sasarannya berbeda. Di tiga tempat tersebut,
gejala sakit (dolor), panas (calor), merah (rubor), bengkak terjadi degranulasi sel mast dan aktivasi sel T dengan profil
(tumor) dan hilangnya fungsi (functio laesa). Secara mikros- sitokin Th2, aktivasi sel epitel dan sel endotel, pengerahan leu-
kopis, inflamasi menunjukkan gambaran yang kompleks seperti kosit ke jaringan terutama eosinofil.
dilatasi arteriol, kapiler dan venul; peningkatan permeabilitas Fase cepat dapat diikuti oleh fase lambat yang puncaknya
dan arus darah; eksudasi cairan, termasuk protein plasma; terjadi antara 6-8 jam dan kemudian menghilang secara per-
migrasi leukosit ke fokus inflamasi. Akumulasi leukosit yang lahan. Di kulit fase lambat ditandai dengan edema, merah dan
disusul dengan aktivasi sel merupakan kejadian sentral dalam indurasi yang menimbulkan bengkak, di hidung berupa obs-
patogenesis hampir semua inflamasi. Bila reaksi inflamasi tidak truksi dan di paru mengi yang menetap.1-6
terjadi, pejamu akan menjadi imunokompromais. Sekarang kita
sudah mengetahui inflamasi pada tingkat molekuler dan seluler. Minimal Persistent Inflammation (MPI)
Bentuk inflamasi akut dan kronis terbanyak ditimbulkan oleh Inflamasi sudah ditemukan pada subjek alergi tanpa gejala.
pengerahan komponen humoral dan seluler dari sistem imun. Asma dan rinitis dalam masa laten harus dianggap sebagai
Eliminasi bahan asing secara imunologis terjadi dalam berbagai penyakit inflamasi kronis. Mengapa konsep tersebut penting ?
tahap yang terintegrasi1-6. Sel eosinofil dan ekspresi ICAM-1 yang merupakan petanda
penting pada alergi, selalu ditemukan di epitel konjungtiva,
INFLAMASI ALERGI nasal penderita rinitis alergi dan di epitel bronkus, cairan bilas
Proses alergi adalah kompleks, dimulai dengan pajanan bronkus pada pasien asma yang alergi terhadap tungau debu
alergen-alergen yang ditangkap oleh Antigen Presenting Cell rumah dan alergen lainnya meskipun sedang tidak menunjuk-
(APC). Sel dendritik di saluran napas dan sel langerhans di kan gejala. Fenomena tersebut menetap selama ada pajanan
kulit, masing-masing berperan sebagai APC pada asma dan dengan tungau debu rumah/alergen lainnya dan disebut Mini-
dermatitis atopi. Setelah alergen ditangkap, lalu alergen di- mal Persistent Inflammation (MPI). MPI dapat menerangkan
pecah menjadi peptida-peptida kecil, dalam APC peptida diikat sebagian sebab hipereaktivitas non-spesifik pada subjek alergi
molekul HLA (MHC II) menjadi kompleks peptida-HLA, dan kronisitas penyakit alergi. Penyakit rinitis alergi, asma,
kemudian dibawa ke permukaan APC dan dipresentasikan ke dermatitis atopi, urtikaria kronis idiopatik merupakan penyakit
sel Th2 CD4+ yang MHC II dependen. Th2 diaktifkan dan kronis yang dapat menimbulkan berbagai gangguan pada tidur,
memproduksi sitokin. Sementara epitel (endotel) mengeks- konsentrasi belajar di sekolah, pekerjaan, kegiatan fisik,
presikan molekul adhesi dan menimbulkan infiltrasi sel darah rekreasi, sosial, bahkan karier, sehingga bila gangguan terjadi
putih terutama eosinofil yang melepas mediator dan sitokin kronis seiring dengan perjalanan penyakit, akan menurunkan
yang menimbulkan gejala alergi dan kerusakan jaringan. Dalam pula kualitas hidup. Atas dasar adanya hubungan antara derajat
jaringan sel-sel inflamasi dan sel residen melepas mediator dan inflamasi dengan derajat berat penyakit, telah pula dipikirkan
terjadi interaksi yang kompleks sehingga menimbulkan reaksi strategi untuk menggunakan MPI dengan menekan ekspresi
alergi kronis. Bila kulit, hidung atau saluran napas subjek atopi ICAM-1 dan influks eosinofil sebagai sasaran terapi farmako-
Dibacakan pada acara Simposium Allergy dan Clinical Immunology Update,
Hotel Marcopolo, Lampung, 12-13 April 2003
Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 19
logis. Proses inflamasi hendaknya diobati sebelum pasien pada pasien dengan rinitis alergi pollen. Tes kulit dilakukan
menunjukkan gejala. MPI yang dihambat akan mengurangi sebelum pemberian cetirizin dan 3 hari setelah pemberian
gejala dan derajat berat penyakit yang secara tidak langsung cetirizin 20 mg atau plasebo. Pada pasien yang mendapat
akan meningkatkan kualitas hidup. Di negara maju, sudah cetirizin ditemukan penurunan ekspresi ICAM-1 dan infiltrasi
banyak dianjurkan untuk tidak hanya menggunakan gejala sel inflamasi17.
klinis saja, tetapi juga kualitas hidup sebagai parameter dalam Cetirizin juga menurunkan influks sel inflamasi eosinofil
terapi7-16. dan ekspresi ICAM-1 di epitel hidung, konjungtiva dan
bronkus pasien alergi yang diuji dengan alergen. Pemberian
HAMBATAN EKSPRESI ICAM-1 cetirizin 2x15 mg menurunkan jumlah eosinofil dalam cairan
A. Cetirizin bilas bronkus pasien asma yang bermakna dibanding dengan
Cetirizin menghambat influks sel inflamasi eosinofil dan plasebo. Pemberian cetirizin (2x10-15mg/hari) kepada subjek
ekspresi ICAM-1 di hidung, konjungtiva dan bronkus yang di- asma alergi pollen yang ringan selama 4 hari menunjukkan
timbulkan alergen melalui uji nasal, konjungtiva dan bronkus.17 perbaikan asmanya. Beberapa studi menunjukkan adanya efek
B. Terfenadin proteksi dari cetirizin terhadap fase cepat dan fase lambat asma.
Terfenadin menghambat infiltrasi sel proinflamasi ter- Pemberian cetirizin 2x15 mg/hari menunjukkan lebih banyak
utama eosinofil dan ekspresi ICAM-1 di epitel nasal pada perbaikan FEV1 dibanding dengan plasebo23.
pasien dengan rinitis alergi.17
C. Fexofenadin KESIMPULAN
Fexofenadin menurunkan ekspresi ICAM-1 pada cell line 1. Reaksi alergi bukanlah fenomena yang sementara, tetapi
epitel konjungtiva dan fibroblas manusia yang lebih bermakna merupakan proses inflamasi yang kompleks dan kronis.
dibanding terfenadin. Fexofenadin juga menghambat kemotak- 2. Meskipun tidak menunjukkan gejala selama terpajan
sis dan adherens eosinofil pada biakan endotel vena umbilikalis dengan alergen, subyek alergi selalu menunjukkan MPI yang
manusia dan penglepasan ECP dari eosinofil.18 dapat berperan dalam hipereaktivitas dan kronisitas.
3. Penyakit alergi seperti rinitis alergi, asma, dermatitis atopi,
Hambatan terhadap asma urtikaria kronis idiopatik merupakan penyakit kronis yang
Penelitian dengan cara single-blind, placebo-controlled dapat menimbulkan gangguan tidur, belajar, kegiatan fisik, re-
study dilakukan untuk menilai efek astemizol, bromfeniramin, kreasi, sosial dan karier, sehingga dapat menurunkan kualitas
cetirizin, klorfeniramin, clemastin, siproheptadin dan terfenadin hidup.
versus plasebo terhadap provokasi dengan histamin dan meta- 4. Dianjurkan agar kualitas hidup dapat digunakan sebagai
kolin. Dosis yang diberikan adalah dosis yang dianjurkan parameter dalam terapi penyakit alergi di samping gejala klinis.
pabrik, sebagai dosis tunggal, 2-4 jam sebelum uji provokasi. 5. Terapi optimal penyakit alergi hendaknya dapat memodu-
Dibandingkan dosis histamin/metakolin yang diperlukan untuk lasi fenomena inflamasi dan mengontrol MPI agar gejala dapat
menimbulkan penurunan 20% FEV1 (PC20FEV1) dengan pla- ditekan dan dicegah.
sebo. Dalam studi ini semua antihistamin menghambat efek 6. Pemberian cetirizin kepada penderita alergi dapat mengu-
bronkokonstriksi histamin dan tidak ditemukan antihistamin rangi ekspresi ICAM-1 dan menghambat kemotaksis eosinofil,
yang menghambat efek bronkokonstriksi metakolin.17 mengurangi gejala serta meningkatkan kualitas hidup.

PERAN CETIRIZIN PADA INFLAMASI DAN


KUALITAS HIDUP KEPUSTAKAAN
Kualitas hidup telah diteliti pada berbagai penyakit yang
ternyata menurun bermakna pada penyakit alergi seperti rino- 1. Cotran, RS. Inflammation: Historical Perspective. Dalam: Gallin JI,
konjungtivitis dan asma19. Pasien menunjukkan adanya gang- Snyderman R (eds). Inflammation. Lippincot Williams & Wilkins. Ed.3.
Philadelphia. 1999; 5-12.
guan tidur, aktivitas dan stres, penurunan fungsi fisik maupun 2. Fireman P. The Mechanisms of Allergic Inflammmation. The Allergy and
mental yang mengakibatkan gangguan vitalitas serta persepsi Asthma Report. AAAAI March 1999.
kesehatan secara umum. Pemberian cetirizin kepada pasien 3. Kay AB. Allergic Inflammation Under the Microscope. 2nd International
dengan rinitis alergi tidak hanya mengurangi gejala, tetapi juga Symposium on Allergy Management.. Cannes, France. 9th December
2000.
meningkatkan kualitas hidup20. 4. Johansson SGO. Milestones in Understanding Allergy and Its Diagnosis.
Molekul adhesi ICAM-1 diekspresikan di sel epitel dalam 2nd International Symposium on Allergy Management. Cannes, France .9th
beberapa menit setelah reaksi alergi terjadi dan berperan dalam December 2000.
migrasi sel inflamasi seperti eosinofil. ICAM-1 dan eosinofil 5. Blumenthal M. The Gene Behind the Disease. The Allergy and Asthma
Report. AAAAI, March 1999.
adalah petanda spesifik inflamasi alergi. Berbagai studi me- 6. Howarth P. Allergic Inflammation in Airways Disease: Challenges for
nunjukkan bahwa cetirizin dapat menghambat ekspresi ICAM- New Century. Allergic Inflammation in Y2K. ICACI 2000, October 16,
1 dan influks eosinofil baik in vitro maupun in vivo21,22. 2000, Sydney.
Cetirizin menghambat kemotaksis eosinofil dan ekspresi 7. Calderon E, Lockey RF. A Possible Role for Adhesion Molecules in
Asthma. J Allerg Clin Immunol 1992; 90: 852-65.
adhesi eosinofil dalam biakan sel endotel in vitro. Efek cetirizin 8. Gundel RH, Wegner CD, Torcellini CA, Letts RG. The Role of Inter-
telah diteliti dengan double blind, randomized study terhadap cellular Adhesion Molecule 1 in Chronic Inflammation. Clin Exp Allergy
respons cepat dan lambat kulit dari alergen/pollen dan plasebo 1992; 22: 569-78.

20 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004


9. Woolcock J. The Burden of Asthma. XII International Congress of SF-36 Health Status Questionnaires. J Allergy Clin Immunol 1994; 94:
Allergology and Clinical Immunology in conjunction with the Asian 182-8.
Pacific Association of Allergology and Clinical Immunlogy and the West 16. Vignola AM, Chanez P, Campbell AM et al. Airway Inflammation in
Pacific Allergy Symposium. Sydney 15-20 October 2000. Mild Intermittent and in Persistent Asthma. Am J Respir Crit Care Med
10. Pariente PD, LePen C, Los F, Bousquet J. Quality of Life Outcomes and 1998; 157 : 403-9.
the Use of Antihistamines in a French National Population Based Sample 17. Malick A,Grant JA. Antihistamines in the Treatment of Asthma.Allergy
of Patients with Perennial Rhinitis. Pharmacoeconomics 1997; 12:585-95. 1997; 52 : (S340) 55-66.
11. Meltzer EO. Does Rhinitis Compromise Night-time Sleep and Daytime 18. Simon E. Are the anti-allergic properties of H1 of any clinical relevance ?
Productivity? Symposium on Quality of Life in Allergic Rhinitis. EAACI New controversies in allergy. Symposium 18th Congress of the European
Meeting, Lisbon, July 2, 2000. Academy of Allergology and Clinical Immunology (EAACI’98).
12. Settipane RA. Complications of Allergic Rhinitis. Allergy and Asthma 19. Bousguet J. Symposium Quality of Life in Allergic Rhinitis.EAACI
Proc. 1999 ; 209-13. Meeting, Lisbon, July 2, 2000.
13. Sheffer AL. Conclusion and Recommendation for the Future Assesment 20. Bachert C. Symposium Quality of Life in Allergic Rhinitis. EAACI
Relating to Asthma Fatalities. Dalam: Sheffer AL (ed). Fatal Asthma. Meeting Lisbon, July 2, 2000.
Marcel Dekker, Inc. New York 1996 ; 537-40. 21. Walsh GM. The Clinical Relevance of the Anti-inflammatory Properties
14. Pawankar R. Allergy – A Systemic Disease Affecting Quality of Life. 2nd of Antihistamines. Allergy 2000; 55 : 53-61.
Malaysian Congess of Allergy and Immunology. Jan. 19-22, 2001. Kuala 22. Bagnasco M, Canonica GW. Influence of H1-receptor Antagonist on
Lumpur. Adhesion Molecules and Cellular Traffic. Allergy 1995; 50 : 17- 23
15. Busquet J, Bullinger M, Fayoi C et al. Assessment of Quality of Life in 23. Meltzer EO.The Use of Anti-H1 Drugs in Mild Asthma. Allergy 1995; 24:
Patients with Perennial Allergic Rhinitis with the French version of the 41-7.

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 21


TINJAUAN KEPUSTAKAAN

United Airway Disease


apakah itu ?
Heru Sundaru
Subbagian Alergi-Imunologi Klinik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN gejala rinitisnya. Hal ini sebenarnya kurang menguntungkan,


Berkembangnya ilmu kedokteran membuat para dokter karena pengobatan rinitis tidak jarang memperbaiki asmanya.
mengambil spesialisasi, bahkan super spesialisasi. Hal ini Makalah ini akan membahas hubungan asma dan rinitis,
mungkin bermanfaat pada penyakit-penyakit yang jarang atau ditinjau dari hubungan anatomi fisiologi, epidemiologi, re-
sulit tetapi pada penyakit-penyakit yang sering seperti asma aktivitas saluran napas, serta pengaruh obat anti rinitis terhadap
dan rinitis tidak selalu tepat. Rinitis alergik dan asma sering asma, serta mekanismenya.
dikelompokkan sebagai penyakit saluran napas bagian atas dan
bagian bawah, meskipun pada kenyataannya kedua penyakit ANATOMI DAN FISIOLOGI
tersebut sering terdapat pada penderita yang sama; penata- Saluran napas manusia secara fungsional terbagi menjadi
laksanaannya sering dilakukan oleh dua spesialis yang berbeda. dua bagian, sebagai penghantar dan pertukaran udara. Meski-
Seorang spesialis paru atau penyakit dalam yang me- pun dari hidung sampai ke alveoli anatomisnya berbeda, tetapi
nangani asma sering terfokus pada gejala sesak pasien dan fungsinya merupakan suatu kesatuan. Sebagai saluran napas
sangat sedikit menaruh perhatian kepada saluran napas bagian terdepan, hidung berfungsi (1) menghangatkan, melembabkan
atas atau bahkan saluran cerna. Demikian pula sebaliknya ahli dan menyaring udara (2) sebagai organ penciuman dan (3)
THT terfokus kepada hidung atau sinus, tanpa pernah me- konservasi uap air dan panas terhadap udara lingkungan.
nanyakan keluhan asmanya; padahal dalam praktek sangat Fungsi menghangatkan, melembabkan dan menyaring udara ini
banyak kaitan antara saluran napas bagian atas dan bawah atau pada dasarnya untuk melindungi saluran napas bagian bawah
lebih spesifik lagi kaitan rinitis dan asma. terhadap pengaruh udara dingin, kering maupun udara kotor
Kalau dicermati dalam praktek sering didapatkan (a) asma karena polusi. Bila hidung tidak berfungsi karena sesuatu hal,
bersama-sama rinitis (b) infeksi virus saluran napas bagian atas maka saluran napas bagian bawah akan terkena dampaknya.
mendahului eksaserbasi asma (c) rinitis sebagai faktor risiko Rongga hidung dapat digambarkan sebagai ruangan kaku yang
untuk asma dan (d) infeksi sinusitis paranasal berkaitan dengan tepinya dibatasi oleh tulang-tulang wajah dan perubahan salur-
asma; terutama pada pasien anak. Begitu eratnya hubungan an napasnya disebabkan oleh perubahan ketebalan jaringan
asma dan rinitis sehingga ada peneliti yang menyatakan kedua- mukosa; hal ini karena jaringan mukosa hidung banyak me-
nya merupakan kesatuan penyakit yang disebut rinobronkitis1 ngandung pembuluh darah yang membentuk sinusoid-sinusoid.
atau United Airway Disease.2 Kenyataan di atas mendukung Pembuluh darah ini dipengaruhi oleh sistem saraf di sekitar
konsep bahwa alergi sebenarnya bukan merupakan penyakit rongga hidung sehingga mudah melebar dan menyempit. Se-
satu organ sasaran, melainkan kelainan yang melibatkan baliknya bronkus dan cabang-cabangnya mempunyai cincin
banyak organ. Tidak salah kalau dikatakan alergi merupakan kartilago yang tidak lengkap, yang kemudian dilengkapi oleh
penyakit sistemik.3 otot polos. Makin ke distal kartilago ini makin kecil, akhirnya
Asma bronkial dan rinitis alergik, termasuk dalam golong- hilang pada bronkiolus. Kontraksi otot polos akan mempeng-
an penyakit atopi. Sebagai penyakit atopi keduanya sering aruhi diameter saluran napas.
dijumpai pada seorang penderita. Penjelasan mengapa bisa Obstruksi saluran napas dapat terjadi karena : (1) vaso-
terjadi bersama-sama, belum sepenuhnya terungkap. Faktanya dilatasi, (2) edema jaringan, (3) sumbat mukus, (4) kontraksi
kejadian rinitis lebih sering dijumpai dibanding asma; tetapi otot polos. Pada rinitis peranan vasodilatasi sangat menonjol.
bila hal tersebut terjadi pada seorang penderita, pengobatan Hal ini terbukti bila diberi obat golongan alfa adrenergik, obs-
lebih sering ditujukan pada keluhan asmanya dan mengabaikan truksi hidung akan segera berkurang atau hilang dan hal ini
Dibacakan pada acara Seminar Sehari “United Airway Disease”, Hotel
Acacia,10 Mei 2003.
22 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004
tidak terjadi pada asma. Sebaliknya pada asma, yang bronkus- Hipereaktivitas saluran napas
nya mengandung otot polos berespons sangat baik terhadap Hipereaktivitas saluran napas erat kaitannya dengan asma
agonis beta 2. bronkial, dan merupakan salah satu kriteria diagnosis.10 Mani-
Meskipun obstruksi hidung sangat mengganggu, tetapi festasi klinis hipereaktivitas adalah bronkokontriksi setelah
tidak mengancam jiwa penderita, karena ia masih dapat ber- terpajan udara dingin, bau menyengat, debu, asap, atau uap di
napas melalui mulut. Sebaliknya obstruksi total bronkus akan udara. Di laboratorium hipereaktivitas dapat diukur melalui uji
menyebabkan kolaps paru dan shunting aliran darah dari provokasi bronkus dengan metakolin, histamin atau kegiatan
jantung kanan ke kiri. jasmani. Umumnya terdapat hubungan antara derajat hiper-
Rongga hidung mempunyai andil 50% pada resistensi eaktivitas dengan derajat beratnya asma.
saluran napas dan hal ini berarti penting pada fungsi alveoli. Banyak penelitian melaporkan bahwa pasien-pasien de-
Bernapas melalui mulut atau trakeostomi dapat menyebabkan ngan rinitis alergik tanpa disertai asma secara klinis sering
kolaps alveoli dan shunting aliran darah dari jantung kanan ke menunjukkan hipereaktivitas bronkus. Prevalensinya berbeda-
kiri. Hilangnya peranan humidifikasi akan menimbulkan masa- beda tergantung metode dan definisi reaktivitas yang dipakai.
lah, terutama bila udara yang dihirup dingin dan kering, karena Diperkirakan 11% sampai 32% penderita rinitis menunjukkan
akan mengeringkan sekret dan menyebabkan spasme bronkus hipereaktivitas bronkus dalam derajat lebih ringan dibanding
di saluran napas bagian bawah. Untuk mengatasi hal tersebut, penderita asma dengan inhalasi zat-zat seperti histamin, meta-
produksi sekret akan bertambah, yang selanjutnya akan me- kolin atau karbakol.11-12 Di antara penderita rinitis alergik
ningkatkan gejala penyakit paru. Oleh karena itu salah satu musiman tanpa asma terjadi kenaikan reaktivitas bronkus
tujuan pengobatan adalah mengembalikan fungsi hidung untuk selama musim tepung sari (pollen). Madonni dkk11 melapor-
melindungi saluran napas bagian bawah. kan kenaikan insiden hipereaktivitas bronkus pada penderita
Terdapat persamaan dan perbedaan antara hidung dan rinitis alergik musiman sebelum dan selama musim tepung sari
bronkus. Perbedaan yang menonjol adalah (1) hidung me- dari 11% menjadi 48%. Juga dilaporkan bahwa penderita rinitis
ngandung sinusoid-sinusoid yang sangat berperan pada obs- alergik perennial mempunyai derajat reaktivitas yang lebih
truksi hidung, sementara vasodilatasi kurang berperan pada tinggi dibanding rinitis alergik musiman.13
asma (2) sekret hidung mudah dikeluarkan sedangkan pada Meskipun ada peneliti yang menyatakan reaktivitas bron-
asma dapat menyumbat (3) otot-otot polos dijumpai pada kus dalam derajat asma pada penderita rinitis merupakan faktor
bronkus, tidak pada saluran hidung. Agaknya istilah the nose resiko untuk asma (PC20 metakolin < 8 mg/ml)13, penelitian
consists of two congested bronchi without smooth muscles ada lain menemukan bahwa hipereaktivitas bronkus pada penderita
benarnya.4 rinitis tidak bermanfaat dalam meramalkan penderita rinitis
Dalam beberapa hal terdapat kesamaan rinitis dan asma, untuk berkembang menjadi asma.14
keduanya didasari oleh reaksi inflamasi.5 Sampai sekarang masih sulit menentukan apakah rinitis
merupakan manifestasi pertama dari alergi pernapasan yang
EPIDEMIOLOGI kebetulan mempunyai asma atau mempunyai peranan langsung
Penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa asma dan sebagai penyebab asma. Masalah ini memerlukan penelitian
rinitis sering terdapat bersama-sama. Gejala-gejala hidung di- epidemiologi jangka panjang pada penderita dengan rinitis
laporkan pada 28 - 78% penderita asma dibandingkan yang alergik, termasuk penilaian reaktivitas bronkus. Data penelitian
hanya 20% pada masyarakat luas. Demikian pula rinitis alergik laboratorium maupun hasil terapi akan sangat membantu.15
dapat dijumpai pada 19 - 38% penderita asma, jauh lebih tinggi
dibandingkan hanya 3-5% di masyarakat.6-7 Dari suatu survei EFEK TERAPI RINITIS TERHADAP ASMA
yang melibatkan 6563 penduduk, diagnosis rinitis alergik atau Dalam menilai hubungan asma dan rinitis, efek terapi se-
asma yang baru, didapatkan 2 sampai 4 kali lebih tinggi pada cara tidak langsung memperkuat dugaan tersebut. Dua macam
penduduk yang mempunyai salah satu dari kedua penyakit tadi obat yang sering dipakai pada pengobatan rinitis alergik yaitu
dibanding penduduk yang riwayatnya tidak mempunyai kedua kortikosteroid aerosol intranasal dan antihistamin.
penyakit tadi.8
Settipane dkk9 meneliti 690 mahasiswa yang tidak men- Kortikosteroid aerosol intranasal
derita asma, diikuti selama 23 tahun. Mereka yang pada tahun Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menilai ke-
1961 mempunyai gejala hidung, menderita asma 3 kali lebih efektifan kortikosteroid intranasal pada penderita rinitis alergik
sering (10,5%) dibanding tanpa rinitis (3,6%) (tabel 1). musiman dan perenial. Corren dkk16 melakukan penelitian
pengaruh beklometason intranasal pada penderita rinitis alergik
Tabel 1. Rinitis alergik sebagai faktor risiko timbulnya asma baru : 23
tahun pemantauan.9 musiman yang mempunyai asma. Reaktivitas bronkus me-
ningkat selama musim tepung sari pada penderita yang men-
Diagnosis sewaktu Total Asma
mahasiswa risiko∗ baru
% Nilai P dapat plasebo tetapi tidak meningkat pada penderita yang men-
Rinitis alergik 162 17 10.5 < 0.002 dapat terapi kortikosteroid. Karena penderita yang diselidiki
musiman dan bukan terlalu sedikit, tidak didapatkan perbedaan bermakna dalam hal
musiman gejala asma, nilai arus puncak ekspirasi maupun nilai-nilai
Bukan rinitis alergik 528 19 3.6
spirometri. Namun demikian paling tidak dapat disimpulkan
Total 690 36 5.2 bahwa terapi profilaksis kortikosteroid intranasal dapat men-
* Tidak ada riwayat asma saat ini atau sebelumnya cegah peningkatan reaktivitas bronkus selama musim tepung

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 23


sari pada penderita rinitis yang disertai asma. Ciprandi dkk32 melaporkan pemberian terfenadin secara kon-
Herrikson dkk17 serta Watson dkk18 melakukan penelitian tinyu selama 12 bulan pada anak-anak sekolah yang menderita
pada penderita rinitis perenial yang juga mempunyai asma. rinokonjungtivitis dan atau asma intermiten ringan yang alergi
Setelah 4 minggu memakai budesonide intranasal terjadi per- tungau debu rumah. Dibanding dengan pasien yang mendapat
baikan obstruksi hidung, pernapasan mulut berkurang di- plasebo, pasien yang mendapat terapi terfenadin 1 mg/kgBB
banding dengan kontrol. Perbaikan fungsi hidung ini juga menunjukkan perbaikan gejala alergi secara bermakna (p<
menurunkan gejala asma serta kejadian asma akibat kegiatan 0,003) dan penurunan inflamasi terlihat dari infiltrasi sel
jasmani.20 Menurut Watson dkk18 perbaikan asma ini mungkin radang dan ekspresi ICAM-1 di hidung (p<0,001). Absensi
berhubungan dengan perbaikan fungsi hidung dan bukan efek sekolah dan kunjungan ke dokter juga berkurang (p<0,003).
langsung pada saluran napas bagian bawah. Kedua penelitian di Tidak didapatkan efek samping pada kedua kelompok.
atas juga didukung oleh Wood dan Eggleston19 bahwa Laporan terakhir dari Ciprandi dkk33 menyatakan bahwa
triamsinolon intranasal juga menurunkan reaktivitas saluran pemberian cetirizin jangka panjang tidak saja mengurangi
napas bagian atas dan bawah terhadap pemajanan dengan gejala alergi saluran napas bagian atas dan bawah (Gb. 1 dan 2)
alergen bulu kucing. tetapi juga biaya pemakaian obat tambahan seperti pemakaian
obat anti asma steroid topikal dan antibiotik dibandingkan
Antihistamin pemakaian obat bila perlu (tabel 2).
Histamin merupakan salah satu mediator yang penting
pada asma alergik. Sebagai antagonis reseptor H1, antihistamin Tabel 2. Rerata biaya pengobatan setiap anak selama 6 bulan33
mempunyai pengaruh pada fungsi paru. Penelitian menunjuk- Placebo (US$) Cetirizin (US$)
kan bahwa obat ini dapat memperbaiki gejala dan fungsi paru Cetirizin (dosis tambahan) 20.01 3.5
pada asma. Oleh karena itu, tidak seperti pada kortikosteroid Cetirizin reguler - 43.7
intranasal, perbaikan yang didapat karena antihistamin pada Albuterol inhalasi 0.50 0.38
asma tidak hanya disebabkan perbaikan saluran napas bagian Fluticasone inhalasi 17.38 11.55
Acetaminophen 13.8 16.2
atas. Antibiotik 208.7 18.2
Penelitian pada generasi pertama antihistamin menunjuk- Total 279.54 181.83
kan sangat sedikit efek perbaikannya pada asma20 dan efek
sampingnya sangat mengganggu; oleh karena itu antihistamin Mekanisme hubungan asma dan rinitis
ditinggalkan; tetapi dengan munculnya generasi kedua anti- Meskipun terdapat bukti-bukti bahwa rinitis alergik mem-
histamin yang dikatakan lebih aman dan bekerja lebih spesifik pengaruhi asma tetapi mekanisme yang menghubungkan dis-
terhadap reseptor H1, menjadi menarik untuk dipelajari fungsi saluran napas atas dan bawah dapat dikatakan belum
kembali.21 terungkap. Berbagai teori diajukan untuk menerangkan hu-
Rafferty dkk22 menunjukkan bahwa terfenadin dapat me- bungan antara rinitis dan asma, antara lain :
ngurangi gejala asma serta kebutuhan bronkodilator dan sedikit (1) refleks naso-bronkial.
memperbaiki fungsi paru, tetapi memerlukan dosis sangat besar (2) meningkatnya inhalasi melalui mulut terhadap udara
yaitu 240-540 mg sehari. Grant dkk23 melaporkan bahwa dingin, kering atau alergen inhalasi.
cetirizin 15-20 mg sehari dapat mengurangi gejala rinitis dan (3) drainase post-nasal bahan-bahan inflamasi ke saluran
asma, namun perbaikan fungsi paru tidak berbeda bermakna napas bagian bawah.
dibanding plasebo. Perlu dikemukakan bahwa pemakaian anti- (4) absorpsi mediator atau faktor kemotaktik.
histamin perlu mempertimbangkan selain kefektifannya juga (5) menurunnya respons terhadap adrenergik beta.
keamanan. Jika mungkin untuk pengobatan alergi dipakai anti- Refleks naso-bronkial, terungkap dari penelitian Kaufman
histamin generasi kedua yang selain efektif, aman dan dapat dan Wirght34 yang membuktikan pemberian silikat di mukosa
dikatakan hampir bebas efek samping. Sejauh ini obat-obat hidung manusia bukan penderita asma menyebabkan pening-
yang memenuhi kriteria tadi adalah loratadin, setirizin dan katan resistensi saluran napas bagian bawah. Spasme bronkus
feksofenadin. Ketiga obat tersebut selain mempunyai efek yang terjadi pada pemberian silikat di hidung ternyata dapat
antihistamin juga anti-inflamasi alergik, artinya dapat meng- dihambat dengan atropin34 dan reseksi saraf trigeminus35; ke-
hambat migrasi eosinofil. Seperti diketahui eosinofil berperan jadian tersebut mendukung peranan refleks kolinergik. Meski-
penting pada inflamasi alergi yang terjadi pada rinitis alergik pun masih terdapat silang pendapat, Yan dan Salome36 melaku-
maupun asma.24-25 Penelitian menunjukkan bahwa ketiga anti- kan uji provokasi histamin pada hidung penderita rinitis alergi
histamin tadi mampu menekan produksi atau penampilan dan asma yang stabil, ternyata didapatkan penurunan volume
ICAM-1 (inter-cellular adhesion molecule-1) pada sel endotel ekspirasi paksa detik pertama (FEV1) lebih dari 10% pada 8
kapiler,26-31 yang diperlukan untuk migrasi eosinofil dari dari 12 penderita. Cepatnya respons saluran napas bagian
kapiler ke jaringan. Konsekuensi pemakaian obat yang mem- bawah menunjukkan adanya kemungkinan peranan refleks
punyai aksi antihistamin maupun anti-inflamasi adalah ber- naso-bronkial. Tetapi penelitian Little dkk37 tidak menyokong
kurangnya gejala dan menurunnya reaktivitas jaringan terhadap peranan refleks naso-bronkial, karena dengan pemberian fenile-
zat-zat yang memprovokasinya. Dengan demikian dapat di- frin yang bukan anti-kolinergik, refleks naso-bronkial dapat
simpulkan bahwa antihistamin khususnya generasi kedua ber- dihambat.
manfaat pada rinitis yang disertai asma. Pernapasan mulut terjadi akibat hidung tersumbat oleh
Pada penelitian paralel acak buta ganda terkontrol, kembali edem jaringan dan sekret. Penelitian sebelumnya menunjukkan

24 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004


bahwa bernapas melalui mulut meningkatkan kemungkinan ter- 12. Ramsdale EH, Morris MM, Roberts RS, Hargreave FE. Asymptomatic
bronchial hyperresponsiveness in rhinitis. J Allerg Clin Immunol 1985;
jadinya serangan asma karena kegiatan jasmani.38 Perbaikan 75: 573-7.
fungsi hidung diduga dapat memperbaiki gejala asma. Hal ini 13. Verdiani P, Di Carlo S, Baronti A. Different prevalence and degree of
karena udara yang dihirup akan disaring, dihangatkan dan di- nonspesific bronchial hyperreactivity between seasonal and perennial
lembabkan dulu sebelum mencapai bronkus. Alergen dan rhinitis. J Allerg Clin Immunol 1990; 86: 576-82.
14. Prieto L, Berto JM, Guiterrez V. Airway responsiveness to metacholine
polutan akan tersaring di hidung. and risk of asthma in patients with allergic rhinitis. Ann Allerg 1994; 72:
Drainase bahan-bahan inflamasi dari saluran napas bagian 534-9.
atas ke saluran napas bagian bawah mungkin terjadi (post-nasal 15. Corren J. Allergic rhinitis and asthma: How important is the link ? J
drip). Meskipun pada kelinci percobaan rinosinusitis dapat Allerg Clin Immunol 1997; 99: 5781-6.
16. Corren J. Adinoff AD, Buchmeier AD, Irvin CG. Nasal beclomethasone
meningkatkan reaktivitas saluran napas,39 Bardin, dkk40 mem- prevents the seasonal increase in bronchial responsiveness in patients
buktikan dengan zat radioaktif, tidak ada aspirasi cairan sinus with allergic rhinitis and asthma. J Allerg Clin Immunol 1992; 98: 250-6.
ke dalam bronkus. 17. Henriksen JW, Wenzel A. Effect of an intranasal administered corti-
Akibat reaksi alergi sangat mungkin terjadi absorbsi zat- costeroid (budesonide) on nasal obstruction, mouth breathing and
asthma. Am Rev Respir Dis 1984; 130: 1014-8.
zat mediator atau kemotaktik, sebelum akhirnya mencapai 18. Watson WTA, Becker AB, Simmons FER. Treatment of allergic rhinitis
bronkus.16 Teori ini menyatakan bahwa pada penyakit atopi, with intranasal corticosteroids in patients with mild asthma: Effect on
termasuk di dalamnya asma dan rinitis, kepekaan reseptor sel- lower airway responsiveness. J Allerg Clin Immunol 1993; 91: 97-101.
selnya menurun terhadap rangsangan adrenergik beta. 19. Wood RA, Eggleston PA. The effects of intranasal steroids on nasal and
pulmonary response to cat exposure. Am J Respir Crit Care Med 1995;
151: 315-20.
KESIMPULAN 20. Karlin JM. The use of antihistamines in asthma. Ann Allerg 1972; 30:
Penelitian epidemiologik menunjukkan bahwa rinitis aler- 342-7.
gik dan asma sering terdapat bersama-sama, dan hipereaktivitas 21. Meltzer EO. The use of anti-H1 drugs in mild asthma. Allergy 1995; 50:
41-7.
bronkus non spesifik dapat dijumpai pada sebagian penderita 22. Rafferty P, Jackson L, Smith R, Holgate ST. Terfenadine: a potent H1-
rinitis alergik tanpa gejala asma. Sampai sekarang belum jelas receptor antagonist in the treatment of grass pollen sensitive asthma. Br J
mekanisme hubungan rinitis alergik dan asma, meskipun ke- Clin Pharmacol 1990; 30: 229-35.
duanya merupakan penyakit inflamasi. Pada penderita rinitis 23. Grant JA, Nicodemus CF, Findaly SR et al. Cetirizine in patients with
seasonal allergic rhinitis and concomitant asthma: prospective
yang juga asma, kortikosteroid intranasal dan antihistamin randomized, placebo-controlled trial. J Allerg Clin Immunol 1995; 95:
khususnya generasi kedua dapat mengurangi gejala asma dan 723-32.
bahkan pada sebagian penderita dapat memperbaiki fungsi paru 24. Cristina Seminario M, Gleich GJ. The role of eosinophils in the
dan reaktivitas bronkus. Meskipun pengobatan rinitis alergik pathogenesis of asthma. Curr Op Immunol 1994; 6: 860-4.
25. Mygid N. Pathophysiology of allergic rhinitis. Eur Respir Rev 1994; 4:
mempunyai efek perbaikan asma, belum jelas apakah peng- 248-51.
obatan rinitis dapat mempengaruhi perjalanan penyakit asma. 26. Paolieri F, Battifora M, Riccio AM et al. Terfenadine and fexofenadine
reduce in vitro ICAM-1 expression on human continuous cell link. Ann
KEPUSTAKAAN Allerg Asthma Immunol 1998; 81: 601-7.
27. Abdelaziz MM, Devalia JL. Kahir OA et al. Effect of fexofenadine on
1. Simon FER. Allergic rhinobronchitis: the asthma-allergic rhinitis link. J eosinophil-induced changes in epithelial permeability and cytokine relea-
Allerg Clin Immunol 1994; 104 : 534-40. se from nasal epithelial cells of patients with seasonal allergic rhinitis. J
2. Passalacqua G Ciprandi G, Canonica GW. United airway diseases: thera- Allerg Clin Immunol 1998; 101: 410-20
peutic implication. Thorax 2000: 55(Suppl 2)S26-S27. 28. Vignola AM, Crampetle L, Mondain M et al. Inhibitory activity of
3. Schleimer RP, Togias AG. Introduction. Systemic Aspects of Allergic loratadine and descarboethoxyloratadine on expression of ICAM-1 and
Diseases. J Allerg Clin Immnunol 2000; 106(Suppl): 191s HLA-DR by nasal epithelial cells. Allergy 1995; 50: 2000-3.
4. Mygind N, Bisgaard H. Applied anatomy of the airways. Dalam : Mygind 29. Redier H, Chanez P, De Vos C et al. Inhibitory effect of cetirizine on
N, Pipkorn F, Dahl R, eds. Rhinitis and asthma. Similarities and bronchial eosinophil recruitment induced by allergen inhalation challenge
differences. Copenhagen: Munksgaard. 1990: 21-37. in allergic patients with asthma. J Allerg Clin Immunol 1992; 90: 215-24.
5. Persson CCA. Pipkorn U. Pathogenesis and pharmacology of asthma and 30. Ciprandi G, Buscaglia S, Pesce G et al. Cetirizine reduces inflammatory
rhinitis. Dalam : Mygind N, Pipkorn F, Dahl R, eds. Rhinitis and asthma. cell recruitment and ICAM-1 (or CD-54) expression on conjunctival
Similarities and differences. Copenhagen. Munksgaard, 1990: 275-88. epithelium in both early and late phase reaction after allergen-specific
6. Smith JM. Epidemiology and natural history of asthma, allergic rhinitis challenge. J Allerg Clin Immunol 1995; 95: 612-21.
and atopic dermatitis. Dalam: Middleton E, Reed CE, Ellis EF, Adkinson 31. Fadel R, Herpin-Richard N, Rilioux JP, Henocq E. Inhibitory effect of
NF. eds. Allergy : Principle and practice. 3rd ed. St. Louis: Mosby, 1988: cetirizine 2 HCl on eosinophil migration in vivo. Clin Allerg 1987; 17:
891-929. 373-9.
7. Dahl R. Rhinitis and asthma. Dalam : Mygind N, Naclerio RM, eds. 32. Ciprandi G, Ricca V, Tosca M, Landi M, Passalaeque G, Cononica GW.
Allergic and non allergic rhinitis. Clinical aspects. Copenhagen: Munks- Continuous antihistamine treatment controls allergic inflammation and
gaard, 1993: 184-8. reduces respiratory morbidity in children with mite allergy. Allergy 1999;
8. Broder I, Higgin MW, Mathews KP, Keller B. Epidemiology of asthma 54: 358-65.
and allergic rhinitis in a total community. Tecumseh, Michigan. J Allerg 33. Ciprandi G, Tosca M, Passalaequa G, Cononica G. Longterm cetirizine
Clin Immunol 1974; 54: 100-10. treatment reduces allergic symptoms and drug prescriptions in children
9. Settipane RJ, Hagy GW, Settipane GA. Longterm risk factors for with mite allergy. Ann Allerg Asthma Immunol 2001; 87: 222-6.
developing asthma and rhinitis : a 23-year follow up study of college 34. Kaufman J, Wright GW. The effect of nasal and nasopharyngeal irritation
students. Allerg Proc 1994; 15: 21-5. on airway resistance in man. Am Rev Resp Dis 1969; 100: 626-30.
10. NHLBI/WHO Workshop report. Global Initiative for Asthma. Publication 35. Kaufman J, Chen JC, Wright GW. The effect of trigeminal resection on
No. 95-3859. January 1995; 1-176. reflex bronchoconstriction after nasal and nasopharyngeal irritation in
11. Madonini E, Briatico-Vangosa B, Pappacoda A, Maccagini G, Cardani A, man. Am Rev Resp Dis 1970; 101: 768-9.
Saporiti F. Seasonal increased bronchial reactivity in allergic rhinitis. J 36. Yan K, Salome C. The response of the airways to nasal stimulation in
Allerg Clin Immunol 1987; 79: 358-63. asthmatics with rhinitis. Eur J Resp Dis 1983; (suppl): 105-8.

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 25


37. Little NT, Carlisle CC,Millman RP, Braman SS. Changes in airway resis- 39. Brugman SM, Larson GL, Henson PM, Honor J, Irvin CG. Increased
tance following nasal provocation.Am Rev Respir Dis 1990;141:580-3. airway responsiveness associated with sinusitis in a rabbit model . Am
38. Shurtman-Ellstein R, Zeballos RJ, Buckley JM, Souhrada JF. The bene- Rev Resp Dis; 147: 314-20.
ficial effect of nasal aerating in exercise induced broncho-constriction. 40. Bardin PG, Van-Heerden BB, Joubert JR. Absence of pulmonary
Am Rev Respir Dis 1978; 118: 65-73. aspiration of sinus contents in patients with asthma and sinusitis. J Allerg
Clin Immunol 1990; 86: 82-8.

Gambar 1. Rerata skor mingguan gejala saluran napas bagian atas (rinitis) selama 24 minggu.* Perbedaan
bermakna (p < 0.05). (Ciprandi dkk : Ann Allerg Asthma Immunol, 2001; 807: 222-6)

Gambar 2. Rerata skor mingguan saluran napas saluran bawah (asma) selama 24 minggu.* Perbedaan bermakna
(p < 0.05). (Ciprandi dkk : Ann Allerg Asthma Immunol, 2001; 807: 222-6).

26 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004


PRAKTIS

Penatalaksanaan LES
pada Berbagai Target Organ
Nanang Sukmana
Subbagian Alergi-Imunologi Klinik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN pada reseptornya untuk selanjutnya menghasilkan suatu anti-


Lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit auto- bodi yang merugikan tubuh. Antibodi yang dibentuk oleh
imun yang melibatkan berbagai organ dengan manifestasi peptida ini dan antibodi yang dibentuk oleh antigen eksternal
klinis yang bervariasi dari yang ringan sampai berat1,2,3. Pada akan merusak organ target (glomerulus, sel endotel dan
keadaan awal, sering sulit dikenal sebagai LES, karena thrombosit). Di sisi lain antibodi juga dapat berikatan dengan
manifestasinya sering tidak terjadi bersamaan. Sampai saat ini antigennya untuk membentuk komplek imun (IC) yang dapat
penyebab LES belum diketahui; ada dugaan faktor genetik, merusak berbagai organ tubuh bila terjadi endapan.
infeksi dan lingkungan ikut berperan pada patofisiologi Aktivasi sel T dan sel B tersebut sebetulnya akan di-
LES.4,5,6,7 kontrol oleh gen-gen yang berbeda, yang mungkin dapat
Prevalensi bervariasi di tiap negara. Di Indonesia sampai direspon tubuh dengan cara pembersihan antigen atau komplek
saat ini belum pernah dilaporkan. Pada dekade terakhir terlihat imun di dalam sirkulasi.
adanya kenaikan kasus yang berobat di RSCM Jakarta. Salah Perubahan abnormal di dalam sistem imun tersebut dapat
satu faktor adalah kewaspadaan dokter yang meningkat. Untuk mempresentasikan protein RNA, DNA dan phospholipid ke
ini perlu upaya penyebarluasan gambaran klinis kasus LES dalam sistem imun tubuh. Beberapa autoantibodi dapat me-
yang perlu diketahui sehingga diagnosis lebih dini dan liputi trombosit dan eritrosit karena antibodi tersebut dapat
pengobatan lebih adekuat. Baron dkk8 melaporkan keter-libatan berikatan dengan glycoprotein II dan III di dinding trombosit
ginjal lebih sering ditemukan pada LES dengan onset usia dan eritrosit. Di sisi lain antibodi juga dapat bereaksi dengan
kurang dari 18 tahun. Sedangkan pada penelitian Font dkk9 lesi antigen sitoplasmik trombosit dan eritrosit yang akhirnya akan
diskoid dan serositis lebih sering ditemukan sebagai mani- menyebabkan proses apoptosis.
festasi awal pasien LES laki-laki, sedangkan artritis lebih
jarang. Samanta dkk10 pada penelitian populasi Asia dan kulit
putih di Inggris melaporkan kelainan ginjal lebih sering
ditemukan di populasi Asia. Wanita lebih sering terkena
dibanding laki-laki dan umumnya pada kelompok usia
produktif.

PATOGENESIS LES
Kelainan sistem imun pada LES ditandai dengan berbagai
faktor dan lingkungan yang mampu mengubah sistem imun
tersebut yang mungkin sudah didasari kelainan genetik, seper-ti
terlihat pada gambar 1.
Antigen dari luar yang akan diproses oleh makrofag (APC)
akan menyebabkan berbagai keadaan seperti: apoptosis,
aktivasi atau kematian sel tubuh, sedangkan beberapa antigen
di tubuh tidak dikenal (selanjutnya disebut Self Antigen) contoh
nucleosomes, U1RP dan Ro/SS-A. Antigen tersebut akan
Gambar 1. Patogenesis LES
diproses seperti umumnya antigen lain oleh APC dan sel B.
Peptida ini akan menstimulasi sel T dan akan diikat oleh sel B Peningkatan komplek imun di sirkulasi sering ditemukan

Dibacakan pada acara Simposium ‘Allergy & Clinical Immunology Update’,


Hotel Marcopolo, Lampung, 12-13 April 2003 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 27
pada penderita LES dan keadaan ini sering menimbulkan an dapat dijadikan panduan penatalaksanaan sesuai dengan
kerusakan jaringan bila terjadi pengendapan. Komplek imun derajat dan target organ sasaran yang terkena. Mengingat
tersebut dapat juga berkaitan dengan komplemen yang akhir- pengobatan akan berlangsung lama bahkan dapat seumur hidup
nya berikatan dengan reseptor C3b di sel darah merah yang maka pemberian obat harus rasional, efek samping se-minimal
akan menimbulkan hemolisis. Bila komplek imun melalui mungkin, mempunyai efektifitas tinggi, obat mudah didapat
hepar maka akan dieliminasi dengan cara mengikat C3bR dan dan murah11,13,14. Pada makalah ini akan dibahas pe-
bila melalui limpa akan diikat oleh FcR. IgG. Ketidakmampu- natalaksanaan Lupus eritematosus sistemik, yang terbagi dua
an kedua organ tersebut akan menimbulkan manifestasi klinik kelompok yaitu :
berupa hemolisis. 1. Penatalaksanaan umum.
Deposit komplek imun sirkulasi (CIC) tidak sederhana 2. Pengobatan farmakologis.
karena melibatkan aktivasi berbagai komplemen, PMN dan
berbagai mediator inflamasi lainnya yang timbul karena PENATALAKSANAAN UMUM
kerusakan/disfungsi sel endotel pembuluh darah. 1. Kelelahan
Berbagai keadaan sitokin yang terjadi pada LES ialah : Hampir setengah penderita LES mengeluh kelelahan. Se-
penurunan jumlah IL-1dan peningkatan IL-6, IL-4 dan IL-6. belumnya kita harus mengklarifikasi apakah kelelahan ini bagi-
Ketidakseimbangan sitokin ini dapat meningkatkan aktivasi sel an dari derajat sakitnya atau karena penyakit lain yaitu: anemia,
B untuk membentuk antibodi. demam, infeksi, gangguan hormonal atau komplikasi
Berbagai keadaan sel T dan Sel B yang terjadi pada LES: pengobatan dan emotional stress. Gejala ini merupakan manif-
1. Sel T estasi yang berhubungan dengan disfungsi sitokin dalam proses
- Limfopenia inflamasi sehingga peningkatan keluhan dapat sebagai
- Penurunan sel T supresor parameter aktivitas inflamasi. Upaya mengurangi kelelahan di
- Peningkatan sel T helper samping pemberian obat ialah : cukup istirahat, batasi aktivi-tas
- Penurunan memori dan CD4 dan mampu mengubah gaya hidup.3,15,16
- Penurunan aktivasi sel T supresor 2. Merokok
- Peningkatan aktivasi sel T helper Walaupun prevalensi LES lebih banyak pada wanita,
2. Sel B cukup banyak wanita perokok. Kebiasaan merokok akan
- Aktivasi dan poliklonal sel B mengurangi oksigenisasi, memperberat fenomena Raynaud
- Peningkatan terhadap respon sitokin yang disebabkan penyempitan pembuluh darah akibat bahan
yang terkandung pada sigaret/rokok.6,15,16
PENATALAKSANAAN LES 3. Cuaca
Salah satu aspek penting pada penatalaksanaan LES ialah Walaupun di Indonesia tidak ditemukan cuaca yang sa-
adanya beberapa perbedaan pendapat Hal ini muncul karena ngat berbeda dan hanya ada dua musim akan tetapi pada
laporan beberapa sentra yang mengemukakan keberhasilan sebagian penderita LES khususnya dengan keluhan artritis
pengobatan dan sampai sekarang belum ada satu panduan sebaiknya menghindari perubahan cuaca karena akan mem-
umum penatalaksanaan/pengobatan LES yang dapat diterima pengaruhi proses inflamasi 15,16.
semua pihak.6,7,11 Keadaan ini sebetulnya dapat diatasi dengan 4. Stres dan trauma fisik
dengan menentukan jenis LES dan derajat penyakitnya. Beberapa penelitian mengemukakan bahwa perubahan
Dengan makin berkembangnya beberapa pemeriksaan penun- emosi dan trauma fisik dapat mempengaruhi sistem imun
jang maka deteksi dini LES dapat dengan mudah di- melalui : penurunan respon mitogen limfosit, menurunkan
lakukan.8,11,12 fungsi sitotoksik limfosit dan menaikkan aktivitas sel NK
Beberapa pertanyaan sebelum melakukan penatalaksana- (Natural Killer).6,15,16
an LES yaitu :6,10,11 Keadan stres tidak selalu mempengaruhi aktivasi pe-
1. Apakah pasien masuk kriteria ARA atau tidak. nyakit, sedangkan trauma fisik dilaporkan tidak berhubungan
2. Bila tidak, apakah pasien memenuhi kriteria biopsi. . dengan aktivasi LES-nya. Umumnya beberapa peneliti sepen-
Dengan panduan biopsi apakah pasien termasuk LES atau dapat bahwa stres dan trauma fisik sebaiknya dikurangi atau
diskoid lupus. dihindari karena keadaan yang prima akan memperbaiki pe-
3. Apakah keluhan yang muncul merupakan bagian dari nyakitnya7,15.
penyakit konektif lainnya. 5. Diet
4. Setelah mengetahui LES, pastikan organ sasaran yang Tidak ada diet khusus yang diperlukan pasien LES,
terkena dan derajat sakitnya. makanan yang berimbang dapat memperbaiki kondisi tubuh.
5. Adakah penyakit lain yang dapat terjadi bersamaan dengan Beberapa penelitian melaporkan bahwa minyak ikan (fish oil)
LES. Bila ada tentukan apakah primer atau sekunder. yang mengandung eicosapentanoic acid dan docosahexanoic
6. Upaya pengobatan ditujukan untuk meningkatkan kualitas acid dapat menghambat agregasi trombosit, leukotrien dan 5-
hidup dengan mempertimbangkan untung-rugi dari suatu lipoxygenase di sel monosit dan polimorfonuklear. Sedangkan
regimen pengobatan. pada penderita dengan hiperkolesterol perlu pembatasan
Dari hal-hal tersebut di atas kita dapat mulai penata- makanan agar kadar lipid kembali normal.6,7,15
laksanaan LES dengan baik; beberapa keberhasilan pengobat- 6. Sinar matahari (sinar ultra violet)

28 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004


Seperti diketahui bahwa sinar ultra violet mempunyai tiga Bila tidak ada respon dalam 4 minggu ditambahkan
gelombang, dua dari tiga gelombang tersebut (320 dan 400 nm) Imunoglobulin intravena (IVIG) 0,4 mg/kgbb./hari selama 5
berperan dalam proses fototoksik. Gelombang ini terpapar hari berturut-turut.
terutama pada pukul 10 pagi s/d pukul 3 sore, sehingga semua 3. Vaskulis sistemik akut.4,15,18
pasien LES dianjurkan untuk menghindari paparan sinar Prednison : 60-100 mg/hari, umumnya respon akan ter-
matahari pada waktu-waktu tersebut.4,7,15 lihat dalam beberapa hari; kecuali pada kasus dengan kompli-
7. Kontrasepsi oral kasi gangren di tungkai, respon terlihat dalam beberapa
Secara teoritis semua obat yang mengandung estrogen minggu. Pada keadaan akut diberikan steroid parenteral.
tinggi akan memperberat LES, akan tetapi bila kadarnya ren- 4. Perikarditis1,15,18
dah tidak akan membahayakan penyakitnya. Pada penderita - Ringan : obat anti inflamasi non steroid atau anti malaria.
LES yang mengeluh sakit kepala atau tromboflebitis jangan Bila dengan obat ini tidak efektif dapat diberi prednison
menggunakan obat yang mengandung estrogen.4,6,7,15 20-40 mg/hari.
- Berat : prednison 1 mg /kgbb./hari.
5. Miokarditis15,18
PENGOBATAN FARMAKOLOGIS
Prednison 1 mg/kgbb/hari; bila tidak efektif dapat di-
1. Steroid sistemik
kombinasi dengan siklofosfamid.
Yang paling penting pada pengobatan LES adalah per-
6. Efusi pleura1,6,15,18
timbangan untuk memilih regimen pengobatan karena
Prednison 15-40 mg/hari. Bila efusi masif, lakukan pungsi
pengobatan akan berlangsung lama, dengan berbagai efek
pleura/drainage.
samping yang akan terjadi.6,12,15,16,17
7. Lupus pneumonitis1,6,15,16,17,18
LES dibagi dua kelompok besar (Dubois)16,17 yaitu :
Prednison 1-1,5 mg/kgbb./hari selama 4-6 minggu.
a. Kelompok ringan
8. Lupus serebral1,6,12,15,18
Termasuk pada kelompok ini ialah :demam, artritis, peri-
- Metil prednisolon 2 mg/kgbb./hari untuk 3-5 hari, bila
karditis ringan, efusi pleura/perikard ringan, kelelahan dan
berhasil dilanjutkan pemberian oral 5-7 hari lalu diturunkan
sakit kepala.
perlahan.
b. Kelompok berat
- Metil prednisolon pulse dosis selama 3 hari berturut-turut.
Termasuk pada kelompok ini ialah : efusi pleura dan
perikard masif, penyakit ginjal, anemia hemolitik, trombosito-
LUPUS NEPHRITIS (LN)
penia, lupus serebral, vaskulitis akut, miokarditis, lupus pneu-
monitis dan perdarahan paru.
Penatalaksanaan umun15,16,17
Keuntungan pembagian ini ialah untuk menentukan dosis
1. Bila tidak ada kontraindikasi semua pasien dengan LES
steroid atau obat lainnya.
sebaiknya dibiopsi. Biopsi dapat diulang jika dalam perjalanan
2. Panduan umum derajat LES ringan15,16,17
pengobatan gejalanya menetap atau memburuk.
- Aspirin dan obat antiinflamasi non steroid merupakan
2. Diet rendah garam jika ditemukan hipertensi, rendah
pilihan utama.
lemak jika ada hiperlipidemia atau sindrom nefritis, begitu juga
- Dosis disesuaikan dengan derajat penyakitnya.
diet rendah protein disesuaikan dengan derajat penyakit-nya.
- Penambahan obat anti malaria hanya dikhususkan bila ada
Kalsium dapat diberikan untuk mengurangi efek samping
skin rash dan lesi di mukosa membran.
osteoporosis karena steroid.
- Bila pengobatan di atas gagal, dapat ditambah prednison
3. Diuretika dapat diberikan sesuai dengan kebutuhan.
2,5 mg-5 mg/hari, dapat dinaikkan secara bertahap 20% tiap 1-
4. Pemeriksaan rutin periodik meliputi pemeriksaan :
2 minggu, sesuai kebutuhan.
− Sedimen urin.
3. Panduan umum derajat LES berat4,6,13,15,16,17
- Pemberian steroid sistemik merupakan pilihan pertama. − Urin 24 jam ( protein)
- Obat anti inflamasi non steroid dan anti malaria tidak − Kreatinin dan CCT
diberikan. − Albumin serum
- Pemberian prednison dan lama pemberian disesuaikan − C3
dengan kelainan organ sasaran yang terkena. − 10. anti DNA
Pemeriksaan diulang sesuai dengan perkembangan pe-
nyakit:
Pengobatan pada kasus-kasus khusus 1. Pantau efek samping steroid dan komplikasi yang terjadi
1. Anemia hemolitik autoimun.1,4,15,18 selama pengobatan (infeksi dll).
Prednison : 60-80 mg/hari (1-1,5 mg/kgbb/hari) 2. Hindari pemberian salisilat dan obat inflamasi non steroid
Bila dalam beberapa hari sampai 1 minggu belum ada karena akan memperberat kerja ginjal.
perbaikan maka dosis dapat ditingkatkan sampai 100 mg-120 3. Penanganan hipertensi yang baik.
mg/hari. Umunmya respon penuh akan dicapai dalam 8-12 4. Hindari kehamilan bila LN masih aktif.
minggu. 5. Aspirin hanya diberikan selektif bila ada anti fosfolipid.
2. Trombositopenia otoimun.6,15,18
Prednison : 60-80 mg/hari (1-1,5 mg/kgbb./hari). Pengobatan LN secara umum (memenuhi kriteria

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 29


ARA)1,4,6,15,16,17,18
− Prednison : 1 mg/kgbb. /hari untuk 6-12 minggu. Setelah KEPUSTAKAAN
itu dapat diturunkan secara bertahap.
1. Pisetsky DS, Glikeson G, Clair EW. Systemic Lupus Erythematosus.
Pengelolaan LN sampai sekarang masih kontroversial. Diagnosis and treatment. Med Clin North Am. 1997 ; 81 : 113-27.
Tujuan utamanya adalah mencegah perburukan penyakit. 2. Mills JA. Systemic Lupus Erythematosus.N Engl J Med 1994; 330:1871-
6.
Panduan pengobatan sesuai kelas WHO15,17 3. Boumpas DT, Austin HA, Fessler BJ, Balow JE, Klippel JH, Locksin
Kelas I : Tidak ada pengobatan khusus. MD. Systemic Lupus Erythematosus : Emerging Concept. Ann Intern
Med, 1995; 122 : 940-50.
Kelas II : Mesangial (IIA) tidak memerlukan pengobatan. 4. Steinberg AD, Gourley MF, Klinman DM, Tsokos GC, Zscott DE, Krieg
Pada pasien kelas II B; dengan protein lebih 1 g, titer DNA AM. Systemic Lupus Erythematosus. NIH Conference. Ann Intern Med,
tinggi, dan C3 rendah dapat diberi prednison 20mg/hari selama 1991 ; 115 : 548-57.
6 minggu sampai 3 bulan, setelah itu diturunkan bertahap. 5. Lewkonia RM. The clinical genetic of lupus. Lupus 1992 ; 1 : 55-62.
6. Pisetsky DS, Gilkeson G. Systemic Lupus Erythematosus. Med Clin
Kelas III : Umumnya pemberian steroid digabung dengan North Am, 1997 ; 81 : 113-127.
siklofosfamid 7. Hochberg MC. The epidemiology of Systemic Lupus Erythematosus.
Kelas IV : Prednison : 1 mg/kgbb/ hari selama 6-12 Dalam: Wallace DJ, Hahn BH eds. Dubois'Lupus Erythematosus, fourth
minggu ed. Philadelphia : William & Wilkins, 1997 : 93-104.
8. Barron KS, Silverman ED, Gonzales J, Reveile JD. Clinical, serologic
Kelas V : Umumnya tidak diberi siklofosfamid. and immunogenetic studies in childhood onset Systemic Lupus
Erythematosus. Arthritis Rheum, 1993 ; 36 : 348-54.
Protokol pemberian siklofosfamid 15,17,18 9. Font J, Cervera R, Novorro et al. Systemic Lupus Erythematosus in men;
Dosis 0,5-1 g/m2 luas permukaan badan diberikan secara Clinical and immunological characteristics. Ann Rheum Dis 1992; 51:
1050-2.
bolus (per infus) tiap bulan selama 6 bulan selanjutnya tiap 3 10. Samanta A, Feehally J, Roy S, Nichol FE, Sheldon PJ, Walls J. High
bulan sampai 1-2 tahun kemudian, atau total dosis mencapai 10 prevalence of systemic disease and mortality in Asian subjects with
g. Systemic Lupus Erythematosus. Ann Rheum Dis, 1991 ; 50 : 490-2.
Protokol pemberian pulse metil prednisolon15,17,18 11. Wallace DJ. The Clinical presentation of SLE Dalam : Wallace DJ, Hahn
BH, eds. Dubois'Lupus Erythematosus, fourth ed. Philadelphia. William
Dosis 1 g IV (bolus) selama 3 hari berturut-turut. Diindi- & Wilkins, 1997 ; 627-634.
kasikan pada : 12. Wallace DJ, Metzger AL. Systemic Lupus Erythematosus and the
1. Oliguria akut (renal failure). nervous system. Dalam : Wallace DJ, Hahn BH, eds. Dubois' Systemic
2. Lupus serebral dengan koma. Lupus Erythematosus, fourth ed. Philadelphia : William & Wilkins, 1997
: 723-754.
3. Lupus krisis (acute serious SLE) 13. Schur PH. Third International Conferences on Systemic Lupus Erythe-
matosus. Arthritis and Rheumatism, 1992 ; 35 : 1238-1240.
PENUTUP 14. Kater L. Systemic Lupus Erythematosus. Diagnosis and treatment.
Penatalaksanaan LES masih terus berkembang, berbagai Advance Posgraduate Course on Immunology. Jakarta, 7-9 November
1994.
sentra melakukan penelitian dalam upaya meningkatkan 15. Faille HB, Kater L. Lupus Erythematosus. Dalam : Dela Faille HB, Kater,
kualitas hidup pasien LES. Tersedianya sarana laboratorium eds. Multi system Autoimmune Disease.Elsevier Science BV, 1994:85-
dan diagnostik yang memadai memudahkan diagnosis dini. 121.
Tingkat ekonomi pasien perlu dipertimbangkan dengan bijak 16. Kashgarn M. Lupus nephritis: pathology, pathogenesis, clinical
correlation and prognosis. Dalam: Wallace DJ, Hahn BH, eds. Dubois'
agar pembiayaan dapat ditekan sekecil mungkin dengan Systemic Lupus Erythematosus, fourth ed. Philadelphia : William &
memilih pemeriksaan yang sangat diperlukan sesuai dengan Wilkins,1997;1037-51.
skala prioritas. 17. Wallace DJ, Hahn BH, Kleppel JH. Lupus nephritis. Dalam : Wallace DJ,
Hahn BH, eds. Dubois' Systemic Lupus Erythematosus, fourth ed.
Philadelphia : William & Wilkins, 1997 ; 1053-65.
18. Kumberly RP. Steroid use in Systemic Lupus Erythematosus. Dalam:
Lahita RG (ed) Systemic Lupus Erythematosus, second ed. New York;
Churchill Livingstone, 1992 : 967-23.

Death is the farthest limit of our changing life


(Horace)

30 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004


TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Keterlibatan Paru dan Pleura


pada SLE
Zuljasri Albar
Sub Bagian Reumatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN HASIL
Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit Dari 48 rekam medik yang ditemukan, hanya 34 penderita
radang kronik sistemik yang timbul akibat proses otoimun. yang memenuhi kriteria diagnostik SLE dari ARA5. Usia pen-
Penyakit ini dapat mengenai setiap organ tubuh, dengan derita berkisar antara 13-50 tahun. Sebagian besar (33 kasus)
frekuensi dan derajat yang berbeda-beda pada tiap penderita. adalah wanita, sedangkan penderita pria hanya 1 kasus, berusia
Sebagai contoh, keterlibatan ginjal 74%, SSP 54%, paru 44% 20 tahun (Tabel 1).
selama perjalanan penyakit.1 Istilah lupus nefritis atau lupus
serebritis sudah sering didengar, sedangkan lupus pneumonitis Tabel 1. Distribusi penderita SLE berdasarkan usia dan jenis kelamin.
atau lupus pleuritis relatif jarang. Mengingat keterlibatan paru-
paru dan pleura pada SLE cukup sering ditemukan bahkan ada Usia
Jenis kelamin
penelitian yang menyatakan sampai 90%2, kami mencoba Wanita Pria
11-15 tahun 2 -
meneliti kekerapan keterlibatan paru dan pleura pada penderita
16-20 tahun 9 1
SLE. Penelitian retrospektif ini tidak dapat memastikan pe- 21-25 tahun 7 -
nyebab keterlibatan paru dan pleura karena memerlukan 26-30 tahun 6 -
pemeriksaan lebih khusus seperti spirometri, bilas bronkus, 31-35 tahun 4 -
36-40 tahun 1 -
biopsi transbronkhial dan lain-lain1-4 yang tidak dilakukan
41-45 tahun 3 -
seperti terlihat dalam catatan medik penderita. Di lain pihak, 46-50 tahun 1
mengetahui penyebab kelainan paru dan pleura pada SLE Jumlah 33 1
memang sangat sulit karena SLE sendiri dapat menimbulkan
kelainan paru dan pleura akibat kelainan perikardium, gagal Tabel 2. Penderita SLE dengan keterlibatan paru dan pleura.
jantung, uremia atau sindrom nefrotik2. Keterlibatan paru dan
pleura yang cukup tinggi pada SLE merupakan peringatan Jenis kelamin
Usia
Wanita Pria
untuk memberikan perhatian kepada hal ini karena keter-
11-15 tahun 2 -
lambatan penanganannya akan mempengaruhi prognosis. 16-20 tahun 6 1
21-25 tahun 4 -
26-30 tahun 1 -
BAHAN DAN CARA 31-35 tahun 4 -
Penelitian dilakukan secara retrospektif dengan meng- 36-40 tahun - -
evaluasi rekam medik penderita SLE yang dirawat di Rumah 41-45 tahun 2 -
Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) selama periode 1 Januari 46-50 tahun 1
1996 s/d 31 Desember 2000. Diagnosis SLE ditegakkan ber- Jumlah 20 1
dasarkan kriteria American Rheumatology Association (ARA).
Keterlibatan paru dan pleura ditetapkan berdasarkan adanya Kelainan paru pada pemeriksaan jasmani berupa ronkhi
kelainan pada pemeriksaan jasmani dan atau foto toraks. basah halus nyaring, ronkhi basah halus dan kasar, pleural

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 31


friction rub dan perkusi redup atau pekak didapatkan pada 20 Tabel 4. Bentuk keterlibatan paru dan pleura pada SLE1.
kasus. Hanya 1 kasus yang tidak menunjukkan kelainan pada No. PN/ Efusi Per- Peninggian Non- Tuber-
pemeriksaan jasmani (kasus 9). Pada pemeriksaan radiologik Kasus BP pleura darahan diafragma spesifik kulosis
(foto toraks), kelainan berupa infiltrat, edema paru dan efusi 1 + - - - - -
pleura didapatkan pada 17 kasus. Tidak terdapat peninggian 2 + - - - - -
3 - - - - - -
diafragma. Penderita SLE yang menunjukkan kelainan pada
4 - - - - - -
pemeriksaan jasmani dan foto toraks - dengan perkataan lain 5 - - - - - -
tanda keterlibatan paru dan pleura - sebanyak 21 kasus 6 + - - - - -
(61.8%). 7 - - - - - -
Sesak napas merupakan keluhan utama pada 11 kasus 8 + + - - - -
(tabel 3). Dari 11 kasus ini gagal ginjal kronik ditemukan pada 9 - - - - - +
10 - + - - - -
4 kasus, gagal jantung kongestif 2 kasus, pneumonia 6 kasus; 4 11 + - - - - -
kasus pneumonia/bronkhopneumonia ditemukan bersama-sama 12 + + - - - -
dengan gagal ginjal kronik; 2 kasus pneumonia lain berdiri 13 - - - - - -
sendiri (kasus 1 dan 11). Demam dan batuk sebagai keluhan 14 - - - - + -
utama hanya terdapat pada 1 kasus. Keluhan utama yang lain 15 + - - - + -
16 + - - - - -
ialah miksi nyeri, lemah, mata dan kaki bengkak, nyeri ulu hati, 17 + - - - - -
sakit kepala hebat, demam, tak mau makan, tungkai lemah dan 18 + + - - - -
perdarahan bibir. 19 - - - - - -
20 - - - - + -
Tabel 3. Hubungan sesak napas sebagai keluhan utama dengan gagal 21 - + - - - +
ginjal kronik, gagal jantung kongestif dan pneumonia/
bronkhopneumonia
Dari 21 kasus dengan keterlibatan paru dan pleura, pada 12
Pneumonia/ kasus ditemukan kondisi yang mungkin berperan dalam
No. Keluhan utama Gagal ginjal Gagal jantung
kasus Sesak napas kronik kongestif
Bronkho- keterlibatan tersebut, yaitu gagal ginjal kronik (5 kasus), tuber-
pneumonia
1 + - - +
kulosis paru (2 kasus), sindrom nefrotik (2 kasus), gagal
2 + + - + jantung kongestif (2 kasus) dan kelainan perikardium (efusi
3 - - - - perikard - 1 kasus).Pada 9 kasus lainnya, keterlibatan paru dan
4 + - - - pleura diduga merupakan akibat langsung SLE atau unfeksi
5 + - - - nonspesifik berupa pneumonia/bronkopneumonikia (tabel 5).
6 + + - +
Dari 21 kasus SLE dengan keterlibatan paru dan pleura, 9
7 + - - -
8 - - - + penderita meninggal; 5 karena gagal ginjal kronik, 1 karena
9 - - - - gagal napas dan 3 karena syok septik dengan pneumonia
10 - - - - disebutkan sebagai penyebab.
11 + - - +
12 + + - + Tabel 5. Faktor-faktor yang diduga berperan dalam keterlibatan paru
13 - - - - dan pleura pada SLE2.
14 + - + -
15 - - - + Jenis kelainan Jumlah
16 - - - + SLE/infeksi 9
17 - - - + Gagal ginjal kronik 5
18 + + - + Tuberkulosis paru 2
19 - - - - Sindroma nefrotik 2
20 - - - - Gagal jantung kongestif 2
21 + - + - Efusi perikard 1
Jumlah 21

Diagnosis pneumonia ditegakkan pada 13 kasus, 3 di


antaranya disertai efusi pleura. Sebagai keluhan utama, DISKUSI
kelainan paru/pleura ditemukan pada 3 kasus. Dari seri ini kelainan paru dan pleura ditemukan sebanyak
Efusi pleura ditemukan pada 5 kasus, 1 di antaranya 61.8%; jika 2 kasus tuberkulosis paru tidak dimasukkan, angka-
bersama-sama dengan TB paru, sedangkan pleural friction rub nya sebesar 55,9%; kira-kira sama dengan yang dilaporkan
hanya pada 1 kasus (kasus 11) (Tabel 4). Tidak ditemukan dalam kepustakaan, yaitu antara 50-90%6,7, 38-89%2,4, 50-
perdarahan paru. Sejumlah 13 penderita diketahui pernah men- 60%.8,9 Inflamasi paru sering ditemukan pada otopsi penderita
derita SLE, lamanya berkisar antara 1 bulan sampai 14 tahun. SLE. Dengan pemeriksaan yang lebih khusus, prevalensi di
Uji serologi berupa ANA atau anti-dsDNA dilakukann pada 5 atas lebih tinggi lagi. Penelitian fisiologik pada penderita SLE
penderita dengan hasil positip pada semua kasus dengan titer menunjukkan adanya kelainan restriktif paru sebagaimana
berkisar antara 767 sampai 1588.3 (titer normal <200). Fungsi terlihat dari : penurunan kapasitas difusi pada 80% kasus, pe-
paru hanya diperiksa pada 1 penderita yang telah menderita nurunan volume paru pada 65% kasus dan penurunan saturasi
SLE selama 3 tahun. Hasilnya didapatkan restriksi sedang. oksigen arterial pada 55% kasus (Guenter dan Welch, 1982);

32 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004


pada seri ini hanya 1 kasus yang menunjukkan kelainan dapat ronkhi basah kasar dan halus.2,3 Pneumonitis akut harus
restriktif sedang pada spirometri. Secara klinis, sebagian besar dibedakan dari infeksi. Jika timbul keragu-raguan dilakukan
penderita dengan kelainan paru mengeluh sesak napas disrtai bilas bronkhoalveolar. Pneumonitis lupus kronik muncul dalam
batuk produktif(2,3). Sebelum menetapkan kelainan paru dan bentuk penyakit paru interstitial difus dan ditandai oleh sesak
pleura sebagai penyebab sesak napas perlu dipikirkan penyebab napas jika beraktifitas, batuk kering dan ronkhi basah basal.
lain, misalnya kelainan jantung karena kadang-kadang kedua- Secara histopatologi gambarannya tidak spesifik, berupa ke-
nya ditemukan bersama-sama. rusakan dan nekrosis dinding alveoli, sebukan sel radang,
Keluhan utama yang paling sering pada SLE dengan edema, perdarahan dan membran hialin.2,3,8
kelainan paru/pleura ialah sesak napas (11 dari 21 kasus). Pada Tidak ditemukan perdarahan paru pada seri ini. Perdarahan
11 kasus ini ditemukan juga kelainan lain yang mungkin paru berupa batuk dan hemoptisis atau dalam bentuk infiltrat
berperan dalam mengakibatkan sesak napas itu, yaitu gagal paru tidak sering ditemukan, tetapi merupakan bentuk SLE
ginjal kronik, gagal jantung kongestif, TB paru dan efusi yang sangat serius. Mortalitasnya tinggi, dapat mencapai 70%.
perikard. Menetapkan SLE sebagai penyebab gangguan paru/ Diperkirakan kelainan ini akibat vaskulitis paru. Penyebab lain
pleura memang tidak mudah.2,8 Banyak faktor harus diper- perdarahan paru seperti pneumonia akibat virus harus diper-
timbangkan. Keane dan Lynch mengemukakan bahwa dalam timbangkan dalam diagnosis banding. Perdarahan paru merupa-
satu penelitian post-mortem, pada setiap kasus lupus pneumo- kan keluhan utama atau satu-satunya pada 1-2% kasus. Biasa-
nitis yang didiagnosis secara klinis dapat pula diterangkan oleh nya timbul akut dan rekuren.
faktor-faktor lain seperti infeksi, aspirasi, gangguan fungsi Hipertensi pulmoner tidak dapat dinilai pada seri ini
jantung atau gagal ginjal.2 Pemeriksaan yang lebih agresif di- karena data kurang lengkap. Hipertensi pulmoner pada SLE
perlukan bukan hanya untuk memastikan ada tidaknya kelainan mirip dengan hipertensi pulmoner idiopatik. Penderita me-
paru/pleura, melainkan juga untuk mencari penyebab dan nunjukkan sesak napas, foto toraks normal dan kelainan
bentuk kelainan paru/pleura tersebut karena bentuk keterlibatan restriktif pada pemeriksaan fungsi paru. Sering ditemukan
paru/pleura pada SLE sangat bervariasi. Keterlibatan ini dapat fenomena Raynaud.Adanya hipertensi pulmoner dipastikan
berupa pneumonitis, pleuritis dengan atau tanpa efusi, per- dengan Doppler dan kateterisasi jantug. Penyebab lain hiper-
darahan paru, emboli paru, hipertensi paru dan shrinking lung tensi pulmoner harus disingkirkan. Penting untuk mencari
syndrome.1,2,6 emboli paru multipel dan lokalisasi trombosis vena dalam. Jika
Kelainan paru pada pemeriksaan jasmani berupa ronkhi timbul keragu-raguan, perlu dilakukan angiografi paru. Juga
basah kasar dan halus.3 Pada seri ini kelainan yang ditemukan harus disingkirkan kemungkinan sindrom antibodi antifos-
berupa ronkhi basah halus nyaring, ronkhi basah halus dan folipid dengan pembekuan intrapulmoner.
kasar; pada keterlibatan pleura didapatkan pleural friction rub Istilah shrinking lung syndrome dipakai untuk melukiskan
dan perkusi redup atau pekak yang ditemukan pada 20 kasus. suatu kompleks peninggian diafragma disertai penurunan
Gambaran radiologis menunjukkan infiltrat nonspesifik fungsinya. Pada seri ini tidak tampak peninggian diafragma
yang tersebar mungkin sebagai akibat infeksi atau SLE.2,3,4 pada foto toraks, sehingga diperoleh kesan sindrom ini tidak
Pada seri ini kelainan yang ditemukan berupa infiltrat, edema ada. Mungkin kelainan ini berperan dalam sesak napas yang tak
paru dan efusi pleura pada 18 kasus. dapat dijelaskan, tanpa kelainan parenkim paru.2,6
Pleuritis merupakan kelainan pleuropulmoner yang paling Hubungan antara ANA, anti-dsDNA dan lama menderita
sering ditemukan. Paling sedikit 2/3 penderita SLE mengalami SLE dengan keterlibatan paru/pleura tidak dapat dinilai karena
pleuritis dengan atau tanpa efusi pada satu waktu dalam per- data tidak lengkap.
jalanan penyakitnya. Gejala ini merupakan keluhan utama pada Dari 21 kasus SLE dengan keterlibatan paru dan pleura, 9
5% kasus. Keluhan yang paling sering ialah nyeri dada sebagai penderita meninggal (42,8%); 5 kasus meninggal karena gagal
keluhan utama. Bunyi gesekan pleura disertai demam terdapat ginjal kronik (23.8%), 1 kasus karena gagal napas akibat
pada 1 kasus. Efusi pleura ditemukan sebanyak 40-60%, biasa- kejang-kejang pada lupus serebri dan pneumonia (4.7%) dan 3
nya sedikit dan bilateral.2,3,4 Pada seri ini efusi pleura ditemu- kasus (14.2%) karena syok septik akibat pneumonia (2 kasus),
kan sebanyak 28.5%, lebih sering unilateral (4 kasus) di- meningitis (1 kasus). Pada satu seri penelitian pernah dilapor-
bandingkan dengan efusi bilateral (2 kasus). Pada 1 kasus kan kematian pada SLE akibat keterlibatan paru dan pleura
terdapat juga tuberkulosis paru. Dengan pemeriksaan antibodi tidak tinggi, yaitu sebanyak 7.9% (3 dari 38 kasus). Tetapi jika
antinuklir (ANA), anti ds-DNA dan sel LE pada cairan pleura dihitung kasus per kasus, mortalitas pada pneumonitis lupus
dapat diketahui penyebab efusi.2,9 Pemeriksaan ini tidak akut cukup tinggi yaitu 50%.2
dilakukan pada seri ini.
Diagnosis pneumonia ditegakkan pada 13 kasus dengan RINGKASAN/KESIMPULAN
usia berkisar antara 15-35 tahun. Sebagian besar di bawah 20 Keterlibatan paru dan pleura pada SLE cukup sering
tahun (6 kasus – 66.7%), lama menderita SLE rata-rata 2 tahun. terjadi. Di samping SLE, terdapat faktor lain yang berperan
Ini sesuai dengan kepustakaan bahwa penderita pneumonitis dalam keterlibatan ini, yaitu gagal ginjal kronik, gagal jantung,
akut biasanya berusia muda dan merupakan keluhan utama sindrom nefrotik, kelainan perikardium, infeksi dan tuberku-
pada 50% kasus. Pneumonitis lupus dapat akut atau kronik. losis. Dengan pemeriksaan yang lebih khusus seperti spiro-
Bentuk akut menyerupai pneumonia dan menunjukkan gejala metri, bilas bronkhus, biopsi transbronkhial dan lain-lain,
demam, dispnea, batuk dan kadang-kadang hemoptisis. Ter- angka keterlibatan paru dan pleura akan lebih tinggi. Pe-

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 33


meriksaan yang lebih khusus ini selain memberikan angka 4. Haupt HM, Moore GW, Hutchins GM. The lung in systemic lupus
erythematosus. Analysis of the pathologic changes in 120 patients. Am J
keterlibatan yang lebih tinggi, juga memungkinkan penentuan Med 1981; 71 : 791-8.
diagnosis etiologik yang lebih cepat. Diperlukan penelitian 5. Tan EM, Cohen AS, Fries JF et al. Special article : The resived criteria
lebih lanjut untuk menilai keterlibatan paru dan pleura pada for the classification of systemic lupus erythematosus. Arthr. Rheum
SLE. 1982; 25 : 1271-7.
6. Prakash UBS. Rheumatologic diseases. Dalam : Baum GL, Wolinsky E
(eds.) Textbook of Pulmonary Diseases. 5th ed, New York : Little, Brown
KEPUSTAKAAN & Co, 1994; hal 1471-6.
7. Mills JA. Medical Progress : Systemic Lupus Erythematosus. New Engl J
1. Gladman DD, Urowitz MB. Systemic Lupus Erythematosus – Clinical Med 1994; 330 : 26; 1871-9.
and laboratory features. Dalam Klippel JH (ed.) Primer on the Rheumatic 8. Quismorio Jr, FP. Pulmonary manifestations of Systemic Lupus
Diseases. 11th ed. Arthritis Foundation, Atlanta; GA, 1997; hal 251-7. Erythematosus. Dalam : Wallace DJ, Hahn BJ (eds). Dubois’ Lupus
2. Keane MP, Lynch III JP. Pleuropulmonary manifestations of systemic Erythematosus. 5th ed, Baltimore : Williams & Wilkins, 1997, hal 673-92.
lupus erythematosus. Thorax 2000; 55(2): 159-66. 9. Petri MA. Systemic Lupus Erythematosus : Clinical aspects. Dalam :
3. Orens JB, Martinez FJ, Lynch JP III. Pleuropulmonary manifestations of Koopman WJ (ed). Arthritis and Allied Conditions – A Textbook of
systemic lupus erythematosus. Rheum Dis Clin North Am 1994; 20 : 159- Rheumatology. 14th ed, Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins,
93. 2001; hal 1455-79.

34 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004


HASIL PENELITIAN

Populasi Mesocyclops aspericornis


pada Pengendalian Jentik
Aedes aegypti Menggunakan Metode
Simulasi Kandang Nyamuk
RA Yuniarti, Umi Widyastuti
Balai Penelitian Vektor dan Reservoir Penyakit, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Salatiga

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan intuk mengetahui peningkatan populasí Mesocyclops


aspericornis pada pengendalian jentik nyamuk Aedes aegyptì di laboratorium meng-
gunakan metode simulasi kandang nyamuk.
Penelitian ini dilakukan di dalam kandang nyamuk, yang tempat perindukan
nyamuknya (stoples plastik) diberi Mesocyclops aspericornis. Penelitian dilakukan
selama 12 minggu pengamatan, dengan menghitung jumlah Mesocyclops aspericornis,
pradewasa dan dewasa Aedes aegypti, 1 (satu) minggu sekali. Hasíl penelitian me-
nunjukkan bahwa populasi copepoda M. aspericornis meningkat secara eksponensial
dengan adanya jentik Ae. aegypti yang melimpah sebagai sumber makanan, dalam
waktu 3 minggu. Setelah 3 minggu, kepadatan populasi jentik nyamuk Ae. aegypti
terlihat menurun, demikian pula jumlah nyamuk yang dihasilkannya. Setelah minggu
ke-7 tidak dítemukan jentik.
M. aspericornis mampu bertahan hidup antara 2,5-3 bulan di dalam stoples plastik
dengan volume air 2 liter, dan makanan yang cukup.

PENDAHULUAN albopictus di ban roda bekas di New Orleans Timur.2 Species


Penyakit demam berdarah di Indonesia sampai saat ini ini juga telah digunakan dalam pengendalian jentik nyamuk
masih merupakan masalah kesehatan masyarakat. Penyakit Aedes aegypti di Honduras.3 Pada penelitian menggunakan
demam berdarah dilaporkan pertama kali terjadi di kota metode simulasi kandang, dengan M. darwini populasi jentik
Surabaya dan Jakarta tahun 1968. Pada tahun 1985 penyakit ini Ae. aegypti berhasil diturunkan dalam waktu 3 minggu dan
telah meluas sampai 26 dari 27 provinsi di Indonesia. Penyakit semua dewasa nyamuk mati dalam waktu 8 minggu.4 Dilapor-
tersebut endemis di kota-kota besar, kota kecil dan pedesaan.1 kan pula bahwa populasi M. longisetus meningkat secara
Berbagai upaya untuk mengendalikan vektor penyakit tersebut eksponensial dengan melimpahnya jentik Ae. aegypti.5
telah dilakukan baik secara kimia, fisik, maupun secara hayati. Evaluasi secara laboratorium sangat diperlukan sebelum
Timbulnya resistensi nyamuk terhadap insektisida men- dilakukan usaha pengendalian vektor penyakit di lapangan.
dorong dikembangkannya jasad hayati sebagai alternatif untuk Salah satu cara untuk mengetahui kemampuan berkembangnya
mengendalikan jentik nyamuk vektor. Salah satu jasad hayati M. aspericornis pada pengendalian jentik nyamuk adalah
yang digunakan adalah Mesocyclops aspericornis. M. asperi- dengan menggunakan kandang nyamuk di laboratorium, se-
cornis telah dilaporkan sebagai jasad pengendali jentik Aedes bagai tempat hidup nyamuk vektor.

Dibacakan pada Seminar Hasil-hasil Penelitian Stasiun Penelitian Vektor


Penyakit, Salatiga, 24 Maret 1998
Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 35
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui populasi M. tempat hidup M. aspericornis dan pradewasa nyamuk Ae.
aspericornis pada pengendalian jentik Ae. Aegypti di dalam aegypti. Dengan menurunnya populasi jentik Ae. aegypti yang
kandang nyamuk di laboratorium. merupakan makanan Copepoda M. aspericornis, jumlah
Copepoda juga menurun; hal ini sesuai dengan keseimbangan
BAHAN DAN CARA KERJA populasi di alam, yang diatur oleh adanya sumber makanan
A. Waktu dan Tempat Penelitian alternatif. Penurunan jumlah M. aspericornis dapat disebabkan
Penelitian dilakukan di Laboratorium Stasiun Penelitian oleh kanibalisme di antara copepoda itu sendiri karena pada
Vektor Penyakit, Salatiga, pada bulan Mei sampai Agustus kondisi makanan yang minim M. aspericornis cenderung
1997. menjadi kanibal.6 Keterbatasan makanan menyebabkan repro-
duksi dan perkembangan copepoda menjadi lebih lama, karena
B. Bahan Penelitian menurunkan produktivitas clutch (kantong air), yang meliputi
Penelitian ini menggunakan jasad hayati Copepoda M. penurunan ukuran kantong telur dan pertumbuhan kantong
aspericornis betina yang berukuran 1,3 mm dan nyamuk Ae. telur yang lebih lama.6 Predasi M. aspericornis menyebabkan
aegypti betina umur 5 hari yang kenyang darah, masing-masing jumlah pradewasa yang menjadi dewasa sedikit sekali bahkan
25 ekor. pada minggu ke-7 sudah habis, sehingga pada pengamatan
minggu ke-12 tidak dijumpai nyamuk dewasa Ae. aegypti lagi
C. Cara Kerja (Gambar 1).
Prosedur penelitian dilakukan menurut metode Brown et
al. (1991) yang dimodifikasi4, sebagai berikut: Tabel 1. Jumlah M. aspericornis, pradewasa dan dewasa Ae. aegypti
selama 12 minggu pengamatan.
− M. aspericornis dan nyamuk Ae. aegypti diperoleh dari
hasil pemeliharaan di laboratorium Stasiun Penelitian Vektor Jumlah*
Penyakit, Salatiga. Minggu Pradewasa Dewasa
M. aspericornis
− M. aspericornis betina sebanyak 25 ekor dimasukkan ke Ae. aegypti Ae. aegypti
Kontrol Perlk. Kontrol Perlk. Kontrol Perlk.
dalam stoples plastik yang berisi 2 liter akuades, sedangkan
0 0 25 0 0 25 25
untuk kontrol, stoples tidak diberi M. aspericornis. 1 0 28 17 0 25 25
− Masing-masing stoples tadi dimasukkan ke dalam kandang 2 0 346 695 469 29 25
yang terpisah dengan ukuran 60x60x60 cm3, kemudian nyamuk 3 0 387 1556 71 55 25
Ae. aegypti betina kenyang darah sebanyak 25 ekor dimasuk- 4 0 340 1210 33 63 29
5 0 298 1225 31 72 32
kan ke dalam kandang tersebut. Medium di dalam stoples
6 0 281 1379 3 75 35
digunakan untuk tempat bertelur dan tempat hidup stadium 7 0 278 1175 0 88 34
pradewasa Ae. aegypti. 8 0 248 1112 0 92 22
− Setiap 2 hari sekali nyamuk diberi makan darah marmut, 9 0 269 1280 0 130 15
sedangkan untuk pemelihaan stadium pradewasa Ae. aegypti 10 0 222 1223 0 185 7
11 0 30 1372 0 139 3
diberi makanan berupa dog food setiap hari.
12 0 23 1200 0 139 0
− Percobaan dilakukan selama 3 bulan dengan waktu peng-
amatan setiap 1 minggu sekali. Pengamatan dilakukan dengan Keterangan :
cara menghitung jumlah M. aspericornis, stadium pradewasa Purata 3 X ulangan
dan dewasa Ae. aegypti.
− Ulangan dilakukan sebanyak 3 kali. Di dalam kandang kontrol, pradewasa Ae. aegypti pada
− Suhu dan pH air selama pengamatan berkisar antara 22- minggu 1 sudah memperlihatkan peningkatan (17 ekor),
25° C dan 7. selanjutnya meningkat lagi pada minggu ke-2 dan ke-3
berturut-turut 695 dan 1556 ekor. Sedangkan jumlah dewasa
HASIL DAN PEMBAHASAN Ae. aegypti meningkat mulai minggu ke-2 (29 ekor) dan
Populasi M. aspericornis, pradewasa dan dewasa Ae. mencapai jumlah terbanyak pada minggu ke-10 (185 ekor).
aegypti selama 12 minggu pengamatan, menggunakan metode Jumlah pradewasa dan dewasa nyamuk Ae. aegypti meningkat
simulasi kandang nyamuk, disajikan pada Tabel 1 dan sampai batas daya dukung kandang yang optimum; yang
Gambar 1. dibatasi oleh faktor kompetisi makanan dan ruang (kandang). 7
Pada kandang perlakuan terlihat bahwa populasi Copepoda Dari hasil pengamatan diketahui pula bahwa Copepoda M.
M. aspericornis meningkat secara eksponensial dengan adanya aspericornis mampu bertahan hidup antara 2,5-3 bulan dalam
jentik Ae. aegypti yang melimpah, sebagai sumber makanan, stoples plastik dengan volume air 2 (dua) liter, dan makanan
dalam 3 minggu. Peningkatan jumlah Copepoda M. asperi- yang cukup.
cornis terjadi pada minggu ke-2 (346 ekor), dan pada minggu
ke-3 mencapai jumlah terbanyak yaitu 387 ekor, selanjutnya KESIMPULAN
berangsur menurun, hingga pada minggu ke-12 menjadi 23 Populasi Copepoda M. aspericornis meningkat secara
ekor. Peningkatan populasi M. aspericornis terjadi karena eksponensial dengan adanya jentik Ae. aegypti yang melimpah
adanya populasi jentik nyamuk vektor yang melimpah sebagai sebagai sumber makanan dalam 3 minggu. Akibatnya kepadat-
sumber makanan, di dalam stoples yang digunakan sebagai an populasi jentik Ae. aegypti terlihat menurun, demikian pula

36 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004


jumlah nyamuk yang dihasilkannya. Setelah minggu ke-7 tidak
2. Marten GG, ES Bordes, Nguyen. Evaluation of Cyclopoid Copepods for
ditemukan jentik nyamuk lagi. M. aspericornis mampu ber- Ae. albopictus Control in Tires.. New Orleans Mosquito Control Board.
tahan hidup antara 2,5-3 bulan, dalam stoples plastik dengan New Orleans. LA, 1990; 70126.
volume air 2 (dua) liter, dan makanan yang cukup. 3. Marten. GG, G Borjas, Cush M, Fernandez E, Reid JW. Control of Larval
Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) by Cyclopoid Copepods in Perido-
mestic Breeding Containers. J Med Entomol. 1994; 31(1): 36-44.
UCAPAN TERIMA KASIH 4. Kay BH, Cabral CP, Sleigh AC, Brown MD, Ribeiro ZM, Vasconcelos
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala AW. Laboratory Evaluation of Brazilian Mesocyclops (Copepoda :
Stasiun Penelitian Vektor Penyakit dan Ketua Kelompok Peneliti SPVP, yang Cyclopidae) for Mosquito Control. J Med Entomol, 1992; 29(4): 599-602.
telah memberi saran dan bimbingan hingga selesainya makalah ini. Di 5. Brown MD, Kay BH, Hendrikz JK.. Evaluation of Australian Meso-
samping itu kami ucapkan terima kasih kepada para teknisi yang telah cyclops (Cyclopoida : Cyclopidae) for Mosquito Control. Entomological
membantu pelaksanaan penelitian ini. Society of America, 1991; 28(5): 618-23.
6. Williamson CE. Copepoda. In: Ecology aad Classification of North
KEPUSTAKAAN American Freshwater Invertebrates. Academic Press Inc, 1991; 787-822.
7. Brown MD, Kay BH, Greenwood JG. The Predation Efficiency of North-
1. Sumarmo. Dengue Haemorrhagic Fever in Indonesia. Pathogenesis and Eastern Australian Mecocyclops (Copepoda : Cyclopoida) on Mosquito
Management of Dengue Haemorrhagic Fever in Southeast Asia. Seameo Larvae. Bull Plankton Soc Japan, Spec, 1991; Vol 329-38.
Tropmed. Bangkok, 1987 vol. 18(3).

Jumlah nyamuk
Jumlah Copepoda
1800 400
M.aspericornis
Nymk.pradewasa(K)
1600 Nymk.pradewasa(P)
Ae.aegypti(P)
Ae.aegypti(K)
1400
300

1200

1000
200
800

600

100
400

200

0 0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Minggu pengamatan

Gambar 1. Jumlah M. aspericornis, pradewasa, dan dewasa Ae. aegypti selama 12 minggu pengamatan.

Happy they who steadily pursue a middle course

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 37


HASIL PENELITIAN

Uji Efikasi Formulasi Cair (Liquid)


Bacillus thuringiensis H-14 Galur Lokal
pada Berbagai Fermentasi terhadap
Jentik Nyamuk Vektor
di Laboratorium
Blondine Ch.P, Damar Tri Boewono
Balai Penelitian Vektor dan Reservoir Penyakit, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Salatiga

ABSTRAK

Bacillus thuringiensis H-14 yang juga disebut dengan Bt H-14 adalah bio-
insektisida yang bersifat spesifik terhadap target serangga sasaran, aman bagi golong-
an mamalia, dan tidak mencemari lingkungan. Uji efikasi formulasi cair Bt H-14 galur
lokal dilakukan pada fermentasi 18 jam, 20 jam, 22 jam, 24 jam dan 25 jam. Tujuan
penelitian untuk mengetahui efikasi Bt H-14 galur lokal pada berbagai fermentasi
terhadap jentik Anopheles aconitus dan Culex quinquefasciatus instar IΠ akhir.
Hasil perhitungan jumlah sel hidup dan jumlah spora hidup formulasi cair Bt H-14
galur lokal pada fermentasi 18 jam, 20 jam, 22 jam, 24 jam dan 25 jam berturut-turut
adalah 4,5x107 sel/ml dan 10,9x107 spora/ml; 5,5x108 sel/ml dan 8,6x108 spora/ml;
10,2x108 sel/ml dan 9,0x108 spora/ml; 10,0x108 sel/ml dan 12,8x108 spora/ml; sería
9,2x108 sel/ml dan 11,2x108 spora/ml. Konsentrasi yang dibutuhkan untuk mengen-
dalikan 50% dan 90% jentik An. aconitus instar IΠ akhir selama 24 jam pengujian
pada fèrmentasi 18 jam, 20 jam, 22 jam, 24 jam dan 25 jam berturut-turut adalah 0,016
ml/1 (LC50), 0,082 ml/1 (LC90); 0,009 ml/1 (LC50), 0,058 ml/1 (LC90); 0,008 ml/l
(LC50), 0,021 ml/1 (LC90); 0,002 ml/l (LC50), 0,008 ml/l (LC90) serta 0,005 ml/1 (LC50)
dan 0,021 ml/1 (LC90). Pada 48 jam pengujian, membutuhkan konsentrasi sebesar 0,012
ml/Ί (LC50), 0,078 ml/1 (LC90); 0,001 ml/1 (LC50), 0,011 ml/1 (LC90); 0,005 ml/1
(LC50), 0,016 ml/1 (LC90); 0,001 ml/1 (LC50), 0,004 ml/1 (LC90); serta 0,001 ml/1
(LC50) dan 0,012 ml/1 (LC90). Konsentrasi yang dibutuhkan untuk mengendalikan 50%
dan 90% jentik Cx. quinquefasciatus instar IΠ akhir selama 24 jam pengujian pada
fermentasi 18 jam, 20 jam, 22 jam, 24 jam dan 25 jam berturut-turut adalah 0,002 ml/1
(LC50), 0,008 ml/1 (LC90); 0,002 ml/1 (LC50), 0,009 ml/1 (LC90); 0,002 ml/l (LC50),
0,013 ml/1 (LC90); 0,001 ml/1 (LC50), 0,002 ml/1 (LC90); serta 0,001 ml/1 (LC50)
dan 0,002 ml/1 (LC90). Konsentrasi terkecil formulasi cair Bt H-14 galur lokal uníuk
mengendalikan 50% dan 90% jentik An. aconitus dan Cx. quinquefasciatus adalah
konsentrasi pada fermentasi 24 jam Bt H-14 galur lokal. Dengan demikian formulasi
cair Bt H-14 galur lokal efektif dalam mengendalikan jentik nyamuk vektor.

Kata kunci: Uji efíkasi, Bt H-14 galur lokal, An. aconitus, Cx. quinquefasciatus

PENDAHULUAN quinquefasciatus telah dilakukan di laboratorium Pusat Antar


Penggunaan Bacillus thuringiensis H-14 untuk pengendali- Universitas (PAU), Yogyakarta dan Balai Penelitian Vektor
an vektor malaria Anopheles aconitus dan vektor filaria Culex Penyakit (BPVRP), Salatiga. Bacillus thuringiensis H-14

38 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004


adalah agen mikrobial yang bersifat spesifik terhadap target (perlakuan 1), dan digoyang selama 24 jam, 175 rpm, pada
serangga sasaran khususnya jentik nyamuk dan jentik lalat suhu 30° C.
hitam. Aman bagi golongan mamalia, dan tidak mencemari 2) Fermentasi B. thuringiensis H-14 galur lokal
lingkungan sehingga dapat dikembangkan sebagai agen pe- Lima puluh inokulum yang diambil dari 100 ml TPB
ngendali vektor, khususnya vektor malaria dan fìlaria. (perlakuan 1), dimasukkan ke dalam fermenter steril berisi 950
Salah satu karakteristik B. thuringiensis H-14 adalah ml TPB, pada suhu 30°C, 300 rpm dan aerasi 10%. Dilaku-
dapat memproduksi kristal protein toksik di dalam sel kan sampling pada fermentasi 18 jam, 20 jam, 22 jam, 24 jam
bersama-sama dengan spora pada saat sel mengalami dan 25 jam. Sesudah itu dilakukan penghitungan jumlah sel
sporulasi(1). hidup dan jumlah spora hidup menurut Soesanto (1992) serta
Bacillus thuringiensis H-14 galur lokal hasil temuan uji patogenisitasnya pada berbagai fermentasi.
BPVRP yang diperbanyak dalam formulasi cair (liquid) 3) Uji patogenisitas formulasi cair B. thuringiensis H-14
telah diketahui mempunyai daya bunuh yang tinggi terhadap galur lokal.
jentik nyamuk vektor (2). Untuk mendapatkan konsentrasi formulasi cair B.
Mengingat pentingnya penurunan kasus malaria dan thuringiensis H-14 galur lokal yang efektif (LC50 dan LC90)
filaria, maka perlu dilakukan penelitian pengendalian jentik membunuh jentik An. aconitus dan Cx. quinquefasciatus
An. aconitus dan Cx. quinquefasciatus menggunakan jasad dilakukan cara WHO (1989)(3). Larutan stok formulasi cair B.
hayati B. thuringinesis H-14 galur lokal. thuringiensis H-14 galur lokal pada fermentasi 18 jam, 20 jam,
Bacillus thuringiensis H-14 galur lokal formulasi 22 jam, 24 jam dan 25 jam, dibuat dengan cara mengambil
cair akan diuji patogenisitasnya pada 18 jam, 20 jam, 22 jam, 0,1 ml formulasi cair B. thuringiensis H-14 galur lokal dari
24 jam dan 25 jam fermentasi dengan tujuan untuk memperoleh masing-masing fermentasi dan berturut-turut dimasukkan ke
dosis galur lokal yang efektif dalam mengendalikan jentik dalam beaker glass berukuran 500 ml, ditambahkan 99,9 ml
nyamuk vektor. akuades dan dikocok sampai homogen. Dari masing-
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efikasi masing larutan stok tersebut selanjutnya diambil berturut-
formulasi cair (liquid) B. thuringiensis H-14 galur lokal turut sebanyak 1 ml, 3 ml, 5 ml, 7 ml, 10 ml, 30 ml dan 50 ml
pada berbagai fermentasi terhadap jentik An. aconitus dan menggunakan pipet dan dimasukkan ke dalam mangkok
Cx. quinquefasciatus di laboratorium. plastik yang berisi 20 ekor jentik An. aconiîus instar III akhir
dengan jumlah akuades sebanyak 99 ml, 97 ml, 95 ml, 93 ml,
90 ml dan 70 ml untuk memperoleh konsentrasi final yang
BAHAN DAN CARA KERJA dibutuhkan yaitu 0,0001 ml/1, 0,0003 ml/1, 0,0005 ml/1,
Bahan 0,0007 ml/1, 0,001 ml/1, 0,003 ml/1 dan 0,005 ml/1 berturut-
Formulasi cair (liquid) B. thuringiensis H-14 galur lokal. turut dalam volume total sebanyak 100 ml. Ulangan dilakukan
Jentik An. aconitus dan Cx. quinquefasciatus instar III akhir sebanyak 3 kali. Sebagai kontrol, mangkok plastik hanya diisi
hasil kolonisasi laboratorium. dengan 100 ml akuades dan 20 ekor jentik An. aconitus.
Cara Kerja Pengujian patogenisitas formulasi cair B. thuringiensis H-
1) Identifikasi koloni B. thuringiensis H.-14 galur lokal 14 galur lokal terhadap jentik Cx. quinquefasciatus instar
Inokulasi B. thuringiensis H-14 galur lokal pada media III akhir, dilakukan dengan cara yang sama.
agar miring NYSMA diinkubasikan selama 48 jam pada suhu Kematian jentik An. aconitus dan Cx. quinquefasciatus
30°C. Biakan murni yang diperoleh dalam media NYSMA diamati setelah 24 jam dan 48 jam pengujian. Penentuan nilai
dimurnikan kembali dengan cara diinokulasi pada media BHIA LC50 dan LC90 mengggunakan analisis probit (3).
(Brain Heart Infusion Agar) yang telah diberi 0,00018% anti-
biotik Chloramphenicol untuk menghambat pertumbuhan bakteri HASIL DAN PEMBAHASAN
lain seperti Pseudomonas, Streptococcus dan Staphylococcus, Hasil penghitungan jumlah sel hidup dan jumlah spora
sehingga diperoleh koloni tunggal B. thuringiensis H-14 yang hidup formulasi cair B. thuringiensis H-14 galur lokal pada
kemudian diinkubasikan selama 48 jam pada suhu 30° C. fermentasi 18 jam, 20 jam, 22 jam, 24 jam dan 25 jam serta uji
Sesudah 48 jam diamati morfologinya, dilakukan pengecatan patogenisitasnya terhadap jentik An. aconitus instar III akhir
koloni B. thuringiensis H-14 tunggal tersebut dengan meng- disajikan pada Tabel 1.
gunakan Napthalene black 2 menit dan Gurr’s improved R66 Fermentasi B. thuringiensis H-14 galur lokal selama 18
selama 1 menit untuk melihat adanya kristal protein toksin dan jam menghasilkan jumlah sel hidup dan jumlah spora hidup
spora yang benar-benar murni (tidak terkontaminasi). Dari masing-masing sebesar 4,5x107 sel/ml dan 10,9x107 spora/ml
kultur murni B. thuringiensis H-14 galur lokal yang diperoleh, yang dapat mengendalikan 50% dan 90% jentik An. aconitus
diambil 1 ose (sengkelit) dan dimasukkan ke dalam 50 ml pada konsentrasi 0,016 ml/ (LC50) dan 0,082 ml/1 (LC90)
TPB (Tryptose Phosphate Broth) dalam Erlenmeyer ber- selama 24 pengujian. Pada pengujian selama 48 jam dibutuh-
ukuran 250 ml, kemudian digoyang (shake) selama 24 jam, kan konsentrasi sebesar 0,012 ml/1 (LC50) dan 0,078 ml/1
175 rpm pada suhu 30° C. Sesudah diinkubasi, dibuat (LC90). Fermentasi B. thuringiensis H-14 galur lokal selama
pengecatan kembali kultur tersebut, untuk melihat spora dan 20 jam, menghasilkan jumlah sel hidup dan jumlah spora hidup
kristal protein toksik yang benar-benar murni. Biakan murni berturut-turut sebesar 5,0x108 sel/ml dan 8,6x108 spora/ml
yang diperoleh diinokulasikan lagi ke dalam 100 ml TPB yang dapat mengendalikan 50% dan 90% jentik An. aconitus

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 39


pada dosis 0,009 ml/1 (LC50) dan 0,058 ml/1 (LC90) selama Tabel 2. Jumlah sel hidup dan jumlah spora hidup formulasi cair B.
thuringiensia H-14 galur lokal pada fermentasi 18 jam, 20 jam,
24 jam pengujian. Pengujian selama 48 jam membutuhkan
22 jam, 24 jam dan 25 jam serta uji patogenisitasnya terhadap
konsentrasi 0,001 ml/1 (LC50) dan 0,011 ml/1 (LC90). Fer- jentik Culex quinquefasciatus
mentasi B. thuringiensis H-14 galur lokal selama 22 jam,
menghasilkan jumlah sel hidup dan jumlah spora hidup Bt H-14
Kematian 50% dan 90% jentik
berturut-turut sebesar 10,2x108 sel/ml dan 9,0x108 spora/ml Galur
Jumlah Jumlah Cx. quinquefasciatus
sel hidup spora hidup 24 jam (ml/l) 48 jam (ml/l)
yang dapat mengendalikan 50% dan 90% jentik An. aconitus Lokal (jam)
LC50 LC90 LC50 LC90
pada konsentrasi 0,008 ml/1 (LC50) dan 0,021 ml/1 (LC90) 18 4,5x107 10,9x107 0,002 0,008 0,001 0,006
selama 24 jam pengujian. Pengujian selama 48 jam membutuh- 20 5,0x108 8,6x108 0,002 0,009 0,001 0,005
kan konsentrasi 0,005 ml/l (LC50) dan 0,016 ml/1 (LC90). 22 10,2x108 9,0x108 0,002 0,013 0,001 0,004
24 10,0x108 12,8x108 0,001 0,002 0,001 0,001
Fermentasi B. thuringiensis H-14 galur lokal selama 24 jam, 25 9,2x108 1,2x108 0,001 0,003 0,001 0,002
menghasilkan jumlah sel hidup dan jumlah spora hidup
masing-masing sebesar 10,0x108 sel/ml dan 12,8x108 spora/ml
dapat mengendalikan 50% dan 90% jentik An. aconitus pada
quinquefasciatus instar ΠI akhir pada konsentrasi 0,002 ml/1
konsentrasi 0,002 ml/l (LC50) dan 0,008 ml/1 (LC90) selama
(LC50) dan 0,008 ml/l (LC90) selama 24 jam pengujian pada
24 jam pengujian. Pengujian selama 48 jam, membutuhkan
fermentasi 18 jam. Pengujian selama 48 jam, membutuhkan
konsentrasi sebesar 0,001 ml/1 (LC50) dan 0,004 ml/1 (LC90).
konsentrasi sebesar 0,001 ml/1 (LC50) dan 0,006 ml/1 (LC90).
Fermentasi 25 jam menghasilkan jumlah sel hidup dan jumlah
Fermentasi B. thuringiensis H-14 selama 20 jam, memperoleh
spora hidup masing-masing sebesar 9,2x108 sel/ml dan
jumlah sel hidup dan jumlah spora hidup masing-masing
11,2x108 spora/ml dapat mengendalikan 50% dan 90% jentik
sebesar 5,0x108 sel/ml dan 8,6x108 spora/ml, mampu mengen-
An. aconitus pada konsentrasi 0,005 ml/1 (LC50) dan 0,021
dalikan 50% dan 90% jentik Cx. quinquefasciatus pada konsen-
ml/1 (LC90) selama 24 jam pengujian. Pada pengujian selama
trasi 0,002 ml/1 (LC50) dan 0,009 ml/1 (LC90) selama 24 jam
48 jam, dibutuhkan konsentrasi sebesar 0,001 ml/1 (LC50) dan
pengujian. Pengujian selama 48 jam, membutuhkan konsentrasi
0,012 ml/1 (LC90). Konsentrasi terkecil untuk mengendalikan
sebesar 0,001 ml/l (LC50) dan 0,005 ml/1 (LC90). Fermentasi
jentik An. aconitus adalah formulasi cair B. thuringiensis H-14
selama 22 jam, menghasilkan jumlah sel hidup dan jumlah
galur lokal pada fermentasi 24 jam yaitu LC90 (0,008 ml/1)
spora hidup masing-masing sebesar 10,2x108 sel/ml dan
diikuti fermentasi 22 jam (0,021 ml/1), fermentasi 20 jam
9,0x108 spora/ml, mampu mengendalikan 50% dan 90% jentík
(0,058 ml/l) dan fermentasi 18 jam (0,082 ml/1). Sedangkan
Cx. quinquefαsciαtus pada konsentrasi 0,002 ml/l (LC50) dan
konsentrasi yang dibutuhkan untuk mengendalikan jentik An.
0,013 ml/1 (LC90) selama 24 jam pengujian. Pengujian selama
aconiìus pada fermentasi 25 jam adalah sama dengan fer-
48 jam, membutuhkan konsentrasi sebesar 0,001 ml/l (LC50)
mentasi pada 22 jam yaitu 0,021 ml/1 (LC90). Ini menun-
dan 0,004 ml/1 (LC90). Fermentasi selama 24 jam, meng-
jukkan bahwa toksin bakteri B. thuringiensis H-14.(1)
hasilkan jumlah sel hidup dan jumlah spora hidup masing-
Tabel 1. Jumlah sel hidup dan jumlah spora hidup formulasi cair B. masing sebesar 10,0x108 sel/ml dan 12,8x108 spora/ml mampu
thuringiensis H-14 galur lokal pada fermentasi 18 jam, 20 jam, 22 mengendalikan 50% dan 90% jentik Cx. quinquefasciatus pada
jam, 24 jam dan 25 jam serta uji patogenisitasnya terhadap konsentrasi 0,001 ml/1 (LC50) dan 0,002 ml/l (LC90) selama
jentik nyamuk Anopheles aconitus 24 jam pengujian. Pengujian selama 48 jam, membutuhkan
Kematian 50% dan 90% jentik
konsentrasi sebesar 0,001 ml/l pada LC50 dan LC90. Fermen-
Bt H-14
Jumlah Jumlah An. aconitus tasi formulasi cair B. thuringiensis H-14 galur lokal pada
Galur
Lokal (jam)
sel hidup spora hidup 24 jam (ml/l) 48 jam (ml/l) fermentasi 25 jam, menghasilkan jumlah sel hidup dan spora
LC50 LC90 LC50 LC90 hidup masing-masing sebesar 9,2x108 sel/ml dan 11,2x108
18 4,5x107 10,9x107 0,016 0,082 0,012 0,078 spora/ml, mampu mengendalikan 50% dan 90% jentik Cx.
20 5,0x108 8,6x108 0,009 0,058 0,001 0,011
22 10,2x108 9,0x108 0,008 0,021 0,005 0,016 quinquefasciatus pada konsentrasi 0,001 ml/l (LC50) dan 0,003
24 10,0x108 12,8x108 0,002 0,008 0,001 0,004 ml/l (LC90) selama 24 jam pengujian. Pengujian selama 48
25 9,2x108 1,2x108 0,005 0,021 0,001 0,012 jam, membutuhkan konsentrasi sebesar 0,001 ml/1 (LC50) dan
0,002 ml/1 (LC90). Seperti halnya jentik An. aconitus, konsen-
Pertumbuhan yang baik untuk memperbanyak spora dan trasi terendah untuk mengendalikan jentik Cx. quinquefasciatus
kristal formulasi cair B. thuringiensis galur lokal adalah pada adalah konsentrasi pada 24 jam fermentasi yaitu LC90 (0,002
24 jam fermentasi. Hal ini sesuai dengan fase pertumbuhan ml/1). Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan dan perkem-
bakteri B. thuringiensis yang sempurna pada 24 jam inkubasi. bangan spora dan kristal B. thuringiensis H-14 optimal atau
Hasil perhitungan jumlah sel hidup dan jumlah spora hidup sempurna selama 24 jam fermentasi. Perbedaan konsentrasi B.
formulasi cair B. thuringiensis H-14 galur lokal pada thuringiensis H-14 galur lokal pada berbagai fermentasi dapat
fermentasi 18 jam, 20 jam, 22 jam, 24 jam dan 25 jam serta uji disebabkan oleh perilaku makan instar jentik, ada tidaknya
patogenisitasnya terhadap jentik Cx. quinquefasciatus instar III toksin di daerah makan jentik (larval feeding zone) serta
akhir disajikan pada Tabel 2. tingkat sedimentasi/pengendapan yang dapat mempengaruhi
Jumlah sel hidup dan jumlah spora hidup B. thuringiensis efektivitasnya(4). Berdasarkan perilaku makan jentik, maka
H-14 masing-masing sebesar 4,5x107 sel/ml dan 10,9x107 jentik An. aconitus biasa mengambil makanan di daerah per-
spora/ml, mampu mengendalikan 50% dan 90% jentik Cx. mukaan air (lebih kurang 1-2 mm) sedangkan di bawah per-

40 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004


mukaan air, merupakan daerah makan jentik Cx. quinque- formulasi cair B. thuringiensis H-14 galur lokal pada tempat-
fasciatus (5). Jumlah sel hidup dan jumlah spora hidup tidak tempat perindukan jentik An. aconitus dan Cx. quinque-
sama pada berbagai fermentasi formulasi cair B. thuringiensis fasciatus menggunakan konsentrasi aplikasi terkecil.
H-14 galur lokal (Tabel 1, 2), tetapi hal ini tidak prinsipil; yang
lebih penting adalah toksisitas atau daya bunuhnya terhadap KEPUSTAKAAN
jentik nyamuk (6). 1. WHO. Data sheet on the biological control agent Bacillus
thuringiensis serotype H-14. WHO/VBC, 1979; 79.750.13 p.
2. Blondine ChP. Penggunaan strain lokal Bacillus thuringiensis
KESIMPULAN DAN SARAN sebagai pengendalian vektor jentik nyamuk. Laporan Akhir
Penelitian Rutin. 1998/1999.
Konsentrasi formulasi cair B. thuringiensis H-14 galur 3. Finney DJ. Probit Analysis, 3rded. Cambridge Univ. Press.
lokal yang terkecil dan efektif mengendalikan jentik An. London. 1971.
aconitus dan Cx. quinquefasciatus adalah konsentrasi pada 4. Mulla MS, Darwazeh HA, Aly C. Laboratory and field studies
fermentasi 24 jam dengan jumlah sel hidup dan spora hidup on new formulations of two microbial agents against
mosquitoes. Bull. Soc. Vector. Ecol., 1986; 1 (2) : 255-63.
masing-masing sebesar 10,0x108 sel/ml dan 12,8x108 spora/ml 5. Becker N, Djakaria S, Kaiser A, Zulhasril O, Ludwig HW.
dan dapat mengendalikan 50% dan 90% jentik An. aconitus dan Efficacy of a new larvae tablet formulations of an
Cx. quinquefasciatus berturut-turut pada konsentrasi 0,002 ml/l Asporogenus strain of Bacillus thuringiensis israelensis
(LC50), 0,008 ml/l (LC90); 0,001 ml/l (LC50), 0,002 ml/l against of Adese aegypti. Bull. Soc. Vector. Ecol.. 1991; 16
(1): 1-7.
(LC90); selama 24 jam pengujian. Pengujian selama 48 jam, 6. Bulla LA,Jr, Faust RM, Wabiko H, Raymond KC. Insecticidal
membutuhkan konsentrasi 0,001 ml/l (LC50), 0,004 ml/l Bacilli in DA Dubanau (ed) : The Molucular Biology of the
(LC90) untuk jentik An. aconitus dan 0,001 ml/l (LC50 dan Bacilli. Acad. Press. Inc. London, 1985; p.186-210.
LC90) bagi jentik Cx. quinquefasciatus. 7. WHO. Informal consultation of becterial formulations for
effective vector control in endemic area. WHO/VBC, 1989;
89.979.

Penelitian akan dilanjutkan dengan melakukan penebaran

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 41


HASIL PENELITIAN

Uji Efikasi Insektisida Abate 500 EC


secara Pengabutan terhadap
Aedes aegypti
Hasan Boesri, Damar Tri Boewono, Hadi Suwasono
Balai Penelitian Vektor dan Reservoir Penyakit, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Salatiga

ABSTRAK

Uji penyemprotan terhadap Aedes aegypti menggunakan alat thermal fogging


dengan insektisida Abate 500 EC (dosis 60, 100, 120, dan 240 ml/ha) dan Icon 25 EC
(dosis 75 ml/ha) telah dilakukan pada pagi hari di perumahan Kotamadya Salatiga,
tahun 1998. Hasil evaluasi uji hayati (air bioassay) menunjukkan bahwa dengan jarak
2 meter, dosis 100, 120, dan 240 ml/ha mampu memberikan efek kematian Aedes
aegypti sebesar 100%, setelah diamati selama 24 jam di laboratorium.

PENDAHULUAN Insektisida yang digunakan adalah Abate 500 EC dosis 60


Di Indonesia penyebaran Aedes aegypti sebagai penular ml/ha, 100 ml/ha, 120 ml/ha, 240 ml/ha dan Icon 25 EC dosis
penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) makin meluas 75 ml/ha.
sesuai perkembangaan lingkungan.(1) Salah satu cara untuk
menghadapi letusan penyakit DBD adalah penyemprotan Cara Kerja
dengan sistim thermal fogging karena memiliki kelebihan dapat Pengujian dilakukan di daerah pemukiman penduduk di
memberikan kabut yang banyak sehingga dapat masuk ke Desa Kauman Kidul Kecamatan Sidorejo dan pemukiman
dalam ruangan secara merata. Sejak tahun 1972 hingga penduduk di Desa Warak, Kecamatan Sidomukti, Kodya
sekarang digunakan insektisida Malathion 96 EC.(3) Salatiga, pada bulan Nopember 1998. Pada uji bioassay, se-
Meskipun belum ada tanda-tanda kekebalan Aedes aegypti, belum penyemprotan disiapkan terlebih dahulu kurungan
dipandang perlu melakukan uji coba insektisida alternatif. nyamuk berukuran 12x12x12 cm, Kurungan tersebut digantung
Bahan kimia aktif temefos (Abate) diketahui efektif membunuh setinggi 1.60 meter dari tanah baik di dalam maupun di luar
nyamuk dan serangga lainnya(4). Penelitian ini bertujuan untuk rumah, ditempatkan pada jarak 5 meter dari rute penyem-
menguji efektivitas beberapa dosis insektisida Abate 500 EC protan. Tiap lokasi menggunakan 25 kurungan dan masing-
secara thermal fogging terhadap nyamuk Aedes aegypti. masing kurungan berisi 25 ekor nyamuk Aedes aegypti betina
kenyang darah. Pengamatan dan penghitungan jumlah nyamuk
yang mati atau pingsan dilakukan 15 menit dan 30 menit pasca
BAHAN DAN METODE penyemprotan. Setelah 60 menit, nyamuk di dalam kurungan
Serangga uji adalah nyamuk Aedes aegypti betina dipindahkan ke dalam monocup bersih (tidak terkontaminasi)
kenyang darah berumur 3-5 hari yang diambil dari tempat menggunakan aspirator kemudian dipelihara di laboratorium
koloni nyamuk. Alat yang digunakan berupa kurungan pema- untuk diamati jumlah kematiannya setelah 24 jam. Sebagai
paran berukuran 12x12x12 cm, aspirator, tabung penimpan kontrol dilakukan seperti di atas di daerah pembanding (tanpa
(cup), kapas, kain kasa, karet dan penyimpan nyamuk (box). penyemprotan). Suhu dan kelembaban nisbi udara selama

42 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004


periode pengujian diukur dan dicatat. Kriteria efikasi insek- ml/ha menghasilkan jumlah nyamuk pingsan sebanyak 0,50%,
tisida ditentukan berdasarkan persentase nyamuk pingsan dosis 100 ml/ha sebanyak 2,25%, dosis 120 ml/ha sebanyak
(knockdown) dan kematian (mortalitas) pada periode waktu 10,25%, dosis 240 ml/ha sebanyak 43,75% dan Icon 25 EC
uji.(5) dosis 75 ml/ha sebanyak 75,25%. Pengamatan 2 jam pasca pe-
ngabutan dosis 60 ml/ha menghasilkan jumlah nyamuk pingsan
Analisa data sebanyak 5,50%, dosis 100 ml/ha sebanyak 15,00%, dosis 120
Kriteria efikasi diambil berdasarkan waktu pingsan (knock ml/ha sebanyak 38,75%, dosis 240 ml/ha sebanyak 87,50% dan
down time) 50% dan 100% dari jumlah nyamuk uji. Persentase Icon EC dosis 75 ml/ha sebanyak 93,75%. Pengamatan 4 jam
kematian dihitung dari data yang telah dikoreksi dengan jumlah pasca pengabutan dosis 60 ml/ha menunjukkan jumlah nyamuk
nyamuk pingsan dan mati pada kontrol sbb : mati sebanyak 10,50%, dosis 100 ml/ha sebanyak 40,75%,
doiss 120 ml/ha sebanyak 38,75%, dosis 240 ml/ha sebanyak
Jumlah nyamuk pingsan /mati 100,00% dan Icon EC dosis 75 ml/ha sebanyak 100,00%.
Persentase nyamuk pingsan/mati = ---------------------------------------- x 100%
Jumlah nyamuk uji
Pengamatan 8 jam pasca pengabutan dosis 60ml/ha meng-
hasilkan jumlah nyamuk mati sebanyak 48,00%, dosis 100
Koreksi data ml/ha sebanyak 93,25%, dosis 120 ml/ha sebanyak 100,00%,
Jika persentase kematian pada kontrol antara 5-20% maka dosis 240 ml/ha sebanyak 100,00% dan Icon 25 EC dosis 75
data harus dikoreksi dengan rumus Abbot sbb : ml/ha sebanyak 100.00%. Pengamatan 12 jam pasca pengabut-
an dosis 60 ml/ha menunjukkan jumlah nyamuk mati sebanyak
A -B 52,00%, dosis 100,120,240 ml/ha (Abate 500 EC) dan Icon 25
A.1 = --------------- x 100%
100 -B EC dosis 75ml/ha masing-masing sebanyak 100,00%. Peng-
Keterangan : amatan 24 jam pasca pengabutan dosis 60 ml/ha menghasilkan
A.1 = Persentase kematian setelah dikoreksi jumlah nyamuk mati sebanyak 52,25%,dosis 100,120,240
A = Persentase kematian nyamuk uji
B = Persentase nyamuk kontrol
ml/ha (Abate 500EC) dan Icon 25 EC dosis 75 ml/ha masing-
masing sebanyak 100,00%.
Bila kematian pada kontrol lebih besar dari 20%, maka
pengujian dianggap gagal dan harus diulang. Efikasi insek- Kematian nyamuk uji Aedes aegypti di dalam rumah
tisida dinyatakan baik, apabila hasil pengujian menunjukkan Pengamatan 15 menit pasca pengabutan dosis 60, 100
angka kematian 90-100%; kurang baik jika kematian kurang ml/ha masing-masing menghasilkan jumlah nyamuk pingsan
dari 90%.(5) sebanyak 0,00%, dosis 120 ml ml/ha sebanyak 0,75%, dosis
240 ml/ha sebanyak 18,50% dan icon 25 EC dosis 75 ml/ha
Pengujian sebanyak 59,50%. Pengamatan 30 menit pasca pengabutan
Data dianalisis dengan uji F dalam Rancangan Acak Ke- dosis 60 ml/ha menghasilkan jumlah nyamuk pingsan sebanyak
lompok dengan perlakuan 10 (sepuluh) rumah ulangan dan 0,05%, dosis 100 ml/ha sebanyak 2.75% dan dosis 120 ml/ha
dilanjutkan dengan Uji Duncan (multiple range test) pada taraf sebanyak 7,75%, dosis 240 ml/ha sebanyak 32,75% dan icon
5% dan 1%.(6) 25 EC dosis 75 ml/ha sebanyak 59,50%. Pengamatan 1 jam
pasca pengabutan dosis 60 ml/ha menunjukkan jumlah nyamuk
pingsan sebanyak 1,00%, dosis 100 ml/ha sebanyak 9,50% dan
HASIL DAN PEMBAHASAN dosis 120 ml/ha sebanyak 18,00%, dosis 240 ml/ha sebanyak
Hasil penelitian uji insektisida Abate 500 EC dosis 60, 70,75% dan icon 25 EC dosis 75 ml/ha sebanyak 83,25%.
100, 120, 240 ml/ha yang dibandingkan dengan Icon 25 EC Pengamatan 2 jam pasca pengabutan dosis 60 ml/ha menunjuk-
dosis 75 ml/ha terhadap nyamuk Aedes aegypti dan Culex kan jumlah nyamuk pingsan sebanyak 8,25%, dosis 100 ml/ha
quinquefasciatus disajikan pada tabel 1 dan tabel 2. sebanyak 39,25% dan dosis 120 ml/ha sebanyak 47,00%, dosis
Pada penelitian ini pengaruh insektisida terhadap kematian 240 ml/ha sebanyak 99,75% dan icon 25 EC dosis 75 ml/ha
nyamuk uji ditentukan oleh angka kematian 24 jam pasca sebanyak 98,00%. Pengamatan 4 jam pasca pengabutan dosis
pengabutan.(7) 60 ml/ha diperoleh jumlah nyamuk mati sebanyak 20,25%
dosis 100 ml/ha sebanyak 56,50 % dan dosis 120 ml/ha
sebanyak 85,25% dosis 240 ml/ha dan icon 25 EC dosis 75
Kematian nyamuk Aedes aegypti di luar rumah ml/ha masing-masing sebanyak 100,00%. Pengamatan 8 jam
Pengamatan 15 menit pasca pengabutan dosis 60 dan 100 pasca pengabutan dosis 60 ml/ha menunjukkan jumlah nyamuk
ml/ha masing-masing mendapatkan jumlah nyamuk pingsan mati sebanyak 55,50%, dosis 100 ml/ha sebanyak 99,75% dan
sebanyak 0,00%, dosis 120 ml/ha sebanyak 1,00%. dosis 240 dosis 120 ml/ha dosis 240 ml/ha, dan icon 25 EC dosis 75ml/ha
ml/ha sebanyak 10.75% dan Icon dosis 75 ml/ha sebanyak sebanyak 100,00%. Pengamatan 12 jam pasca pengabutan
53,75%. Pengamatan 30 menit pasca pengabutan dosis 60ml/ha dosis 60 ml/ha menghasilkan jumlah nyamuk mati sebanyak
mendapatkan jumlah nyamuk pingsan sebanyak 0,50%, dosis 61,25% dosis 100 ml/ha sebanyak 99,75% dan dosis 120 ml/ha,
100 ml/ha sebanyak 0,75%, dosis 120 ml/ha sebanyak 1,75%, dosis 240 ml/ha (Abate500 EC) dan dosis 75 ml/ha (Icon 25
dosis 240 ml/ha sebanyak 13,50% dan Icon EC dosis 75 ml/ha EC) masing-masing sebanyak 100,00%. Pengamatan 24 jam
sebanyak 53,5%. Pengamatan 1 jam pasca pengabutan dosis 60 pasca pangabutan dosis 60 ml/ha menghasilkan jumlah nyamuk

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 43


mati sebanyak 75/75%, dosis 100, 120, 240 ml/ha. (Abate500 ml/ha terhadap nyamuk Aedes aegypti, KT 50 nya 14,3 jam;
EC) dan dosis 75 ml/ha (Icon 25 EC) masing-masing sebanyak dosis 100 ml/ha - 3,7 jam, dosis 120 ml/ha - 2,3 jam, dosis 240
100,00 % (Gambar 1). ml/ha - 0,9 jam dan dosis 75 ml/ha Icon 25 EC - 0,3 jam.
Analisis menggunakan uji F pada rancangan acak kelom- Sedangkan KT 90 pada pengabutan terhadap nyamuk Aedes
pok dan dilanjutkan uji Duncan, menghasilkan bahwa antara aegypti di luar rumah dosis 60 ml/ha sebesar 76,0 jam; dosis
keempat dosis 60, 100, 120, 240 ml/ha insektisida Abate.500 100 ml/ha sebesar 8,0 jam, dosis 120 ml/ha - 5,8 jam, dosis 240
EC, yang dibandingkan dengan dosis 75 ml/ha Icon 25 EC ml/ha - 2,4 jam dan dosis 75 ml/ha Icon 25 EC - 1,7 jam.
pada pengabutan di luar rumah maupun di dalam rumah me-
nunjukkan perbedaan bermakna pada tiap periode pengamatan KT 50 dan KT90 di dalam rumah
(P > 0,05). Hal ini karena pengaruh daya bunuh pada perbeda- Hasil perhitungan menggunakan program analisis probit,
an dosis aplikasi, sehingga diperoleh kisaran kematian Aedes menunjukkan bahwa pada pengabutan di dalam rumah dosis 60
aegypti pada setiap dosis. ml/ha terhadap nyamuk Aedes aegypti, KT50 nya - 9,0 jam;
Pada waktu pelaksanaan penelitian kecepatan angin dosis 100 ml/ha - 2,6 jam, dosis 120 ml/ha - 1,8 jam, dosis 240
berkisar 0-4 km per jam, suhu udara berkisar 24,0-26,00 C di ml/ha - 0,5 jam dan dosis 75 ml/ha Icon 25 EC - 0,2 jam.
dalam rumah dan 25,5-29,00 C di luar rumah. Pada awal peng- Sedangkan KT90 pada pengabutan terhadap nyamuk Aedes
amatan kelembaban udara di dalam rumah berkisar 63,0-76,0% aegypti di dalam rumah dosis 60 ml/ha diperoleh sebesar 36,9
dan 62,0-72,0% di luar rumah. Sedangkan pada akhir peng- jam; dosis 100 ml/ha - 26,5 jam, dosis 120 ml/ha - 4,8 jam,
amatan kelembaban udara 62,0-68,0% di dalam rumah dan dosis 240 ml/ha - 1,4 jam dan dosis 75 ml/ha Icon 25 EC - 1,2
62,0-67,0% di luar rumah. jam. Hasil analisis probit kematian nyamuk setelah 24 jam
pengabutan di dalam dan di luar rumah berdasarkan KT50 dan
KT 50 dan KT 90 di luar rumah KT90 menunjukkan bahwa semua dosis (60,100,120,240
Hasil perhitungan menggunakan program analisis probit, ml/ha) efektif (Gambar 2).
menunjukkan bahwa pada pengabutan di luar rumah dosis 60

100

90

80

70
Persentase kematian

60

50

40

30

20

10

0
60.ml/ha 100.ml/ha.] 120.ml/ha 240.ml/ha 75.ml/ha.Icon 25 EC
Dosis Abate 500 EC

Dalam rumah Luar rumah Kontrol

Gambar 1. Histogram kematian nyamuk Aedes aegypti di dalam dan luar rumah akibat pengabutan insektisida Abate 500 EC dan Icon 25 EC di
pemukiman penduduk

44 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004


80

70
LT .50.dalam rumah
60 LT .90.dalam rumah
LT .50.luar rumah
50
Waktu (Jam)

LT .90.luar rumah

40

30

20

10

0
60.ml/ha 100.ml/ha 120.ml/ha 240.ml/ha 75 ml/ha Icon 25
EC
Dosis Abate 500 EC

Gambar 2. Lethal time (lt) 50 dan 90 nyamuk Aedes aegypti pada pengabutan di dalam dan luar rumah dengan insektisida Abate 500EC
dan Icon 25 EC.

KESIMPULAN padatan telur Aedes aegypti dan Aedes albopictus berdasarkan ketinggi-an
daerah pemukiman di Jawa Tengah, Maj. Parasitol. Indon.1995; 8 (1).
2. Hasan Boesri, Sumardi, Tri Suwaryono, Moh. Yasid, Heru Priyanto.
Dosis insektisida Abate 500 EC efektif membunuh Pengaruh pengasapan (thermal fogging) dengan insektisida Lorsban 480
nyamuk Aedes aegypti di dalam maupun di luar rumah adalah EC, Icon 25 EC dan Malathion 96 EC terhadap larva Aedes aegypti dan
100,120,240 ml/ha. Dosis tersebut pada uji efikasi menghasil- Culex quinquefasciatus. Maj. Kes. Masy. 1996;54.
3. Sudyono. Malathion. Ditjen. P3M. Departemen Kesehatan RI. Jakarta,
kan kematian nyamuk sebanyak 100,00%. Dosis 60 ml/ha 1983.
insektisida Abate 500 EC secara thermal fogging kurang efek- 4. Tarumingkeng RC. Pengantar Toksikologi Pestisida. Fakultas Pasca-
tif membunuh Aedes aegypti. KT90 pada pengabutan terhadap sarjana. Institut Pertanian Bogor, 1989.
Aedes aegypti di luar rumah dosis 100 ml/ha adalah 8,0 jam, 5. Komisi Pestisida. Pedoman Efikasi Insektisida di Indonesia. Depar-temen
Pertanian. Jakarta, 1978.
dosis 120 ml/ha adalah 5,8 jam dan dosis 240 ml/ha adalah 2,4 6. Steel RGD, Tprrie JH. Prinsip dan Potensial Statistika. cet. ketiga.
jam. Sedangkan KT90 di dalam rumah dosis 100 ml/ha adalah Gramedia Pustaka Utama. Jakarta, 1993.
6,5 jam,dosis 120 ml/ha - 4,8 jam dan dosis 240 ml/ha - 1,4 7. WHO. Chemical methods for the control of artropo vectors and insect of
jam. public health importance. 1984.
8. Departemen Kesehatan. Pedoman Pelaksanaan Program Pemberantasan
KEPUSTAKAAN DBD. Ditjen. P3M. Departemen Kesehatan. RI. Jakarta, 1987.
9. Suharyono. Penanggulangan DBD dengan fogging Malathion pada
1. Hasan Boesri, Sukarno, Tri Suwaryono, M. Yasid, Sudipuryanto. Ke- tempat penularan potensial di Jakarta. Maj. Kesehatan. Dep.Kes. 1987.

A certain peace is better and safer than an expected victory

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 45


HASIL PENELITIAN

Tingkat Aktivitas Kholinesterase,


Pengetahuan dan Cara Pengelolaan
Pestisida pada Petani/Buruh
Penyemprot Apel di Desa Gubuk
Klakah, Jawa Timur
Sri Sugihati Slamet, Ni’mah Bawahab
Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi dan Obat Tradisional
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK

Dalam upaya meningkatkan produksi, petani menggunakan pestisida untuk me-


ngendalikan hama, penyakit tanaman serta jasad pengganggu lainnya. Penggunaan
pestisida terbesar yaitu pada tanaman holtikultura apel. Penyemprotan dan pengelolaan
yang tidak benar akan menyebabkan keracunan pestisida yang dapat ditunjukkan
dengan Pemeriksaan Aktifitas Kholinesterase; untuk mengetahui tingkat keracunannya,
dilakukan penelitian tentang tingkat aktivitas kholinesterase, pengetahuan dan cara
pengelolaan pestisida pada petani/buruh penyemprot apel di dua musim.
Pengukuran tingkat aktivitas kholinesterase darah petani/buruh penyemprot meng-
gunakan alat Tintometer kit. Pengumpulan data mengenai pengetahuan dan cara penge-
lolaan pestisida menggunakan instrumen kuesioner.
Hasil pemeriksaan menunjukkan penurunan aktivitas kholinesterase < 62,5% ter-
jadi pada 4% petani/buruh di musim kemarau dan 13% di musim hujan. Tingkat
pengetahuan pestisida > 64% petani/buruh baik dan pengelolaan pestisida > 78% baik,
walaupun yang mendapat penyuluhan hanya 55%. Frekuensi penyemprotan 3-4 kali/
minggu meningkat 32% dari musim kemarau ke musim penghujan.

PENDAHULUAN hujan. Cara pengelolaan pestisida yang tidak baik dapat meng-
Dalam upaya peningkatan produksi pertanian dan pengen- ganggu kesehatan manusia. Golongan pestisida organofosfat
dalian hama, penyakit tanaman serta jasad pengganggu lainnya, dan karbamat dapat menghambat aktivitas kolinesterase, se-
petani menggunakan pestisida. Pestisida digunakan terutama hingga untuk mengetahui gambaran tentang paparan petani/
dalam proses tanam jenis tanaman holtikultura. buruh penyemprot apel pada musim kemarau dan musim peng-
Berdasarkan data petugas penyuluh pertanian lapangan hujan serta tingkat pengetahuan dan pengelolaan pestisida,
(PPL) tanaman holtikultura yang paling banyak menggunakan dilakukan penelitian tingkat aktivitas kholinesterase dan
pestisida adalah tanaman apel; upaya untuk mempertahankan pengetahuan serta cara pengelolaan pestisida petani/buruh pe-
buah apel dari serangan hama dilakukan penyemprotan pes- nyemprot apel di Desa Gubuk Klakah, Kecamatan Ponco-
tisida baik pada musim kemarau maupun pada musim peng- kusumo, Kabupaten Malang, Jawa Timur.

46 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004


TUJUAN PENELITIAN sama, dan dilakukan 2 kali yakni pada musim kemarau dan
• Menetapkan tingkat aktivitas kholinesterase darah petani musim penghujan dengan tehnik bertanya berbeda. Adapun
penyemprot apel pada musim kemarau dan musim penghujan. data mengenai pengetahuan pestisida, baik mencakup jenis
• Menetapkan pengetahuan dan perilaku petani penyemprot pestisida yang digunakan, bahaya pestisida, manfaat pakaian
apel dalam pengelolaan pestisida. pelindung, bahaya makan, minum dan merokok waktu me-
nyemprot, dapat diketahui pada Tabel 2.
METODA PENELITIAN
• Metoda penelitian cross-sectional Tabel 2. Pengetahuan Responden tentang Pestisida di Desa Gubuk
• Sampel adalah petani apel atau buruh Klakah, Jawa Timur

penyemprot kebun apel di desa Gubuk Klakah Kabupaten Jumlah Responden (N = 100)
Malang Jawa Timur. No. Pengetahuan Pestisida Musim Musim
Kemarau (%) Penghujan (%)
CARA PENELITIAN
I. Pengukuran tingkat aktivitas kholinesterase petani atau 1. Jenis Pestisida
Tahu < 4 jenis pestisida 16 13
buruh penyemprot.
Tahu > 4 jenis pestisida 71 75
Petani atau buruh penyemprot diambil sampel darahnya Tidak tahu 13 12
sebanyak 0,01ml, kemudian diukur kadar kholinesterasenya
dengan menggunakan alat Tintometer Kit. Pengukuran dilaku- 2. Bahaya Pestisida
Beracun 83 84
kan yaitu pada musim kemarau dan musim penghujan.
Tidak beracun 17 16
II. Pengumpulan data mengenai pengetahuan, sikap dan
cara petani dalam pengelolaan pestisida. 3. Manfaat pakaian pelindung
Data diperoleh melalui wawancara menggunakan instru- - Melindungi tubuh dari 64 65
keracunan pestisida
men kuesioner yang mencakup pengetahuan, bahaya, peng-
- Melindungi tubuh dari 11 11
gunaan pakaian pelindung, cara penyemprotan, cara pe- panas dan hujan
ngelolaan pestisida dan apakah pernah mendapat penyuluhan - Tidak tahu 25 24
mengenai pestisida.
4. Bahaya merokok, makan
dan minum sewaktu
HASIL PENELITIAN
menyemprot
1) Sebanyak 100 orang petani apel dan buruh penyemprot - Menyebabkan keracunan 83 90
kebun apel berhasil terkumpul di desa Gubuk Klakah, Keca- - Menghambat pekerjaan 8 5
matan Poncokusumo Kabupaten Malang, Jawa Timur. - Tidak tahu 9 5
Hasil pengukuran kholinesterase darah mereka dengan
menggunakan Tintometer Kit pada kedua musim yaitu musim
Baik mengenai jenis pestisida, bahaya pestisida, manfaat
kemarau dan musim penghujan dapat dilihat pada Tabel 1.
pakaian pelindung dan bahaya makan-minum atau merokok
Tabel 1. Tingkat Aktivitas Kholinesterase darah petani/buruh selama penyemprotan, pengetahuan responden > 64% adalah
penyemprot Apel di desa Gubuk Klakah, Jawa Timur baik. Jawaban tidak tahu terbanyak (24%-25% responden)
adalah tentang manfaat pakaian pelindung.
Jumlah Petani/buruh (N : 100) Data pengetahuan responden mengenai cara penyimpanan,
Aktivitas Kholinesterase
Musim Kemarau Musim Penghujan
darah (%)
(%) (%)
cara penyemprotan, frekuensi penyemprotan dan cara member-
sihkan bekas percikan/tumpahan pestisida dapat dilihat pada
100 33 10 Tabel 3.
87,5 47 43 Sebagian besar responden memahami cara pengelolaan
75 16 32
pestisida seperti yang ditunjukkan >79% responden dan kedua
62,5 3 11
50 1 2 jawaban antara kedua musim cukup konsisten, frekuensi pe-
nyemprotan pada musim hujan meningkat 32% dari musim
kemarau untuk penyemprotan 3-4 kali per minggu.
Tingkat aktivitas kholinesterase darah pada 70% merupa- Data responden yang pernah maupun tidak pernah men-
kan batas, bahwa seseorang mulai keracunan pestisida dan me- dapat penyuluhan tentang pestisida dapat dilihat pada Tabel 4.
merlukan istirahat. Namun alat ini hanya bisa mendeteksi
tingkat aktivitas kholinesterase pada 75% dan 62,5%. Sehingga DISKUSI
yang diduga beracun adalah tingkat aktivitas kholinesterase Tingkat aktivitas kholinesterase darah petani/buruh pe-
<62,5%. nyemprot apel < 62,5% pada musim kemarau 4% dan mening-
Pada musim kemarau 4% petani/buruh tingkat aktivitas kat pada musim hujan yang mencapai 13%.
kholinesterasenya < 62,5%, sedangkan pada musim hujan men- Makin tingginya tingkat keracunan pada musim hujan karena
capai 13% petani/buruh penyemprot. frekuensi penyemprotan meningkat, frekuensi penyemprotan 3-
2) Hasil wawancara terhadap responden petani/buruh pe- 4 kali per minggu meningkat sampai 32% (Tabel 3) karena
nyemprot apel dengan menggunakan instrumen kuesioner yang pada musim hujan pestisida yang telah disemprotkan akan

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 47


cepat hilang dan terbawa air hujan, sehingga perlu penambahan Tabel 4. Responden yang pernah mendapat penyuluhan pestisida.
frekuensi penyemprotan agar dihasilkan tanaman yang bebas
No. Dapat Penyuluhan Jumlah Responden (N = 100)
hama penyakit.
Musim Kemarau Musim Penghujan
Tingkat aktivitas kholinesterase <70% merupakan batas bahwa (%) (%)
seseorang sudah mencapai tahap keracunan pestisida(7).
Pengetahuan > 64% petani/buruh penyemprot tentang pes- 1. Pernah 55 58
tisida baik, dan perlakuan terhadap pengelolaan pestisida >78%
2. Tidak pernah 45 42
petani/buruh baik, walaupun hanya 55% petani/buruh yang
mendapat penyuluhan.
Frekuensi penyemprotan pada musim hujan meningkat KESIMPULAN
32% untuk 3-4 kali per minggu, 1) Tingkat aktivitas kholinesterase yang menunjukkan batas
keracunan < 62,5% ditemukan 4% petani/buruh penyemprot
pada musim kemarau dan pada musim hujan mencapai 13%
Tabel 3. Pengetahuan Responden tentang Pengelolaan Pestisida.
petani/buruh penyemprot.
Jumlah Responden (N = 100) 2) Pengetahuan > 64% petani/buruh penyemprot tentang pes-
Pengetahuan Cara
No. Musim Musim tisida baik, sedangkan perlakuan terhadap pengelolaan pesti-
Pengelolaan Pestisida
Kemarau (%) Penghujan (%) sida > 78% baik, walaupun hanya 55% yang mendapat penyu-
luhan.
1. Cara penyimpanan pestisida :
- Dalam botol khusus 91 95
Frekuensi penyemprotan pada musim hujan meningkat 32%
pestisida untuk 3-4 kali penyemprotan per 4 mingguan.
- Dalam tas plastik 9 5
- Lain-lain - -

2. Cara penyemprotan : KEPUSTAKAAN


- Tidak berlawanan arah 79 88
angin 1. Fahmi. Pencemaran Pestisida di Indonesia, Bahan penataran Pestisida
- Tidak menyemprot pada 10 6 Regional bagi Petugas Hygiene & Sanitasi Tingkat Kabupaten dan
waktu panas terik Propinsi, Sub Dit. P3M Pestisida Dit.Jen. P3M Dep.Kes. RI, 1982.
- Tidak tahu 11 6 2. Sub Dit. Pestisida. Peraturan-Peraturan tentang Pestisida, Direktorat
Perlindungan Tanaman Pangan, Jakarta. 1978.
3. Frekuensi penyemprotan rata- 3. KOMPES. Pengembangan Industri Pestisida di Indonesia. Media Pesti-
rata per minggu : sida 1983;.6:8.
1 - 2 kali 78 38 4. Dit.Jen. P3M Dep.Kes. RI. Usulan Pengendalian Pencemaran dan Kera-
3 - 4 kali 19 51 cunan Pestisida, Sub Dit. P2 Pestisida Dit.Jen. Pengendalian Pencemaran
5 - 6 kali 3 11 dan Keracunan Pestisida, Jakarta, 1985; 3.
5. Thomas LC. Colorimetric Chemical Analytical Method. Sansbury
4. Cara membersihkan bekas England, The Thintometer Ltd., 1974.
percikan : 6. Untuk, K. Pengendalian Hama Terpadu dan Masalah Penggunaan Pes-
- Dicuci dengan kain 1 1 tisida, WALHI, Jakarta. 1982.
- Dicuci dengan air bersih 9 8 7. WHO. Organophosphorus Insecticide : A General Introduction Environ-
- Dicuci dengan sabun + air 90 91 mental Health Criteria, 63 WHO Geneva, 1986.

48 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004


HASIL PENELITIAN

Status Kesehatan Petani


Perkebunan Rakyat
Pengguna Paraquat Dibandingkan
dengan Petani bukan Pengguna
Paraquat di Lampung Selatan
Janahar Murad, D. Mutiatikum, SR. Muktiningsih
Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi dan Obat Tradisional
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK
Penggunaan herbisida telah terbukti bermanfaat meningkatkan hasil pertanian
maupun perkebunan. Salah satu bahan aktif herbisida yang secara luas digunakan
adalah paraquat, bahan aktif ini telah digunakan di Indonesia sejak tahun 1974. Karena
sifat kimia dan toksisitasnya maka pada tahun 1979 statusnya diubah menjadi pestisida
terbatas pakai yang hanya boleh digunakan oleh instansi atau perorangan yang telah
mendapat izin.
Pada akhir tahun delapanpuluhan beberapa kelompok perkebunan rakyat di
Lampung Selatan masih menggunakan herbisida tersebut setelah mendapat pelatihan.
Untuk melihat keberhasilan pelatihan tersebut dilakukan penelitian status kesehatan
pengguna herbisida dengan bahan aktif paraquat dibandingkan dengan petani bukan
pengguna paraquat. Kedua kelompok pengguna dan bukan pengguna paraquat masing-
masing 50 orang diusahakan dari kelompok usia yang sama, demikian juga kebiasaan
merokok serta tingkat pendidikan yang hampir sama.
Karena keracunan paraquat tidak menunjukkan gejala yang spesifik, pemeriksaan
pengaruh herbisida ini dilihat melalui antara lain: kesehatan umum, tingkat anemia,
tekanan darah, Hb, Foto toraks untuk mengetahui terjadinya fibrosis, fungsi hati
(SGOT, SGPT, alkalifosfatase, bilirubin) serta fungsi ginjal (ureum dan kreatinin).
Status kesehatan kelompok pengguna herbisida dan bukan pengguna herbisida
tidak berbeda bermakna.

Kata kunci: Herbisida, Paraquat.

PENDAHULUAN mengganggu tanaman utama. Senyawa ini banyak digunakan


Penggunaan herbisida untuk mengendalikan gulma per- di perkebunan seperti perkebunan teh, kopi, karet, kelapa
tanian atau perkebunan dapat meningkatkan hasil pertanian; sawit.
salah satu bahan aktif herbisida yang digunakan secara luas Herbisida dengan bahan aktif paraquat telah digunakan di
adalah paraquat. Senyawa ini berupa racun kontak yang sangat Indonesia sejak tahun 1974. Sifat racun paraquat tidak spesifik
aktif pada bagian tanaman yang hijau. Paraquat tidak bekerja dan absorbsi lambat yang dalam jangka panjang dapat
sistemik jadi tidak merusak perakaran, struktur tanah dan tidak menyebabkan kerusakan paru-paru (fibrosis), gangguan fungsi

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 49


hati dan fungsi ginjal manusia yang terpapar. Karena sifat Tidak Pernah 12 24
racun tersebut, maka pada tahun 1979 senyawa ini ditetapkan Jumlah 50 100
menjadi herbisida terbatas dengan ketentuan antara lain hanya Sebagian besar petani (76%) pernah mengikuti penyuluh-
boleh digunakan oleh perorangan atau badan hukum tertentu an tentang pengolahan herbisida dengan bahan aktif paraquat
yang memiliki izin menggunakan yang diberikan oleh Menteri (Tabel 1).
Pertanian atau pejabat yang ditunjuk.
Pada awalnya hanya perkebunan baik swasta maupun Tabel 2. Frekuensi penyemprotan dalam bulan/tahun
milik negara yang diberi izin penggunaan, tetapi para petani
perkebunan rakyat juga membutuhkan herbisida ini, sehingga Lama
Jumlah yang menyemprot
n %
pada tahun 1988 Dinas Perkebunan Lampung melakukan
1 – 2 bulan 9 18
pelatihan dan penyuluhan pada petani kopi di kecamatan 3 – 4 bulan 26 52
Pagelaran Lampung Selatan. Sejak 1988 petani kopi daerah ini 5 – 6 bulan 10 20
sudah menggunakan herbisida Gramoxon dengan bahan aktif 7 – 8 bulan 3 6
paraquat untuk membasmi tanaman pengganggu pada per- Tidak mengisi 2 4
Jumlah 50 100
kebunan kopi mereka. Untuk mengetahui keberhasilan pelatih-
an/penyuluhan dilakukan studi tentang status kesehatan petani
Tabel 3. Frekuensi penyemprotan dalam hari/bulan.
perkebunan rakyat pengguna paraquat dibandingkan dengan
petani bukan pengguna paraquat. Jumlah yang menyemprot
Lama
n %
TUJUAN 1 –4 hari 27 54
Tujuan Umum : Melindungi masyarakat dari dampak negatif 5 – 8 hari 14 28
pengguna herbisida. 9 – 12 hari 5 10
13 – 16 hari 1 2
Tujuan Khusus : Mengetahui status kesehatan petani peng- > 16 hari 2 4
guna herbisida berbahan aktif paraquat yang telah mendapat Tidak mengisi 1 2
pelatihan/penyuluhan dibandingkan dengan bukan pengguna. Jumlah 50 100

METODOLOGI
Tabel 4. Frekuensi penyemprotan dalam jam/hari
Penelitian ini merupakan suatu studi cross sectional untuk
mengetahui perbedaan status kesehatan antara petani pengguna Lama Jumlah yang menyemprot
paraquat yang telah mendapat pelatihan/penyuluhan dan petani n %
bukan pengguna paraquat. Populasi kasus ini adalah masya- 1 – 2 jam 6 12
rakat petani kopi di daerah Tangkit Serdang dan Talang Lebar 3 – 4 jam 35 70
5 – 6 jam 7 14
kecamatan Pagelaran dan sebagai kontrol petani padi di daerah > 6 jam 2 4
yang sama. Jumlah 50 100
Pengumpulan data dilakukan dengan:
1) Kuesioner untuk kasus dan kontrol meliputi: lokasi, iden-
Sekitar 72% petani melakukan penyemprotan antara 3 – 6
titas responden, riwayat pekerjaan, sanitasi lingkungan, riwa-
bulan pertahun dengan frekuensi penyemprotan 1 – 8 hari
yat kesehatan kerja dan riwayat kesehatan umum.
perbulan (82%) dan 9 –12 hari perbulan (10%), tiap hari pe-
2) Pemeriksaan kesehatan meliputi: keadaan kesehatan
nyemprotan lamanya 3 – 4 jam (70%) (Tabel 2, 3, 4).
umum, tingkat anemia, tekanan darah, Hb, foto Toraks untuk
Demografi responden sampel dan kontrol adalah homo-
mengetahui adanya fibrosis, tes fungsi hati (SGPT, SGOT,
gen (Tabel 5).
alkali fosfatase, bilirubin) dan tes fungsi ginjal, (ureum dan
Perilaku responden sampel dan kontrol yang berhubung-
kreatinin).
an dengan kesehatan homogen (Tabel 6).
Pemeriksaan kesehatan umum dilakukan oleh dokter
Kesehatan umum, sistem peredaran darah dan sistem per-
puskesmas setempat. Pemeriksaan rontgen di UPF Radiologi
nafasan baik sampel maupun kontrol normal (Tabel 7).
RSU A. Moeloek, sedangkan pemeriksaan fungsi hati dan
ginjal dilakukan di Laboratorium Kesehatan Daerah Tanjung Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Karang Lampung. Analisis perbedaan status kesehatan di- Pemeriksaan dilakukan terhadap darah tepi, fungsi hati
lakukan dengan uji test. dan fungsi ginjal. Hasil pemeriksaan dibandingkan antara
sampel dan kontrol dengan uji t (t test) dengan tingkat
HASIL
kemaknaan 0,05 dan derajat kebebasan n1 + n2 – 2 dengan
Petani kopi di kecamatan Pagelaran Lampung Selatan
n1=n2=50.
telah menggunakan herbisida dengan bahan aktif paraquat Tabel 5. Demografi responden.
lebih dari 5 tahun.
Tabel 1. Petani yang mengikuti penyuluhan penggunaan paraquat.
No. Ikhwal Sampel Kontrol
Mengikuti Jumlah sampel n % n %
Penyuluhan n %
1 Kelompok Umur
Pernah 38 76

50 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004


15 – 35 tahun 18 36 17 34
1 Kesehatan umum baik 50 100 50 100
> 35 tahun 32 64 33 66
2 Tekanan darah normal 41 82 47 94
3 Jantung normal 49 98 50 100
2 Jenis Kelamin
4 Bunyi jantung normal 49 98 48 96
Laki-laki 49 98 49 98
5 Anemia - - 1 2
Perempuan 1 2 1 2
6 Auskultasi normal 49 98 47 94
7 Rontgen (foto torax) normal 44 88 46 92
3 Tingkat Pendidikan
8 Lesi TB aktif 3 6 2 4
Tidak Sekolah 4 8 3 6
9 Lesi TB non aktif 2 4 2 4
SD 30 60 31 62
SMP 9 18 9 18
SMA 6 12 6 12
Perguruan Tinggi 1 2 1 2 Tabel 8. Hasil pemeriksaan darah tepi

4 Pekerjaanselain petani
Tidak ada 37 74 37 74 Pemeriksaan Sampel Kontrol
Pedagang 2 4 2 4
Hb (g %) 11 – 18,4 8,8 – 18,1
Pegawai negeri - - - -
Leukosit (/mm) 4.100 – 15.500 4.450 – 10.200
Pensiun - - - -
Eritrosit x 106 (/mm) 3,1 – 6,1 2,9 – 6,1
Lain-lain 11 22 11 22
Trombosit x 103 (/mm) 144 – 416 200 – 500
LED mm/jam 0 – 9,9 3 – 8,1

Tabel 9. Hasil pemeriksaan fungsi hati


Tabel 6. Perilaku responden yang berhubungan dengan kesehatan.

Pemeriksaan Sampel Kontrol


Sampel Kontrol
No. Ikhwal
n % n % SGOT (u/l) 23 – 61 14 – 106
SGPT (u/l) 9 – 43 8 – 46
1 Merokok 45 90 44 88 Alkali fosfatase (u/l) 61 – 216 68 – 156
Tidak merokok 5 10 6 12 Bilirubin total (mg%) 0,32 –1,2 0,37 – 1,6
Bilirubin direk (mg%) 0,12 – 0,46 0,10 – 0,50
2 Minum alkohol 11 22 12 74 Bilirubin indirek (mg%) 0,22 – 0,88 0,20 – 1,09
Tidak minum alkohol 39 79 38 76

3 Tempatmembersihkan alat semprot


Tabel 10. Hasil pemeriksaan fungsi ginjal
Di sumur 3 60 3 60
Di kamar mandi - - 1 2
Di sungai 29 58 25 50 Pemeriksaan Sampel Kontrol
Lain-lain 18 36 17 34
Tidak mengisi - - 4 8 Ureum (mg %) 18 – 57 10 – 46
Kreatinin (mg %) 0,11 – 1,5 0,48 – 1,47
4 Tempat melakukan pengenceran
Di rumah 2 4 - -
Di tempat menyemprot 48 96 46 92
Tidak mengisi - - 4 8 PEMBAHASAN
Pada masing-masing kelompok sampel dan kontrol hanya
5 Mandi sesudah menyemprot 44 88 43 86
Tidak mandi sesudah menyemprot 6 12 7 14 ada 1 orang perempuan. Tingkat pendidikan terakhir yang ter-
banyak adalah Sekolah Dasar (sampel 60% dan kontrol 62%).
6 Pakaian dicuci setiap selesai Sebagian besar petani tidak mempunyai pekerjaan lain (sampel
bekerja 33 66 41 82 dan kontrol masing-masing 74%). Kedua kelompok mem-
Pakaian tidak dicuci setiap selesai
bekerja 17 34 9 18
punyai kebiasaan merokok yang hampir sama (kelompok
sampel 90% dan kelompok kontrol 88% perokok); demikian
juga kebiasaan minum beralkohol, kelompok sampel 78% dan
kelompok kontrol 76% tidak minum minuman beralkohol.
Hasil pemeriksaan darah tepi sampel dan kontrol tidak berbeda Dari uraian di atas terlihat bahwa kedua kelompok ini
bermakna (Tabel 8). homogen. Kebiasaan lain yang berhubungan dengan kesehat-
Ada perbedaan bermakna pada kadar alkali fosfatase an pada kedua kelompok seperti tempat penyimpanan, tempat
(p=0,05), sedangkan hasil pemeriksaan ginjal tidak ada per- membersihkan alat semprot, melakukan pengenceran, ke-
bedaan bermakna (Tabel 9, 10). biasaan mandi setelah menyemprot dan pencucian pakaian
kerja hampir sama (Tabel 6). Karena kelompok sampel adalah
Tabel 7. Status kesehatan umum, peredaran darah dan sistem per- petani perkebunan kopi dan kelompok kontrol sebagian besar
nafasan. adalah petani padi, perbedaan hanya terdapat pada pestisida
yang digunakan. Kelompok sampel mengguna-kan herbisida
Sampel Kontrol
No. Pemeriksaan
n % n % dengan bahan aktif paraquat di samping pesti-sida lain, sedang-

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 51


kan kelompok kontrol menggunakan pesti-sida golongan fosfat melewati batas normal yaitu 40, 42 dan 43, dan kelompok
organik, karbamat dan piretrin sintetis. kontrol ada tiga orang yang melewati harga normal yaitu 38,
Dari hasil pemeriksaan kesehatan yang terdiri dari ke- 41 dan 46 secara statistik tidak ada perbedaan yang bermakna.
sehatan umum, tingkat anemia, tekanan darah, keadaan Pada pemeriksaan alkali fosfatase kelompok sampel 47 orang
jantung, tidak terdapat perbedaan antara kedua kelompok. (94%) dalam batas normal dan 3 orang (6%) di atas normal,
Pemeriksaan rontgen (sinar X) paru kelompok sampel ter- sedangkan pada kelompok kontrol 49 orang (98%) dalam batas
dapat 5 orang yang tidak normal yang disebabkan oleh infeksi normal 1 orang (2%) di atas normal. Walaupun perbedaan ini
tuberkulosis (3 orang aktif dan 2 orang non aktif). Kelainan ini bermakna secara statistik tetapi secara klinis tidak terdapat
tidak ada hubungannya dengan pengguna paraquat. Keracun- perbedaan. Pemeriksaan bilirubin total, bilirubin direk dan
an paraquat sistemik terutama dapat dilihat pada paru antara 24 indirek untuk kelompok sampel dan kontrol tidak menghasil-
– 48 jam setelah menelan lebih kurang 50 ml paraquat pekat, kan perbedaan yang bermakna baik secara statistik maupun
berupa pembengkakan paru dan setelah beberapa hari dapat secara klinis.
terjadi fibrosis (1 orang). Dari hasil foto rontgen baik kelom- Status kesehatan kedua kelompok sampel dan kontrol ini
pok kontrol maupun kelompok sampel tidak terdapat kelainan tidak berbeda; petani pengguna paraquat sebagian besar (76%)
tersebut. sudah mengikuti pelatihan pengelolaan paraquat, sedangkan
Pada pemeriksaan kulit dan kuku juga tidak didapatkan yang belum pernah mengikuti pelatihan mendapat bimbingan
kelainan oleh pengaruh penggunaan paraquat. dari petani yang sudah dilatih.
Pada pemeriksaan laboratorium klinis meliputi peme-
riksaan hemoglobin (Hb). Harga normal untuk Hb adalah KESIMPULAN
antara 12-18 g%. Pada pemeriksaan tahap awal 50 sampel Tidak terdapat perbedaan status kesehatan antara kelom-
terdapat 3 orang dengan Hb di bawah normal yaitu 11,0; 11,5 pok pengguna herbisida dengan bahan aktif paraquat dan
dan 11,6 g%, sedangkan pada kelompok kontrol juga terdapat kelompok yang tidak menggunakan herbisida tersebut. Dapat
3 orang di bawah normal yaitu 8,8; 11,5 dan 11,8 g%, tidak disimpulkan bahwa pelatihan yang diberikan kepada para
ada perbedaan antara sampel dan kontrol. Pada pemeriksaan petani cukup efektif dan bermanfaat.
leukosit kelompok sampel ada satu orang dengan kadar leuko-
sit melebihi batas normal tetapi hal ini tidak ada hubung-annya KEPUSTAKAAN
dengan penggunaan paraquat. Pada pemeriksaan eritro-sit tidak
terdapat penyimpangan dan tidak ada perbedaan yang 1. Haddad LM, Winchester JF. Clinical Management of Poisoning and Drug
Overdose. WB Saunders Co, 1983.
bermakna pada kedua kelompok. Pada pemeriksaan Laju 2. Dreisbach RH. Handbook of Poisoning. 11th ed; Maruzen Asia Edition,
Endap Darah (LED) tidak terdapat penyimpangan pada kedua 1983.
kelompok. Pada pemeriksaan SGOT tidak terdapat perbedaan 3. Cassarett and Doull’s Toxicology: The Basic Science of Poisons. 2nd ed;
yang bermakna antara kedua kelompok, hal ini tidak ada Macmillan Publ. Co. Inc. New York, 1875.
4. Moss D. Liver Function Test. Medicine International, 1994; 7 (28).
hubungannya dengan penggunaan paraquat, sedangkan pada
pemeriksaan SGPT kelompok sampel ada tiga orang yang

Better be friends at a distance than enemies near each other

52 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004


TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Risiko Pemajanan Benzen


terhadap Pekerja
dan Cara Pemantauan Biologis
Satmoko Wisaksono
Direktorat Pengawasan Nazaba, Badan Pengawasan Obat dan Makanan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN TINJAUAN KEPUSTAKAAN


Tenaga kerja merupakan kelompok individu yang terlibat 1) Benzen = benzol, cyclohexatriene, phenyl hydride, coal
dalam kegiatan kerja dan mengharapkan imbalan dalam bentuk napthta.(4)
upah kerja. Di Indonesia ketentuan tentang lama kerja yang 2) Sifat Fisika dan Kimia
dituangkan dalam Peraturan Pemerintah adalah 8 jam sehari Benzen merupakan senyawa hidrokarbon aromatik dengan
atau 40 jam dalam seminggu. rantai tertutup tidak jenuh, rumus kimia C6H6. Dalam keadaan
Pemajanan terhadap tenaga kerja beserta lingkungan normal merupakan cairan tak berwarna, jernih(1,2,4,8,10,11), ber-
kerjanya secara terus-menerus akan merupakan beban fisik dan bau khas dan mudah terbakar.(4,8,11)
psikologis bagi tenaga kerja yang akhirnya menyebabkan Titik didih 80,1C°, titik cair 5,5 ° C.(4)
penyakit akibat kerja.(1,2) Indeks bias 1,5011, larut dalam 1430 bagian air, dapat
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per. 01/Men/1981 campur dengan asam asetat glasial, aseton, etanol, eter,
mengenai kewajiban melapor penyakit akibat kerja, mengatur karbondisulfida, karbon tetraklorida, kloroform dan minyak.(4)
bahwa terdapat 30 jenis penyakit akibat kerja yang berhubung- Benzen termasuk bahan pelarut yang baik, secara kimia
an dengan bahan kimia termasuk benzen dan homolognya cukup stabil; tetapi mudah mengalami reaksi substitusi men-
yang beracun. jadi bentuk halogen, nitrat dan derivat alkil.(11)
Beberapa peraturan penunjang lainnya yang berhubungan 3) Tancampurkan (incompatibility)
dengan kesehatan kerja adalah : Campuran benzen dengan bromipentafluorida, klorintri-
− Peraturan Menteri Tenaga Kerja No: Per. 02/Men/1980 fluorida, klorin, oksigen (cair), ozon, perklorat, perkloril-
tentang Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja. fluorida, aluminium klorida, permanganat, asam sulfat, perak
− Peraturan Menteri Tenaga Kerja No: Per. 03/Men/1982 perklorat atau natrium peroksida dapat menimbulkan api dan
tentang Pelayanan Kesehatan Kerja. ledakan. Sedangkan campuran benzen dengan anhidrida
Makalah ini menguraikan risiko pemajanan benzen ter- kromat, nitril perklorat atau natrium peroksida dapat me-
hadap pekerja dan cara pemantauannya secara biologis. nimbulkan nyala(4)
Di negara maju seperti Amerika OSHA (Occupational 4) Penggunaan
Safety and Health Administration) mengawasi penyakit akibat Senyawa benzen dan hidrokarbon aromatik lainnya secara
kerja ini secara ketat, termasuk keracunan akibat pemajanan luas digunakan sebagai bahan bakar, bahan pelarut, bahan
bahan kimia. tambahan. Karena sifatnya yang cepat kering, maka benzen
Perkembangan yang pesat dalam sampling udara, di- digunakan secara luas dalam industri perekat dan pernis.
tambah dengan fakta bahwa benzen meracuni darah (hemato- Selain itu benzen juga digunakan sebagai bahan antara
toksik), maka nilai ambang batas benzen ditekan terus dalam pembuatan stirena, fenol, sikloheksana, dan zat organik
menerus.(5,6,7) lain; pembuatan deterjen, pestisida, zat warna, linoleum, pe-
Dalam hal nilai ambang batas, masing-masing negara larut lilin, resin, penghapus cat, dan lain-lain. Benzen juga
belum seragam; misalnya, di Jerman 8 ppm, Australia, merupakan bahan penting dalam penerbangan dan motor serta
Denmark, Finlandia, Jepang, Belanda, dan Amerika menetap- penyiapan produk farmasi.(1,2,4,8,11,12)
kan 10 ppm., sedangkan Swedia menetapkan 5 ppm. Di 5) Sumber
Indonesia sesuai dengan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Benzen dapat ditemukan dalam asap rokok sekitar 47-64
Nomor SE 01/Men/1997 nilai ambang batas untuk benzen ppm tergantung jenis rokoknya. Selain itu ditemukan dalam air
adalah 10 ppm. hujan meskipun konsentrasinya rendah antara 0,1-0,5 ug/l.

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 53


Pada industri pengilangan minyak bumi, batu bara serta ter sumsum tulang.
arang, benzen dan derivatnya diperoleh dari hasil langsung Otopsi menunjukkan adanya tanda-tanda perdarahan di
maupun sampingan.(8,11,12) otak, perikardium, saluran kemih, membran mukosa dan
6) Risiko tubuh terhadap pemaparan benzen kulit.(3,7,11)
a) Metabolisme 7) Pemaparan benzen kronis
Keracunan benzen umumnya terjadi melalui inhalasi uap, Pemaparan benzen kronis secara inhalasi pada manusia
walaupun benzen dapat berpenetrasi melalui kulit(4). Gejala dengan kadar rendah menyebabkan gejala psikologis. Gejala
keracunan hebat adalah kejang-kejang, koma, dan akhirnya tersebut dipengaruhi oleh variasi individu, antara lain keadaan
meninggal. gizi, faktor genetik, keadaan imunologis tertentu, dan peng-
Benzen apabila tidak segera dikeluarkan melalui ekspirasi, gunaan alkohol atau obat-obatan.
maka akan diabsorbsi ke dalam darah.(8,11) Tanda-tanda yang dihubungkan dengan pemaparan benzen
Benzen larut dalam cairan tubuh dalam konsentrasi sangat kronis secara inhalasi berupa sakit kepala, pusing, kelelahan,
rendah dan secara cepat berakumulasi dalam jaringan lemak anoreksia. dispnea, gangguan penglihatan, pucat, vertigo dan
karena kelarutannya yang tinggi dalam lemak. hilang kesadaran.(3,7,11)
Apabila benzen tertelan atau terinhalasi, maka 50% akan Pemeriksaan laboratorium dapat menunjukkan beberapa
keluar melalui ekspirasi(4,5,11), atau ke luar bersama urin.(4,11) pengaruh seperti hiperbilirubinemi, splenomegali, adreno-
Metabolisme terjadi di dalam hati; benzen dioksidasi men- megali, anemia hemolitik, anemia aplastik, gangguan sistim
jadi hidroksi benzen, 1,2 dihidroksi benzen atau 1,4 dihidroksi limfatik, retikulositosis, leukopeni, pansitopeni, eosinofili,
benzen.(3,4,8,11) Hidroksi benzen (fenol) kemudian mengalami basofili, trombositopeni, monositosis, hiperplasi sumsum
konjugasi dengan sulfat anorganik menjadi senyawa fenilsulfat tulang dan penyimpangan kromosom.(3,4,5,8,11)
dan hidroksi benzen lain yang akhirnya diekskresi melalui Pengaruh pemaparan kronis melalui inhalasi mempunyai
urin. Jalur ini disebut Major Pathway. tiga tingkatan, ialah :
Beberapa peneliti Rusia menyatakan bahwa ekskresi fenil- − Pemaparan konsentrasi rendah, menghasilkan perubahan
sulfat mencapai puncaknya 4-8 jam setelah pemaparan benzen. sangat sedikit, hampir tidak jelas pada sistem hemopoetik.
b) Reaksi terhadap pemaparan akut benzen. − Pemaparan konsentrasi sedang akan mempengaruhi sinte-
− Keracunan melalui mulut. sis enzim tertentu, sensitisasi dan anemia.
Tertelannya 9 – 12 g benzen melalui mulut akan menim- −
Pemaparan konsentrasi tinggi dapat menimbulkan ganggu-
bulkan tanda-tanda seperti: jalan sempoyongan, muntah, an sel darah yang irreversibel.(3,4,11)
denyut nadi cepat, delirium, pneumonitis, hilang kesadaran; a) Pengaruh fisiologis
kehilangan kestabilan, dan koma.(3,4,5,7,11) Tenaga kerja yang terpapar kadar rendah secara kronis,
Sedangkan pada konsentrasi sedang, benzen dapat me- menunjukkan tanda-tanda gangguan susunan saraf pusat(4,11),
nyebabkan pusing, lemah, mual, sesak napas, dan rasa sesak di dan gangguan pandangan.(11)
dada.(7,12) Pengaruh utama keracunan benzen kronis adalah terhadap
− Keracunan melalui kulit. susunan saraf pusat yang mungkin tidak dapat segera dikenali
Bila benzen terpapar di kulit, maka akan diabsorbsi, tetapi karena gejalanya tidak spesifik seperti sakit kepala, anoreksia,
lebih kecil jika dibandingkan dengan absorbsi mukosa saluran vertigo, dan sebagainya.
napas. Secara lokal, benzen merupakan iritan kuat menimbul- Sedangkan konsentrasi yang sangat tinggi menyebabkan
kan bercak merah dan terbakar serta menghilangkan lemak sensitisasi jantung terhadap katekolamin dengan gejala denyut
pada lapisan keratin yang menyebabkan dermatitis kering serta nadi cepat, sakit kepala, muntah, kehilangan kesadaran.(11)
bersisik.(4,7,10,11) Pada penelitian terakhir ternyata benzen menurunkan
− Keracunan inhalasi. tekanan darah arteri dan perifer. Gejala ini akan hilang bila
Penguapan benzen dalam konsentrasi tinggi akan menye- pemaparan dihentikan.(3,4,11)
babkan keracunan; paling banyak akibat penghirupan/inhalasi. b) Pengaruh pada kulit
Pada tingkat permulaan, benzen terutama berpengaruh Pemaparan benzen pada kulit akan mengakibatkan kulit
terhadap susunan saraf pusat. Tanda-tanda utamanya ialah menjadi peka (dermal sensitizer).
perasaan mengantuk, pusing, sakit kepala, vertigo, delirium, Pemaparan jangka lama dapat menimbulkan luka bakar.
dan kehilangan kesadaran.(4,5,7,11) Bila kulit terkena benzen terus menerus, maka lemak kulit
Pada pemaparan akut tingkat sedang dapat menyebabkan akan hilang, menyebabkan eritema, kulit bersisik dan kering.
sindrom prenarkosis yang khas ialah sakit kepala, perasaan Pada beberapa kasus terjadi pembentukan vesikula, dan
pusing, atau mabuk, dan kadang-kadang mengalami iritasi papula.(2,4,11)
ringan pada saluran napas dan cerna. c) Pengaruh hematologis
Pemaparan akut dengan konsentrasi tinggi dapat me- Pengaruh benzen terhadap sistem hemopoetik telah lama
nyebabkan sesak napas, euforia, tinitus, dan anestesia yang diketahui; gejalanya dapat dibagi atas tiga golongan sebagai
dalam. Bila tidak segera ditolong, dapat terjadi kegagalan per- berikut :
napasan, dan kejang.(1,2,11) − Tingkat awal
− Pengaruh terhadap sel Pada tingkat awal dapat terjadi gangguan pembekuan
Benzen mempengaruhi sel hemopoetik darah tepi dan darah yang disebabkan oleh perubahan fungsi, morfologi dan

54 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004


jumlah trombosit, juga dapat menurunkan pembentukan semua DISKUSI
komponen darah. Banyak peneliti mengatakan bahwa pemaparan benzen
Jika dapat didiagnosis dan segera diobati, dapat sembuh dapat menyebabkan kerusakan sistem hemopoetik. Namun
sempurna (reversibel). sampai saat ini penelitian epidemiologis terhadap gejala yang
− Tingkat lebih lanjut ditimbulkan hasilnya belum memuaskan.
Pada tingkat lanjut, sumsum tulang menjadi hiperplastik Program pengawasan medis telah diketahui secara umum,
kemudian hipoplastik, metabolisme besi terganggu, terjadi namun belum ada prosedur pemantauan yang baku, sehingga
perdarahan sistemik. hasilnya sulit ditafsirkan.
Diagnosis dan pengobatan harus cepat dan tepat dan Kesulitan penafsiran dalam pemantauan dapat dilihat,
hindari pemaparan selanjutnya. misalnya dalam hal :
Dalam pemeriksaan jumlah eritrosit kurang dari 3,5 juta, − Pemantauan kadar benzen dalam darah hanya menun-
leukosit kurang dari 4500, jumlah trombosit menurun, besi jukkan adanya pemaparan pada saat itu.
meningkat. Bila tidak segera ditangani berlanjut ke fase ketiga. − Kasus makroeritrositosis selain diakibatkan oleh pema-
− Fase ketiga paran benzen juga diakibatkan oleh defisiensi asam folat,
Dalam fase ini dapat terjadi aplasi sumsum tulang yang vitamin B12, penggunaan alkohol berlebihan, dan penyakit
progresif. Mungkin ada penekanan regenerasi sumsum tulang hati.
dengan adanya kerusakan sel darah tepi, yang akhirnya meng- Dalarn hal penentuan nilai ambang batas masih terdapat
akibatkan kelambatan daya regenerasi.(1,3,5,8,11) perbedaan antar negara, namun ada kecenderungan untuk
d) Pengaruh pada sub sel menurunkan kadar ambangnya.
Pada pekerja yang terpapar benzen bertahun-tahun akan
terjadi penyimpangan kromosom dalam limfosit darah KESIMPULAN
tepi.(2,5,11) − Risiko pemaparan benzen terhadap pekerja di lingkungan
kerja perlu diperhatikan dan dipikirkan cara penanggulangan-
Pemantauan Biologis pada Pemaparan Benzen nya.
− Pengukuran kadar benzen − Dalam hal pemantauan biologis, perlu keseragaman
Secara kuantitatif pemantauan biologis sangat penting metode agar hasil yang diperoleh mudah ditafsirkan.
untuk mengetahui tanda permulaan keracunan akibat pemapar-
an benzen dan hidrokarbon lainnya. SARAN
Pengukuran benzen dalam darah sebetulnya bukan indi- − Pemeriksaan kesehatan sebelum bekerja berhubungan
kator yang tepat pada kasus pemaparan benzen karena secara dengan benzen untuk mendapatkan data dasar dan seterusnya
relatif benzen akan cepat menghilang; kira-kira 50% benzen dilakukan pemeriksaan berkala.
akan keluar bersama udara pernapasan. Namun pengukuran − Penggunaan alat pelindung diri yang tepat..
kadar benzen dalam darah tetap diperlukan sebagai bukti − Adanya laboratorium rujukan mengingat benzen dalam
bahwa seseorang terpapar benzen. Pengukuran tersebut meng- darah hilang relatif cepat.
gunakan metode kromatografi gas.(5,7,11)
Metabolit utama benzen adalah fenol. Pada percobaan KEPUSTAKAAN
menggunakan kelinci, kira-kira 25-50% benzen dimetabolisasi
1. Dreisbach RH. Handbook of Poisoning. 10th ed. Lange Med Publ, 1980.
menjadi fenol(2). Oleh karenanya fenol dalam urin merupakan 2. Proctor NH. Chemical Hazard of the Work Place, Philadelphia, Toronto:
indikator yang baik dalam hal pemaparan benzen.(4,5,7,11) JB Lippincott Co, 1980.
Peningkatan kadar fenol dalam urin menunjukkan adanya 3. Goldfrauh. Toxicologic Emergencies 5thed. Norwalk, Connecticutt. 1994.
pemaparan benzen 8-10 jam sebelumnya. Pemaparan benzen 4. Panduan Bahan Berbahaya 1A Edisi I. Departemen Kesehatan RI. 1985.
5. Goldstein BD Biological and ambient monitoring of benzene in the
di udara 25-30 ppm dapat menaikkan ekskresi fenol sampai workplace. J Occup. Med, 1986.
100 atau 200 mg/1 urin. Nilai fenol normal dalam urin adalah 6. Tsai SP, Wen CP, et al. Restropective mortality and medical surveillance
20-30 mg/l.(3,11) studies of works in areas of refineries. J Occup. Med, 1983
Ekskresi fenol dalam urin dapat diukur secara kuantitatif 7. Buraena. S . Pemantauan biologis dan lingkungan akibat benzene. Maj
Kes Mas Indon. 1990.
dengan spektrofotometri menggunakan reaksi indol-fenol.(7) 8. Helinberg B. Benzene : Standards, occurence and exposure. Ind Med,
− Pemeriksaan hematologis dan sitologis 1985
Keracunan benzen pada manusia dan hewan percobaan 9. Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor SE 01/Men/1997 tentang
Nilai Ambang Batas. Faktor Kimia di Udara Lingkungan Kerja.
dapat diketahui dari pemeriksaan darah karena menyebabkan Departemen Tenaga Kerja.
makroeritrositosis.(1,3,5,11) yang diketahui melalui peningkatan 10. Suma’mur PK Keselamatan Kerja & Pencegahan Kecelakaan. PT
mean corpuscular volume (MCV) .(2) Gunung Agung – Jakarta, 1995
Selain indikator di atas terdapat indikator dini lain yaitu 11. Cavender Finis Aromatic Hydrocarbons. Dalam: Clayton GD, Clayton
FE. Patty’s Industrial Hygiene and Toxicology, 4th ed. Vol II Part B
limfositopeni.(1,5,11) Toxicology. John Wiley & Sons Inc. New York / Chichester / Brisbane /
Hal di atas dapat diketahui melalui Complete Blood Count Toronto / Singapore, 1993
(CBC) yaitu pemeriksaan darah lengkap termasuk hitung 12. Budiman F . Pengamanan Risiko Bahan Kimia pada Pemaparan dalam
jumlah trombosit, leukosit, eritrosit dan hitung jenis leukosit.(2) Penggunaan. Training Course on Health Risk Assessment. 1990.

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 55


Produk Baru

Kaltrofen® gel
Komposisi hipersensitif.
Tiap gram gel mengandung ketoprofen 0,025 g. • Walaupun pada penggunaan topikal jarang terjadi,
beberapa efek samping dilaporkan pada penggunaan sistemik;
Farmakologi efek samping minor yang bersifat sementara, antara lain
Ketoprofen merupakan anti-inflamasi non-steroid (AINS) gangguan pencernaan seperti dispepsia, mual, konstipasi, diare,
dengan daya analgesik, anti inflamasi. nyeri ulu hati dan beberapa gangguan pencernaan lainnya. Efek
Hanya sebagian kecil ketoprofen diserap pada pemakaian lain yang jarang terjadi antara lain nyeri kepala, pusing,
topikal. bingung, vertigo, mengantuk, udem, perubahan emosi dan
gangguan tidur. Efek samping utama yang jarang terjadi
Indikasi adalah: ulkus peptikum dan perdarahan. Reaksi hematologi
Trauma ringan, terutama yang disebabkan oleh cedera sewaktu termasuk trombositopeni, gangguan hati atau ginjal, reaksi
berolah raga, terkilir, tendinitis, kontusio tendon dan otot, pada kulit, bronkospasme dan reaksi anafilaksis sangat jarang
pembengkakan, dan nyeri pascatrauma. terjadi.

Dosis dan Cara Pemakaian Peringatan dan Perhatian


Oleskan 2 - 3 kali sehari pada daerah yang nyeri atau • Jangan digunakan pada selaput lendir atau mata.
meradang, lakukan pijatan lembut dan lama untuk menjamin • Hati-hati penggunaannya pada pasien dengan riwayat atau
penetrasi gel. Lama pemberian maksimal 7 hari. Sebaiknya sedang mengalami perdarahan saluran cerna aktif, tukak
tidak digunakan pada anak-anak karena belum terbukti ke- lambung, penyakit radang pada saluran cerna atau gangguan
amanannya. ginjal berat meskipun efek sistemiknya minimal.
• Wanita hamil atau menyusui : Kaltrofen® gel sebaiknya
Kontraindikasi tidak digunakan pada wanita hamil dan menyusui.
• Hipersensitif terhadap AINS, pasien yang menderita atau • Sebaiknya tidak digunakan pada anak-anak di bawah 12
mempunyai riwayat asma bronkial atau alergi. tahun kecuali atas petunjuk dokter.
• Infeksi kulit, eksem atau luka terbuka, dan dermatitis • Segera hentikan pemakaian jika terjadi kemerahan pada
eksudatif. kulit setelah pemakaian.
• Ketoprofen jelly sebaiknya tidak digunakan pada pasien • Seperti obat-obat AINS lainnya, ketoprofen tidak me-
yang mempunyai reaksi alergi berupa asma, rinitis atau nyembuhkan penyakitnya.
urtikaria yang disebabkan asetosal dan AINS yang lain.
Interaksi Obat
Efek Samping Belum pernah dilaporkan adanya interaksi antara Kaltrofen®
• Reaksi kulit seperti pruritus dan eritema lokal, terutama gel dengan obat lain; namun dianjurkan untuk melakukan peng-
bila terpapar sinar matahari atau sinar ultraviolet. Sebaiknya awasan pada pasien yang mendapat pengobatan kumarin.
penderita menghindari paparan sinar matahari selama
pengobatan dengan Kaltrofen® gel. Kemasan
• Pemakaian jangka panjang dapat menimbulkan reaksi Jelly : Tube 30 g, No. Reg. DKL 0111631828A1

Marketing Office:
PT. KALBE FARMA Tbk
Gedung Enseval, Jl. Letjend. Suprapto, Jakarta 10510
PO Box 3105 JAK, Jakarta – Indonesia
Tlp.: (021) 428 73888-89, Fax. : (021) 428 73680
Website : http://www.kalbe.co.id
Hotline service (bebas pulsa): 0-800-123-0-123, Senin – Jumat (07.00-15.30)

56 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004


Kegiatan Ilmiah

Simposium Terintegrasi Heart Brain Soul, World Trade berprofesi sebagai direktur, menekuni politik, atau malah kerja di
Center Jakarta, 27 September 2003 bank. Padahal seyogyanya seorang dokter tetap harus konsisten
Diantara beta blocker yang digunakan untuk gagal jantung, karena ada banyak pilihan karir yang tersedia dan masih ber-
Carvedilol tampaknya paling unggul. Secara teoritis, Carvedilol hubungan dengan pendidikannya. Dr. Yanto Kadarusman, SpOG-
(V-Bloc®) lebih unggul karena memiliki penghambatan reseptor KFER selaku Wakil Dekan III Fakultas Kedokteran UI me-
beta1, beta2, dan alpha1. Secara praktis manfaat Carvedilol pada nyampaikan hal tersebut dalam sambutannya pada acara Seminar
gagal jantung telah teruji pada berbagai uji klinis. Hal ini di- Doctor's Career Update di Aula Fakultas Kedokteran Universitas
sampaikan oleh Prof. DR. dr. Teguh Santoso, PhD, SpPD-KKV Indonesia – Jakarta tanggal 12-13 September 2003 lalu.
dalam salah satu sesi kuliahnya pada acara Simposium Ter-
integrasi yang diadakan oleh CME FKUI bekerja sama dengan PT Kuliah Doktor : Cara Mudah Mengenali Gangguan Pen-
Kalbe Farma Tbk di Gedung World Trade Center Jakarta (foto). dengaran & Keseimbangan Akibat Bising dan Getaran, Aula
FKUI Salemba Jakarta, 4 September 2003
Laporan lengkap dari simposium, bisa diakses di Kendaraan bajaj merupakan kendaraan angkutan yang sangat
http://www.kalbe.co.id/seminar. Pada topik yang diberi tanda populer di Jakarta, karena selain tarifnya murah juga sangat
Breaking News, berarti peserta simposium bisa memperoleh berita meriah. Meriah karena alat angkut jenis ini memang terkenal
dalam bentuk cetak (print) bersamaan dengan acara di Stand dengan tingkat kebisingannya yang cukup tinggi. Kebisingan
Kalbe Farma, dan bisa langsung diakses pada homepage Kalbe tersebut tentu saja akan merugikan, terutama untuk pengemudinya.
Farma. Bahkan menurut Dr. dr. Jenny T. Basruddin, SpTHT berdasarkan
Diabetes Update, Hotel Borobudur Jakarta, 6 Desember 2003 hasil penelitiannya diketahui 72.28% pengemudi bajaj mengalami
Bertempat di Hotel Borobudur Jakarta, malam Minggu, 6 gangguan kesehatan telinga.
Desember 2003, diselenggarakan suatu acara bagi para spesialis
khususnya mereka yang meminati penyakit kencing manis (DM). 15th Weekend Course on Cardiology (WECOC), Hotel
Para peserta diajak berbincang seraya berbagi pengalaman dalam Shangri-La Jakarta, 11-13 September 2003
menangani pasien kencing manis. Sebagai pengantar, menurut dr. Hipertensi dalam kehamilan melalui 2 tahapan kejadian, yaitu
Sarwono, SpPD selaku moderator, di Indonesia rerata penderita tahap I dan II. Pada tahap I diketahui adanya peran plasenta ab-
DM yang datang berobat dan diterapi memiliki kondisi sel beta normal yang merupakan biang keladi kejadian preeklamsi, namun
pankreas tinggal 50 persen saja. Padahal makin cepat diketahui begitu plasenta lahir masalah akan teratasi. Tahap I dapat diikuti
makin baik. dengan tahap II dengan terjadinya kelainan sistemik pada ibu.
Pada tahap ini terjadi penurunan aliran darah ke semua organ yang
Seminar Doctor's Career Update, Aula FKUI – Jakarta, 12-13 akhirnya mengakibatkan disfungsi multiorgan. Penjelasan tersebut
September 2003 dipaparkan Dr. Ganesja M. Harimurti pada kuliahnya dalam acara
Profesi dokter kini makin membias. Banyak yang menjadikan 15th Weekend Course on Cardiology yang diselenggarakan di
pendidikan dokter hanya sebagai dasar, sehingga ada dokter yang Hotel Shangri-La Jakarta, 11-13 September 2003.

Cermin Dunia Kedokteran No. 141, 2003 57


Simposium Penatalaksanaan Kanker Payudara Terpadu, yang sebelumnya banyak terjadi di usia lebih dari 40 tahun,
Hotel Borobudur- Jakarta, 18 Oktober 2003 sekarang justru mulai sering ditemukan di usia 25–30 tahun. Hal
Paclitaxel sebagai kemoterapi tunggal lini pertama pada ini disampaikan oleh ketua PB PERKENI pusat, dr. Sidartawan
kanker payudara metastasis memperlihatkan respon antara 30- Soegondo, Sp.PD-KEMD, dalam pembukaan acara seminar Forum
60%, dan sebagai lini kedua 20-40%. Sedangkan dalam beberapa Diabetes Nasional I di Bali beberapa waktu lalu.
kombinasi paclitaxel dengan gemcitabine diperoleh respon 39,9%
Muktamar Nasional VI PERABOI, Hotel Grand Candi
lebih baik secara bermakna dibandingkan dengan paclitaxel
Semarang, 18-20 September 2003
(Paxus®) secara tunggal 25,6%. Demikian diungkapkan dr. Ronald
Sampai saat ini modalitas utama terapi kanker kepala dan
A. Hukom, SpPD-Onk dalam simposium "Penanggulangan Kanker
leher adalah operasi dan radioterapi, dengan kemoterapi sebagai
Payudara Terpadu Paripurna" yang diadakan di hotel Borobudur
terapi ajuvan. Namun yang paling penting adalah penanganan
18 Oktober 2003 lalu.
secara multidisiplin dari dokter bedah, bedah plastik, radioterapi,
Bincang sehat bersama Dr. Ang Peng Tiam, Hotel Borobudur onkologi medik dan terapi suportif. Hal ini disampaikan Prof. Dr.
Jakarta, 7 September 2003 Sunarto Reksoprawiro, Sp.B.Onk dalam kuliahnya pada acara
Meskipun terapi kanker saat ini telah mencapai banyak sekali Muktamar Nasional VI Persatuan Ahli Bedah Onkologi Indonesia
kemajuan, namun tak ada satu pun jenis terapi yang efektif untuk (PERABOI) di Semarang tanggal 18-20 September 2003.
pasien kanker kecuali dengan kerjasama kelompok terapi yaitu ahli
Konas Gerontologi 2003, Jakarta , 1-3 Oktober 2003
bedah, radioterapi, kemoterapi dan terapi suportif. Hal ini
Orang lanjut usia (> 65 tahun) sangat rentan terhadap pelbagai
terungkap pada acara 'Bincang sehat bersama Dr. Ang Peng Tiam'
keluhan, baik bersifat psikologis maupun fisik. Demikian ungkap
di Hotel Borobudur Jakarta, beberapa waktu lalu.
Guru Besar Ilmu Kesehatan Jiwa FKUI, Sasanto Wibisono saat
The 5th International Meeting on Respiratory Care Indonesia memberikan ceramah tentang: Kontroversi dalam Pengobatan
(RESPINA), Jakarta Convention Center, 17-20 September Depresi Usia Lanjut, di Jakarta Convention Center, Rabu 1
2003 Oktober 2003. Acara tersebut merupakan sesi pertama dari acara
Bila menemukan pasien dengan gejala sakit pada ulu ilmiah mengenai Gerontologi yang berlangsung hingga tanggal 3
hati/dada, atau batuk darah, yang keduanya bersamaan dengan Oktober 2003 di Jakarta. Selain simposium untuk para dokter juga
siklus menstruasi, pikirkan kemungkinan adanya gejala thoracic diselenggarakan seminar awam.
endometriosis syndrome. Penyakit ini memang khusus dialami
Current Diagnosis and Treatment in Internal Medicine 2003,
wanita yang sering kali berpindah-pindah dokter karena keluhan-
Jakarta, 27-28 September 2003
nya tak sembuh-sembuh dan dengan berbagai pemeriksaan ter-
Bertempat di Hotel Sahid Jaya Jakarta, beberapa waktu yang
nyata hasilnya normal. Dr. Yanto Kadarusman, SpOG menekan-
lalu Bagian Penyakit Dalam FKUI menyelenggarakan acara rutin
kan hal ini dalam sesi kuliahnya di acara The 5th International
tahunan Current Diagnosis dan Treatment in Internal Medicine.
Meeting on Respiratory Care Indonesia (RESPINA), yang ber-
Yang menjadi tema untuk tahun 2003 ini adalah "Practical
langsung di Jakarta Convention Center.
Guidelines in Daily Practice". Simposium yang diadakan selama
Forum Diabetes Nasional I : Diabetes dan Aterosklerosis, dua hari di penghujung bulan September 2003 tersebut dihadiri
Hotel Sanur Beach - Denpasar, 20-21 September 2003 oleh sekitar 1000 dokter dari pelbagai kota. Topik-topik yang
Kasus Diabetes Mellitus (DM) saat ini makin meningkat di dibawakan antara lain: PPOK, Asma Bronkiale, Nyeri, Hipertensi,
masyarakat dan muncul kecenderungan bergesernya usia penderita Tukak Lambung, Hepatitis, dll.

58 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004


Simposium Recent Advances in Management of Cervical dr.Ahmad Hudoyo SpP(K). Sebagai latar belakangnya, diungkap
Cancer and Ovarian Cancer, Hotel Borobudur Jakarta, 29-30 hasil suatu penelitian yang pernah dilakukan di RS Persahabatan
September 2003 Jakarta bahwa di antara 70 kasus pecandu narkoba yang diteliti, 68
Standar pilihan kemoterapi tunggal maupun kombinasi orang berawal dari merokok. Bukan hanya itu saja, kebanyakan
sebagai kemoterapi lini pertama untuk kasus kanker ovarium para perokok pun berasal dari keluarga tak mampu. Rata-rata biaya
epitelial (Epithelial Ovarian Cancer=EOC) adalah Cisplatin, yang dikeluarkan oleh para perokok tersebut, sekitar 40% dari
Carboplatin, Cyclophosphamide, dan Paclitaxel. Peran kemoterapi jumlah penerimaannya. Misalnya, ada pekerja yang hanya mem-
ini terutama pada stadium III, IV dan stadium II dengan derajat peroleh pendapatan Rp 10.000 tetapi rajin membelanjakan 1 pak
diferensiasi yang buruk. Hal ini menjadi salah satu pembahasan rokok Rp 5.500 per hari. Tragis memang, sesal dr. Hudoyo.
dalam pertemuan dokter ginekologi-onkologi Indonesia (ISGO)
6th International Conference of the Asian Clinical Oncology
2003 yang berlangsung di Hotel Borobudur Jakarta pada tanggal
Society, Seoul-Korea, 16-19 November 2003
29-30 September 2003.
Konferensi perhimpunan onkologi klinik se-Asia ke-6 ini
17th Asia Pacific Cancer Conference, Discovery Kartika Plaza pada akhirnya berhasil terlaksana, setelah sebelumnya tertunda
Hotel - Bali, 8-11 Oktober 2003(Breaking News) sekian bulan akibat wabah Severe Acute Respiratory Syndrome
Tepat pkl 19:30 WITA, acara pembukaan "17th Asia Pacific (SARS) yang merajalela beberapa waktu lalu. Dengan mengambil
Cancer Conference" dimulai. Tampak hadir sekaligus membuka tema Better Care for Asian Cancer Patients, konferensi tersebut
konferensi yang diselenggarakan 8-11 Oktober 2003 ini adalah cukup menarik minat sekitar 200 dokter dari beberapa bidang ilmu
Menkes RI Ahmad Sujudi. Konferensi ini diikuti oleh pelbagai seperti bedah onkologi, hematologi onkologi medik, dan lainnya.
organisasi yang peduli terhadap kanker se-Asia Pasifik. Asia Acara berlangsung selama empat hari di Hotel Lotte, Seoul, Korea.
Pacific Cancer Conference (APCC) adalah sebuah kegiatan dalam
8th Asian Pacific Society of Respirology Congress, Sunway
bentuk kongres ilmiah di bidang penyakit kanker se-Asia Pasifik.
Lagoon Resort Hotel - Selangor, 1-4 Desember 2003
Konferensi ini merupakan acara ilmiah rutin dari APFOCC (Asia
Pada awal Desember 2003 lalu telah diselenggarakan 8th
Pacific Federation on Cancer Control).
Asian Pacific Society of Respirology Congress di Sunway Lagoon
The 5th National Brain and Heart Symposium & XIIIth Post Resort Hotel, Petaling Jaya, Selangor, yang berjarak sekitar 30 km
International Atherosclerosis Society Symposium (IAS), Hotel dari Kuala Lumpur, Malaysia. Acara tersebut dibuka secara resmi
Sahid Jaya Jakarta, 3-5 Oktober 2003 oleh Paduka Seri Sultan Perak Darul Ridzuan, Sultan Azlah Shah,
Penanganan penyakit pada sistem saraf dan sistem kardio- dan diikuti oleh kurang lebih 600 dokter dari Asia-Pasifik. Selain
vaskuler hendaknya harus diupayakan secara terpadu agar pasien itu pertemuan itu juga menghadirkan beberapa pembicara dari luar
senantiasa mendapatkan pelayanan yang optimal, dr. Lukman H. Asia Pasifik seperti Australia, Amerika, Belgia dan Jerman.
Makmun menyampaikan hal ini dalam sambutannya di acara The
Jakarta Diabetes Meeting, Hotel Borobudur Jakarta, 6-7
5th National Brain and Heart Symposium. Menurut beliau, selain
Desember 2003
penataksanaan yang optimal pasien juga harus diupayakan untuk
Obesitas merupakan faktor risiko yang penting dalam terjadi-
mendapatkan upaya preventif agar angka kesakitan dan kematian
nya diabetes melitus tipe 2. Suatu penelitian epidemiologi yang di-
akibat stroke bisa ditekan semaksimal mungkin, begitu pula angka
lakukan di Amerika Serikat menunjukkan bahwa individu dengan
kecacatan yang ditimbulkan akibat penyakit tersebut.
Indeks Massa Tubuh (BMI) > 35 akan memiliki 30-40 kali risiko
Muktamar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Balikpapan, 7-11 terkena diabetes dan 2-4 kali risiko menderita penyakit lainnya.
Oktober 2003 Hal ini disampaikan oleh Prof. Dr. Slamet Suyono yang membawa
Kesehatan merupakan masalah pokok dan menjadi kebutuhan topik berjudul Diabesity pada acara Jakarta Diabetes Meeting di
vital setiap individu. Sehingga sudah menjadi kewajiban hotel Borobudur, Jakarta tanggal 6-7 Desember 2003 lalu.
pemerintah, masyarakat, para dokter serta paramedis, rumah sakit,
6th Asia-Pacific Congress of Medical Virology, Hotel Shangri-
ormas dan organisasi profesi di bidang kesehatan lainnya untuk
La - Kuala Lumpur, 7–10 Desember 2003
selalu mengupayakan terciptanya masyarakat yang sehat. Demi-
Asia Pacific of Medical Virology (APCMV) merupakan salah satu
kian disampaikan Walikota Balikpapan Bapak H. Imdaad Hamid,
kegiatan ilmiah yang diadakan teratur setiap 3 tahun. APCMV
SE, yang mewakili Gubernur Propinsi Kalimantan Timur, mem-
yang ke-6 kali ini dilaksanakan di Hotel Shangri-La, Kuala
buka acara Muktamar Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Lumpur pada tanggal 7 – 10 Desember 2003. Sekitar 300 peserta
Kongres Nasional PERHATI, Grand Bali Beach, 12-16 dari 30 negara ikut berperan serta dalam kegiatan yang mengambil
Oktober 2003 tema "Viral Infection–Confronting the Challenges in the 21 th
Pada dasarnya antihistamin mempunyai efektifitas yang sama, Century" ini.
meskipun terdapat variasi individual antar penderita. Karenanya
Seminar Sehari Konvensi Perdana HTA Indonesia, Hotel
ada kemungkinan suatu antihistamin mungkin kurang responsif
Aryaduta - Jakarta, 6 Desember 2003
pada seseorang, sementara antihistamin lain lebih responsif.
Perkembangan teknologi kedokteran (termasuk obat-obatan)
Demikian pula efek sedasi suatu antihistamin, yang umumnya
sangat pesat saat ini. Masing-masing produsen (vendor) ingin alat
ditemukan pada pemakaian antihistamin kelompok klasik. Oleh
yang diciptakannya bisa dipergunakan semaksimal mungkin. Hal
karena itu golongan obat ini tidak dianjurkan bagi penderita yang
inilah yang membuat kemajuan teknologi tersebut, layaknya pisau
memerlukan konsentrasi tinggi dalam aktifitas sehari-harinya.
bermata dua, bisa menguntungkan sekaligus merugikan pelbagai
Seminar Berhenti Merokok, RS Persahabatan Jakarta, 22 pihak terutama pasien. Pembiayaan kesehatan menjadi mem-
Oktober 2003 bengkak. Untuk mengantisipasi inilah, baru-baru ini diadakan
"Rokok adalah pintu gerbang narkoba" begitu papar seminar sehari Konvensi Perdana HTA Indonesia di Jakarta.

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 59


INTERNET UNTUK DOKTER
Panduan AMA bagi para Dokter Internet
Guna mengantisipasi makin berkembangnya media komuni- i. Buatlah daftar pasien yang bisa berkonsultasi via e-mail.
kasi antar pasien dan dokter di Amerika Serikat, maka Asosiasi j. Jangan sekali-kali mengirim e-mail ke banyak orang dengan
Dokter negara tersebut mengeluarkan pedoman pemanfaatan membiarkan semua e-mail address yang dituju terbaca. Gunakan
internet bagi para dokter, seperti yang bisa dibaca pada website fasilitas bcc (blind carbon copy), agar e-mail address penerima
AMA, http://www.ama-assn.org/. terjaga kerahasiaannya.
k. Hindari bertutur kata secara kasar, menunjukkan kemarahan,
Dalam pengantarnya disebutkan bahwa penggunaan media kritik yang pedas atau menjelek-jelekkan pihak lain
tulis dan bercakap-cakap secara langsung maupun via telepon saat l. Terapkan suatu signature (semacam kelompok text) yang
ini telah menjadi bentuk tradisional dari komunikasi informasi berisi nama lengkap, informasi bagaimana menghubungi (telp, HP,
kesehatan. Dengan teknologi maju saat ini, aplikasi internet yang dll) dan peringatan akan keamanan berkomunikasi via e-mail.
digunakan dalam rangka berkomunikasi antara para dokter, ter- Jadikan signature ini, standar dari setiap e-mail yang terkirim.
masuk dengan pasien merupakan suatu bentuk yang menjanjikan. m. Minta pasien untuk menulis e-mail sepadat mungkin. Ringkas
Surat elektronik (e-mail) mengambil tempat yang cukup penting tetapi jelas.
saat ini sebagai salah satu metode komunikasi yang ada antara n. Saat komunikasi via e-mail menjadi terlalu panjang dan
pasien dan tenaga kesehatan. bertele-tele, ada baiknya mengingatkan pasien untuk bertemu
E-mail bisa digunakan para dokter untuk menjelaskan mau- langsung atau telpon mereka.
pun menindaklanjuti instruksi yang telah diberikan. Menggunakan o. Ingatkan pasien untuk mematuhi panduan.
e-mail, secara tidak langsung menciptakan suatu rekaman atas p. Jika berkali-kali telah diingatkan, namun tetap tidak mema-
instruksi yang diberikan. tuhi, sangat bijaksana untuk segera mengakhiri komunikasi via e-
Dengan e-mail juga, para dokter bisa membuat link mail ini.
(hyperlink) ke materi pendidikan dan sumber-sumber pengetahuan
kesehatan lainnya di internet. Dengan penggunaan yang terus Panduan medikolegal dan administratif
menerus dari internet, e-mail bisa merupakan suatu hal yang Buat kesepakatan antara pasien dengan dokter sebagai
sederhana dan ampuh. informed consent atas penggunaan e-mail. Hal ini harus didiskusi-
Berikut ini ditulis beberapa butir panduan untuk aktivitas kan terlebih dahulu dan ditandatangani serta didokumentasi dalam
tersebut. Tentu harus dipahami bahwa internet (termasuk e-mail) medical record (catatan medik pasien). Perjanjian harus mencakup
di Amerika Serikat merupakan hal yang sudah dimanfaatkan dan hal-hal seperti:
menjadi kebutuhan sehari-hari warga di sana. a. Panduan syarat-syarat dalam berkomunikasi.
Panduan ini diperuntukkan bagi para dokter yang memilih b. Instruksi kapan dan bagaimana bisa mengunjungi tempat
menggunakan e-mail untuk membantu pasien-pasiennya: praktek atau menelpon.
a. Sediakan waktu untuk mengakses e-mail. Sebaiknya sangat c. Menjelaskan mekanisme keamanan suatu tempat, yang terdiri
berhati-hati menggunakan e-mail untuk keadaan emergensi. dari:
Melihat kondisi infra struktur di Indonesia, penulis tidak meng- - penggunaan screen saver yang berpassword untuk semua pc
anjurkan penggunaan e-mail untuk keadaan emergensi. di kantor, rumah sakit dan rumah.
b. Beritahu pasien akan isu-isu privasi, misalnya dengan meng- - tidak boleh meng-forward informasi identitas pasien kepada
gunakan e-mail, bisa saja e-mail kita terbaca oleh orang lain. pihak ke-tiga (III) tanpa ijin pasien.
c. Pasien juga harus diberitahu, jika ada, e-mail address lain dari - tidak boleh menggunakan e-mail address pasien untuk ke-
dokter, selain e-mail address yang biasa digunakan. perluan marketing.
Atau e-mail address dokter pengganti yang biasa digunakan se- - tidak menggunakan e-mail address bersama (baik dokter mau-
waktu dokter pergi berlibur (sayangnya di Indonesia, belum semua pun pasien).
dokter memiliki e-mail address, apalagi lebih dari satu). - selalu mencermati (cek berulang-ulang) isi kolom to sebelum
d. Jika mungkin, dokter harus mempunyai arsip baik elektronik dikirim.
maupun cetakan dari komunikasi via e-mail dengan pasien. d. pastikan bahwa jika terjadi kegagalan teknis, tidak ada
e. Beberapa hal lain bisa menggunakan komunikasi via e-mail kehilangan informasi yang bisa membahayakan institusi ke-
seperti: pengulangan resep, penjadualan perjanjian, dll. sehatan.
f. Beritahu pasien untuk mencantumkan jenis transaksi pada Demikian beberapa panduan yang bisa dijadikan referensi
Subject e-mail seperti [prescription], [appointment], [medical bagi dokter internet di Indonesia. Terlihat bahwa aturan tersebut
advice], [billing question]. hanya diperuntukan bagi konsultasi pribadi. Untuk konsultasi
g. Begitu juga, minta pasien mencantumkan nama dan nomor umum seperti pada pelbagai website dan mailinglist yang marak
identifikasi mereka pada body / isi setiap e-mail yang dikirim. saat ini di Indonesia, penulis belum memperoleh referensi
h. Konfigurasi 'automatic reply' untuk memberitahu bahwa pesan panduannya; pada prinsipnya sama seperti konsultasi via media
telah diterima, dan minta pasien untuk melakukan hal yang sama cetak maupun elektronik lainnya seperti televisi maupun
sehingga dokter tahu bahwa e-mailnya telah sampai ke tujuan. majalah/koran.

60 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004


Kapsul
BELL’S PALSY
Apa sebenarnya Bell’s palsy
Bell’s palsy merupakan kelumpuhan (relatif) mendadak otot-otot wajah sesisi; dapat mencemas-
kan karena umumnya terjadi tanpa gejala pendahuluan dan menyebabkan wajah miring/mencong;
sehingga dikacaukan dengan gejala gangguan peredaran darah otak (stroke).
Berbeda dari Gangguan Peredaran Darah Otak, kelumpuhan wajah sesisi ini tidak dibarengi
dengan kelumpuhan anggota badan/tubuh lainnya.

Apa penyebabnya
Bell’s palsy disebabkan oleh pembengkakan n. facialis sesisi; akibatnya pasokan darah ke saraf
tersebut terhenti, menyebabkan kematian sel sehingga fungsi menghantar impuls/rangsangnya ter-
ganggu; akibatnya perintah otak untuk menggerakkan otot-otot wajah tidak dapat diteruskan.
Kausanya tidak diketahui, umumnya dianggap akibat infeksi semacam virus herpes simpleks;
virus tersebut dapat dormant (‘tidur’) selama beberapa tahun, dan akan aktif jika yang bersangkutan
terkena stres fisik ataupun psikik.
Sekalipun demikian Bell’s palsy tidak menular.

Apa gejalanya
Otot-otot wajah satu sisi lumpuh sehingga wajah menjadi miring/mencong, kelopak mata tidak
dapat menutup sehingga bola mata akan berair terus-menerus, sebaliknya akan kering di malam hari
(jika tidur).
Kesulitan berbicara dapat terjadi akibat mulut/bibir yang tertarik ke satu sisi. Kadang-kadang
kemampuan mengecap/merasa juga terganggu dan suara-suara terdengar lebih keras di satu sisi yang
terkena.

Siapa yang rentan terhadap Bell’s palsy


Umumnya mengenai remaja usia 20-an dan lanjut usia setelah 60 tahun.
Wanita hamil, penderita diabetes melitus dan pasca flu juga lebih berisiko.

Bagaimana pengobatannya
Kebanyakan akan pulih tanpa pengobatan dalam 2 minggu; tetapi umumnya digunakan
kortikosteroid seperti prednison dan antivirus seperti asiklovir dalam 2 – 3 hari pertama; pengobatan
dini dengan cara ini memperbaiki prognosis sampai 20%.
Kira-kira 70% sembuh dalam beberapa bulan, 15% masih merasa sedikit kelemahan.
Pada kira-kira 10 – 20% pasien, Bell’s palsy dapat terulang.

brw

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 61


ABSTRAK
RISIKO DEMENSIA 39,1-55,0) dibandingkan dengan 40 di MANFAAT BUDESONID PADA
Silent brain infarct – area infark antara 146 pasien trombosis sekunder- ASMA
yang terlihat pada CT scan dan/atau pasien dengan faktor risiko seperti kan- Telah dilakukan studi acak buta-
MRI – sering ditemukan secara ke- ker, postpartum, trauma/fraktur tung- ganda terhadap 7241 pasien di 32
betulan, terutama di kalangan lanjut kai, imobilisasi lebih dari 1 minggu negara untuk menilai manfaat bude-
usia. Suatu penelitian di Belanda ber- atau pengguna estrogen; dan di kalang- sonid pada pasien asma persisten
tujuan mencari hubungan antara adanya an kontrol ditemukan pada 48 di antara ringan kurang dari 2 tahun dan belum
silent brain infarct dengan terjadinya 150 orang (32,0%; 95%CI: 24,5-39,5). pernah menggunakan glukokortikoid.
demensia di kemudian hari pada 1015 Odd ratio plak karotis di kalangan Pasien berusia 5-66 tahun mendapat
orang sehat berusia 60-90 tahun – trombosis spontan adalah sebesar 2,3 budesonid atau plasebo sekali sehari
mereka menjalani uji psikoneurologik (95%CI: 1,4-3,7) dibandingkan dengan selama 3 tahun di luar pengobatan
dan MRI pada tahun 1995-1996 dan trombosis sekunder, dan sebesar 1,8 asma reguler mereka; dosisnya 200 ug
diulang pada 1999-2000. (95%CI: 1,1-2,9) dibandingkan dengan untuk usia<11 tahun, dan 400 ug untuk
Selama 3697 person-years (rata-rata kontrol. usia≥11 tahun. Sedikitnya satu kali
per orang 3,6 tahun), 30 di antara 1015 Para peneliti menyimpulkan ter- serangan asma berat diderita oleh 198
peserta di atas menunjukkan gejala dapat hubungan antara aterosklerosis dari 3568 pasien plasebo dan 117 dari
demensia; dan ternyata adanya gambar- dengan trombosis vena spontan, atau 3597 pasien budesonid (hazard ratio
an silent brain infarct meningkatkan terdapat faktor risiko bersama antara 0,56; 95%CI 0,45-0,71, p<0,0001).
risiko demensia – hazard ratio 2,26 dua keadaan tersebut. Pasien budesonid lebih sedikit mem-
(95%CI: 1,09 – 4,70), juga dikaitkan butuhkan kortikosteroid sistemik dan
dengan lebih buruknya hasil uji psiko- N. Engl. J. Med. 2003; 348: 1435-41 lebih lama bebas gejala daripada pasien
neurologik dan penurunan fungsi kog- brw plasebo. Dibandingkan dengan plasebo,
nitif global yang lebih cepat. Infark budesonid meningkatkan FEV1 post-
talamus tanpa gejala (silent) dikaitkan bronkodilator sebesar 1,48% (p <
dengan penurunan daya ingat, sedang- 0,0001) setelah 1 tahun dan 0,88%
kan infark non talamik tanpa gejala RISIKO ALERGI KACANG (p=0,0005) setelah 3 tahun; sedangkan
dengan ketrampilan psikomotor; jika Studi kohort atas 13971 anak pra- FEV1 prabronkodilator meningkat
dipilah lebih lanjut, penurunan kognitif sekolah di Inggris dilakukan untuk 2,24% (p < 0,0001) setelah 1 tahun dan
hanya ditemukan pada kelompok yang mencari data mengenai anak yang 1,71% (p < 0001) setelah 3 tahun.
menderita infark tambahan selama alergi terhadap kacang. Ditemukan 49 Di lain pihak budesonid meng-
periode follow up. anak yang alergi kacang, dan dari 36 hambat pertumbuhan di kalangan anak
Para peneliti menyimpulkan bahwa anak yang diuji, 23 positif terhadap < 11 tahun; selama 3 tahun hambatan
orang tua dengan silent brain infarct peanut challenge test; tidak ditemukan pertumbuhan sebesar 1,34 cm; ter-
lebih berisiko menderita demensia dan sensitisasi prenatal terhadap diet ibu utama di tahun pertama – 0,58 cm,
penurunan fungsi kognitif yang lebih dan IgE spesifik kacang tidak ditemu- sedangkan di tahun ke dua 0,43 cm dan
cepat. kan dalam darah tali pusat. di tahun ke tiga 0,33 cm.
Ternyata kejadian alergi kacang di-
N. Engl. J. Med. 2003; 348: 1215-22 kaitkan dengan asupan susu kedelai Lancet 2003; 361: 1071-76
brw atau formula kedelai (OR 2,6; 95%CI: brw
1,3-5,2), dengan adanya ruam sendi
dan lipatan kulit (OR 2,6; 95%CI: 1,4-
HUBUNGAN ANTARA TROM- 5,0) dan dengan adanya ruam berair CANDESARTAN
BOSIS DAN ATEROSKLEROSIS dan berkerak (OR 5,2; 95%CI: 2,7- Pengamatan atas 20 pasien hemo-
Pada 299 pasien trombosis vena 10,2). dialisis kronis menunjukkan bahwa
dalam di tungkai (deep vein thrombosis Analisis selanjutnya juga menun- keadaan steady-state candesartan dua
/DVT) dilakukan USG karotis, di- jukkan adanya hubungan dengan peng- kali lebih tinggi jika dibandingkan
bandingkan dengan 150 orang kontrol gunaan salep/lotion kulit yang me- dengan orang normal; oleh karena itu
untuk mencari hubungan antara atero- ngandung minyak kacang (OR 6,8; penggunaannya pada pasien gagal
sklerosis dengan trombosis. 95%CI: 1,4-32,9). ginjal harus dititrasi lebih cermat.
Ternyata sedikitnya 1 plak karotis
terdeteksi pada 72 dari 153 pasien N. Engl. J. Med. 2003; 348: 977-85 Clin.Drug Invest.2003; 23(8) : 545-50
trombosis spontan (47,1%; 95%CI: brw brw

62 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004


ABSTRAK
TERAPI SULIH HORMON estrogen-progestin sebesar 1,24 ± alendronat 10 mg/hari, atau hormon
Women’s Health Initiative merupa- 0,80% (p=0,66). paratiroid 40 ug. sc/hari, atau keduanya
kan studi longitudinal yang melibatkan Perbedaan rata-rata antara kelom- pada 83 pria usia 46 – 85 tahun dengan
16 608 wanita berusia 50 – 79 tahun pok estrogen dan kelompok kontrol densitas tulang rendah.
postmenopause dengan ‘intact uterus’ sebesar 0,29% (95%CI: -1,83 - +2,36) Sejumlah 28 pria mendapat alen-
selama sedikitnya 3 tahun. Mereka dan perbedaan rata-rata antara kelom- dronat selama 30 bulan, sedangkan
mendapat conjugated equine estrogen pok kombinasi dengan kelompok hormon paratiroid baru diberikan se-
0.625 mg + 2.5 mg medroksipro- kontrol sebesar -0,65% (95%CI: -2,87 - telah 6 bulan dan dilanjutkan sampai 24
gesteron/hari,atau plasebo. +1,57). bulan. Asupan kalsium dijaga sekitar
Setelah periode follow up 5,2 Kematian terjadi pada 4 orang di 1000 – 1200 mg/hari dan semua peserta
tahun, panitia pemantau manganjurkan kelompok kontrol, 2 di kelompok estro- mendapat 400 IU vitamin D/hari.
penghentian penggunaan hormon ka- gen dan 3 di kelompok kombinasi; Setelah 30 bulan ternyata densitas
rena peningkatan risikonya melebihi penyebabnya kardiovaskuler (5 kasus), tulang yang diukur di vertebra lumbal
potensi manfaatnya. kanker paru (1 kasus), sepsis (1 kasus) lebih banyak meningkat secara ber-
Terapi hormon tersebut dikaitkan sirosis kriptogenik (1 kasus) dan gagal makna di kelompok paratiroid (p ≤
dengan peningkatan risiko penyakit napas (1 kasus). 0,001), sedangkan densitas tulang di
jantung koroner (hazard ratio 1,24; femoral neck meningkat secara ber-
95%CI: 1.00-1.54) 95%CI setelah N. Engl. J. Med. 2003; 349 : 535-45
makna di kelompok paratiroid, diban-
penyesuaian: 0,97-1,60). Peningkatan brw dingkan dengan kelompok alendronat
risiko ini terutama dalam 1 tahun per- (p ≤ 0,001).
PROGNOSIS PASIEN ICU
tama (hazard ratio: 1,81; 95%CI: 1,09- Setelah 12 bulan perubahan kadar
Studi yang dilakukan atas 851
3,01). Meskipun wanita yang mendapat alkalifosfatase serum lebih besar secara
pasien ICU di 15 rumahsakit di AS
terapi hormon juga tingkat LDLnya bermakna di kelompok paratiroid, di-
menunjukkan bahwa 539 (63,3%)
lebih tinggi, peningkatan biomarker bandingkan baik terhadap kelompok
dapat lepas dari ventilator, 146 (17,2%)
lain tidak mempengaruhi risiko pe- alendronat (p ≤ 0,001) maupun ter-
meninggal saat masih menggunakan
nyakit jantung koroner tersebut secara hadap kelompok kombinasi (p≤0,001).
ventilator dan 166 (19,5%) lainnya
bermakna. Disimpulkan bahwa alendronat
dilepas dari ventilator.
N. Engl. J. Med. 2003; 349: 523-34 Di antara yang dilepas dari ventilator mengurangi kemampuan hormon para-
brw tersebut, 160 (96,4%) meninggal di tiroid dalam meningkatkan densitas
rumahsakit, termasuk 145 (87,3%) tulang di vertebra lumbal dan femoral
ESTROGEN DAN ATERO- yang meninggal di ICU; hanya 6 neck pria, mungkin karena melemah-
SKLEROSIS (3,6%) yang bisa keluar dari rumah- kan stimulasi hormon paratiroid pada
Laporan penelitian lain juga me- sakit. pembentukan tulang.
nyimpulkan bahwa terapi estrogen atau Faktor yang menentukan pelepasan N. Engl. J. Med. 2003; 349: 216-26
kombinasi estrogen-progesteron tidak ventilator tersebut ialah – persepsi brw
memperlambat proses aterosklerosis. dokter terhadap keinginan pasien,
Para peneliti di AS melakukan ramalan dokternya terhadap kemung-
penelitian atas 226 wanita postmeno- kinan survival, ramalan dokternya PENURUN DEMAM
pause (usia rata-rata 63,5 tahun) yang terhadap status kognitifnya dan faktor Studi perbandingan pada 252 anak
mempunyai sedikitnya satu lesi koro- penggunaan obat inotropik dan vaso- berusia 6 bulan – 14 tahun yang men-
ner. Mereka dibagi atas grup kontrol, presor. Faktor usia dan perburukan derita demam dilakukan untuk mem-
grup estrogen yang mendapat 17beta- fungsi organ ternyata bukan faktor bandingkan efektivitas ibuprofen 10
estradiol 1 mg dan grup estrogen- penentu pada penelitian ini. mg/kgbb. oral, nimesulid 2.5 mg/kgbb
progestin yang mendapat 1 mg 17beta- N. Engl. J. Med. 2003; 349 : 1123-32 oral dan dipiron 10 mg/kgbb. im.
estradiol + 5 mg medroksiprogesteron brw Semua cara tersebut efektif me-
asetat. nurunkan demam dalam 2 jam peng-
Setelah 3,3 tahun, perubahan ke- TERAPI OSTEOPOROSIS UNTUK amatan; paling efektif adalah dipiron
adaan stenosis koroner di kalangan PRIA im (p=0.0036).
kontrol sebesar 1,89 ± 0,78% diban- Selama ini terapi osteoporosis
dingkan dengan kelompok estrogen terutama diberikan pada wanita; para Clin. Drug Invest. 2003; 23(8) : 519-26
sebesar 2,18 ± 0,76% dan di kelompok peneliti di Boston, AS memberikan Brw

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 63


Ruang
Penyegar dan Penambah
Ilmu Kedokteran
Dapatkah saudara menjawab
pertanyaan-pertanyaan di bawah ini?
1. Bisinosis disebabkan oleh reaksi alergi terhadap : b) Cetirizin
a) Tungau c) Terfenadin
b) Debu rumah d) Siproheptadin
c) Kapas e) Efedrin
d) Bulu binatang 6. Keracunan organofosfat dapat dideteksi melalui peng-
e) Serat sintetis ukuran :
2. Logam yang sering menyebabkan dermatitis kontak : a) Hemoglobin
a) Nikel b) Aktivitas kolinesterase
b) Emas c) SGOT/ SGPT
c) Perak d) Ureum - kreatinin
d) Tembaga e) Asetilkholin
e) Lateks 7. Pajanan akut terhadap benzen, terbaik diketahui melalui
3. Pada rinitis, jalan napas/hidung terganggu terutama akibat: pengukuran/pemeriksaan :
a) Edema jaringan a) Hemoglobin
b) Sumbat mukus b) Hitung trombosit
c) Kontraksi otot polos c) SGOT/ SGPT
d) Vasodilatasi d) Urine lengkap
e) Hipersekresi e) Fenol dalam urine
4. Leukosit yang mengandung histamin : 8. Paraquat bersifat :
a) Eosinolfil a) Insektisida
b) Basofil b) Herbisida
c) Netrofil c) Rodentisida
d) Limfosit d) Exfoliativa
e) Polimorfonuklear e) Fungisida
5. Yang bukan sediaan antialergi :
a) Klemastin

64 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

Anda mungkin juga menyukai