Anda di halaman 1dari 6

GREEN BUILDING COUNCIL INDONESIA

turut mendukung pelestarian keanekaragaman hayati

This world relies on a range of services nature provides water filtration by forest, pollination by bees and supply of wild plant genes for new food crops and medicines..(IPCC 2007) Survey said.United nation which had the program of making 2010 the International Year of Diversity states have proposed a new body, The Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES) to advise on valuing nature and conservation targets. The International Union for Conservation of Nature (IUCN), juga berpendapat bahwa pada tahun 2009, 48.000 species yang beresiko, 2 % diantaranya berada di alam liar dan tidak terlindungi dengan baik sehingga sangat mudah untuk diganggu oleh manusia. Alaminya sebagian dari kehilangan keanekaragaman hayati adalah proses yang sudah seharusnya terjadi, tetapi sering kali laju penurunannya menuju kepunahan dipercepat oleh kegiatan manusia. Secara umum dapat dikatakan tantangan utama penyelamatan keanekaragaman hayati di Indonesia terdiri dari : a. Kenaikan jumlah penduduk b. Deforestasi dan kebakaran hutan c. Eksploitasi berlebihan di hutan dan di laut d. Fragmentasi dan perusakan habitat Jika kita melihat lebih dalam tantangan-tantangan tersebut, kita akan menemukan beberapa faktor penyebab utama (underlying causes) dan pendorong (drivers) kepunahan keanekaragaman hayati Indonesia Pertama,kebijakan pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi dan mengabaikan keseimbangan ekosistem dan keengganan menggunakan ukuran-ukuran integritas ekosistem. Kebijakan yang ditetapkan biasanya cenderung eksploitatif dan mendorong pemanfaatan yang kurang bertanggung jawab karena pelaku bisnis tidak dituntut untuk melakukan pengelolaan sumber daya menurut kaidah kelestarian usaha dalam jangka panjang. Kedua, pembangunan yang terjadi hanya mengutamakan pemilik modal dan memarjinalisasi masyarakat miskin, masyarakat adat dan lokal sebagai pemangku kepentingan keberlanjutan ekosistem dan sumber daya alam. Masyarakat yang termajinalkan sering tidak memiliki pilihan lain kecuali ikut melakukan eksploitasi sesuai keinginan perusahaan penguasa sumber daya alam, atau menjadi pelaku illegal dalam pemanfaatan hutan atau ikan di wilayah-wilayah konsesi yang sudah diberikan kepada pemodal besar. Ketiga, eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan baik di hutan maupun di laut

Keempat, korupsi dan keseluruhan tata kelola sumber daya alam yang buruk terkait berbagai isu seperti konservasi dan preservasi hutan, alokasi dan distribusi akses terhadap sumber, terlebih dipicu dengan praktek bad governance yang member peluang kepada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk mengeksploitasi alam. Indonesia, dengan kondisi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi dan dengan keunggulan masingmasing, sudah sepatutnya perlu mengembangkan ekologi lansekap yang baik, yang meliputi penataan ruang berdasarkan struktur lahan, fungsi lingkungan dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalam struktur dan fungsi lingkungannya. Keunggulan dari kemampuan flora dan fauna tersebut sangat diperlukan untuk mengoptimalkan fungsi-fungsi dari konsep Green Building dalam bentuk optimalisasi ruang terbuka hijau (RTH) dalam bentuk koefisien daerah hijau (KDH) pada lahan pembangunan Green Building. Degradasi RTH di perkotaan dapat membuat berkurangnya kualitas lingkungan. Kondisi RTH di Jakarta, sebagai contoh saat ini hanya 9% dari perencanaan tata ruang RTH yang sebesar 30%. Bila kondisi pemenuhan RTH tidak dapat dicapai, akan terus terjadi penurunan keanekaragaman hayati didalamnya selain penurunan kualitas lingkungan (Greenship 2010) Minister of Environment, Gusti Muhammad Hatta said We need appreciate all parties central and local governments, universities, companies, NGOs and individuals making various efforts to support environmental conservation either in city or rural. Awal permulaan dari permasalahan tersebut dipicu sejak pembangunan perkotaan yang tidak terencana akhirnya menyebabkan konversi lahan hijau menjadi bangunan, namun meluasnya wilayah tersebut lebih cenderung ke daerah-daerah belakang perkotaan (hinterland and suburban) yang umumnya menyerang kawasan hijau baik hutan ataupun lahan pertanian sehingga mengganggu kehidupan ekosistem didalam hutan ataupun lahan pertanian tersebut. Di Indonesia, Undang-undang Penataan Ruang No.24 tahun 2007,ikut mengatur bahwa selayaknya lahan hijau diperkotaan harus memenuhi 30% penyedian Ruang Terbuka Hijau yang terdiri dari RTH untuk Publik 20% dan RTH untuk Private 10%, Konsil Bangunan Hijau Indonesia melalui perangkat penilaiannya GREENSHIP sudah merekomendasikan hal itu melalui poin ratingnya. Tolak ukur yang dipakai adalah dengan adanya area lansekap berupa vegetasi (softscape) yang bebas dari struktur bangunan dan struktur sederhana bangunan taman (hardscape) di atas permukaan tanah atau dibawah tanah, dengan luas area minimum 10% dari luas total lahan atau 50% dari ruang terbuka dalam tapak. Tolak ukur lain yang dinilai adalah area lansekap didaerah lain seperti diatas basement, roof garden, terrace garden dan wall garden sesuai Peraturan Menteri PU No.5/PRT/M/2008 mengenai ruang terbuka hijau tentang kriteria vegetasi untuk pekarangan. Diperkaya dengan penggunaan tanaman lokal (indigenous) dan budidaya lokal dalam skala provinsi menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia sebagai lembaga yang menyediakan data akan keanekaragaman hayati di negeri ini. Sejauh ini memang yang menjadi permasalahan adalah bagaimana kita dapat menentukan standard metrik untuk mengukur keanekaragaman hayati disuatu daerah karena perbedaan tindakan sebagai solusi di setiap negara di seluruh dunia melaksanakannya, untuk itu diperlukan suatu komunitas para peneliti yang didukung

pemerintah yang men-support lembaga seperti ; The Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES) yang dibentuk badan PBB untuk memberikan guidelines. Suatu survei terhadap suksesi tanaman di sekitar gunung Krakatau menunjukkan bahwa heteroginitas tumbuhan di pulau-pulau sekitarnya terus bertambah berdasarkan waktu ke waktu bahkan setelah bencana meletusnya gunung tersebut. Riset ini merujuk pada sebuah teori keseimbangan alam yang bergantung pada kondisi biogeografi, yaitu Equilibrium Theory of Island Biogeography (ETIB) yang diperkenalkan oleh periset dari Inggris, Richard Field Kegunaan dari pelestarian keaneka ragaman hayati bagi kita adalah bisa lebih dilihat dari segi : 1. Proses fotosintesa, kegiatan tumbuhan untuk menghasilkan O2 dan mengambil CO2 yang berlebihan di alam sehingga kualitas udara tetap terjaga dengan tetap tersedianya pasokan udara segar untuk habitat yang hidup didalamnya. 2. Proses fotohidrologi, kegiatan tumbuhan untuk menyerap air ke dalam tanah dan menyimpannya guna menyediakan sumber makanan bagi organisme yang hidup di bawahnya. Hal lain yang ikut mempengaruhi faktor keberlangsungan keanekaragaman hayati adalah masalah penyedian material untuk menopang pembangunan, yang seharusnya mengacu pada ekstraksi dari sumber material terdekat dengan jumlah yang harus dibatasi pula. Seperti contohnya penyedian kayu yang tidak perlu didatangkan dari luar daerah tanaman namun cukup dari lingkungan sekitar sehingga lacak dan pembalakannya juga dapat di deteksi. Oleh karenanya habitat lokal perlu dilestarikan untuk menopang akan kebutuhan ini. Proses sertifikasi terhadap lacak dan pembalakan sumber material juga sangat berguna untuk membedakan produk material itu berasal dari sumber yang lestari atau tidak. Contohnya sertifikasi lacak balak pada material kayu. Dalam penilaian tersebut, asesor akan menilai kebertelusuran kayu dari industri sampai ke sumber bahan baku melalui penilaian administrasi kayu, sehingga didapatkan rantai tak terputus yang menggambarkan asal kayu berasal dari hutan yang diproduksi secara lestari. Kegunaan lain dari sistem sertifikasi ini adalah sebagai alat untuk menyatukan kepentingan lingkungan, kelestarian sumber daya hutan dan kepentingan ekonomi dan dagang. Dari segi pembeli, konsumen yang cinta lingkungan mempunyai pilihan atas seleranya atas produk-produk yang ramah lingkungan dan berasal dari sumber yang dikelola secara ramah lingkungan. Dari segi bisnis, para pengusaha mempunyai alat untuk menunjukkan kemampuannya mengelola usahanya, legalitasnya dan menunjukkan tanggung jawab moralnya terhadap lingkungan dan masyarakat. Strategi penyelamatan keanekaragaman hayati dapat ditetapkan dengan menyepakati ukuran yang digunakan sebagai indikator keanekaragaman hayati, karena kita tidak akan bisa mengelola hal-hal yang tidak kita tahu ukurannya, seperti dalam keuntungan dalam berbisnis, perlu dikelola secara terukur sehingga secara periodik dapat dievaluasi tingkat keberhasilan pengelolaan keanekaragaman hayati tersebut. Hal yang dapat diukur misalnya kerapatan atau jumlah jenis flora per hektar hutan yang ingin dijadikan sarana penyelamatan keanekaragaman hayati. Tindakan selanjutnya adalah dengan menciptakan harga bagi kegiatan internalisasi dan upaya penyelamatan keanekaragaman hayati

tersebut yang sebenarnya refleksi dari biaya internalisasi kerusakannya atau upaya penyelamatannya secara langsung melalui pengenaan pajak atas kerusakan keanekargaman hayati tersebut penetapan kewajiban kompensasi bagi pelaku penyelamatan keanekaragaman hayati, terlebih bisa dilakukan dengan mewajibkan penggantian kawasan untuk keanekaragaman hayati (biodiversity-offset) bagi para perusahaan yang secara langsung memiliki dampak negatif terhadap keanekaragaman hayati. Salah satu upaya Indonesia melalui Konferensi International Asosiasi Biologi Tropika dan Konservasi (ATBC) yang dilangsungkan di Bali pada pertengahan Juli 2010 lalu. Konferensi asosiasi ini sudah dimulai sejak 1963 dan Indonesia sudah terlibat sejak awal. (ATBC) merupakan asosiasi yang beranggotakan ratusan ilmuwan (scientist) dari 70 negara, dengan fokus pada upaya konservasi untuk menjaga keberlanjutan dari keragaman hayati (biodiversity) yang sebagian besar terdapat di dalam hutan. Data United Nations Environment Programme (UNEP) dan Sekretariat Convention on Biological Diversity menunjukkan 100 spesies hewan dan tumbuhan punah setiap harinya, bersamaan dengan hilangnya habitat hutan tropis. Adapun, lebih dari 6 juta hektare hutan tropis yang kaya akan keragaman hayati, hilang setiap tahunnya. Konferensi tersebut menghasilkan Deklarasi Bali yang isinya antara lain, mendesak Indonesia sebagai Megadiversity Country melalui implementasi kebijakan moratorium penebangan hutan disertai evaluasi terhadap kandungan biodiversitas di dalamnya. Selain mendesak segera diberlakukannya moratorium terhadap pemberian izin pengolahan hutan, melalui Deklarasi Bali tersebut, ATBC juga meminta agar izin konsensi untuk pengelolaan hutan alam yang diberikan sebelum moratorium diberlakukan, dievaluasi kembali keragaman hayatinya dan nilai karbon yang tersimpan di dalamnya. Pemerintah Indonesia juga didesak untuk memperkuat upaya memerangi penghancuran hutan yang naik 59% pada periode 2008 dan 2009. Deklarasi juga berisi sejumlah pernyataan positif terhadap upaya yang telah dilakukan Pemerintah Indonesia dalam menurunkan pembalakan liar yang dilaporkan turun 50%-75% sejak 2002, serta perjanjian yang dibuat antara Indonesia dan Norwegia berupa pendanaan US$1 miliar untuk konservasi hutan. Deklarasi Bali berisi sejumlah rekomendasi yang mendorong penyelamatan hutan Indonesia. Ada 12 poin yang tertuang dalam rekomendasi tersebut yang akan dibacakan dalam penutupan, Jumat (23/7/2010). Berikut beberapa rekomendasi dalam Deklarasi Bali yang diberitakan oleh salah satu media ternama lokal : 1. Mendorong Pemerintah Indonesia untuk menerapkan dan memantau pelaksanaan moratorium selama dua tahun terhadap konsesi kayu, kelapa sawit, dan perkebunan lainnya; melaksanakan moratorium ini sesegera mungkin; dan memastikan bahwa ekspansi perkebunan berikutnya tidak dilakukan di lahan tanpa tegakan hutan. 2. Meminta agar semua bentuk konsesi yang membuka hutan terkait moratorium tersebut dievaluasi kembali secara cermat untuk melihat nilai keanekaragaman hayati dan kandungan karbonnya.

3. Merekomendasikan kepada Pemerintah Indonesia untuk menerapkan kembali pelarangan pembukaan hutan gambut seperti tahun 2007 yang dibuka lagi sejak 2009 karena manfaat lahan basah ini sangat tinggi untuk menyerap karbon. 4. Secara khusus merekomendasikan agar upaya mengurangi laju penggundulan hutan segera dikonsentrasikan di titik-titik konversi hutan yang sudah dilakukan maupun yang sedang berlangsung, seperti di Sumatera bagian tengah, Kalimantan Timur dan Barat, dan Papua Barat. 5. Mengajak Pemerintah Indonesia untuk melindungi dan mengelola daerah dengan nilai keanekaragaman hayati yang tinggi secara efektif, termasuk daerah-daerah yang dilindungi dan inisiatif konservasi baru, seperti program Heart of Borneo dan konsesi hutan restorasi. Kesemuanya terkonsentrasi pada isu yang sedang hangat akhir-akhir ini yaitu : masalah fragmentasi hutan yaitu berupa kondisi terbelahnya hutan oleh pengalihan fungsi untuk perkebunan, pertanian, atau permukiman. Kegiatan fragmentasi tersebut menjadikan hutan tidak lagi berupa satu keutuhan, hutan makin terbagi-bagi menjadi bagian yang lebih kecil. Hal itu menyebabkan peluang interaksi populasi suatu hewan dan tumbuhan menjad terpisah-pisah dan tidak berhubungan satu dengan yang lainnya. Peluang untuk kawin silang menjadi sempit. Akibatnya hanya akan terjadi perkawinan sedarah yang dapat memerosotkan kualitas genetika suatu hewan/tumbuhan yang lalu ikut menurunkan daya tahan suatu habitat sehingga mereka mudah punah. Kehilangan satu jenis hewan atau tumbuhan akan mempengaruhi keanekaragaman sehingga kehilangan biodiversitas secara tidak langsung bisa berdampak terhadap kelangsungan dan ketahanan pangan. Peran serta CSR terhadap bisnis dan lingkungan Ketika mesin penggerak dari fungsi ekonomi ini adalah perusahaan perusahaan , dimana perusahaan sering kali memaksimalkan penggunaan sumber daya alam. Yang akhirnya 70% dari perusakan alam disebabkan oleh perusahaan-perusahaan, dan untuk menanggulangi kenyataan ini, perusahaan mempunyai jalan lain yang harus ditempuh untuk bertanggung jawab sosial terhadap lingkungan hidup. Melalui program Corporate Social Responsibility, perusahaan akan membentuk reputasi yang baik sekaligus mempunyai nilai jual dari segi konsumen Contoh paling nyata seperti yang diterapkan Bakrie Plantation di Sumatra, mereka bergerak dibidang industri kelapa sawit, mereka membuka lahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, otomatis struktur habitat ekosistem di lingkungan tersebut akan berubah drastis karena tumbuhan kelapa sawit yang tergolong tanaman keras (akar serabut) sangat banyak dalam menggunakan air dari dalam tanah, membuat tanah menjadi kering, unsur hara menjadi hilang sehingga keseimbangan disekitarnya pun terganggu. Penanaman tumbuhan tersebut hanya untuk jangka waktu tertentu untuk fungsi penyedian (palm oil) yang terbatas pula, walaupun bersifat sementara namun kondisi lahan menjadi tidak subur atau bahkan cenderung menjadi lahan yang sudah tidak dapat terpakai. Penggunaaan pestisida yang harus diterapkan sebagai prasyarat dalam menanam jenis tumbuhan tertentu dapat ikut memberikan efek negatif terhadap lingkungan jika digunakan dengan berlebihan

dalam skala besar. Dikarenakan komponen pembentuknya yang tidak dapat terurai dengan mudah dalam air dapat mengganggu ekosistem. Karena pembukaan hutan rapat tidak dapat dihindari oleh mereka, maka proses penanaman disuatu lahan dilakukan secara tumpang sari, atau berselang seling untuk mencegah suatu hama tanaman tertentu berkembang secara pesat. Kesimpulan yang dapat ditarik adalah, setiap perusahaan untuk membentuk reputasi yang baik terhadap lingkungan di mata masyarakat, mereka harus memperbaiki kinerjanya terlebih dahulu sebelum mengkomunikasikannya kepada masyarakat. Tantangan terbesar adalah mengembangkan pemahaman terhadap CSR dan sikap saling menghormati di masyarakat dan pemerintah daerah pada umumnya sebagai stakeholder, sehingga pada waktu kita memulai untuk menggunakan lahan sebagai wadah kegiatan, kita tidak bertindak seperti halnya penguasa, namun harus jeli, memiliki pemahaman serta mengikutsertakan masyarakat adat yang ada disekitarnya untuk turut serta mendukung program CSR dan regulasi pemerintah yang sudah jelas namun sering diabaikan. Menurut Djouni Korhonen (Four Ecosystem Principles for an Industrial Ecosystem, 2001), agar perusahaan-perusahaan dapat memelihara lingkungan, maka mereka harus meniru empat prinsip yang diajarkan oleh lingkungan kepada kita agar dapat membaca, jawabannya tersedia di alam, dan merusak alam berarti menjauhkan manusia dari kemungkinan perbaikan dirinya. Diantaranya prinsip segala sesuatunya bersifat siklis, dimana prinsip ini pada tataran praktis berarti perusahaan harus melakukan daur ulang sebanyak mungkin atas materi yang dipergunakannya, serta mengatur aliran energy sebaik mungkin sehingga tidak ada yang sampai terbuang percuma yang akhirnya akan hanya berdampak merusak lingkungan. Prinsip yang kedua adalah keanekaragaman, alam mengajarkan bahwa keanekaragaman dari tingkatan genetik, spesies, hingga ekosistem merupakan kekayaan dan sumber kekuatan yang sangat besar. Ketergantungan diantara mereka saling terjaga sehingga tidak akan mudah punah oleh perubahan alam. Prinsip yang ketiga adalah lokalitas dan beradaptasi sebanyak mungkin terhadap kondisi lokal. Hal ini diaplikasikan dengan penggunaan sumber daya lokal seoptimum mungkin, penyelesaian masalah sampah lokal, penghormatan terhadap kenyataan bahwa sumber daya lokal bersifat terbatas dan karenanya harus dihemat atau digantikan, serta kerjasama yang erat dengan pemangku kepentingan lokal. Terakhir adalah perubahan yang bertahap. Hal ini berarti perusahaan harus terus menerus melakukan perubahan sistemik dan aplikatif sehingga dapat mendukung lingkungan yang sudah tentu akan terus menurun kualitasnya agar kehancuran tidak akan tampak. Daftar Pustaka Panduan Penerapan GREENSHIP, Konsil Bangunan Hijau Indonesia, Juni, 2010 United Nations Environment Programme, 2009, The Economic of Ecosystem and Biodiversity, Banson Production BAPPENAS, 2003, Indonesia Biodiversity Strategy and Action Plan 2003-2020, Jakarta, BAPPENAS KLH, 2009,Laporan Nasional Ke-Empat kepada Convention on Biological Diversity World Resource Institute, 2008, The Corporate Ecosystem Services Review. Guidelines for Identifying Business Risks and Opportunities Arising from Ecosystem Change, Version 1, Washington, DC (RESOURCE OF GBC INDONESIA)

Anda mungkin juga menyukai