Anda di halaman 1dari 13

TEKNOLOGI PEMANFAATAN BATUBARA

Di susun Oleh : Irvan Karamy (03101003116)

UNIVERSITAS SRIWIJAYA TAHUN AJARAN 2012/2013

Pendahuluan Batubara adalah suatu lapisan yang padat, yang pembentukannya atau penyebarannya secara horizontal dan vertikal, dan merupakan suatu lapisan yang bersifat heterogen. Karena sifat batubara yang heterogen maka pada (eksplorasi pemborannya) Recovery harus memenuhi syarat maksimal 90% yang diambil, bila kurang dari 90% maka tidak Refresentatif dan penyebaran batubara menunjukkan perbedaan kwalitas maka penyebaran batubara sangat mempengaruhi kwalitas. Bahan bakar batu bara adalah suatu bahan bakar yang dapat dipakai dengan tingkat penggunaan yang cukup lama (sekitar 20 tahun kedepan). Batubara adalah batuan yang mudah terbakar yang lebih dari 50% -70% berat volumenya merupakan bahan organik yang merupakan material karbonan termasuk inherent moisture. Bahan organik utamanya yaitu tumbuhan yang dapat berupa jejak kulit pohon, daun, akar, struktur kayu, spora, polen, damar, dan lain-lain. Selanjutnya bahan organik tersebut mengalami berbagai tingkat pembusukan (dekomposisi) sehingga menyebabkan perubahan sifat-sifat fisik maupun kimia baik sebelum ataupun sesudah tertutup oleh endapan lainnya.

Materi Pembentuk Batubara

Hampir seluruh pembentuk batubara berasal dari tumbuhan. Jenis-jenis tumbuhan pembentuk batubara dan umurnya menurut Diessel (1981) adalah sebagai berikut:

Alga, dari Zaman Pre-kambrium hingga Ordovisium dan bersel tunggal. Sangat

sedikit endapan batubara dari perioda ini.

Silofita, dari Zaman Silur hingga Devon Tengah, merupakan turunan dari alga.

Sedikit endapan batubara dari perioda ini.

Pteridofita, umur Devon Atas hingga Karbon Atas. Materi utama pembentuk

batubara berumur Karbon di Eropa dan Amerika Utara. Tetumbuhan tanpa bunga dan biji, berkembang biak dengan spora dan tumbuh di iklim hangat.

Gimnospermae, kurun waktu mulai dari Zaman Permian hingga Kapur Tengah.

Tumbuhan heteroseksual, biji terbungkus dalam buah, semisal pinus, mengandung kadar getah (resin) tinggi. Jenis Pteridospermae seperti gangamopteris dan glossopteris adalah penyusun utama batubara Permian seperti di Australia, India dan Afrika.

Angiospermae, dari Zaman Kapur Atas hingga kini. Jenis tumbuhan modern, buah

yang menutupi biji, jantan dan betina dalam satu bunga, kurang bergetah dibanding gimnospermae sehingga, secara umum, kurang dapat terawetkan.

Proses Pembentukan Batubara Proses pembentukan batubara terdiri dari dua tahap yaitu tahap biokimia (penggambutan) dan tahap geokimia (pembatubaraan). peatification Endapan organik coalification Gambut Batubara

Biokimia

geokimia

Tahap penggambutan (peatification) adalah tahap dimana sisa-sisa tumbuhan yang terakumulasi tersimpan dalam kondisi reduksi di daerah rawa dengan sistem pengeringan yang buruk dan selalu tergenang air pada kedalaman 0,5 10 meter. Material tumbuhan yang busuk ini melepaskan H, N, O, dan C dalam bentuk senyawa CO2, H2O, dan NH3 untuk menjadi humus. Selanjutnya oleh bakteri anaerobik dan fungi diubah menjadi gambut (Stach, 1982, op cit Susilawati 1992). Tahap pembatubaraan (coalification) merupakan gabungan proses biologi, kimia, dan fisika yang terjadi karena pengaruh pembebanan dari sedimen yang menutupinya, temperatur, tekanan, dan waktu terhadap komponen organik dari gambut (Stach, 1982, op cit Susilawati 1992). Pada tahap ini prosentase karbon akan meningkat, sedangkan prosentase hidrogen dan oksigen akan berkurang (Fischer, 1927, op cit Susilawati 1992). Proses ini akan menghasilkan batubara dalam berbagai tingkat kematangan material organiknya mulai dari lignit, sub bituminus, bituminus, semi antrasit, antrasit, hingga meta antrasit. Batubara terbentuk dari tumbuhan purba yang berubah bentuk akibat proses fisika dan kimia yang berlangsung selama jutaan tahun. Karena berasal dari material organik yaitu selulosa, sudah tentu batubara tergolong mineral organik pula. Reaksi pembentukan batubara adalah sebagai berikut: 5(C6H10O5) ---> C20H22O4 + 3CH4 + 8H2O + 6CO2 + CO C20H22O4 adalah batubara, dapat berjenis lignit, sub-bituminus, bituminus, atau antrasit, tergantung dari tingkat pembatubaraan yang dialami. Konsentrasi unsur C akan semakin tinggi seiring dengan tingkat pembatubaraan yang semakin berlanjut.

Sedangkan gas-gas yang terbentuk yaitu metan, karbon dioksida serta karbon monoksida, dan gas-gas lain yang menyertainya akan masuk dan terperangkap di celah-celah batuan yang ada di sekitar lapisan batubara. Gas Gas yang terperangkap di dalam celah batubara Secara teoretis, jumlah gas metan yang terkumpul pada proses terbentuknya batubara bervolume satu ton adalah 300m3. Kondisi terperangkapnya gas ini akan terus berlangsung ketika lapisan batubara atau batuan di sekitarnya tersebut terbuka akibat pengaruh alam seperti longsoran atau karena penggalian (penambangan). Gas-gas yang muncul di tambang dalam (underground) terbagi menjadi gas berbahaya (hazardous gas) dan gas mudah nyala (combustible gas). Gas berbahaya adalah gas yang dapat mempengaruhi kesehatan yang dapat menyebabkan kondisi fatal pada seseorang, sedangkan gas mudah nyala adalah gas yang berpotensi menyebabkan kebakaran dan ledakan di dalam tambang. Pada tambang dalam, gas berbahaya yang sering ditemukan adalah karbon monoksida (CO), sedangkan yang dapat muncul tapi jarang ditemui adalah hidrogen sulfida (H2S), sulfur dioksida (SO2), dan nitrogen dioksida (NO2). CO adalah gas tak berwarna, tak berasa, tak berbau, dan memiliki berat jenis sebesar 0,967. Pada udara biasa, konsentrasinya adalah 0 sampai dengan beberapa ppm, dan menyebar secara merata di udara. CO timbul akibat pembakaran tak sempurna, ledakan gas dan debu, swabakar, kebakaran dalam tambang, peledakan (blasting), pembakaran internal pada mesin, dll. Gas ini sangat beracun karena kekuatan ikatan CO terhadap hemoglobin adalah 240-300 kali dibandingkan ikatan oksigen dengan hemoglobin. Selain beracun, gas ini sebenarnya juga memiliki sifat meledak, dengan ambang ledakan adalah 13-72 persen. Untuk gas mudah nyala pada tambang batubara, sebagian besar adalah gas metan (CH4). Metan adalah gas ringan dengan berat jenis 0,558, tidak berwarna, dan tidak berbau. Gas ini muncul secara alami di tambang batubara bawah tanah sebagai akibat terbukanya lapisan batubara dan batuan di sekitarnya oleh kegiatan penambangan. Dari segi keselamatan tambang, keberadaan metan harus selalu dikontrol terkait dengan sifatnya yang dapat meledak. Gas metan dapat terbakar dan meledak ketika kadarnya di udara sekitar 5-15 persen dengan ledakan paling hebat pada saat konsentrasinya 9,5 persen pada saat terdapat sumber api yang memicunya.

Teknologi Pemanfaatan Batubara Pemanfaatan batubara sebagai bahan bakar dapat dikelompokan menjadi dua bagian yaitu pemanfaatan sebagai bahan bakar langsung maupun bahan bakar tidak langsung melalui proses konversi batubara menjadi bahan bakar berbentuk cair, padat, dan gas. Pemanfaatan batubara sebagai bahan bakar langsung dilakukan dengan cara membakar langsung batubara tanpa proses pengolahan yang rumit. Proses persiapan yang dibutuhkan umumnya hanya berupa pengecilan ukuran (size reduction). Pemanfaatan dengan cara demikian telah banyak diterapkan, antara lain pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara, pabrik semen, industri dan lain-lain (Ismail, 2004). Pemanfaat batubara sebagai bahan bakar tidak langsung adalah dengan memproses batubara dengan bahan ataupun tanpa bahan tambahan lainnya dan mengkonversikannya menjadi bahan bakar berbentuk padat, cair maupun gas misalnya briket batubara, kokas, Upgraded Brown Coal (UBC), minyak dan gas sintetis, campuran batubara dan air dan sebagainya. Pemanfaatan tidak langsung umumnya akan meningkatkan efisiensi pemakaian batubara dan lebih ramah lingkungan (Guo, 1998) Selain itu pemanfaatan tidak langsung juga membuka peluang pemanfaatan batubara peringkat rendah yang umumnya sulit dimanfaatkan melalui pembakaran secara langsung, pangsa pasar pengguna terbatas pada PLTU dan pabrik semen maka dengan adanya pengembangan konversi batubara pangsa pasar terbuka untuk rumah tangga, industri, maupun transportasi. Macam Teknologi Macam teknologi batubara sekarang ini dapat dilakukan diantaranya : 1.1. Pemanfaatan sebagai bahan bakar langsung 1.1.1. Teknologi Coal Water Fuel 1.2. Pemanfaatan sebagai bahan bakar tidak langsung 1.2.1. Gasifikasi batubara 1.2.2. Pencairan batubara 1.2.3. Briket batubara 1.3. Pemanfaatan sebagai bukan bahan bakar 1.3.1. Abu Batubara sebagai Bahan Pembuatan Batako 1.3.2. Karbon Aktif (penyerap) 1.3.3. Teknologi UBC (Upgrading Brown Coal)

1.1.1 Teknologi Coal Water Fuel (CWF) Teknologi ini sudah mulai dikembangkan di dalam negeri dan diharapkan teknologi ini dapat berperan menggantikan minyak berat (heavy fuel oil) yang digunakan sebagai bahan bakar boiler. Teknologi CWF cukup sederhana, yaitu dengan mencampurkan batubara dengan air dan adiktif dalam perbandingan tertentu hingga berwujud cairan kental (suspensi). Pembakaran CWF dapat meenggunakan burner yang sama dengan yang dipakai untuk bahan bakar minyak. Slurry yang disemprotkan ke dalam aliran udara turbulen panas, yang langsung mengering dan membentuk nyala api (flame). CWF dapat dibuat dengan mencampurkan batubara dengan air kemudian diaduk hingga rata. Pengadukan dilakukan dalam 2 tahap, tahap pertama pengadukan dengan cara manual yaitu batubara, air dan adiktif dicampur dan diaduk hingga tercampur merata. Selanjutnya tahap ke dua homogenasi dilakukan pengadukan dengan homogenizer (blender) pada kecepatan 10.000-13.000 rpm. Hasil penelitian menunjukkan salah satu zat adiktif yang potensial digunakan adalah Carboxyl Methil Cellulose (CMC) dengan jumlah berat 0,5% berat batubara dan kandungan batubara dalam slurry 55% (Ismail, 2003). 1.2.1 Teknologi Gasifikasi Batubara Teknologi ini menggunakan gas gasifikasi siklus kombinasi terintegrasi [ integrated Gasifikation Combined Cycle, IGCC)] masih membutuhkan biaya yang cukup tinggi dan masih dalam tahap awal pengembangan sehingga teknologi ini masih belum diminati oleh negara berkembang, yang memiliki tingkat peraturan penghilangan emisi SO2 dan NOx rendah. Tapi teknologi ini memiliki efisiensi pembangkit meningkatkan secara signifikan dan memiliki efek yang menguntungkan dalam penurunan emisi CO2. Gasifikasi batubara merupakan proses yang mengkonversi padatan batubara menjadi gas sintetis yang terdiri dari karbon oksida (CO) dan hidrogen (H2). Batubara dapat digasifikasi dalam berbagai cara dengan pengendalian campuran batubara, oksigen, dan uap dalam gasifier (Dhebyshire, 1988). Teknologi IGCC merupakan merupakan salah satu teknologi batubara bersih yang sekarang dalam tahap pengembangan. Istilah IGCC ini merupakan istilah yang paling banyak digunakan untuk menyatakan daur kombinasi gasifikasi batubara terintegrasi. Meskipun demikian masih ada beberapa istilah yang digunakan yaitu ICGCC

(Integrated Coal Gasification Combined Cycle) dan CGCC (Coal Gasification Combined Cycle) yang sama artinya. Komponen utama dalam riset IGCC adalah pengembangan teknik gasifikasi batubara. Gasifikasi batubara pada prinsipnya adalah suatu proses perubahan

batubara menjadi gas yang mudah terbakar. Proses ini melalui beberapa proses kimia dalam reaktor gasifikasi (gasifier). Mula-mula batubara yang sudah diproses secara fisis diumpankan ke dalam reaktor dan akan mengalami proses pemanasan sampai temperatur reaksi serta mengalami proses pirolisa (menjadi bara api). Kecuali bahan pengotor, batubara bersama-sama dengan oksigen dikonversikan menjadi hidrogen, karbon monoksida dan methana. Proses gasifikasi batubara berdasarkan sistem reaksinya dapat dibagi menjadi empat macam yaitu : fixed bed, fluidized bed, entrained flow dan molten iron bath. Dalam fixed bed, serbuk batubara yang berukuran antara 3 - 30 mm diumpankan dari atas reaktor dan akan menumpuk karena gaya beratnya. Uap dan udara (O2) dihembuskan dari bawah berlawanan dengan masukan serbuk batubara akan bereaksi membentuk gas. Reaktor tipe ini dalam prakteknya mempunyai beberapa modifikasi diantaranya adalah proses Lurgi, British Gas dan KILnGas. Sedangkan proses yang menggunakan prinsip fluidized bed adalah High-Temperature Winkler, Kellog Rust Westinghouse, dan U-gas. Dalam fluidized bed gaya dorong dari uap dan O2 akan setimbang dengan gaya gravitasi sehingga serbuk batubara dalam keadaan mengambang pada saat terjadi proses gasifikasi. Serbuk batubara yang digunakan lebih halus dan berukuran antara 1 - 5 mm. Dalam entrained flow serbuk batubara yang berukuran 0.1 mm dicampur dengan uap dan O2 sebelum diumpankan ke dalam reaktor. Proses ini telah digunakan untuk memproduksi gas sintetis dengan nama proses Koppers-Totzek. Proses yang sejenis kemudian muncul seperti proses PRENFLO, Shell, Texaco , dan DOW. Proses molten iron bath merupakan pengembangan dalam proses industri baja. Serbuk batubara diumpankan ke dalam reaktor bersama-sama dengan kapur dan O2. Kecuali proses molten iron bath semua proses telah digunakan untuk keperluan pembangkit listrik. Saat ini teknologi IGCC sedang dikembangkan di seluruh dunia, seperti : Jepang, Belanda, Amerika Serikat dan Spanyol. Di samping proses gasifikasi yang terus mengalami perbaikan, gas turbin jenis baru juga terus dikembangkan. Temperatur masukan gas turbin yang tinggi akan dapat menaikkan efisiensi dan ini dapat dicapai dengan penggunaan material baru dan perbaikan sistem pendinginnya. IGCC merupakan perpaduan teknologi gasifikasi batubara dan proses pembangkitan uap. Gas hasil gasifikasi batubara mengalami proses pembersihan sulfur dan nitrogen. Sulfur yang masih dalam bentuk H2S dan nitrogen dalam bentuk NH3 lebih mudah dibersihkan sebelum dibakar dari pada sudah dalam bentuk oksida dalam gas buang.

Sedangkan abu dibersihkan dalam reaktor gasifikasi. Gas yang sudah bersih ini dibakar di ruang bakar dan kemudian gas hasil pembakaran disalurkan ke dalam turbin gas untuk menggerakkan generator. Gas buang dari turbin gas dimanfaatkan dengan menggunakan HRSG (Heat Recovery Steam Generator) untuk membangkitkan uap. Uap dari HRSG (setelah turbin gas) digabungkan dengan uap dari HRSG (setelah reaktor gasifikasi) digunakan untuk menggerakkan turbin uap yang akan menggerakkan generator.

1.2.2 Teknologi Pencairan Batubara Teknologi ini dengan 2 cara yaitu (a) untuk menghasilkan cairan langsung dari batubara, struktur makro molekuler batubara harus diperkecil ke ukuran yang memungkinkan penanganan lebih lanjut. Hal ini umumnya didapat dengan mereaksikan batubara dalam bentuk slurry dalam pelarut. Jumlah batubara yang dapat dihancurkan dan dilarutkan tergantung pada banyak faktor, antara lain, asal batubara, peringkat, dan komposisi petrografi. (b) Pencairan batubara dapat dengan tidak langsung yaitu pemutusan struktur batubara keseluruhan dengan gasifikasi menggunakan uap dan oksigen (Arsyad, 2002). Pencairan batubara merupakan teknologi yang menguntungkan untuk ketersedian energi di masa akan karena memiliki kelebihan, antara lain: a) Biaya produksi rendah, pencairan batubara hanya membutuhkan biaya produksi US$ 15 per barrel. b) Solusi untuk pemanfaatan batubara peringkat rendah dengan nilai kalor < 5100 kg/gr. c) Produk minyak yang dihasilkan cukup menjanjikan, dimana 1 ton batubara akan menghasilkan 6.2 barrel sintetis oil. d) Teknologi pencairan batubara lebih ramah lingkungan. Dari pasca produksinya tidak ada proses pembakaran, dan tidak dihasilkan gas CO2. Kalaupun menghasilkan limbah (debu dan unsur sisa produksi lainnya), masih dapat dimanfaatkan untuk bahan baku campuran pembuatan aspal.

1.2.3 Teknologi Pembriketan Batubara Secara umum proses pembriketan dapat diklasifikasikan menjadi 2 kelompok besar yaitu (a) pembriketan tidak terkarbonisasi, bahan bakunya adalah batubara 90% ditambah tanah liat 10%. Selanjutnya bahan baku utama tersebut ditambah perekat sebesar 5% tepung tapioka. Semua bahan tersebut dicampur hingga homogen dan dicetak dengan tekanan tertentu dan dikeringkan. (b) pembriketan terkarbonisasi, batubara yang digunakan terlebih dahulu dikarbonisasi melalui proses pembakaran parsial menjadi semikokas. Proses selanjutnya sama dengan pemberiketan tidak terkarbonisasi. Bahan baku batubara semikokas

90% dicampur tanah liat 10% dan ditambahkan tapioka 5%, diaduk hingga homogen selanjutnya sama dengan pembriketan tidak terkarbonisasi. Bahan baku batubara semikokas 90% dicampur tanah liat 10% dan ditambahkan tapioka 5%, diaduk hingga homogen dan selanjutnya dicetak dengan tekanan tertentu dan dikeringkan. Pembriketan 1 ton batubaraa muda akan menghasilkan 0,4 ton briket batubara dengan kandungan H2O < 5% dan kandungan VM < 20-24% (PTBA, 2005). Pemanfaatan briket dapat dilihat dari grafik produksi briket super Indonesia pada Gambar 3 berikut

Gambar 3. Produksi Briket Super Indonesia

1.3.1 Abu Batubara sebagai Bahan Pembuatan Batako Fly-ash atau abu terbang yang merupakan sisa-sisa pembakaran batu bara, yang dialirkan dari ruang pembakaran melalui ketel berupa semburan asap, yang telah digunakan sebagai bahan campuran pada beton. Fly-ash atau abu terbang di kenal di Inggris sebagai serbuk abu pembakaran. Abu terbang sendiri tidak memiliki kemampuan mengikat seperti halnya semen. Tetapi dengan kehadiran air dan ukuran partikelnya yang halus, oksida silika yang dikandung oleh abu terbang akan bereaksi secara kimia dengan kalsium hidroksida yang terbentuk dari proses hidrasi semen dan menghasilkan zat yang memiliki kemampuan mengikat. Menurut ACI Committee 226 dijelaskan bahwa, fly-ash mempunyai butiran yang cukup halus, yaitu lolos ayakan N0. 325 (45 mili mikron) 5-27%, dengan spesific gravity antara 2,15-2,8 dan berwarna abu-abu kehitaman. Sifat proses pozzolanic dari fly-ash mirip dengan bahan pozzolan lainnya. Menurut ASTM C.618 (ASTM, 1995:304) abu terbang (flyash) didefinisikan sebagai butiran halus residu pembakaran batubara atau bubuk batubara. Fly-ash dapat dibedakan menjadi dua, yaitu abu terbang yang normal yang dihasilkan dari

pembakaran batubara antrasit atau batubara bitomius dan abu terbang kelas C yang dihasilkan dari batubara jenis lignite atau subbitumes. Abu terbang kelas C kemungkinan mengandung zat kimia SiO2 sampai dengan dengan 70%. Tingkat pemanfaatan abu terbang dalam produksi semen saat ini masih tergolong amat rendah. Cina memanfaatkan sekitar 15 persen, India kurang dari lima persen, untuk memanfaatkan abu terbang dalam pembuatan beton. Abu terbang ini sendiri, kalau tidak dimanfaatkan juga bisa menjadi ancaman bagi lingkungan. Karenanya dapat dikatakan, pemanfaatan abu terbang akan mendatangkan efek ganda pada tindak penyelamatan lingkungan, yaitu penggunaan abu terbang akan memangkas dampak negatif kalau bahan sisa ini dibuang begitu saja dan sekaligus mengurangi penggunaan semen Portland dalam pembuatan beton. Sebagian besar abu terbang yang digunakan dalam beton adalah abu kalsium rendah (kelas F ASTM) yang dihasilkan dari pembakaran anthracite atau batu bara bituminous. Abu terbang ini memiliki sedikit atau tida ada sifat semen tetapi dalam bentuk yang halus dan kehadiran kelambaban, akan bereaksi secara kimiawi dengan kalsium hidrosida pada suhu biasa untuk membentuk bahan yang memiliki sifat-sifat penyemenan. Abu terbang kalsium tinggi (kelas ASTM) dihasilkan dari pembakaran lignit atau bagian batu bara bituminous, yang memiliki sifat-sifat penyemenan di samping sifat-sifat pozolan. Hasil pengujian yang dilakukan oleh Poon dan kawan-kawan, memperlihatakan dua pengaruh abu terbang di dalam beton, yaitu sebagai agregat halus dan sebagai pozzolan. Selain itu abu terbang di dalam beton menyumbang kekuatan yang lebih baik dibanding pada pasta abu terbang dalam komposisi yang sama. Ini diperkirakan lekatan antara permukaan pasta dan agregat di dalam beton. More dan kawan-kawan, Mendapatkan workabilitas meningkat ketika sebagian semen diganti oleh abu terbang. Beton yang mengandung 10 persen abu terbang memperlihatkan kekuatan awal lebih tinggi yang diikuti perkembangan yang signifikan kekuatan selanjutnya. Kekuatan meningkat 20 persen dibanding beton tanpa abu terbang. Penambahan abu terbang menghasilakan peningkatan kekuatan tarik langsung dan modulus elastis. Kontribusi abu terbang terhadap kekuatan di dapati sangat tergantung kepada faktor air-semen, jenis semen dan kualitas abu terbang itu sendiri. Dalam suatu kajian, abu terbang termasuk ke dalam kategori kelas F dengan kandungan CaO2 rendah sebesar 1,37 persen lebih kecil daripada 10 persen yang menjadi persyaratan minimum kelas C. Namun demikian kandungan SiO2 sukup tinggi yaitu 57,30 persen. Abu terbang ini, selain memenuhi kriteria sebagai bahan yang memiliki sifat

pozzolan, abu terbang juga memiliki sifat-sifat fisik yang baik, yaitu jari-jari pori rata-rata 0,16 mili mikron, ukuran median 14,83 mili-mikron, dan luas permukaan spesifik 78,8 m2/gram. Sifat-sifat tersebut dihasilkan dengan menggunakan uji Porosimeter. Hasil-hasil pengujian menunjukkan bahwa abu terbang memiliki porositas rendah dan pertikelnya halus. Bentuk partikel abu terbang adalah bulat dengan permukaan halus, dimana hal ini sangat baik untuk workabilitas, karena akan mengurangi permintaan air atau superplastiscizer.

1.3.2 Karbon Aktif Karbon aktif adalah salah satu material atau zat penyerap (adsorben) yang mempunyai kemampuan untuk mengikat dan mempertahankan cairan atau gas didalamnya pada sistem adsorpsi pada padatan. Aplikasi karbon aktif pada sistem adsorpsi pada padatan digunakan sebagai pemisah gas, penyimpan gas, sistem pendingin, penyerap limbah industri dan lainlain. Pembuatan karbon aktif dari batubara dilakukan melalui proses persiapan bahan dasar, proses karbonisasi dan proses aktivasi. Karakterisasi karbon aktif dari batubara dilakukan uji burn off, BET, iodine number, metilen biru, kapasitas dan laju penyerapan adsorpsi. Hasil karakterisasi karbon aktif dari batubara menunjukkan nilai uji maksimal dipengaruhi oleh lama karbonisasi dan aktivasi pada proses pembuatan karbon aktif. Secara umum karbon aktif ini dibuat dari bahan dasar batu bara dan biomasa. Intinya bahan dasar pembuat karbon aktif haruslah mengandung unsur karbon yang besar. Dewasa ini karbon aktif yang berasal dari biomasa banyak dikembangkan para peneliti karena bersumber dari bahan yang terbarukan dan lebih murah. Bahkan karbon aktif dapat dibuat dari limbah biomasa seperti kulit kacang-kacangan, limbah padat pengepresan biji bijiaan, ampas, kulit buah dan lain sebagainya. Proses pembuatan arang aktif dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu pengaktifan secara fisika dan secara kimia. Pengaktifan secara fisika pada dasarnya dilakukan dengan cara memanaskan bahan baku pada suhu yang cukup tinggi (600 900 C) pada kondisi miskin udara(oksigen), kemudian pada suhu tinggi tersebut dialirkan media pengaktif seperti uap air dan CO2. Sedangkan pada pengaktifan kimiawi, bahan baku sebelum dipanaskan dicampur dengan bahan kimia tertentu seperti KOH, NaOH, K2CO3 dan lain sebagainya. Biasanya pengaktifan secara kimiawi tidak membutuhkan suhu tinggi seperti pada pengaktifan secara fisis, namun diperlukan tahap pencucian setelah diaktifkan untuk membuang sisa sisa bahan

kimia yang dipakai. Sekarang ini telah dikembangkan pengabungan antara metode fisika dan kimia untuk mendapatkan sekaligus kelebihan dari kedua tipe pengaktifan tersebut.

1.3.3 Teknologi UBC Pada prinsipnya UBC adalah teknologi untuk meningkatkan kualitas batubara, dalam hal ini batubara peringkat rendah dikarbonisasi agar kadar air dan zat terbangnya berkurang. Dengan demikian akan terdapat kandungan karbon yang lebih banyak per satuan berat batubara. Pada kondisi yang demikian, nilai kalori batubara akan meningkat. Untuk mencegah uap air di udara kembali masuk dan mempengaruhi uap air di udara kembali masuk dan mempengaruhi kadar air batubara yang telah di-upgrade, maka produk UBC dilapisi aspal yang memiliki sifat keruh kadar air batubara yang telah di-upgrade, maka produk UBC dilapisi aspal yang memiliki sifat kedap air (Tjetjep, 2005). Teknologi ini telah dikembangkan di Indonesia. Teknologi ini telah dikembangkan di Indonesia dan telah didirikan pabrik skala pilot plant dengan kapasitas 5 ton per hari di Palimanan, Cirebon, jawa Barat.

Daftar Pustaka

Arsyad Rosihan, 2002. The Implementation of Coal Liquefaction Technology: a New Challenge for Investment Opportunity in South Sumatra, Seminar Teknologi Tepat Pencairan Batubara, Jakarta. Dhebyshire; Frank J, 1988. Catalyst in Coal Liquefaction. New Director for Research, IEA Coal Research, London. Ismail Syarifuddin, Machmud Hasjim. 2000. Peluang dan Tantangan Batubara Sumatera Selatan, makalah Seminar Nasional Pemanfaatan Batubara Peringkat Rendah Dalam Rangka Mengantispasi Energi Pasca Minyak Bumi, Jakarta. Tjetjep Wimpy S., 2005. Strategic Planning of Low Rank Coal Utilization in Indonesia, Indonesian Japan Joint Seminar on UBC Technology, Jakarta. Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral Republik Indonesia. 2004. Kebijakan Batubara Nasional Tahun 2004 2005, Jakarta. Bapedal dan EMDI, Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor :

KEP.13/MENLH/3/1995 Tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak, 1995. R. Muller and U. Schiffers, Pressurized Coal Gasification for the Combined-Cycle Process, VGB Kraftwerkstechnik 68, Number 10, 1988. Anonim, http://mheea-nck.blogspot.com/2011/01/pemanfaatan-abu-batubara.html diakses pada pukul 06.00 AM Anonim, http://materialcerdas.wordpress.com/material/karbon-aktif/ diakses pada pukul 06.05 AM Anonim, http://harlitalla.blogspot.com/2012/06/pencairan-batubara.html diakses pada pukul 06.30 AM

Anda mungkin juga menyukai