Anda di halaman 1dari 4

Ignatius Ryan Jeffri 115120300111060 A. Psi.

5 UTS PSIKOLOGI KESEHATAN 2013

Larangan Konsumsi Alkohol di Indonesia, Haruskah?

Bagi negara-negara di Asia, alkoholisme merupakan suatu fenomena yang tidak mendapatkan perhatian yang sama jika dibandingkan dengan apa yang terjadi di negara barat. Menurut data WHO pada tahun 2005, angka konsumsi alkohol orang dewasa per kapita di Asia dan Timur Tengah menduduki peringkat kedua terbawah. Walaupun berada pada tingkat konsumsi terendah, namun survey yang dilakukan WHO selama lima tahun (2001-2005) menunjukkan bahwa ada peningkatan konsumsi alkohol sebesar 68,3% di Asia Tenggara. Data WHO yang diambil dalam satu waktu di Indonesia menunjukkan 4,6% pelajar laki-laki dan 0,8% pelajar perempuan mengonsumsi alkohol. Berdasarkan kelompok usia, alkohol menyebabkan angka kematian terbesar pada individu dengan rentang usia 15-29 tahun. Sementara angka kematian terbesar akibat alkohol berdasarkan klasifikasi pendapatan secara internasional diduduki oleh kelas pendapatan menengah ke atas. Peringkat kedua dan seterusnya diikuti dengan kelas pendapatan menengah ke bawah, pendapatan rendah, dan terakhir adalah pendapatan tinggi. Data tersebut sedikit berbeda dengan penelitian yang dilakukan di Finlandia, dimana semakin tinggi kelas ekonomi, maka penggunaan alkohol juga semakin tinggi. Data Riskesdas pada tahun 2007 menunjukkan bahwa di Indonesia sendiri, konsumsi alkohol terbanyak terjadi di wilayah tengah hingga timur Indonesia (Bali, Sulawesi, Maluku, dan Irian Barat). Secara menyeluruh, prevalensi penduduk di atas 15 tahun yang mengonsumsi alkohol adalah 4,9% laki-laki, 0,3% perempuan, dan 2,5% pada keduanya. Letak geografis tidak menjamin tingginya konsumsi alkohol. Bahkan secara nasional, daerah pedesaan memiliki angka konsumsi alkohol yang lebih besar dibandingkan dengan daerah perkotaan. Data-data tersebut menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antara penggunaan alkohol terhadap pendapatan. Yang sebenarnya terjadi adalah sebaliknya, bahwa penggunaan alkohol (sedikit banyak) dipengaruhi oleh tingkat pendapatan. Hal itu mungkin juga menyebabkan rendahnya angka konsumsi alkohol di negara-negara berkembang jika

dibandingkan dengan negara-negara maju seperti di Amerika Serikat dan Eropa. Walaupun angka konsumsi alkohol di Asia lebih rendah dibandingkan dengan di negara Barat, tidak berarti kemudian dampak yang dihasilkan juga sebanding rendahnya. Agaknya faktor pendapatan tersebut malah kurang mendapat perhatian di kalangan ekonomi menengah ke bawah. Padahal secara common sense, seharusnya ada sebuah kesadaran di kalangan masyarakat menengah ke bawah bahwa penggunaan alkohol malah memperparah kondisi perekonomian mereka. Survey di Srilanka menunjukkan bahwa 7% pria menghabiskan biaya untuk konsumsi alkohol melebihi pemasukan mereka. Sementara itu, survey di wilayah pedesaan Kamerun menunjukkan bahwa bahkan dengan konsumsi satu bir dalam satu minggu telah menguras 60-84% pendapatan harian wanita dan 36-50% pendapatan harian laki-laki. Hal tersebut selanjutnya berdampak pada biaya yang akan dialokasikan bagi pendidikan anak-anak mereka. Di India, keluarga yang memiliki anggota yang mengonsumsi alkohol tercatat memiliki hutang yang signifikan jika dibandingkan dengan keluarga yang anggotanya tidak mengonsumsi alkohol. Pengaruh selanjutnya berdampak pada kebutuhan harian dan pendidikan anak. Selain itu, keluarga yang memiliki anggota yang mengonsumsi alkohol juga melaporkan lebih banyak penyakit yang membutuhkan penanganan medis. Sedangkan di Malaysia, alkohol merupakan faktor utama yang memperburuk kemiskinan, merusak tatanan sosial, dan menimbulkan masalah negatif yang berantai. Selain menguras pendapatan, terpecahnya keluarga, hilangnya pekerjaan, dan perhatian medis merupakan dampak-dampak negatif lain akibat penggunaan alkohol. Di Indonesia sendiri belum ditemukan riset mengenai penggunaan alkohol berdasarkan pendapatan masyarakatnya, termasuk akibat spesifik yang dihasilkan secara sosioekonomi. Konsekuensinya, kita tidak bisa memberikan justifikasi terhadap fenomena ini selain dari sisi medis, dimana alkohol jelas-jelas menimbulkan dampak yang kurang baik bagi kesehatan (e.g.: sirosis, etc.). Apalagi ketika alkohol dijadikan sebagai suatu media pengalihan terhadap masalah hidup yang dihadapi, yang akhirnya menjadi bersifat adiktif (kecanduan). Pun demikian, juga belum ditemukan data nasional yang menunjukkan bahwa alkohol menimbulkan angka kematian yang signifikan di Indonesia. Nampaknya perbedaan budaya Indonesia dengan region di daerah Asia yang lain juga memberikan dampak

sosioekonomi yang juga berbeda dengan data yang ada pada paragraf di atas. Pemerintah sendiri juga terkesan angin-anginan mengenai kebijakan tentang alkohol. Badan Narkotika Nasional juga mengecualikan alkohol (dan rokok) dari daftar target operasi mereka. Penulis pribadi tidak mengikuti euphoria rancangan kebijakan alkohol di Indonesia. Sebab data lapangan sendiri cukup minim dan tidak menunjukkan signifikansi antara alkoholisme dan angka kematian di Indonesia. Secara global alkohol menyebabkan angka kematian yang tinggi, namun tidak di Indonesia. Alkohol juga memperburuk kondisi sosioekonomi di beberapa negara berkembang di Asia, namun tidak di Indonesia. Perumusan kebijakan tentang peredaran alkohol di Indonesia yang dilatar belakangi oleh rusaknya moral bangsa nampaknya bagaikan mimpi dan angan-angan di siang bolong. Sebab rusaknya moral bangsa adalah permasalahan multi dimensi yang tidak hanya sematamata disebabkan oleh alkohol. Penyalahgunaan alkohol hanyalah salah satu bagian dari sekian banyak rentetan masalah sosial yang dialami oleh sebagian remaja. Masyarakat sendiri mungkin sebenarnya juga sudah sadar dan sangat sadar terhadap konsekuensi medis dan finansial yang timbul terhadap konsumsi alkohol (sesadar pengetahuan mereka akan rokok namun tetap mengonsumsinya). Yang kemudian menjadi permasalahan adalah apakah nantinya kebijakan pemerintah tersebut berlaku dengan efektif ataukah akan menjadi hukum yang negatif. Seperti kata pepatah, mencegah memang lebih baik daripada mengobati. Tetapi alangkah lebih baik lagi jika bentuk pencegahan yang dilakukan tidak sia-sia dan tepat sasaran. Pada akhirnya, penulis lebih cenderung netral (dan kondisional) dalam menanggapi fenomena alkoholisme di Indonesia. Selain dari minimnya data yang mendukung terwujudnya rancangan kebijakan pemerintah, alkoholisme di Indonesia tidak membawa dampak yang sama parahnya dengan negara berkembang yang ada di Asia lain. Penulis hanya berharap agar masyarakat memiliki kesadaran pribadi terhadap apa yang mereka lakukan. Ketika alkohol dijadikan sebagai sarana mencari pengalaman di masa muda, penulis bahkan cenderung setuju. Namun ketika alkohol dijadikan sebagai sarana pelarian perasaan ketika remaja-remaja menghadapi suatu masalah yang akhirnya berdampak pada kecanduan, penulis tidak setuju.

Sumber: RIMANews, 2013, Alkohol yang Rusak Moral Bangsa Justru Dilindungi Pemerintah, diakses dari http://www.rimanews.com/read/20130607/105746/alkohol-yang-rusak-

moral-bangsa-justru-dilindungi-pemerintah pada 23 Desember 2013. Syvnen, 2011, Thesis: Relationship between Alcohol Use and Earnings, School of Economics, Aalto University. Suhardi, Preferensi Peminum Alkohol di Indonesia Menurut Riskesdas 2007, Litbang WHO Global Status Report on Alcohol 2004. WHO Global Status Report on Alcohol and Health 2011.

Anda mungkin juga menyukai