Anda di halaman 1dari 3

www.suaramerdeka.co.

id Kamis, 16 Desember 2004 Menepis Monopoli Reklame, Mencegah yang iar


Reklame, terutama yang berada di luar ruang, kini menjadi ladang bisnis yang menggiurkan. Tentu saja lokasi yang menjadi sasarannya adalah pusat-pusat keramaian. Simpanglima salah satunya. Di tempat itu beragam papan reklame bermunculan, seiring dengan munculnya keluhan atas nama estetika dan dugaan adanya monopoli di balik bisnis itu. Berikut laporan wartawan Suara MerdekaPurwoko Adi Seno dan Renjani Puspo Sari. SETIAP kali memasuki kawasan Simpanglima, warga tak hanya disuguhi pemandangan berupa ratusan tenda pedagang kaki lima, tetapi juga puluhan bahkan ratusan reklame. Sebagian besar berupa baliho yang berdiri di lahan publik milik pemerintah, dan sebagian lagi tertempel di dinding-dinding mal. Reklame merupakan salah satu media komunikasi. Tujuan pemasangannya pun sudah pasti, yakni agar berbagai produk yang dipampangkan dilihat warga. Paling tidak sang pemasang berharap publik akan kenal pada produknya. Sementara tujuan utamanya adalah memancing minat warga membeli produk tersebut atau mengikuti misi pesan yang terpampang. tulah yang kemudian membuat para produsen barang dan jasa berlomba-lomba mengiklankan produknya melalui reklame luar ruang. Sementara bagi biro reklame, itu merupakan peluang bisnis yang menggiurkan. Satu papan reklame di kawasan padat seperti di Simpanglima, menurut sebuah sumber di Pemkot, bisa mendatangkan keuntungan puluhan juta rupiah. !asilnya, beberapa kawasan padat dan pusat kegiatan seperti di Simpanglima pun jadi hutan reklame. Bahkan secara "isual, papan-papan itu kemudian mengalahkan tetumbuhan hijau yang semestinya lebih mewakili istilah #hutan#. Pemandangan serupa bukan hanya ada di sekitar Simpanglima. Reklame luar ruang berbentuk spanduk bertebaran di mana-mana. Setiap kali menjelang penda$taran mahasiswa baru, spanduk baik resmi maupun tidak, terbentang di berbagai tempat. %enurut data di Dinas Pertamanan dan Pemakaman &ota Semarang, untuk wilayah Simpanglima saja ada '( reklame yang berdiri di lahan publik. Satu titik di ujung jalan )ajahmada oleh )lobal *d"ertising, ' di ujung +alan !aji *hmad Dahlan oleh ,lah Sakti *d"ertising, - di depan Plasa Simpanglima oleh .tsa dan /ukito *d"ertising, - titik di depan pertokoan Simpnglima oleh .tsa, 0 titik depan Ramayana dan dua di antaranya oleh .tsa dan ' oleh )lobal ad"ertising. Selain itu, satu di ujung +alan Pahlawan oleh Prima, depan ST% Pembangunan oleh .tsa, 0

titik depan )ajahmada Plasa oleh .tsa *d"ertising, dan depan %asjid Baiturrahman oleh 1icaksono *d"ertising. Dari titik-titik itu terlihat bahwa biro reklame di Simpanglima cukup beragam. #%aka tidak benar jika ada isu bahwa ada biro reklame yang memonopoli satu kawasan,# kata &asubdin Rencana Produksi Dinas Pertamanan dan Pemakaman Drs Bambang Sungkono %%. Data dari Dinas Pertamanan dan Pemakaman menunjukkan, di &ota Semarang terdapat '.(22 titik reklame. Titik-titik tersebut tersebar di '-3 ruas jalan, termasuk jalan-jalan besar yakni +alan Pemuda, +alan *rteri, dan Simpanglima. Saat ini yang menjadi salah satu persoalan justru penataan ruang. Dia mengemukakan gagasan bahwa nanti videotron bisa menjadi salah satu media reklame masa depan bagi &ota Semarang. %edia semacam itu bisa memuat beberapa produk sekaligus dengan tampilan gambar bergerak. Dengan media seperti itu, muatan reklame bisa dibuat lebih menarik dan jumlah titik reklame yang ada tak terlalu banyak. #%edia reklame semacam itu seperti di Bundaran ! +akarta dan pertigaan +alan Pandanaran sebelah barat bundaran *ir %uncrat,# kata dia *nggota &omisi 4 DPRD &ota Semarang *5 Sujiyanto menanggapi soal isu monopoli reklame menyatakan, hal itu tidak bisa dibenarkan. Demikian pula soal adanya biro reklame yang bisa memperpanjang kontrak sebelum masanya berakhir. &arena itu, dia menyarankan eksekuti$ bersikap transparan. #Selain itu, pengambilan keputusan tentang titik reklame dan pemasangnya sebaiknya disampaikan pada publik,# kata dia Liar Bambang Sungkono juga mengemukakan, bisnis reklame memang cukup menggiurkan. !al itu pula yang memunculkan reklame-reklame liar di &ota Semarang. Dalam sebuah operasi yustisi belum lama ini, beberapa spanduk produk kartu seluler kedapatan belum membayar pajak. Dia mengatakan, reklame-reklame seperti itu mudah ditertibkan. Persoalannya, ketika Pemkot harus membongkar papan baliho besar, biayanya bisa sampai Rp 0 juta. # tu pun tidak bisa kami laksanakan sendiri, tetapi harus memanggil pekerja yang paham tentang konstruksi,# kata dia. Persoalan reklame liar yang tidak membayar pajak juga menjadi persoalan bagi Dinas Pengelolaan &euangan Daerah 6DP&D7. Setiap umbul-umbul dan spanduk reklame yang sudah dibayarkan pajaknya akan diberi tanda khusus. Bentuknya berupa stiker dan label.

#Tanda-tanda itu menjadi salah satu pedoman bagi tim yustisi untuk melakukan tindakan,# kata &epala DP&D *gustin /usin Dwimawati S! %%. Tindakan tersebut salah satunya adalah untuk menertibkan pembayaran pajak reklame, sehingga pendapatan daerah bisa meningkat. Dia menyebutkan, dari tahun ke tahun pendapatan Pemkot yang diperoleh dari sektor itu meningkat. Pada tahun -222, realisasi pendapatan mencapai Rp '.088.(9:.022, tahun -22' menjadi Rp -.3'9.0('.322, tahun -22- Rp 0.932.222.222, -220 Rp 9.(;:.9:-.322, dan -22( sampai oktober 9.3;'.(08.3-3 atau sekitar :( < dari target Rp ;.222.222.222. Dari data itu terlihat, keuntungan dari bisnis reklame luar ruang ternyata juga dinikmati Pemerintah. Siapa pun tahu, dalam era otonomi daerah seperti sekarang, pendapatan daerah semestinya menjadi primadona untuk membiayai pembangunan. 6:;7

Anda mungkin juga menyukai