Anda di halaman 1dari 16

ANTROPOLOGI PERTAHANAN Sebuah Strategi Human Capital Management di Kawasan Perbatasan

Syarifudin Tippe1
Abstract - Defense management in the border areas will be different in the near future, as the changing reality is performing unpredicted; from military to military and non-military threats, to the changing of political structure in the bordering countries as well as domestic. Security approach has collide with security approach, as Indonesia recent development. The policy approach will meet with difficulties if the actors are underperform. Therefore, to make all the defense management performing well, it takes a further approach on human development in the border areas. The author promoted the idea of developing human capital management (HCM) instead of using traditional approach in developing people. The core concept of HCM is an approach when we see people as a value creator person, more than a value added maker, and a merely efficient one. Developing people cannot leaving cultural basis; therefore the working perspective of HCM is antropology. This seminal paper has promoted the new approach toward defense management: it is about understanding that we are entering a new age of managing defense border in the context of developing people in the area by using antropological discipline. Keywords : defense anthropology, human capital management, border area.

Pendahuluan Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP) lahir untuk merefleksikan tanggung jawab dan komitmen pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu Ke-2 terhadap eksistensi perbatasan. Hal tersebut diaktualisasikan dalam pembagian tugas tiga kementerian secara tegas dan proporsional, yaitu Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Kementerian Pertahanan (Kemhan), dan Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri). Kemlu berkaitan dengan tugas diplomasi dan perjanjian garis batas negara antara Indonesia dan negara tetangga. Kemhan berkaitan dengan tugas mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan

Letjen TNI (purnawirawan) Dr. Syarifudin Tippe, M.Si. adalah Rektor Universitas Pertahanan. Tulisan ini diangkat dari makalah yang disampaikan dalam Seminar Nasional Memelihara Cinta di Ujung Negeri dengan Subtema: Peran Strategis Pembangunan Sebatik sebagai Kota Persiapan Mandiri Ditinjau dari Sistem Pertahanan dan Keamanan Nasional Indonesia, yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Administrasi Negara (Himanega) FISIP Unmul, 23 Februari 2012, di Lamin Etam, Samarinda.

keselamatan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kemdagri dalam hal ini BNPP berkaitan dengan tugas pembangunan perbatasan pada aspek ekonomi dan kesejahteraan. Meskipun ketiga tugas penanganan perbatasan dipisahkan, dalam realitas pelaksanaan tugas di lapangan tetap merefleksikan saling ketergantungan antara satu fungsi dan fungsi lainnya. Realitas ketergantungan itu dapat dipahami melalui teori klasik dua pendekatan yang berbeda, tetapi tidak dapat dipisahkan, yaitu pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) dan pendekatan keamanan (security approach). Artinya, pendekatan pertahanan yang merupakan bagian dari pendekatan keamanan selalu berdampingan dengan pendekatan kesejahteraan dalam mengelola perbatasan. Legitimasi kesejahteraan suatu komunitas perbatasan dipandang eksis jika kontribusi keamanan dapat dirasakan oleh komunitas tersebut sebagai suatu kebutuhan. Misalnya, kehidupan ekonomi masyarakat perbatasan dapat terefleksi sebagai suatu kemakmuran atau kesejahteraan (tangible factor) jika rasa aman (intangible factor) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kemakmuran dan rasa aman di perbatasan tercipta karena sumbangsih aspek pertahanan (tangible factor). Pada saat yang bersamaan, pertahanan pun dapat merupakan intangible factor, bahkan faktor itu merupakan hal yang sangat mendasar bagi komunitas perbatasan, yaitu suatu keniscayaan untuk mengekspresikan jati dirinya sebagai warga negara yang selalu bangga dan cinta pada tanah air dan bangsanya, Indonesia. Itulah bela negara, sebuah misi negara kepada Kemhan untuk secara intens didesiminasikan, terutama kepada masyarakat perbatasan, baik berdiri sendiri maupun interkoneksi dengan Kemlu dan BNPP. Singkatnya, kesejahteraan, keamanan, dan pertahanan merupakan tiga kata kunci pendekatan yang sejatinya di kedepankan untuk mengangkat eksistensi perbatasan. Dengan demikian, pada tataran akademik, Universitas Pertahanan Indonesia (Unhan) sebagai salah satu entitas pertahanan, memiliki legitimasi untuk dapat berbagi ide, pemikiran dalam format penelitian, atau pengkajian atau format akademik lain terhadap kiprah ketiga fungsi kementerian, Kemlu, Kemhan, dan Kemdagri (BNPP).

Unhan melihat bahwa melalui pendekatan pertahanan yang telah disepakati sebagai multidisiplin keilmuan dan juga berdasarkan realitas kehidupan masyarakat perbatasan dan prediksi ke depan, peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) perbatasan merupakan salah satu strategi yang ingin dikontribusikan. Strategi itu juga merupakan kontribusi Unhan terhadap dukungan kepada Kemhan di perbatasan, baik dalam perumusan maupun implementasi kebijakan pertahanan negara pada aspek bela negara. Pemikiran itulah yang melatari mengapa topik penulisan Strategi HCM di Perbatasan dalam Perspektif Antropologi Pertahanan diangkat dalam seminar Cinta di Ujung Negeri. Tujuannya adalah untuk melakukan diseminasi yang dapat diurai menjadi tiga hal, yaitu: (1) sebagai pengayaan wacana akademik bahwa pendekatan pertahanan, baik tangible factor maupun intangible factor, merupakan bagian dari pendekatan keamanan untuk pencitraan perbatasan, (2) bahwa pencitraan perbatasan dimaksud merupakan pengembangan strategi human capital management (HCM) dari perspektif antropologi pertahanan, dan (3) untuk meyakinkan bahwa bela negara adalah suatu nilai intrinsik (dasar) yang sejatinya melekat di setiap warga negara, terlebih pada SDM perbatasan. Oleh karena itu, dalam menangani isu perbatasan, beragam pendekatan perlu dijadikan pertimbangan, baik dari konteks ideologi politik, sosial, ekonomi, keamanan, ekologi, teknologi, aspek ruang, maupun antropologi. Pertahanan dalam perspektif antropologi menjadi fokus dalam tulisan ini karena perspektif antropologi fokus, tidak dapat disampingkan dalam membedah masalah perbatasan, khususnya di wilayah Sebatik. Pertahanan dalam Perspektif Antropologi Pengayaan wacana akademik yang telah direfleksikan ke dalam tiga kata kunci pendekatan, yaitu kesejahteraan, keamanan, dan pertahanan, dapat dikreasikan menjadi tiga kata kunci lain, yaitu perbatasan, pertahanan, dan antropologi. Salah satu tantangan, kalau tidak berkenan mengatakan sebagai ciri khas perbatasan, dalam kasus Indonesia pada umumnya, merefleksikan fenomena 3-ter, yaitu terisolasi, termiskin, dan terbelakang. Terisolasi
3

mengartikulasikan perbatasan sebagai kawasan yang terpencil dan sukar dijangkau secara geografi atau geospasial, termiskin merepresentasikan tingkat perekonomian masyarakat perbatasan yang rendah, dan terbelakang merefleksikan akses pendidikan masyarakat perbatasan sangat terbatas. Problematik perbatasan 3-ter yang dapat diatasi dengan pendekatan pertahanan tangible dan intangible approach dipandang belum menyentuh akar permasalahan yang sesungguhnya. Oleh karena itu, dalam tulisan ini, sengaja digagas untuk membangun koneksitas antara pertahanan dan antropologi dalam suatu kerangka kajian interdisiplin, dan bahkan multidisiplin dengan tujuan agar sumbangsih pertahanan terhadap pencitraan perbatasan tidak sekadar menempuh cara konvensional atau normatif. Relevansi antara perbatasan dan antropologi ditunjukkan oleh bagian dari ilmu antropologi, yakni masalah perkembangan, penyebaran, dan terjadinya beragam kebudayaan manusia di seluruh dunia2. Pada tahap selanjutnya manusia membentuk kawasan hidupnya masingmasing secara formal yang disebutnya negara sehingga terjadi batas formal antara negara yang satu dan negara yang lain. Selain itu, manusia dan kebudayaannya terus berkembang di seluruh dunia, seolah tanpa batas ngara. Setiap kelompok manusia itu seperti disebutkan oleh Kenichi Ohmae, yaitu menanam untuk panen global3, padahal semua itu tidaklah berlaku sebagaimana dimaksud dalam judul bukunya, Dunia Tanpa Batas. Kecuali tiga dimensi, susbstantifnya, yakni batas-batas kedaulatan negara, tidak boleh disentuh oleh perilaku kekeliruan dan kesengajaan bangsa lain, sistem manajemen yang melupakan markas besarnya karena harus mendekati konsumennya, dan dinamikan kebudayaan yang bergerak cepat ke seluruh penjuru dunia yang bermula pada abad ke-21. Potensi perbatasan dalam konteks antropologi pertahanan, antara lain, dapat diilustrasikan melalui eksistensi antropologi di perbatasan abad ke-21 dalam konteks global: .in the twenty first century, humankind will face mounting at both international borders and at

2 3

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, 2009, hal.: 10 Kenichi Ohmae, Dunia Tanpa Batas, Bina Putra Aksara, Jakarta, 1991 hal.: 108

subnational boundaries where ethnicities and cultures meet in conflict 4. Bukankah keberadaan berbagai etnik di wilayah perbatasan Indonesia kini juga tidak luput dari prediksi ilmuwan, termasuk konflik vertikal antara daerah dan pusat dalam hal pengelolaan perbatasan? Heterogenitas etnik dan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia, termasuk di wilayah perbatasan, diakui merupakan kekuatan tersendiri, di samping sekaligus berpotensi konflik. Dalam konteks potensi konflik di wilayah perbatasan, kajian perspektif antropologi pertahanan menjadi penting untuk dikedepankan. Meskipun demikian, diakui pula bahwa di wilayah perbatasan antara dua negara atau lebih akan terjadi silih berganti antara konflik, harmoni, dan akulturasi yang dapat memberikan sumbangsih perdamaian global. Itulah letak pentingnya gagasan antropologi pertahanan. Dalam perpesktif disiplin, meskipun belum merupakan disiplin ilmu tersendiri, kajian bidang pertahanan dapat didekati dari berbagai disiplin ilmu atau multidisiplin, seperti kajian bidang pertahanan dari perspektif ilmu sosial, ilmu manajemen, ilmu ekonomi, dan disiplin ilmu lainnya. Kajian bidang pertahanan dapat pula bersifat interdisiplin, misalnya manajemen pertahanan, strategi pertahanan, dan ekonomi pertahanan, sebagaimana terefleksikan ke dalam program studi (prodi) di Unhan saat ini. Demikian juga, antropologi pertahanan yang sedang digagas dalam tulisan ini dapat dikategorikan sebagai antropologi terapan yang berada di level praktis, setara dengan antropologi pendidikan dan antropologi kesehatan, misalnya, yang menginduk pada antropologi sosial budaya. Salah satu isu yang menarik untuk diangkat dalam memahami lebih jauh tentang antropologi pertahanan adalah kasus mangkok merah di Kalimantan Barat. Mangkok merah adalah salah satu refleksi khazanah budaya masyarakat kelompok etnis Dayak setempat yang bernuansa pertahanan berbasis kekuatan magis. Ketika ada indikasi gangguan musuh di suatu tempat yang mengancam jiwa dan raga warga kelompok etnis Dayak Kanayatnh, (baca Kandayan), saat itu kelompok etnis Dayak melakukan upacara adat untuk mengedarkan mangkok merah kepada masyarakat kelompok etnis Dayak. Peredaran mangkok merah sangat cepat dan tidak dapat dideteksi alat teknologi secanggih apa pun.
4

Paul Gangster and David E. Lorey, Borders and Borders Politics in a Globalizing World, UK, SR Books, 2005, hal xi

Melalui simbol mangkok merah, yaitu sebuah wadah sejenis mangkok keramik berwarna putih yang diisi darah segar dari binatang anjing, bulu ayam, sebatang korek api, dan sepotong daun atap rumbia dikirim secara estafet dari orang ke orang dan dari satu kampung ke kampung lain. Sebagai isyarat bagi penerima mangkok merah tersebut, penerima segera keluar rumah masing-masing lengkap dengan senjata tradisonal untuk melakukan siaga penuh menghadapi musuh serta langsung mencari musuh untuk dibunuh. Tradisi itu merupakan salah satu formasi pertahanan masyarakat kelompok etnis Dayak Kalimantan Barat yang dilestarikan hingga kini dan merupakan salah satu perwujudan antropologi pertahanan. Sebelum mendapatkan informasi mengenai simbol, emic view, dan etic view dalam menganalisis mengenai pertahanan, diperlukan gambaran mengenai cara hidup suatu masyarakat secara mendalam. Etnografi melekat pada tradisi keilmuan antropologi, yaitu suatu deskripsi mengenai suku bangsa yang di dalamnya digali seluruh aspek cara hidup suatu masyarakat atau suku bangsa. Dalam konteks pertahanan, diperlukan penelitian lapangan atau etnografi untuk menangkap secara etnis cara suatu kelompok masyarakat mengembangkan mekanisme pertahanan berdasarkan indigenous knowledge yang khas yang dimiliki oleh masyarakat. Dengan melalui etnografi, sajian data yang terkumpul bersifat holistik dan mendalam. Holistik dapat diartikan bahwa etnografi dapat memberikan gambaran yang menyeluruh mengenai masyarakat dan juga mendalam. Etnografi pun dapat menelusuri hal-hal yang bersifat kualitatif, yakni nilai-nilai kebudayaan yang tidak dapat dilihat oleh kasat mata, seperti norma, harapan, dan simbol, termasuk cara suatu masyarakat mempertahankan diri dari ancaman atas diri mereka. Etnografi juga mampu memberikan gambaran mengenai potensi sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki oleh masyarakat setempat. Dengan karakteristik etnografi tersebut, data untuk pembangunan kesejahteraan, keamanan, dan pertahanan dapat secara mungkin tersedia sehingga memudahkan analisis mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan pascapelaksanaan.
6

Secara konseptual, etnografi terkait dengan empat fase perkembangan antropologi. Fase pertama dimulai sebelum tahun 1800-an, etnografi dan antropologi dapat dikenali melalui catatan para pengelana mengenai masyarakat selain Eropa. Fase kedua, pada pertengahan tahun 1800-an, etnografi dijadikan sebagai alat analisis oleh para antropolog untuk mendapatkan pengertian mengenai sebaran kebudayaan dan evolusi yang terjadi di masyarakat. Fase ketiga, pada awal abad ke-20, etnografi dijadikan bahan bagi pemerintah kolonial untuk mempertegas kekuasaannya di daerah jajahannya dan untuk menentukan kebijakan yang terkait dengan budaya di daerah jajahannya. Fase keempat, setelah Perang Dunia Kedua hingga kini, seiring kemerdekaan daerah kolonial, etnografi dijadikan bahan untuk membangun masyarakat atau dengan kata lain, etnografi sebagai bahan implementasi program pembangunan. Dapat dikatakan bahwa antropologi terapan telah dimulai sejak fase ketiga, saat etnografi dijadikan rujukan untuk menguasai dan memperkukuh kekuasaan para kolonial. Catatan etnografi yang disusun oleh etnolog Snouck Hurgronje mengenai keseluruhan cara hidup orang Aceh ternyata mampu menembus kebuntuan pihak penjajah (Belanda) yang ingin menguasai daerah tersebut. Dengan acuan etnografi masyarakat Aceh yang merupakan karya Snouck Hurgronje, strategi pertahanan rakyat Aceh saat itu dapat diketahui dan dianalisis cara untuk memperlemah sistem pertahanan rakyat Aceh. Dari hal itu Snouck Hurgronje menggali secara emic cara pandang atau keseluruhan sistem budaya, termasuk simbol yang hidup dan disandang rakyat Aceh demi kepentingan penjajah Belanda. Fase keempat merupakan fase perkembangan antropologi. Pada fase itu etnografi dijadikan acuan implementasi pembangunan. Pasca-Perang Dunia II perkembangan zaman seolah melaju dengan pesat dan pergerakan peradaban pada umumnya ditandai dengan terbentuknya masyarakat pada tataran state. Antropologi terapan pun semakin luas spektrumnya terkait dengan masalah yang mengiringi kemajuan peradaban. Dalam bidang pendidikan, kesehatan, pembangunan fisik dan manusia, dan lainnya, etnografi sebagai penyedia data, menjadi alat utama diterapkannya antropologi di bidang tersebut dan
7

muncul gagasan, mengapa tidak untuk bidang pertahanan negara?

Tentu saja gagasan antropologi terapan untuk bidang tersebut dalam perjalanannya tidak begitu saja diterima, termasuk gagasan antropologi pertahanan. Dalam sejarahnya, ilmu pengetahuan tidak muncul secara instan, tetapi melalui berbagai pergulatan pemikiran dan juga pertentangan. Sebagai ilustrasi, teori heliosentris yang dikemukakan oleh Nicholaus Copernicus tidak serta-merta diterima baik secara akademis dan keyakinan religi saat itu. Pergulatan pemikiran yang mendorong penyelidikan lebih lanjut dengan hasil berupa penegasan teori heliosentris sebagai sebuah aksioma dalam ilmu falak meruntuhkan teori geosentris yang sebelumnya dianggap sebagai sebuah ilmu kebenaran. Sesuai dengan prinsip ilmu pengetahuan yang akumulatif dan dapat dikritisi, gagasan mengenai antropologi pertahanan merupakan akumulasi dari ilmu pengetahuan. Dalam hal itu antropologi dapat dikritisi secara umum sehingga menjadi ajek sebagai sebuah disiplin, selain antropologi pertahanan yang memerlukan sistematika yang baku dan memiliki metodelogi tersendiri. Sebagai cabang dari antropologi terapan, gagasan mengenai antropologi pertahanan terkait pula dengan disiplin lain selain antropologi. Sosiologi yang mempelajari interaksi manusia, baik antarindividu, individu dengan kelompok, maupun interaksi antarkelompok, sangat berkaitan erat dengan antropologi pertahanan. Disiplin lainnya adalah perencanaan pembangunan yang bersumber pada cara pandang masyarakat setempat agar pembangunan dapat berjalan tepat guna. Disiplin manajemen sumber daya manusia pun dipandang sangat terkait guna peningkatan sumber daya manusia pertahanan dan ilmu pertahanan. Antropologi pertahanan sebagai bagian dari antropologi terapan pada hakikatnya sarat akan nilai praktis. Klien (client) dari para antropolog adalah negara. Negara memiliki kepentingan dan memerlukan saran tentang kebijakan dan rencana tindak. Tentu saja rekomendasinya didasarkan pada pilihan nilai, yaitu yang terbaik untuk negara dan mengeliminasi yang buruk untuk negara. Tantangannya adalah para antropolog tidak terbiasa dengan pilihan nilai demikian dan sering kali menolak untuk berkomitmen dengan nilai di luar metode keilmuan.
8

Antropologi sudah semestinya memberikan pemikiran untuk berpartisipasi dalam pembangunan negara5, khususnya di bidang pertahanan. Lebih jauh aktualisasi antropologi pertahanan terkait dengan fenomena perbatasan,

setidaknya mengacu pada dua pendekatan dasar yang eksis dalam dimensi antropologi yang dikenal sebagai emic view dan etic view. Dua sisi pendekatan itu merupakan pandangan yang lazim digunakan dalam membedah isu yang berhubungan dengan antropologi. Pendekatan itu merupakan kunci kekuatan antropologi pertahanan. Dalam penelusuran literatur, emic view dan etic view dipopulerkan oleh antropolog Ward Goodenough dalam bukunya Describing a Culture, Description, and Comparison in Cultural Anthropology (1970) dan oleh Marvin Harris dalam bukunya History and Significance of the Emic/Etic Distinction (1976). Emic view merupakan pandangan yang mengedepankan nilai dasar (intrinsic values) dan kearifan lokal (local wisdom). Etic view lebih mengedepankan nilai universal dan pengaruh dari luar. Jika disederhanakan, emic view lebih berorientasi ke dalam, sedangkan etic view lebih berorientasi ke luar. Keduanya perlu diselaraskan, tetapi tidak perlu harus ada salah satu yang menjadi prioritas. Contoh sederhana yang dapat digunakan untuk memahami kedua pendekatan tersebut adalah penggunaan koteka di wilayah Papua oleh masyarakat lokal. Masyarakat asli Papua masih kurang mengenal budaya untuk mengenakan baju sebagaimana layaknya yang digunakan di daerah lain yang budayanya sudah lebih berkembang. Terdapat konsiderasi mendasar dari budaya Papua tersebut. Salah satu alasannya mereka secara periodik membalurkan lumpur yang memiliki khasiat untuk menjaga stamina dan imunitas tubuh mereka karena wilayah Papua memang sangat rentan dengan penyakit malaria, bahkan sering membawa korban jiwa jika tidak tertolong dengan cepat. Dengan baluran lumpur

Merujuk pada Pidato Pengukuhan Guru Besar Antropologi UI, Prof. Amri Marzali, M.A., Ph.D, l 6 Mei 2002.

tersebut, ternyata penggunaan baluran itu mampu menjadikan masyarakat asli Papua lebih resisten terhadap penyakit malaria. Namun, pemerintah pusat sempat menjalankan kebijakan untuk mengubah budaya tersebut dengan memaksakan pemakaian baju seperti yang dikenakan oleh masyarakat di wilayah lain di tanah air. Setelah diterapkan kebijakan tersebut, hal itu justru menimbulkan penyakit gatal di kalangan masyarakat Papua sehingga menjadikan mereka sangat tidak nyaman. Kondisi itu semakin diperburuk karena dengan adanya penyakit gatal tersebut, justru menurunkan imunitas tubuh mereka sehingga resistensi terhadap penyakit malaria menurun secara signifikan. Akibatnya, penduduk asli yang tadinya sangat jarang terserang penyakit malaria malah menderita penyakit tersebut. Hal itu menimbulkan ketidakpercayaan di kalangan masyarakat asli Papua yang kemudian beralih kembali ke budaya asli mereka dalam mengenakan koteka dan tidak mengenakan penutup dada. Oleh karena itu, dalam menyelesaikan permasalahan perbatasan, kedua pendekatan, emic view dan etic view, menjadi acuan yang harus dipedomani oleh pemerintah pusat dan daerah dan para pemangku kepentingan (stakeholder). Dalam menuntaskan masalah penanganan perbatasan sangat diperlukan strategi adaptasi yang menyintesiskan kedua pendekatan tersebut. Strategi adaptasi harus mampu mengombinasikan nilai budaya dan nilai tradisional yang berlaku di dalam masyarakat lokal wilayah perbatasan dengan nilai modern yang menjadi tuntutan dalam proses modernisasi masyarakat sebagai salah satu fitur dalam era globalisasi. Strategi adaptasi diharapkan akan membantu mewujudkan keunggulan (competitiveness) dari daerah dan masyarakat lokal tersebut sehingga pembangunan secara komprehensif dapat direalisasikan, termasuk dalam pembangunan wilayah Sebatik. Strategi Adaptasi Kearifan Lokal Dalam menganalisis lebih jauh tentang strategi adaptasi dalam konteks yang ada saat ini, penguatan kapasitas SDM perbatasan menjadi salah satu hal mendasar yang perlu diprioritaskan. Agenda penguatan kapasitas SDM dalam strategi adaptasi akan menopang terwujudnya keunggulan dari masyarakat dan daerah perbatasan. Untuk itu, peran
10

pendidikan menjadi konsentrasi yang fundamental untuk dikembangkan dan diberdayakan guna meningkatkan kualitas SDM perbatasan. Pendidikan menjadi pilar utama yang mampu membekali SDM perbatasan, bahkan melalui pendidikan, SDM perbatasan diproyeksikan mampu membangun diri dan daerahnya sendiri yang nantinya dapat mendukung proses perwujudan keunggulan yang diagendakan, baik oleh pemerintah pusat maupun daerah. Untuk menuntaskan agenda pendidikan, ada tiga pilihan yang perlu dijadikan pertimbangan, di antaranya adalah pengembangan pendidikan yang berorientasi pada emic view ataupun kearifan lokal yang berlaku, pengembangan pendidikan dengan mengirimkan SDM di wilayah perbatasan untuk belajar di luar negeri, dan melakukan pengkajian terhadap konten (content) pendidikan yang ada sehingga mengedepankan nilai kebangsaan ataupun jati diri nasional. Pendidikan yang berorientasi pada emic view dapat dilakukan dengan mengadaptasikan budaya setempat. Kita mengenal beragam budaya lokal, seperti marsi pature hutanabe di Tanah Batak dan soposurung yang mengedepankan pendidikan. Ada pula pulang basamo yang merupakan adat orang Minang untuk kembali bersama membangun daerahnya. Di samping itu, ada juga adat Bali yang menghormati pura sebagai tempat penyembahan sehingga tidak ada infrastruktur yang boleh dibangun melebihi ketinggian pura. Budaya siri yang dianut oleh masyarakat Bugis juga sangat menarik untuk dipelajari jika kita ingin menganalisis lebih jauh permasalahan di wilayah perbatasan Sebatik karena mayoritas masyarakat yang ada saat ini berasal dari Bugis. Pendidikan yang mengedepankan kekayaan budaya tradisional setempat yang juga menjadi wujud kearifan lokal menjadi salah satu pilihan yang dapat dikembangkan lebih jauh dalam pengembangan pendidikan di wilayah perbatasan, termasuk Sebatik, yang sejalan dengan pendekatan emic view dalam konteks antropologi pertahanan. Uuntuk mendapatkan cara pandang, harapan, simbol, dan potensi yang dimiliki oleh masyarakat Sebatik secara emic view, diperlukan sajian data etnografis sesuai dengan latar alamiah masyarakat setempat. Harapan, simbol, dan potensi tersebut harus diakomodasi
11

karena mereka yang paling mengetahui budayanya dengan menggunakan analisis antropologi terapan. Hal itu dimaksudkan agar tidak terjadi implementasi pembangunan yang keliru, terutama karena tidak berdasarkan harapan riil dari masyarakat Sebatik. Selain itu, pengiriman masyarakat lokal untuk belajar di luar negeri juga diharapkan mampu membekali SDM di wilayah perbatasan untuk mendapatkan perspektif baru. Pilihan itu merupakan media pendekatan dengan berorientasi pada etic view karena dengan belajar di negara lain, SDM dari wilayah perbatasan mendapat kesempatan untuk mempelajari budaya lain, termasuk nilai universal yang berlaku di dunia, khususnya dalam konteks modernisasi. Nilai universal yang modern ini diharapkan mampu dikawinkan dengan budaya lokal yang ada sehingga ketika kembali ke daerah asalnya, SDM perbatasan mampu meramu kombinasi pendekatan emic view dan etic view secara lebih utuh. Dalam era globalisasi kita tidak dapat menutup diri. Strategi yang perlu diambil dalam menghadapi globalisasi adalah bagaimana kita menciptakan peluang melalui koneksitas yang ada. Dengan memahami kedua pendekatan yang ada, baik emic view maupun etic view, SDM perbatasan diproyeksikan mampu membangun dan mempromosikan daerahnya sehingga dapat tercipta sebuah keunggulan yang mampu menarik investasi, baik secara fisik maupun dalam bentuk lain ke daerahnya. Namun, dengan mengirimkan SDM perbatasan belajar ke luar negeri bukan berarti tidak menimbulkan masalah. Jika SDM yang dikirimkan tidak memiliki jiwa kebangsaan yang tinggi, sering kali mereka memilih untuk tetap tinggal di negara yang bersangkutan, bahkan dalam banyak kasus, banyak dari SDM yang dikirim ke luar dimanfaatkan oleh negara tempat mereka belajar. Fenomena itu sangat menggejala yang dikenal dengan istilah brain drain. Fenomena brain drain memang menjadi salah satu fitur dari globalisasi, yaitu motif ekonomi menjadi pertimbangan pokok yang melatarbelakanginya. Oleh karena itu, opsi ketiga melalui pengkajian konten pendidikan yang mengedepankan nilai kebangsaan dan jati diri nasional akan menjadi pilihan yang tidak dapat disampingkan. Pilihan itu melengkapi kedua opsi lain, yaitu pengkajian dapat dilakukan dengan menggali lebih jauh
12

nilai dasar yang menjadi ciri khas dan bagian dari bangsa Indonesia. Secara historis, Indonesia memiliki nilai intrinsik yang unik dan tidak dimiliki oleh bangsa lain. Pengkajian itulah yang nantinya akan menanamkan kecintaan SDM perbatasan terhadap bangsa, negara, dan tanah air sehingga fenomena brain drain pun dapat diatasi secara baik. Ketiga opsi pengembangan pendidikan tersebut menjadi agenda yang perlu diprioritaskan dalam penguatan kapasitas SDM perbatasan sehingga proses perwujudan keunggulan masyarakat dan daaerah perbatasan, khususnya di wilayah Sebatik, dapat diakselerasi. Pertanyaan yang muncul adalah SDM yang bagaimana? Secara umum, SDM yang diperlukan untuk dibangun adalah SDM bela negara serta SDM yang berjiwa merah putih dan NKRI. Secara khusus, kita memerlukan SDM yang bela negara tersebut dengan kapasitas human capital. Konsep human capital dapat lebih mudah dipahami dengan membandingkan dua peristilahan yang setara, yaitu human resources dan human personel. Warga negara di perbatasan yang sudah menjadi SDM bela negara yang masuk dalam kategori personel adalah manusia yang mempunyai ukuran kinerja efisien, modus pikir dan tindakannya responsif, mengutamakan insentif fisikal, dan pola kepemimpinan hierarkikal. Warga negara di perbatasan yang sudah menjadi SDM bela negara yang masuk dalam kategori human resources adalah SDM yang mempunyai ukuran kinerja efisien dan mampu memberikan nilai tambah pada setiap penugasan yang diberikan, modus pikir dan tindakannya adalah responsif dan aktif, mengutamakan insentif fisikal dan penghargaan, serta pola kepemimpinan hierarkikal dan manajerial. Warga negara di perbatasan yang sudah menjadi SDM bela negara yang masuk dalam kategori human capital adalah SDM yang mempunyai ukuran kinerja efisien, mampu memberikan nilai tambah dan mampu mengkreasikan nilai kepada institusinya, modus pikir dan tindaknya responsif, aktif, dan proaktif, mengutamakan insentif kehormatan, penghargaan, dan fisikal, serta pola kepemimpinan yang entreprenerial dan manajerial meskipun dalam institusi yang hierarkikal. Untuk lebih jelasnya, uraian tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut ini.

13

Perwira

Personel

Ukuran kinerja Efisiensi Mengkreasikan nilai Modus pikir dan Responsif (reaktif) Proaktif tindak Insentif utama Fisikal Penghargaan Kehormatan Kepemimpinan Hierarkial Manajerial Entreprenerial Kita memerlukan warga negara RI yang sudah menjadi SDM bela negara yang human capital management (HCM) untuk menjadi ujung tombak kekuatan pertahanan nasional sekaligus sebagai pengembang potensi sumber daya alam yang ada di kawasan tersebut. SDM yang ber-HCM adalah SDM yang dengan kreatif dan inovatif mendayagunakan kondisi di kawasan perbatasan untuk kepentingan keutuhan NKRI. Sumber Daya Manusia DM dan Infrastruktur Apabila membicarakan penguatan kapasitas SDM, kita tidak akan luput dari agenda pembangunan infrastruktur. Dengan SDM yang unggul, tetapi tidak dilengkapi dengan infrastruktur yang memadai, proses pembangunan wilayah perbatasan juga tidak akan maksimal. Sebagai contoh, SDM perbatasan yang merupakan bagian dari unsur militer tidak akan mampu melaksanakan tugas pengamanan secara maksimal jika mereka tidak didukung dengan alutsista modern dan unggul. Baik perbatasan darat, laut, maupun udara juga membutuhkan pembangunan dan modernisasi alutsista. Di wilayah Sebatik yang merupakan wilayah perbatasan darat dan laut perlu dilengkapi dengan pos pengamanan perbatasan TNI AD yang modern serta dilengkapi dengan sistem persenjataan canggih dan sistem pemantauan yang terintegrasi dengan pusat. Di samping itu, juga dibutuhkan armada kapal TNI AL yang siaga dalam waktu 1 x 24 jam dalam melakukan patroli terhadap pelanggaran batas wilayah kedaulatan negara. Selain kebutuhan TNI AD dan TNI AL, kita juga perlu membangun armada udara TNI AU sehingga dapat membantu pelaksanaan patroli udara di wilayah tersebut. Selain modernisasi alutsista, tentu pembangunan infrastruktur publik perlu menjadi prioritas, apalagi dalam penanganan masalah perbatasan kita mengedepankan pendekatan dua sisi,
14

SDM (Human Resources) Nilai tambah Aktif

Human Capital

baik keamanan maupun kesejahteraan. Pembangunan infrastruktur, seperti jalan raya dan fasilitas publik, yaitu rumah sakit, sekolah, tempat hiburan, pasar, dan fasilitas lain perlu diintegrasikan dengan rencana pembangunan kekuatan militer di wilayah perbatasan. Semua itu perlu terpetakan dengan baik dalam rencana umum tata ruang (RUTR). Pembangunan dengan pendekatan dua sisi tersebut juga dapat dilihat sebagai pembangunan wilayah perbatasan yang mengedepankan aspek pertahanan militer dan nonmiliter. Kombinasi komponen militer dan nonmiliter menjadi sebuah kebutuhan yang tidak dapat dipisahkan dengan pertahanan wilayah perbatasan. Dengan adanya pemahaman yang utuh akan pentingnya membangun kedua komponen tersebut, baik militer maupun nonmiliter, termasuk SDM dan infrastrukturnya, diharapkan akan membantu terwujudnya pembangunan yang komprehensif di wilayah perbatasan, dalam hal itu Sebatik. Jika hal itu dapat diwujudkan, akan terbentuk sebuah mentalitas pertahanan yang memiliki kesamaan persepsi dan interpretasi dalam memandang isu yang berkembang di wilayah perbatasan. Baik komponen militer maupun nonmiliter akan bersinergi dalam melakukan upaya dalam konteks pertahanan di wilayahnya. Dengan adanya sinergi di wilayah perbatasan, khususnya Sebatik, akan terbentuk suatu tatanan yang terintegrasi antara komponen satu dan komponen lain merasa memiliki kesamaan identitas, yaitu sebagai bagian dari bangsa dan negara Indonesia. Jika kondisi itu dapat terwujud dengan baik, secara gradual diharapkan wilayah Sebatik dapat mengembangkannya lebih jauh dan membentuk ketahanan yang lebih kuat dan mandiri. Bahkan, terbangunnya infrastruktur yang ideal di wilayah Sebatik akan memperkuat kualitas SDM di wilayah tersebut melalui fasilitas modern yang ada. Masyarakat di wilayah tersebut dapat menyesuaikan diri dengan pembangunan yang dijalankan di wilayah tanah air lainnya. Pertahanan berperan secara strategis dalam pemberdayaan SDM perbatasan di wilayah Sebatik karena pertahanan menjadi isu fundamental yang tidak dapat dipisahkan ketika kita menganalisis sebuah permasalah perbatasan.

15

Perspektif ke Depan Pengembangan strategi HCM dalam membangun kapasitas SDM perbatasan yang seiring dengan pembangunan infrastruktur di wilayah perbatasan, dalam hal itu Sebatik, diharapkan dapat mengarahkan proses pembangunan daerah dan masyarakat di wilayah tersebut ke arah yang lebih baik. Disparitas ekonomi yang ada dengan wilayah negara tetangga secara bertahap dapat dieliminasi menuju kondisi yang ideal. Namun, dalam proses tersebut perlu dilakukan penguatan kapasitas SDM perbatasan, baik sebagai objek maupun subjek, dari pembangunan wilayah perbatasan yang diwujudkan melalui pilar pendidikan. Pendidikan menjadi pilar utama yang harus dikedepankan dalam strategi adaptasi yang digunakan dalam menangani masalah perbatasan di wilayah Sebatik. Akan tetapi, dalam memformulasikan strategi adaptasi itu perlu didapatkan sajian data etnografi dan memahami kedua pendekatan antropologi pertahanan, baik emic view maupun etic view, sehingga dapat mengawinkan kedua pendekatan tersebut. Dalam kombinasi kedua pendekatan tersebut pengembangan masyarakat di wilayah Sebatik diharapkan dapat mengintegrasikan nilai budaya tradisional dengan nilai universal modern yang dapat membantu mewujudkan keunggulan, baik dari daerah maupun masyarakat di daerah itu. Daftar Pustaka Donnan, Hastings, and Thomas M. Wilson, 1999, Borders: Frontiers of Identity Nation and State, Oxford: Berg Publishing Goodenough, Ward, 1970, Description and Comparison in Cultural Anthropology, Cambridge, UK: Cambridge University Press Harris, Marvin, 1976, "History and Significance of the Emic/Etic Distinction", Annual Review of Anthropology 5: 329350 Nye, Joseph S, 2008, Power to Lead, Oxford: Oxford University Press Stiglitz, Joseph E., and Linda J.Bilmes, 2008, Three Billion Dollar War, New York: WW Norton & Company Inc.

16

Anda mungkin juga menyukai