Anda di halaman 1dari 24

PENDAHULUAN

Susu Pasteurisasi Salah satu usaha untuk menekan jumlah mikroorganisme di dalam susu tanpa mengurangi nilai gizinya, dapat dilakukan dengan pasteurisasi. Proses pasteurisasi pada susu bertujuan untuk membunuh bakteri pathogen yang tidak berspora dan sebagian besar bakteri asam laktat (Gamman dan Sherrington, 1992). Susu pasteurisasi merupakan susu segar yang diberi perlakuan panas 63C66C selama minimum 30 menit atau pemanasan 72C selama minimum 5 detik, kemudian segera didinginkan sampai 10C, selanjutnya diperlakukan secara aseptis dan disimpan pada suhu maksimum 4,4C. Susu jenis ini memiliki umur simpan sekitar 14 hari. Tujuan Pasteurisasi: a. Untuk membunuh bakteri patogen, yaitu bakteri-bakteri yang berbahaya karena dapat menimbulkan penyakit pada manusia (Mycobacterium tubercolosis) b. Untuk membunuh bacteri tertentu yaitu dengan mengatur tingginya suhu dan lamanya waktu pasteurisasi c. Untuk mengurangi populasi bakteri dalam bahan susu d. Untuk mempertinggi atau memperpanjang daya simpan bahan e. Dapat memberikan atau menimbulkan cita rasa yang lebih menarik konsumen

f. Pada pasteurisasi susu, proses ini dapat menginaktifkan fosfatase dan katalase, yaitu enzim-enzim yang membuat susu cepat rusak. Standar Nasional Indonesia (SNI) menerapkan persyaratan minimal kandungan mikroba pada susu pasteurisasi adalah 3 x 104 dengan kandungan Coliform minimal 10. Cemaran mikroba yang tinggi merupakan indikasi terjadinya kerusakan pada susu, maupun terjadinya kontaminasi bakteri. Hal ini harus dihindari, karena kandungan gizi pada susu yang tinggi menjadikan susu merupakan media yang cocok untuk berkembangbiaknya mikroba, diantaranya Salmonella dan E.coli yang merupakan mikroba patogen.

Susu Kefir Pengolahan pangan dengan berbagai macam teknik pengolahan banyak dilakukan. Salah satu teknik pengolahan pangan adalah fermentasi (Buckle dkk.,1985). Kefir merupakan salah satu produk fermentasi susu yang memiliki kekentalan seperti krim serta mempunyai rasa asam dan beralkohol. Nilai gizi kefir hampir sama dengan susu yang digunakan sebagai bahan kefir tetapi ada beberapa kelebihan apabila dibandingkan dengan susu segar. Kelebihan tersebut adalah asam yang terbentuk dapat memperpanjang masa simpan, mencegah pertumbuhan mikroorganisme pembusuk dan patogen sehingga meningkatkan keamanan produk kefir (Anonimus,1997). Selain itu meningkatkan ketersediaan vitamin dan mineral (B2, B12, asam folat, fosfor dan kalsium) yang baik untuk tubuh, mengandung asam amino esensial/triptopan (Surono, 2004).

Kefir dibuat dari susu sapi, susu kambing atau susu domba yang ditambahkan starter kefir berupa granula kefir atau biji kefir (Kosikowski dan Mistry, 1982; Bottazi, 1983 dalam Metanggui, 2002). Menurut Hidayat dkk (2006), starter kefir terdiri dari bakteri asam laktat (BAL) dan khamir yang berperan dalam pembentukan cita rasa dan struktur kefir. BAL menghasilkan asam laktat dari pemecahan glukosa. Khamir penting dalam proses fermentasi kefir karena menghasilkan senyawa etanol dan komponen pembentuk flavor sehingga menghasilkan cita rasa yang khas (Usmiati, 2007). Komposisi susu kefir terdiri dari kadar asam laktat berkisar 0,8-1,1%, alkohol 0,5-2,5%, sedikit gas karbon dioksida, kelompok vitamin B serta diasetil dan asetaldehid. Komposisi dan kadar nutrisi kefir adalah air 89,5%, lemak 1,5%, protein 3,5%, abu 0,6%, laktosa 4,5% dengan nilai pH 4,6. Komponen dan komposisi ini bervariasi, bergantung pada jenis mikrobia starter, suhu, lama fermentasi, serta bahan baku yang digunakan. Bahan baku susu yang berkadar lemak tinggi menghasilkan kefir dengan kadar lemak yang tinggi. Banyak sedikitnya asam laktat dan alkohol dalam kefir sangat dipengaruhi oleh kadar laktosa bahan baku, jenis mikrobia starter, dan lama fermentasi (Usmiati, 2007). Susu kefir bermanfaat sebagai minuman yang bergizi tinggi dengan kandungan gula susu (laktosa) yang relatif rendah dibandingkan susu murni, kefir sangat bermanfaat bagi penderita lactose intolerant atau tidak tahan terhadap laktosa, karena laktosanya telah dicerna menjadi glukosa dan galaktosa oleh enzim laktase dari mikrobia dalam biji kefir. Di samping itu, kefir juga dipercaya oleh sebagian masyarakat dapat menyembuhkan beberapa penyakit metabolisme

seperti diabetes, asma, dan jenis tumor tertentu, walaupun penelitian secara ilmiah tentang hal itu belum dilakukan.

CARA KERJA Pembuatan susu kefir yang dilakukan adalah dengan menggunakan susu kambing. Susu kambing 400 ml dipasteurisasi dahulu (susu dipanaskan pada suhu 650 C selama 15 detik) untuk membunuh mikroorganisme patogen. Selanjutnya susu didinginkan. Sebanyak 200 ml susu ditambahi starter kefir sebanyak 5%, dan diinkubasi pada suhu 370 C selama 24 jam, sedangkan 200 ml susu yang tersisa dibiarkan pada suhu kamar selama 24 jam.

HASIL PENGAMATAN Karakteristik Susu pasteurisasi Awal (sebelum inkubasi) Warna Khas (putih kekuningan) Bau Khas susu Khas susu susu Putih kekuningan Kuning sedikit kecoklatan yeasty (seperti tape) Konsistensi Homogen cair Homogen cair Rasa Khas susu Khas susu Asam bersoda pH Derajat SH TPC 7 11,58 7,2x107 8,8x103 4 4,4 3,0x108 6 5,52 3,2x108 kental Kental berlendir dan Basi Putih keruh Susu kefir hasil Susu basi

PEMBAHASAN

Warna Warna susu yang normal adalah putih kekuningan. Warna putih disebabkan karena refleksi sinar matahari dengan adanya butiran-butiran lemak, protein dan garam-garam didalam susu. Warna kekuningan merupakan cerminan warna karoten dalam susu. Hasil pengamatan menunjukkan warna susu pasteurisasi normal yaitu putih kekuningan. Biji kefir berbentuk seperti kembang kol, berwarna putih kekuningan dengan diameter tiap butirnya 2-15 mm dan bobot tiap butir hanya beberapa gram saja. Bakteri asam laktat dan khamir yang hidup bersimbiosis dan tumbuh di dalam biji kefir berada dalam perbandingan yang seimbang. Bakteri asam laktat yang berbentuk batang akan menempati lapisan perifer (luar) biji, sedangkan ragi ada di dalam intinya. Biji kefir yang diinokulasikan ke dalam susu akan mengembang (diameternya membesar) dan warnanya menjadi kecoklatan karena diselubungi partikel-partikel susu menyebabkan warna susu kefir agak kuning sedikit kecoklatan. Sedangkan Warna susu basi masih terlihat putih kekuningan namun tampak lebih keruh akibat perubahan konsistensinya.

Konsistensi Konsistensi susu menunjukkan imbangan jumlah air dan bahan padat yang ada d idalam susu sebagai suatu emulsi yang baik. Apabila ke dalam susu ditambahkan bahan-bahan tertentu maka konsistensi susu dapat berubah,

sehingga sistem emulsi terganggu dan beberapa komponen susu terpisah dari air. Susu pasteurisasi memiliki konsistensi yang normal, sedangkan susu kefir lebih kental, dan susu basi berlendir. Salah satu faktor yang mempengaruhi viskositas (kekentalan) kefir adalah kadar asam laktat yang dapat menggumpalkan protein dalam susu. Menurut Tamime dan Deeth (1980), pembentukan asam laktat sangat penting dalam pembuatan susu fermentasi. Selain sebagai penyokong cita rasa juga membantu destabilisasi protein. Destabilisasi protein akan menyebabkan terjadinya penggumpalan, sehingga produk susu fermentasi menjadi kental. Pada susu basi juga terjadi proses fermentasi yang sama dengan susu kefir, hanya saja berbeda bakteri. Pada susu basi terjadi fermentasi laktosa oleh koli menghasilkan asam laktat yg memecah protein sehingga susu tampak kental, pecah, dan berlendir.

Rasa dan bau Rasa dan bau susu sering kali sulit dipisahkan dan keduanya bergabung menghasilkan kesan spesifik yang disebut sebagai flavor susu. Potineni and Peterson (2005) melaporkan bahwa senyawa vanilin didalam susu yang terdegradasi menjadi asam vanilat dapat menyebabkan Off-flavor selama penyimpanan. Degradasi tersebut terkait erat dengan reaksi oksidatif dari enzim xanthine oksidase yang secara intrinsik ada didalam susu. Senyawa lain yang ikut berperan menentukan flavor susu adalah beberapa senyawa phenol khususnya alkyl-phenol (Kilic and Lindsay, 2005).

Kefir merupakan salah satu produk fermentasi yang memiliki rasa, warna dan konsistensi yang menyerupai yoghurt dan memiliki aroma khas yeasty (seperti tape). Hal ini dipengaruhi oleh hasil metabolit bakteri dan khamir yang ada di dalam kefir, yaitu asam laktat dan alkohol yang menyebabkan kefir memiliki rasa asam (karena adanya asam laktat) dan bersoda seperti soft drink (karena adanya alkohol). Kerusakan pada susu (susu basi) disebabkan oleh terbentuknya asam laktat sebagai hasil fermentasi laktosa oleh koli. Fermentasi oleh bakteri ini akan menyebabkan aroma susu menjadi berubah dan tidak disukai oleh konsumen.

Keasaman Salah satu cara untuk menentukan jumlah asam laktat adalah dengan metode titrasi. Titrasi merupakan cara analisis dengan mengukur jumlah larutan yang diperlukan untuk bereaksi secara tepat dengan zat yang terdapat dalam larutan lain (Ranggana, 1997). Tingkat keasaman atau pH adalah jumlah konsentrasi ion H+ dalam larutan yang ditunjukkan dengan skala 1-14. Skala pH merupakan suatu cara yang tepat untuk menggambarkan konsentrasi ion-ion hidrogen dalam larutan. Makin besar konsentrasi ion hidrogen, maka larutan semakin asam. Dari tabel hasil pengamatan susu pasteurisasi memiliki pH 7 dan derajat keasaman paling tinggi, yaitu 11,580SH yang berarti paling basa diantara susu kefir (pH 4; 4,40SH) dan susu basi (pH 6; 5,50SH), sedangkan pH dan derajat

keasaman susu kefir adalah paling rendah yang berarti paling asam diantara susu pasteurisasi dan susu basi, dan susu basi lebih asam daripada susu pasteurisasi. Derajat keasaman menunjukkan banyak sedikitnya asam yang terbentuk di dalam susu akibat pertumbuhan mikroba. Total asam pada kefir dihitung sebagai asam laktat. Asam merupakan metabolit primer dalam proses fermentasi kefir yang dihasilkan dari pemecahan glukosa oleh bakteri Lactobacillus bulgaricus sebagai bakteri homofermentatif. Dalam proses fermentasi kefir, pH yang rendah mengindikasikan adanya akumulasi asam laktat (Azizah, 2004). Hal inilah yang menyebabkan susu kefir dan susu basi lebih asam daripada susu pasteurisasi. Jumlah mikroba penghasil asam laktat pada susu kefir lebih banyak dibandingkan susu basi sehingga memiliki sifat asam yang lebih tinggi.

Pemeriksaan Mikrobiologis Pada proses fermentasi kefir, akan dihasilkan metabolit primer dan metabolit sekunder. Metabolit primer adalah senyawa-senyawa kimia yang dihasilkan oleh mikroba dan dibutuhkan oleh mikroba tersebut untuk pertumbuhannya (Rahman dkk., 1992). Metabolit primer antara lain asam laktat dan alkohol. Lactobacillus bulgaricus merupakan bakteri homofermentatif yang terutama memproduksi asam laktat melalui proses glikolisis/pemecahan glukosa, sedangkan Candida kefir dalam proses fermentasi akan menghasilkan alkohol dan karbondioksida.

Metabolit sekunder adalah senyawa yang disintesis oleh mikroba tetapi tidak merupakan kebutuhan fisiologis pokok (Pawiroharsono, 2007). Salah satu metabolit sekunder yang dapat berfungsi sebagai antibakteri adalah bacteriocin. Semakin lama fermentasi dan semakin banyak glukosa yang ditambahkan, mikroorganisme berkembang biak semakin banyak, sehingga kemampuan mikroba (Lactobacillus bulgaricus dan khamir Candida kefir) memecah glukosa menghasilkan metabolit primer (asam laktat dan alkohol) dan metabolit sekunder (aktivitas antibakteri dan polifenol), akan semakin banyak (Astawan, 2008). Itulah sebabnya hasil perhitungan TPC (Total Plate Count) pada susu kefir dan susu basi sangat tinggi karena sudah terjadi pertumbuhan mikroorganisme di dalam susu yaitu 3 x 108 bakteri/ml dan 3,2 x 108 bakteri/ml. Sedangkan pada susu pasteurisasi belum terjadi pertumbuhan mikroba sehingga hasil TPC susu pasteurisasi lebih rendah yaitu 7,2 x 107 bakteri/ml daripada susu kefir dan susu basi. TPC susu kefir sebelum diinkubasi diperoleh kandungan mikroba 8 x 103 bakteri/ml yang berarti lebih rendah dibandingan susu kefir hasil setelah diinkubasi, hal ini disebabkan oleh belum adanya pertumbuhan mikroba, karena pertumbuhan BAL dan khamir yang menjadi starter kefir membutuhkan waktu dan suhu yang sesuai saat diinkubasi. TPC susu pasteurisasi yang diperoleh tersebut memiliki angka cemaran mikroba yang sangat jauh di atas persyaratan yang ditetapkan oleh SNI yaitu 3 x 104 bakteri/ml, hal ini diperkirakan karena pada susu pasteurisasi yang diuji terjadi kontaminasi.

KESIMPULAN

Kandungan mikroba di dalam air susu akan mempengaruhi karakteristik susu (warna, bau, konsistensi, rasa, dan keasaman). Semakin lama fermentasi maka mikroba akan berkembang biak semakin banyak. Susu kefir mengandung asam laktat dan alkohol dari hasil fermentasi BAL dan khamir yang berasal dari biang kefir menyebabkan rasa asam dan jumlah mikroba yang tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus. (1997). Kefir, Susu Asam http://www.indomedia.com/intisari/1997/nov/kefir.htm September 2007).

Berkhasiat. (Diakses 24

Astawan, M. (2008). Brem. http://cybermed.cbn.net. (Diakses 2 Juli 2008). Azizah U.(2004). Larutan Asam Basa. Proyek Pengembangan Kurikulum Pendidikan Nasional. Buckle K. A., Edward R.A., dan Flet G. H.(1987). Ilmu Pangan. UI-Press, Jakarta. Gamman P.M. dan K.B. Sherrington.(1992). Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi, dan Mikrobiologi. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Kilic, M. ve R. C. Lindsay. (2004). Short Communication: Utilization of sheeps milk cheese whey in the manufacture of an alkylphenol flavor concentrate. Journal of Dairy Science. 87(12), 4001-4003. Kosikowski, F. and Mistry V. V. (1982). Cheese and Fermented Milk Foods (3rd eds). New York. Mettanggui, A. S.(2002). Pengaruh Jenis Kemasan Low Density Polythylene (LDPE) dan Botol Gelas terhadap Karakteristik Starter Kefir Beku. Skripsi Jurusan Produksi Ternak, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Pawiroharsono S. (2007). Prospek dan Manfaat Isoflavon untuk Kesehatan. Direktorat Teknologi Bioindustri, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta. Potineni, R.V. and Peterson, D.G. (2005). Influence of thermal processing conditions on flavor stability in fluid milk: benzaldehyde. J. Dairy Sci. 88:1-6. Fardiaz, W.P. Rahaju, Suliantari dan C.C. Nurwitri. (1992). Bahan Pengajaran Teknologi Fermentasi Susu. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ranggana, S. (1997). Manual Of Analysis of Fruit and Vegetables Product. Tata. M. C. Graw Publishing Company Limited, New Delhi. Surono, I.S. (2004). Probiotik, Susu Fermentasi, dan Kesehatan. Tri Cipta Karya, Jakarta.

Tamime A.Y. dan Deeth H. C. Yoghurt :Technology and Biochemistry. J. Food Protection. Usmiati, S. 2007. Kefir, Susu Fermentasi dengan Rasa Menyegarkan. Warta Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian.29 (2): 1-3.

PENDAHULUAN

Daging adalah otot hewan yang tersusun dari serat-serat yang sangat kecil, masing-masing berupa sel memanjang yang disatukan oleh jaringan ikat, membentuk berkas ikatan yang pada kebanyakan daging jelas kelihatan lemak pembuluh darah dan urat syaraf (Gamman dan Sherrington, 1992). Bila potongan daging diamati secara teliti maka tampak dengan jelas bahwa daging terdiri atas tenunan yang terdiri atas air, protein, tenunan lemak dan potongan tulang (Winarno, 1993). Komposisi kimia daging tergantung dari spesies hewan, kondisi hewan, jenis daging karkas, proses pengawetan, penyimpanan dan metoda pengepakan serta kandungan lemak daging tersebut. Daging tanpa lemak mengandung 70% air, 9% lemak serta 1% abu (Winarno dan Rahayu, 1994). Kebusukan dan kerusakan daging ditandai oleh terbentuknya senyawasenyawa berbau busuk seperti amonia, H2S, indol, dan amin, yang merupakan hasil pemecahan protein oleh mikroorganisme. Daging yang rusak

memperlihatkan perubahan organoleptik,

yaitu bau, warna, kekenyalan,

penampakan, dan rasa. Diantara produk-produk metabolisme dari daging yang busuk, kadaverin, dan putresin merupakan dua senyawa diamin yang digunakan sebagai indicator kebusukan daging.

CARA KERJA Daging sapi segar dipisahkan menjadi 4 bagian dengan berat masingmasing bagian adalah 50 gr. Bagian pertama daging segar untuk langsung diuji. Bagian kedua dikemas dalam aluminium foil dan dimasukkan ke dalam freezer selama 7 hari. Bagian ketiga dikemas dalam aluminium foil dan dimasukkan ke dalam refrigerator selama 24 jam. Bagian keempat dibiarkan pada suhu kamar hingga membusuk.

HASIL PENGAMATAN Karakteristik Daging segar Daging refrigerator 24 jam Uji Eber Uji Postma Uji H2S Malachit green test pH TPC 7,24 1,5x105 6,94 9,6x105 5,8 2,3x106 9,4 1,2x107 negatif negatif negatif negatif negatif negatif negatif negatif Daging freezer 7 hari negatif negatif negatif negatif positif positif positif negatif Daging busuk

PEMBAHASAN

Pemeriksaan Permulaan Pembusukan Pemeriksaan awal pembusukan yang dilakukan dengan uji Eber. Jika terjadi pembusukan, maka pada uji ini ditandai dengan terjadi pengeluaran asap di dinding tabung, dimana rantai asam amino akan terputus oleh asam kuat (HCl) sehingga akan terbentuk NH4Cl (gas). Pada daging sapi segar, refrigerator, dan freezer yang diperiksa hasilnya negatif dimana tidak terdapat NH4Cl setelah diuji dengan mengunakan larutan Eber karena pada daging-daging tersebut belum terbentuk gas NH3 . Pada daging busuk jelas terlihat gas putih (NH4Cl) pada dinding tabung karena pada daging busuk gas NH3 sudah terbentuk. Selain uji Eber, bisa dilakukan uji Postma. Hasil pemeriksaan uji Postma menunjukkan bahwa sampel daging segar belum mulai terjadi pembusukan, sampel daging refrigerator dan daging freezer juga menunjukkan hasil negatif. Hasil positif hanya ditunjukkan oleh sampel daging busuk, yaitu dengan adanya perubahan warna kertas lakmus pada cawan petri. Pada prinsipnya, daging yang sudah mulai membusuk akan mengeluarkan gas NH3. NH3 bebas akan mengikat reagen MgO dan menghasilkan NH3OH. Pada daging yang segar tidak terbentuk hasil NH3OH karena belum adanya NH3 yang bebas. Jika tidak terjadinya perubahan warna kertas lakmus karena MgO merupakan ikatan kovalen rangkap yang sangat kuat sehingga walaupun terdapat unsur basa pada MgO tersebut, namun basa tersebut tidak lepas dari ikatan rangkapnya. Jika adanya NH3 maka

ikatan tersebut akan terputus sehingga akan terbentuk basa lemah NH3OH yang akan merubah warna kertas lakmus dari merah menjadi biru. Dari hasil uji H2S pada sampel daging segar menunjukkan bahwa daging tersebut belum terjadi pembusukan, sampel daging refrigerator dan daging freezer juga menunjukkan hasil negatif. Uji H2S pada dasarnya adalah uji untuk melihat H2S yang dibebaskan oleh bakteri yang menginvasi daging tersebut. H2S yang dilepaskan pada daging membusuk akan berikatan dengan Pb acetat menjadi Pb sulfit (PbSO3) dan menghasilkan bintik-bintik berwarna coklat pada kertas saring yang diteteskan Pb acetat tersebut. Hanya kelemahan uji ini, bila bakteri penghasil H2S tidak tumbuh maka uji ini tidak dapat dijadikan ukuran. Pembusukan dapat terjadi karena dibiarkan di tempat terbuka dalam waktu relatif lama sehingga aktivitas bakteri pembusuk meningkat dan terjadi proses fermentasi oleh enzimenzim yang membentuk asam sulfida dan amonia.

Pengukuran pH Ekstrak Daging Frazier and Westhoff (1981) menyatakan bahwa pembusukan adalah dekomposisi protein oleh bakteri yang menghasilkan senyawa yang berbau busuk, seperti indol, skatol, merkaptan aminamin dan H2S serta gas NH3. Diantara senyawa-senyawa tersebut hanya merkaptan, H2S, dan NH3 yang bersifat asam lemah sedangkan indol, skatol bersifat basa dan amin-amin serta kadaverin adalah basa kuat, sehingga proses pembusukan ini akan diikuti dengan peningkatan pH. Standar pH daging hewan sehat dan cukup istirahat yang baru disembelih adalah 7-7,2 dan akan terus menurun selama 24 jam sampai beberapa hari. Jika

terjadi pembusukan maka pH nya akan kembali ke 7. Jarak penurunan pH tersebut tidak sama untuk semua urat daging dari seekor hewan dan antara hewan juga berbeda. Nilai pH daging post mortem akan ditentukan oleh jumlah asam laktat yang dihasilkan dari glikogen selama proses glikolisis anaerob dan akan terbatas bila hewan terdepresi karena lelah. Setelah hewan disembelih, penyedian oksigen otot terhenti. Dengan demikian persediaan oksigen tidak lagi di otot dan sisa metabolisme tidak dapat dikeluarkan lagi dari otot. Jadi daging hewan yang sudah disembelih akan mengalami penurunan pH (Purnomo dan Adiono, 1985). Hasil perhitungan pH daging segar adalah 7,2 yang berarti daging tersebut berasal dari hewan yang sehat. Setelah 24 jam di dalam refrigerator pH daging mengalami penurunan menjadi 6,94 karena adanya aktivitas mikroba yang

menyebabkan proses glikolisis menghasilkan asam laktat. Begitu pula yang terjadi pada daging freezer yang memiliki pH 5,8. Namun, pada daging busuk pH meningkat karena penurunan aktivitas mikroba penghasil asam laktat akibat persediaan glikogen yang semakin terbatas dan diikuti oleh aktivitas mikroba pembusuk penghasil senyawa basa.

Uji Malachit Green Pada uji Malachit Green test ini untuk mengetahui hewan disembelih dengan sempurna atau tidak. Hasil uji yang dilakukan memberikan hasil negatif, yang berarti daging tersebut berasal dari hewan yang disembelih sempurna. Penyembelihan dan pengeluaran darah yang tidak sempurna akan diketahui, karena akan dijumpai banyak Hb dalam daging sehingga O2 dari H2O2 3% tidak

mengoksidasi Malachit Green menyebabkan warna larutan hijau. Sebaliknya, jika tidak ada Hb, maka O2 akan mengoksidasi Malachit Green menjadi warna biru. Pengeluaran darah yang tidak sempurna mengakibatkan daging cepat membusuk serta mempengaruhi proses selanjutnya. Pengeluaran darah yang efektif hanya dapat dikeluarkan 50% nya saja dari jumlah total darah (Lawrie, 1995). Pengeluaran darah yang tidak sempurna mengakibatkan daging cepat membusuk serta mempengaruhi proses selanjutnya. Pengeluaran darah yang efektif hanya dapat dikeluarkan 50% nya saja dari jumlah total darah (Lawrie, 1995).

Pemeriksaan Mikrobiologi Dari hasil pemeriksaan mikroba pada daging sapi segar didapat hasil Total Plate Count (TPC) 1,5 x 105 bakteri/ml, daging sapi yang telah di simpan di dalam refrigerator selama 24 jam diperoleh 9,6 x 105 bakteri/ml, daging freezer selama 7 hari 2,3 x 106 bakteri/ml, dan pada daging busuk 1,2 x 107 bakteri/ml. Hasil dari daging sapi segar dan daging sapi yang telah disimpan di dalam refrigerator selama 24 jam berada di bawah angka standar yang diperbolehkan untuk dikonsumsi yaitu 1 x 106 koloni bakteri/ml. Seperti bahan makanan lainnya daging sangat disenangi oleh mikroba pembusuk. Apabila mikroba tersebut telah menginfasi dan berkembang biak di dalam daging maka dapat menyebabkan pembusukan. Pada daging sapi yang disimpan di dalam freezer selama 7 hari dan daging busuk hasil yang di dapat di atas standar yaitu 2,3 x 106 dan 1,2 x 107

bakteri/ml, daging-daging tersebut sudah banyak mengandung bakteri sehinga tidak baik lagi untuk di komsumsi. Menurut Lawrie (1995) mengatakan bahwa kontaminasi mikroba pada daging dapat terjadi pada saat hewan tersebut masih hidup sampai sewaktu akan dikonsumsi. Sumber kontaminasi dapat berasal dari tanah, kulit hewan, alat jeroan, air pencelupan, alat yang dipakai selama proses persiapan karkas, kotoran hewan, udara dan dari pekerja. Pada umumnya, faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme pada daging ada dua macam, yaitu (a). Faktor intrinsik termasuk nilai nutrisi daging, keadaan air, pH, potensi oksidasi-reduksi dan ada tidaknya substansi pengahalang atau penghambat; (b). Faktor ekstrinsik, misalnya temperatur, kelembaban relatif, ada tidaknya oksigen dan bentuk atau kondisi daging (Fardiaz, 1992).

KESIMPULAN

Dari hasil pemeriksaan, daging sapi segar dan daging yang disimpan di dalam refrigerator selama 24 jam yang diuji maka dapat diambil kesimpulan bahwa daging-daging itu masih layak untuk dikonsumsi karena uji organoleptik dan pemeriksaan mikrobiologi masih memenuhi persyaratan mutu SNI. Sedangkan daging yang disimpan di dalam freezer selama 7 hari yang diuji dapat diambil kesimpulan bahwa daging tersebut tidak layak untuk dikonsumsi karena walaupun uji organoleptik masih baik, jumlah mikroba yang terdapat di dalam daging tersebut sangat tinggi di atas batas maksimum cemaran mikroba yang ditetapkan oleh SNI.

DAFTAR PUSTAKA

Fardiaz, S. (1992). Mikrobiologi Pengelolaan Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Frazier, W. C. dan D. C. Westhoff. (1981).Food Microbiology. Tata McGraw-Hill Publication Co. Ltd, New Delhi. Gamman P.M. dan K.B. Sherrington.(1992). Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi, dan Mikrobiologi. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Lawrie. (1995). Ilmu Daging. Penerjemah Parakkasi. UI Press, Jakarta. Purnomo, H. dan Adiono. (1985). Ilmu Pangan. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. Winarno, F. G. dan Rahayu T. S. (1994). Bahan Tambahan untuk Makanan dan Kontaminan. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Winarno, F.G. (1993). Pangan Gizi, Teknologi dan Konsumen. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai