Anda di halaman 1dari 5

Sentralisasi Dan Desentralisasi Sejak dasawarsa 1990-an Negara Negara seluruh dunia, tidak terkecuali di Negara maju, disibukkan

n dengan proyek penataan kembali pengelolaan ekonomi di dalam negeri. Di Negara maju, restrukturisasi pereknomian tersebut difokuskan kepada upaya membangun hubungan keuangan intrapemerintahan agar bisa mengimbangi perkembangan kegiatan ekonomi yang semakin kompleks. Sementara itu, di Negara yang sedaang melakoni proses transisi ekonomi, seperti di eropa timur dan tengah, saat ini sedang giat giatnya membenahi system keuangan pemerintah daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Di luar itu, banyak Negara perkembang lainnya juga berpikir keras melakukan desentralisasi fiscal sebagai salah satu jalan meloloskan diri dari berbagai jebakan ketidakefisienan pemerintahan, ketidakstabilan makro ekonomi, dan ketidak cukupan pertumbuhan ekonomi yang telah menyebabkan engara Negara itu jatuh terperosok akhir akhir ini (Bird dan Vailancourt, 1998:1). Pada titik ini, desentralisasi secara politik maupun administrative dipandang lebih mengaransi stabilitas ketimbagnan sentralisasi, di samping membuat pasar lebih efisien (Dreher dan Fischer,2011,:223). Proses yang sama setidaknya juga berlangsung di Indonesia, ketika pada 2001 telah memaklumatkan pemberlakuan otonomi daerah (desentralisasi). Secara teoritis, desentralisasi bisa didefinisikan sebagai proses penyeraha nkekuasaan kepada wilayah atau pemerintah local dengan menggeser struktur akuntabilitas dari level nasional ke subnasional (Tiebot, 1956; burki, perry, dan dilinger, 1999), cenderung diasosiasikan untuk memperkuat efisiensi dan tanggung jawab pemerintahan (Oates, 1972), pengembangan dan inovasi teknologi (Beasly dan Case, 1995), memerbaiki akuntabilitas public (seabright, 1996), dan mengendalikan korupsi (Huther dan Shah, 1998; de Mello dan Barenstein,2001) [dalam Lecuna, 2012:139].; definisi lainya, desentralisasi adalah penciptaan badan yan gterpisah (bodies separated) oleh aturan hokum (undang undang) dari pemerintah pusat, dimana pemerintah (pwrwakilan) local diberi kekuasaan formal untuk memutukan ruang lingkup persoalan public. Jadi, di sini basis politiknya ada di tingkat local, bukan nasional. Dalam pengertian ini, meskipun area otoritas pemerintah local terbatas, namun hak untuk membuat keputusan diperkuat melalui undang undang dan hanya dapat diubah lewat legislasi baru (Mawhood, 1983;2). Dengan begitu, prinsip desentralisasi tersebut bisa disinonimkan dengan istilah diet dalam bahasa kesehatan, yakni untuk mengurangi obesitas akut yang diderita oleh sebuah Negara. Pada konteks Negara, obesitas tersebut terpantul dalam wujud sejumlah penduduk yan gbesar, wilayah yang teramat luas, dan ragam multikultur masyarakat yang sangat variatif. Dengan pemahaman ini, yang dimaksud dengan program diet adalah mencoba menurunkan level pelayanan masyarakat ke tingkat wilayah administrasi yang paling rendah. Dengan desentralisasi diharapkan kemampuan pemerintah daerah untuk memanajemeni pembangunan menjadi lebih lincah, akurat dan cepat.

Dalam literature ekonomi, percepatan dan intensitas desentralisasi bisa dikerjakan dengan mrujuk dua model berikut. Pertama, mengubah secara drastic watak sentralisasi pengelolaan Negara dan mengimplementasikannya dalam tempo singkat (shock therapy approach). Model ini dipercaya ampuh untuk mewujudkan tujuan tetapi diiringi denga banyak jebakan, misalnya banyak aturan yang tumpang tindih akibat kemmapuan yang berbeda dalam memahami desentralisasi. Juga yang sering terjadi, Negara Negara yang memilih jalur ini banyak yang tergelincir karena kapasitas administrasi/ birokrasi (daerah) yang tidak mampu mengiringi percepatan proses desentralisasi. Kedua, pemerintah menjalankan program terpadu dalam rentang waktu tertentu dengan cakupan yang terukur dan terjadwal (gradual approach). Model ini memiliki kelemhan dalam hal jangka waktu yang agak lama, tetapi kelebihannya memberikan kepastian dalam jangka panjang. Risiko lainnya, terdapat beberapa kasus yang menujukkan model ini sering diserobot oleh kekuatan lama untuk mengembalikan watak pengelolaan ekonomi seperti semula (sentralisasi) [Haggard dan Kaufman, 1995;157]. Dengan segala risikonya, sebagian Negara (termasuk Indonesia) memilih pendekatan yan gpertama (radikal) untuk menjalankan misi desentralisasi. Tentu saja, seperti halnya program diet yang dipaksakan berlangsung dengan cepat, potensi untuk timbul kegaduan juga besar. Potensi kegaduhan tersebut bisa dibaca dari dua fenomena berikut: desentralisasi korupsi/ kolusi dan duplikasi perda yang justru berlawanan dengan spirit otonomi daerah. Kasus di Indonesia memperlihatkan hal itu, dimana desentralisasi sampai kini bukannya mengurangi watak sentralisasi, tetapi malah menyuburkan tabiat tersebut dalam area area yang lebih kecil, sehingga penyakit penyakit semacam korupsi dan kolusi justru semakin parah. Pemilihan kepala pemerintahan local (bupati, walikota dan gubernur) merupakan pusat persekutuan antara pihak eksekutif, legislative, dan yudikatif untuk menyemaikan benih benih korupsi. Jika pad amasa sebelumnya karakter kolusi/ korupsi bersifat mengerucut ke bawah (vertical) dengan institusi bagian atas mengambil bagian yang paling besr, maka sejak otonomi daerah watak kolusi/ korupsi bersifat menyebar (horizontal) dengan setiap lini penyelenggara pemerintah (daerah) mengambil bagian yang sama. Dengan model semacam itu, bisa dibayangkan bila perkembangan kolusi dan korupsi begitu pesat mirip kecambah yang tumbuh di musim hujan. Bukan itu saja, kewenangan pemerintah daerah untuk menyusu prioritas pembangunan ekonomi juga banyak diserobot oleh pemodal sehingga wajah daerah kiam compang camping. Penggusuran terhadap pelaku usaha keicl (sector informal perkotaan) justru semakin massif seiring dengan berjalannya otonomi daerah. Tempat usaha usaha informal tersebut digusur digantikan dengan kegiatan ekonomi modern yang memang lebih banyak menyumbangkan pendapatan bagi daerah, misalnya pusat perbelanjaan, kawasan industry, maupu perumahan megah. Fakta ini sebenarnya hanya mengabarkan satu hal saja: bahwa pemilik modal berhasil membeli kebijakan pemerintah daerah dengan

kekuatan uang yang dimiliki. Jika dalam system sentralisasi kemampuan pemodal membeli kebijakan relative terbatas karena harga pembelian (kepada pemerintah pusat) yang relative besar, maka dalam desentralisasi modal membeli kebijakan (kepada pemerintah daerah) cenderung lebih kecil karena level pemerintahan yang rendah. Tanpa disadari praktifk ini terus bergulir dan menjadi pola umum desentralisasi di Negara Negara berkembang, termasuk di Indonesia. Padahal, kalau mau menggunakan parameter paling sederhaa bagi keberhasilan desentralisasi adalah dengan melihat sejauh mana kualitas pelayanan sector public dari pemerintah local. Kinerja dari keberhasilan dari pelayan sector public tersebut bisa dilhat dari dua indicator, yakni efisiensi dan efektivitas (Dolerry dan Wallis, 2001:74). Efisiensi mendeskripsikan seberapa baik pengorganisasian pemanfaatan sumber daya dalam memproduksi pelayanan, yakni sebuah hubungan antara kombinasi actual dan optimal dari input yang

Digunakan untuk memproduksi sejumlah output yang sudah ditetapkan (given bundle of outputs). Sedangkan efektivita adalah derajat kesanggupan sebuah system untuk mencapai tujuan program melalui kebijakan yang telah ditentukan. Dalam praktiknya, efektivitas berkaitan dengan sejumlah aspek preferensi yang berbeda dari keterkaitan pelayanan dengan tujuan haisl program. Tujuan tujuan berbeda dari keterkaitan pelayanan dengan tujuan hasil program. Tujuan tujuan dari program itu antara lain: (i) aksesibilitas/ keterjangkauan (aspek aspek) semacam kesanggupan, representasi di antara kelkompok kelompok yang menjadi prioritas, dan keterjangkauan fisik); (ii) kesesuaian (menyocokkan pelayanan dengan kebutuha masyarkat/ client); dan (iii) kualitas (proses pertemuan standar yang dibutuhkan atau timbulnya kegagalan pelayanan) [bagian 11.1]. Optimism terhadap pilihan otonomi daerah, sejatinya dipicu oleh harapan bahwa strategi tersebut akan membuat daerah lebih memiliki ruang menciptakan kebijakan (ekonomi) yang lbeih sesuai dengan situasi wilayah masih masing. Sentralisasi manajemen pembangunan yang diterapkan sebelum ini terbukti meimbulkan banyak penyimpangan akibat panjangnya rantai birokrasi yang harus dilewati, dismaping relitas bahwa sentralisasi selalu berhadapan dengan keterbatasan informasi yang akurat. Tentu saja, dengan otonomi daerah, anggaran daerah menjadi pintu yang paling mungkin bagi setiap wilayah untuk mendinamisir kegiatan pembangunan daerah melalu alokasi anggaran yang tepat. Dengan asumsi kepala wilayah tahu persis tentang kondisi wilayahnya, maka setiap detail pengeluaran anggaran daerah dipastikan akan mengalir menuju kepada sector atau masyarakat yang memang sangat membutuhkannya. Namun, dalam pelaksanaanya, ternyata harapan tersebut tidak msti sejajar dengan kenyataan di lapangan.

Pelayanan Pemungutan iuran Pembersihan jalan Pembersihan gedung Jasa makanan (catering) Perawatan kendaraan Perawatan lahal (tanah) Pelayanan leisure time

Rasional terbatas Rendah Rendah Rendah Sedang Sedang Rendah Tinggi

Oportunisme Spesifitas asset Sedang Sedang Sedang Tinggi Tinggi Sedang Sedang Sedang Rendah Rendah Sedang Sedang Rendah Tinggi

Dalam konteks ekonomi kelembagaan, alat analisis untuk menilai seberapa efisien kembagaan yang disusun adalah dengan mengidentifikasi besaran (magnitude) dari biaya transaksi (transaction costs). Dalam kasus pelayanan pemerintah local, bisa pula diukur besarnya biaya transaksi yang muncul dalam proses pelayanan public. Seperti yang telah telah dijelaskan dalam BAB IV, biaya transaksi muncul karena adanya tiga factor, yakni rasionalitas terbatas (bounded rationality), oportunisme (opportunism), dan spesifitas asset (asset specifity). Sumber sumber biaya transaksi tersebut bis diidentifikasi lewat tiga factor tersebut, dalam penelitian yang dilakukan pada pemerintah local di inggris, stewart dan stoker (1989; dalam Dollery dan Wallis, 2001:120 121) menemukan beberapa hal penting menyangkut sumber biaya transaksi dalam pelayana public. Dalam table 11.2 bisa dilihat, bahwa jasa pelayanan public tertentu diduga memicu biaya transaksi yang besar, yang bersumber dari ketiga factor tersebut, diantara pelayanan jasa makanan (catering), perawatan kendaraan dan jasa waktu luang (leisure). Dari kegtiga pelayana public tersebut, kemungkinan munculnya biaya transaksi sangat besar, baik dari factor rasionalitas terbatas, oportunisme maupun spesifitas asset. Dengan mengetahui sumber dari biaya transaksi tersebut dapat dirumuskan solusi yang lbeih tepat, misalnya penataan ulang kelembagaan ataupun menyerahkaan kepada sector swasta (private sector) untuk menangani pelayanan sector public. Dari paparan tersebut dapat dipahami bahwa desentralisasi sebagai suatu strategi ekonomi akan berjalan bila factor kelembagaanya diurus dengan baik. Pada sebuah egara yang sedang melakukan proses reformasi, desentralisasi ekonomi bisa dianggap sebagai kelembagaan itu sendiri (institutional environment), artinya, desentralisasi dimaknai sebagai rules of the game pemerintah local untuk menangani perekonomian daerah. Dalam perspektif ini, berhasil tidaknya desentralisasi amat tergantung dari desain kelembagaan makro dan mikro yang dibuat. Jika tujuan makro ekonomi dari desentralisasi diarahkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja di daerah, maka pemerintah local harus menyusun kelembagaan ekonomi yang efisien agar invetasi terjadi, misalnya denga penciptaan regulasi perijinan yang sederhana dan murah. Sementara itu, apabila tujuan mikro ekonomi dari desentralisasi difokuskan kepada

hubungan yang adil antar pelaku ekonomi, maka pemerintah local berkonstrasi kepada desain kebijakan yang membatasi proses eksploitasi satu pelaku ekonomi kepada pelaku ekonomi lainya, msialnya jaminan upah yang layak dan system bagi hasil (sharecropping)yang setara di sekotr pertanian.

Anda mungkin juga menyukai